Oleh:
Bryn Watofa Lesnussa
2019086016398
Pembimbing:
dr. Widyaratni Pramestisiwi, Sp.DV.
JAYAPURA - PAPUA
2021
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................................2
LEMBAR PENGESAHAN...........................................................................................4
LEMBAR PENILAIAN................................................................................................5
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................6
2.2 Epidemiologi.......................................................................................................8
2.4 Patogenesis........................................................................................................11
2.8 Tatalaksana........................................................................................................33
2.9 Komplikasi.........................................................................................................36
2.10 Prognosis.........................................................................................................36
3.2 Anamnesis.........................................................................................................38
2
3.7 Penatalaksanaan.................................................................................................47
3.8 Prognosis...........................................................................................................47
BAB IV PEMBAHASAN...........................................................................................48
BAB V RINGKASAN.................................................................................................51
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................52
54
3
LEMBAR PENGESAHAN
Telah disetujui dan diterima oleh Penguji Laporan Kasus dengan judul :
Sebagai salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Madya pada SMF Kesehatan Kulit dan
Kelamin Rumah Sakit Umum Dok II Jayapura
Hari/Tanggal :
Tempat :
Mengesahkan
4
LEMBAR PENILAIAN LAPORAN KASUS
Hari :
NO NAMA NILAI
1.
Pembimbing
BAB I
PENDAHULUAN
Kusta merupakan penyakit infeksi kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer menjadi
5
afinitas pertama, lalu kulit dan ukosa tractus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat1.
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang di temukan oleh G.A
Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat
dibiakan dalam media artifisial. M. leprae berbentuk kuman ukuran 3-8 µm x 0,5 µm,
tahan asam dan alkohol serta positif Gram1.
Klasifikasi penyakit kusta dilakukan berdasarkan banyak jenis klasifikasi,
diantaranya adalah sistem klasifikasi Ridley dan Jopling, Madrid, dan WHO.
Puskesmas di Indonesia menggunakan klasifikasi oleh WHO. Kalsifikasi dari WHO
Kusta tipe Pausibasiler dan Kusta tipe Multibasiler1.
Dignosis penyakit Kusta didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis, dan
histopatologis, dan serologis. Diantara ketiganya diagnosis secara klinislah yang
terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling
sedikit 15- 30 menit, histopatologik 10-14 hari. Kalau memungkinkan dapat
dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang hasilnya
baru dapat diketahui setelah 3 minggu. Penentuan tipe kusta perlu dilakukan agar
dapat menetapkan terapi yang sesuai1.
Manifestasi klinis dari penyakit ini sangat bergantung pada daya tahan dan
respon imunologis dari penderitanya. Saat kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh
penderita, akan terjadi respon dan keadaan klinis yang bergantung pada respon dari
sistem imunitas seluler (SIS) orang tersebut. Apabila SIS dalam keadaan baik maka
akan terbentuk gambaran klinis ke arah tuberkuloid, sedangkan sebaliknya bila SIS
dalam keadaan tidak baik maka akan terbentuk gambaran klinis ke arah lepromatosa1.
Penatalaksanaan kasus kusta yang buruk dapat menyebabkan kusta menjadi
progresif,menyebabkan kerusakan permanen pada kulit, saraf, anggota gerak, dan
mata2.
Pada tahun 2019 di Provinsi Papua terdapat penemuan kasus baru kusta
sebanyak 1.537 kasus yang terisi dari 373 kasus Kusta tipe Pausi Basiler dan 1.164
kasus Kusta tipe Multi Basiler3.
6
Dalam laporan kasus ini akan dibahas mengenai pasien Kusta tipe Multi Basiler
serta cara mendiagnosis, pilihan terapi, dan prognosis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan Etiologi
7
Kusta merupakan penyakit kulit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
Leprae. Kusta dikenal dengan “The Great Imitator Disease” karena penyakit ini
seringkali tidak disadari karena memiliki gejala yang hampir mirip dengan penyakit
kulit lainnya. Hal ini juga disebabkan oleh bakteri kusta sendiri mengalami proses
pembelahan yang cukup lama yaitu 2–3 minggu dan memiliki masa inkubasi 2–5
tahun bahkan lebih4.
2.2 Epidemiologi
Pada tahun 2000 Indonesia telah mencapai status eliminasi kusta ( prevalensi
kusta < 1 per 10.000 penduduk). Angka prevalensi kusta di Indonesia pada tahun
2020 sebesar sebesar 0,49 kasus/10.000 penduduk dan angka penemuan kasus baru
sebesar 4,12 kasus per 100.000 penduduk. Tren Angka kejadian pada gambar 1.
Selama sepuluh tahun terakhir terlihat tren relative menurun baik pada angka
prevalensi maupun angka penemuan kasus baru kusta atau New Case Detection Rate
(NCDR) 2.
Gambar 1. Angka Prevalensi dan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta (NCDR)
(Dikutip dari Pustaka : Kemeskes RI,2021)
8
mengumpulkan masyarakat. Selain itu, Sebagian besar sumber daya Kesehatan juga
difokuskan pada penanggulangan COVID-19, sehingga program berjalan kurang
maksimal dan penemuan kasus baru mengalami penurunan2.
Pada tahun 2020 dilaporkan terdapat 11.173 kasus baru kusta yang 86%
diantaranya merupakan kusta tipe Multi Basiler (MB). Provinsi yang dinyatakan telah
mencapai eliminasi jika angka prevalensi <1 per 10.000 penduduk. Berikut perubahan
peta eliminasi tahun 2019 (gambar2) dan 2020 gambar (3). Pada tahun 2020 sebanyak
dua puluh delapan provinsi telah mencapai eliminasi kusta, bertambah dua provinsi
dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu Sulawesi Selatan dan Gorontalo. Sedangkan
provinsi yang belum mencapai eliminasi pada tahun 2020, yaitu Sulawesi Utara,
Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua2.
