Anda di halaman 1dari 23

Mini Project

PREVALENSI PENDERITA SKABIES DI WILAYAH KERJA


PUSKESMAS MEUREUDU

Diajukan sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani


Program Internsip Dokter Indonesia Periode MEI/IV Tahun 2022
di Puskesmas Meureudu

Disusun oleh:

dr. PUPUT TRISNAWATI

Pendamping PIDI:

dr. YUNI RAHMADEWI

Puskesmas Meureudu
Pidie Jaya
Mei 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat, rahmat dan
hidayah-Nya, penyusunan mini project yang berjudul Prevalensi Penderita Skabies Di
Wilayah Kerja Puskesmas Meureudu.
Shalawat beriring salam penulis sanjung sajikan kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah membawa umat manusia dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu
pengetahuan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan mini project ini dapat terselesaikan
berkat bantuan, dukungan, bimbingan, serta arahan dari banyak pihak. Oleh karena itu dalam
kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Yuni Rahmadewi selaku pembimbing dokter internsip di Puskesmas Meureudu
2. Kedua orang tua penulis yang telah mencurahkan segenap kasih sayang, dukungan dan doa
yang tiada henti kepada penulis.
3. Teman sejawat dalam Program Internsip Dokter Indonesia di wahana Kabupaten Pidie jaya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa mini project ini masih jauh dari sempurna karena
keterbatasan pengetahuan, pengalaman dan waktu. Oleh karena itu kritik dan saran sangat
diharapkan untuk kesempurnaan proses pembelajaran ini dan mohon maaf atas segala
kekurangannya.
Akhir kata penulis berharap semoga mini project ini dapat bermanfaat khususnya bagi
penulis dan bagi pembaca pada umumnya.

Meureudu, Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................... i


KATA PENGANTAR ................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... iv

BAB l PENDAHULUAN ....................................................................................4


1.1 Latar Belakang .................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah ...........................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................5
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................6

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN ...............................................................7


2.1 Definisi Skabies................................................................................7
2.2 Epidemiologi Skabies .......................................................................7
2.3 Etiologi Skabies................................................................................8
2.4 Manifestasi Klinis Skabies .............................................................10
2.5 Diagnosa Skabies............................................................................11
2.6 Diagnosa Banding Skabies .............................................................12
2.7 Penatalaksanaan Skabies ................................................................12
2.8 Komplikasi Skabies ........................................................................16

BAB III METODE PENELITIAN ......................................................................17


3.1 Desain Penelitian ............................................................................17
3.2 Lokasi Penelitian ............................................................................17
3.3 Sumber Data ...................................................................................17
3.4 Populasi dan Sampel Penelitian......................................................17
3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ..........................................................17
3.6 Cara Kerja .......................................................................................18

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................19


4.1 Hasil Penelitian ...............................................................................19
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan .....................................................................................22
5.2 Saran ...............................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................23

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Skabies adalah penyakit infeksi yang menular yang disebabkan oleh infeksi

dan sensitisasi oleh tungau Sarcoptes scabiei varietas hominis. Skabies sering

diabaikan karena tidak mengancam jiwa dan prioritas penanganannya rendah, namun

sebenarnya skabies yang berlangsung lama dan berat dapat menimbulkan komplikasi

yang berbahaya. Penyakit ini lebih banyak terjadi di negara berkembang, terutama di

daerah endemis dengan iklim tropis dan subtropis, seperti Afrika, Amerika Selatan,

dan Indonesia. Skabies ditandai gatal malam hari, mengenai sekelompok orang,

dengan tempat predileksi di lipatan kulit yang tipis, hangat dan lembab.

Menurut data Depkes RI prevalensi penyakit skabies tahun 2013 menduduki urutan

ketiga dari 12 penyakit kulit yang tersering. Sebanyak 13 provinsi mempunyai prevalensi

penyakit kulit diatas prevalensi nasional, yaitu Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, Bangka

Belitung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur,

Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo. Beberapa faktor

yang berpengaruh pada prevalensi skabies antara lain keterbatasan air bersih, perilaku

kebersihan yang buruk, dan kepadatan penghuni rumah. Dengan tingginya kepadatan

penghuni rumah, interaksi dan kontak fisik erat yang akan memudahkan penularan

skabies, oleh karena itu penyakit ini banyak terdapat di asrama, panti asuhan, pondok

pesantren, dan pengungsian.

