NIM :
Rhinitis Ozaena
2.1 Defenisi
Rhinitis ozaena atau rhinitis atrofi adalah suatu penyakit infeksi hidung
dengan tanda adanya atrofi progresif tulang dan mukosa konka. Secara klinis mukosa
hidung menghasilkan sekret kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta
berbau busuk.
Lebih sering mengenai wanita pada usia antara 1-35 tahun, terbanyak pada
usia pubertas. Secara histopatologik tampak mukosa hidung menjadi tipis, silia
menghilang. Metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng
berlapis, kelenjar-kelenjar bergenerasi dan atrofi serta jumlahnya berkurang dan
berbentuk menjadi kecil.
2.2 Epidemiologi
Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai
wanita, terutama pada usia pubertas. Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria,
dan Jiang dkk mendapatkan 15 wanita dan 12 pria. Samiadi mendapatkan 4 penderita
wanita dan 3 pria. Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki
adalah 3 : 1. Tetapi dari segi umur, beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda.
Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50 tahun, Jiang dkk berkisar 13-68 tahun,
Samiadi mendapatkan umur antara 15-49 tahun. Penyakit ini sering ditemukan di
kalangan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang
buruk dan di negara sedang berkembang.
Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di
Amerika Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa
Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan
tajam dalam insidens ozaena
2.3 Etiologi
Teori mengenai etiologi dan patogenesis rhinitis ozaena sampai sekarang
belum dapat diterangkan dengan memuaskan, ada beberapa hal yang dianggap
sebagai penyebabnya, antara lain :
1. Infeksi kuman spesifik, yang tersering ditemukan adalah spesies Klebsiela,
terutama Klebsiela ozaena. Kuman lainnya antara lain Staphylokokus,
Streptokokus dan Pseudomonas aeruginosa.
2. Beberapa faktor yang mungkin menimbulkan penyakit ini adalah sinusitis
kronis, trauma yang luas pada mukosa, sifilis.
3. Oleh karena penyakit ini mulai timbul pada usia remaja (pubertas) dan lebih
banyak ditemukan pada wanita, maka diduga ketidakseimbangan endokrin
juga berperan sebagai penyebab penyakit ini.
4. Gizi buruk, biasanya karena defisiensi vitamin A, vitamin C dan zat besi.
5. Penyakit kolagen, yang termasuk penyakit autoimun.
6. Herediter.
7. Berhubungan dengan trauma atau terapi radiasi. Trauma dapat terjadi karena
kecelakaan ataupun iatrogenik, yaitu efek lanjut pembedahan, sedangkan
terapi radiasi pada hidung segera merusak pembuluh darah dan kelenjar
penghasil mukus.
2.5 Klasifikasi
Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat :
a) Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir,
krusta sedikit.
b) Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna
makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
c) Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis,
rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat
anosmia yang jelas.
2.6 Diagnosis
Untuk mendiagnosis rhinitis atrofi dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
2.6.1 Anamnesa :
Keluhan yang biasa timbul adalah : Foetor ex nasi atau bau busuk dari dalam
hidung. Gejala ini termasuk salah satu penyebab seorang pasien mencari pertolongan
pada dokter. Namun pada rhinitis atrofi, foetor ex nasi tidak dirasakan oleh penderita,
melainkan dirasakan oleh orang sekitarnya sehingga menimbulkan perasaan tidak
nyaman bagi semua orang. Terlebih lagi penyakit ini lebih sering menyerang
perempuan sehingga menimbulkan keluhan tersendiri bagi pasien. Adanya krusta
(pembentukan sekret kehijauan yang kental dan tebal yang cepat mengering). Hidung
tersumbat, Gangguan Penghidu, Sakit kepala dan epistaksis.
2.9 Komplikasi
Komplikasi rinitis ozaena dapat berupa :
1. Perforasi septum
2. Faringitis
3. Sinusitis
4. Miasis hidung
5. Hidung pelana
2.10 Penatalaksanaan
Hingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik hanya bersifat paliatif.
Termasuk dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik
dan lokal dengan endokrin; steroid; dan antibiotik; vasodilator; pemakaian iritan
jaringan lokal ringan seperti alkohol; dan salep pelumas. Penekanan terapi utama
adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha langsung mengecilkan rongga hidung, dan
dengan demikian juga memperbaiki suplai darah mukosa hidung. Tujuan pengobatan
adalah menghilangkan faktor etiologi/ penyebab dan menghilangkan gejala.
Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan
operasi.
1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat
sampai tanda-tanda infeksi hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik
pada pengobatan dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu.
2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan
menghilangkan bau. Antara lain :
a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau
b. Campuran :
NaCl
NH4Cl
NaHCO3 aaa 9
Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat
c. Larutan garam dapur
d. Campuran :
Na bikarbonat 28,4 g
Na diborat 28,4 g
NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat
Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan
menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut,
dilakukan dua kali sehari. Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi (Ozaena)
biasanya dengan pemberian preparat Fe.
3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam
gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U /
ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan
tiga kali sehari masing-masing tiga tetes.
4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu.
5) Preparat Fe.
6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan Rjvanski
melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan
dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan
93,3% perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini membantu regenerasi epitel
dan jaringan kelenjar. Samiadi dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2
tablet sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl
fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek
samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci hidung
diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang memuaskan
pada 6 dari 7 penderita.