Anda di halaman 1dari 32

BAGIAN KULIT DAN KELAMIN REFARAT

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER OKTOBER 2021


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

SKABIES

OLEH
RADHI IJTIHADI
111 2020 2073

PEMBIMBING

Dr. dr. Sri Vitayani, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Refarat ini
dengan judul “Skabies” sebagai salah satu syarat menyelesaikan tugas
kepanitraan klinik bagian Kulit dan Kelamin di Fakultas Kedokteran
Universitas Muslim Indonesia.
Keberhasilan penyusunan Refarat ini adalah berkat bimbingan, kerja sama, serta
bantuan moril dan materil dari berbagai pihak yang telah diterima penulis sehingga
segala rintangan yang dihadapi dan penyusunan refarat ini dapat terselesaikan
dengan baik.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan
memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya secara tulus dan ikhlas
kepada yang terhormat Dr. dr. Sri Vitayani, Sp.KK(K), FINSDV, FAAD
selaku pembimbing selama berada di bagian Kulit dan Kelamin.
Sebagai manusia biasa penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan baik
dalam penguasaan ilmu, sehingga Refarat ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk
saran dan kritik yang sifatnya membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan
demi penyempurnaan Refarat ini. Akhirnya penulis berharap sehingga Refarat ini
memberikan manfaat bagi pembaca.
Makassar, Oktober 2021

Penulis

HALAMAN PENGESAHAN
ii
Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Radhi Ijtihadi

NIM : 111 2020 2073

Judul : Skabies

Adalah benar telah menyelesaikan Referat dan Laporan Kasus yang berjudul

“Skabies” dan telah disetujui serta telah dibacakan dihadapan supervisor pembimbing

dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin Fakultas

Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, Oktober 2021

Dokter Pendidik Klinik, Penulis,

Dr. dr. Sri Vitayani, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV Radhi Ijtihadi

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................5
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................5
BAB II LAPORAN KASUS..............................................................................................6
2.1 Identitas Pasien........................................................................................................6
2.2 Anamnesis...............................................................................................................6
2.3 Pemeriksaan Fisik....................................................................................................7
2.4 Status Dermatologi..................................................................................................7
2.5 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................................8
2.6 Diagnosa Kerja........................................................................................................9
2.7 Penatalaksanaan.......................................................................................................9
2.8 Pembahasan kasus............................................................................................10
BAB III TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................14
3.1 Definisi..................................................................................................................14
3.2 Epidemiologi...............................................................................................14
3.3 Etiologi..................................................................................................................15
3.4 Patofisiologi...........................................................................................................17
3.5 Manifestasi Klinis..................................................................................................20
3.6 Diagnosis...............................................................................................................22
3.7 Tatalaksana............................................................................................................23
3.8 Diagnosis Banding.................................................................................................27
3.9 Komplikasi............................................................................................................29
3.10 Prognosis.............................................................................................................29
BAB IV KESIMPULAN..................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................31

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Skabies merupakan penyakit kulit menular yang

disebabkan oleh Sarcoptes scabiei var. homini. Prevalensi

kejadian skabies di seluruh dunia diperkirakan sekitar 200

hingga 300 juta kasus per tahun, dimana penyakit ini dapat

mempengaruhi semua kelompok umur. Di Indonesia, skabies

merupakan salah satu penyakit kulit tersering di puskesmas.

Pada tahun 2008, prevalensi skabies di seluruh puskesmas di

Indonesia adalah 5,6 - 12,9%, merupakan penyakit kulit

terbanyak urutan ketiga. 1,2,3

Kejadian penyakit ini rentan pada anak-anak, orang dengan

gangguan sistem imun dan orang tua serta pada orang-orang

yang terletak di daerah dengan ekonomi yang rendah atau di

negara berkembang, di mana kepadatan penduduk, sanitasi

yang buruk dan sosial ekonomi yang rendah , menyebabkan

morbiditas dan mortalitas dari infeksi skabies. Keadaan tersebut

memudahkan transmisi dan infestasi Sarcoptes scabiei. Oleh

karena itu, prevalensi skabies yang tinggi umumnya ditemukan

di lingkungan dengan kepadatan penghuni dan kontak

interpersonal yang tinggi seperti asrama, panti asuhan, dan

penjara. 2,4

5
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. X
Jenis Kelamin : Laki laki
Umur : 36 Tahun
Pekerjaan : Tidak dilampirkan di jurnal
Status : Menikah
Alamat : Tidak dilampirkan di jurnal
Suku : Tidak dilampirkan di jurnal
2.2 Anamnesis

Keluhan Utama :

Kerak tebal hampir di sekujur tubuh.

Riwayat Penyakit sekarang :

Kerak tebal hampir di sekujur tubuhnya dialami sejak 1 minggu

yang lalu. Diwali dengan bintik kecil di daerah pahanya, terasa sedikit

gatal tapi tidak ada rasa gatal di malam hari. Bintik tersebut kemudian

menyebar ke seluruh tubuhnya, menjadi kerak tebal dengan beberapa

retakan di antaranya dan menyebabkan kesulitan saat bergerak. Istri

dan anaknya pernah mengalami keluhan serupa 1 bulan sebelum

kunjungan yaitu bintik di sekujur tubuh disertai rasa gatal. Mereka telah

diobati dengan krim permetrin dan keluhannya semakin membaik.