Kelainan kulit ini sering menimbulkan ketidak nyamanan karena lesi yang sangat

gatal. Akibatnya, penderita sering menggaruk dan menyebabkan infeksi sekunder

4
terutama yang diakibatkan oleh bakteri Group A Streptococci (GAS) serta

Staphylococcus aureus. Penyakit skabies ini sangat mudah sekali menular dan sangat

gatal terutama pada malam hari. Predileksi dari skabies ialah biasanya pada axilla,

areola mammae, sekitar umbilikus, genital, bokong, pergelangan tangan bagian volar,

sela-sela jari tangan, siku flexor, telapak tangan dan telapak kaki.

Skabies yang terjadi pada anak balita biasanya terdapat pada leher, kepala,

telapak tangan dan telapak kaki sehingga sering dikelirukan dengan gambaran

eksema atopik. Karena sifatnya yang sangat menular, maka skabies ini popular

dikalangan masyarakat padat.

Dari uraian singkat di atas, adalah menarik untuk membahas tentang skabies di

wilayah kerja Puskesmas Meureudu Kabupaten Pidie jaya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana prevalensi penderita skabies berdasarkan jenis kelamin dan usia di

Puskesmas Meureudu periode Mei 2022 sampai dengan Oktober 2022?

2. Bagaimana prevalensi pasien yang di diagnosis skabies di Puskesmas

Meureudu periode Mei 2022 sampai dengan Oktober 2022?

1.3 Tujuan penelitian


1. Untuk mengetahui prevalensi penderita skabies berdasarkan jenis kelamin dan

usia di Puskesmas Untuk mengetahui prevalensi pasien yang di diagnosis

skabies di Puskesmas Meureudu periode Desember 2021 sampai dengan

Oktober 2022.

5
1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi peneliti: menambah pengetahuan, pengalaman dan dapat

mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang didapat selama bertugas di

Puskesmas Meureudu.

2. Manfaat bagi institusi: hasil mini project ini diharapkan dapat menjadi data

dasar untuk mengetahui lebih lanjut faktor risiko dan menjadi dasar acuan

kebijakan yang berkaitan dengan penanganan skabies di Kecamatan Meueredu.

3. Manfaat bagi masyarakat: menjadi sumber informasi bagi masyarakat tentang

gambaran penyakit skabies.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Skabies

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi

terhadap Sarcoptes scabiei varian hominis dan produknya. Skabies disebut juga

dengan the itch, pamaan itch dan seven year itch. Skabies mudah menyebar baik

secara langsung atau melalui sentuhan langsung dengan penderita maupun secara

tak langsung melalui baju, seprai, handuk, bantal, air atau sisir yang pernah

dipergunakan penderita dan belum dibersihkan dan masih terdapat tungau

sarcoptes.

2.2 Epidemiologi Skabies

Penyakit skabies diperkirakan mencapai sekitar 300 juta kasus per tahunnya di

seluruh dunia dan menyerang semua umur, jenis kelamin, ras, dan tingkat

sosioekonomi. Tingkat kejadian skabies dalam literatur terbaru mencapai sekitar dari

0,3% sampai 46%, namun anak-anak paling rentan terjangkit skabies. Masyarakat

dengan sumber daya yang rendah sangat rentan terjangkit penyakit skabies. Faktor yang

berperan pada tingginya angka kejadian skabies di negara-negara berkembang terkait

dengan kemiskinan yang berhubungan dengan rendahnya tingkat kebersihan diri

(personal hygiene), akses air yang sulit, dan kepadatan penduduk.

Banyak faktor yang menunjang penyakit ini, antara lain sosial ekonomi yang

rendah, higiene yang buruk, hubungan seksual bersifat promiskuitas, kesalahan

diagnosis, dan perkembangan dermografik serta ekologik.

