SKRIPSI
Disusun Oleh :
SKRIPSI
Disusun Oleh :
ii
PERSETUJUAN SKRIPSI
Disusun oleh :
G1A117097
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT atas
limpahan rahmat, ridho, dan karunia-Nya, sehingga dapat diselesaikannya skripsi yang
berjudul “Hubungan Penggunaan Lensa Kontak dengan Derajat Keparahan Dry Eye
Syndrome pada siswa kelas XI SMA Negeri di Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi
Januari-Maret 2021.” Tidak lupa pula shalawat beriring salam kepada junjungan besar kita
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa risalah pencerahan serta ilmu bagi umat
manusia.
Selama proses pendidikan dan penyelesaian skripsi ini, penulis banyak memperoleh
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan
baik. Berkenaan dengan hal tersebut, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
iv
11. Teman-teman angkatan 2017 serta kepada semua pihak yang telah membantu penulis
memperoleh data-data untuk melengkapi skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis
dengan senang hati menerima kritik dan saran yang membangun untuk skripsi ini. Semoga
skripsi ini dapat berguna bagi kita semua.
Penulis
v
DAFTAR ISI
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR SINGKATAN
AC = Air Conditioner
CD = Cluster of Differentiation
IgA = Immunoglobulin A
IL = Interleukin
Na+ = Natrium
NF = Nuclear Factor
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
ABSTRACT
xiii
ABSTRAK
Latar Belakang: Dry eye syndrome merupakan kondisi multifaktorial air mata yang
berinsidensi tinggi.
Tujuan penelitian: Untuk mengetahui hubungan penggunaan lensa kontak dengan derajat
keparahan dry eye syndrome siswa kelas XI SMA N Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi
Januari-Maret 2021.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross
sectional dengan tekhnik pengambilan sampel simple random sampling.
Hasil: Melalui kuisioner OSDI dan schirmer didapat derajat sedang memiliki jumlah
terbanyak. Melalui uji chi-square didapat hubungan derajat keparahan dry eye syndrome
dengan jenis kelamin berdasarkan kuisioner OSDI p-value = 0,001, waktu penggantian lensa
kontak = 0,016, masa penggunaan lensa kontak = 0,019, tujuan pemakaian lensa kontak =
0,158. Berdasarkan schirmer, didapat hubungan derajat keparahan dry eye syndrome dengan
jenis kelamin p-value = 0,054, waktu penggantian lensa kontak = 0,223, masa penggunaan
lensa kontak = 0,368, tujuan pemakaian lensa kontak = 0,740.
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara penggunaan lensa kontak dengan derajat keparahan
dry eye syndrome siswa kelas XI SMA N Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi Januari-Maret
2021.
Kata Kunci: Dry Eye Syndrome, lensa kontak, Kuisioner OSDI, Tes Schirmer.
xiv
BAB 1
PENDAHULUAN
penggunaan lensa kontak dengan derajat keparahan dry eye syndrome pada siswa
kelas XI SMA Negeri di Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi Januari-Maret 2021.
TINJAUAN PUSTAKA
konjungtiva superior.12 Lobus palpebra (inferior) dari kelenjar lakrimal sekitar setengah
dari ukuran lobus orbital dan dibentuk oleh beberapa lobules. Terletak di inferior dan
anterior dari aponeurosis levator dan strukturnya tidak seperti bagian superior,
memanjang hingga margin orbital yang terletak di atas dari forniks konjungtiva
superior, dimana duktus terbuka.11
b. Sistem Ekskretori
Saluran cairan mata atau biasa disebut kanalikuli lakrimalis melewati batas kelopak
mata (ampula) sekitar 2 mm secara vertikal. Kanalikuli superior dan inferior rata-rata
bersatu membentuk kanalikulus.12 Ujung terbuka kanalikulus berada di dinding lateral
sakus lakrimalis. Sakus lakrimalis atau yang biasa disebut kantung lakrimal memiliki
panjang sekitar 10 mm dan terletak di fossa lakrimalis, yaitu depresi tulang antara
tulang lakrimal dan prosesus frontalis tulang maksila antara puncak anterior dan
posterior.10
Sakus lakrimalis memanjang dan berlanjut ke duktus nasolakrimalis. Bagian ini
mempunyai panjang sekitar 12 mm. Duktus ini menurun dan sudutnya sedikit
lateroposterior membuka ke meatus nasal inferior dan ke bawah turbinasi inferior.
Membukanya duktus secara parsial tertutupi oleh lipatan mukosa seperti katup atau
disebut Valve of Hasner.11
Kelenjar lakrimal aksesorius terdiri dari kelenjar Krause, Wolfring, Zeiss, Moll,
dan Meibom.Kelenjar ini tidak mempunyai suatu sistem saluran dan terletak di dalam
substantia propria konjungtiva palpebra. Struktur pendukung utama palpebra adalah
tarsus yang terdiri atas suatu lapisan jaringan fibrosa padat.13 Tarsus palpebra ini
didapatkan pada palpebra superior dan inferior. Tarsus terdiri atas jaringan pendukung
palpebra dengan kelenjar meibom yang ada di dalamnya.12
Kelenjar Meibom berfungsi menghasilkan substansi lemak berminyak pada
permukaan air mata (tear film), substansi ini akan mengurangi tingkat penguapan air
mata dan juga akan menjaga kelopak mata atas dan abwah agar tidak lengket saat
berkedip. Kelenjar Meibom ini berjumlah 40-50 buah di palpebra bagian atas dan 20-30
buah di palpebra bagian bawah.13
Struktur ini terdiri dari sel-sel asinar yang terhubung ke sebuah pusat saluran yang
ujungnya terbuka pada persimpangan mukokuteneus (mucocutaneus junction) di tepian
palpebra.Kelenjar meibom ini tampak berjajar sederet pada muaranya (orifisium).
