Anda di halaman 1dari 62

LAPORAN KASUS

HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS

Oleh:
Maulidiyah Tasya Salsabilla, S.Ked
712021082

Pembimbing:
dr. Ridhayani, Sp.A

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2023
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

Judul:
HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS

Dipersiapkan dan disusun oleh:


Maulidiyah Tasya Salsabilla, S.Ked
712021082

Telah dilaksanakan pada bulan Juni 2023 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di SMF Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang.

Palembang, Juni 2023


Dosen Pembimbing

dr. Ridhayani, Sp. A

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul
“Hiperbilirubinemia pada neonatus” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di SMF Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit
Umum Daerah Palembang BARI, Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah
Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir
zaman. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih sebanyak-banyaknya kepada :
1. dr. Ridhayani, Sp. A, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Senior (KKS)
di SMF Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI
yang telah memberikan masukan, arahan, serta bimbingan selama penyusunan
referat ini.
2. Orang tua dan saudara tercinta yang telah banyak membantu dengan doa yang
tulus dan memberikan bantuan moral maupun spiritual.
3. Rekan-rekan co-assistensi atas bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini masih banyak
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat di harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan
ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.

Palembang, Juni 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar belakang ................................................................................1
1.2 Maksud dan Tujuan .........................................................................3
1.3 Manfaat ............................................................................................3

BAB II. LAPORAN KASUS .............................................................................. 4


2.1 Identitas ............................................................................................4
2.2 Anamnesis .......................................................................................4
2.3 Riwayat Penyakit Dahulu ................................................................5
2.4 Riwayat Penyakit Keluarga .............................................................5
2.5 Riwayat Kehamilan .........................................................................5
2.6 Riwayat Kelahiran ...........................................................................6
2.7 Riwayat Sosial Ekonomi ..................................................................6
2.8 Pemeriksaan Fisik ...........................................................................6
2.9 Pemeriksaan Penunjang .....................................................................8
2.10 Diagnosis Kerja ...........................................................9
2.11 Penatalaksanaan ............................................................................10
2.12 Prognosis .....................................................................................10
2.13 Follow Up .....................................................................................11

BAB III. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 15


3.1 Definisi ..........................................................................................15
3.2 Epidemiologi ...................................................................................16
3.3 Etiologi ..........................................................................................16
3.4 Klasifikasi .....................................................................................18

iv
3.5 Faktor Risiko ................................................................................23
3.6 Patofisiologi ...................................................................................24
3.7 Manifestasi Klinis .........................................................................31
3.8 Diagnosis ........................................................................................31
3.9 Pemeriksaan Penunjang ...................................................................35
3.10 Tatalaksana ...................................................................................38
3.11 Komplikasi ...................................................................................49
3.12 Prognosis .....................................................................................50

BAB IV. ANALISIS KASUS ............................................................................. 52


BAB V. KESIMPULAN.................................................................................... 56
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 57

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hiperbilirubinemia merupakan masalah umum yang sering dijumpai
pada bayi baru lahir. Keadaan ini disebabkan oleh gabungan peningkatan
katabolisme heme dan imaturitas hepar dalam konjugasi dan ekskresi
bilirubin. Angka kejadiannya adalah 60% dari neonatus >35 minggu dan 80%
pada neonates < 35 minggu.1
Berdasarkan World Health Organization (WHO) tahun 2019 angka
kematian bayi baru lahir secara global mengalami penurunan dari 5 juta pada
tahun 1990 menjadi 2,4 juta pada tahun 2019 anak-anak yang menghadapi
risiko kematian terbesar dalam 28 hari pertama kelahiran. Pada tahun 2019
jumlah kematian bayi baru lahir sebesar 47% dari semua kematian balita.
Pada tahun 2020 sebesar 47% dari seluruh kematian balita terjadi pada masa
neonatus (28 hari pertama kehidupan), meningkat dari tahun 1990 (40%),
karena tingkat kematian balita secara global menurun lebih cepat
dibandingkan kematian neonates, dengan salah satu penyebabnya adalah
hiperbilirubinemia.2
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2017, Angka Kematian Neonatal (AKN) 15 setiap 1.000 kelahiran hidup yang
salah satu penyebab kematian bayi di Indonesia adalah ikterus. Berdasarkan
data Rikesdas (Riset kesehatan dasar) tahun 2007 kelainan hematologi atau
hiperbilirubinemia merupakan penyebab morbiditas neonatal nomor 5
dengan prevalensi sebesar 5,6% setelah prematuritas, gangguan nafas, sepsis
dan hipotermi. Penelitian terbaru di 8 rumah sakit di Indonesia yaitu enam RS
di Jakarta, satu RS di Manado dan satu RS di Kupang menunjukkan bahwa
prevalensi hiperbilirubinemia berat adalah 7% dengan encephalopati
hiperbilirubinemia akut sebesar 2%.2

1
Pada janin, tugas mengeluarkan bilirubin dari darah dilakukan oleh
plasenta, dan bukan oleh hati. Setelah bayi lahir, tugas ini langsung diambil
alih oleh hati, yang memerlukan sampai beberapa minggu untuk penyesuaian.
Selama selang waktu tersebut, hati bekerja keras untuk mengeluarkan
bilirubin dari darah. Walaupun demikian, jumlah bilirubin yang tersisa masih
menumpuk di dalam tubuh. Oleh karena bilirubin berwarna kuning, maka
jumlah bilirubin yang berlebihan dapat memberi warna pada kulit, sklera, dan
jaringan-jaringan tubuh lainnya.3
Pada setiap bayi yang mengalami ikterus harus dibedakan apakah
ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologik atau non-fisiologik.
Secara klinis, ikterik dapat dilihat pada kulit dan sklera apabila terjadi
peningkatan kadar bilirubin lebih dari 5mg/dl. Secara fisiologis, kadar
bilirubin akan meningkat setelah lahir, lalu menetap dan selanjutnya menurun
setelah usia 7 hari. Meskipun demikian, 3%-5% neonatus yang mengalami
hiperbilirubinemia merupakan proses patologis yang berisiko tinggi terhadap
terjadinya kernikterus. Kernikterus adalah kerusakan otak akibat toksisitas
bilirubin yang dapat dicegah.1
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan karena bererapa faktor yaitu
faktor perinatal, faktor neonatal dan faktor maternal. Pada faktor perinatal
dapat disebabkan oleh jenis persalinan, infeksi dan faktor trauma lahir. Pada
faktor neonatal dapat disebabkan oleh faktor genetik, prematuritas,
hipoglikemia, rendahnya asupan ASI, polisitemia, hipoalbuminemia dan
obatobatan. Sedangkan faktor maternal dapat disebabkan oleh komplikasi
kehamilan, ras, penggunaan infus oksitosin dan ASI. BBLR dan asfiksia juga
merupakan faktor lain penyebab hyperbilirubinemia.2
Tingginya angka kejadian hiperbilirubinemia pada neonatus serta
dampak yang dapat ditimbulkan, membuat penulis mengangkat topik
hiperbilirubinemia pada neonatus dalam laporan kasus ini untuk dipelajari
lebih lanjut.

