Anda di halaman 1dari 24

RESPONSI

TONSILOFARINGITIS KRONIS

Pembimbing :
dr. I Dewa Gede Arta Eka Putra, Sp. THT-KL (K), FICS
Disusun oleh :
1. Pande Made Doddy Haryadi (1302006008)
2. Tjokorda Istri Agung Sintya Dewi (1302006238)

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT THT-KL
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2017

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkah dan rahmat-Nyalah pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan
responsi ini yang mengangkat kasus “Tonsilofaringitis Kronis” tepat pada
waktunya. Laporan PBL ini disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik
Madya (KKM) di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Telinga-Hidung-Tenggorok dan
Kepala-Leher (THT-KL) FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
Dalam penyusunan dan penulisan laporan PBL ini, penulis banyak
mendapatkan bimbingan dan bantuan, baik berupa informasi maupun bimbingan
moral. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih
kepada :
1. dr. Eka Putra Setiawan, Sp.THT-KL (K) selaku kepala Bagian/SMF Ilmu
Penyakit THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
2. dr. I Ketut Suanda, Sp.THT-KL selaku koordinator pendidikan di Bagian/SMF
Ilmu Penyakit THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
3. dr. I Dewa Gede Arta Eka Putra, Sp.THT-KL (K) selaku pembimbing PBL di
Bagian/SMF Ilmu Penyakit THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
4. Dokter-dokter spesialis THT-KL di Bagian/SMF THT-KL FK UNUD/RSUP
Sanglah Denpasar.
5. Rekan-rekan sejawat (Dokter Residen dan Dokter Muda) di Bagian/SMF Ilmu
Penyakit THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
6. Semua pihak lain yang telah membantu dalam penyusunan laporan PBL ini.

Penulis menyadari bahwa laporan PBL ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak
sangat diharapkan dalam rangka penyempurnaan laporan ini. Penulis
mengharapkan semoga laporan ini dapat memberikan manfaat di bidang ilmu
pengetahuan kedokteran.

Denpasar, Juni 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL..................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
BAB 1. PENDAHULUAN ........................................................................ 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 2
2.1. Definisi .................................................................................... 2
2.2. Anatomi..................................................................................... 2
2.3. Fisiologi.................................................................................... 4
2.4. Etiologi...................................................................................... 6
2.5. Patologi .................................................................................... 9
2.6. Manifestasi Klinis .................................................................... 10
2.7. Diagnosis .................................................................................. 11
2.8. Komplikasi ............................................................................... 11
2.9. Terapi........................................................................................ 12
BAB 3. LAPORAN KASUS ...................................................................... 13
BAB 4. PEMBAHASAN............................................................................. 20
BAB 5. PENUTUP....................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 23

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Tonsilofaringitis kronis merupakan suatu infeksi pada tonsil dan faring yang
terjadi berulang, berlangsung lama, serta memiliki manifestasi klinis adanya
eritema, eksudat, ulserasi dan membrane. Penyakit ini sering terjadi pada orang
dewasa dan anak-anak, serta banyak ditemukan di instalasi gawat darurat.1-4

Kesehatan tenggorok masih menjadi masalah di Indonesia. Kurangnya


pengetahuan dan perilaku hidup sehat menjadi salah satu faktor timbulnya
penyakit tenggorok terutama faringitis dan tonsillitis. Faringitis merupakan satu
dari penyakit yang paling banyak terjadi di dunia. Berdasarkan epidemiologi
penyakit THT di 7 provinsi di Indonesia pada tahun 1994-1996, prevalensi
tonsillitis kronis 4,6% tertinggi setelah nasofaringitis akut (3,8%). Streptokokus
beta-hemolitikus grup 1 menjadi penyebab terbanyak kasus tonsilofaringitis pada
anak-anak sebesar 20-37%. Faktor predisposisi timbulnya faringitis dan tonsilitis
kronik ialah rangsangan menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higene
mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsillitis akut
yang tidak adekuat. Penyakit ini telah didiagnosis sebanyak 11 juta pasien setiap
tahun di bagian gawat darurat, lebih dari 140 kunjungan ke dokter, sebanyak 98
antibiotik telah diresepkan per 1000 anak-anak di amerika selama kurun waktu 15
tahun terakhir. Anak-anak yang rentan terkena infeksi faringitis adalah anak-anak
dengan usia 5 sampai 15 tahun dan umur 15-25 tahun pada dewasa muda.3,5,6

Etiologi tonsilofaringitis adalah Streptokokus beta-hemolitikus grup A,


adenovirus, Haemophilus influenzae, Haemophilus parainfluenzae, Epstein-Barr
virus dan enterovirus. 3,6