7
Menurut World Health Organization (WHO) angka kejadian skabies pada tahun

2014 sebanyak 130 juta orang didunia. Menurut Internasional Alliance for the control

of Scabies (IACS) kejadian skabies bervariasi mulai dari 0,3% menjadi 46%. Skabies

ditemukan disemua negara dengan prevalensi yang bervariasi. Beberapa negara yang

sedang berkembang prevalensi skabies sekitar 6% - 27% populasi umum, menyerang

semua ras dan kelompok umur serta cenderung tinggi pada anak- anak dan remaja.

2.3 Etiologi Skabies

Sarcoptes scabiei varietas hominis adalah parasit yang termasuk kelas

Arachnida, subkelas Acarina, ordo Astigmata, dan famili Sarcoptidae. Selain

varietas hominis, S. scabiei juga mempunyai varietas hewan, namun tidak

menular, hanya menimbulkan dermatitis sementara serta tidak dapat melanjutkan

siklus hidupnya pada manusia.

Siklus hidup S. scabiei terdiri tadi telur, larva, nimfa, dan tungau dewasa.

Infestasi dimulai ketika tungau betina gravid berpindah dari penderita skabies ke

orang sehat. Tungau betina dewasa akan berjalan di permukaan kulit untuk

mencari daerah untuk digali; lalu melekatkan dirinya di permukaan kulit

menggunakan ambulakral dan membuat lubang di kulit dengan menggigitnya.

Tungau akan menggali terowongan sempit dan masuk ke dalam kulit. Penggalian

biasanya malam hari sambil bertelur atau mengeluarkan feses. Tungau betina

hidup selama 30-60 hari di dalam terowongan dan selama itu tungau tersebut terus

memperluas terowongannya.

Seseorang mengalami gejala skabies ketika tungau masuk ke dalam lapisan

kulitnya. Lesi primer yang terbentuk akibat infeksi skabies pada umumnya berupa

terowongan yang berisi tungau, telur, dan hasil metabolisme. Terowongan

8
berwarna putih abu-abu, tipis dan kecil seperti benang dengan struktur linear atau

berkelok-kelok kurang lebih 1-10 mm yang merupakan hasil dari pergerakan

tungau di dalam stratum korneum. Di ujung terowongan dapat ditemukan vesikel

atau papul kecil. Terowongan dapat ditemukan bila belum terdapat infeksi

sekunder. Ketika menggali terowongan, tungau mengeluarkan sekret yang dapat

melisiskan stratum korneum. Sekret tersebut akan menyebabkan sensitisasi

sehingga menimbulkan lesi sekunder. Lesi sekunder berupa papul, vesikel, pustul,

dan terkadang bula. Selain itu dapat pula terbentuk lesi tersier berupa ekskoriasi,

eksematisasi, dan pioderma. Meskipun dapat terbentuk lesi sekunder dan tersier,

namun tungau hanya dapat ditemukan pada lesi primer. Lesi primer pada skabies

sangat menular melalui jatuhnya krusta yang berisi tungau. Krusta tersebut

menyediakan makanan dan perlindungan bagi tungau yang memungkinkan

mereka untuk bertahan hidup.

Kelangsungan hidup Sarcoptes scabiei sangat bergantung pada

kemampuannya meletakkan telur, larva, dan nimfa di dalam stratum korneum.

Oleh karena itu, tungau ini sangat menyukai bagian kulit yang memiliki stratum

korneum yang relatif lebih longgar dan tipis seperti sela-sela jari tangan, telapak

tangan bagian lateral, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat

ketiak bagian depan, areola mammae (wanita), umbilikus, bokong, genitalia

eksterna (pria).

Variasi skabies dibedakan menjadi:

1. Skabies norwegia (skabies berkrusta)

Bentuk skabies ini ditandai dengan dermatosis berkrusta pada tangan dan

kaki, kuku yang distrofik, serta skuama yang generalisata. Bentuk ini sangat

9
menular, tetapi rasa gatalnya sangat sedikit. Tungau dapat ditemukan dalam

jumlah yang sangat banyak. Penyakit terdapat pada pasien dengan retardasi

mental, kelemahan fisik, gangguan imunologik dan psikosis.

