Anda di halaman 1dari 7

RHINITIS OZAENA

DisusunOleh:
Andry Ganesha Rombe
1161050253

KEPANITERAAN FARMAKOLOGI DAN FARMAKOTERAPI


PERIODE 3 APRIL S/D 6 MEI 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
DEFINISI

Rinitis atrofi adalah penyakit hidung kronik yang ditandai atrofi progresif mukosa hidung dan
tulang penunjangnya disertai pembentukan sekret yang kental dan tebal yang cepat mengering membentuk
krusta, menyebabkan obstruksi hidung, anosmia, dan mengeluarkan bau busuk. Rinitis atrofi disebut juga
rinitis sika, rinitis kering, sindrom hidung-terbuka, atau ozaena.

INSIDENSI

Rinitis atrofi merupakan penyakit yang umum di negara-negara berkembang. Penyakit ini muncul
sebdemi di daerah subtropis dan daerah yang bersuhu panas seperti Asia Selatan, Afrika, Eropa Timur dan
Mediterania. Pasien biasanya berasal dari kalangan ekonomi rendah dengan status higiene buruk. Rinitis
atrofi kebanyakan terjadi pada wanita, angka kejadian wanita : pria adalah 3:1. Penyakit ini dikemukakan
pertama kali oleh dr.Spencer Watson di London pada tahun 1875.1 Penyakit ini paling sering menyerang
wanita usia 1 sampai 35 tahun, terutama pada usia pubertas dan hal ini dihubungkan dengan status estrogen
(faktor hormonal).

KLASIFIKASI

Rinitis atrofi berdasarkan gejala klinis diklasifikasikan oleh dr. Spencer Watson (1875) sebagai
berikut:
Rinitis atrofi ringan, ditandai dengan pembentukan krusta yang tebal dan mudah ditangani dengan
irigasi.
Rhinitis atrofi sedang, ditandai dengan anosmia dan rongga hidung yang berbau.
Rinitis atrofi berat, misalnya rinitis atrofi yang disebabkan oleh sifilis, ditandai oleh rongga
hidung yang sangat berbau disertai destruksi tulang.

Berdasarkan penyebabnya rinitis atrofi dibedakan atas:

1. Rinitis atrofi primer, merupakan bentuk klasik rinitis atrofi yang didiagnosis pereksklusionam
setelah riwayat bedah sinus, trauma hidung, atau radiasi disingkirkan. Penyebab primernya
merupakan Klebsiella ozenae.

2. Rinitis atrofi sekunder, merupakan bentuk yang palng sering ditemukan di negara berkembang.
Penyebab terbanyak adalah bedah sinus, selanjutnya radiasi, trauma, serta penyakit granuloma
dan infeksi.
ETIOLOGI

Etiologi rinitis atrofi dibagi menjadi primer dan sekunder.

Rinitis atrofi primer adalah rinitis atrofi yang terjadi pada hidung tanpa kelainan
sebelumnya, sedangkan rinitis atorfi sekunder merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau
penyakit.Rinitis atrofi primer adalah bentuk klasik dari rinitis atrofi dimana penyebab pastinya
belum diketahui namun pada kebanyakan kasus ditemukan klebsiella ozaenae.
Rinitis atrofi sekunder kebanyakan disebabkan oleh operasi sinus, radiasi, trauma,
penyakit infeksi, dan penyakit granulomatosa atau. Operasi sinus merupakan penyebab 90% rinitis
atrofi sekunder. Prosedur operasi yang diketahui berpengaruh adalah turbinektomi parsial dan total
(80%), operasi sinus tanpa turbinektomi (10%), dan maksilektomi (6%).
Penyakit granulomatosa yang mengakibatkan rinitis atrofi diantaranya penyakit sarkoid,
lepra, dan rhinoskleroma. Penyebab infeksi termasuk tuberkulosis dan sifilis. Pada negara
berkembang, infeksi hanya berperan sebanyak 1-2% sebagai penyebab rinitis atrofi sekunder.
Meskipun infeksi bukan faktor kausatif pada rinitis atrofi sekunder, namun sering ditemukan
superinfeksi dan hal ini menjadi penyebab terbentuknya krusta, sekret, dan bau busuk. Terapi
radiasi pada hidung dan sinus hanya menjadi penyebab pada 2-3% kasus, sedangkan trauma hidung
sebanyak 1%.

Selain faktor diatas, beberapa keadaan dibawah ini juga diduga sebagai penyebab rinitis
atrofi:
1. Infeksi kronik spesifik oleh kuman lain yakni infeksi oleh Stafilokokus, Streptokokus dan
Pseudomonas aeruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli, Cocobacillus
foetidus ozaena. Telah dilaporkan terjadinya rinitis atrofi pada seorang anak 7 tahun dari satu
keluarga setelah anak dari tetangga keluarga tersebut yang diketahui menderita rinitis atrofi
menginap bersamanya.
2. Defisiensi besi dan vitamin A. Dilaporkan terjadi perbaikan pada 50% pasien yang mendapat
terapi besi dan pada 84% pasien yang diterapi dengan vitamin A mengalami perbaikan
simptomatis. Adanya hiperkolesterolemia pada 50% pasien rinitis atrofi menunjukkan peran
diet pada penyakit ini.
3. Perkembangan. Dilaporkan adanya pengurangan diameter anteropsterior hidung dan aliran
udara maksiler yang buruk pada penderita rinitis atrofi.
4. Lingkungan. Dilaporkan telah terjadi rinitis atrofi pada pasien yang terpapar fosforit dan
apatida.
5. Sinusitis kronik
6. Ketidakseimbangan hormon estrogen. Dilaporkan adanya perburukan penyakit saat hamil atau
menstruasi.
7. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun
8. Teori mekanik dari Zaufal
9. Ketidakseimbangan otonom
10. Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS)
11. Herediter. Dilaporkan adanya rinitis atrofi yang diturunkan secara dominan autosom pada
sebuah keluarga dimana ayah serta 8 dari 15 anaknya menderita penyakit ini.
12. Supurasi di hidung dan sinus paranasal
13. Golongan darah