Infeksi pada faring, yang dilayani oleh jaringan limfoid dari cincin
Waldeyer ini dapat menyebar ke bagian lain dari cincin, seperti, nasofaring, uvula,
soft palatum, tonsil, dan kelenjar getah bening pada leher, sehingga dapat
menyebabkan faringitis, tonsilitis, tonsilofaringitis, atau nasopharyngitis. Penyakit
yang terjadi bias akut, sub-akut, kronik, maupun rekuren.1,4

0
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tonsilofaringitis adalah adanya peningkatan eksudat atau ulserasi dan


kemerahan di faring atau tonsil atau keduanya atau membran yang melindungi
tonsil. Tonsilofaringitis kronis merupakan tonsillitis kronis dan faringitis kronis
yang ditemukan bersama-sama. Berdasarkan lokasinya, infeksi ini dapat disebut
sebagai, tonsillitis, faringitis, tonsilofaringitis atau nasofaringitis.5

2.2 Anatomi

2.2.1 Faring

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti


corong,pada bagian atas berbentuk besar dan sempit pada bagian bawah.
Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus
setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga
hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui
ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui
aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang
dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini
merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk
oleh (dari dalam keluar) selaput lender, fasia faringobasiler, pembungkus
otot dan sebagain fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas 3 bagian yaitu
nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring).6

Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada


nasofaring karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya
bersilia, sedang epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet.
Dibagian bawahnya yaitu orofaring dan laringofaring karena fungsinya
untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia.
Disepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid di dalam
rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial oleh

1
karena itu faring dapat disebut juga sebagai daerah pertahanan tubuh
terdepan.6

Otot-otot faring terdiri atas lapisan melingkar (sirkular) dan


memanjang (longitudinal). Otot-otot sirkular terdiri atas muskulus
konstriktor faring superior, media dan inferior. Otot-otot ini terletak di
sebelah luar. Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen dan otot-otot
ini dipersarafi oleh nervus vagus (n.X). otot-otot longitudinal dari faring
terdiri dari muskulus stilofaring dan muskulus palatofaring. Letak otot-otot
ini disebelah dalam. Kerja muskulus stilofaring untuk melebarkan faring
dan menarik laring, sedangkan kerja muskulus palatofaring untuk
mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan
laring. Kedua otot ini berkeja sebagai elevator pada saat proses menelan.
Muskulus stilofaring dipersarafi oleh nervus glosofaring (n.IX) sedangkan
muskulus palatofaring dipersarafi oleh nervus vagus (n.X).6

Faring mendapatkan darah melalui arteri karotis eksterna (cabang


faring asendens dan cabang fausial) serta dari cabang arteri maksila interna
yakni cabang palatina superior. Persarafan motorik dan sensorik daerah
faring berasal dari fleksus faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh
cabang faring dari n.vagus, cabang dari n.glosofaring dan serabut simpatis.
Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik.6

2.2.2 Tonsil

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang
oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu
tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran
yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina yang biasa disebut tonsil saja
terletak di fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah
intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah
tonsil melekat pada dasar lidah. Permukaan medial tonsil memiliki bentuk
yang beraneka ragam dan terdapat celah yang disebut kriptus. Epitel yang
melapisi tonsil adalah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Didalam
kriptus biasa ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan

2
sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fisia faring yang juga
sering disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada tonsil
sehingga bias dilakukan tonsilektomi.6

Tonsil mendapatkan perdarahan dari arteri palatina minor, arteri


palatina asendens, cabang tonsil arteri maksila eksterna, arteri faring
asendens dan arteri lingualis dorsalis. Tonsil lingual terletak didasar lidah
dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah,
disebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut
yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang
menunjukan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinis merupakan
tempat penting bila ada massa tiroid lingual atau kista duktus tiroglosus.6

2.3 Fisiologi

2.3.1 Fisiologi faring

Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu


menelan, resonansi suara dan untuk artikulasi.6 Fisiologi menelan dibagi
menjadi empat fase: fase preoral, fase oral, fase faring, dan fase esofagus.
Dua fase pertama dapat dikontrol secara volunter atau secara sadar. Dua fase
terakhir terkontrol secara involunter, sehingga dua fase ini dikendalikan
melalui mekanisme refleks. Proses menelan dikoordinasikan oleh inti dari
saraf kranial dan pusat menelan terletak di formasi reticular dari batang
otak.7

