SINUSITIS
Pembimbing :
Disusun oleh :
KEPANITERAAN KLINIK
STASE THT-KL
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2014
SINUSITIS
LAPORAN KASUS
Oleh
Pembimbing
2014
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga laporan kasus yang berjudul “Sinusitis” ini dapat
diselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam tidak lupa penulis sampaikan kepada
Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya.
Penulis
2
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB 1
PENDAHULUAN
Penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke 25 dari 50 pola penyakit
peringkat utama dari data DEPKES RI 2003. Data dari Divisi Rinologi Departemen
THT RSCM menunjukkan bahwa tingkat kejadian sinusitis sekitar 69 % dari 436 dalam
kurun waktu Januari – Agustus 2005.3
Rinosinusitis secara klinis dibagi menjadi akut dan kronik. Keluhan yang timbul
akibat kondisi ini antara lain hidung tersumbat, nyeri/rasa tekanan di muka, nyeri
kepala, ingus belakang hidung, nyeri kepala, hiposmia/anosmia, dan lain-lain.1
Pada pemeriksaan fisik pasien rinosinusitis dapat ditemukan nyeri tekan pada
keempat sinus paranasal. Selain itu, terdapat konka yang edema dan hiperemis. Post
nasal drip pun dapat ditemukan pada pasien. Pengobatan rinosinusitis dapat diberikan
terapi medikamentosa untuk mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi, dan
mencegah perubahan menjadi kronik. Selain pengobatan medikamentosa dapat
dilakukan tindakan operasi bila sinusitis kronik dengan terapi obat tidak adekuat atau
telah timbul komplikasi sinusitis.1,4
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.3.2. Etiologi
Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari
pasien yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan
lingkungan.Genetik secara jelas memiliki peran penting.Pada 20 – 30 %
semua populasi dan pada 10 – 15 % anak semuanya atopi.Apabila kedua
orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau
mencapai 50 %. Peran lingkungan dalam dalam rhinitis alergi yaitu
sebagai sumber alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar
dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki
kecenderungan alergi.7
a. Sumber pencetus7
Rinitis Alergi jenis musiman muncul disebabkan oleh reaksi
alergi terhadap partikel udara seperti berikut ini:
Ragweed – Bulu‐bulu rumput yang paling umum terdapat sebagai
pencetus (di musim gugur)
Serbuk sari rumput (di akhir musim semi dan musim panas)
Serbuk sari pohon (di musim semi)
Jamur (berbagai jamur yang tumbuh di daun‐daun kering,
umumnya terjadi di musim panas)
Rinitis Alergi jenis sepanjang tahun muncul disebabkan oleh
reaksi alergi terhadap partikel udara seperti berikut ini:
Bulu binatang peliharaan
Debu dan tungau rumah
Kecoa
Jamur yang tumbuh di dinding, tanaman rumah, karpet, dan kain
pelapis
b. Faktor Risiko7
Sejarah keluarga alergi
Setelah ada riwayat pernah terkena alergi lain, seperti alergi
makanan atau eksim
Paparan bekas asap rokok
2.3.3. Klasifikasi
Rinitis alergi sering dibagi berdasarkan penyebab menjadi 2 tipe
yaitu : 5,7
1. Rinitis alergi musiman (hay fever) umumnya disebabkan kontak
dengan alergen dari luar rumah seperti benang sari dari
tumbuhan yang menggunakan angin untuk penyerbukannya dan
spora jamur. Alergi terhadap tepung sari berbeda-beda bergantung
geografi dan jenis tanaman yang ada, juga jumlah serbuk yang ada
di dalam udara. Udara panas, kering dan angin mempengaruhi
banyaknya serbuk di udara bila dibandingkan dengan saat udara
dingin, lembab dan hujan, yang membersihkan udara dari serbuk
tersebut. Jenis ini biasanya terjadi di negara dengan 4 musim
2. Rinitis alergi terus menerus (perennial), diakibatkan karena kontak
dengan allergen yang sering berada di rumah misalnya kutu debu
rumah, kecoa, tumbuhan kering, jamur, bulu binatang atau
protein yang dikandung pada kelenjar lemak kulit binatang.