2
1.2 Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan pembuatan laporan kasus ini:
1. Diharapkan semua dokter muda dapat memahami kasus
hiperbilirubinemia pada neonatus secara menyeluruh.
2. Diharapkan munculnya pola berpikir kritis bagi semua dokter muda
setelah dilakukan diskusi dengan dosen pembimbing klinik tentang
hiperbilirubinemia pada neonatus.
3. Diharapkan bagi semua dokter muda agar dapat mengaplikasikan
pemahaman yang didapatkan dalam kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) terutama mengenai hiperbilirubinemia pada neonatus.

1.3 Manfaat
1.3.1 Teoritis
Untuk meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan ilmu
tentang kasus mengenai hiperbilirubinemia pada neonatus.

1.3.2 Praktis
Sebagai masukan guna lebih meningkatkan mutu pelayanan yang
diberikan terutama dalam memberikan informasi (pendidikan kesehatan)
kepada pasien dan keluarganya tentang kegawatan pada pasien dengan
hiperbilirubinemia pada neonates.

3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identitas
Nama : Bayi Ny. DA
Umur / Tanggal Lahir : 6 Hari / 09 Juni 2023
Jenis kelamin : Laki-Laki
Berat badan lahir : 2700 gram
Panjang badan lahir : 48 cm
Agama : Islam
Nama Ayah : Tn. AS
Nama Ibu : Ny. DA
Alamat : Jl. Kemas Ridho, Lr. Santai, RT 27, RW 5,
Ogan Baru, Kertapati, Palembang
Bangsa : Indonesia
No. Med Rec : 69.68.89
MRS : 15 Juni 2023

2.2. Anamnesis (Alloanamnesis, Tanggal 15 Juni 2023)


Keluhan Utama : Bayi tampak kuning.
Keluhan Tambahan : Bayi muntah 2-3 kali berwarna kuning.

Riwayat Perjalanan Penyakit:


Bayi dibawa oleh nenek dengan keluhan kuning disertai dengan
muntah 2-3 kali berwarna kuning sejak 4 hari setelah lahir. Keluhan
demam (-), kejang (-). Bayi lahir pada tanggal 9 Juni 2023, bayi lahir
cukup bulan, lahir secara spontan pervaginam di bidan, dari ibu dengan
riwayat G1P2A0 hamil aterm janin tunggal hidup presentasi kepala
ketuban jernih. Berat bayi lahir 2700 gram, panjang badan lahir 48 cm,
lingkar kepala 32 cm, lingkar dada 31 cm. Pada saat setelah lahir, bayi
tidak langsung menangis. Reflek hisap (+) kuat, tangis kuat (+), retraksi

4
dinding dada (-), napas cuping hidung (-), ikterik (-), sianosis (-). Riwayat
ibu demam(-), KPSW(-), merokok selama kehamilan tidak ada.

2.3. Riwayat Penyakit Dahulu (Pada Ibu)


• Riwayat sering keputihan selama masa kehamilan (-)
• Riwayat demam selama kehamilan (-)
• Riwayat sakit gigi selama kehamilan (-)
• Riwayat darah tinggi selama kehamilan (-)
• Riwayat kencing manis saat kehamilan (-)
• Riwayat sakit kuning selama kehamilan (-)

2.4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit hipertensi : disangkal
Riwayat penyakit diabetes melitus : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit paru : disangkal
Riwayat penyakit lambung : disangkal
Riwayat penyakit asma : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat penyakit tiroid : disangkal
Riwayat penyakit alergi : disangkal
Riwayat penyakit hepatitis : disangkal

2.5. Riwayat Kehamilan


Paritas : G1P0A0
Kebiasaan ibu sebelum kehamilan
1. Minum alkohol : Disangkal
2. Merokok : Disangkal
3. Makan obat-obatan : Disangkal
4. Penyakit atau komplikasi kehamilan ini : HbsAg (-)

5
2.6. Riwayat Kelahiran
Masa Kehamilan : Cukup bulan (Aterm)
Presentasi : Kepala
Cara Persalinan : Spontan Pervaginam
Penolong : Bidan
Kelahiran : 9 Juni 2023
Jenis Kelamin : Laki-Laki
BB Lahir : 2700 gram
PB Lahir : 48 cm
LK Lahir : 32 cm
LD Lahir : 31 cm
Kondisi Saat Lahir : Tidak langsung menangis
Aktifitas : Hipoaktif
Refleks Hisap : Baik
Tangis : Merintih

2.7. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah anak pertamadari pernikahan pertama. Ayah pasien
bekerja sebagai buruh dan ibu pasien tidak bekerja. Riwayat ekonomi
menengah.