Fase faringeal merupakan fase involunter. Fase ini dikoordinasikan


oleh pusat menelan medula dalam formasi reticular. Fase faringeal adalah
hasil dari koordinasi aktivitas motorik yang dirangsang oleh cabang
mandibula dari saraf trigeminal, saraf wajah, nervus glossopharyngeal,
nervus vagus, dan saraf hypoglossal. Fase faringeal berlangsung sekitar 1
detik atau kurang. Saat lidah mendorong makanan ke arah posterior, tulang
hyoid ditarik ke arah anterior oleh otot geniohyoid dan ke atas oleh otot
milohioid, stylohyoid, dan digastrikus. Proses ini menarik laring ke atas dan
ke belakang, sementara lidah bergerak mundur, mendorong epiglotis ke

3
posterior menjadi posisi horizontal dari inlet laring. Pada saat yang sama,
sfingter laring, yang terdiri dari lipatan aryepiglottic, pita suara palsu, dan
pita suara asliadduksi membuat pernapasan berhenti, sehingga melindungi
saluran napas bagian bawah. Sementara itu, soft palatum bergerak melawan
dinding faring posterior untuk menutup port nasofaring. bolus tersebut
kemudian dihancurkan di faring oleh gabungan dari efek gravitasi dan
kontraksi berurutan dari constrictors faring. Setelah itu bolus di bagi
disekitar epligotis, digabungkan, dan melewati otot cricopharyngeus yang
berelaksasi. Fase faringeal pada proses menelan tergantung pada integritas
dari sistem saraf pusat. Koordinasi fase oral dan fase faring pada proses
menelan sangat penting untuk mencegah aspirasi. Selain memicu refleks
menelan, ruang laringofaring memunculkan refleks batuk dan penutupan
laring. Refleks batuk ini dipicu oleh beberapa vagally mediated reseptor
yang mendeteksi adanya rangsangan yang berpotensi merusak.7

Gambar
2.1
Anatomi Faring dan Tonsil

4
2.3.2 Fisiologi Tonsil (CincinWaldeyer)

Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan


mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai organ produksi
antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik. Tonsil
merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang terletak pada
kedua sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil membantu
mencegah terjadinya infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk
memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan
sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi
untuk melawan infeksi. Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda
asing dan patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Jika tonsil tidak
mampu melindungi tubuh, maka akan timbul inflamasi dan akhirnya terjadi
infeksi yaitu tonsillitis (tonsillolith). Aktivitas imunologi terbesar tonsil
ditemukan pada usia 3– 10 tahun.2

Tonsil dibagi menjadi 3 macam yaitu tonsil faring, tonsil palatina


dan tonsil lingual yang membentuk cincin Waldeyer. Tonsil faring terletak di
selaput lendir yang melapisi bagian atas dan posterior dinding nasofaring.
Hal ini biasanya disebut sebagai tonsil nasofaring, atau adenoid ketika
meradang.8Tonsila palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di
fossa tonsilaris dikedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian
dari cincin Waldeyer. Tonsila palatina lebih padat dibandingkan jaringan
limfoid lain. Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul tipis dan di
permukaan medial terdapat kripta. Tonsila palatina merupakan jaringan
limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terutama
terhadap protein asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk ke
saluran nafas. Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau non
spesifik. Apabila patogen menembus lapisan epitel maka sel – sel fagositik
mononuklear pertama – tama akan mengenal dan mengeliminasi antigen.2

2.4 Etiologi

Bakteri streptococcus beta-hemotilikus grup A, adenovirus, Haemophilus


influenzae, Haemophilus parainfluenzae, Epstein-Barr virus dan enterovirus

5
merupakan patogen yang paling banyak menyebabkan tonsilofaringitis kronis.
Faktor resiko dari infeksi memiliki hubungan dengan beberapa variable seperti
kondisi lingkungan (paparan pathogen, beberapa jenis makanan, higenitas mulut,
musim, lokasi geografis) , variabel individu (umur, resistensi tubuh, imunitas) dan
pengobatan tonsilofaringitis yang tidak adekuat. Tonsilofaringitis berkaitan
dengan satu atau lebih interaksi antara streptokokus beta-hemolitikus grup A
dengan bakteri aerobik, bakteri anaerobik dan virus. Beberapa infeksi mungkin
terjadi secara sinergis contohnya antara Epstein-Barr virus dengan bakteri
anaerobik.1,5

