Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN KASUS

RIHINITIS OZAENA PADA PASIEN


DEWASA 30 TAHUN DI POLI THT-KL
RSUD DOK II JAYAPURA

Oleh:
Dafiyanti Patandung
Jefry Tame
Sarah Rumpaisum
Sopia Paa

Pembimbing:
dr. Agustina, Sp. THT-KL
PENDAHULUAN

 LATAR BELAKANG
 Rinitis atrofi merupakan penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh
adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka.
 Rinitis atrofi merupakan suatu penyakit yang sering dijumpai pada negara-
negara berkembang.
 Rinitis atrofi juga dikenal sebagai suatu rinitis kering, rinitis sika atau ozaena.
 Penyakit ini dikenal dengan cirinya yang khas yaitu bau yang muncul dari
rongga hidung.
 Penyakit ini lebih sering menyerang perempuan pada usia antara satu sampai
tiga puluh lima tahun, terbanyak pada usia pubertas, sehingga menimbulkan
keluhan tersendiri bagi pasien.
 Frekuensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1
 Penyakit ini sering dikelompokkan menjadi 2 bentuk yaitu rinitis atrofi
primer (ozaena) dan rinitis atrofi sekunder.
 Beberapa teori sebagai penyebab rinitis atrofi primer adalah teori infeksi,
endokrin, defisiensi vitamin A dan D, serta gangguan pertumbuhan kavum
nasi.
 Secara histopatologik tampak mukosa hidung menjadi tipis, silia
menghilang, metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau
gepeng berlapis, kelenjar-kelenjar berdegenerasi dan atrofi serta jumlahnya
berkurang dan bentuknya jadi kecil.
 Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk
menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau
jika tidak menolong dilakukan operasi.
TINJAUAN PUSTAKA

 ANATOMI HIDUNG
 Perdarahan Hidung
 Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmikus,
sedangkan a.oftalmikus berasal dari a.karotis interna.
 Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang
a.maksila interna. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari
a.fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari
cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoidalis anterior, a.labialis
superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus kiesselbach.
 Pleksus kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh
trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.
Gambar. Perdarahan Hidung
 Persarafan Hidung
 Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris
dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari
n.nasosiliaris yang berasal dari N.oftalmikus (N.V-I).
 Rongga hidung lainnya sebahagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum
Defenisi

 Rinitis atrofi merupakan penyakit infeksi hidung kronik,


yang ditandai oleh adanya atrofi progresif pada mukosa
dan tulang konka disertai pembentukan sekret yang
kental dan tebal yang cepat mengering membentuk
krusta, menyebabkan obstruksi hidung, anosmia, dan
mengeluarkan bau busuk.
 Rinitis atrofi disebut juga rinitis sika, rinitis kering,
sindrom hidung-terbuka, atau ozaena.
Insidensi

 Penyakit ini paling sering menyerang wanita usia 1


sampai 35 tahun, terutama pada usia pubertas dan hal ini
dihubungkan dengan status estrogen (faktor hormonal).
 Rinitis atrofi merupakan penyakit yang umum di negara-
negara berkembang. Penyakit ini muncul sebagai
endemi di daerah subtropis dan daerah yang bersuhu
panas seperti Asia Selatan, Afrika, Eropa Timur dan
Mediterania. Pasien biasanya berasal dari kalangan
ekonomi rendah dengan status higiene buruk.
Klasifikasi

 Rinitis atrofi berdasarkan gejala klinis diklasifikasikan


sebagai berikut:
1. Rinitis atrofi ringan, ditandai dengan pembentukan
krusta yang tebal dan mudah ditangani dengan irigasi.
2. Rinitis atrofi sedang, ditandai dengan anosmia dan
rongga hidung yang berbau.
3. Rinitis atrofi berat, misalnya rinitis atrofi yang
disebabkan oleh sifilis, ditandai oleh rongga hidung
yang sangat berbau disertai destruksi tulang.
Lanjutan...