2.8. Pemeriksaan Fisik (Tanggal 15 Juni 2023)


Pemeriksaan Fisik Umum
• Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
• Kesadaran : Composmentis
• Berat Badan : 2480 gr
• Panjang Badan : 48 cm
• Lingkar Kepala : 32 cm
• Aktifitas : Hipoaktif
• Refleks Hisap : Kuat
• Tangis : Kuat
• Anemis : (-)

6
• Sianosis : (-)
• Ikterik : (+) Kramer V
• Dispnue : (-)
• Nadi : 138 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
• Pernafasan : 51 x/menit
• Suhu : 36,6 C
• SpO2 : 99%

Pemeriksaan Fisik Spesifik


1. Kepala : Normocepali, lingkar kepala: 32 cm
2. Mata : Nistagmus (-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+),
pupil bulat isokor (+/+), refleks cahaya (+/+), mata cekung (-/-)
3. Hidung : Napas cuping hidung (-), epistaksis (-), tidak ada secret
keluar dari hidung dan mulut
4. Trauma Lahir : Caput succadeneum (-), Cephal hematoma (-)
5. Leher : Pembesaran KGB (-), massa (-), tortikolis (-)
6. Thorax : Simetris, retraksi (-)
• Cor : Bunyi jantung I & II normal, murmur (-), gallop (-)
• Pulmo : Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing(-/-)
7. Abdomen : Datar, lemas, bising usus (+) normal, hepar dan lien tidak
teraba
8. Genitalia : Laki-laki, penis (+), tertis (+/+), anus (+)
9. Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 3 detik, edema (-), polidaktili (-),
Ikterik (+)

Refleks Primitif
1. Oral : (+)
2. Moro : (+)
3. Tonic neck : (+)
4. Withdrawal : (+)
5. Plantar grasp : (+)
6. Palmar grasp : (+)

7
2.9. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium (Tanggal 15 Juni 2023 Pukul 13.55 WIB)
Nilai
Nama Test Hasil Satuan Interpretasi
Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 15,2 g/dL 14-16 Normal
Eritrosit 4,52 juta/uL 4,5-5,5 Normal
Leukosit 11,8 ribu/uL 5-10 Leukositosis
Trombosit 498 ribu/mm3 150-400 Trombositosis
Hematokrit 45 % 40-52 Normal
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0 % 0-1 Normal
Eosinofil 3 % 1-3 Normal
Batang 4 % 2-6 Normal
Segmen 46 % 50-70 Menurun
Limfosit 34 % 20-40 Normal
Monosit 13 % 2-8 Meningkat
Laju Endap Darah 4 mm/jam < 10 Normal
Golangan Darah
O+
ABO
Kimia Klinik
Bilirubin Total 19,8 mg/dL < 1,1 Hiperbilirubinemia
Bilirubin Direk 1,0 mg/dL < 0,35 Hiperbilirubinemia
Bilirubin Indirek 18,8 mg/dL < 0,75 Hiperbilirubinemia
Gula Darah
67 mg/dL < 180 Normal
Sewaktu
Ureum 21 mg/dL 20-40 Normal
Creatinine 0,90 mg/dL 0,9-1,3 Normal
Elektrolit
Natrium 145 mmol/L 135-155 Normal
Kalium 5,3 mmol/L 3,5-5,5 Normal

8
2. Pemeriksaan Rontgen Thorax (Tanggal 15 Juni 2023 Pukul 15.02 WIB)

Pada pemeriksaan foto Rontgen didapatkan :


• Cor CRT <50%, cor tidak membesar
• Corakan bronkrovaskuler normal
• Tak tampak infiltrat
• Diafragma kanan dan kiri licin
• Sinus kostofrenikus kanan dan kiri lancip
• Tulang-tulang intak
• Soft tissue baik

Kesan :
Radiologis tak tampak kelainan toraks

2.10. Diagnosis Kerja (Tanggal 15 Juni 2023)


Neonatus : Neonatus cukup bulan + Seuai masa kehamilan
Lahir : Spontan Pervaginam
Ibu : P1A0 (dari G1P0A0 Hamil aterm janin tunggal hidup
presentasi kepala)
Anak : Ikterik neonatorum + Hiperbilirubinemia + Dehidrasi
Sedang + Klinis sepsis neonatorum

9
2.11. Penatalaksanaan (Tanggal 15 Juni 2023)
a. Non Farmakologis
• Edukasi kepada orang tua mengenai penyakit bayi (pengertian,
penyebab, gejala dan penanganannya)
• Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital

b. Farmakologis
• Rehidrasi IVFD Dekstrose 5% 1/4 NaCl 0,9% 500 cc, 270 cc untuk
4 jam pertama (kecepatan 67,5 cc/jam) dan 270 cc untuk 20 jam
selanjutnya (kecepatan 11,25 cc/jam)
• Setelah rehidrasi lanjut, IVFD Dekstrose 10% 1/5 NaCl 0,9% 500
cc, 486 cc/ hari (kecepatan 20,25 cc/jam)
• Injeksi Ceftazidine 3x135 mg/ IV
• ASI/PASI: 12x10-20 cc
• Fototerapi

2.12. Prognosis
• Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam
• Quo ad Fungtionam : Dubia ad Bonam
• Quo ad Sanationam : Dubia ad Bonam

10
2.13. Follow Up
Follow up hari Jumat tanggal 16 Juni 2023 (06.00 WIB)
Tanggal Pemeriksaan Terapi
16 Juni 2023 S: Tampak sesak (-) Th/
06.00 WIB Tampak kuning (+) - IVFD Dekstrose
Tampak pucat (-) 10% 1/5 NaCl 0,9%
Demam (-) 500 cc, 486 cc/ hari
(kecepatan 20,25
O: cc/jam)
Pemeriksaan Fisik Umum - Injeksi Ceftazidine
KU : Tampak sakit sedang 3x135 mg/ IV (1)
R. Hisap : (+) Kuat - ASI/PASI: 12x10-
Tangis : (+) Kuat 20 cc
Gerak : Hipoaktif - Fototerapi (1)
Anemis : (-) - Kebutuhan cairan:
Siansosis : (-) = 150 x 2,7 (+ 20%)
Ikterik : (+) Kramer V = 486 cc/hari
Dispneu : (-) (Kecepatan 20,25
HR : 151 x/menit cc/jam)
RR : 45 x/menit
T : 37,3 C
SpO2 : 98%
Pemeriksaan Fisik Spesifik
Kepala: Normochephali,
Konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (+/+)
Leher: Pembesaran KGB (-)
Massa (-)
Toraks: Simetris, retraksi (-)
Cor: BJ I-II normal, murmur (-)
gallop (-)
Pulmo: Vesikuler (+/+) normal,
ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen: Datar, Lemas, BU (+)
Normal
Ekstremitas: Akral hangat, CRT
< 3 detik