9
Gambar 3. Peta Eliminasi Kusta di Indonesia tahun 2020
(Dikutip dari Pustaka : Kemenkes RI,2021)
Pada tahun 2019 di Provinsi Papua terdapat penemuan kasus baru kusta
sebanyak 1.537 kasus yang terisi dari 373 kasus Kusta tipe Pausi Basiler dan 1.164
kasus Kusta tipe Multi Basiler3.
10
ukuran rumah tidak sebanding dengan jumlah orang maka akan mengakibatkan
dampak buruk bagi kesehatan dan berpotensi terhadap penularan dan infeksi7.
2.4 Patogenesis
M. leprae memiliki patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita
yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah
timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri
atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit
imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya
daripada intensitas infeksinya1.
Basil dari M. Leprae yang masuk kedalam tubuh melalui traktus respiratorius
dan menembus sistem retikuloendotelial, lalu kuman akan bermigrasi ke jaringan
saraf dan masuk ke dalam sel schwann yang merupakan target utamanya, dan dapat
pula ditemukan pada sel otot, endotel dan pembuluh darah. Setelah masuk kedalam
sel sel targetnya, kuman lepra akan mulai berkembang biak secara perlahan (12-14
hari untuk satu kuman berubah menjadi dua ) di dalam sel yang dihancurkannya, lalu
kuman ini akan mencari sel yang belum di infeksi, sampai fase ini seseorang yang
terinfeksi masih belum merasakan gejala yang jelas. Bersamaan dengan multifikasi
bakteri, imunitas tubuh akan berespon, seperti limfosit dan histiosit akan menyerang
kuman pada jaringan yang terinfeksi dimana akan terbentuk sel granul akibat proses
imunitas tubuh sehingga saraf tertekan dan menyebabkan pembesaran pada saraf
(edema) lalu pada fase ini seseorang yang terinfeksi akan merasakan adanya gejala
klinis yang jelas berupa anastesi, alopesia, anhidrosis, atrofia, akromia5.
11
penyakit ini sangat bergantung pada daya tahan dan respon imunologis dari
penderitanya. Saat kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh penderita, akan terjadi
respon dan keadaan klinis yang bergantung pada respon dari sistem imunitas seluler
(SIS) orang tersebut. Apabila SIS dalam keadaan baik maka akan terbentuk
gambaran klinis ke arah tuberkuloid, sedangkan sebaliknya bila SIS dalam keadaan
tidak baik maka akan terbentuk gambaran klinis ke arah lepromatosa1.
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada
penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe dan bentuk, yaitu : TT (Tuberkuloid
polar, yang bentuk stabil), Ti (Tuberkuloid indenfinite), BT (Borderline tuberculoid),
BB (Mid borderline), BL (Borderline lepromatous), Li (Lepromatosa indenfinite),
dan LL (Lepromatosa polar, bentuk yang stabil)1.
12
Tabel 3 . Manifestasi Klinis Kusta Tipe Multibasiler 1
BTA
13
Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Variasi
BTA
Tes Lepromin Positif kuat (3+) Positif Lemah Dapat positif lemah
atau negative
Berikut ini beberapa gambaran klinis klini dari Kusta tipe Multibasiler maupun Kusta
tipe Pausibasiler, yaitu :
1. Kusta tipe TT (Tuberkuloid)
Jenis lesi ini pada umumnya bersifat stabil. Lesi pada umumnya solitair
(tunggal) ataupun hanya beberapa; berwarna kemerahmerahan atau kecoklat-
coklatan atau hipopogmentasi; berbentuk oval atau bulat, berbatas tegas dari
kulit yang normal disekitarnya. Batas tepinya dapat mengalami sedikit
peninggian diseluruh atau beberapa bagian. Permukaannya kering dan dapat
memperlihatkan penyembuhan sentral atau suatu atrofiyang ringan.
Kehilangan rambut, keringat, dan mati rasa dapat ditemukan. Hasil-hasil
pemeriksaan BTA negatif, sedangkan reaksi Mitsuda positif10.
14
Lesi kulit ini dapat ditemukan dari beberapa sampai banyak, berwarna,
kemerah-merahan sampai kecoklatan atau hypochromik; dan ada lesi-lesi yang
tersendiri yang dapat meninggi keseluruhan atau dapat memiliki suatu
penyembuhan (“clearing”) sentral; batas-batasnya tampak dengan nyata
apabila dibandingkan dengan kulit yang sehat disekelilingnya. Permukaan
dapat bersifat licin tetapi pada umumnya kasar dan bersisik. Saraf-saraf tepi
kadangkala dapat teraba menebal. Hasil pemeriksaan BTA positif ringan;
sedangkan reaksi Mitsuda adalah positif lemah sampai positif kuat10.
15
Lesi kulit kebanyakan terdiri dari suatu makula tunggal datar, biasanya sedikit
hipopigmentasi ataupun sedikit erythematosa; sedikit oval ataupun bulat.
Permukaannya rata dan licin, tidak ditemui tanda-tanda ataupun perubahan
tekstur kulit. Batasbatas yang terlihat kadangkala tegas tetapi pada umumnya
agak semu. Lesi biasanya terdapat pada bagian kulit yang terbuka. Pada
umumnya mati rasa pada makula-makula sangat seditkit. Pemeriksaan BTA
(Basil Tahan Asam) pada umumnya negatif atau kadang kala positif. Reaksi
Mitsuda pada umumnya positif tetapi dapat pula negatif pada beberapa kasus
yang jarang10.