Protein ini dapat tetap berada di udara selama berbulan-bulan
setelah binatang itu tidak ada diruangan.7 Namun, definisi di atas
kurang sesuai bila diterapkan dalam kehidupan nyata.Karena,
serbuk sari banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, dan
gejala alergi tidak secara terus menerus terjadi. Karena itu the
Allergic Rhinitisand its Impact on Asthma (ARIA) mengklasifikasi
kembali pedoman Rhinitis alergika, berdasar waktu dan frekuensi
gejala yang ada.Intermittent Allergic Rhinitis dan Persistent
Allergic Rhinitis, keduanya dapat dibagi berdasar tingkat
keparahan pasien mulai dari ringan, sedang hingga berat. World
Health Organization (WHO) merekomendasikan pembagian rinitis
alergi ke dalam dua klasifikasi :7
o Intermittents (kadang-kadang), gejala yang ditemukan kurang
dari 4 hari per minggu dan atau kurang dari 4 minggu.
o Persistent (menetap), gejala-gejala yang ditemukan lebih dari
4 hari
Dan berdasarkan tingkat beratnya gejala, rinitis alergi dibagi
menjadi :
1. Ringan (mild), ditemukan dengan tidur normal, aktivitas sehari-
hari, saat olah raga dan saat santai normal, bekerja dan sekolah
normal, dan tidak ada keluhan mengganggu.
2. Sedang – berat (moderatesevere), ditemukan satu atau lebih gejala
berikut ; tidur terganggu (tidak normal), aktivitas sehari-hari, saat
olah raga, dan saat santai terganggu, masalah saat bekerja dan
sekolah, ada keluhan yang menggangu.7
2.3.4. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali
dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase, Yaitu reaksi alergi fase cepat yang berlangsung sejak
kontak dengan alergen sampai satu jam setelahnya, dan reaksi fase
lambat yang berlangsung 2 sampai 4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktiftas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48
jam.7
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi,
makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung.
Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan
bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk peptida MHC
(Mayor Histo Compatibility) kelas II, yang kemudian di presentasikan
pada sel T-helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin
seperti interleukin I (IL-1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk
berploriferasi menjadi Th 1 dan Th 2. kemudian Th 2 akan menghasilkan
berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan IL-13. L-4 dan IL-13 dapat
diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit
B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (Ig-E). Ig E di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel
mediator yang tersensitisasi bila mukossa yang sudah tersensitisasi
terpapar dengan alergen yang sama maka kedua rantai IgE akan
mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang
sudah terbentuk, terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan
prostaglandin leukotrin D4, leukotrin C4, brakinin, platelet actifating
factor dan berbagai sitokin.Inilah yang disebut reaksi alergi fase cepat.
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi.Dan permeabiltas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung syaraf vidianus juga menyebabkan
rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran
interseluler adhesion molekul.7
Pada reaksi alergi fase lambat, sel mastosit akan melepaskan
molekul kemotaktif yang akan menyebabkan akumulasi sel eosinofil
dan netrofil di jaringan target. Respon ni tidak berhenti disini saja, tapi
gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam, setelah pemaparan.
Pada reaksi ini, ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di
mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3 , IL4 dan IL5, dan
granulosit makrofag koloni stimulating faktor pada sekret hidung.
Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat
peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya. Pada fase
ini selain faktor spesifk (alergen) iritasi oleh faktor nonspesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok bau yang merangsang perubahan
cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.7
Gambar 7. Skema patogenesis rinitis alergi7
2.3.6. Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan:5,8,9
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik : rinoskopi anterior
3. Pemeriksaan sitologi hidung
4. Uji kulit
Pasien rinitis alergi datang ke klinik dokter dengan bercerita bahwa
ia sering bersin karena serangannya tidak terjadi di hadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Pada
rinoskopi anterior sering didapatkan mukosa berwarna keunguan (livid)
atau pucat, edema, dan basah serta adanya sekret encer, bening yang
banyak. Pemeriksaan sitologi hidung dilakukan dengan mengambil
cairan hidung pasien dan menempelkannya pada kaca apus dan diberi
pewarna Giemsa-Wright. Adanya sel netrofil, eosinofil, limfosit adalah
fokus perhatian. Disebut eosinofilia bila ditemukan >10% eosinofil.