Bakteri Aerobik

Penyebab paling banyak terjadinya kasus tonsilofaringitis adalah


Streptococcus beta-hemotilikus grup A karena infeksi oleh bakteri ini dapat
menyebabkan komplikasi supuratif yang serius dan gejala sisa dari komplikasi
non-supuratif.1 Kasus infeksi akibat bakteri ini merupakan kasus infeksi endemik,
puncaknya terjadi pada akhir musim dingin dan awal musim semi, jarang terjadi
pada anak dibawah usia 2 tahun, dan umumnya terjadi pada anak-anak usia5-11
tahun. Tetapi, orang dengan segala usia rentan terkena infeksi bakteri ini.
Organisme selain Streptococcus beta-hemotilikus grup A lebih sering ditemukan
pada orang dewasa dari pada anak-anak yang mengidap tonsilofaringitis. Tempat
yang ramai merupakan faktor risiko untuk transmisi dari organisme yang dapat
menyebabkan tonsilofaringitis. Infeksi Streptococcus beta-hemotilikus grup A
dapat menyebabkan komplikasi supuratif dan non-supuratif. Komplikasi supuratif
yang dapat terjadi adalah abses peritonsilar, selulitis retofaringeal, adenitis
servikal, otitis media, mastoiditis, sinusitis dan bacteremia. Non-supuratif
komplikasi yang dapat terjadi berupa demam rematik akut, glomerulonefitis akut,
scarlet fever, Syok sindrom akibat bateri sterptokokus yang memiliki racun.5

Streptococcus pneumonia biasa menyebabkan tonsilofaringitis dan juga


dapat menyebar ke lokasi lain,Corynebacterium diphtheria dapat menghasilkan
eksotoksin mematikan yang diserap dari tempat infeksi dan dibawa ke organ lain,
seperti tenggorokan, palatum,dan laring. Infeksi bakteri ini menghasilkan eksudat
dengan membran yang tebal dan berwarna abu-abu kehijauan yang mungkin sulit

6
untuk dikeluarkan dan akan meninggalkan permukaan berdarah ketika
dihilangkan. Infeksi Arcanobacterium hemolyticum biasanya mempengaruhi
kelompok usia 15-18 tahun dan menyumbang 2.5-10% dari semua kasus
tonsilofaringitis. Setengah dari pasien yang terinfeksi bakteri ini memiliki
scarlatiniform rash.1,5

Infeksi Neisseria gonorrhoeae lebih umum terjadi pada laki-laki yang


homoseksual dan bias ditemukan pada kasus faringitis yang terjadi pada saat
remaja. Hal ini dapat mengakibatkan bakteremia dan bakteri dapat bertahan
meskipun setelah diberi pengobatan. Neisseria meningitidis dapat menyebabkan
tonsilofaringitis simptomatis atau asimptomatis yang dapat menjadi prodrome
untuk septikemia atau meningitis. Staphylococcus aureus dapat menghasilkan
betalactamase yang dapat mengganggu eradikasi dariStreptococcus beta-
hemotilikus grup A. Nontypable H. influenzae dan H. parainfluenzae dapat
menyebabkan penyakit yang invasif pada bayi dan orang tua, seperti epiglottitis
akut, otitis media, dan sinusitis. Konsentrasi jaringan yang tinggi dariH.
influenzae, Staphlococcus aureus dan Streptococcus beta-hemotilikus grup A
berkorelasi dengan parameter klinis dari infeksi berulang dan hiperplasia pada
tonsil. Dalam kasus yang jarang terjadi, faringotonsilits dapat disebabkan oleh
Francisella tularensis, Treponema pallidum, Mycobacterium spp, atau
Toxoplasma gondii.1,5

Bakteri Anaerob

Actinomyces, Fusobacterium, dan bakteri basilgram negatif


(contohnyapigmented Prevotella dan Porphyromonas spp., Dan Bacteroides spp.)
adalag bakteri anaerob yang dapat menyebakan tonsilofaringitis. Peran bakteri
anaerob didukung oleh dominasi bakteri ini pada abses tonsil atau abses
retropharyngeal dan Vincent’s angina (Fusobacterium spp. Dan spirochetes).1

Mycoplasma, Virus dan Klamidia

Mycoplasma pneumoniae dan Mycoplasma hominis juga dapat


menyebabkan tonsilofaringitis, biasanya sebagai manifestasi dari infeksi umum.
Prevalensi infeksi Mycoplasma meningkat seiring dengan usia.Virus yang dapat

7
menyebabkan tonsilofaringitis antara lain, adenovirus (bersamaan konjungtivitis),
virus coxsackie, virusparainfluenza, enterovirus, herpes simpleks, virus Epstein-
Barr, respiratoy syncytial virus, virus rubella, dan sitomegalovirus. Chlamydia
pneumoniaepada tonsilofaringitis sering muncul bersamaan dengan pneumonia
atau bronkitis.1