16
Lesi-lesi kulit bias beberapa sampai banyak, dengan warna kemerahan atau
kecoklatan, berbentuk oval atau bulat. Lesilesi ini mengalami infiltrasipada
seluruh lesi atau kadang kala dengan suatu penyembuhan sentral (clearing
central area) yang menghasilkan suatu penampilan “punched out” atau dapat
pula berupa plakat-plakat (plaques) yang Sukkulent dan menebal ataupun
berupa pita-pita yang tebal. Mati rasa pada makula sedikit sekali, hanya
didapati ditengah daerah imun atau beberapa tempat yang tertentu. Hasil
pemeriksaan BTA pada umumnya positif; sedangkan reaksi Mitsuda pada
umumnya negative, tetapi bisa positif lemah10.
17
Lesi-lesi kuli bentuknya berbagai ragam (multiform) bervariasi dalam hal
ukuran, menebal atau mengalami infiltrasi, berwarna kemerah-merahan
ataupun kecoklatan, sering banyak dan meluas. Mereka dapat ditemukan
secara bilateral dalam hal distribusi tetapi tidak simetris. Permukaan dari lesi
pada umumnya licin dan mengkilap dengan batas-batas lesi tidak nyata.
Bercak kulit berupa infiltrat yang diffuse dapat pula dilihat disini. Gangguan
sensorik yang bervariasi dari kurang rasa sampai anesthesia total, anesthesia
pada tangan dan kaki biasanya asimetris. Hasil pemerksaan BTA adalah
positif dan reaksi Mitsuda adalah negatif10.
18
namun demikian masih dapat ditemui sejumlah kecil sisa lesi-lesi dari kusta
borderline yang asimetris. Disamping itu juga terdapat kerusakan saraf (tepi)
yang asimetris dengan pembesaran saraf. Pada tipe penyakit kusta ini alis
mata bisa kita temui masih baik. Hasil pemeriksaan BTA adalah positif
sedangkan reaksi Mitsuda adalah negatif10.
19
yang telah sembuh atau pada daerah-daerah yang lain yang belum pernah
terkena lesi disamping itu dapat terjadi pada tempat-tempat yang lain yang
jarang terserang lesi kusta. Hasil-hasil pemeriksaan BTA positif kuat dan
reaksi Mitsuda negatif10.
20
Pertama-tama kita harus memilih tempat-tempat di kulit yang diharapkan
paling padat oleh bakteri, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat
yang akan diambil. Untuk pemeriksaan rutin biasanya diambil dari minimal
4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 tempat lain
yang paling aktif, berarti yang paling merah di kulit dan infiltratif1.
Pemilihan kedua cuping telinga tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya
lesi di tempat tersebut, oleh karena atas dasar pengalaman tempat tersebut
diharapkan mengandung kuman paling banya. Perlu diingat bahwa setiap
tempat pengambilan harus di dicatat, guna pengambilan ditempat yang sama
pada pengamatan pengobatan untuk dibandingkan hasilnya1.
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skalpel steril. Setelah lesi
tersebut didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar
menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin
darah yang akan mengganngu gamabaran sediaan. Irisan yang dibuat harus
sampi ke dermis, melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan
yang di harapkan banyak mengandung sel lepra yang di dalamnya
mengandung kuman M.Leprae. Kerokan jaringan itu dioleskan di gelas alas,
difiksasi di atas api, kemudian di warnai dengan pewarnaan Ziehl Neelsen.
Sediana mukosa hidung diperoleh dengan car nose blows, terbaik dilakukan
pada pagi hari yang ditampung pada sehelai plastic. Perhatikan sifat duh tubuh
(discharge) tersebut, apakah cair, serosa, bening, mucoid, mukopurulen,
purulent, ada darh atau tidak. Sedian dapat dibuat langsung atau plastic
tersebut dilipat dan dikirim ke laboratorium. Dengan kapas lidi bahan
dioleskan merata pada gelas alas. Fikasi harus pada hari yang sama,
pewarnaan tidak perlu pada hari yang sama. Cara lain pengambilan bahan
kerokan mukosa hidung dengan alat semacam scalpel kecil tumpul atau bahan
olesan dengan kapas lidi. Sebaiknya diambil di daerah septum nasi
selanjutnya dikerjakan seperti biasa1.
M. leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan. Dibedakan
bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran
21
(granular). Bentuk solid adalah kuman hidup, sedangkan bentuk fragmented
dan granular merupakan bentuk mati. Bentuk yang yang hidup lebih
berbahaya karena dapat berkembang biak dan menularkan ke orang lain. Sejak
pengambilan bahan kerokan jaringan samapai selesai menjadi sediaan,
perlengkapan laboratorium, siapa yang mengerjakan, yang melihat dan yang
yang menginterpretasikan sediaan, akan menentukan mutu hasil
bakterioskopik.
Kepadatan M. leprae tanpa membedakan solid (utuh) atau nonsolid
(terfragmentasi atau granuler) pada sebuah sediaan dinyatakan dengan Indek
Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley. Seperti tertera di
bawah ini :
Rumus :
Jumlah solid
X 100 % = …%
Jumlah solid + nonsolid 22
Syarat perhitungan :
23
Gambar 4. Gambaran Histopatologi
(Dikutip dari pustaka 8)
2.6.3 Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk
dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi antiphenolic
glycoplipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD1.
Phenolic glycolipid-1 merupakan antigen spesifik terhadap M. leprae.
Molekul PGL-1 terdiri atas trisakarida khas, yaitu 3,6-di-O-methyl--D-
glucopyranosyl-(1 4)- 2,3-di-O-methyl--L-rhamnopyranosyl-(1 2)-3-O-
methyl- -L-rhamnopyranose. Trisakarida terminal ini menunjukkan
spesifisitas antigenik terhadap M. leprae. Trisakarida ini digunakan pada
pemeriksaan seroepidemiologis. Antigen PGL-1 dapat ditemukan di semua
jaringan yang terinfeksi M. leprae dan menetap dalam waktu yang lama,
walaupun organisme tersebut telah mati10.
Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosis kusta
yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Disamping
itu, dapat membantu menentukan subklinis, tidak didapati lesi kulit, misalnya
narakontak serumah. Macam-macam pemeriksaan serologik kusta yang dapat
dilakukan adalah: tes ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent Assay), tes
MLPA ( Mycobacterium Leprae Particle Agglutination), Mycobacterium
leprae dipstick test (ML dipstick test), dan Mycobacterium leprae flow test
(ML flow test) 1.
Uji ELISA adalah uji laboratoris yang memerlukan peralatan khusus serta
ketrampilan tinggi. Uji ELISA merupakan metode kuantifikasi antigen di atas
permukaan solid menggunakan antibodi spesifik dengan pasangan enzim
kovalennya. Jumlah antibodi yang berikatan dengan antigen sebanding dengan
jumlah antigen dan ditentukan oleh pengukuran spektrofotometri terhadap
perubahan substrat, yaitu dari tidak berwarna menjadi produk berwarna oleh
enzim pasangannya. Uji ELISA merupakan pemeriksaan dengan sensitivitas
24
(>99%) dan spesifisitas (>99%) yang tinggi. Berbagai keuntungan uji ELISA
meliputi kemudahan penggunaan dan pembacaan, cepat, sensitif, reagen
mudah diperoleh, dapat digunakan untuk uji berbagai antibodi karena dapat
menggunakan berbagai antigen, dan aman. Pada penyakit kusta, uji ELISA
dapat digunakan untuk mengukur titer antibodi terhadap M. leprae, misalnya
antibodi anti PGL-1 dan antibodi anti protein 35 kD. Kelas antibodi yang
diperiksa juga ditentukan, misalnya IgM anti PGL-1 dan IgG anti PGL-1.
Untuk antibodi anti PGL-1 biasanya IgM lebih dominan dibandingkan dengan
IgG, sedangkan antibodi terhadap protein biasanya didominasi oleh IgG.
Untuk menentukan nilai ambang batas (cut off point) hasil uji ELISA ini,
biasanya ditentukan setelah mengetahui kesetaraan individu yang menderita
kusta dan yang tidak. Namun untuk daerah endemis kusta, banyak orang sehat
juga menunjukkan titer antibodi anti PGL-1 yang cukup tinggi, sehingga
penentuan nilai ambang menjadi bervariasi di tempat yang berbeda. Di daerah
Jawa Timur, nilai ambang untuk antibodi IgM anti PGL-1 sekitar 600u/mL
atau setara titer 1/128 pada uji MLPA. Bila digunakan untuk memantau hasil
pengobatan, dapat dilakukan secara berkala setiap tiga bulan9.
Uji MLPA adalah pemeriksaan aglutinasi partikel gelatin menggunakan
partikel gelatin dengan trisakarida. Pemeriksaan MLPA, menggunakan serum
pasien, memerlukan waktu 2 jam bila inkubasi dilakukan pada suhu ruangan
atau 1 jam bila diinkubasi pada suhu 37°C setelah pencampuran partikel
gelatin dan serum pasien. Uji MLPA merupakan uji yang mudah digunakan
khususnya di daerah endemis, dengan sensitivitas dan spesifisitas setara
dengan uji ELISA. Deteksi dini penyakit kusta stadium subklinis dapat
ditunjang oleh uji MLPA, melalui penentuan titer antibodi IgM anti-PGL-1
M. leprae. Titer antibodi IgG anti-PGL-1 M. leprae tidak dapat dideteksi oleh
uji ini karena rendahnya kemampuan aglutinasi antibodi IgG anti-PGL-1. Uji
MLPA bersifat kualitatif, namun dapat dilanjutkan sampai pada penentuan
titer antibodi (semi-kuantitatif). Pada uji kualitatif, hasil positif bila terjadi
aglutinasi sampai pada sumur ketiga. Pada uji semi-kuantitatif, hasil positif
25
dinyatakan dengan titer 1:32, 1:64, 1:128, dan seterusnya, yang menyatakan
derajat kepositivan pada pengenceran serum. Semakin besar pengenceran
berarti semakin tinggi kadar antibodi tersebut dalam darah9.
Uji ML dipstick merupakan pemeriksaan yang mudah untuk mendeteksi
antibodi IgM PGL-1 M. leprae dengan sensitivitas yang hampir sama dengan
uji ELISA, namun tidak memerlukan berbagai peralatan serta ketrampilan
khusus. Reagen yang digunakan pada uji ML dipstick stabil dan tidak
memerlukan alat pendingin. Hasil uji ML disptick terdiri atas dua pita
horizontal. Satu pita di bawah mengandung epitop imunodominan M. leprae
yang spesifik, yaitu PGL-1 dan pita kedua berada di atas sebagai kontrol.
Pengukuran ini menunjukkan ikatan antara antibodi IgM M. leprae yang
spesifik terhadap antigen M. leprae. Ikatan antibodi IgM dapat dideteksi
secara spesifik dengan anti human dye conjugated. Dipstick yang
mengandung antigen dicelupkan dalam serum yang diencerkan 1:50 dan
dicampur dengan reagen, selanjutnya diinkubasi selama 3 jam. Pewarnaan
pada pita antigen menunjukkan antibodi IgM spesifik terhadap M. leprae. Pita
kontrol digunakan untuk melihat integritas reagen. Walaupun secara teori uji
ini dapat digunakan untuk mendeteksi kusta stadium subklinis, namun masih
perlu penelitian lebih lanjut. Data mengenai sensitifitas dan spesifisitas uji ini
pada penyakit kusta stadium subklinis belum pernah dilaporkan. Dilaporkan
bahwa kombinasi uji ini dengan perhitungan jumlah lesi klinis dapat
meningkatkan nilai sensitivitas dari 85% menjadi 94%9.