11
Tanggal Pemeriksaan Terapi
16 Juni 2023 A:
06.00 WIB - Ikterik neonatorum +
hyperbilirubinemia
- Dehidrasi sedang
- Klinis sepsis neonatorum

P:
Observasi KU + TTV

12
Follow up hari Sabtu tanggal 17 Juni 2023 (06.00 WIB)
Tanggal Pemeriksaan Terapi
17 Juni 2023 S: Tampak sesak (-) Th/
06.00 WIB Tampak kuning (+) - IVFD Dekstrose
Tampak pucat (-) 10% 1/5 NaCl 0,9%
Demam (-) 500 cc, 486 cc/ hari
(kecepatan 20,25
O: cc/jam)
Pemeriksaan Fisik Umum - Injeksi Ceftazidine
KU : Tampak sakit sedang 3x135 mg/ IV (2)
R. Hisap : (+) Kuat - ASI/PASI: 12x10-
Tangis : (+) Kuat 20 cc
Gerak : Hipoaktif - Fototerapi (2)
Anemis : (-) - Kebutuhan cairan:
Siansosis : (-) = 160 x 2,7 (+ 20%)
Ikterik : (+) Kramer V = 518,4 cc/hari
Dispneu : (-) (Kecepatan 21,6
HR : 145 x/menit cc/jam)
RR : 46 x/menit
T : 37,1 C
SpO2 : 99%
Pemeriksaan Fisik Spesifik
Kepala: Normochephali,
Konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (+/+)
Leher: Pembesaran KGB (-)
Massa (-)
Toraks: Simetris, retraksi (-)
Cor: BJ I-II normal, murmur (-)
gallop (-)
Pulmo: Vesikuler (+/+) normal,
ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen: Datar, Lemas, BU (+)
Normal
Ekstremitas: Akral hangat, CRT
< 3 detik

13
Tanggal Pemeriksaan Terapi
16 Juni 2023 A:
06.00 WIB - Ikterik neonatorum +
hyperbilirubinemia
- Dehidrasi sedang
- Klinis sepsis neonatorum

P:
Observasi KU + TTV

14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Hiperbilirubinemia
3.1.1 Definisi
Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kadar bilirubin serum
total ≥5 mg/dL (86 μmol/L). Hiperbilirubinemia adalah keadaan
transien yang sering ditemukan baik pada bayi cukup bulan (50- 70%)
maupun bayi prematur (80-90%). Sebagian besar hiperbilirubinemia
adalah fisiologis dan tidak membutuhkan terapi khusus, tetapi karena
potensi toksik dari bilirubin maka semua neonatus harus dipantau untuk
mendeteksi kemungkinan terjadinya hiperbilirubinemia berat. 4
Sedangkan, ikterus neonatorum merupakan keadaan klinis pada
bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat
akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis
akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7
mg/dL. Apabila kondisi ini tidak ditangani dengan segera dan tepat
maka dapat menimbulkan komplikasi seperti kernicterus spectrum
disorder (KSD).4
Kernicterus spectrum disorder (KSD) adalah gejala sisa yang
kronis dan permanen dari toksisitas bilirubin yang menyebabkan
kerusakan pada ensenfalopati. Pada kondisi kronis ensefalopati
bilirubin, bayi yang selamat dapat mengalami kondisi yang parah dari
athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran, dysplasia dental-
enamel, upward gaze paralysis, dan pada situasi yang lebih jarang,
disabilitas intelektual atau lainnya. Sebagian besar bayi yang
mengalami kernikterus menunjukkan beberapa atau seluruh tanda yang
disebutkan diatas pada fase akut bilirubin ensefalopati. Namun begitu,
kadangkala ada bayi yang mengalami peningkatan kadar bilirubin yang
sangat tinggi dan kemudian tanda kernikterus hanya muncul sebagian
(jika ada), mendahului tanda klinis dari bilirubin ensefalopati akut. 4

15
3.1.2 Epidemiologi
Berdasarkan World Health Organization (WHO) tahun 2019
angka kematian bayi baru lahir secara global mengalami penurunan dari
5 juta pada tahun 1990 menjadi 2,4 juta pada tahun 2019 anak-anak
yang menghadapi risiko kematian terbesar dalam 28 hari pertama
kelahiran. Pada tahun 2019 jumlah kematian bayi baru lahir sebesar
47% dari semua kematian balita. Pada tahun 2020 sebesar 47% dari
seluruh kematian balita terjadi pada masa neonatus (28 hari pertama
kehidupan), meningkat dari tahun 1990 (40%), karena tingkat kematian
balita secara global menurun lebih cepat dibandingkan kematian
neonates, dengan salah satu penyebabnya adalah hiperbilirubinemia. 2
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2017, Angka Kematian Neonatal (AKN) 15 setiap 1.000
kelahiran hidup yang salah satu penyebab kematian bayi di Indonesia
adalah ikterus. Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar 2007,
mengenai penyebab kematian neonatal didapatkan bahwa ikterus
menjadi penyebab nomor 5 morbiditas neonatal setelah gangguan
nafas, prematuritas, sepsis dan hipotermi dengan prevalensi 5,6%.
Penelitian terbaru di 8 rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa
prevalensi hiperbilirubinemia berat adalah 7% dengan encephalopati
hiberbilirubinemia akut sebesar 2%.2,4

3.1.3 Etiologi
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan karena bererapa faktor yaitu
faktor perinatal, faktor neonatal dan faktor maternal. Pada faktor
perinatal dapat disebabkan oleh jenis persalinan, infeksi dan faktor
trauma lahir. Pada faktor neonatal dapat disebabkan oleh faktor genetik,
prematuritas, hipoglikemia, rendahnya asupan ASI, polisitemia,
hipoalbuminemia. Sedangkan faktor maternal dapat disebabkan oleh
komplikasi kehamilan, ras, penggunaan infus oksitosin dan ASI. 2

