Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rinitis atrofi merupakan penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya
atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa hidung menghasilkan
sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Rinitis
atrofi merupakan suatu penyakit yang sering dijumpai pada negara-negara berkembang.
Rinitis atrofi juga dikenal sebagai suatu rinitis kering, rinitis sika atau ozaena. Penyakit ini
dikenal dengan cirinya yang khas yaitu bau yang muncul dari rongga hidung. Pada rinitis
atrofi, foetor ex nasi atau bau rongga hidung tidak dirasakan oleh penderita sehingga perasaan
tidak nyaman dirasakan oleh orang sekitarnya, bukannya oleh pasien terlebih lagi penyakit ini
lebih sering menyerang perempuan pada usia antara satu sampai tiga puluh lima tahun,
terbanyak pada usia pubertas, sehingga menimbulkan keluhan tersendiri bagi pasien.
Frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1.1,2
Penyakit ini sering dikelompokkan menjadi 2 bentuk yaitu rinitis atrofi primer (ozaena)
dan rinitis atrofi sekunder akibat trauma operasi hidung, efek samping radiasi, atau penyakit
infeksi hidung kronik yang spesifik. Beberapa teori sebagai penyebab rinitis atrofi primer
adalah teori infeksi, endokrin, defisiensi vitamin A dan D, serta gangguan pertumbuhan
kavum nasi. Patogenesis terjadinya rinitis artropi adalah adanya metaplasia epitel dan fibrosis
pada tunika propria. Patogenesis lain yang dicurigai penyebab penyakit ini adalah adanya
endarteritis pada arteriol terminal dan terjadinya absorbsi pada tulang.2
Secara histopatologik tampak mukosa hidung menjadi tipis, silia menghilang,
metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng berlapis, kelenjar-kelenjar
berdegenerasi dan atrofi serta jumlahnya berkurang dan bentuknya jadi kecil. Pengobatan
ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala.
Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menolong dilakukan operasi. 2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung


Hidung terdiri dari hidung bagian luar dan rongga hidung. Hidung luar berbentuk
pyramid dengan bagian-bagiannya :
1. Pangkal hidung (bridge).
2. Dorsum nasi.
3. Puncak hidung.
4. Ala nasi.
5. Kolumela.
6. Lubang hidung.
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat,
dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
Rongga hidung atau cavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan
oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi cavum nasi kanan dan kiri dan lubang belakang
disebut nares posterior atau koana yang menghubungkan cavum nasi dengan nasofaring.3

Gaccmbar 1. Anatomi Rongga Hidung

Bagian dari cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares
anterior disebut vestibulum. Vestibulum mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-
rambut panjang yang disebut vibrise. Tipa cavum nasi yang mempunyai 4 (empat) buah
2
dinding, yaitu dinding lateral, medial, inferior, dan superior. Dinding medial hidung ialah
septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina
perpendikularis os etmoid, vomer, Krista nasalis os maksila dan Krista nasalis os palatina.
Bagian tulang rawan adalah kartilago septum tampak kolumela. Bagian depan dinding lateral
hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi
sebahagian besar dinding lateral hidung.3
Pada dinding lateral terdapat 4 (empat) buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang paling kecil ialah konka media, lebih kecil lagi
ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema ini biasanya
rudimenter. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus ada 3 meatus yaitu superior, inferior, media.3

Gambar 2. Anatomi dinding lateral hidung4


2.2 Perdarahan Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmikus, sedangkan a.oftalmikus berasal dari
a.karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksila
interna. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari a.fasialis. Pada bagian depan septum
terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoidalis anterior, a.labialis
superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus kiesselbach. Pleksus kiesselbach
letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis.3
3
Gambar 2 . Perdarahan Hidung

2.3 Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris yang berasal dari
N.oftalmikus (N.V-I). Rongga hidung lainnya sebahagian besar mendapat persarafan sensoris
dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum.3

2.4 Defenisi
Rinitis atrofi merupakan penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya
atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka disertai pembentukan sekret yang kental dan
tebal yang cepat mengering membentuk krusta, menyebabkan obstruksi hidung, anosmia, dan
mengeluarkan bau busuk. Rinitis atrofi disebut juga rinitis sika, rinitis kering, sindrom
hidung-terbuka, atau ozaena.1