Sekresi lipid yang mengandung minyak dan wax disintesis dan disekresikan secara
perlahan akibat dorongan kelenjar meibom dari pusat ke orifisum.10 Selain itu eksudasi
7
basalis, kontraksi sepasang otot riolan, dan ditambah refleks berkedip dari mata juga
mendorong sekresi kelenjar meibom tersebar di permukaan ocular.13
Margo (tepi) palpebra dipisahkan oleh garis abu batas mukokutan (grey line)
menjadi margo anterior dan posterior. Margo anterior terdiri dari bulu mata, kelenjar
Zeis dan Moll.11 Kelenjar Moll adalah modifikasi kelenjar keringat yang bermuara ke
dalam satu baris dekat bulu mata berbentuk suatu saluran seperti tabung berukuran
kecil yang tak bercabang dan hulunya berbentuk saluran spiral biasa dan bukan seperti
bentuk glomerulus pada kelenjar keringat.12 Margo posterior kontak dengan bola mata
dan di sepanjang margo ini terdapat lubang-lubang kecil dari kelenjar sebaseus yang
telah termodifikasi (kelenjar Meibom atau tarsal).11
natal dan sekresi refleks baru terjadi beberapa hari sampai beberapa minggu post
natal.11
Air mata merupakan cairan yang terdiri dari lapisan mukoid di bagian terdalam,
lapisan aqueous intermediate, dan lapisan minyak paling luar. Lapisan aqueous
intermediate adalah hasil dari dua jenis kelenjar yang berkaitan dengan suplai konstan
kelenjar lakrimalis (sekresi basal atau dasar) dan kelenjar yang bertanggung jawab
terhadap suplai tambahan lakrimalis secara motorik (refleks sekresi). Hal ini
dikarenakan lokasi kelenjar yang berbeda dalam hubungan terkait dengan fungsinya,10
Cairan yang disekresi oleh kelenjar lakrimalis merupakan kompleks ion dan
protein yang di produksi oleh dua sel sekretori, yaitu sel plasma dari sistem imun
tubuh dan sel-sel asinar serta saluran epitel sekresi kelenjar. Sel-sel plasma yang
ditemukan di ruang interstitial kelenjar bermigrasi dari organ limfoid. Sel plasma ini
mengeluarkan immunoglobulin A (IgA) yang berperan penting dalam melindungi
permukaan mata dari infeksi. Sel-sel asinar dari epitel sekretori memiliki tiga fungsi
utama, yaitu untuk menyintesis dan menyekresi sejumlah protein lakrimalis khusus,
untuk mengeluarkan air, dan untuk mengangkut IgA disekresikan oleh sel-sel plasma
dari kompartemen interstitial ke dalam lumen kelenjar.10
Air mata mengandung 98,2% air, dimana kadar air tersebut dibutuhkan untuk
membasahi konjungtiva dan permukaan kornea. Penguapan air di antara dua
kedipan mata akan memengaruhi kepekatan air mata. Kecepatan penguapan air
mata berkisar antara 8-10,1 x 10-7 gm.cm-2 det-1. Penguapan air mata ini akan
mempengaruhi ketebalan permukaan air mata dan konsentrasinya. Dalam selang
waktu 10 detik antara kedua kedipan mata akan mengurangi ketebalan air mata
sekitar 0,1 µm dan konsentrasi air mata berkurang sebesar 1,2%.10
Lapisan air mata atau film air mata terdiri atas 3 komponen lapisan penyusun,
yaitu lemak atau lipid (TFLL/Tear Film Lipid Layer) disekresi oleh kelenjar
Meibom, Moll, dan Zeis.10 Fungsi lapisan lemak ini adalah mencegah penguapan
dari lapisan dibawahnya dan membentuk pertahanan di sepanjang tepi kelopak
mata agar air mata tidak jatuh ke kulit. Lapisan lemak ini juga memiliki fungsi
mengurangi tekanan permukaan air mata. Lapisan lemak ini memiliki ketebalan
yang sangat tipis, yaitu sekitar 0,1 µm yang terdiri atas kolesterol ester.13
Lapisan akuos disekresi oleh kelenjar lakrimal primer dan aksesorius, yaitu
kelenjar Krause dan Wolfring. Fungsi dari lapisan akuos ini adalah member nutrisi
untuk metabolisme epitel kornea. Lapisan ini merupakan lapisan yang paling tebal,
sekitar 6-7 µm yang terdiri atas air, elektrolit, glukosa, albumin, globulin, dan
lisozim.11
Sedangkan lapisan musin di sekresi oleh sel goblet dan sedikit dari kelenjar
lakrimal. Lapisan ini terletak yang paling dalam dan terdiri atas glikoprotein.
Lapisan musin ini sebagian diserap oleh epitel kornea yang merubah sifat
hidrofobik menjadi hidrofilik sehingga akuos menyebar merata di permukaan
kornea.10
dari sel asinar ke dalam lumen. Oleh karena itu, kebanyakan studi telah meneliti
proses pergerakan air mata secara tidak langsung dengan karakteristik saluran
membrane melalui mana ion bergerak masuk dan keluar dari sel-sel asinar.10 Mirip
dengan kelenjar ludah, kelenjar lakrimalis memiliki perbedaan antara sel-sel asinar
yang menghasilkan sebagian besar cairan dan protein dan sel-sel saluran yang
memodifikasi komposisi ionic cairan dengan mempertahankan Na+. Namun,
sebagian besar studi fisiologis tidak dapat membedakan antara dua jenis sel ini dan
menganggap bahwa mekanisme ini berlangsung pada semua sel.11
(WHS) dan Physician’s Health Study (PHS)2 di dapatkan bahwa 4,8 juta penduduk
Amerika yang berusia di atas 50 tahun menderita dry eye syndrome.2 Senada dengan
hasil tersebut, The Beaver Dam2 juga menyatakan bahwa prevalensi dry eye syndrome
sebanyak 14% pada dewasa dengan rentang usia 48-91 tahun. Studi ini juga menemukan
bahwa dry eye syndrome lebih banyak terjadi pada perempuan (16,7%) di bandingkan
laki-laki (11,4%). Frekuensi dan diagnosis klinis dry eye syndrome lebih banyak di
temukan pada populasi Hispanik dan Asia di bandingkan populasi Kaukasia.19 Menurut
penelitian Lee dkk3 pada tahun 2011 di Indonesia tercatat jumlah pasien dry eye
syndrome berumur kurang lebih 21 tahun sebesar 27,5%, 21-29 tahun 19,2%, dan lebih
kurang 60 tahun sebanyak 30,0% dari sejumlah 1,058 penderita. Di Kepulauan Riau,
menurut penelitian yang dilakukan oleh Rengga dkk4 prevalensi dry eye syndrome
mencapai 27,5% pada penduduk berusia di atas 21 tahun.4
sindrom adie, dan sindrom shy-drager. Penyebab aqueos tear deficiency yang
didapat antara lain penggunaan lensa kontak, inflamasi kelenjar lakrimal, trauma,
pemakaian obat-obatan dan hiposekresi neuroparalitik aqueous tear deficiency
dikelompokkan menjadi dua sub-kelas, yaitu sjogren syndrome dry eye dan non
sjogren dry eye.10
Sjogren syndrome dry eye merupakan penyakit autoimun yang menyerang
kelenjar lakrimal, kelenjar saliva, dan beberapa organ lain. Infiltrasi sel T pada
kelenjar saliva dan lakrimal menyebabkan kematian sel asinar dan duktus serta
hiposekresi air mata atau saliva. Aktivasi mediator memicu ekspresi autoantigen
di permukaan sel epitel (fodrin, Ro, dan La) dan retensi sel T CD4, dan CD8.