16
Selain itu, hiperbilirubin dapat disebabkan oleh bermacam-
macam keaadaan, seperti berikut ini.5
a. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misal
pada hemolisis yang meningkat pada inkompabilitas darah Rh,
ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim G6PD, piruvat kinase,
perdarahan tertutup dan sepsis. Hiperbilirubinemia akibat
ketidaksesuaian golongan darah merupakan penyebab terbanyak
penyakit hemolitik pada neonatal, apabila berlangsung lama makan
akan mengakibatkan pemecahan sel darah merah yang lebih awal
dari waktunya, ditandai dengan ikterus. Kondisi inkompatibilitas
terjadi pada perkawinan yang inkompatibel antara darah ibu dan
bayi dapat mengakibatkan zat anti dari serum di darah ibu yang
bertemu dengan antigen dari eritrosit bayi di dalam kandungan.
Kriteria penegakkan diagnosis kejadian inkompatibilitas ABO pada
bayi baru lahir adalah ibu yang memiliki golongan darah O 20
dengan antibodi anti-A dan anti-B di dalam serumnya sedangkan
bayi baru lahir memiliki golongan darah A,B, dan AB dan terdapat
ikterus dalam 24 jam pertama.5
b. Gangguan proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh immturitas hepar, kurangnya
substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat
asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim
glukoronil transferase (sindrom Criggler-Najjar) penyebab lain atau
defisiensi protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam
“uptake” bilirubin ke sel hepar.5
c. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke
hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin dapat dipengaruhi oleh obat
misalnya salisilat, dan sulfaforazole. Defisiensi albumin
menyebabkan lebih banyak terdapat bilirubin indirek yang bebas
dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.5

17
d. Gangguan dalam ekskresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar
hepar. Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan
bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi/kerusakan
hepar oleh penyebab lain.5
e. Genetika
Genetika molekuler telah menunjukkan korelasi antara
hiperbilirubinemia neonatus dan variasi genetik berbeda yang dapat
mengubah aktivitas enzim. Misalnya variasi gen uridin 5′-difosfat
glucuronosyltransferase 1A1 (UGT1A1) dapat menyebabkan
penurunan aktivitas enzim pada neonatus dan orang dewasa yang
menyebabkan akumulasi bilirubin tak terkonjugasi. Juga variasi
dalam gen pengangkut anion organik 2 (OATP2) dapat
menyebabkan hiperbilirubinemia berat pada neonates. Variasi 388
G>A (Asp130Asn, rs2306283), 521 T>C (Val174Ala, rs4149056),
463 C>A (Pro155Thr, rs11045819) dari pembawa zat terlarut
anggota keluarga pengangkut anion organik 1B1 (SLCO1B1) gen
yang mengkode zat terlarut hati pengangkut anion organik pembawa
1B1, diduga sebagai pengangkut bilirubin, dapat membuang
subjek ke hiperbilirubinemia bayi baru lahir dengan membatasi
pengambilan bilirubin hati. Selanjutnya, dalam studi asosiasi
genom, dua polimorfisme gen SLCO1B3 (rs17680137 C>G dan
rs2117032 C>T) diamati memiliki hubungan yang kuat dengan
kadar bilirubin serum dan berkontribusi terhadap hiperbilirubinemia
tak terkonjugasi ringan idiopatik pada orang dewasa sehat. 5

3.1.4 Klasifikasi
Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan
kadar bilirubin dalam darah >5mg/dL, yang secara klinis ditandai oleh
adanya ikterus, dengan faktor penyebab fisiologik dan non-fisiologik.

18
1. Ikterus fisiologik
Bentuk ikterus ini umumnya terjadi pada bayi baru lahir
dengan kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama >2
mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang diberi susu formula, kadar
bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dl pada hari ke-3
kehidupan dan kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti
dengan penurunan lambat sebesar 1 mg/dL selama 1 sampai 2
minggu. Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI, kadar bilirubin
puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi (7-14 mg/dL) dan
penurunan terjadi lebih lambat, bisa terjadi selama 2-4 minggu,
bahkan dapat mencapai 6 minggu. Pada bayi kurang bulan yang
mendapat susu formula juga akan terjadi peningkatan kadar
bilirubun dengan kadar puncak yang lebih tinggi dan bertahan lebih
lama, demikian pula dengan penurunannya bila tidak diberikan
fototerapi pencegahan. Peningkatan kadar billirubin sampai 10-12
mg/dl masih dalam kisaran fisiologik, bahkan hingga 15 mg/dL
tanpa disertai kelainan metabolism bilirubin. Frekuensi ikterus pada
bayi cukup bulan dan kurang bulan ialah secara berurut 50-60% dan
80%. Umumnya fenomena ikterus ini ringan dan dapat membaik
tanpa pengobatan. Ikterus fisiologik tidak disebabkan oleh faktor
tunggal tetapi kombinasi dari berbagai faktor yang berhubungan
dengan maturitas fisiologik bayi baru lahir. Peningkatan kadar
bilirubin tidak terkonjugasi dalam sirkulasi bayi baru lahir
disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan bilirubin dan
penurunan klirens bilirubin.3

Breast Feeding and Breast Milk Jaundice


Bayi yang disusui secara eksklusif memiliki pola fisiologis
yang berbeda untuk penyakit kuning dibandingkan dengan bayi yang
disusui secara artifisial. Penyakit kuning pada bayi yang disusui
biasanya muncul antara usia 24-72 jam, memuncak pada usia 5-15

19
hari dan menghilang pada minggu ketiga kehidupan. Kadar bilirubin
yang lebih tinggi telah dilaporkan pada bayi-bayi ini. Dalam kasus
bayi baru lahir yang disusui, penyakit kuning ringan dapat terjadi 10-
14 hari setelah lahir atau dapat terjadi kembali selama periode
menyusui. Bilirubin dalam jumlah yang sangat besar jarang
terakumulasi dalam darah dan menyebabkan lesi serebral, situasi
yang dikenal sebagai ikterus nuklir. Pemotongan ini dapat diikuti
oleh gangguan pendengaran, keterbelakangan mental, dan gangguan
perilaku. Penyakit kuning klinis ringan telah diamati pada sepertiga
dari semua bayi yang disusui pada minggu ketiga kehidupan, yang
dapat bertahan selama 2 sampai 3 bulan setelah lahir pada beberapa
bayi. Penurunan frekuensi menyusui dikaitkan dengan ikterus
fisiologis yang berlebihan. Salah satu prosedur penting untuk
mengatasi penyakit kuning pada bayi cukup bulan yang sehat adalah
anjuran ibu untuk menyusui bayinya minimal 10–12 kali per hari.5
Hiperbilirubinemia juga berhubungan dengan ASI ibu pada
neonatus. Sekitar 2%–4% bayi yang disusui secara eksklusif
mengalami penyakit kuning lebih dari 10 mg/dl pada minggu ketiga
kehidupan. Bayi-bayi ini pada minggu ketiga kehidupan dengan
kadar serum bilirubin lebih tinggi dari 10mg/dl harus
dipertimbangkan penyakit kuning yang berkepanjangan. Diagnosis
breast milk jaundice harus diselidiki jika serum bilirubin sebagian
besar tidak terkonjugasi, penyebab lain ikterus berkepanjangan telah
dieliminasi dan bayi dalam keadaan sehat, kuat dan makan dengan
baik dan berat badan bertambah secara adekuat. Ibu harus
disarankan untuk terus menyusui dengan interval yang lebih sering
dan kadar bilirubin biasanya berkurang secara
bertahap. Penghentian menyusui tidak dianjurkan kecuali kadarnya
melebihi 20 mg/dl.5