PATOGENESIS

Analisis terhadap mukosa hidung menemukan hal yang sama baik pada rinitis atrofi
primer maupun sekunder. Mukosa hidung yang normal terdiri atas epitel pseudostratifikatum
kolumnar, dan glandula mukosa dan serosa. Pada rinitis atrofi, lapisan epitel mengalami metaplasia
squamosa dan kehilangan silia. Hal ini mengakibatkan hilangnya kemampuan pembersihan hidung
dan kemampuan membersihkan debris. Glandula mukosa mengalami atrofi yang parah atau
menghilang sama sekali sehingga terjadi kekeringan. Selain itu terjadi juga penyakit pada pembuluh
darah kecil, andarteritis obliteran (yang dapat menjadi penyebab terjadinya rinitis atrofi atau sebagai
akibat dari proses penyakit rinitis atrofi itu sendiri).

Secara patologis, rinitis atrofi dapat dibagi menjadi dua, yakni tipe I, adanya endarteritis
dan periarteritis pada arteriola terminal akibat infeksi kronik yang membaik dengan efek vasodilator
dari terapi estrogen; dan tipe II, terdapat vasodilatasi kapiler yang bertambah jelek dengan terapi
estrogen.

Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriola akan menyebabkan


berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa. Selain itu
didapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi
tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan krusta
tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan
dengan teori proses autoimun, dimana terdeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan
protein A.
Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap
infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi klirens mukus dan
mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan
bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia.
Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang
merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.

GEJALA KLINIS
Pemeriksaan fisik terhadap rinitis atrofi dapat dengan mudah dikenali. Tanda pertama
sering berupa bau (foeter ex nasi) dari pasien. Pada beberapa kasus, bau ini bisa berat. Hal ini akan
menyebabkan ganggguan pada setiap orang kecuali pasien, karena pasien mengalami anosmia.
Beberapa pasien juga memperlihatkan depresi yang terjadi sebagai implikasi sosial dari penyakit.
Pasien biasanya mengeluh obstruksi hidung (buntu), krusta yang luas, dan perasaan kering pada
hidung.

Gejala klinis rinitis atrofi secara umum adalah :


Gejala :
I. obstruksi hidung (buntu)
II. sakit kepala
III. epistaksis pada pelepasan krusta
IV. bau busuk pada hidung (foeter ex nasi) yang dikeluhkan oleh orang lain yang ada di sekitarnya.
Bau ini tidak diketahui oleh pasien karena atrofi dari mukosa olfaktoria.
V. Faringitis sikka
VI. Penyumbatan yang terjadi karena lepasnya krusta dari nasofaring masuk ke orofaring.

Prinsip tatalaksana
Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatan belum ada yang baku. Pengobatan
di tunjukan untuk mengatasi etiologi , dan menghilangkan gejala. Pengobatan yang diberikan dapat
bersifat konservatif atau kalau tidak dapat menolong dilakukan pembedahan jika tidak ada
perbaikan.
Pengobatan konservatif diberikan antibiotik spektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi
kuman, dengan dosis yang adekuat. Lama pengobatan bervariasi tergantung dari hilangnya tanda
klinis berupa sekret purulen kehijauan.
Untuk menghilangkan bau busuk akibat hasil proses infeksi serta sekret purulen dan krusta,
dapat di[akai obat cuci hidung. Lrutan yang dapat digunakan adalah larutan garam hipertonik.
NaCL + Na4CL + NaHCO3 + Aqua
Larutan tersebur di encerkan dengan perbandingan 1 sendok makan larutan dicampur 9 sendok
makan air hangat. Larutan dihirup dimasukan kedalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan
dihembuskan kuat-kuat. Hal ini dilakukukan 2 kali dalam sehari.
Pemberian Antibiotik Amoksisilin :
Indikasi : Dapat diberikan untuk kuman gram (-) atau pun (+)
Farmakodinamik : Menghambat sintesis mekopeptida yang diperlukan untuk pembentukaan dinding
sel bakteri.
Efek samping :
1. Reaksi alergi (ini paling sering terjadi )
2. Reaksi toksik dan iritasi lokal
3. Gangguan GIT : mual, muntah, diare
4. Syok anafilaktik
Sediaan :
Kapsul/Tablet : 125 mg, 250mg, 500mg
Sirup : 125mg/5 ml
waktu paruh 8 jam. Sehingga diberikan 3x dalam sehari.
Resep
dr. Andry Ganesha Rombe
1161050253
Jl. Meyjen Sutoyo, Cawang, UKI no 66
Jakarta Timur

Jakarta, 25 Maret 2017

R/ Amoksisilin tab 500 mg No. XV


S 3 dd I tab (Habiskan)
R/ NaCL 0,9
Na4Cl
NaHCO 3
Aqua ad 300cc

S imm
Pro Tn. X

Anda mungkin juga menyukai