Sedangkan ibu pasien menderita psoriasis tetapi riwayat lesi pada

daerah Koebner pada pasien ini disangkal. 5

Sebelumnya pasien telah melakukan Voluntary Counseling and

Testing (VCT) dan HIV Rapid Test sejak 2 bulan yang lalu dan hasilnya

positif. Pasien rutin kontrol ke poliklinik HIV dan mengonsumsi obat


6
antiretroviral (ARV) selama 1 bulan. Di poliklinik rawat jalan sekitar 3

minggu sebelumnya, ia didiagnosis dermatitis kronis dan mendapat

kortikosteroid topikal dengan emolien, dan keluhannya membaik

sampai keluhan terakhir terjadi 1 minggu sebelum masuk di Rumah

Sakit. 5

2.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Sakit sedang, compos mentis.

Tanda-tanda Vital : Normal

 Tekanan darah tidak dilampirkan

 Nadi tidak dilampirkan

 Laju respirasi tidak dilampirkan

 Suhu tidak dilampirkan 5

Status generalis :

 Kepala : Konjungtiva anemis.

 THT : Tidak dilampirkan.

 Thorax : Tidak dilampirkan.

 Abdomen : Hepatomegali

 Ekstremitas :Tangan dan kaki terdapat makula

hiperpigmentasi. 5

2.4 Status Dermatologi

Lokasi : Aurikularis, aksila, colli, abdomen, inguinal,

ekstremitas (interdigitalis), dan juga gluteus terdapat makula

hiperpigmentasi. 5

Distribusi : Generalisata

Ukuran : Plakat
7
Bentuk : Ireguler

Effloresensi : makula hiperpigmentasi besar, berbatas tegas dan

tertutup krusta tebal. 5

Lesi berkrusta tebal di atas regio abdomino-inguinal dan interdigital. 5

2.5 Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan Laboratorium

Leukosit 3.600 sel/mm3

Eritrosit 4,54 x 106 sel/ mm3

Trombosit 128.000 sel/mm3

Hemoglobin 7,8 g/dl

SGOT 126 U/l

SGPT 67 U/l

BUN 7 mg/dl

Serum kreatinin 0,6 mg/dl

Albumin 2,1 g/dl

GDS 86 mg/dl

natrium 130 mmol/l

kalium 3,8 mmol/l,

klorida 100 mmol/l

CD4 12 sel/μL

 Pemeriksaan histopatologi

Pemeriksaan histopatologi menunjukkan hiperkeratosis, parakeratosis,


8
akantosis dan liang pada lapisan stratum korneum epidermis.

Sedangkan pada dermis terdapat pembuluh kapiler dengan sedikit sel

radang, sehingga kesimpulan dari pemeriksaan histopatologi adalah

infeksi skabies. 5

5
Slide histopatologi dengan perbesaran 40x

 Pemeriksaan kerokan kulit.

Sarcoptes scabiei tungau dari goresan lesi: tungau dewasa (2A), telur (2B) 5

2.6 Diagnosis

Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk menyingkirkan

psoriasis. Meskipun demikian, diagnosis skabies telah

ditegakkan dengan pemeriksaan kerokan kulit. 5

2.7 Penatalaksanaan

Mula-mula balutan basah diberikan dengan larutan garam fisiologis

dilakukan pada daerah kerak yang tebal untuk mengurangi kerak dan

mengatasi erosi, disertai dengan pemberian krim Urea 10%. Kerak yang

tebal dihilangkan karena dapat menghambat penetrasi antiskabies

topikal, dan erosi harus segera ditangani karena pemberian antiskabies


9
topikal di atas erosi dapat menyebabkan iritasi. 5

Setelah 4 hari perawatan wet dressing, kerak tebal dan erosi

berkurang, pemberian krim Permetrin 5% seminggu sekali di

malam hari, kecuali balutan basah dan pemberian krim Urea

masih dilakukan untuk area dengan kerak tebal. Selain terapi

dermatologi, pasien juga melanjutkan pengobatan antiretroviral

(ARV), termasuk terafovir, lamivudine dan neviral bersamaan

dengan pengobatan suportif. 5

2.8 Pembahasan kasus

Skabies Norwegia atau skabies berkrusta adalah

manifestasi skabies yang jarang terjadi yang ditandai dengan

perkembangbiakan tungau yang tidak terkendali di kulit. 5

Kelompok risiko tinggi untuk infeksi ini seperti mereka

yang menggunakan terapi glukokortikoid sistemik atau

menggunakan terapi glukokortikoid topikal ampuh, penerima

transplantasi organ, memiliki cacat mental atau fisik, terinfeksi

HIV atau human T-lymphotrophic virus-1, dan juga orang

dengan keganasan. 5

Penyebab dari penyakit skabies ini adalah tungau

Sarcoptes scabiei var. hominis, yang hidup di terowongan kulit

pada stratum korneum. Parasit ini hidup di kulit selama 30 hari,

terdiri dari siklus sebagai berikut. Tungau betina bertelur 2 - 3

butir setiap hari dan telur menetas dalam 10 hari, kemudian

larva muda meninggalkan liang untuk menjadi tungau dewasa

dewasa dalam 14 – 17 hari. 5

10
Pada pasien normal, diperkirakan hanya 10% dari telur

yang berkembang menjadi dewasa dengan jumlah tungau rata-

rata sekitar 11. Namun jumlah tungau sangat banyak pada

skabies berkrusta karena infeksi yang tidak terkontrol. 5

Manifestasi yang terjadi di kulit pada skabies disebabkan

oleh tungau betina yang terkubur, diikuti oleh hipersensitivitas

humoral dan lambat dari pejamu. Antigen tungau yang memicu

respons imun tubuh terdapat pada air liur tungau.