20
Ikterus Hemolitik
Penyebab paling umum dari ikterus hemolitik meliputi
penyakit hemolitik Rh, inkompatibilitas ABO, defisiensi Glukosa-6-
fosfat dehidrogenase (G-6-PD) dan inkompatibilitas golongan darah
minor.
1. Penyakit Hemolitik Faktor Rh
Penyakit hemolitik Rhesus pada bayi baru lahir (RHDN)
dihasilkan dari alloimunisasi sel darah merah ibu. Antibodi ibu
diproduksi melawan sel darah merah janin, ketika sel darah merah
janin positif untuk antigen tertentu, biasanya pada saat bayi
memiliki Rh positif lahir dari ibu Rh-negatif (dan ayah Rh-
positif) , kemudian antibodi imunoglobulin (IgG) maternal dapat
melintasi plasenta ke dalam sirkulasi janin dan menyebabkan
berbagai macam gejala pada janin, mulai dari anemia hemolitik
ringan hingga berat dan hidrops janin. Untuk memfasilitasi
pengobatan dini pada neonatus yang diduga memiliki faktor Rh,
pemeriksaan golongan darah dan Rh, DCT, PCV (packed cell
volume) dan bilirubin serum pada darah tali pusat harus
dilakukan. Jumlah retikulosit harus dikirim sebelum transfusi
tukar pertama (ET). Fototerapi yang kuat diperlukan segera
setelah kelahiran dan harus dilanjutkan sampai kadar 5 mg/dl
kurang dari kadar yang diperkirakan untuk transfusi darah tukar.
Fototerapi dan transfusi darah direkomendasikan ketika kadar
masing-masing lebih besar dari 0,5% dan 1% berat lahir
(kg). Delapan imunoglobulin intravena (IVIG) dapat digunakan
dalam dosis 500 mg/kg 12 jam × 2 dosis setelah ET
pertama. Setelah ET pertama mulai Phenobarbitone 5 mg/kg/hari
× 5 mungkin direkomendasikan.5
2. Inkompatibilitas ABO
Insiden ketidakcocokan golongan darah ABO ibu dan janin,
ketika ibu bergolongan darah O dan bayi baru lahir bergolongan
darah A atau B, adalah 15-20% dari semua kehamilan. Bayi

21
dengan ibu golongan darah O harus diperiksa secara ketat dan
dipulangkan setelah 72 jam. Skrining darah tali pusat secara rutin
tidak direkomendasikan untuk bayi baru lahir dengan ibu
golongan O. Ikterus karena inkompatibilitas ABO biasanya
muncul 24 jam setelah lahir. Jika terdapat ikterus yang signifikan
atau ikterus yang muncul dalam 24 jam, pemeriksaan ikterus
patologis harus dilakukan. Fototerapi intensif disarankan pada SB
12-17 mg/dl tergantung pada usia bayi setelah
melahirkan. Pertukaran transfusi darah diindikasikan pada
TSB. Berat badan saat lahir sebagai kriteria untuk fototerapi dan
ET dapat digunakan untuk bayi baru lahir prematur.5
3. Jaundice Terkait Dengan Defisiensi G6PD
Defisiensi, sferositosis herediter, dan inkompatibilitas kelompok
minor harus ditangani serupa dengan inkompatibilitas
ABO. G6PD, enzimopati yang paling umum, adalah defisiensi
enzim pada sel darah merah. Ini adalah penyakit paling vital dari
jalur heksosa monofosfat. Investigasi defisiensi G6PD harus
dipertimbangkan pada bayi dengan ikterus berat dalam keluarga
dengan riwayat ikterus yang signifikan atau asal geografis yang
terkait dengan defisiensi G-6-PD. Penurunan konjugasi bilirubin
akibat variasi gen UGT1A1 dan OATP2 memainkan peran
penting dalam perkembangan hiperbilirubinemia pada bayi baru
lahir dengan defisiensi G6PD.5

2. Ikterus Non-Fisiologis (Patologis)


Jenis ikterus ini dahulu dikenal sebagai ikterus patologik, yang tidak
mudah dibedakan dengan ikterus fisiologik. Terdapatnya hal-hal di
bawah ini merupakan petunjuk untuk tindak lanjut, yaitu: ikterus
yang terjadi sebelum usia 24 jam; setiap peningkatan kadar bilirubin
serum yang memerlukan fototerapi; peningkatan kadar bilirubin
total serum >0,5 mg/dL/jam; adanya tanda-tanda penyakit yang
mendasar pada setiap bayi (muntah, letargis, malas menetek,

22
penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea, atau suhu yang
tidak stabil); ikterus yang bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup
bulan atau setelah 14 hari pada bayi kurang bulan.3

3.1.5 Faktor Risiko


Adanya risiko tambahan yang terjadi setelah bayi tersebut lahir
yang menyebabkan bayi tersebut lebih mudah mengalami toksisitas
bilirubin. Hal tersebut membuat bayi tersebut memiliki ambang batas
dimulainya fototerapi maupun transfusi tukar lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok yang lain (risiko tinggi vs risiko
standar). Faktor risiko tersebut diantaranya sebagai berikut.4
1. Inkompabilitas ABO dan Rhesus
2. Hemolisis (G6PD defisiensi, sferositosis herediter, dan lain-lain)
3. Asfiksia (Nilai Apgar 1 menit< 5)
4. Asidosis (pH tali pusat< 7,0)
5. Bayi tampak sakit dan kecurigaan infeksi
6. Hipoalbuminemia (kadar serum albumin < 3 mg/dL)