2.5 Insidensi
Penyakit ini paling sering menyerang wanita usia 1 sampai 35 tahun, terutama pada
usia pubertas dan hal ini dihubungkan dengan status estrogen (faktor hormonal). Rinitis atrofi
kebanyakan terjadi pada wanita, angka kejadian wanita : pria adalah 3:1.3
Rinitis atrofi merupakan penyakit yang umum di negara-negara berkembang. Penyakit
ini muncul sebagai endemi di daerah subtropis dan daerah yang bersuhu panas seperti Asia

4
Selatan, Afrika, Eropa Timur dan Mediterania. Pasien biasanya berasal dari kalangan
ekonomi rendah dengan status higiene buruk. 3

2.6 Klasifikasi
Rinitis atrofi berdasarkan gejala klinis diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Rinitis atrofi ringan, ditandai dengan pembentukan krusta yang tebal dan mudah ditangani
dengan irigasi.
2. Rinitis atrofi sedang, ditandai dengan anosmia dan rongga hidung yang berbau.
3. Rinitis atrofi berat, misalnya rinitis atrofi yang disebabkan oleh sifilis, ditandai oleh rongga
hidung yang sangat berbau disertai destruksi tulang.
Berdasarkan penyebabnya rinitis atrofi dibedakan atas:
1. Rinitis atrofi primer, merupakan bentuk klasik rinitis atrofi yang didiagnosis
pereksklusionam setelah riwayat bedah sinus, trauma hidung, atau radiasi disingkirkan.
Penyebab primernya merupakan Klebsiella ozenae.
2. Rinitis atrofi sekunder, merupakan bentuk yang palng sering ditemukan di negara
berkembang. Penyebab terbanyak adalah bedah sinus, selanjutnya radiasi, trauma, serta
penyakit granuloma dan infeksi.
Secara patologis, rinitis atrofi dapat dibagi menjadi dua, yakni tipe I, adanya
endarteritis dan periarteritis pada arteriola terminal akibat infeksi kronik yang membaik
dengan efek vasodilator dari terapi estrogen; dan tipe II, terdapat vasodilatasi kapiler yang
bertambah jelek dengan terapi estrogen.3

2.7 Etiologi
Etiologi rinitis atrofi dibagi menjadi primer dan sekunder. Rinitis atrofi primer adalah
rinitis atrofi yang terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya, sedangkan rinitis atorfi
sekunder merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau penyakit. Rinitis atrofi primer
adalah bentuk klasik dari rinitis atrofi dimana penyebab pastinya belum diketahui namun
pada kebanyakan kasus ditemukan klebsiella ozaenae.5
Rinitis atrofi sekunder kebanyakan disebabkan oleh operasi sinus, radiasi, trauma,
penyakit infeksi, dan penyakit granulomatosa. Operasi sinus merupakan penyebab 90% rinitis
atrofi sekunder. Penyakit granulomatosa yang mengakibatkan rinitis atrofi diantaranya
penyakit sarkoid, lepra, dan rhinoskleroma. Penyebab infeksi termasuk tuberkulosis dan
sifilisSelain faktor diatas, beberapa keadaan dibawah ini juga diduga sebagai penyebab rinitis
atrofi:
5
Infeksi oleh kuman spesifik, yang sering ditemukan adalah spesies klebsiella terutama
K. Ozaena, kuman lain antara lain stafilokokus, streptokokkus, dan pseudomonas
aerugius. Selain itu disebabkan oleh defisiensi besi, defisiensi vitamin A, sinusitis kronis,
kelainan hormonal, penyakit kolagen, yang termasuk dalam penyakit autoimun.5

2.8 Patogenesis
Analisis terhadap mukosa hidung menemukan hal yang sama baik pada rinitis atrofi
primer maupun sekunder. Mukosa hidung yang normal terdiri atas epitel pseudostratifikatum
kolumnar, dan glandula mukosa dan serosa. Pada rinitis atrofi, lapisan epitel mengalami
metaplasia squamosa dan kehilangan silia. Hal ini mengakibatkan hilangnya kemampuan
pembersihan hidung dan kemampuan membersihkan debris. Glandula mukosa mengalami
atrofi yang parah atau menghilang sama sekali sehingga terjadi kekeringan. Selain itu terjadi
juga penyakit pada pembuluh darah kecil, andarteritis obliteran (yang dapat menjadi
penyebab terjadinya rinitis atrofi atau sebagai akibat dari proses penyakit rinitis atrofi itu
sendiri).3
Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriola akan menyebabkan
berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa.
Selain itu didapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan
adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus
menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran
nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun, dimana terdeteksi
adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan
merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan
yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi klirens mukus dan mempunyai pengaruh
kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan
juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering
bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang
sangat baik untuk pertumbuhan kuman.3,5