Dikombinasikan dengan menggaruk, sistem kekebalan pada

orang yang sehat akan mengurangi tungau tetapi tidak

menghilangkan jumlah tungau. Kegagalan sistem kekebalan

tubuh untuk menekan proliferasi tungau dianggap berperan

dalam perkembangan skabies berkrusta, meskipun telah

terdapat insiden skabies berkrusta pada penduduk asli Australia

dengan respon imun tubuh yang normal. 5

Pada kasus HIV stadium IV yang diderita pasien

membuat kadar sel T CD4+ turun hingga 12 sel/μL sehingga

pasien rentan terhadap infeksi. Sementara sensasi gatal yang

berkurang terjadi sebagai akibat dari sistem kekebalan yang

tidak memadai, sejumlah besar tungau membuat penyakit ini

sangat menular. 5

Diagnosis pasti skabies berkrusta sama dengan skabies

biasa, yaitu dengan didapatkannya parasite, telur, cangkang

telur atau dari pengikisan lesi kulit, ditunjukkan dengan larutan

kalium hidroksida 10% pada pemeriksaan mikroskopis cahaya.

Pada pasien ini ditemukan adanya tungau dan telur sehingga


11
pengobatan antiskabies dapat dimulai tanpa menunggu hasil

histopatologi. Kemudian pada pemeriksaan histopatologi

ditemukan adanya liang pada stratum korneum yang dikelilingi

oleh sel inflamasi, menunjukkan bahwa imunitas seluler

berperan dalam patogenesis penyakit ini. 5

Pengobatan antiskabies dapat diberikan secara oral dan

topikal, sedangkan pengendalian tungau perlu edukasi bagi

pasien dan keluarganya. Semua anggota keluarga yang tinggal

bersama dengan pasien harus dirawat pada waktu yang sama

untuk mencegah infeksi berulang. Jika memungkinkan, selama

pemberian skabisida topical tempat tidur, dan pakaian di rumah

yang sudah digunakan sebaiknya direndam dengan air

hangat/panas sebelum dicuci, lalu disetrika dengan suhu tinggi

untuk membasmi tungau. 5

Pasien ini awalnya dirawat dengan balutan basah (2-3

hari), menggunakan saline normal yang dikombinasikan dengan

krim urea 10% untuk menghilangkan kerak yang tebal.

Kemudian krim Permetrin 5% dioleskan secara intermiten

dikombinasikan dengan salep yang mengandung asam salisilat

2% ditambah belerang 4% (salep 2-4) setiap hari di antara

permetrin. Setelah 14 hari aplikasi obat topikal ini ada

didapatkan perbaikan. Ivermektin oral secara teoritis dapat

digunakan karena obat ini bekerja pada sinapsis saraf

menggunakan glutamat atau asam -aminobutirat. Tetapi obat

oral ini tidak dapat menembus ketebalan debris keratin. Metode

wet dressing konvensional menggunakan larutan NaCl 0,9%,


12
kemudian dilanjutkan dengan penggunaan urea topikal 10%

untuk melunakkan kerak. Setelah kerak telah sedikit dan

menipis, Permetrin 5%, agen antiskabies topikal, diterapkan

pada pasien ini. Agen topikal ini akan efektif dalam situasi yang

seperti itu karena penyerapan akan lebih baik pada kulit. 5

Semua anggota keluarga yang tinggal bersama dengan

pasien harus dirawat pada waktu yang sama untuk mencegah

infeksi ulang pembawa asimtomatik. Jika memungkinkan,

selama aplikasi skabisida topikal seprai, dan pakaian di rumah

yang telah digunakan harus direndam dengan air hangat/panas

sebelum dicuci, lalu disetrika dengan suhu tinggi untuk

membasmi tungau. 5

13
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Defenisi

Skabies berasal dari bahasa Latin scabere yang berarti

menggaruk, yang merupakan infestasi kulit manusia yang

disebabkan oleh infestasi Sarcoptes scabiei var. hominis. ke

dalam epidermis. 6,7

3.2 Epidemiologi

Sebuah studi tentang prevalensi skabies di seluruh dunia

menunjukkan bahwa semua wilayah kecuali Eropa dan Timur

Tengah memiliki populasi dengan prevalensi kejadian yang lebih

dari 10%; prevalensi ini merupakan angka tertinggi di wilayah

Pasifik dan Amerika Latin dan kejadian skabies lebih sering

pada anak-anak dibandingkan dengan remaja ataupun orang

dewasa. 8

Prevalensi tahunan skabies di seluruh dunia diperkirakan

sekitar 300 juta kasus. Skabies terjadi di seluruh dunia pada

kedua jenis kelamin, pada semua usia, dan di antara semua

kelompok etnis dan sosial ekonomi. Di Inggris, skabies lebih

sering terjadi pada wanita dan anak-anak yang tinggal di daerah

perkotaan dan lebih sering terjadi pada musim dingin daripada

musim panas. Dalam survei prospektif di Belgia, Lapeere dan

rekan-rekannya melaporkan insiden yang terjadi pada skabies

28 kasus/100.000 penduduk per tahun. Insiden tahunan tertinggi

skabies tercatat pada imigran (88/100.000) dan pada orang


14
9
yang lebih tua dari usia 75 tahun (51/100.000).