2. Skabies nodular

Skabies dapat berbentuk nodular bila lama tidak mendapat terapi, sering

terjadi pada bayi dan anak, atau pasien dengan imunokompromais.

2.4 Manifestasi Klinis Skabies

Gejala klinis pada infeksi kulit akibat skabies disebabkan oleh respons alergi

tubuh terhadap tungau. Setelah tungau melakukan kopulasi (perkawinan) di atas

kulit, tungau jantan akan mati dan tungau betina akan menggali terowongan dalam

stratum korneum sambil meletakkan sebanyak 2 hingga 50 telur. Aktivitas S.

scabiei di dalam kulit akan menimbulkan rasa gatal yang umumnya mulai timbul

4-6 minggu setelah infestasi pertama; bila terjadi re-infestasi tungau, gejala dapat

muncul lebih cepat dalam 2 hari. Rasa gatal biasa memburuk pada malam hari

disebabkan aktivitas tungau lebih tinggi pada suhu lebih lembab dan panas.

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan kelainan kulit menyerupai dermatitis,

yaitu lesi papul, vesikel, urtika, dan bila digaruk timbul lesi sekunder berupa erosi,

eksoriasi, dan krusta. Dapat ditemukan lesi khas berupa terowongan (kunikulus)

putih atau keabu-abuan berupa garis lurus atau berkelok, panjang satu sampai

sepuluh mm di tempat predileksi. Kunikulus umumnya sulit ditemukan karena

pasien biasa menggaruk lesi, sehingga berubah menjadi ekskoriasi luas. Pada

dewasa, umumnya tidak terdapat lesi di area kepala dan leher; tetapi pada bayi,

lansia, dan pasien imunokompromais dapat menyerang seluruh permukaan tubuh.

10
Pada varian skabies berkrusta (Skabies Norwegia), ditemukan lesi kulit

berupa plak hiperkeratotik di tangan dan kaki, kuku jari tangan dan kaki distrofik,

serta skuama generalisata. Pada kasus berat dapat ditemukan lesi fisura dalam.

Berbeda dari varian skabies umumnya, skabies berkrusta dapat tidak gatal. Rasa

gatal dapat memberi dampak nyata karena mengganggu tidur yang dapat

berdampak pada aktivitas sekolah dan kerja. Pasien penderita infeksi skabies, juga

lebih mudah mengalami infeksi sekunder bakteri.

2.5 Diagnosis Skabies

Diagnosis skabies dapat ditegakkan dengan adanya 2 dari 4 tanda kardinal

(tanda utama), yaitu:

1. Gejala gatal pada malam hari (pruritus nokturna), disebabkan aktivitas

tungau skabies yang lebih tinggi pada suhu lebih lembap dan panas.

2. Gejala yang sama pada satu kelompok manusia. Penyakit ini menyerang

sekelompok orang yang tinggal berdekatan, seperti sebuah keluarga,

perkampungan, panti asuhan, atau pondok pesantren.

3. Terbentuknya terowongan atau kunikulus di tempat-tempat predileksi,

terowongan berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjangnya 2 cm,

putih atau keabu-abuan. Predileksi di bagian stratum korenum yang tipis,

yaitu: sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian

luar, lipat ketiak bagian depan, umbilikus, bokong, perut bagian bawah,

areola mammae pada wanita dan genitalia eksterna pada laki-laki.

4. Ditemukan tungau Sarcoptes scabiei, dapat ditemukan satu atau lebih

stadium hidup.

11
2.6 Diagnosis Banding Skabies

Gejala yang ditimbulkan pada infeksi skabies umunya tidak spesifik karena

lesi awal pada pasien biasanya berupa papul dan vesikel dengan gejala subjektif

berupa rasa gatal. Terlebih lagi umunya pasien datang ke rumah sakit setelah

terjadi infeksi sekunder sehingga sulit menilai penyakit yang mendasari pada

keluhan pasien.