2.9 Gejala Klinis

6
Keluhan biasanya berupa nafas berbau, ada ingus kental yang berwarna hijau, ada kerak
(krusta) hijau, ada gangguan penghidu (penciuman), sakit kepala, dan merasa hidung
tersumbat.
Pada pemeriksaan THT didapatkan rongga hidung sangat lapang, konka inferior dan
media hipotrofi atau atrofi, sekret purulen berwarna hijau, dan krusta berwarna hijau.5

Gambar 3 . Hasil pemeriksaan endoskopi terlihat krusta kehijauan.

Gambar 4 . Hidung luas dan lapang

2.10 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis, antara lain
transluminasi, foto rongen sinus paranasal, pemeriksaan mikroorganisme dan uji resistensi
kuman, pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan Fe serum dan pemeriksaan histopatologik.

7
Gambar 5. Significant enlargement of the nasal cavities and

hypoplasia of the maxillary sinuses are seen.6

CT scan dianjurkan jika diagnosis meragukan. Pada CT scan dapat ditemukan :

Gambar 6 . Ct Scan Rinitis Atrofi6


• penebalan mukoperiosteum sinus paranasal
• kehilangan ketajaman dari kompleks sekunder osteomeatal untuk meresobsi bula etmoid
dan proses “uncinate”.
• hipoplasia sinus maksilaris
• pelebaran kavum hidung dengan erosi dan membusurnya dinding lateral hidung .
• resopsi tulang dan atrofi mukosa pada konka media dan inferior.

8
Gambar 7.
(A) Axial and (B) Preoperative coronal computed tomography (CT) imaging of the orbits
and paranasal sinuses submucosal show extensive destruction of the skull base and lateral
nasal wall with no evidence of bone in the right fovea ethmoidalis. (C) Axial and (D)
postoperative coronal CT imaging show the acellular dermal allograft in the right
ethmoidalis fovea (white arrow) and nasal tampon Merocel supporting the skull base repair
site (yellow arrows).8

Secara histopatologik tampak mukosa hidung menjadi tipis, silia menghilang,


metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng berlapis, kelenjar-kelenjar
berdegenerasi dan atrofi serta jumlahnya berkurang dan bentuknya jadi kecil.9

Gambar 8 . Microphotograph menunjukkan metaplasia skuamosa9

9
Gambar 9 . Microphotograph menunjukkan pembuluh darah melebar9

2.11 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan : anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.1,2,3
Penegakkan Diagnosa

A. Anamnesa
Anamnesa Keluhan yang paling sering di keluhkan pasien adalah adanya perasaan
hidung yang tersumbat dikarenakan adanya blunting effect blunting effect , dan krusta yang
besar yang mengahalangi aliran udara. Keluhan lain yang juga sering dikeluhkan pasien
adalah bau busuk yang dikeluhkan orang sekitar, yang membuat pasien jadi memiliki
masalah sosial, pasien sendiri tidak dapat mencium bau busuk tersebut, karena pasien
mengalami anosmia. Pusing, sekret purulent , krusta kehijauan berbau busuk yang terlepas
dan menyebabkan pendarahan hidung.
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Pada 100% kasus ditemui (1) krusta, disusul dengan (2) kavum nasi
yang lapang dengan atrofi konka inferior konka inferior pada rhinoskopi pada
rhinoskopi anterior (62% anterior (62% parsial, 37% parsial, 37% total),total),atrofi konka
media pada 57% kasus, adanya (3) sekret pada 52% kasus, dan (4) perforasi septum yang
hanya ditemui pada 10% kasus. perforasi septum yang hanya ditemui pada 10% kasus.