2.5 Patologi
Melalui saluran napas bagian atas bakteri atau virus masuk ke dalam tubuh
yang menyebabkan infeksi pada hidung atau faring kemudian menyebar melalui
sistem limfa menuju ke tonsil. Terjadi suatu proses inflamasi dan infeksi akibat
adanya bakteri atau virus patogen pada tonsil sehingga tonsil membesar dan dapat
menghambat keluar masuknya udara. Terdapat keluhan sakit tenggorokan, nyeri
telan, demam tinggi, bau mulut serta sakit telinga (otalgia) akibat adanya infeksi
yang ditandai dengan kemerahan dan edema pada faring serta ditemukannya
eksudat berwarna putih keabuan pada tonsil. Bakteri maupun virus dapat secara
langsung menginvasi mukosa faring yang kemudian menyebabkan respon
peradangan local. Rhinovirus menyebabkan iritasi mukosa faring sekunder akibat
sekresi nasal. Sebagian besar peradangan melibatkan nasofaring, uvula, dan
palatum mole. Perjalanan penyakitnya adalah terjadi inokulasi dari agen infeksius
di faring yang menyebabkan peradangan lokal, sehingga menyebabkan eritema
faring, tonsil, dan keduanya.9 Proses radang berulang pada daerah yang mengenai
tonsil yang timbul maka epitel mukosa juga jaringan limpoid terkikis, sehingga
pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan
mengalami pengerutan sehingga kripte melebar. Secara klinik kripte ini tampak
diisi detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya
menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fosa tonsilaris. Selain tonsil,
faring juga mengalami perubahan yang disebabkan proses radang yang berulang
dimana terjadi perubahan mukosa dinding faring akan tampak tidak rata dan
bergranular.10 Faktor-faktor yang menyebabkan kronisitas antara lain: terapi
antibiotika yang tidak tepat dan adekuat, gizi atau daya tahan tubuh yang rendah
sehingga terapi medikamentosa kurang optimal, dan jenis kuman yang tidak sama
antara permukaan tonsil dan jaringan tonsil.2

8
2.6 Manifestasi Klinis
Pasien akan mengeluh perasaan mengganjal di tenggorokan, terasa kering
dan pernapasan berbau, sakit tenggorokan dan sakit menelan yang berulang
hingga malaise dan demam. Pada pemeriksaan akan terlihat pada pemeriksaan
faring bisa terdapat mukosa tidak rata, bergranular, sampai atrofidimana
membrane tipis, keputihan, berkerut. Sedangkan pada pemeriksaan tonsil,
terdapat dua macam gambaran tonsil yang dapat dijumpai, yaitu:11

1. Pembesaran tonsil
Hipertrofi dan perlengketan tonsil ke jaringan sekitar menyebabkan ukuran
tonsil membesar yang disertai dengan kripte yang melebar dan ditutupi oleh
eksudat yang purulen atau seperti keju.
2. Tonsil kecil
Ukuran tonsil menjadi lebih kecil karena tonsil mengeriput, kadang-kadang
seperti terpendam di dalam tonsillar bed dengan tepi yang hiperemis, kripte
yang melebar dan ditutupi eksudat yang purulen.Berdasarkan rasio
perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara kedua
pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil,
maka derajat pembesaran tonsil terbagi menjadi:
T0: Tonsil masuk di dalam fossa atau sudahdiangkat
T1: < 25 % volume tonsil dibandingkan denganvolumenasofaring
T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan denganvolumenasofaring
T3: 50-75% volume tonsil dibandingkan denganvolumenasofaring
T4: >75% volume tonsil dibandingkan dengan volumenasofaring

9
Gambar 2.2 Stadium Pembesaran Tonsil
2.7 Diagnosis
Diagnosis tonsilofaringitis kronis ditegakkan dengan anamnesis yang
dikeluhkan pasien seperti ada perasaan yang mengganjal di tenggorokan, terasa
kering dan pernapasan berbau, sakit tenggorokan dan sakit menelan yang berulang
serta dilakukan pemeriksaan THT untuk melihat tanda tonsilofaringitis kronis
terutama pemeriksaan tenggorok.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat
diagnosis tonsilofaringitis kronis dapat dilakukan kultur dan uji resistensi kuman
dari sediaan hapusan tonsil (swab). Biakan kuman yang sering didapatkan pada
hapusan tonsil adalah kuman dengan derajat keganasan yang rendah, seperti
Streptokokus β hemolitikus, Streptokokus viridans, Stafilokokus, Pneumokokus.12

2.8 Komplikasi

Radang kronik ini dapat menimbulkan komplikasi dekat (sekitar tonsil) dan
komplikasi jauh. Komplikasi jauh terjadi akibat penyebaran secara
hematogen/limfogen. Adapun pembagian komplikasi tonsilitis kronik sebagai
berikut:13
1. Komplikasi dekat
a. Peritonsilitis
Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus
dan abses.

b. Abses Peritonsilar(Quinsy)

10
Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil.

c. KristaTonsil
Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan
fibrosa dan ini menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil berwarna
putih atau berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel.

d. Tonsilolith (kalkulus daritonsil)


Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan
tonsil membentuk bahan keras seperti kapur.
e. Sinusitis
f. Rinitiskronik
g. Otitis medi
2. Komplikasi jauh
a. Demam rematik dan penyakit jantungr ematik
b. Glomerulonefritis, Artritis dan fibrositis
c. Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
d. Psoriasis, eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura

2.9 Terapi

Pengobatan tonsilofaringitis kronis meliputi medikamentosa. Untuk


Tonsilofaringitis kronik atau berulang, lincomycin, clindamycin dan amoxicillin-
clavunalate dianggap sebagai alternatif yang baik pengganti penisilin.
Clindamycin dan kombinasi dari penisilin dan asam clavunalic (inhibitor beta
laktamase) aktif melawan Group C Beta Hemolytic Streptococcus, dan dapat
menghilangkan infeksi dengan baik. Pilihan lain untuk kasus kronik adalah
kombinasi rifampin ditambah penicilin atau erythromysin ditambah dengan
metronidazole. Rujukan untuk dilakukan pembedahan tonsilektomi akan diberikan
bila memenuhi indikasi tindakan ataupun penggunaan medikamentosa yang tidak
kunjung membaik.1,11

11
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : KDK
Umur : 5 tahun
Jenis Kelamin : Laki – laki
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Hindu
Suku Bangsa : Indonesia
Status Pernikahan : Belum menikah
Pendidikan : TK
Alamat : Banjar Takmung Lawan, Kabupaten Klungkung
No. RM : 189139
Tanggal Pemeriksaan : 2 Juni 2017, pukul 08.30 WITA

3.2. Anamnesis
Keluhan Utama : Demam
Riwayat Penyakit Sekarang
Anamnesis
Pasien datang dalam keadaan sadar ke poli THT RSUD Klungkung
diantar oleh kedua orangtuanya. Ayahnya mengatakan bahwa anaknya
mengalami demam sejak hari Selasa yang lalu (30/5). Pada saat itu suhu
tubuh pasien adalah 37.8oC. Pasien sempat dibawa berobat ke bidan dan
diberikan 3 macam obat diantaranya parasetamol untuk penurun panas, obat
berwarna tablet hijau yang dikatakan untuk maag, dan obat tablet berwarna
putih (lupa). Keluhan demam menetap hingga hari Rabu (31/5), sehingga
pasien diantar untuk dibawa ke puskesmas untuk diperiksa, Ayah pasien
mengaku pada saat itu petugas kesehatan dipuskesmas hanya menyarankan
untuk melanjutkan pengobatan terlebih dahulu. Hari Kamis (1/6) suhu tubuh
KDK tetap dirasakan tinggi sehingga dibawa kembali ke puskesmas dan
pengobatan dilanjutkan sampai hari Jumat (2/6) kemudian dirujuk ke RSUD
Klungkung.
Ketika KDK dan orangtuanya datang ke poli THT, ayahnya
mengatakan keluhan demam menetap disertai rasa tidak enak pada
tenggorokan dan nyeri saat menelan. Keluhan tersebut tidak disertai batuk
dan pilek.

12
Riwayat Pengobatan
Terkait dengan keluhan pasien, ayah pasien mengatakan bahwa
sebelumnya pasien telah mendapatkan parasetamol untuk penurun panas,
obat tablet berwana hijau untuk sakit maag, dan obat tablet berwarna putih
yang tidak tahu (lupa) kegunaannya.

Riwayat Penyakit Terdahulu


Ayah pasien mengatakan bahwa pasien memiliki riwayat penyakit
amandel yang membesar sejak 2 tahun yang lalu. Riwayat pasien
mendengkur di sangkal oleh oranguta pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan yang sama seperti
yang dialami pasien saat ini. Tidak ada anggota keluarga yang menderita
demam, batuk, pilek, serta sakit saat menelan. Riwayat penyakit sistemik
dalam keluarga seperti hipertensi, diabetes, tumor, asma, dan penyakit
lainnya disangkal oleh keluarga.

Riwayat Sosial
Pasien adalah seorang pelajar yang masih berada pada tingkat
pendidikan TK. Pasien mengatakan sering jajan makanan ringan di sekitar
sekolah dan sering makan makanan dingin seperti es. Pasien juga sangat
senang mengkonsumsi mie instan. Pasien juga mengaku tidak rutin untuk
cuci tangan sebelum makan.