Diagnosis banding skabies meliputi hampir semua dermatosis dengan

keluhan pruritus, yaitu dermatitis atopik, dermatitis kontak, prurigo, urtikaria

papular, pioderma, pedikulosis, dermatitis herpetiformis, ekskoriasi-neurotik,

liken planus, penyakit darier, gigitan serangga, urtikaria, dermatitis eksematoid

infeksiosa, pruritis karena penyakit sistemik, dermatosis pruritik pada kehamilan,

sifilis, dan vaskulitis. Oleh karena itu skabies disebut juga “the greatest imitator”.

2.7 Penatalaksanaan Skabies

Umum

Infestasi tungau dapat tidak bergejala (asimptomatik) tetapi individu sudah

terinfeksi. Mereka dianggap sebagai pembawa (carrier). Oleh karena itu,

pengobatan juga dilakukan kepada seluruh penghuni rumah karena kemungkinan

karier di penghuni rumah dan untuk mencegah re-infestasi karier.

Gejala gatal dapat ditangani dengan krim pelembap, kortikosteroid topikal

potensi ringan, dan antihistamin oral. Dengan terapi adekuat, seluruh gejala

termasuk rasa gatal dapat membaik setelah 3 hari; rasa gatal dan kemerahan masih

dapat timbul setelah empat minggu terapi, biasa dikenal sebagai “postscabietic

itch. Pasien diedukasi hal tersebut untuk menghindari persepsi kegagalan terapi.

12
Pasien juga diberi edukasi untuk tidak membersihkan kulit secara berlebihan

dengan sabun antiseptik karena dapat memicu iritasi kulit.

Medikamentosa

Terapi utama adalah topikal.

1. Topikal

a. Krim Permetrin 5%

Tatalaksana lini pertama adalah topikal krim permetrin kadar 5%, aplikasi

ke seluruh tubuh (kecuali area kepala dan leher pada dewasa) dan

dibersihkan setelah 8 jam dengan mandi. Permetrin efektif terhadap seluruh

stadium parasit dan diberikan untuk usia di atas 2 bulan. Jika gejala

menetap, dapat diulang 7-14 hari setelah penggunaan pertama kali. Seluruh

anggota keluarga atau kontak dekat penderita juga perlu diterapi pada saat

bersamaan. Permetrin memiliki efektivitas tinggi dan ditoleransi dengan

baik. Kegagalan terapi dapat terjadi bila terdapat penderita kontak

asimptomatik yang tidak diterapi, aplikasi krim tidak adekuat, hilang

karena tidak sengaja terbasuh saat mandi sebelum 8 jam aplikasi.

Pemakaian pada wanita hamil, ibu menyusui, anak usia di bawah 2 tahun

dibatasi menjadi dua kali aplikasi (diberi jarak 1 minggu) dan segera

dibersihkan setelah 2 jam aplikasi.

b. Krotamiton 10%

Krotamiton 10% dalam krim atau lotion merupakan obat alternatif lini

pertama untuk usia di bawah 2 bulan. Agen topikal ini memiliki dua efek

sebagai antiskabies dan antigatal. Aplikasi dilakukan ke seluruh tubuh dan

dibasuh setelah 24 jam dan diulang sampai 3 hari. Penggunaan dijauhkan

13
dari area mata, mulut, dan uretra. Krotamiton dianggap kurang efektif

dibanding terapi lain.

c. Belerang Endap (Sulfur Presipitatum) 5%-10%

Belerang endap (sulfur presipitatum) dengan kadar 5-10% dalam bentuk

salep atau krim. Preparat ini tidak efektif untuk stadium telur, digunakan 3

hari berturut-turut. Kekurangan preparat ini adalah berbau, mengotori

pakaian, dan terkadang dapat menimbulkan dermatitis iritan, tetapi harga

preparat ini murah dan merupakan pilihan paling aman untuk neonatus dan

wanita hamil.

d. Emulsi Benzil Benzoas 25%

Tatalaksana lini kedua agen topikal adalah emulsi benzil benzoas kadar

25%. Agen ini efektif terhadap seluruh stadia, diberikan setiap malam

selama 3 hari. Agen ini sering menyebabkan iritasi kulit, dan perlu

dilarutkan bersama air untuk bayi dan anak-anak. Pemakaian di seluruh

tubuh dan dibasuh setelah 24 jam.