 Berdasarkan penyebabnya rinitis atrofi dibedakan atas:


1) Rinitis atrofi primer, merupakan bentuk klasik rinitis atrofi Penyebab
primernya merupakan Klebsiella ozenae.
2) Rinitis atrofi sekunder : paling sering di negara berkembang - penyebab
bedah sinus, selanjutnya radiasi, trauma, serta penyakit granuloma dan
infeksi.
 Secara patologis, rinitis atrofi dapat dibagi menjadi dua, yakni
a) tipe I, adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriola terminal akibat
infeksi kronik yang membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen
b) tipe II, terdapat vasodilatasi kapiler yang bertambah jelek dengan terapi
estrogen.
Etiologi

 Rinitis atrofi primer adalah bentuk klasik dari rinitis atrofi dimana penyebab pastinya
belum diketahui namun pada kebanyakan kasus ditemukan klebsiella ozaenae.
 Rinitis atrofi sekunder kebanyakan disebabkan oleh operasi sinus, radiasi, trauma,
penyakit infeksi, dan penyakit granulomatosa
 Operasi sinus merupakan penyebab 90% rinitis atrofi sekunder.
 Penyakit granulomatosa yang mengakibatkan rinitis atrofi diantaranya penyakit sarkoid,
lepra, dan rhinoskleroma.
 Penyebab infeksi termasuk tuberkulosis dan sifilis
 Infeksi oleh kuman spesifik, yang sering ditemukan adalah spesies klebsiella terutama
K. Ozaena, kuman lain antara lain stafilokokus, streptokokkus, dan pseudomonas
aerugius.
 Selain itu disebabkan oleh defisiensi besi, defisiensi vitamin A, sinusitis kronis, kelainan
hormonal, penyakit kolagen, yang termasuk dalam penyakit autoimun.
Patogenesis

 Pada rinitis atrofi lapisan epitel metaplasia squamosa dan


kehilangan silia. hilangnya kemampuan pembersihan hidung dan
kemampuan membersihkan debris.Glandula mukosa atrofi yang
parah atau menghilang sama sekali sehingga kekeringantipe I.
 Endarteritis di arteriola berkurangnya aliran darah ke mukosaAtrofi
epitel bersilia dan kelenjar seromusinus pembentukan krusta tebal
yang melekat atrofi konka saluran nafas jadi lapang.
 Defisiensi surfaktan penyebab utama menurunnya resistensi hidung
terhadap infeksiMukus akan mengering bersamaan dengan
terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium
yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.
Gejala Klinis

 Biasanya berupa :
 nafas berbau
 ada ingus kental yang berwarna hijau
 ada kerak (krusta) hijau
 ada gangguan penghidu (penciuman)
 sakit kepala, dan
 merasa hidung tersumbat.
 Pada pemeriksaan THT didapatkan rongga hidung sangat lapang,
konka inferior dan media hipotrofi atau atrofi, sekret purulen
berwarna hijau, dan krusta berwarna hijau.
Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan


diagnosis, antara lain transluminasi, foto rongen sinus paranasal,
pemeriksaan mikroorganisme dan uji resistensi kuman,
pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan Fe serum dan pemeriksaan
histopatologik.
 CT scan dianjurkan jika diagnosis meragukan. Pada CT scan dapat
ditemukan :
 penebalan mukoperiosteum sinus paranasal
 kehilangan ketajaman dari kompleks sekunder osteomeatal
untuk meresobsi bula etmoid dan proses “uncinate”.
 hipoplasia sinus maksilaris
 pelebaran kavum hidung dengan erosi dan membusurnya
dinding lateral hidung .
 resopsi tulang dan atrofi mukosa pada konka media dan
inferior
Gambaran Histopatologik
Diagnosis

 Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:


Anamnesis
pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang
Diagnosa Banding

Diagnosis banding rinitis atrofi adalah


 Rinitis kronik TB
 Rinitis kronik lepra
 Rinitis kronik sifilis
 Rinitis sika
Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan pembedahan.