Eosinofilia ini mengarah pada penyebab berupa alergi. Apabila
ditemukan netrofil > 90% maka disimpulkan terjadinya infeksi. Netrofil
dan eosinofil yang ditemukan bersamaan menunjukkan infeksi pada
pasien alergi. Apabila eosinofilia ditemukan pada anak-anak, maka
rinitis alergi perlu dicurigai. Sedangkan eosinofilia pada orang dewasa
muda, maka rinitis alergi dan NARES (non-allergic rhinitis with
eosinophilic syndrome) perlu dipikirkan. NARES adalah keadaan pasien
dengan eosinofilia yang tidak menunjukkan nilai positif pada tes kulit
dengan allergen yang sering menyebabkan keluhan bersin. Alergen yang
dimaksud adalah alergen yang banyak di lingkungan.8
Uji kulit atau Prick test, digunakan untuk menentukan alergen
penyebab rinitis alergi pada pasien. Alergen dapat berupa tungau debu,
bulu binatang, jamur, dan serbuk sari. Tes kulit yang positif
menunjukkan adanya antibiodi IgE yang spesifik terhadap alergen
tersebut.8
2.3.7. Tatalaksana
Pengobatan paling efektif dari rinitis alergi adalah menyingkirkan
faktor penyebab yang dicurigai (avoidance). Bila faktor penyebab tidak
mampu disingkirkan maka terapi selanjutnya adalah pemberian
farmakoterapi maupun tindakan bedah berupa:
1. Antihistamin
Adalah pengobatan rinitis alergi yang paling sering
diresepkan. Obat ini bekerja secara kompetitif dengan mediator
alergi, histamin, pada reseptor Histamin-1. Efeknya berupa
mengurangi vasodilatasi, hipersekresi kelenjar mukus, dan refleks
iritasi untuk bersin. Antihistamin yang bekerja pada reseptor H-1
dibagi menjadi dua generasi berdasarkan sifat sedatifnya, generasi
pertama bersifat sedatif karena bersifat lipofilik dan generasi kedua
bersifat lipofobik. Contoh antihistamin generasi pertama adalah
klorfeniramin, difenhidramin, siproheptadin. Antihistamin generasi
kedua memiliki keuntungan tidak menyebabkan sedasi, namun
efek samping lain ternyata dilaporkan suatu kasus kecil berupa
anemia aplastik dan golongan tertentu tidak boleh diberikan pada
penderita dengan gangguan jantung karena menyebabkan aritmia.
Antihistamin generasi kedua yang aman adalah loratadin, setirizin,
feksofenadin. Dianjurkan konsumsi antihistamin agar dimakan
secara reguler dan bukan dimakan seperlunya saja karena akan
memberikan efek meredakan gejala alergi yang efektif. Apabila
antihistamin generasi pertama dipilih, maka pemberian secara
reguler akan memberi toleransi kepada pasien terhadap efek sedasi
sehingga ia mampu tetap toleran terhadap pekerjaannya. 8
2. Dekongestan oral
Bekerja mengurangi edema pada membran mukus hidung
karena bersifat vasokonstriksi (alfa adrenergik), sehingga efek obat
ini melengkapi pengobatan gejala rinitis alergi oleh antihistamin
dengan mengurangi edema membran mukus. Contoh obat
dekongestan oral adalah pseudoefedrin, fenilpropanolamin,
fenilefrin. Obat ini cukup diberikan beberapa hari saja. Dianjurkan
pemberian dekongestan oral dibandingkan dekongestan topikal
karena efek "rebound phenomena" obat tersebut terhadap mukosa
hidung yang dapat menyebabkan rinitis medikamentosa.
Pemberian obat ini merupakan kontraindikasi bila pasien sedang
mengonsumsi atau dalam fase "tappering off" dari obat-obatan
monoamin oksidase inhibitor karena bahaya akan terjadinya krisis
hipertensi.8
3. Sodium kromolin
Bekerja pada intraseluler dengan menstabilkan dinding sel
mastosit yaitu berupa mencegah pelepasan mediator-mediator ke
luar sel. Kerja dari obat ini adalah dengan menghambat influks
Ca2+ lebih banyak ke dalam sel mast sehingga degranulasi
mediator terhambat. Obat ini dapat diberikan sebagai pilihan
alternatif apabila antihistamin tidak dapat ditoleransi pada pasien.
4. Kortikosteroid inhalasi
Kadar histamin dikurangi dengan mencegah konversi asam
amino histidin menjadi histamin, selain itu kortikosteroid juga
meningkatkan produksi c-AMP sel mast. Secara umum
kortikosteroid mencegah epitel hidung bersifat sensitif terhadap
rangsangan alergen baik pada fase cepat maupun lambat. Efek
kortikosteroid bekerja secara langsung mengurangi peradangan di
mukosa hidung dan efektif mengurangi eksaserbasi. Preparat yang
tersedia seperti beklometason, budesonid, dan flunisolid. Efek
samping kortikosteroid inhalasi lebih kecil dibanding steroid
sistemik kecuali pasien diberikan dalam dosis sangat tinggi atau
sedang menjalani pengobatan penyakit paru.