Detail criteria klasifikasi sindrom sjogren berdasarkan American European
Consensus Group.11
Sjogren syndrome dry eye merupakan sekelompok aqueous tear deficiency
akibat disfungsi kelenjar lakrimal yang bukan bagian dari autoimun sistemik.
Keadaan yang paling sering ditemukan adalah mata kering berkaitan dengan usia.
Defisiensi kelenjar lakrimal juga dapat terjadi akibat penyakit lain seperti
sarkoidosis, AIDS, Graft vs Host Diseases (GVHD) atau keadaan obstruksi
duktus kelenjar lakrimal akibat trakoma juga berperan dalam non sjogren dry
eye.10
2. Evaporative Dry Eye
Evaporative ery eye terjadi akibat berkurangnya air mata di permukaan mata,
sedangkan kelenjar lakrimasi berfungsi normal. Keadaan ini dapat dipengaruhi
oleh faktor intrinsik (struktur kelopak mata) dan ekstrinsik (penyakit permukaan
mata) atau pengaruh obat topikal). Keterkaitan kedua faktor masih sulit
dibedakan.10
15
kerusakan permukaan yang kronik dari mata kering mengarahkan pada gagalnya
sensitivitas kornea dan penurunan refleks sekresi air mata. Berbagai etiologi dapat
menyebabkan mata kering oleh mekanisme blok refleks sekresi, termasuk operasi
refraksi (LASIK), pemakaian lensa kontak dan penyalahgunaan anastesi topikal.
Mekanisme dry eye syndrome yang telah diuraikan terangkum pada gambar di bawah
ini.14
yang singkat, fotofobia, tidak nyaman ketika memakai lensa kontak, penglihatan kabur
dan ganda, kelopak mata menempel bersama ketika bangun tidur.18
1. Level 1
a. Edukasi
1) Modifikasi makanan atau lingkungan
2) Menghindari penggunaan obat-obatan yang memiliki toksisitas tinggi dan
menghentikan pemakaian obat topikal jika memungkinkan
3) Menekankan pentingnya berkedip saat di depan televisi atau komputer
4) Penggunaan lensa kontak yang benar
5) Faktor lingkungan seperti peningkatan kelembapan ataupun adanya riwayat
operasi mata seperti LASIK dapat menyebabkan dry eye syndrome
b. Menanyakan riwayat pengobatan sistemik, untuk mengeluarkan efek yang
mempengaruhi dari pengobatan yang mempengaruhi dry eye syndrome
c. Penggunaan air mata buatan, dapat berupa :
1) Drop dan gel seperti turunan selulosa untuk derajat ringan dan autologous
serum untuk derajat berat
2) Ointment yang mengandung minyak mineral petrolatum dapat digunakan saat
tidur ataupun pada siang hari
3) Spray yang disemprotkan pada mata yang ditutup dan mengandung agen
berbahan liposom yang dapat menstabilkan air mata dan mengurangi
evaporasi
d. Terapi kelopak mata seperti mengkompres dengan air hangat dan menjaga
higienitas kelopak mata.20
2. Level 2
a. Anti inflamasi seperti steroid topical, konsumsi asam lemak omega dan obat lain
seperti siklosporin topical
19
b. Tetrasiklin oral untuk dry eye syndrome disertai penyakit lain seperti blepharitis,
meibomianitis, dan lainnya dalam dosis rendah selama 3 bulan
c. Onklusi punkta untuk mengurangi drainase sehingga menjaga air mata alami dan
memperpanjang efek kerja air mata buatan
d. Secretagogues untuk menambah sekresi air mata seperti pilokarpin, cevilemine,
rebamipide.20
3. Level 3
a. Serum tetes mata
b. Lensa kontak. Meskipun dapat memperparah dry eye syndrome, hal ini dapat
diimbangi dengan tertahannya air mata yang terjebak di lensa dan hal ini efektif
dalam mengurangi gejala dry eye syndrome
c. Penutupan punkta secara permanen. Dapat dilakukan hanya pada pasien dry eye
syndrome derajat berat dan memiliki respon positif terhadap sumbatan sementara
tanpa epifora.20
4. Level 4
a. Anti inflamasi sistemik
b. Pembedahan
1) Pembedahan kelopak mata seperti tarsorrhaphy
2) Autotransplantasi kelenjar saliva
3) Transplantasi membrane mucus atau membrane amnion untuk komplikasi
kornea.20
penurunan produksi lapisan air mata menyebabkan sebagian besar pengguna lensa
kontak mengalami dry eye syndrome.6
Diagnosis dan penentuan derajat kondisi dry eye syndrome dapat dilakukan secara
akurat dengan beberapa metode diagnostik, antara lain dengan menggunakan kuesioner
Ocular Surface Diseases Index dan Tes Schirmer.23
1 = kadang kala
2 = setengah waktu
4 = setiap saat/selalu
Skor OSDI= (jumlah skor untuk semua 47 jawaban pertanyaan x 100) / jumlah total
pertanyaan yang dijawab x 4)
Nilai yang diperoleh berada pada skala 0-100, dimana 0-12 terhitung normal, 13-22
ringan, 23-32 sedang, dan 33-100 berat.25
membedakan subyek normal dan pasien dengan dry eye syndrome. Kuisioner OSDI
dapat dilihat pada gambar berikut ini.26
Tes schirmer merupakan pemeriksaan sekresi total air mata (refleks dan
basal). Penderita diperiksa dikamar penerangan redup dan tidak mengalami
manipulasi mata berlebihan sebelumnya.27
22
Sepotong kertas filter atau kertas filter Whatman nomor 41 lebar 5 mm dan
panjang 30 mm diselipkan pada forniks konjungtiva bulbi bawah, ujung lain kertas
menggantung pada bagian kertas yang terjepit pada forniks inferior tersebut. Bila
sessudah 5 menit kertas tidak basah menunjukkan air mata kurang.28
Bila setelah 5 menit seluruh filter basah maka ini tidak banyak nilainya karena
refleks mungkin terlalu kuat. Bila bagian yang basah kurang dari 10 mm berarti
hipersekresi atau dapat juga berarti pseudoepifora.28
Selanjutnya, dilakukan tes schirmer yang kedua apabila pada tes schirmer
pertama kertas basah kurang dari 10 mm setelah 5 menit, dinilai apakah hal ini
disebabkan hambatan kelelahan sekresi atau fungsi kurang dari refleks sekresi.28
Pada satu mata diteteskan anestesi topikal dan diletakkan kertas schirmer.