Pengobatan konservatif diberikan antibiotik spektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi kuman

dengan dosis yang adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang.

Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain:

 Operasi Young : Penutupan total rongga hidung dengan flap.

 Operasi Young yang dimodifikasi : Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang

terbuka.

 Operasi Lautenschlager Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid,

kemudian dipindahkan ke lubang hidung.

 Implantasi submukosa dengan tulang rawan.

 Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (operasi Wittmack)


Adapun operasi yang bertujuan sebagai denervasi nasal
antara lain:
1) Simpatektomi servikal
2) Blokade ganglion Stellata
3) Blokade atau ekstirpasi ganglion sfenopalatina
Komplikasi

 Perforasi septum
 Faringitis
 Sinusitis
 Miasis hidung
 Hidung pelana.
Prognosis

• Dengan operasi diharapkan perbaikan mukosa dan


keadaan penyakitnya. Pada pasien yang berusia diatas
40 tahun, beberapa kasus menunjukkan keberhasilan
dalam pengobatan
Laporan Kasus

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. E.Y Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 30 Tahun Kebangsaan : Indonesia

Status Pernikahan : Belum Menikah Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Suku : Papua

Alamat : Dok 9 Inpres Tanggal Anamnesis : 09/11/2021


ANAMNESIS

Diambil dari : Autoamnesis


Tanggal : 09-11-2021 Jam :10.30 WIT
Keluhan utama :

Penurunan penciuman

Riwayat perjalanan penyakit (RPS):


Pasien datang dengan keluhan hidung berbau serta mengeluarkan sekret berwarna hijau (+) , kental (+)
berbau sudah dirasakan ± 15 tahun yang lalu yang bersifat menetap. Hidung tersumbat (+), penurunan
penciuman (+), nyeri (+), batuk pilek hilang timbul, susah bernafas (+), nyeri kepala (+) sesak (-), gigi
berlubang (-), nyeri menelan (-), nyeri telinga (-), demam (-), mual (-), muntah di sangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)

Riwayat alergi : tidak ada


Riwayat trauma : tidak ada
Riwayat penyakit : tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
Tidak ada keluarga pasien yang menderita keluhan serupa. Riwayat keluarga alergi,
hipertensi, diabetes dan keganasan disangkal.
Riwayat Kebiasaan
Pasien merupakan ibu rumah tangga . Pasien mengaku tidak merokok dan mengkonsumsi
alkohol. Pasien juga jarang berolahraga.
PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran : Compos Mentis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Denyut Nadi : 84 x/menit
Respirasi : 20x/menit
SpO2 : 98%
Telinga
  KANAN KIRI

Bentuk daun telinga Normotia Normotia

Kelainan congenital Bat ear (-), fistula (-), mikrotia (-), atresia (-) Bat ear (-), fistula (-), mikrotia (-), atresia (-)

Radang, tumor Hiperemis (-), nyeri (-), hipertermi (-), oedema Hiperemis (-), nyeri (-), hipertermi (-), oedema
(-), massa (-) (-), massa (-)

Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada

Penarikan daun telinga Nyeri tarik daun telinga (-) Nyeri tarik daun telinga (-)

Kelainan pre, infra, retroaurikuler Fistula (-), Abses (-) Fistula (-), Abses (-)
Hiperemis (-), Massa (-) Hiperemis (-), Massa (-)
Nyeri tekan (-), Oedema (-) Nyeri tekan (-),Oedema (-)

Region Mastoid Abses (-), Hiperemis (-), Massa (-), Nyeri tekan (-), Abses (-), Hiperemis (-), Massa (-), Nyeri tekan(-),
Nyeri Ketuk (-), Oedema (-) Nyeri Ketuk (-), Oedema (-)

Liang telinga Tidak dilakukan Tidak dilakukan


Tes Penala

 
KANAN KIRI

Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Schwabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan


Hidung
 
KANAN KIRI

Bentuk Normal, deformitas (-)