Di Indonesia, skabies merupakan salah satu penyakit kulit

tersering di puskesmas. Pada tahun 2008, prevalensi skabies di

seluruh puskesmas di Indonesia adalah 5,6 - 12,9%, merupakan

penyakit kulit terbanyak urutan ketiga. Indonesia merupakan

negara dengan beban skabies tertinggi di dunia). Penelitian

Rihatmadja dkk. melaporkan prevalensi skabies di pesantren di

Bogor sebesar 76,9%.4 Prevalensi skabies di negara

berkembang masih tinggi pada kelompok usia anak pra-sekolah

hingga remaja, menurun pada usia dewasa dan kembali

meningkat pada usia lanjut.3,10

3.3 Etiologi

Penyebab dari penyakit skabies adalah spesies Sarcoptes

scabiei (var. hominis) diklasifikasikan ke dalam filum Arthropoda

yang masuk ke dalam kelas Arachnida, sub kelas Acari

(Acarina), ordo Astigmata, dan famili Sarcoptidae. Beberapa

famili tungau yang bersifat obligat parasit pada kulit antara lain

Sarcoptidae (menginfeksi mamalia), Knemidokoptidae

(menginfeksi burung/unggas), dan Teinocoptidae (menginfeksi

kelelawar). Famili Sarcoptidae yang mampu menular ke

manusia, yaitu Sarcoptes scabiei, Notoeders cati (host asalnya

adalah kucing), dan Trixacarus caviae (host asalnya adalah

marmut). 11

Tungau Sarcoptes scabiei berwarna putih krem dan

tubuhnya simetris bilateral berbentuk oval yang cembung pada


15
bagian dorsal dan pipih pada bagian ventral. Warna tungau

jantan lebih gelap daripada betina. Permukaan tubuhnya

bersisik dan dilengkapi dengan kutikula serta banyak dijumpai

garisgaris paralel yang berjalan transversal. Tungau dewasa

mempunyai empat pasang tungkai berwarna coklat yang

mengeras dan terletak pada thoraks. Terdapat enam atau tujuh

tonjolan seperti sepasang tulang belakang pada permukaan

dorsal tubuh dan dipenuhi setae. Kepalanya terdapat mulut

yang khas disebut capitulum, dan dibagian abdomen terdapat


11
anus. Spesies tungau ini tidak memiliki mata.

Sarcoptes scabiei betina dewasa berukuran panjang sekitar

0.3 – 0.5 mm dan lebar sekitar 0,3 mm, sedangkan yang jantan

berukuran panjang sekitar 0.25 mm dan lebar 0,2 mm. Ukuran

tungau betina pada karnivora lebih kecil (0.32 - 0.39 x 0.25 - 0.3

mm) daripada tungau pada manusia (var. hominis) (0.39 - 0.5 x

0.29 - 0.42 mm). 11

Larva Sarcoptes scabiei memiliki 6 kaki sedangkan nimfa

dan dewasa memiliki delapan kaki. Perbedaan nimfa dan

tungau dewasa adalah ukuran nimfa yang lebih kecil. Ujung

sepasang kaki pertama dan kedua pada jantan dewasa

didapatkan alat penghisap (pulvilli) sedangkan pada betina

didapatkan setae yang panjang. Baik jantan maupun betina

memiliki berbentuk seperti cakar yang berguna untuk

mencengkeram kulit inang yang ditinggalinya. Sarcoptes scabiei

memiliki sifat ectothermic, yaitu suhu tubuhnya dapat berubah-


16
ubah mengikuti suhu lingkungan tempat tinggalnya. 11

A.Tungau Sarcoptes scabiei (var. hominis) betina dengan perbesaran

400x. B. Telur, nimfa Sarcoptes scabiei (var. hominis) dan skibala (butiran

feses) pada kerokan kulit yang ditetesi NaOH 10%. C. Histologi kulit : tampak

infestasi sarcoptes scabiei pada stratum korneum 11

Telur Sarcoptes scabiei berbentuk oval berukuran panjang

0.1 – 0.15mm. Sekitar 10 - 25 buah telur diletakkan memanjang

membentuk garis horizontal sesuai jalur terowongan yang digali

oleh tungau betina. Dari sekian banyak telur yang dihasilkan

tungau betina, tidak lebih dari 10% yang akan menetas menjadi

tungau dewasa.11

3.4 Patofisiologi

Skabies pada manusia disebabkan oleh tungau betina yang

menyebabkan gatal, yang hidup selama 30 hari siklus

kehidupan di dalam epidermis Tungau merupakan parasit

obligat pada manusia yang hidup di terowongan (burrow) di

stratum korneum epidermis. Tungau betina menggali hingga ke

dalam epidermis bagian atas dan bertelur di dalam lubangnya,

dimana larva akan muncul setelah 50-53 jam, dan tungau

17
dewasa akan berkembang setelah 10-14 hari kemudian. Tanda

patognomonis skabies adalah burrow, papul eritematus, dan

pruritus generalisata yang muncul dengan pola nokturnal.