2.12 Diagnosa Banding


Diagnosis banding rinitis atrofi adalah rinitis kronik TB, rinitis kronik lepra, rinitis
kronik sifilis, rinitis sika. 3
2.13 Penatalaksanaan

10
Penatalaksanaan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong
dilakukan pembedahan. Pengobatan konservatif diberikan antibiotik spektrum luas atau
sesuai dengan uji resistensi kuman dengan dosis yang adekuat sampai tanda-tanda infeksi
hilang. Untuk menghilangkan bau busuk dan membersihkan rongga hidung dari krusta dan
sekret diberikan obat cuci hidung. Digunakan larutan betadin satu sendok makan dalam
100cc air hangat, atau larutan
NaCl
NH4Cl
NaHCO3 aaa9
Aqua ad 300 cc
1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat
Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan
kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali
sehari. Setelah itu diberikan vitamin A 3x 50.000 unit selama dua minggu dan preparat Fe.
Bila ada sinusitis, sinusitisnya diobati sampai tuntas.1,2
Jika dengan pengobatan konservatif yang adekuat untuk jangka waktu yang cukup lama
tidak ada perbaikan, maka dilakukan operasi penutupan lubang hidung atau implantasi untuk
penyempitan rongga hidung. Prinsip operasi penutupan lubang hidung adalah
mengistirahatkan mukosa hidung. Dengan demikian mukosa akan menjadi normal kembali .
Penutupan ini dapat dilakukan pada nares anterior atau pada koana dan ditutup selama dua
tahun. Untuk menutup koana dipakai jabir palatum.

Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain:


1. Operasi Young
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Telah dilaporkan hasil yang baik dengan
penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung
bergantian masing-masing selama periode tiga tahun.
2. Operasi Young yang dimodifikasi
Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.
3. Operasi Lautenschlager
Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian
dipindahkan ke lubang hidung.

11
4. Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti teflon,
campuran triosite dan lem fibrin.
5. Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (operasi Wittmack) dengan tujuan
membasahi mukosa hidung.
Adapun operasi yang bertujuan sebagai denervasi nasal antara lain:6
1. Simpatektomi servikal
2. Blokade ganglion Stellata
3. Blokade atau ekstirpasi ganglion sfenopalatina
Beberapa penelitian melaporkan operasi penutupan koana menggunakan flap faring
pada penderita rinitis atrofi anak berhasil dengan memuaskan. Penutupan ini juga dapat
dilakukan pada nares anterior yang bertujuan untuk mengistirahatkan mukosa hidung.

Gambar 10.
Delapan belas bulan pasca operasi 4-mm 30 ° nasal endoskopi menunjukkan (A) sebuah situs
perbaikan baik mucosolized (lingkaran merah) dari anterior dasar tengkorak cacat yang tepat,
dengan tengkorak utuh dasar posterior (panah putih lebar), dan melebar rongga hidung
bilateral. (A) kanan dan (B) kiri gambar menunjukkan rongga sinonasal superior dan (C)
kanan dan (D) kiri gambar menggambarkan rongga hidung rendah. Putih panah tipis, proses
uncinate, panah hitam tipis, tengah konka, panah hitam lebar, hidung septum, panah kuning
tipis, turbinates inferior, panah hijau, lengkungan choanal.7
2.14 Komplikasi

12
Komplikasi dari rinitis athrofi dapat berupa: perforasi septum, faringitis, sinusitis,
miasis hidung, hidung pelana.10

2.15 Prognosis
Dengan operasi diharapkan perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya. Pada pasien
yang berusia diatas 40 tahun, beberapa kasus menunjukkan keberhasilan dalam pengobatan.

13
BAB III
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. E.Y Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 30 Tahun Kebangsaan : Indonesia

Status Pernikahan : Menikah Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Suku : Papua

Alamat : Dok 9 Inpres Tanggal Anamnesis : 09/11/2021

ANAMNESIS
Diambil dari : Autoamnesis
Tanggal : 09-11-2021 Jam :10.30 WIT

Keluhan utama :
Penurunan penciuman
Riwayat perjalanan penyakit (RPS):
Pasien datang ke Poliklinik THT RSUD Jayapura dok 2 dengan keluhan
hidung berbau serta mengeluarkan sekret berwarna hijau (+) , kental (+) berbau
yang sudah dirasakan ± 15 tahun yang lalu yang bersifat menetap. Hidung
tersumbat (+), penciuman menurun (-), nyeri (+), batuk pilek hilang timbul, susah
bernafas (+), nyeri kepala (+) sesak (-), nyeri menelan (-), nyeri telinga (-),
demam (-), gigi berlubang (-), mual (-), muntah di sangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)