5. Imunoterapi
Cara ini lebih dikenal sebagai desensitisasi atau
hiposensitisasi. Caranya adalah dengan memberikan injeksi
berulang dan dosis yang ditingkatkan dari alergen, tujuannya
adalah mengurangi beratnya reaksi tipe I atau bahkan
menghilangkan sama sekali. Imunoterapi bekerja dengan
pergeseran produksi antibodi IgE menjadi produksi IgG atau
dengan cara menginduksi supresi yang dimediasi oleh sel T (lebih
meningkatkan produksi Th1 dan IFN-y). Dengan adanya IgG,
maka antibodi ini akan bersifat "blocking antibody" karena
berkompetisi dengan IgE terhadap alergen, kemudian
mengikatnya, dan membentuk kompleks antigen-antibodi untuk
kemudian difagosit. Akibatnya alergen tersebut tidak ada dalam
tubuh dan tidak merangsang membran mastosit.5
6. Netralisasi antibodi
Antibodi netralisasi bekerja dengan cara memberikan anti IgE
monoklonal. Antibodi ini berikatan dengan IgE yang bebas di
dalam tubuh dan tentu saja secara langsung akan mengurangi
produksi IgE selanjutnya oleh sel B. Hasil akhirnya adalah
konsentrasi IgE yang rendah mengurangi sensitivitas basofil. Cara
ini tidak hanya digunakan untuk rinitis alergi, tetapi jenis alergi
lain seperti alergi makanan.
7. Konkotomi
Konkotomi dilakukan pada konka inferior, dikerjakan apabila
hipertrofi berat tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25% atau triklor asetat
2.4. Sinusitis
2.4.1. Definisi
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
Rinitis dan sinusitis biasanya terjadi bersamaan dan saling terkait pada
kebanyakan individu, sehingga terminologi yang digunakan saat ini
adalah rinosinusitis.1
2.4.2. Klasifikasi
2.4.4. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
kelancaran klirens dari mukosiliar di dalam kompleks osteo meatal
(KOM). Disamping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobial
dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang
masuk bersama udara pernafasan. 4,10
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem,
sehingga mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia
tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka terjadi
gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus, sehingga silia menjadi
kurang aktif dan lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi lebih
kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri
patogen.4,10
2.4.5. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan beratnya penyakit, sinusitis
dapat dibagi menjadi ringan, sedang dan berat sesuai dengan klasifikasi
EPOS. Sedangkan berdasarkan lamanya penyakit sinusitis dibagi
menjadi akut dan kronik. Berdasarkan EPOS yang dikatakan akut adalah
bila gejala berlangsung <12 minggu, sedangkan kronik bila gejala
berlangsung >12 minggu termasuk rinosinusitis kronik eksaserbasi akut.
1. Sinusitis Akut
Sinusitis akut umumnya dimulai dari infeksi saluran pernafasan
atas oleh virus yang melebihi 10 hari. Organisme yang umum
menyebabkan sinusitis akut termasuk Streptococcus pneumonia,
Haemophilus influenza dan Moraxella catarrhalis. Diagnosis dari
sinusitis akut dapat ditegakkan ketika infeksi saluran napas atas oleh
virus tidak sembuh salama 10 hari atau memburuk setelah 5-7 hari.
Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang
merupakan infeksi virus, terdapat transudasi di rongga-rongga sinus,
mula-mula serous yang biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa
pengobatan. Selanjutnya diikuti oleh infeksi bakteri , yang bila
kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan
media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi
purulen.
Dari anamnesis didapatkan keluhan utama sinusitis akut ialah
hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus
purulen, yang sering sekali turun ke tenggorok (post nasal drip).
Dapat juga disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. Keluhan
nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena, merupakan ciri
khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga dirasakan di
tempat lain (reffered pain). Nyeri pipi, gigi, dahi dan depan telinga
menandakan sinusitis maksila. Nyeri di antara atau di belakang kedua
bola mata dan pelipis menandakan sinusitis etmoid. Nyeri di dahi atau
seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sfenoid,
nyeri dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah
mastoid. Gejala lain adalah sakit kepala, hipoosmia/anosmia,
halitosis, post nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada
anak.
Gejala sugestif untuk menegakkan diagnosis terlihat pada tabel 1.
Gejala yang berat dapat menyebabkan beberapa komplikasi, dan
pasien tidak seharusnya menunggu sampai 5-7 hari sebelum
mendapatkan pengobatan.