3.3. Pemeriksaan Fisik


Status Present
Keadaan umum : Nyeri sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 104 x/menit
Respirasi : 25 x/menit
Temperatur : 38°C
Berat badan : 20 kg
Tinggi badan : 115 cm
BMI :-

13
Status General
Kepala : Normocephali
Muka : Simetris, parese nervus fasialis -/
Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor
Leher : Kaku kuduk (-)
Pembesaran kelenjar limfe +/+
Pembesaran kelenjar parotis -/-
Kelenjar tiroid (-)
Thorak : Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (–)
Pulmo : Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen : Distensi (-), BU (+) N, hepar/lien tidak teraba
Ekstremitas : Edema -/-, akral hangat +/+

Status Lokalis THT


Telinga

Kanan Kiri

Perforasi -/-
Discharge -/-

Telinga Kanan Kiri


Daun telinga Normal Normal
Nyeri Tekan Tragus Tidak ada Tidak ada
Nyeri Tarik Aurikuler Tidak ada Tidak ada
Liang Telinga Lapang Lapang
Discharge Tidak ada Tidak ada
Membran Timpani Intak Intak

14
Tumor Tidak ada Tidak ada
Mastoid Normal Normal
Tes Berbisik Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi

Tes Garpu Tala


Tidak ada indikasi

Hidung

Anterior

Kanan Kiri

Normal

Hidung Kanan Kiri


Hidung Luar Normal Normal
Kavum Nasi Lapang Lapang
Septum Tidak ada deviasi
Discharge Tidak ada Tidak ada
Mukosa Merah muda Merah muda
Tumor Tidak ada Tidak ada
Konka Dekongesti Dekongesti
Sinus Tidak dievaluasi
Koana Tidak dievaluasi

Tenggorok

Jaringan
Granulasi

Tonsil
Tonsil
Kiri
Kanan
15
Tenggorok
Mukosa faring Hiperemi (+)
Tonsil T3/T3 hiperemis, kripte melebar dan terdapat
detritus, abses peritonsilar (-/-)
Dinding belakang faring Granulasi (+), post nasal drip (-)
Dispneu Tidak ada
Sianosis Tidak ada
Suara Normal
Stridor Tidak ada

3.4. Resume
Pasien datang dalam keadaan sadar ke poli THT RSUD Klungkung
pada tanggal 2 Juni diantar oleh kedua orangtuanya. Heteroanamnesis
dengan ayah pasien didapatkan bahwa anaknya mengalami demam sejak 4
hari yang lalu. Pada saat itu suhu tubuh pasien adalah 37.8 oC. Pasien sempat
dibawa berobat ke bidan dan diberikan 3 macam obat diantaranya
parasetamol untuk penurun panas, obat berwarna hijau yang dikatakan
untuk maag, dan obat berwarna putih (lupa). Keluhan demam menetap pada
3 hari yang lalu, sehingga pasien dibawa ke puskesmas dan melanjutkan
pengobatan yang diberikan bidan sampai 1 hari yang lalu kemudian dirujuk
ke RSUD Klungkung pada hari ini. Keluhan demam menetap disertai nyeri
saat menelan. Selain demam KDK juga pernah sempat mengeluh sakit
kepala yang hilang timbul. Ayah pasien mengatakan bahwa pasien memiliki
riwayat penyakit amandel yang membesar sejak 2 tahun yang lalu.Pasien
adalah seorang pelajar yang masih berada pada tingkat pendidikan TK.
Pasien mengatakan sering jajan makanan ringan di sekitar sekolah dan
sering makan makanan dingin seperti es. Pasien juga sangat senang
mengkonsumsi mie instan. Pasien juga mengaku tidak rutin untuk cuci
tangan sebelum makan. Pada pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan
kondisi umum pasien nyeri ringan dengan peningkatan suhu tubuh menjadi

16
38oC. Pada pemeriksaan fisik ditemukan masih dalam batas normal, untuk
pemeriksaan khusus THT pada telinga ditemukan masih batas normal,
namun pada hidung masih batas normal, kemudian pada pemeriksaan
tenggorakan didapatkan pada tonsil didapatkan hiperemis serta pembesaran
tonsil berukuran T3/T3, kondisi mukosa hiperemiskripte melebar dan
terdapat detritus dan pada faring ditemukan kondisi mukosa hiperemis dan
tampak jaringan granulasi.

3.5. Diagnosis Kerja


Tonsilofaringitis Kronik

3.6. Penatalaksanaan
Medikamentosa :

- Amoxicillin 500mg tablet3 kali ¾ tablet

- Parasetamol 500mg tablet 3 kali ½ tablet


KIE :
- Menjelaskan penyakit dan penatalaksanaannya.
- Menjelaskan indikasi dan prosedur pengangkatan tonsil (amandel).
- Istirahat cukup.
- Menjaga kebersihan mulut.
- Hindari makanan dengan kebersihan yang keras, kurang, terlalu panas dan
dingin,dan makanan yang mengiritasi.
- Minum air yang cukup
- Nutrisi tinggi kalori tinggi protein untuk mempercepat penyembuhan.
- Kontrol ke poli THT setelah 5 hari pengobatan untuk melihat
perkembangan penyakit.