Riwayat alergi : tidak ada
Riwayat trauma : tidak ada
Riwayat penyakit : tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)

14
Tidak ada keluarga pasien yang menderita keluhan serupa. Riwayat
keluarga alergi, hipertensi, diabetes dan keganasan disangkal.
Riwayat Kebiasaan
Pasien merupakan Ibu Rumah Tangga. Pasien tidak merokok dan
mengkonsumsi alkohol. Pasien juga jarang berolahraga.
PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran : Compos Mentis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Denyut Nadi : 84 x/menit
Respirasi : 20x/menit
SpO2 : 98%

Telinga
KANAN KIRI
Bentuk daun telinga Normotia Normotia
Kelainan congenital Bat ear (-), fistula (-), mikrotia Bat ear (-), fistula (-), mikrotia
(-), atresia (-) (-), atresia (-)
Radang, tumor Hiperemis (-), nyeri (-), Hiperemis (-), nyeri (-),
hipertermi (-), oedema (-), hipertermi (-), oedema (-),
massa (-) massa (-)
Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada
Penarikan daun telinga Nyeri tarik daun telinga (-) Nyeri tarik daun telinga (-)
Kelainan pre, infra, Fistula (-), Abses (-) Fistula (-), Abses (-)
retroaurikuler Hiperemis (-), Massa (-) Hiperemis (-), Massa (-)
Nyeri tekan (-), Oedema (-) Nyeri tekan (-),Oedema (-)
Region Mastoid Abses (-), Hiperemis (-), Abses (-), Hiperemis (-),
Massa (-), Nyeri tekan (-), Massa (-), Nyeri tekan(-),
Nyeri Ketuk (-), Oedema (-) Nyeri Ketuk (-), Oedema (-)
Liang telinga Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Membran timpani Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Penala
KANAN KIRI
Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan

15
Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Schwabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Hidung
KANAN KIRI
Bentuk Normal, deformitas (-)
Tanda peradangan Hiperemis (-), oedema (-), Nyeri tekan (-), massa (-)
Sinus frontalis Hiperemis (-), Nyeri tekan (+), nyeri ketuk (+)
(Nyeri tekan dan ketuk)
Sinus Etmoidalis Hiperemis (-), Nyeri tekan (+), nyeri ketuk (+)
Sinus maksilaris Hiperemis (-), Nyeri tekan (-), nyeri ketuk (-)
(Nyeri tekan dan ketuk)
Vestibulum Bulu hidung (+), Bulu hidung (+),
hiperemis hiperemis
(-), benjolan (-), nyeri (-), (-), benjolan (-), nyeri (-),
sekret (+) sekret (+)
Cavum nasi Lapang Lapang
Septum nasi Deviasi (-),benjolan Deviasi (-),benjolan
(-)hiperemis (-), nyeri (-)hiperemis (-), nyeri
tekan (-)
tekan (-)
Konka inferior Livid (-), atrofi(+), Livid (-), atrofi(+),
hiperemis(-),discharge hiperemis(-),discharge
purulen(+), krusta (+) purulen(+), krusta (+)
Konka medius Livid (-), atrofi(+), Livid (-), atrofi(+),
hiperemis(-),discharge hiperemis(-),discharge
purulen(+), krusta (+) purulen(+), krusta (+)
Meatus nasi medius Sekret hijau purulent(+) Sekret hijau purulent(+)
Sinus frontalis Tidak ada Tidak ada
(nyeri tekan + nyeri
ketuk)
Sinus maksilaris Tidak ada Tidak ada
( nyeri tekan + nyeri
ketuk)
Septum nasi Simetris , tidak ada Simetris, tidak ada
deviasi deviasi

Rhinopharynx
 Koana : Tidak dilakukan
 Septum nasi posterior : Tidak dilakukan
 Muara tuba eustachius : Tidak dilakukan
 Tuba eustachius : Tidak dilakukan
 Torus tubarius : Tidak dilakukan

16
 Post nasal drip : Tidak dilakukan

Tenggorok
Faring
 Dinding faring : Tidak dilakukan
 Arcus : Tidak dilakukan
 Tonsil : Tidak dilakukan
 Uvula : Tidak dilakukan
 Gigi : Tidak dilakukan