Pada rinoskopi anterior tampak pus keluar dari meatus superior
atau nanah di meatus medius pada sinusitis maksila, sinusitis frontal
dan sinusitis etmoid anterior, sedangkan pada sinusitis etmoid
posterior dan sinusitis sfenoid tampak pus di meatus superior. Pada
rinoskopi posterior tampak pus di nasofaring (post nasal drip). Pada
pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap.
Tabel 1. Gejala mayor dan minor pada sinusitis akut. Diagnosis
ditegakkan dengan dua gejala mayor atau satu gejala minor
ditambah dengan dua gejala minor.
Gejala mayor dan minor pada sinusitis akut
Gejala Mayor Gejala Minor
a. Nyeri atau rasa tertekan pada a. Sakit kepala
b. Demam (pada sinusitis
muka
b. Kebas atau rasa penuh pada kronik)
c. Halitosis
muka
d. Kelelahan
c. Obstruksi hidung
e. Sakit gigi
d. Sekeret hidung purulen, post
f. Batuk
nasal drip g. Nyeri, rasa penuh, atau
e. Hiposmia atau anosmia
rasa tertekan pada telinga
f. Demam (hanya pada
rinosinusitis akut)
Pemeriksaan radiologik yang dibuat adalah posisi waters, PA dan
lateral. Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau
batas cairan udara (air fluid level) pada sinus yang sakit.
a. Sinusitis Maksilaris
Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila. Gejala sinusitis
maksilaris akut berupa demam, malaise dan nyeri kepala yang tak
jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasa seperti
aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada
gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga.
Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta
nyeri pada palpasi dan perkusi. Sekret mukopurulen dapat keluar dari
hidung dan terkadang berbau busuk.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya pus dalam hidung,
biasanya dari meatus media, atau pus atau sekret mukopurulen dalam
nasofaring. Sinus maksilaris terasa nyeri pada palpasi dan perkusi.
Transluminasi berkurang bila sinus penuh cairan. Pada pemeriksaan
radiologik foto polos posisi waters dan PA, gambaran sinusitis
maksilaris akut mula-mula berupa penebalan mukosa, selanjutnya
diikuti opasifikasi sinus lengkap akibat mukosa yang membengkak
hebat, atau akibat akumulasi cairan yang memenuhi sinus. Akhirnya
terbentuk gambaran air-fluid level yang khas akibat akumulasi pus.
b. Sinusitis Etmoidalis
Sinusitis etmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak,
seringkali bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Dari anamnesis
didapatkan nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus
medius, kadang-kadang nyeri di bola mata atau di belakangnya,
terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di pelipis, post nasal drip
dan sumbatan hidung. Pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan pada
pangkal hidung.
c. Sinusitis Frontalis
Nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan
memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda
hingga menjelang malam. Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi
terasa nyeri bila disentuh dan mungkin terdapat pembengkakan supra
orbita. Pemeriksaan fisik, nyeri yang hebat pada palpasi atau perkusi
di atas daerah sinus yang terinfeksi merupakan tanda patognomonik
pada sinusitis frontalis.
d. Sinusitis Sfenoidalis
Sinusitis sfenoidalis dicirikan oleh nyeri kepala yang mengarah ke
pansinusitis dan oleh karena itu gejalanya menjadi satu dengan gejala
2. Sinusitis Kronis
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis.
Selama eksaserbasi akut, gejala mirip dengan sinusitis akut; namun
diluar masa itu, gejala berupa suatu perasaan penuh pada wajah dan
hidung, dan hipersekresi yang seringkali mukopurulen. Kadang-
kadang hanya satu atau dua dari gejala-gejala dibawah ini yaitu sakit
kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok,
gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eustachius,
gangguan ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), bronkiektasi, dan
yang penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati.
Pada anak mukopus yang tertelan dapat menyebabkan
gastroenteritis. Hidung biasanya sedikit tersumbat, dan tentunya ada
gejala-gejala faktor predisposisi, seperti rinitis alergika yang menetap,
dan keluhan-keluhannya yang menonjol. Pasien dengan sinusitis
kronik dengan polip nasi lebih sering mengalami hiposmia dan lebih
sedikit mengeluhkan nyeri atau rasa tertekan daripada yang tidak
memiliki polip nasi. Bakteri yang memegang peranan penting dalam
patogenesis rinosinusitis kronik masih kontroversial. Organisme yang
umum terisolasi pada sinusitis kronik termasuk Staphylococcus
aureus, bakteri anaerob dan gram negatif seperti Pseudomonas
aeruginosa.