Hidung dirangsang dengan kapas selama 2 menit. Dilihat basahnya kertas filter
setelah 5 menit. Bila tidak basah berarti refleks sekresi gagal total. Pada keadaan
normal kertas filter akan basah 15 mm setelah 5 menit.28
menyebabkan pengguna RGP contact lens memerlukan penyesuaian lebih lama dibandingkan
soft contact Lens. RGP contact lens bertahan lebih lama sehingga harganya lebih murah.29
Berdasarkan lama penggunaan, lensa kontak diklasifikasikan menjadi disposable dan
extended wear. Tipe disposable hanya digunakan untuk satu kali pemakaian. Tipe extended
wear dapat digunakan berulang kali sampai waktu tertentu, misalnya satu minggu atau satu
bulan. Tipe extended wear dikembangkan menjadi tipe overnight continuous wear sehingga
lensa kontak dapat dipakai sepanjang hari hingga malam tanpa perlu dilepas saat tidur.21
Lensa kontak tipe extended dan overnight continuous wear memiliki risiko infeksi lebih
tinggi karena mikroorganisme dapat melekat dan berpindah ke permukaan mata. Oleh karena
itu hanya dianjurkan bagi individu dengan gangguan penglihatan derajat berat yang
memerlukan koreksi penglihatan sepanjang hari.29
24
Penggunaan
Penggunaan Lensa
Lensa Kontak
Kontak
Reaksi Inflamasi
Alat Diagnostik :
1. Kuisioner OSDI
2. Tes Schirmer
1. Jenis Kelamin
2. Waktu Penggantian Lensa Derajat Keparahan Dry Eye
3. Masa Penggunaan Lensa Syndrome
4. Tujuan pemakain lensa
2.7 Hipotesis
H0 Tidak ada hubungan antara jenis kelamin, waktu penggantian lensa, masa penggunaan
lensa, dan tujuan pemakaian lensa dengan derajat keparahan dry eye syndrome pada
siswa kelas XI SMA Negeri di Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi Januari-Maret
2021.
H1 Terdapat hubungan antara jenis kelamin, waktu penggantian lensa, masa penggunaan
lensa, dan tujuan pemakaian lensa dengan derajat keparahan dry eye syndrome pada
siswa kelas XI SMA Negeri di Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi Januari-Maret
2021.
BAB III
METODE PENELITIAN
Populasi pada penelitian ini adalah siswa/i kelas XI tahun ajaran 2020/2021 di
SMA Negeri yang berlokasi di Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi yang menggunakan
lensa kontak, dengan populasi 200 siswa yang terdiri dari : SMA Negeri 1 Kota Jambi,
SMA Negeri 5 Kota Jambi, dan SMA Negeri 10 Kota Jambi.
n = jumlah sampel
N = jumlah populasi
26
27
𝑁
𝑛=
1 + 𝑁(𝑒 2 )
200
𝑛=
1 + 200(0,12 )
𝑛 = 66,7
𝑛 = 67 (dibulatkan)
tidak berkedip
terlalu banyak.
5) Dilihat bagian
filter yang
basah sesudah
5 menit dan
diukur dari
bagian filter
yang dilipat.
2 Jenis Jenis Kelamin Menggu- Menggunakan 1. Laki-laki Nominal
Kelamin responden nakan angket 2. Perempuan
yang kuisioner
menggunakan
lensa kontak
3 Waktu Waktu yang Menggu- Menggunakan 1. Monthly : Ordinal
Penggantian dipilih nakan angket Jika lensa
Lensa responden kuisioner kontak
untuk diganti
mengganti setiap 30
lensa hari.
kontaknya 2. Weekly :
Jika lensa
kontak
diganti
setiap 7 hari
3. Daily : Jika
lensa kontak
diganti
setiap hari
4 Masa Periode yang Mengguna Menggunakan 1. Tahunan Ordinal
Penggunaan dipilih kan angket 2. Bulanan
Lensa responden kuisioner 3. Mingguan
selama
menggunakan
lensa kontak
31
b. Kuisioner OSDI
b. Tes Schirmer
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer yang diperoleh
langsung melalu hasil pemeriksaan tes schirmer dan pemberian kuisioner kepada responden.
a. Editing
Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data.Apabila
terdapat kesalahan dan kekurangan dalam pengumpulan data maka diperbaiki
kembali.
b. Coding
Data yang telah terkumpul dan dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya
kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah ke dalam
computer.
c. Entry
Data yang telah di bersihkan kemudian di masukkan ke dalam computer
setelah melewati tahap coding.
d. Cleanings
Pemeriksaan semua data yang telah di masukkan ke dalam komputer guna
menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data.