e. Lindane (Gammexane) 1%

Lindane 1% dalam bentuk losio, efektif untuk semua stadi, mudah

digunakan, dan jarang mengiritasi. US Food and Drug

Administration(FDA) telah memasukkan obat ini dalam kategori “black

box warning”, dilarang digunakan pada bayi prematur, individu dengan

riwayat kejang tidak terkontrol. Selain itu, obat ini tidak dianjurkan pada

bayi, anak-anak, lanjut usia, individu dengan berat kurang dari 50 kg karena

risiko neurotoksisitas, dan individu yang memiliki riwayat penyakit kulit

lainnya seperti dermatitis dan psoriasis.

14
2. Oral

a. Ivermectin

Ivermectin merupakan agen antiparasit golongan macrocyclic lactone

yang merupakan produk fermentasi bakteri Streptomyces avermitilis.

Agen ini dapat menjadi terapi lini ketiga pada usia lebih dari 5 tahun,

terutama pada penderita persisten atau resisten terhadap terapi topikal

seperti permethrin. Pada tipe skabies berkrusta, dianjurkan terapi

kombinasi ivermectin oral dengan agen topikal seperti permethrin, karena

kandungan terapi oral saja tidak dapat berpenetrasi pada area kulit yang

mengalami hiperkeratinisasi. Dosis yang dianjurkan untuk skabies adalah

200 μg/kg dengan pengulangan dosis 7-14 hari setelah dosis pertama.

Penggunaan tidak dianjurkan untuk anak dengan berat badan di bawah 15

kg, wanita hamil, dan wanita menyusui, karena obat ini berinteraksi

dengan sinaps saraf memicu peningkatan glutamat dan dapat menembus

sawar darah otak (blood brain barrier) terutama pada anak di bawah 5

tahun yang sistem sawar darah otak belum sempurna.

b. Moxidectin

Moxidectin merupakan terapi alternatif yang sedang dikembangkan.

Moxidectin adalah obat yang biasa digunakan dokter hewan untuk

mengobati infeksi parasit terutama Sarcoptic mange. Preparat ini

memiliki mekanisme kerja yang sama dengan ivermectin, tetapi lebih

lipofilik sehingga memiliki penetrasi lebih tinggi ke jaringan. Moxidectin

memiliki toksisitas lebih rendah dibanding ivermectin. Saat ini studi

15
keamanan dosis pada manusia masih sedikit, dosis terapeutik yang

bertahan di kulit antara 3-36 mg (sampai 0,6 m/kg).

Pencegahan reinfeksi skabies pada orang yang sama dilakukan dengan

mencuci bersih semua barang pribadi penderita seperti pakaian, handuk, sprei,

dan sarung dengan menggunakan detergen dan dijemur di bawah terik matahari

agar seluruh tungau mati.

2.8 Komplikasi Skabies

Kerusakan epidermis pada infeksi skabies, memudahkan infeksi

Streptococcus pyogenes (Group A Streptococcus [GAS]) atau Staphylococcus

aureus. Keduanya dapat menyebabkan infeksi lokal jaringan seperti impetigo,

selulitis, dan abses, serta dapat menyebar sistemik lewat aliran darah dan limfe

(terutama pada skabies berkrusta dapat terjadi limfadenitis dan septikemia).

Infeksi kulit pada GAS dapat menimbulkan komplikasi akhir yaitu berupa post-

streptococcal glomerulonephritis yang dapat berkembang menjadi gangguan

ginjal kronis.

16
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan secara retrospektif

dengan menggunakan data sekunder dengan desain penelitian studi cross-sectional.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di Puskesmas Meureudu.

3.3 Sumber Data

Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder yang didapat dari

rekam medis pasien periode Mei 2022 sampai dengan Oktober 2022.

3.4 Populasi dan Sampel

a. Populasi penelitian

Populasi penelitian ini adalah pasien yang di diagnosis skabies di

Puskesmas Meureudu periode Mei 2022 sampai dengan Oktober 2022.

b. Sampel Penelitian

Seluruh populasi menjadi sampel penelitian yang memenuhi kriteria.