2.4.6. Tatalaksana
a. Sinusitis Akut
Antibiotik merupakan kunci dalam penatalaksanaan sinusitis
supuratif akut. Amoksisilin merupakan pilihan tepat untuk kuman
gram positif dan negatif. Vankomisin untuk kuman S. pneumoniae
yang resisten terhadap amoksisilin. Pilihan terapi lini pertama yang
lain adalah kombinasi eritromicin dan dulfonamide atau cephalexin
dan sulfonamide.
Antibiotik parenteral diberikan pada sinusitis yang telah
mengalami komplikasi seperti komplikasi orbita dan komplikasi
intrakranial, karena dapat menembus sawar darah otak. Ceftriakson
merupakan pilihan yang baik karena selain dapat membasmi semua
bakteri terkait penyebab sinusitis, kemampuan menembus sawar
darah otaknya juga baik.
Pada sinusitis yang disebabkan oleh bakteri anaerob dapat
digunakan metronidazole atau klindamisin. Klindamisin dapat
menembus cairan serebrospinal. Antihistamin hanya diberikan pada
sinusitis dengan predisposisi alergi. Analgetik dapat diberikan.
Kompres hangat dapat juga dilakukan untuk mengurangi nyeri.
Tindakan bedah sederhana pada sinusitis maksilaris kronik adalah
nasoantrostomi atau pembentukan fenestra nasoantral. Ekmoidektomi
dilakukan pada sinusitis etmoidalis. Frontoetmoidektomi eksternal
dilakukan pada sinusitis frontalis. Eksplorasi sfenoid dilakukan pada
sinusitis sfenoidalis. Pembedahan sinus endoskopik merupakan suatu
teknik yang memungkinkan visualisasi yang baik dan magnifikasi
anatomi hidung dan ostium sinus normal bagi ahli bedah, teknik ini
menjadi populer akhir-akhir ini.
Onset tiba-tiba dari 2 atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pile
Ke
Penghidu terganggu/ hilang Ed
2.3.1.
Pemeriksaan: Rinoskopi Anterior Pe
Foto Polos SPN/ Tomografi Komputer tidak direkomendasikan Pe
O
Pe
N
Be
Ta
2 atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek; sekret hidung Pikirkananteri
diag
Penghidu terganggu/ hilang Gejala unilat
Pemeriksaan: Rinoskopi Anterior Perdarahan
Foto Polos SPN/ Tomografi Komputer tidak direkomendasikan Krusta
Gangguan pe
Gejala Orbita
Edema Perior
Pendorongan
Penglihatan g
Oftalmoplegi
Nyeri kepala
2 atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung tersumbat atau pilek Tersedia
yangEndoskopi Pertimbangkan
tidak jernih; diagnosis
± nyeri bagian lain
frontal,
Bengkak dae
Gangguan Penghidu Gejala unilateral
Tanda menin
Pemeriksaan THT termasuk Endoskopi: Pertimbangkan Tomografi Komputer Perdarahan
Tes Alergi Krusta
Pertimbangkan diagnosis dan penatalaksanaan penyakit penyerta; misal Asma Kakosmia
Polip GejalaTidak
Orbita
ada polip Endosko
Edema Periorbita
Penglihatan ganda
Oftalmoplegi
Nyeri kepala bagian frontal Pemeriky
Ikuti skema polip hidungIkuti
Dokter
skema Edem
Spesialis frontal
Rinosinusitis
THT kronik Dokter Spesialis
Foto PoT
Tanda meningitis atau tanda Komput
Reevaluas
Steroid topikal Intranasal cuci hidung Gagal setelah 3 bulan Steroid topikal Perlu i
Cuci hidung
Kultur & resistensi Kuman P
Makrolid jangka panjang
Perbaikan
La
Perlu inve
Steroid topikal (spray) Steroid topikal tetes hidung Steroid oral jangka pendek
Steroid topikal
Perbaikan
B. Mukokel
Komplikasi Intrakranial
Komplikasi intrakranial sangat jarang, terjadi hanya satu
hingga 3 kali setiap tahunnya. Penggunaan antibiotik menurunkan
insiden komplikasi ini. Komplikasi dari intrakranial meliputi (1)
meningitis, (2) abses epidural, (3) abses subdural, (4) abses otak.