32
Subjek Penelitian
34
35
Berdasarkan table diatas, dapat dilihat bahwa sebagian besar responden memiliki
jenis kelamin perempuan yaitu 57 orang (77%). Sementara berdasarkan waktu
penggantian lensa kontak didominasi oleh responden yang mengganti lensanya dalam 30
hari (monthly) sebanyak 41 orang (55,4%). Selanjutnya, berdasarkan masa penggunaan
lensa kontak didominasi oleh responden yang sudah menggunakan lensa kontaknya
selama masa penggunaan tahunan sebanyak 43 orang (58,1%). Dilihat dari tujuan
pemakaian lensa kontak, didominasi oleh responden yang menggunakan lensa kontaknya
untuk tujuan membantu memperjelas penglihatan yaitu sebanyak 55 orang (74,3%).
Sedangkan berdasarkan jenis lensa kontak yang digunakan, didapatkan seluruh
responden menggunakan jenis soft contact lens.
4.1.2 Insidensi Derajat Keparahan Dry Eye Syndrome Pada Responden
Berdasarkan Kuisioner OSDI dan Tes Schirmer
Insidensi derajat keparahan dry eye syndrome pada responden berdasarkan penilaian
kuisioner OSDI dan tes schirmer dapat dilihat pada table berikut ini :
Tabel 4.2 Insidensi Derajat Keparahan Dry Eye Syndrome Berdasarkan Kuisioner
OSDI dan Tes Schirmer
Derajat Keparahan Dry Eye Syndrome Total
Normal Ringan Sedang Berat
N % N % N % N % N %
Kuisioner 11 14,9 14 18,9 27 36,5 22 29,7 74 100
OSDI
Tes 6 8,1 14 18,9 29 39,2 25 33,8 74 100
Schirmer
Dari table 4.2 diatas, dapat dilihat bahwa insidensi derajat keparahan dry eye
syndrome berdasarkan kuisioner OSDI maupun tes schirmer menunjukkan bahwa derajat
sedang memiliki jumlah yang paling banyak yakni 27 orang (36,5%) dengan penilaian
kuisioner OSDI, sementara penilaian menggunakan tes schirmer didapatkan sebanyak 29
orang (39,2%).
36
4.1.3 Hubungan Jenis Kelamin dengan Derajat Keparahan Dry Eye Syndrome
Berdasarkan Kuisioner OSDI dan Tes Schirmer
Untuk mengetahui hubungan antara jenis kelamin dengan derajat keparahan dry
eye syndrome berdasarkan kuisioner OSDI dan tes schirmer, maka didapatkan hasil
sebagai berikut :
Table 4.3 Uji Crosstabulation Jenis Kelamin dengan Derajat Keparahan Dry Eye
Syndrome Berdasarkan Kuisioner OSDI
Berdasarkan table 4.3 diatas, diikuti dengan uji analisis fisher dapat dikatakan
bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan derajat keparahan dry eye
syndrome berdasarkan kuisioner OSDI dengan nilai p-value adalah 0,001 (p-value
0,001< 0,05).
Table 4.4 Uji Crosstabulation Jenis Kelamin dengan Derajat Keparahan Dry Eye
Syndrome Berdasarkan Tes Schirmer
Berdasarkan table 4.4 diatas, diikuti dengan uji analisis fisher dapat dikatakan
bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan derajat keparahan dry eye
syndrome berdasarkan tes schirmer dengan nilai p-value adalah 0,054 (p-value 0,054<
0,05).
Table 4.5 Uji Crosstabulation Waktu Penggantian Lensa Kontak dengan Derajat
Keparahan Dry Eye Syndrome Berdasarkan Kuisioner OSDI
Berdasarkan table 4.5 diatas, diikuti dengan uji analisis fisher dapat dikatakan
bahwa terdapat hubungan antara waktu penggantian lensa kontak dengan derajat
keparahan dry eye syndrome berdasarkan kuisioner OSDI dengan nilai p-value adalah
0,016 (p-value 0,016< 0,05).
Table 4.6 Uji Crosstabulation Waktu Penggantian Lensa Kontak dengan Derajat
Keparahan Dry Eye Syndrome Berdasarkan Tes Schirmer
38
Berdasarkan table 4.6 diatas, diikuti dengan uji analisis fisher dapat dikatakan
bahwa tidak terdapat hubungan antara waktu penggantian lensa kontak dengan derajat
keparahan dry eye syndrome berdasarkan tes schirmer dengan nilai p-value adalah
0,223 (p-value 0,223> 0,05).
4.1.5 Hubungan Masa Penggunaan Lensa Kontak dengan Derajat Keparahan Dry
Eye Syndrome Berdasarkan Kuisioner OSDI dan Tes Schirmer
Untuk mengetahui hubungan antara masa penggunaan lensa kontak dengan derajat
keparahan dry eye syndrome berdasarkan kuisioner OSDI dan tes schirmer, maka
didapatkan hasil sebagai berikut :
Table 4.7 Uji Crosstabulation Masa Penggunaan Lensa Kontak dengan Derajat
Keparahan Dry Eye Syndrome Berdasarkan Kuisioner OSDI
Berdasarkan table 4.7 diatas, diikuti dengan uji analisis fisher dapat dikatakan
bahwa terdapat hubungan antara masa penggunaan lensa kontak dengan derajat
keparahan dry eye syndrome berdasarkan kuisioner OSDI dengan nilai p-value adalah
0,019 (p-value 0,019< 0,05).
Table 4.8 Uji Crosstabulation Masa Penggunaan Lensa Kontak dengan Derajat
Keparahan Dry Eye Syndrome Berdasarkan Tes Schirmer
Berdasarkan table 4.8 diatas, diikuti dengan uji analisis fisher dapat dikatakan
bahwa tidak terdapat hubungan antara masa penggunaan lensa kontak dengan derajat
keparahan dry eye syndrome berdasarkan tes schirmer dengan nilai p-value adalah
0,368 (p-value 0,368> 0,05).
4.1.6 Hubungan Tujuan Pemakaian Lensa Kontak dengan Derajat Keparahan Dry
Eye Syndrome Berdasarkan Kuisioner OSDI dan Tes Schirmer
Untuk mengetahui hubungan antara tujuan pemakaian lensa kontak dengan derajat
keparahan dry eye syndrome berdasarkan kuisioner OSDI dan tes schirmer, maka
didapatkan hasil sebagai berikut :
Table 4.9 Uji Crosstabulation Tujuan Pemakaian Lensa Kontak dengan Derajat
Keparahan Dry Eye Syndrome Berdasarkan Kuisioner OSDI
40
Berdasarkan table 4.9 diatas, diikuti dengan uji analisis fisher dapat dikatakan
bahwa tidak terdapat hubungan antara tujuan pemakaian lensa kontak dengan derajat
keparahan dry eye syndrome berdasarkan kuisioner OSDI dengan nilai p-value adalah
0,158 (p-value 0,158> 0,05).