Tanda peradangan Hiperemis (-), oedema (-), Nyeri tekan (-), massa (-)

Sinus frontalis Hiperemis (-), Nyeri tekan (-), nyeri ketuk (-)
(Nyeri tekan dan ketuk)

Sinus maksilaris Hiperemis (-), Nyeri tekan (-), nyeri ketuk (-)
(Nyeri tekan dan ketuk)

Vestibulum Bulu hidung (+), hiperemis Bulu hidung (+), hiperemis


(-), benjolan (-), nyeri (-), sekret (+) (-), benjolan (-), nyeri (-), sekret (+)

Cavum nasi Lapang Lapang

Septum nasi Deviasi (-),benjolan Deviasi (-),benjolan


(-)hiperemis (-), nyeri tekan (-) (-)hiperemis (-), nyeri tekan (-)

Konka inferior Livid (-), atrofi(+), hiperemis(-),discharge purulen(+), krusta (+) Livid (-), atrofi(+), hiperemis(-),discharge purulen(+), krusta (+)

Konka medius Livid (-), atrofi(+), hiperemis(-),discharge purulen(+), krusta (+) Livid (-), atrofi(+), hiperemis(-),discharge purulen(+), krusta (+)

Meatus nasi medius Sekret hijau purulent(+) Sekret hijau purulent(+)

Sinus frontalis Tidak ada Tidak ada


(nyeri tekan + nyeri ketuk)

Sinus maksilaris Tidak ada Tidak ada


( nyeri tekan + nyeri ketuk)

Septum nasi Simetris , tidak ada deviasi Simetris, tidak ada deviasi
Rhinopharynx

 Koana : Tidak dilakukan


 Septum nasi posterior : Tidak dilakukan
 Muara tuba eustachius : Tidak dilakukan
 Tuba eustachius : Tidak dilakukan
 Torus tubarius : Tidak dilakukan
 Post nasal drip : Tidak dilakukan

Tenggorok

Faring
 Dinding faring : Tidak dilakukan
 Arcus : Tidak dilakukan
 Tonsil : Tidak dilakukan
 Uvula : Tidak dilakukan
 Gigi : Tidak dilakukan
Laring
 Epiglotis : Tidak dilakukan
 Plica aryepiglotis : Tidak dilakukan
 Arytenoids : Tidak dilakukan
 Ventricular band : Tidak dilakukan
 Pita suara : Tidak dilakukan
 Rima glotis : Tidak dilakukan
 Sinus piriformis : Tidak dilakukan
 Kelenjar limfe submandibula dan cervical : Tidak
dilakukan
Pemeriksaan Endoscopy
Foto X-Ray

Klinis : susp sinusitis maksilaris

Sinus frontalis bilateral cerah


sinus maksilaris kanan berselubung, kiri cerah
tidak tampak penebalan concha
septum nasi ditengah
tidak tampak garis fraktur

kesan :
Sinusitis maksillaris kanan
DIAGNOSIS KERJA :
Rhinitis Ozaena + Sinusitis Maxilaris
Dasar diagnosis:
Anamnesis :
 Hidung berbau
 Sekret berwarna hijau
 Penurunan penciuman
 Keluhan dirasakan ± 15 tahun lalu
Pemeriksaan Fisik :
 Vestibulum di temukan pada hidung kanan dan kiri Bulu hidung (+), hiperemis (-),
benjolan (-), nyeri (-), sekret (+)
 Konka medius dan inferior Livid (-), atrofi(+), hiperemis(-),
discharge purulen(+), krusta (+)
 Meatus nasi medius Sekret hijau purulent (+).
DIAGNOSIS BANDING
• Sinusitis, Rinitis Ozaena (Rinitis Atrofi),Rinitis Simpex, Polip dan Korpal Hidung
PROGNOSIS
Advitam : Dubia Ad Bonam
Adfungsionam : Dubia Ad Bonam
Adsanationam : Dubia Ad Bonam