3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

a. Kriteria Inklusi

Pasien yang di diagnosis skabies di Puskesmas Meureudu periode Mei


2022 sampai dengan Oktober 2022.
b. Kriteria Eksklusi
Pasien yang di diagnosis scabies yang rekam medisnya tidak lengkap.

17
3.6 Cara Kerja

Cara pengumpulan data pada penelitian ini yaitu berdasarkan data sekunder

dari penderita skabies yang berkunjung ke Puskesmas Meureudu. Dalam proses

pengumpulan dan pengolahan data terdapat langkah-langkah yang harus ditempuh,

diantaranya:

a. Editing (Pengeditan Data)

Dalam penelitian ini Editing merupakan kegiatan pengecekan terhadap hasil

observasi pada data rekam medis, sehingga diketahui apakah hasil sudah

lengkap, jelas, relevan dan konsisten.

b. Coding (Pengkodean)

Data-data yang diperoleh kemudian diubah menjadi data berbentuk

angka/bilangan.

c. Processing (Pemasukan data)

Langkah selanjutnya adalah memproses data agar dapat dianalisis.

Pemrosesan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara meng-entry

data dari isian rekam medis ke paket program komputer.

d. Cleaning (Pembersih data)

Setelah di entry data dari rekam medis pada penelitian ini dilakukan

kegiatan pengecekan kembali apakah ada kesalahan atau tidak.

e. Interpretasi Data

Data di interpretasikan secara deskriptif.

f. Pelaporan Hasil Mini Project

Hasil mini project dibuat dalam bentuk makalah laporan yang akan

dipresentasikan.

18
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil dan Pembahasan

Setelah penelitian dilakukan, selama bulan Mei 2022 sampai dengan

Oktober 2022 didapatkan 34 orang pasien yang telah didiagnosa menderita

skabies oleh dokter di Puskesmas Meureudu. Data yang telah dikumpulkan,

diolah dan dianalisa berdasarkan laporan hasil rekam medis Puskesmas

Meureudu Tahun 2022 yaitu sebagai berikut :

4.1.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Terhadap Prevalensi

Penderita Skabies di Wilayah Kerja Puskesmas Meureudu Periode Mei

2022 sampai dengan Oktober 2022

Tabel 4.1.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Terhadap Prevalensi


Penderita Skabies di Wilayah Kerja Puskesmas Meureudu
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)
Laki-laki 19 55,8%
Perempuan 15 44,2%
Jumlah 34 100%

Berdasarkan tabel 4.1.1 didapatkan bahwa persentase laki-laki lebih

tinggi sebesar 19 orang (55,8%) dibandingkan perempuan 15 orang (44,2%).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sungkar (2014) didapatkan

bahwa pada laki-laki lebih banyak menderita skabies dibandingkan dengan

perempuan dengan perbandingan laki-laki 55,8% dan perempuan sebanyak

44,2%, dimana perempuan cenderung lebih sedikit terkena skabies karena

penyakit ini paling sering disebabkan oleh faktor pencetus yaitu personal

hygien yang buruk.

19
4.1.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia Terhadap Prevalensi Penderita

Skabies di Wilayah Kerja Puskesmas Meureudu Periode Mei 2022 sampai

dengan Oktober 2022

Tabel 4.1.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia Terhadap Prevalensi Penderita


Skabies di Wilayah Kerja Puskesmas Meureudu
Usia Frekuensi Persentase (%)
<18 tahun 27 79,42%
>18 tahun 7 20,58%
Jumlah 34 100%

Berdasarkan tabel 4.1.2 menunjukkan bahwa kategori usia <18 tahun

lebih tinggi sebesar 27 orang (79,42%) dibandingkan kategori usia >18 tahun

sebesar 7 orang (20,58%). Hasil penelitian ini sejalan dengan teori menurut

Notoadmodjo (2003) usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola

pikirnya sehingga pengetahuan yang diperoleh semakin membaik. Tingkat

kejadian skabies dalam literatur terbaru mencapai 0,3% sampai 46%, dan

yang paling rentan terkena skabies adalah anak-anak, dimana masyarakat

dengan sumber daya yang sangat rendah sangat rentan terkena penyakit

skabies dan biasanya faktor yang berperan pada tingginya angka kejadian

skabies di Negara berkembang terkait dengan kemiskinan yang berhubungan

dengan rendahnya tingkat kebersihan diri (personal hygiene), akses air yang

sulit, kelembaban udara, suhu, dan kepadatan penduduk.