Table 4.10 Uji Crosstabulation Tujuan Pemakaian Lensa Kontak dengan Derajat
Keparahan Dry Eye Syndrome Berdasarkan Tes Schirmer
Berdasarkan table 4.10 diatas, diikuti dengan uji analisis fisher dapat dikatakan
bahwa tidak terdapat hubungan antara tujuan pemakaian lensa kontak dengan derajat
keparahan dry eye syndrome berdasarkan tes schirmer dengan nilai p-value adalah
0,740 (p-value 0,740 >0,05).
41
dilakukan melalui interaksi antara dokter dengan pasien, dan pada keadaan yang tepat,
pengetahuan dan perilaku pemakai lensa kontak dapat berubah menjadi lebih baik.32
Pada variable tujuan pemakaian lensa kontak, didapatkan tujuan terbanyak
pemakaian lensa kontak ialah tujuan estetika sebanyak 55 orang (74,3%), sedangkan
tujuan pemakaian untuk refraksi didapatkan sebanyak 19 orang (25,7%). Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Sunarti dkk33 yang menyatakan dalam
penelitiannya responden terbanyak ialah responden yang menggunakan lensa kontak
untuk tujuan kosmetik sebanyak 27 siswa (77,1%) dengan alasan bahwa penggunaan
lensa kontak akhir-akhir ini juga digunakan untuk alasan non medis yaitu menunjang
penampilan seperti merubah warna dan penampilan iris. Selain itu, lensa kontak yang
digunakan untuk kosmetik, lensa bagian kanan dan bagian kiri apabila dipasang pada
mata tidak memiliki efek penglihatan pada mata, berbeda dengan lensa kontak yang
digunakan untuk terapi kesehatan mata, misalnya untuk terapi pada mata minus, akan
memberikan pengaruh pada penglihatan jika penempatan lensa pada mata kanan dan
kiri tertukar.33
Kemudian, pada variable jenis lensa kontak yang digunakan, didapatkan
seluruh responden menggunakan lensa kontak berjenis soft contact lens. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Kuganeswari34 dimana responden terbanyak
dalam penelitiannya ialah responden yang menggunakan lensa kontak lunak (soft
contact lens). Smentara itu, penelitian yang dilakukan oleh Tajunisa dkk35 juga
menunjukkan bahwa kebanyakan mahasiswa menggunakan lensa kontak lunak dengan
persentase sebesar 82% dengan alasan lebih nyaman saat digunakan.35
4.2.2 Insidensi Derajat Keparahan Dry Eye Syndrome Pada Responden
Berdasarkan Kuisioner OSDI dan Tes Schirmer
Derajat keparahan Dry Eye Syndrome dinilai pada seluruh responden
dengan menggunakan kuisioner OSDI dan tes schirmer.23 Penilaian dengan
kuesioner OSDI dilakukan dengan cara menghitung skor total menggunakan suatu
formula kemudian ditentukan derajatnya berdasarkan skala, yaitu 0 – 12 normal,
13 – 22 ringan, 23-32 sedang, dan 33 - 100 berat.25 Sedangkan tes schirmer
dilakukan dengan mengukur produksi air mata menggunakan kertas schirmer
selama 5 menit, kemudian dilihat berapa millimeter kertas tersebut basah. Derajat
normal jika >15 mm, derajat ringan jika 15-10mm, derajat sedang jika 10-
5mm/5menit, derajat berat jika 3-5mm.36
43
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dari data yang diperoleh, adapun kesimpulan yang dapat
diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
49
50
syndrome berdasarkan tes schirmer pada siswa kelas XI SMA Negeri di Kecamatan
Telanaipura, Kota Jambi Januari-Maret 2021.
5.2 Saran
Jika peneliti lain akan melakukan penelitian yang sama tentang hubungan
penggunaan lensa kontak dengan derajat keparahan dry eye syndrome, maka diharapkan
penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan dan tambahan referensi dalam
melakukan penelitian selanjutnya dengan memperluas variabel-variabel lainnya dan
menggunakan responden yang lebih banyak.
51
DAFTAR PUSTAKA
14. International Dry Eye Workshop Subcommittee. The definition and classification of
dry eye disease: report of the definition and classification subcommittee of the
International Dry Eye Work Shop (DEWS II- 2017). Ocular Surface. 2017:5: 75-92.
15. William N, Sruthi S, Diane H, Lyndon J. The relief of dry eye signs and symptoms
using a combination of lubricants, lid hygiene and ocular nutraceuticals. Journal of
Optometry. 2017: (10):1-5.
16. Farrand KF, Fridman M, Stillman IO, Schaumberg DA. Prevalence of Diagnosed Dry
Eye Disease in the United States Among Adults Aged 18 Years and Older. Am J
Opthalmol. 2017 ; 182 : 90
17. Craig JP, Nichols KK, Akpek EK, Caffery B, Dua HS, Joo CK, Liu Z, Nelson JD,
Nichols JJ, Tsubota K, Stapleton F. TFOS DEWS II Definition and Classification
Report. 2017; 15 : 276–283.
18. Perdani AP. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dry eye syndrome pada
staf administrasi yang bekerja dengan komputer di Kantor Sekretariat Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lampung Tengah. Bandar Lampung: Universitas
Lampung; 2019.
19. Barber L, Khodai O, Dry eye symptoms and impact on vision-related function across
International Task Force guidelines severity levels in the United States. BMC
Opthalmology. 2018; 18 : 260.
20. Downie LE, PR Keller. A pragmatic approach to dry eye diagnosis: evidence into
practice. Optom Vis Sci. 2017; 92 : 1189–1197.
21. Markoulli M, Kolanu S. Contact lens wear and dry eyes: challenges and solutions.
Journal Clinical Optometry. 2017:9: 41–48.
22. Lubis RR, Gultom MTH. The Correlation between Daily Lens Wear Duration and
Dry Eye Syndrome. Open Acces Macedonian Journal of Medical Science. 2018. 6(5):
829–834.