Pasien pada umumnya memiliki lebih dari satu komplikasi
intrakranial, seperti abses epidural/subdural terjadi bersamaan
dengan abses otak atau meningitis. Berikut ini frekuensi relatif
jumlah komplikasi intrakranial dari sinusitis.4
2.4.8. Prognosis
Sebanyak 98 % rinosinusitis viral akut akan sembuh sendiri (self
limiting), sementara rinosinusitis bakterialis memiliki angka insidens
kemambuhan sekitar 5 %. Jika setelah 48 jam pengobatan belum ada
perbaikan gejala secara bermakna, terapi perlu dievaluasi. Rinosinusitis
akut yang tidak ditangani secara adekuat dapat menajdi kronis dan
rinosinusitis kronik maupun akut berpotensi menimbulkan komplikasi
abses orbita, meningitis, abses otak, hingga tromboflebitis sinus
kavernosus.
BAB 3
ILUSTRASI KASUS
3.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesa pada tanggal 6 Desember 2014
di Poli THT-KL RSUD Kota Bekasi.
3.2.1. Keluhan Utama
OS mengeluh sakit kepala sejak 1 bulan yang lalu.
3.2.2. Keluhan Tambahan
Terdapat lendir yang tertelan ke tenggorokan
3.2.3. Riwayat Penyakit Sekarang
OS datang ke poli THT RSUD Bekasi dengan keluhan sakit kepala sejak
1 bulan yang lalu. Sakit kepala seperti tertusuk-tusuk. Terdapat rasa
nyeri di bagian dahi bila sujud. Terdapat keluhan adanya lendir yang
tertelan ke tenggorokan yang hilang timbul. Selain itu, OS mengeluh
suka bersin-bersin hampir setiap hari pada pagi hari dan bila terpapar
udara dingin dan debu. Terdapat gatal pada hidung.
Tidak ada keluhan mual dan muntah. Tidak terdapat keluhan nyeri
telinga.
Tidak terdapat hipertensi, diabetes mellitus, dan asma.
3.2.4. Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak terdapat keluhan seperti ini sebelumnya.
3.2.5. Riwayat Penyakit Keluarga
OS tidak mengetahui anggota keluarga ada yang mengalami keluhan
yang sama seperti ini. Tidak terdapat riwayat asma, hipertensi, dan
diabetes mellitus.
3.2.6. Riwayat Kebiasaan
OS bekerja sebagai akuntan di ruangan ber-AC sehingga mengeluhkan
hidung tersumbat dan bersin-bersin.
3.2.7. Riwayat Pengobatan
OS sudah berobat untuk mengatasi keluhannya pada 1 minggu yang lalu
namun hanya keluhan bersin-bersin yang sedikit berkurang.
KANAN KIRI
Telinga Luar
Daun telinga Normotia Normotia
Retroaurikuler Tidak hiperemis Tidak hiperemis
Tidak ada abses Tidak ada abses
Tidak ada nyeri tekan Tidak ada nyeri tekan
Tidak ada fistel Tidak ada fistel
Liang Telinga
Lapang + +
Hiperemis - -
Sekret - -
Serumen - -
Membran timpani Intak Intak
Refleks cahaya + +
Pemeriksaan Fungsi Pendegaran
Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Swabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan
b. Pemeriksaan Hidung
KANAN KIRI
Pemeriksaan Luar
Deformitas - -
Nyeri tekan
Dahi - -
Pipi - -
Krepitasi - -
Rhinoskopi Anterior
Cavum nasi Lapang Lapang
Konka inferior Hipertrofi Hipertrofi
Konka media Tidak tampak Tidak tampak
Konka superior Tidak tampak Tidak tampak
Mukosa Edema, pucat Edema, pucat
Septum Tidak ada deviasi Tidak ada deviasi
Sekret - -
Rhinokopi Posterior Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Gigi
Gigi berlubang -
Lidah
Warna Merah muda
Bentuk Normoglossia
Deviasi Tidak ada
Tremor Tidak ada
Arkus faring + uvula
Simetris / tidak Arkus faring simetris, uvula ditengah
Warna Tidak ada hiperemis
Bercak eksudat Tidak ada
Peritonsil
Kanan Kiri
Warna Tidak hiperemis Tidak hiperemis
Edema Tidak ada Tidak ada
Abses Tidak ada Tidak ada
Tonsil
Ukuran T1 T1
Warna Tidak hiperemis Tidak hiperemis
Permukaan Rata Rata
Kripta Normal Normal
Post nasal-drip +
Dinding faring posterior
Warna Tidak hipermis
Warna jaringan Tidak ada
granulasi
Permukaan Licin
3.4. Resume
Pasien seorang wanita, 29 tahun, datang ke poli THT RSUD Bekasi dengan
keluhan sakit kepala sejak 1 bulan yang lalu seperti tertusuk-tusuk. Terdapat nyeri
di bagian wajah saat menunduk, ingus yang tertelan ke tenggorokan. Selain itu,
terdapat keluhan bersin-bersin pada pagi hari dan hidung tersumbat bila terpapar
dingin dan debu. Terdapat rasa gatal pada hidung.