20
4.1.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin dan usia Terhadap

Prevalensi Penderita Skabies di Wilayah Kerja Puskesmas Meureudu

Periode Mei 2022 sampai dengan Oktober 2022

Tabel 4.2.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin dan usia Terhadap
Prevalensi Penderita Skabies di Wilayah Kerja Puskesmas Meureudu
Jenis Kelamin Usia Frekuensi Persentase (%)
Laki-laki <18 tahun 16 84,3%
>18 tahun 3 15,7%
Jumlah 19 100%

Jenis Kelamin Usia Frekuensi Persentase(%)


Perempuan <18 tahun 11 73,3%
>18 tahun 4 26,7%
Jumlah 15 100%

Berdasarkan tabel 4.1.3 menunjukkan bahwa distribusi frekuensi

berdasarkan jenis kelamin dan usia terhadap prevalensi penderita skabies pada

laki-laki dengan kategori usia <18 tahun sebanyak 16 orang (84,3%), dan

kategori >18 tahun sebanyak 3 orang (15,7%). Sedangkan distribusi frekuensi

berdasarkan jenis kelamin dan usia terhadap prevalensi penderita skabies pada

perempuan dengan kategori usia <18 tahun sebanyak 11 orang (73,3%), dan

kategori >18 tahun sebanyak 4 orang (26,7%).

21
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa

distribusi penderita skabies di wilayah kerja Puskesmas Meureudu Periode Mei

2022 sampai dengan Oktober 2022 berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 19

orang (55,8%). Sedangkan untuk usia yang paling banyak terkena usia <18 tahun

sebanyak 27 orang (79,42%).

5.2 Saran

1. Bagi Penderita

Untuk dapat meningkatkan personal hygine dan kebersihan lingkungan, serta

datang ke puskesmas untuk mendapatkan pengobatan.

2. Bagi Puskesmas

Untuk dapat lebih sering melakukan penyuluhan tentang skabies, mengenai

cara penularan, pencegahan dan pengobatannya.

3. Bagi Dinas Kesehatan

Untuk dapat mengadakan penyediaan obat skabies lebih banyak lagi.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Sungkar S. Skabies: Etiologi, patogenesis, pengobatan, pemberantasan, dan


pencegahan. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2016
2. Chosidow, 2006, Skabies. New England J Med; 345: p. 1718-1723.
3. Steer AC, Jenney AWJ, Kado J, Batzloff MR, Vincent SL, Waqatakirewa L, et al.
High burden of impetigo and scabies in a tropical country. PLoS Negl Trop Dis.
2009;3:467
4. Shelley FW, Currie BJ. Problems in diagnosing scabies, a global disease in human
and animal populations. CMR. 2007;268-79.
5. Baker F. Scabies management. Paediatr Child Health. 2010;6:775-7.
6. Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 7th Ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2015. p. 137-40.
7. Hardy M, Engelman D, Steer A. Scabies: A clinical update. Australian Family
Physician; Melbourne 46, no. 5. 2017; 264–68.
8. Khalil S, Ossama A, Kibbi AG, Kurban M. Scabies in the age of increasing drug
resistance. PLoS Negl Trop Dis. 2017;11(11):e0005920.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1371/journal.pntd.0005920
9. Handoko PR, 2010, Skabies: In Prof.Dr.dr.Adi Djuanda, editor: Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Ed 6, Jakarta. FK UI.
10. Noor N, 2008, Epidemiologi Penyakit Menular, Jakarta: Rineka Cipta.
11. Kurniawan, Marsha. Diagnosis dan Terapi Skabies. Jakarta: Fk Unika Atma Jaya.
CDK-283/ vol. 47 no. 2 th. 2020.
12. Hanna, Mutiara. Skabies. Lampung: FK Universitas Lampung. Vol 5 No 2 tahun
2016.

23

Anda mungkin juga menyukai