“Burrow” tampak seperti garis pendek bergelombang, dan paling


12,13
umum terlihat pada jari-jari, pergelangan, dan penis.

Sarcoptes scabiei mengalami empat tahap dalam siklus

hidupnya: telur, larva, nimfa dan dewasa. Betina menyimpan 2-3

telur per hari saat mereka bersembunyi di bawah kulit nomor.

Telur berbentuk oval dan panjang 0,10 hingga 0,15 mm dan

menetas dalam 3 hingga 4 hari. Setelah telur menetas, larva

bermigrasi ke permukaan kulit dan menggali ke dalam stratum

korneum untuk membangun liang pendek yang hampir tak

terlihat yang disebut kantong ganti kulit. Tahap larva, yang

muncul dari telur, hanya memiliki 3 pasang kaki dan

berlangsung sekitar 3 hingga 4 hari. Setelah larva, nimfa yang

dihasilkan memiliki 4 pasang kaki. Kemudian berganti kulit

menjadi nimfa yang sedikit lebih besar sebelum berganti kulit

menjadi dewasa. Larva dan nimfa sering ditemukan di folikel

rambut dan terlihat mirip dengan parasit dewasa, hanya lebih

kecil. Kutu dewasa berbentuk bulat, seperti kantung tanpa mata.

Parasit betina memiliki panjang 0,30 hingga 0,45 mm dan lebar

0,25 hingga 0,35 mm, dan jantan memiliki ukuran setengah dari

ukuran parasit betina. 13

Perkawinan hanya terjadi sekali dan membuat betina subur

selama sisa hidupnya. Betina yang hamil meninggalkan kantong

molting mereka dan berkeliaran di permukaan kulit sampai


18
mereka menemukan tempat yang cocok untuk membuat liang

permanen. Sementara di permukaan kulit, tungau berpegangan

pada kulit menggunakan pulvili seperti pengisap yang

menempel pada dua pasang kaki depan. Ketika tungau betina

yang hamil menemukan lokasi yang cocok, ia mulai membuat

liang yang khas, untuk proses bertelurnya. Setelah betina yang

dibuahi menggali ke dalam kulit, dia tetap di sana dan terus

memperpanjang liangnya dan bertelur selama sisa hidupnya (1-

2 bulan). Penularan terjadi terutama melalui pemindahan betina

yang dibuahi selama kontak kulit-ke-kulit dari orang ke orang.

Kadang-kadang penularan dapat terjadi melalui tempat tidur

atau pakaian. 12,13

Siklus Hidup Sarcoptes Scabiei 12

19
3.5 Manifestasi Klinis

Gejala klinis pada infeksi kulit akibat skabies disebabkan

oleh respons alergi tubuh terhadap tungau. Setelah tungau

melakukan kopulasi (perkawinan) di atas kulit, tungau jantan

akan mati dan tungau betina akan menggali terowongan dalam

stratum korneum sambil meletakkan sebanyak 2 hingga 50

telur. Aktivitas S. scabiei di dalam kulit akan menimbulkan rasa

gatal yang umumnya mulai timbul 4-6 minggu setelah infestasi

pertama; bila terjadi re-infestasi tungau, gejala dapat muncul

lebih cepat dalam 2 hari. Rasa gatal biasa memburuk pada

malam hari disebabkan aktivitas tungau lebih tinggi pada suhu

lebih lembap dan panas.2

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan kelainan kulit

menyerupai dermatitis, yaitu lesi papul, vesikel, urtika, dan bila

digaruk timbul lesi sekunder berupa erosi, eksoriasi, dan krusta.

Dapat ditemukan lesi khas berupa terowongan (kunikulus) putih

atau keabu-abuan berupa garis lurus atau berkelok, panjang 1-

10 mm di tempat predileksi. Kunikulus umumnya sulit ditemukan

karena pasien biasa menggaruk lesi, sehingga berubah menjadi

ekskoriasi luas. Pada dewasa, umumnya tidak terdapat lesi di

area kepala dan leher; tetapi pada bayi, lansia, dan pasien

imunokompromais dapat menyerang seluruh permukaan tubuh. 2

20
Papul dan terowongan terdapat pada sela-sela jari tangan dan punggung tangan.
2

Pada varian skabies berkrusta (Skabies Norwegia),

ditemukan lesi kulit berupa plak hiperkeratotik di tangan dan

kaki, kuku jari tangan dan kaki distrofik, serta skuama

generalisata. Pada kasus berat dapat ditemukan lesi fisura

dalam. Berbeda dari varian skabies umumnya, skabies

berkrusta dapat tidak gatal.2,6

Umumnya predileksi infestasi tungau adalah lapisan kulit

yang tipis, seperti:

 selasela jari tangan dan kaki, 3

 pergelangan tangan, 3

 siku bagian luar, 3

 lipatan ketiak bagian depan, 3

 dada, 3

3
 periareolar (khusus pada wanita),

 punggung, pinggang, pusar, 3

 bokong, selangkangan, sekitar alat kelamin, dan

 penis (khusus pada pria). 3

Pada bayi dan anak-anak dapat juga ditemukan ruam pada

kulit kepala, wajah, leher telapak tangan, dan kaki. 11

21
Distribusi khas lesi skabies. (a) Anak-anak berusia > 2 tahun dan

dewasa. (b) Bayi berusia < 2 tahun. 1

3.6 Diagnosis

Diagnosis skabies dapat ditegakkan dengan adanya 2 dari 4

tanda kardinal (tanda utama), yaitu:

1. Gejala gatal pada malam hari (pruritus nokturna), disebabkan

aktivitas tungau skabies yang lebih tinggi pada suhu lebih

lembap dan panas. 7,14

2. Gejala yang sama pada satu kelompok manusia. Penyakit ini

menyerang sekelompok orang yang tinggal berdekatan, seperti

sebuah keluarga, perkampungan, panti asuhan, atau pondok

pesantren. 7,14

3. Terbentuknya terowongan atau kunikulus di tempat-tempat

predileksi, terowongan berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-

rata panjangnya 2 cm, putih atau keabu-abuan. Predileksi di

bagian stratum korenum yang tipis, yaitu: sela-sela jari tangan,

22
pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak

bagian depan, umbilikus, bokong, perut bagian bawah, areola

mammae pada wanita dan genitalia eksterna pada laki-laki. 7,14

4. Ditemukan tungau Sarcoptes scabiei, dapat ditemukan satu

atau lebih stadium hidup. 7,14

Pemeriksaan Penunjang :

 Pemeriksaan mikroskopik merupakan pemeriksaan yang

dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis skabies

dengan memvisualisasikan tungau, telur atau pelet feses

melalui mikroskop optik (cahaya) dari bahan yang diambil dari

lesi kulit. 1

Mikroskopik kerokan kulit untuk diagnosis skabies. (a) Tungau betina,

pembesaran 200. (b) Telur tungau, pembesaran 200. (c) feses (scybala)

terlihat sebagai struktur oval kecil, pembesaran 400. 1

 Pemeriksaan dermoskopi dapat dilakukan untuk

mengkonfirmasi diagnosis skabies melalui identifikasi tungau

Untuk memenuhi tingkat diagnostik skabies yang dikonfirmasi


1
tungau harus divisualisasikan secara definitif.

3.7 Tatalaksana

 Terapi non medikamentosa dapat dilakukan dengan cara:

7
1. Menjaga higiene individu dan lingkungan.

2. Dekontaminasi pakaian dan alas tidur dengan mencuci pada


23
suhu 60°C atau disimpan dalam kantung plastik tertutup

selama beberapa hari. Karpet, kasur, bantal, tempat duduk

terbuat dari bahan busa atau berbulu perlu dijemur di bawah


7
terik matahari setelah dilakukan penyedotan debu.

 Terapi medikamentosa :

Terdapat beberapa obat yang dapat dipilih sesuai dengan

indikasi sebagai berikut:

1. Permetrin masih merupakan terapi topikal yang paling

banyak digunakan dan efektif dalam penatalaksanaan scabies.

Permetrin dapat membunuh tungau dan telur parasit. Aman

bila digunakan dengan pengarahan, yaitu harus dijauhkan dari

mata, mulut, dan uretra. Obat ini memiliki dua efek, yaitu

sebagai antiskabies dan antigatal. Permetrin efektif terhadap

seluruh stadium parasit dan diberikan untuk anak usia di atas 2

bulan. Jika gejala menetap, dapat diulang 7-14 hari setelah

penggunaan pertama kali. Seluruh anggota keluarga atau

kontak dekat penderita juga perlu diterapi pada saat

bersamaan. 3,4

Permetrin memiliki efektivitas tinggi dan ditoleransi dengan

baik. Kegagalan terapi dapat terjadi bila terdapat penderita

kontak asimptomatik yang tidak diterapi, aplikasi krim tidak

adekuat, hilang karena tidak sengaja terbasuh saat mandi

sebelum 8 jam. Pemakaian pada wanita hamil, ibu menyusui,

anak usia di bawah 2 tahun dibatasi menjadi dua kali aplikasi

(diberi jarak 1 minggu) dan segera dibersihkan setelah 2 jam

24
pemberian. Topikal Krim permetrin 5% dioleskan pada kulit

dan dibiarkan selama 8 jam. Dapat diulang setelah satu pekan.


4,7,15

2. Krim lindane 1% dioleskan pada kulit dan dibiarkan selama

8 jam. Lindane 1% dalam bentuk losio, efektif untuk semua

stadium, mudah digunakan, dan jarang mengiritasi. US Food

and Drug Administration (FDA) telah memasukkan obat ini

dalam kategori “black box warning”, dilarang digunakan pada

bayi prematur, individu dengan riwayat kejang tidak terkontrol.