Uji ML Flow adalah pemeriksaan yang mudah untuk mendeteksi antibodi
IgM anti-PGL-1 M. leprae. Uji ML flow merupakan pemeriksaan
imunokromatografi yang terdiri atas strip nitroselulosa. Pada salah satu ujung
strip terdapat bagian yang terbuat dari serat wool mengandung antibodi anti
human IgM yang dilabel dengan koloid emas kering, dan di sisi lainnya terdiri
atas bagian yang berfungsi untuk absorpsi. Bahan yang digunakan sebagai
sampel adalah darah atau serum. Apabila ditemukan antibodi IgM spesifik,
maka akan terjadi ikatan dan tampak garis kemerahan. Penilaian sensitifitas
26
dan spesifisitas uji ini pada penyakit kusta stadium subklinis belum pernah
dilaporkan. Namun, terdapat laporan bahwa bila uji ML flow digunakan untuk
deteksi dini kusta tipe MB disertai gejala klinis, pemeriksaan BTA, serta
histopatologi, menunjukkan sensitivitas 97.4%9.
2.7.1 Psoriasis
Keluhan biasanya berupa bercak merah bersisik mengenai bagian tubuh
terutama daerah ekstensor dan kulit kepala. Disertai rasa gatal. Pengobatan
menyembuhkan sementara kemudian dapat muncul kembali. Dapat pula dijumpai
keluhan berupa nyeri sendi, bercak merah disertai dengan nanah, dan bercak merah
bersisik seluruh tubuh. Infeksi, obat-obatan, stres, dan merokok dapat mencetuskan
kekambuhan atau memperburuk penyakit. Sering disertai sindrom metabolik. Bisa
ditemukan riwayat fenomena Koebner13. Kusta tipe TT dan BB dapat didiagnosis
banding dengan Psoriasis.
27
Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas
tegas terdiri atas eritema, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah
lebih tenang. Kadang-kadan terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi pada
umumnya bercak terpisah satu dengan yang lain. Tampak lesi berbentuk polisiklik,
karena beberapa lesi kulit menjadi satu12. Kusta tipe BT dapat didiagnosis banding
dengan Tinea Korporis.
28
Keluhan gatal atau rasa terbakar. timbul makula berwarna merah muda dengan
tepi menimbul. Timbul dalam beberapa minggu berupa makula hipopigmentasi
dengan skuama putih halus (powdery white scale) pada permukaannya. makula
hipopigmentasi tanpa skuama yang dapat menetap hingga beberapa bulan/tahun. Lesi
umumnya berukuran 0,5-3 cm. Dapat berbentuk bulat, oval atau ireguler. Tempat
predileksi utama yaitu daerah wajah, dapat pula ditemukan di leher , batang tubuh,
dan ekstremitas13. Kusta tipe I dan LL dan dapat didiagnosis banding dengan Ptriasis
Alba.
2.7.6 Neurofibromatosis
Kondisi autosomal dominan dengan insiden 1:3000 kelahiran hidup yang
ditandai dengan dua dari tanda berikut, yaitu cafe-au-lait, neurofibroma kutaneus atau
plexiform, freckling intertriginosa, glioma optikum, nodul lisch iris, lesi tulang yang
khas atau saudara tingkat pertama yang menderita penyakit yang sama.
Neurofibroma: benign nerve sheath tumors, dengan gambaran massa diskret yang
menimbul dari saraf perifer. Enam atau lebih makula cafe-au-lait lebih besar dari 5
mm pada individu prepubertal, dan lebih dari 15 mm pada individu postpubertal. Dua
atau lebih neurofibroma tipe apapun atau satu neurofibroma pleksiform. Freckling
pada regio aksila atau inguinal, dan dibawah payudara. Glioma optikum. Dua atau
lebih nodul Lisch iris13. Kusta tipe BL dan LL dapat didiagnosis banding dengan
Neurofibromatosis.
29
Gambaran klinis Psoriasis
(Dikutip dari Internet : https://fastway4you.com/best-topical-treatment-for-plaque-psoriasis/)
30
Gambaran klinis Ptriasis Versikolor
(Dikutip dari Internet : https://smartskindermatology.com/tinea-versicolor/)
31
Gambaran klinis Tinea Korporis
(Dikutip dari Internet : https://sites.google.com/site/russiabioii/diseases-to-be-aware-
of/ringworm)
32
Gambaran klinis Ptriasis Alba
(Dikutip dari Internet : https://nakita.grid.id/read/02963069/berita-kesehatan-anak-kenali-
pitiriasis-alba-penyebab-bintik-bintik-putih-di-wajah-anak?page=all)
33
Gambaran Klinis Veruka Vulgaris
(Dikutip dari Internet : https://pdfcoffee.com/referat-veruka-vulgaris-pdf-free.html)
2.8 Tatalaksana
Obat anti kusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin, dan rifampisin. DDS mulai dipakai
sejak1948 dan di Indonesia digunakan pada tahun 1952. Klofazimin dipakai sejak
1962 oleh Brown dan Hogerzeil, dan rifampisin sejak tahun 1970. Pada 1988 WHO
menambahkan 3 obat alternatif, yaitu ofloksasin, minosiklin dan klaritrimisin.
Pengobatan dengan multi drug treatment (MDT) untuk MB adalah Rifampisin 600
mg setiap bulan dalam pengawasan, DDS 100 mg setiap hari, dan Klofazimin 300 mg
setiap bulan dalam pengawasan selama 24-36 bulan dengan syarat berhenti yaitu
bakterioskopis negatif. MDT untuk PB adalah Rifampisin 600 mg setiap bulan dalam
pengawasan dan DDS 100 mg setiap hari selama 6-9 bulan1.