Tabel 3.1. Faktor Risiko Hiperbilirubinemia Neonatus1

23
Tabel 3.2. Faktor Risiko Hiperbilirubinemia Neonatus4

3.1.6 Patofisiologi
1. Pembentukan Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga yang merupakan
bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi
oksidasi-reduksi. Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin
yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme oksigenase yaitu
suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organ lain.
Pada reaksi tersebut juga terbentuk besi yang digunakan kembali untuk

24
pembentukan hemoglobin dan karbon monoksida (CO) yang
diekskresikan kedalam paru. Biliverdin kemudian akan direduksi
menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. 4

Gambar 3.1. Metabolisme Bilirubin4

Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan diubah
menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan
biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta
pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubih mengekskresikan,
diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin. Pada bayi baru
lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolisme
haemoglobin dari eritrosit sirkulasi. Satu gram hemoglobin akan
menghasilkan 34 mg bilirubin dan sisanya (25% early labelled)
bilirubin yang berasal dari pelepasan hemoglobin karena eritropoesis
tidak efektif dalam sumsum tulang, jaringan yang mengandung protein
heme (mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase), dan heme bebas. 4
Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai

25
produk akhir dari katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi
oksidasi reduksi. Pada langkah pertama oksidasi, biliverdin terbentuk
dari heme melalui kerja heme oksigenase, dan terjadi pelepasan besi
dan karbon monoksida. Besi dapat digunakan kembali, sedangkan
karbon monoksida diekskresikan melalui paru-paru. Biliverdin yang
larut dalam air direduksi menjadi bilirubin yang hampir tidak larut
dalam air dalam bentuk isomerik (oleh karena ikatan hidrogen
intramolekul). Bilirubin tak terkonjugasi yang hidrofobik diangkut
dalam plasma, terikat erat pada albumin. Bila terjadi gangguan pada
ikatan bilirubin tak terkonjugasi dengan albumin baik oleh faktor
endogen maupun eksogen (misalnya obatobatan), bilirubin yang bebas
dapat melewati membran yang mengandung lemak (double lipid layer),
termasuk penghalang darah otak, yang dapat mengarah ke
neurotoksisitas.3
Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari,
sedangkan orang dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan
produksi bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan masa hidup eritrosi
bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang dewasa (120
hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat,
dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat (sirkulasi
enterohepatik).4

2. Transportasi Bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial,
selanjutnya dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan
albumin. Bayi baru lahir mempunyai kapasitas ikatan plasma yang
rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah dan
kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang terikat pada
albumin serum ini merupakan zat non polar dan tidak larut dalam air
dan kemudian akan ditransportasi ke sel hepar. Bilirubin yang terikat
dengan albumin tidak dapat memasuki susunan saraf pusat dan bersifat
non toksik. Selain itu, albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi

26
terhadap obat-obatan yang bersifat asam seperti penisilin dan
sulfonamid. Obat-obat tersebut akan menempati tempat utama
perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga bersifat kompetitor serta
dapat pula melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin. Obat-obatan
yang dapat melepaskan bilirubin dari albumin dengan cara menurunkan
afinitas albumin antara lain adalah digoksin, gentamisin, furosemid. 4
Pada bayi kurang bulan, ikatan bilirubin akan lebih lemah yang
umumnya merupakan komplikasi dari hipoalbumin, hipoksia,
hipoglikemia, asidosis, hipotermia, hemolisis, dan septikemia. Hal
tersebut tentunya akan mengakibatkan peningkatan jumlah bilirubin
bebas dan berisiko pula untuk keadaan nerotoksisitas oleh bilirubin.
Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda, yaitu:4
a. Bilirubin tak terkonjugasi (binded albumin) yaitu bilirubin tak
terkonjugasi dan membentuk sebagian besar bilirubin tak
terkonjugasi dalam serum.
b. Bilirubin tak terkonjugasi (free bilirubin), yaitu bilirubin tak
terkonjugasi yang tidak terikat oleh albumin. Bilirubin inilah yang
sangat berbahaya dan menyebabkan neurotoksisitas. Semakin tinggi
kadar free bilirubin, maka semakin beresiko mengalami
neurotoksisitas bilirubin. Adanya faktor-faktor yang mempengaruhi
ikatan bilirubin dan albumin seperti hipoalbuminemia, hemolisis,
bayi kurang bulan, hipoksia, asidosis, sepsis, asfiksia serta
penggunaan obat-obatan tertentu (ceftriaxone) dan meningkatkan
kadar free-bilirubin yang berdampak pada peningkatan risiko
neurotoksisitas.
c. Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin serum
(αbilirubin).
d. Bilirubin terkonjugasi (terutama monoglukoronida dan
diglukoronida) yaitu bilirubin yang siap diekskresikan melalui ginjal
atau sistem bilier.

27
3. Intake bilirubin ke hati
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran
plasma hepatosit, albumin terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian
bilirubin ditransfer melalui sel membran yang berkaitan dengan
ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan sitosolik
lainnya. Keseimbangan antara jumlah bilirubin yang masuk ke
sirkulasi, dari sintesis de novo, resirkulasi enterohepatik, perpindahan
bilirubin antar jaringan, pengambulan bilirubin oleh sel hati, dan
konjugasi bilirubin akan menentukan konsentrasi bilirubin tak
terkonjugasi serum, baik pada keadaan normal atau tidak normal.4
Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik bilirubin tak
terkonjugasi akan berpengaruuh terhadap pembentukan ikterus
fisiologis. Penelitian menunjukkan hal ini terjadi karena adanya
defisiensi ligandin, tetapi hal itu tidak begitu penting dibandingkan
dengan defisiensi konjugasi bilirubin dalam menghambat transfer
bilirubin dari darah ke empedu selama 3-4 hari pertama kehidupan.
Walaupun demikian, defisiensi ambilan ini dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi ringan pada minggu kedua kehidupan
saat konjugasi bilirubin hepatik mencapai kecepatan normal yang sama
dengan orang dewasa.4