Selain itu, obat ini tidak dianjurkan pada bayi, anak-anak, lanjut

usia, individu dengan berat kurang dari 50 kg karena risiko

neurotoksisitas, dan individu yang memiliki riwayat penyakit

kulit lainnya seperti dermatitis dan psoriasis.3

Cukup sekali pemakaian, dapat diulang bila belum sembuh

setelah satu pekan. Tidak boleh digunakan pada bayi, anak

kecil, dan ibu hamil. 7

3. Sulfur presipitatum 5%-10% digunakan untuk mengobati

skabies pada anak-anak dan orang dewasa. Preparat ini tidak

efektif terhadap stadium telur sehingga penggunaanya tidak

boleh kurang dari 3 hari. Kekurangannya ialah berbau dan

mengotori pakaian, kadang-kadang menyebabkan iritasi. Telah

terbukti dapat mengobati anak usia kurang dari 2 bulan. Salep

sulfur 5-10%, dioleskan selama 8 jam, 3 malam berturut-turut.


4,7

4. Krotamiton 10% dalam krim atau lotio merupakan obat

alternatif lini pertama untuk usia di bawah 2 bulan. Agen


25
topikal ini memiliki dua efek sebagai antiskabies dan antigatal.

Pemberian dilakukan ke seluruh tubuh dan dibasuh setelah 24

jam dan diulang sampai 3 hari. Penggunaan dijauhkan dari

area mata, mulut, dan uretra. 3

5. Emulsi benzil benzoat 10% dioleskan selama 24 jam penuh.

Tatalaksana lini kedua agen topikal adalah emulsi benzil

benzoat kadar 25%. Agen ini efektif terhadap seluruh stadium,

diberikan setiap malam selama 3 hari. Agen ini sering

menyebabkan iritasi kulit, dan perlu dilarutkan bersama air

untuk bayi dan anak-anak. Pemakaian di seluruh tubuh dan

dibasuh setelah 24 jam. 3,7

Terapi Oral :

1. Antihistamin sedatif (oral) untuk mengurangi gatal. 7

2. Bila infeksi sekunder dapat ditambah antibiotik sistemik. 7

3.Ivermectin merupakan agen antiparasit golongan

macrocyclic lactone yang merupakan produk fermentasi

bakteri Streptomyces avermitilis. Agen ini dapat menjadi terapi

lini ketiga pada usia lebih dari 5 tahun, terutama pada

penderita persisten atau resisten terhadap terapi topikal seperti

permethrin. Pada tipe skabies berkrusta, dianjurkan terapi

kombinasi ivermectin oral dengan agen topikal seperti

permethrin, karena kandungan terapi oral saja tidak dapat

berpenetrasi pada area kulit yang mengalami hiperkeratinisasi.

Ivermectin memiliki aktivitas antiparasit spektrum. 3

Obat ini efektif untuk stadium tungau tetapi tidak efektif

26
untuk stadium telur, dan memiliki waktu paruh pendek yaitu 12-

56 jam. Dosis yang dianjurkan untuk skabies adalah 200 μg/kg

dengan pengulangan dosis 7-14 hari setelah dosis pertama.

Penggunaan tidak dianjurkan untuk anak dengan berat badan

di bawah 15 kg, wanita hamil, dan wanita menyusui, karena

obat ini berinteraksi dengan sinaps saraf memicu peningkatan

glutamat dan dapat menembus sawar darah otak (blood brain

barrier) terutama pada anak di bawah 5 tahun yang sistem


3
sawar darah otak belum sempurna.

Pada skabies krustosa dapat diberikan ivermektin (oral) 0,2

mg/kg dosis tunggal, 2-3 dosis setiap 8-10 hari. Tidak boleh

pada anak-anak dengan berat kurang dari 15 kg, wanita hamil

dan menyusui. 7

3.8 Diagnosis Banding

1. Dermatitis atopik (DA) merupakan peradangan kulit yang

bersifat kronis berulang, disertai rasa gatal, timbul pada tempat

predileksi tertentu dan berhubungan dengan penyakit atopi

lainnya, misalnya rinitis alergi dan asma bronkial. Kelainan

dapat terjadi pada semua usia, merupakan salah satu penyakit

tersering pada bayi dan anak, sebanyak 45% terjadi pada 6

bulan pertama kehidupan. Dermatitis atopik memiliki gejala

klinis yaitu rasa gatal, dapat sangat berat sehingga

mengganggu tidur. Efloresensi lesi sangat bergantung pada

awitan dan berat penyakit.Riwayat perjalanan penyakit kronis

berulang. 7

27
Dermatitis atopik

2. Prurigo

Prurigo nodularis adalah penyakit peradangan kulit kronis yang

ditandai dengan beberapa nodul terpisah, letaknya terutama di


7
permukaan ekstensor ekstremitas dan di tubuh.

Prurigo

Skabies merupakan the greatest imitator, karena dapat

menyerupai banyak penyakit kulit dengan keluhan gatal,

sehingga klinisi perlu mempertimbangkan beberapa diagnosis

banding seperti gigitan serangga, infeksi bakteri, serta reaksi

kulit akibat reaksi mediasi imun (hipersensitivitas). 3

3.9 Edukasi
28
Edukasi yang dapat dilakukan yaitu:

1. Menjaga higiene perorangan dan lingkungan. 7

2. Pemakaian obat secara benar dan kepada seluruh orang

yang kontak secara serempak. 7

3.10 Prognosis

Prognosis sangat baik bila dilakukan tata laksana dengan

tepat. Pruritus dapat bertahan beberapa minggu setelah

pengobatan akibat reaksi hipersensitif terhadap antigen tungau.