2.8.1 DDS
DDS merupakan singkatan dari Diamino Diphenyl Sulfone. Bentuk obat berupa
tablet warna putih dengan takaran 50 mg/tab dan 100 mg/tablet. Sifat bakteriostatik
yaitu menghalang/menghambat pertumbuhan kuman kusta. Dosis: dewasa 100
mg/hari, anak-anak 1-2 mg/kg berat badan/hari. Efek samping jarang terjadi, berupa
anemia hemolitik. Manifestasi kulit (alergi) seperti halnya obat lain, seseorang dapat
34
alergi terhadap obat ini. Bila hal ini terjadi harus diperiksa dokter untuk
dipertimbangkan apakah obat harus distop. Manifestasi saluran pencernaan makanan :
tidak mau makan, mual, muntah. Manifestasi urat syaraf; gangguan saraf tepi, sakit
kepala vertigo, penglihatan kabur, sulit tidur, gangguan kejiwaan1.
2.8.2 Rifampisisn
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS
dengan dosis 10mg/kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap bulan.
Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar
kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu
diikutkan, tidak boleh diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek
sampingnya. Ditemukan dan dipakai sebagai obat antituberkulosis pada tahun 1965
dan sebagai obat kusta pada tahun 1970 oleh REES dkk., serta Leiker dan Kamp.
Resistensi pertama terhadap M. Leprae dibuktikan pada tahun 1976 oleh Kacobson
dan Hastings. Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik,
nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi kulit1.
2.8.3 Klofazimin
Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh Brown dan
Hoogerzeil. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang
sehari, atau 3 antiinflamasi sehingga dapat dipakai pada penanggulangan ENL dengan
dosis lebih yaitu 200-300mg/hari namun awitan kerja baru timbul 2-3 minggu.
Resistensi pertama pada satu kasus dibuktikan pada tahun 1982. Clofazimine bekerja
juga dengan menghambat Adipose Differentiated-Related Protein (ADRP) pada sel-
sel yang terinfeksi oleh Mycobacterium leprae. Hal ini dimaksudkan untuk
menghambat pertumbuhan dari bakteri yang hanya dapat tumbuh pada lingkungan
tersebut. Karakteristik ini tidak ditemukan pada DDS (dapsone) ataupun rifampisin.
Efek samping ialah warna merah kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan pada
sklera, sehingga mirip ikterus, apalagi pada dosis tinggi, yang sering merupakan
masalah dalam ketaatan berobat penderita. Hal tersebut disebabkan karena klofazimin
35
adalah zat warna dan dideposit terutama pada sel retikuloendotelial, muka dan kulit.
Pigmentasi bersifat reversible, meskipun menghilangnya lambat sejak obat
dihentikan. Efek samping lain yang hanya terjadi dalam dosis tinggi, yakni nyeri
abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan
berat badan1.
2.8.4 Ofloksasin
Ofloksasin merupakan turunan flourokuinolon yang paling aktif terhadap
Mycobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400mg. Dosis tunggal
yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium leprae hidup
sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna
lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala,
dizziness, nervousness dan halusinasi1.
2.8.5 Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi
daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar harian
100mg. Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang
menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simtom saluran
cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness, dan unsteadiness. Oleh sebab itu
tidak dianjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan1.
2.8.6 Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotik mikrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal
terhadap Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta
lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99,9% dalam 56 hari. Efek
sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare yang terbukti sering ditemukan bila
obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg1.
36
2.9 Komplikasi
Mycobacterium leprae menyerang saraf tepi tubuh manusia. Tergantung dari
kerusakan saraf tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi saraf tepi : sensorik, motorik
dan otonom. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi,
baik karena kuman kusta maupun karena terjadinya peradangan (neuritis) sewaktu
keadaan reaksi lepra. Kerusakan saraf pada penderita kusta meliputi:
2.10 Prognosis
37
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis tidak mendapat pengobatan
mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita
dengan reaksi kusta, terutama reaksi reversal, lesi kulit multiple dan dengan saraf
yang membesar atau nyeri juga memiliki resiko tersebut. Cara terbaik untuk
melakukan pencegahan adalah dengan mendiagnosis kusta secara dini dan dengan
pemberian pengobatan secara cepat dan tepat 1.
38
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. MW
Umur : 35 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Dok 8
Pekerjaan : Nelayan
No RM : 448573
Tanggal Pemeriksaan : 4 Oktober 2021
3.2 Anamnesa
Anamnesis dilakukan secara autotoanamnesis dan alloanamnesa yang dilakukan
pada 4 Oktober 2021 pukul 11.00 WIT di poli Kulit dan Kelamin RSUD Dok II
Jayapura.
1. Keluhan Utama
Tangan kiri bengkak , kaki kanan dan kaki kiri bengkak serta terasa nyeri
pada pergelangan tangan dan kaki, terdapat bentol pada punggung tangan
dan tidak terasa gatal.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli klinik kulit dan kelamin RSUD Dok 2 bersama dengan
istrinya dengan keluhan tangan kiri bengkak, kaki kanan dan kaki kiri
bengkak serta terasa nyeri pada pergelangan tangan dan kaki ±2 hari.
Terdapat bentol-bentol pada punggung tangan. Dan juga pasien mengaku
badan terasa lemas dan wajah sedikit kaku.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
39
Pasien pernah mengalami penyakit ini sebelumnya pada tahun 2018,
berdasarkan keterangan pasien dari istri pasien. Pasien pernah diobati di
Puskesmas tetapi muncul kembali. Riwayat alergi disangkal.
40
:
Simetris, edema (-)
Mata
:
Exoftalmus (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema palpebra
(-/-), pupil bulat isokor, reflex cahaya (+/+).
Hidung
:
Tidak dilakukan
Telinga
:
Deformitas (-), sekret (-), nyeri tekan tragus (-), pembesaran KGB local (-),
pembesaran N. Aurical magnus (-).