Laring
 Epiglotis : Tidak dilakukan
 Plica aryepiglotis : Tidak dilakukan
 Arytenoids : Tidak dilakukan
 Ventricular band : Tidak dilakukan
 Pita suara : Tidak dilakukan
 Rima glotis : Tidak dilakukan
 Sinus piriformis : Tidak dilakukan
 Kelenjar limfe submandibula dan cervical : Tidak dilakukan

Pemeriksaan endoscopy

17
DIAGNOSIS KERJA :
Rhinitis Ozaena + Sinusitis Maxilaris Kanan
Dasar diagnosis:
Anamnesis :
 Hidung berbau
 Sekret berwarna hijau
 Penurunan penciuman
 Keluhan dirasakan ± 15tahun lalu

Pemeriksaan Fisik :
 Vestibulum di temukan pada hidung kanan dan kiri Bulu hidung (+),
hiperemis
(-), benjolan (-), nyeri (-), sekret (+)
 Konka medius dan inferior Livid (-), atrofi(+), hiperemis(-),discharge
purulen(+), krusta (+)
 Meatus nasi medius Sekret hijau purulent (+).
DIAGNOSIS BANDING
 Sinusitis
 Rinitis Ozaena (Rinitis Atrofi)
 Rinitis Simpex
 Polip
 Korpal Hidung

18
PROGNOSIS
Advitam : Dubia Ad Bonam
Adfungsionam: Dubia Ad Bonam
Adsanationam : Dubia Ad Bonam

PENATALAKSANAAN
MEDIKAMENTOSA
 Ciprofloxasim 500 mg 2x1
 metronidazol 500 mg 2x1
 Ceterizin tab 2x1
 Natrium Diklofenat 50 mg 2x1

NON – MEDIKAMENTOSA
 Spooling Hidung dengan Nacl
 Edukasi :
 Hindari paparan langsung dari suhu dingin menggunakan masker
danHindari paparan langsung dari suhu dingin menggunakan
masker dan jaket
 Membersihkan hidung dari lendir dengan air
 Meningkatkan daya tahan tubuh dengan asupan gizi yang
 Menjaga lingkungan dan sanitasi yang baik

19
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis rhinitis kronik atrofi ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis,


dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis di dapatkan bahwa pasien mengeluh
hidung tersumbat dengan keluar sekret kental dan berbau busuk sejak 15 tahun
lalu. Pasien mengaku dari usia 15 tahun pasien juga sudah mengeluhkan keluhan
yang sama tetapi beberapa bulan ini keluhan semakin memberat. Pasien juga
mengeluhkan terkadang sakit kepala. Pada pemeriksaan fisik pada pasien tidak
ditemukan tanda-tanda fisik yang khas pada pemeriksaan generalis, namun pada
pemeriksaan lokalis hidung di dapatkan kedua hidung yang kotor dengan secret
kental dan krusta. Terdapat juga atrofi dari konka media dan inferior.
Timbulnya gejala tersebut pada pemeriksaan fisik diperkirakan karena terjadi
infeksi yang sifatnya kronis pada rongga hidung oleh bakteri Klebsiella
Ozaena. Sehingga menyebabkan inflamasi yang sifatnya kronis yang membuat
perubahan pada struktur anatomi dan fungsi dari hidung. Diantaranya,epitel
menipis dan kehilangan silianya, kelenjar mukosa mengalami atrofi. Gejala klinis
yang membuat pasien datang ke dokter karena hidung terasa tersumbat yang
tidak kunjung sembuh. Selain itu, juga di dapatkan gejala sekret kental kehijauan
yang berbau busuk, pasien mengatakan bahwa orang di sekitar pasien
mengeluhkan hidung pasien yang berbau busuk yang mana pasien sendiri tidak
mengetahui bahwa hidungnya mengeluarkan bau busuk dikarenakan pasien
mengalami penurunan penciuman. Untuk menegakkan diagnosis rhinitis atrofi
ini, pemeriksaan yang pertama dilakukan anamnesis, yang mana didapatkan
gejala seperti diatas, kemudian dilakukan pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan adanya rongga hidung yang sangat lapang, terdapat sekret
yang purulent, dan banyak krusta, konka media dan inferior mengalami atrofi,
dan terdapat gangguan penghidu Pada pemeriksaan penunjang dilakukan
endoscopy tampak pada gambar.
Pasien datang kontrol pada tanggal 16 November 2021 dengan membawa
hasil foto radiologi dengan kesan Sinusitis Maxilaris Kanan.