23. Ellhusainy AM, Khalil AA, Reem HES, Bakr MA, Eissa MG, Sayed YMEL. New
Approaches for Diagnosis of Dry Eye Disease. Int J Opthalmol. 2019 :12(10):1618-
1628
24. Rohit S, Swaminathan S, Rakhmi D, Kalyani D. Corneal Dendritic Cell Density Is
Associated with Subbasal Nerve Plexus Features, Ocular Surface Disease Index, and
Serum Vitamin D in Evaporative Dry Eye Disease. Biomed Research International.
2016:10:11-55.
53
25. Vaughan, Daniel G., Asbury, T., Riordan-Eva, P..Oftalmologi Umum. Edisi 17.
Jakarta: EGC;2017. Hal 21.
26. Ozcura FMD, Aydin SMD, Helvaci RMMD. Ocular Surface Disease Index for the
Diagnosis of Dry Eye Syndrome. Ocular Immunology and Inflammation.
2017:15:389–393.
27. Razak SA. An assessment of tear production by Schirmer’s test among contact lens
wearer. International Journal of Medical Science and Diagnosis Research.
2018:2(5):11-16.
28. Ilyas S, Yulianti RS. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2015. Hal 24.
29. Rahmadilla AP. Hubungan Pemakaian Lensa Kontak Lunak (Soft Contact Lens)
dengan Dry Eye Syndrome. Jurnal Medikal Hutama. 2020:2(1).
30. General Optical Council. BMG Research GOC 2015 Contact Lens Survey. United
Kingdom: BMG Research. 2016:9-12.
31. Idayati R, Mutia F. Gambaran Pengguna Lensa Kontak (Softlens) Pada Mahasiswa
Universitas Syiah Kuala Ditinjau dari Jenis Lensa, Pola Pemakaian, Jangka Waktu,
dan Iritasi yang Ditimbulkan. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 2016:16(3).
32. Alfarisi R, Reno. Hubungan Tingkat Pengetahuan Pemakai Lensa Kontak dengan
Kejadian Iritasi Mata pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati
Angkatan 2015. Jurnal Ilmu Kedokteran dan Kesehatan. 2018:5(02).
33. Sunarti, Setianingsih W. Perilaku Remaja Pengguna Lensa Kontak (Softlens) dalam
Perawatan Kesehatan Mata di SMKN 3 Kota Blitar. Jurnal Ners dan Kebidanan.
2017:4(3).
34. Lingseswaran K. Hubungan Angka Kejadian Dry Eye Syndrome dengan Pemakaian
Lensa Kontak pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Medan. Universitas Sumatera Utara. 2017.
35. Tajunisha M, Seng MS. Knowledge and Practice of Contact Lens Wear and Care
Among Medical Students of University of Malaya. Knowledge and Practice of
Contact Lens Wear and Care Among Medical Students of University of Malaya.
2016;63(3):207-210.
36. Sembiring HA. Hubungan Pemakaian Lensa Kontak Terhadap Kejadian Dry Eyes
Pada Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang
Angkatan 2015-2018. Universitas Muhammadiyah Palembang. 2019.
54
37. Schiffman, Rhett. Reliability and Validity of the Ocular Surface Disease Index. Arch
Ophthalmol. 2020:118(5):615-621.
38. Lemp MA, Crews LA, Bron AJ, Foulks GN, Sullivan BD. Distribution of aqueous-
deficient and evaporative dry eye in a clinic-based patient cohort: a retrospective
study. Cornea. 2018:31:472-478.
39. Sahai, Malik A. Dry Eye : Prevalence and Attributable Risk Factors in A Hospital
Based Population. Indian J Opthalmol 2016:53:87-91.
40. Chakma AK. Dry Eye A Clinical Study in a Hospital Based Population. Indian
Medical Gazette. 2016:319(2).
41. Witcjaksono A, Khairunnisa R. Perbandingan Kualitas Air Mata antara Pengguna dan
Non Pengguna Lensa Kontak. Jurnal Sehat Masada. 2020:14(2):1979-2344.
42. Cihan Unlu, Esra Guney. Comparison of ocular-surface disease index questionnaire,
tearfilm break-up time, and Schirmer tests for the evaluation of the tearfilm in
computer users with and without dry-eye symptomatology. Turkey: Dove Medical
Press.2016:1303-1306.
43. Scott CA, Catania LJ. Cure of The Patient with Ocular Surface Disorders. USA :
American Optometric Association.2016.
44. Gultom MTH. Hubungan Lama Pemakaian Soft Contact Lens dengan Kejadian
Sindrom Mata Kering. Universitas Sumatera Utara. 2017.
45. Sapkota K, Kim HD. Causes of low vision and major low-vision devices prescribed in
the low-vision clinic of Nepal Eye Hospital, Nepal. Taylor Francis Online.
2017:21(3):147-151.
55
Saya yang bernama Wulan Rizky Amelia (G1A117097) adalah mahasiswa Program
Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi.Saat ini saya
sedang melakukan penelitian tentang “Hubungan Penggunaan Lensa Kontak dengan
Derajat Keparahan Dry Eye Syndrome pada siswa kelas XI SMA Negeri di kecamatan
Telanaipura, Kota Jambi Januari-Maret 2021”. Penelitian ini merupakan kegiatan dalam
meyelesaikan tugas akhir di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi.
Saya mengharapkan kesediaan siswa/i untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian ini
sebagai responden. Semua hal-hal yang berhubungan dengan responden tidak akan merusak
karir dari responden, tidak akan dilaporkan, tidak akan dipublikasikan, akan dirahasiakan dan
hanya digunakan untuk keperluan penelitian.
Peneliti
“Hubungan Penggunaan Lensa Kontak dengan Derajat Keparahan Dry Eye Syndrome pada
siswa Kelas XI SMA Negeri di Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi Januari-Maret 2021”
Setelah membaca dan memahami isi penjelasan pada lembar permohonan menjadi responden,
saya yang bertandatangan dibawah ini :
Nama :
Sekolah :
No. HP :
Dengan ini saya menyatakan bersedia menjadi responden dalam penelitian yang akan
dilakukan oleh Wulan Rizky Amelia mahasiswa Program Studi Kedokteran Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi.