Mulut
:
Mukosa bibir lembab, sianosis (-), oral candidiasis (-), stomatitis (-).
Leher
:
Perubahan warna kulit (-), tidak tampak benjolan dan tidak teraba
benjolan/pembesaran KGB lokal.
b. Thorax
c.
1) Paru
Inspeksi
:
Pergerakan dada simetris
Palpasi
41
:
Ekspansi dada (+) Dextra = Sinistra.
Perkusi
:
Tidak dilakukan
Auskultasi
:
Suara napas vesikuler/vesikuler, wheezing (-/-), rhonki(-/-).
2) Jantung
Inspeksi
:
Tidak tampak pulsasi
Palpasi
:
Thrill (-).
Perkusi
:
Tidak dilakukan
42
Auskultasi
:
BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
d. Abdomen
Inspeksi
:
Datar, jejas (-).
Auskultasi
:
Bising usus (+) normal
Palpasi
:
Supel, nyeri tekan (-), pemeriksaan hepar/lien tidak dilakukan
Perkusi
:
Tidak dilakukan
e. Ekstremitas
Ekstremitas : Simetris. Warna kulit hitam, sianosis (-),
superior ikterik (-), Akral hangat, CRT < 2 detik,
Udem (-).
Ekstremitas inferior : Simetris. Warna kulit hitam, sianosis (-),
ikterik (-), Akral hangat, CRT < 2 detik,
43
Udem tungkai (+)
f. Genitalia Sex : Laki-laki, tidak dilakukan evaluasi.
g. Vegetatif Makan Normal, makan cukup, nafsu makan baik
2. Status Dermatologis
Lokasi I: Regio Manus Dorsum Sinistra : tampak nodul-nodul eritema
44
Foto klinis lokasi II
(Dikutip dari : Sumber pribadi)
45
Foto klinis lokasi IV
(Dikutip dari : Sumber pribadi)
46
Foto klinis lokasi VI
(Dikutip dari : Sumber pribadi)
Lokasi VII : Regio patella sinistra : tampak nodul eritema serta tampak
edema
47
Foto klinis lokasi IX
(Dikutip dari : Sumber pribadi)
48
Lokasi XI : Regio Pedis Sinistra: tampak edema pada dorsum pedis:
tampak makula hiperpigmentasi pada dorsum pedis dan medialis padis
Pada table 5 menunjukan bahwa bagian sampel tubuh yang diambil untuk di jadikan
sampel pemeriksaan bakteriskopik dengan pewarnaan Zielh Nelseen, yaitu cuping
telinga kanan, cuping telinga kiri, lutut kanan, dan lutut kiri dengan masing-masing
memiliki hasil (+3). Berdasarkan Indeks Bakteri menurut Ridley, yaitu (+3) bila
ditemukan 1 sampai 10 BTA rata-rata dalam 1 lapang pandang. Dengan indeks
morfologi bakterinya : 52 %.
49
3.6 Diagnosis Banding
- Ptriasis Rosea
- Ptriasis Versikolor
- Veruka Vulgaris
- Neurofibromatosis
3.7 Penatalaksanaan
1. Farmakologi
- Rimfampicin 600 mg/bulan dalam pengawasan
- DDS 100 mg/hari
- Clofazamin 300 mg/bulan dalam pengawasan, diteruskan 50 mg/hari atau
3 kali 100 mg setiap minggu
3.8 Prognosis
1. Quo ad vitam : bonam
2. Quo ad sanationam : dubia ad bonam
3. Quo ad fuctionam : dubia ad bonam
50
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dengan menanyakan
gejala-gejala yang dirasakan oleh pasien dan melalui pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien Tn. MW usia 35
tahun datang ke Poli klinik kulit dan kelamin RSUD DOK 2 Jayapura dengan
keluhan tangan kiri dan tangan kanan bengkak dan kedua kaki kanan dan kiri
bengkak mulai dikeluhkan pasien sejak ± 2 hari yang lalu .Pasien juga mengaku
terasa nyeri pada perggelangan tangan dan kaki yang bengkak. Dan juga pasien
mengaku badan terasa lemas dan wajah sedikit kaku. Pasien mengaku pernah
memiliki riwayat penyakit ini sebelumnya pada tahun 2018. Dari keterangan pasien
dan istri pasien, dilingkungan tempat tinggal pasien terdapat tetangga yang memiliki
masalah kulit yang sama dan tetangga tersebut tidak pernah berobat. Berdasarkan
WHO didalam PERDOSKI 2017, menyatakan bahwa diagnosis kusta didasarkan
pada temuan kardinal (tanda utama) yaitu bercak kulit yang mati rasa, penebalan saraf
tepi, dan ditemukan kuman tahan asam. Diagnosis kusta ditegakkan bila ditemukan
paling sedikit satu tanda kardinal. Selain tanda kardinal, dari anamnesa didapatkan
riwayat berikut, yaitu riwayat kontak dengan pasien, latar belakang keluarga dengan
riwayat tinggal didaerah endemis dan keadaan sosial ekonomi, serta riwayat penyakit
kusta13.
Berdasarkan pemeriksaan fisik pada Tn. MW didapatkan nyeri pada
pergelangan tangan dan kaki status dermatologis berupa makula hiperpigmentasi pada
kedua ekstremitas atas dan bawah, dan juga tampak nodul-nodul eritema pada regio
manus dextra dan sinistra. Hal ini sesuai dengan teori, bahwa pada pemeriksaan fisik
kusta ditemukan makula hiperpigmentasi, plak eritem, nodus,infiltrate, dan juga
terasa nyeri dibagian daerah lesi13.