PENATALAKSANAAN

MEDIKAMENTOSA

• Ciprofloxasim 500 mg 2x1


• metronidazol 500 mg 2x1
• Ceterizin tab 2x1
• Natrium Diklofenat 50 mg 2x1

NON – MEDIKAMENTOSA
 Spooling Hidung dengan Nacl
 Edukasi :
 Hindari paparan langsung dari suhu dingin menggunakan masker dan jaket
 Membersihkan hidung dari lendir dengan air
 Meningkatkan daya tahan tubuh dengan asupan gizi yang baik
 Menjaga lingkungan dan sanitasi yang baik
 
PEMBAHASAN

 Kasus: Hidung berbau yang sudah  Teori:


dirasakan ± 15 tahun yang lalu dan  Pada Rhinitis Ozaena terdapat Atrofi epitel
bersifat menetap. bersilia dan kelenjar serominous yang
menyebabkan pembentukan krusta tebal yang
 Dan mengeluarkan ingus (+), melekat
berwarna kuning (+) berbau (+)  Sehingga
nyeri (+),  Pada pasien Rhinitis Ozaena datang dengan
 batuk pilek hilang timbul, keluhan:
 Keluhan biasanya berupa nafas berbau,
 Penurunan penciuman (+), nyeri
 ada ingus kental yang berwarna hijau, ada
menelan (-), kerak (krusta) hijau,
 nyeri telinga (-), nyeri kepala (+),  ada gangguan penghidu (penciuman), sakit
demam (-), sesak (-), mual kepala,
(-), muntah di sangkal oleh  dan merasa hidung tersumbat.
ga n teori
pasien. n den
Sejala
S
 Kasus:  Teori:
 Pemeriksaan Fisik Di temukan TTV dalam
batas normal  Pada Rhinitis Ozaena,
 Status generalis dalam batas normal pemeriksaan THT didapatkan:
 Vestibulum di temukan pada hidung  Rongga hidung sangat lapang,
kanan dan kiri Bulu hidung (+), hiperemis
(-), benjolan (-),  Konka inferior dan media
nyeri (-), hipotrofi atau atrofi,
 Sekret (+) Konka medius dan inferior
Livid (-), atrofi(+),
 Sekret purulen berwarna hijau,
 hiperemis(-),discharge purulen(+),  Dan krusta berwarna hijau
 krusta (+)Meatus nasi medius Sekret hijau
purulent (+). orie
d en gan t
n
Sejala
Assesment

Penegakan Diagnosa Rhinitis Ozaena + Sinusitis


Maxilaris Pada Pasien Ini Berdasarkan Anamnesa,
Pemeriksaan Fisik Dan pemeriksaan Penunjang

Penegakan Diagnosa Sudah Sesuai


Dengan Teori
Kesimpulan

 Rhinitis kronik atrofi/ Rhinitis Ozaena adalah penyakit infeksi hidung kronik dengan adanya atrofi
progresif tulang dan mukosa konka.
 Etiologi penyakit ini belum jelas. Beberapa hal dianggap sebagai penyebab seperti infeksi oleh kuman
spesifik, yaitu klebsiela, yang sering Klebsiela Ozaena, kemudian Staphylokokus dan Pseudomonas
aeruginosa, selain itu bisa juga disebabkan karena defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, kelainan hormonal dan
penyakit kolagen.
 Gejala klinis adalah berupa keluhan subyektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya pada pasien
biasanya hidung terasa tersumbat, nafas hidung terasa tersumbat, nafas berbau (sementara pasien sendiri
menderita anosmia), sekret kental warna kehijauan, krusta, gangguan penciuman, sakit kepala.
 Pada pemeriksaan THT ditemukan rongga hidung sangat lapang, konka inferior, konka inferior dan media
hipotrofi atau atrofi, sekret purulen hijau, dan krusta berwarna hijau.
 Terapi untuk saat ini belum ada yang baku, terapi ditujukan untuk menghilangkan etiologi dan gejala yang
dapat dilakukan secara konservatif maupun operatif.

Anda mungkin juga menyukai