Demikian pernyataan ini saya tandatangani untuk dapat dipergunakan seperlunya dan apabila
di kemudian hari terdapat perubahan atau keberatan saya, maka saya dapat mengajukan
kembali hal keberatan ini.
Jambi, ..........................
Menyetujui
(...................................)
63
IDENTITAS RESPONDEN
1. Nama :
3. Jenis Kelamin :
a. Tahunan
b. Bulanan
c. Mingguan
b. Tujuan Estetika
64
KUESIONER OSDI
Apakah anda mengalami hal-
hal tersebut dibawah ini dalam
seminggu terakhir: Selalu Sering Kadang Jarang Tidak
1. Mata terasa sensitif
bila terkena cahaya?
2. Mata terasa berpasir?
3. Mata terasa nyeri atau
kering?
4. Penglihatan kurang
tajam/tidak enak?
5. Penglihatan buruk?
Apakah anda mengalami
masalah dengan mata pada saat Tidak
melakukan aktivitas berikut ada
selama seminggu terakhir: Selalu Sering Kadang Jarang Tidak jawaban
6. Membaca?
7. Berjalan/mengemudi
pada malam hari?
8. Bekerja pada komputer
atau menjahit?
9. Menonton televisi?
Apakah anda merasakan Selalu Sering Kadang Jarang Tidak Tidak
ketidaknyamanan pada mata ada
pada kondisi lingkungan jawaban
tertentu selama seminggu
terakhir:
10. Kondisi lingkungan
berangin?
11. Kondisi lingkungan
yang sangat kering
seperti di lapangan
tterbuka?
12. Kondisi lingkungan
ber-AC?
Skoring: Selalu =4 Sering=3 Kadang=2 Jarang=1 Tidak=0
Jumlah skor (D)
Jumlah pertanyaan yang terjawab (E)
Perhitungan nilai OSDI: (D/E) X 25
Keterangan: Selalu : 7 hari seminggu Kadang : 3-4 hari seminggu
Sering : 5-6 hari seminggu Jarang : 1-2 hari seminggu
65
jenis_kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid laki-laki 17 23.0 23.0 23.0
Perempuan 57 77.0 77.0 100.0
Total 74 100.0 100.0
waktu_penggantian
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid monthly 41 55.4 55.4 55.4
weekly 22 29.7 29.7 85.1
Daily 11 14.9 14.9 100.0
Total 74 100.0 100.0
masa_penggunaan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tahunan 43 58.1 58.1 58.1
bulanan 18 24.3 24.3 82.4
mingguan 13 17.6 17.6 100.0
Total 74 100.0 100.0
tujuan_pemakaian
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid refraksi 19 25.7 25.7 25.7
estetika 55 74.3 74.3 100.0
Total 74 100.0 100.0
derajat_OSDI
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid normal 11 14.9 14.9 14.9
ringan 14 18.9 18.9 33.8
sedang 27 36.5 36.5 70.3
Berat 22 29.7 29.7 100.0
Total 74 100.0 100.0
66
derajat_schirmer
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid normal 6 8.1 8.1 8.1
ringan 14 18.9 18.9 27.0
sedang 29 39.2 39.2 66.2
berat 25 33.8 33.8 100.0
Total 74 100.0 100.0
Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value Df sided) sided) sided) Point Probability
Pearson Chi-Square 16.193a 3 .001 .001
Likelihood Ratio 16.456 3 .001 .002
Fisher's Exact Test 15.542 .001
Linear-by-Linear Association 6.899b 1 .009 .010 .007 .004
N of Valid Cases 74
a. 2 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.53.
b. The standardized statistic is 2.627.
Total Count 11 14 27 22 74
Expected Count 11.0 14.0 27.0 22.0 74.0
Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value Df sided) sided) sided) Point Probability
Pearson Chi-Square 14.922a 6 .021 .019
Likelihood Ratio 15.205 6 .019 .030
Fisher's Exact Test 14.436 .016
Linear-by-Linear Association 13.279b 1 .000 .000 .000 .000
N of Valid Cases 74
a. 6 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.64.
b. The standardized statistic is -3.644.
Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value Df sided) sided) sided) Point Probability
Pearson Chi-Square 14.624a 6 .023 .021
Likelihood Ratio 14.612 6 .024 .039
Fisher's Exact Test 14.141 .019
Linear-by-Linear Association 11.069b 1 .001 .001 .001 .000
N of Valid Cases 74
a. 6 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.93.
b. The standardized statistic is -3.327.
68
Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value Df sided) sided) sided) Point Probability
Pearson Chi-Square 5.378a 3 .146 .156
Likelihood Ratio 5.839 3 .120 .147
Fisher's Exact Test 5.226 .158
Linear-by-Linear Association 2.092b 1 .148 .158 .093 .037
N of Valid Cases 74
a. 2 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.82.
b. The standardized statistic is -1.446.
Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value Df sided) sided) sided) Point Probability
Pearson Chi-Square 8.227a 3 .042 .041
Likelihood Ratio 7.086 3 .069 .084
Fisher's Exact Test 7.168 .054
Linear-by-Linear Association 4.057b 1 .044 .052 .033 .016
N of Valid Cases 74
a. 3 cells (37.5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.38.
69
Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided) Point Probability
Pearson Chi-Square 9.045a 6 .171 .170
Likelihood Ratio 11.363 6 .078 .111
Fisher's Exact Test 7.780 .223
Linear-by-Linear Association 3.911b 1 .048 .049 .027 .010
N of Valid Cases 74
a. 7 cells (58.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .89.
b. The standardized statistic is 1.978.
Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value Df sided) sided) sided) Point Probability
Pearson Chi-Square 7.504a 6 .277 .282
Likelihood Ratio 9.734 6 .136 .187
Fisher's Exact Test 6.305 .368
Linear-by-Linear Association 1.150b 1 .284 .295 .162 .038
N of Valid Cases 74
a. 6 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.05.
b. The standardized statistic is 1.072.
Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value Df sided) sided) sided) Point Probability
Pearson Chi-Square 1.218a 3 .749 .767
Likelihood Ratio 1.207 3 .751 .767
Fisher's Exact Test 1.413 .740
Linear-by-Linear Association .130b 1 .719 .777 .420 .108
N of Valid Cases 74
a. 3 cells (37.5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.54.
b. The standardized statistic is -.360.
71