Berdasarkan pemeriksaan penunjang pada pasien, dilakukan pemeriksaan
bakteriskopik yaitu dengan pengambilan Reitz serum yang kemudian dilakukan
pewarnaan BTA ZN. Pemeriksaan pada pasien dilakukan di 4 tempat yaitu cuping
telinga kanan, cuping telinga kiri, lutut kanan, dan lutut kiri. Dari pemeriksaan
51
tersebut didapatkan BTA(+3) pada lesi di cuping telinga kanan, cuping telinga
kiri,lesi pada lutut kanan, dan lutut kiri. Berdasarkan indeks bakteri menurut Ridley,
3+ bila ditemukan 1-10 BTA dalam 1 LP. Menurut buku Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin FK UI (2010), pemeriksaan penunjang pada morbus hansen, dapat berupa :
bakterioskopik, histopatologik, dan serologik. Pada pemeriksaaan bakterioskopik,
sediaan dari jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan
pewarnaan BTA ZIEHL NEELSEN. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk
rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2
-4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif.
Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat
1
tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae .
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang maka
diagnosis pada pasien ini mengarah kepada Kusta tipe Multibasilaris.
Diagnosis banding pada kasus ini ptriasis rosea disingkirkan karena ptriasis
rosea umum memiliki gejala dan lesi pertama dibadan, soliter, berbentuk oval dan
anular, dengan diameter kira-kira 3cm dan terdiri dari eritema dan skuama halus
dipinggir. Dan juga ditemukan herald patch1. Sedangkan pada kasus hanya
ditemukan pada lengan atas.
Dignosis banding pada kasus ini ptriasis versikolor disingkirkan karena pada
kasus ditemukan makula hiperpigmentasi. Berdasarkan teori bercak di kulit, yang
kadang menimbulkan rasa gatal terutama bila berkeringat. Rasa gatal umumnya
ringan atau tidak ada sama sekali. Warna dari bercak bervariasi dari putih, merah
muda hingga coklat kemerahan. Predileksi lesi terutama di daerah seboroik, yaitu
tubuh bagian atas, leher, wajah dan lengan atas; berupa bercak hipopigmentasi,
eritema hingga kecoklatan, konfluen dengan skuama halus13.
Dignosis banding pada kasus ini Veruka Vulgaris disingkirkan karena pada
kasus ditemukan nodul eritema. Berdasarkan teori merupakan lesi kulit tunggal atau
berkelompok, bersisik, memiliki permukaan kasar berupa papul atau nodul yang
seperti duri. Lesi muncul secara perlahan dan dapat bertahan dengan ukuran kecil,
atau membesar. Lesi dapat menyebar ke bagian tubuh lain. Berbentuk papul verukosa
52
yang keratotik, kasar, dan bersisik. Lesi dapat berdiameter kurang dari 1 mm hingga
lebih dari 1 cm dan dapat berkonfluens menjadi lesi yang lebih lebar13.
Dignosis banding pada kasus ini Neurofibromatosis disingkirkan karena pada
kasus ditemukan nodul eritema. Berdasarkan teori merupakan kondisi autosomal
dominan dengan insiden 1:3000 kelahiran hidup yang ditandai dengan dua dari tanda
berikut, yaitu cafe-au-lait, neurofibroma kutaneus atau plexiform, freckling
intertriginosa, glioma optikum, nodul lisch iris, lesi tulang yang khas atau saudara
tingkat pertama yang menderita penyakit yang sama. Neurofibroma: benign nerve
sheath tumors, dengan gambaran massa diskret yang menimbul dari saraf perifer.
Enam atau lebih makula cafe-au-lait lebih besar dari 5 mm pada individu prepubertal,
dan lebih dari 15 mm pada individu postpubertal. Dua atau lebih neurofibroma tipe
apapun atau satu neurofibroma pleksiform. Freckling pada regio aksila atau inguinal,
dan dibawah payudara. Glioma optikum. Dua atau lebih nodul Lisch iris13.
Pada kasus ini pasien Tn. MW diberikan pengobatan MDT (Multy Drugs
Therapy), yaitu dengan menggunakan Rimfampicin 600 mg/bulan; DDS 100 mg/hari;
dan Clofazamin 300 mg/bulan dalam pengawasan, diteruskan 50 mg/hari atau 3 kali
100 mg setiap minggu. Mula-mula diberikan 24 dosis dalam 24 sampai 36 bulan
dengan syarat bakteriskopis harus negative. Apabila masih positif harus dilanjutkan
samapai bakterioskopis negative. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan klinis
setiap bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan sekali. Jadi
kemungkinan pengobatan Kusta Multibasiler ini selama 2 sampai 3 tahun1.
Prognosis untuk pasien Tn. MW quo ad vitam ad bonam, quo ad sanationam
dubia ad bonam, dan quo ad fuctionam dubia ad bonam. Prognosis dapat baik
apabila pengobatan dilakukan dengan cepat, tepat, dan teratur.
53
BAB V
RINGKASAN
Pasien dewasa 35 tahun dengan Kusta tipe Multibasiler. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Gambaran
klinis yaitu terdapat nodul eritema pada pada kedua punggung tangan dan pada kedua
punggung kaki. Dilingkungan pekerjaan pasien, terdapat orang yang yang memiliki
gejala dan tanda klinis yang sama dengan pasien .Pasien di terapi dengan
menggunakan Rimfampicin 600 mg/bulan; DDS 100 mg/hari; dan Clofazamin 300
mg/bulan dalam pengawasan, diteruskan 50 mg/hari atau 3 kali 100 mg setiap
minggu. Prognosis dapat baik apabila pengobatan dilakukan dengan teratur.
54
DAFTAR PUSTAKA
55
12. Juliawadani,L. Indeks Komposit Infeksi Bakteri Pada Penderita Kusta
Tipe Paucibasiler dan Multibasiler Di Kota Makassar. Makassar :
Universitas Hasanuddin 2019.
13. PERDOSKI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Speliasi Kulit dan
Kelamin di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin Indonesia 2017.
56
LAMPIRAN
57