Skabies nodular dapat bertahan beberapa bulan setelah


7
pengobatan. Skabies krustosa relatif sulit diobati.

Quo ad vitam : bonam 7


7
Quo ad funtionam : dubia ad bonam

Quo ad sanactionam : bonam 7

BAB IV

29
KESIMPULAN

Skabies adalah penyakit kulit yang banyak dialami oleh

penduduk dengan kondisi ekonomi menengah kebawah.

Skabies disebabkan oleh parasit Sarcoptes scabiei. Penularan

skabies terjadi jika parasit Sarcoptes scabiei menembus lapisan

epidermis kulit. Sarcoptes scabiei betina akan menembus

lapisan epidermis dalam waktu 30 menit, sedangkan Sarcoptes

scabiei jantan akan bertugas mencari betina yang belum

dibuahi. Sarcoptes scabiei betina hidup selama 4-6 minggu dan

menghasilkan 2-4 telur perhari yang akan disimpan di

terowongan kulit.

Parasit ini menimbulkan gejala khas yaitu gatal yang akan

semakin meningkat pada malam hari yang dikenal sebagai

nocturnal pruritus, dengan kelainan kulit yaitu kemerahan yang

polimorfik. Hal yang penting diperhatikan dalam pencegahan

penyebaran penyakit scabies adalah mengobati semua orang

yang kontak langsung dengan penderita serta membersihkan

semua barang dan pakaian yang sebelumnya digunakan oleh

penderita.

DAFTAR PUSTAKA

30
1. Engelman D. et al., 2020, The 2020 International Alliance for the
Control of Scabies Consensus Criteria for the Diagnosis of Scabies,
British Journal of Dermatology (2020), p.808–820
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov.

2. Russell T, Sean W, Dana S 2021 Paediatrics: how to manage


scabies, Thompson R, Westbury S, Slape D. Drugs in Context
2021; 10: 2020-12-3., p.1-5 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov.

3. Kurniawan M, Ling M, Franklind, 2020, Diagnosis dan Terapi


Skabies, CDK-283/ vol. 47 no. 2 th. 2020: 104-107.
http://www.cdkjournal.com.

4. Mutiara H, Syailindra F. 2016, Skabies Centers , Majority | Volume


5 | Nomor 2 | April 2016: 37-41.

5. Pratamasari Meita A, Agusni I, Prakoeswa Cita Rosita S, Astari L,


Sandhika W, 2016. NORWEGIAN SCABIES IN AIDS PATIENT: A
CASE REPORT Syphillis, in : Indonesian Journal of Tropical and
Infectious Disease, Vol. 6. No.2 Mei–Agustus 2016: 49−53.

6. Marco Catherine A, 2017, Scabies Dermatologic Presentations ,


Rosen's Emergency Medicine: Concepts and Clinical Practice,
p.1444-1445. https://www.clinicalkey.com.

7. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia, 2017,


Skabies pada, PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER
SPESIALIS KULIT DAN KELAMIN DI INDONESIASifilis, in : Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin, Hal. 131–132.

8. Patterson, James W, 2020 , Scabies Arthropod-induced diseases,


in: Weedon's Skin Pathology, Elsevier Inc : Philadelphia, p. 813-818.
https://www.clinicalkey.com.

9. Diaz, James H, 2019, Scabies in: Mandell, Douglas, and Bennett's


Principles and Practice of Infectious Diseases, p.3487-3491,
https://www.clinicalkey.com.

31
10. Widaty S, Darmawan I, 2020, EFEKTIVITAS SULFUR TOPIKAL
DIBANDINGKAN DENGAN PERMETRIN DALAM TATA LAKSANA
SKABIES: LAPORAN KASUS BERBASIS BUKTI, MDVI Vol. 47.
Edisi 4 Tahun 2020:189-194.

11. Griana, Tias P, 2013, SCABIES : PENYEBAB, PENANGANAN


DAN PENCEGAHANNYA, El-Hayah Vol. 4, No.1 September 2013,
37-42 .

12. Paramita K, Sawitri, 2015, Profil Skabies Pada Anak, Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin - Periodical of Dermatology and
Venereology Vol. 27 / No. 1 / April 2015,41-45.

13. Center for Disease Control and Prevention. 2020 , Parasites -


Scabies,1-2 https://www.cdc.gov/parasites/scabies.

14. Hilma UD, Ghazali L, 2014, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi


Kejadian Skabies di Pondok Pesantren Mlangi Nogotirto Gamping
Sleman Yogyakarta, JKKI, Vol.6, No.3, September-Desember
2014,148-150.

15. Risadini Miratri W, Mochtar M, Danarti R, 2017, PERBANDINGAN


PENGGUNAAN TABLET ALBENDAZOL DENGAN KRIM
PERMETRIN 5% UNTUK PENGOBATAN SKABIES DI PONDOK
PESANTREN AL MUAYYAD SURAKARTA. MDVI Vol. 44 No. 3
Tahun 2017; 108 - 112.

32

Anda mungkin juga menyukai