Pada pemeriksaan fisik status generalis ditemukan dalam batas normal.
Pada pemeriksaan fisik status lokalis THT didapatkan telinga dan tenggorokan
dalam batas normal. Pemeriksaan hidung didapatkan konka hipertrofi dan
berwarna pucat. Terdapat post nasal drip.
3.8. Penatalaksanaan
Medikamentosa
- Antibiotik
- Steroid nasal topikal
Non medikamentosa
- Eliminasi alergen
3.9. Prognosis
Ad vitam : Bonam
Ad visam : Dubia ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
BAB 4
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, Ny. NA umur 29 tahun mengalami sinusitis maksilaris bilateral ec
rinitis alergi. Hal ini didasarkan atas hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan. Pasien Ny. NA didiagnosis sinusitis
didasarkan atas keluhannya yaitu nyeri kepala sejak 1 minggu yang lalu seperti
tertusuk. Selain itu, adanya keluhan ingus yang tertelan ke tenggorokan, hidung
tersumbat, dan nyeri di wajah saat pasien menunduk. Oleh sebab itu, bila dilihat dalam
kriteria diagnosis sinusitis seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pasien Ny. NA
telah memenuhi kriteria untuk dapat terdiagnosis sinusitis. Diagnosis diperkuat pada
pemeriksaan fisik hidung didapatkan konka hipertrofi dan berwarna pucat. Dan juga
terdapat post nasal drip (PND). Hal ini juga diperkuat dengan pemeriksaan penunjang
yang menunjukkan bahwa terdapat perselubungan pada mukosa sinus maksilaris
bilateral. Sinusitis yang dialami oleh Ny. NA bersifat akut karena secara klinis keluhan
dirasakan < 12 minggu.
Gambar 13 . Hasil foto rontgen SPN Ny. NA
Rinitis alergi merupakan salah satu etiologi rinogen yang dapat menyebabkan
sinusitis. Rinitis alergi merupakan inflamasi mukosa hidung yang dipicu oleh reaksi
hipersensitivitas tipe I setelah terpapar dengan alergen. Adapun gejala yang mendukung
diagnosis rinitis alergi terdiri dari 2 atau lebih gejala > 1 jam hampir setiap hari
diantaranya adalah rinorea berair, bersin paroksismal, obstruksi nasal, hidung gatal, dan
konjungtivitis (mata berair, gatal tau bengkak).
Pada kasus ini, Ny. NA mengeluhkan adanya bersin – bersin hampir setiap hari,
hidung gatal, dan hidung tersumbat. Keluhan ini dirasakan setelah terpapar udara dingin
dan debu. Lalu pada pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan bahwa konka hipertrofi
dan berwarna pucat (livid). Oleh sebab itu, berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik, dapat ditegakkan diagnosis bahwa Ny. NA mengalami rinitis alergi.
Rinitis alergi terjadi dengan melibatkan antibodi reaginik, basofil, sel mast, dan
pelepasa zat mediator seprti histamin, prostaglandin, dan leukotrien, sehingga dapat
menyebabkan perdangan pada mukosa hidung yang menyebabkan edema. Saat terjadi
edema mukosa di dalam KOM akan mempengaruhi mucocilliary clearance sinus-sinus
paranasal. Saat silia tidak dapat bergerak disebabkan mukosa edema akan
mengakibatkan terjadinya tekanan negatif di dalam rongga sinus sehingga terjadi
transudasi, mula-mula serous. Bila kondisi menetap, sekret yang terkumpul di dalam
sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret dapat
menjadi purulen. Itulah proses rinitis alergi dapat menyebabkan rinosinusitis.
Lalu, prognosis pasien ini quo ad vitamnya adalah ad bonam karena . sedangkan
quo ad fuctionam adalah dubia ad bonam sebab . dan quo ad sanationamnya adalah
dubia ad bonam sebab keluhan ini dapat berulang lagi bila pasien tidak memiliki
kepatuhan dalam proses terapi.
DAFTAR PUSTAKA