3.7. Prognosis
Ad Vitam : Bonam
Ad Functionam : Bonam
Ad Sanationam : Bonam

17
BAB IV

PEMBAHASAN

Diagnosis tonsilofaringitis kronik dapat ditegakkan berdasarkan


anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang jika diperlukan.
Berdasarkan anamnesis, pasien KDK laki-laki berusia 5 tahun, mengalami demam
sejak tiga hari yang lalu, Pada saat itu suhu tubuh pasien adalah 37.8oC. Pasien
sempat dibawa berobat ke bidan dan diberikan 3 macam obat diantaranya
parasetamol untuk penurun panas, obat berwarna hijau yang dikatakan untuk
maag, dan obat berwarna putih (lupa). Keluhan demam menetap disertai nyeri saat
menelan serta rasa tidak enak pada tenggorokan. Keluhan tersebut tidak disertai
batuk dan pilek. Pasien mengatakan sering jajan makanan ringan di sekitar
sekolah dan sering makan makanan dingin seperti es. Pasien juga sangat senang
mengkonsumsi mie instan.

Hasil anamnesis pasien sesuai dengan gejala tonsilofaringitis kronik yaitu


seperti ada perasaan yang mengganjal di tenggorokan, terasa kering dan
pernapasan berbau, sakit tenggorokan dan sakit menelan yang berulang serta
dilakukan pemeriksaan THT untuk melihat tanda tonsilofaringitis kronis terutama
pemeriksaan tenggorok.

Pemeriksaan fisik pasien ditemukan tanda-tanda vital pasien hanya


mengalami demam dan status general dalam batas normal. Pemeriksaan status
lokalis THT didapat, telinga dan hidung dalam batas normal, sedangkan pada
pemeriksaan tenggorokan ditemukan adanya pembesaran tonsil berukuran T3/T3
tampak hiperemi, disertai detritus, dan kripta melebar. Dinding faring tampak
hiperemi dan terdapat granulasi minimal.

Berdasarkan teori, pemeriksaan fisik status lokalis THT menggunakan alat


bantu seperti lampu kepala, kaca laring, transpatel, spekulum hidung, otoskop,
kasa steril. Pada tonsilofaringitis kronis ditemukan mukosa belakang faring
hiperemi, tonsil yang membesar, detritus dan kripte melebar.

18
Prinsip terapi tonsilofaringitis kronis adalah medikamentosa simtomatik,
istirahat yang cukup, minum yang cukup, dan kumur dengan air hangat. Pada

kasus, pasien diberikan Amoxicillin 500mg tablet 3 kali ¾ tablet dam

Parasetamol 500mg tablet 3 kali ½ tablet. Saran yang diberikan kepada pasien
diantaranya menjaga asupan minum dan makan yang cukup, menghindari
pencetus radang tenggorokan, istirahat yang cukup, serta mempertimbangkan
rencana tonsilektomi atau adenotonsilektomi pada pasien ini apabila memenuhi
indikasi.

19
BAB V

PENUTUP

Tonsilofaringitis kronis merupakan suatu infeksi pada tonsil dan faring


yang terjadi berulang, berlangsung lama, serta memiliki manifestasi klinis adanya
eritema, eksudat, ulserasi dan membrane. Diagnosisnya ditegakkan melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesis, seperti yang ditemukan di
kasus ini, ada keluhan demam sejak tiga hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan
merasakan sedikit nyeri saat menelan serta batuk. Keluhan sakit tenggorokan
mulai dirasakan saat pasien berusia 3 tahun dan sering hilang timbul hingga saat
ini.
Pemeriksaan fisik pasien ditemukan tanda-tanda vital dan status general
dalam batas normal. Pemeriksaan status lokalis THT didapat, telinga dan hidung
dalam batas normal, sedangkan pada pemeriksaan tenggorokan ditemukan adanya
pembesaran tonsil berukuran T3/T3 tampak hiperemi, disertai detritus, dan kripta
melebar. Dinding faring tampak hiperemi dan terdapat granulasi minimal.

Prinsip terapi tonsilofaringitis kronis adalah medikamentosa simtomatik,


istirahat yang cukup, minum yang cukup, dan kumur dengan air hangat. Pada

kasus, pasien diberikan Amoxicillin 500mg tablet3 kali ¾ tablet Parasetamol

500mg tablet 3 kali ½ tablet. Saran yang diberikan kepada pasien diantaranya
menjaga asupan minum dan makan yang cukup, menghindari pencetus radang
tenggorokan, istirahat yang cukup, serta mempertimbangkan rencana tonsilektomi
atau adenotonsilektomi pada pasien ini.

20

Anda mungkin juga menyukai