20
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dapat berupa perforasi septum,
faringitis, sinusitis, dan hidung pelana. Tatalaksana yang diberikan pada
pasien ini adalah dilakukannya spooling hidung dengan NaCl untuk
membersihkan sekret mukopurulen dari hidung. Kemudian juga juga diberikan
antibiotik, anti inflamasi, anti histamin dan antiinflamasi non steroid. Rhinitis
kronik atrofi juga dapat disebakan defisiensi fe, defisiensi vitamin A sehingga
perlu diberikan tablet penambah darah. Apabila dengan pemberian obat-obat ini
kemudian tidak menimbulkan adanya perbaikan barulah dilakukan tindakan
bedah untuk membersihkan krusta, dan menyempitkan rongga hidung. Dan
untuk prognosis, tergantung penatalaksanaan yang tepat pada pasien, dan
kepatuhan pasien terhadap nasehat dokter spesialis.
Pencegahan yang dapat dilakukan agar tidak terjadi rhinitis kronis
atrofi kembali adalah dengan menghindari pemicu yang menjadi faktor
predisposisi yaitu menghindari udara dingin dengan memakai syal atau jaket,
menghindari makanan seperti gorengan, menghindari rokok aktif maupun
maupun pasif, kebiasaan yang kotor dihindari, dan meningkatkan daya tahan
tubuh sehingga tidak mudah terkena infeksi.

21
BAB V
KESIMPULAN

Rhinitis kronik atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik dengan adanya
atrofi progresif tulang dan mukosa konka. Etiologi penyakit ini belum jelas.
Beberapa hal dianggap sebagai penyebab seperti infeksi oleh kuman
spesifik, yaitu klebsiela, yang sering Klebsiela Ozaena, kemudian Staphylokokus
dan Pseudomonas aeruginosa, selain itu bisa juga disebabkan karena defisiensi Fe,
defisiensi vitamin A, kelainan hormonal dan penyakit kolagen. Mungkin
berhubungan dengan trauma atau terapi radiasi. Gejala klinis adalah berupa
keluhan subyektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya pada pasien
biasanya hidung terasa tersumbat, nafas hidung terasa tersumbat, nafas berbau
(sementara pasien sendiri menderita anosmia), sekret kental warna kehijauan,
krusta, gangguan penciuman, sakit kepala. Pada pemeriksaan THT ditemukan
rongga hidung sangat lapang, konka inferior, konka inferior dan media hipotrofi
atau atrofi, sekret purulen hijau, dan krusta berwarna hijau. Terapi untuk saat ini
belum ada yang baku, terapi ditujukan untuk menghilangkan etiologi dan gejala
yang dapat dilakukan secara konservatif maupun operatif.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Endang, M. & Nusjirwan, R. Rinorea, Infeksi Hidung dan Sinus dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. Jakarta.

2. Thiagarajan, Balasubramanian. Atrophic Rhinitis. A Literature Review.


WebmedCentral: ENT Scholar Review articles 2012;3(4):WMC003261.

3. Irawan, Engki. Rinitis Atrofi. FK- RSU Dr. Pirngadi dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan, Edisi III FKUI. 2010. Medan.

4. Probst R. Basic Otorhinolaryngology. New York: Thieme; 2006. P.1-27.

5. Munir, Delfitri. Penatalaksanaan Rinitis Atrofi (Ozaena) Secara Konservatif.


Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Majalah Kedokteran
Nusantara. 2006: 39: 2.

6. Yuka Sevil Ari et all. A forgotten difficult entity:Ozena Report of two cases.
Eastern Journal of Medicine 15. 2010: 114-117.

7. Thiagarajan, Balasubramanian. A review Atrophic rhinitis. Ent Scholar.


Rhinology. 2012 March 3.

8. Mark E. Friedel et all. Skull base defect in a patient with ozena undergoing
dacryocystorhinostomy. Allergy Rhinol (Providence). 2011 Jan-Mar; 2(1): 36–
39.

9. Marisa A. Earley, et all. Study of Histopathological Changes in Primary


Atrophic Rhinitis. ISRN Otolaryngol. 2011: 269479.

10. Asnir, Rizalina Arwinati. Rinitis Atrofi. Cermin Dunia Kedokteran. 2004:144.

23

Anda mungkin juga menyukai