4. Konjugasi bilirubin
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin
konjugasi yang larut dalam air di retikulum endoplasma dengan
bantuan enzim uridin difosfat glukuronosil transferase (UDPG-T).
Katalisa oleh enzim ini akan meruban formasi menjadi bilirubin
monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin
diglukoronida. Substrat yang digunakan untuk transglukoronidase
kanalikuler adalah bilirubin monoglukoronida.Enzim ini akan
memindahkan satu molekul asam glukoronida dari satu molekul
bilirubin monoglukoronida ke yang lain dan menghasilkan
pembentukan satu molekul bilirubin diglukoronida.4

28
Bilirubin ini kemudian diekskresikan ke dalam kanalikulus
empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin tak terkonjugasi akan
kembali ke retikulum endoplasmik untuk rekonjugasi berikutnya. Pada
keadaan peningkatan beban bilirubin yang dihantarkan ke hati akan
terjadi retensi bilirubin tak terkonjugasi seperti halnya pada keadaan
hemolisis kronis yang berat dimana pigmen yang tertahan adalah
bilirubin monoglukoronida. Penelitian in vivo tentang enzim UDPG-T
pada bayi baru lahir didapatkan defisiensi aktifitas enzim, tetapi setelah
24 jam kehidupan, aktifitas enzim ini meningkat melebihi bilirubin
yang masuk ke hati sehingga konsentrasi bilirubin serum akan
menurun. Kapasitas total konjugasi akan sama dengan orang dewasa
pada hari ke-4 kehidupan. Pada periode bayi baru lahir, konjugasi
monoglukoronida merupakan konjugat pigmen empedu yang lebih
dominan.4

5. Ekskresi bilirubin
Setelah megalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan
kedalam kandung empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan
diekskresikan melalui feses. Proses ekskresi sendiri merupakan proses
yang memerlukan energi. Setelah berada dalam usus halus, bilirubin
yang terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali jika
dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim
beta-glukoronidase yang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali
bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk dikonjugasi
kembali disebut sirkulasi enterohepatik.
Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dengan orang dewasa.
Pada mukosa usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim
β-glukoronidase yang dapat menghidrolisa monoglukoronida dan
diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak terkonjugasi yang
selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu pada bayi baru lahir,
lumen usus halusnya steril sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat
dirubah menjadi sterkobilin (suatu produk yang tidak dapat diabsorbsi).

29
Bayi baru lahir mempunyai konsentrasi bilriubin tak terkonjugasi
yang relatif tinggi didalam usus yang berasal dari produksi bilirubin
yang meningkat, hidrolisis bilirubin glukoronida yang berlebih dan
konsentrasi bilirubin yang tinggi ditemukan didalam mekonium. Pada
bayi baru lahir, kekurangan relatif flora bakteri untuk mengurangi
bilurubin menjadi urobilinogen lebih lanjut akan meningkatkan pool
bilirubin usus dibandingkan dengan anak yang lebih tua atau orang
dewasa. Peningkatan hidrolisis bilirubin konjugasi pada bayi baru lahir
diperkuat oleh aktivitas β-glukoronidase mukosa yang tinggi dan
ekskresi monoglukoronida terkonjugasi. Pemberian substansi oral yang
tidak larut seperti agar atau arang aktif yang dapat mengikat bilirubin
akan meningkatkan kadar bilirubin dalam tinja dan mengurangi kadar
bilirubin serum. Hal ini menggambarkan peran kontribusi sirkulasi
enterohepatik pada keadaan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada
bayi baru lahir.

Gambar 3.2. Patofisiologi Ikterik Fisiologi6

30
3.1.7 Manifestasi Klinis
Bayi baru lahir (neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin
serumnya kira-kira 5 mg/dl. Ikterus sebagai akibat penimbunan
bilirubin indirek pada kulit mempunyai kecenderungan menimbulkan
warna kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus obstruksi (bilirubin
direk) memperlihatkan warna kuning-kehijauan atau kuning kotor.
Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat. Sebagian
besar kasus hiperbilirubinemia tidak berbahaya, tetapi kadang-kadang
kadar bilirubin yang sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak
(Kern icterus). Efek jangka panjang Kern icterus ialah retardasi mental,
kelumpuhan serebral, tuli, mata tidak dapat digerakkan ke atas, dan
kematian. Gejala klinis yang tampak adalah sebagai berikut.3
1. Tubuh tampak kuning
2. Rasa kantuk
3. Tidak kuat menghisap ASI/susu formula
4. Muntah
5. Opistotonus
6. Mata terputar-putar keatas
7. Kejang
8. Hepatolmegali
9. Feses berwarna pucat seperti dempul
10. Warna urin gerap

3.1.8 Diagnosis
1. Anamnesis4
Dalam anamnesis, diagnosis hiperbilirubinemia dapat digunakan
untuk mencari faktor risiko penyebab hiperbilirubinemia sehingga
dapat diklasifikasikan apakah bayi yang lahir ini termasuk dalam
kategori risiko tinggi atau risiko rendah. Anamnesis tersebut
mencakup:
a. Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis,
defisiensi glukosa 6-fosfatdehidrogenase (G6PD)

31
b. Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan
kemungkinan galaktosemia,deifisiensi alfa-1-antiripsin,
tirosinosis, hipermetioninemia, penyakit Gilbert, sindrom
Crigler-Najjar tipe 1 dan II, atau fibrosis kistik
c. Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada
kemungkinaninkompatibilitas golongan darah atau breast-milk
jaundice
d. Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan
infeksi virus atau toksoplasma
e. Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi
menggeser ikatan bilirubin dengan albumin (sulfonamida) atau
mengakibatkan hemolisis pada bayi dengan defisiensi G6PD
(sulfonamida, nitrofurantoin, antimalaria)
f. Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan
perdarahan atauhemolisis. Bayi asfiksia dapat mengalami
hiperbilirubinemia yang disebabkan ketidakmampuan hati
memetabolisme bilirubin atau akibat perdarahan intrakranial.
g. Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia direk berkepanjangan
h. Pemberian ASI. Harus dibedakan antara breasfeeding jaundice
dan breastmilk jaundice.
1) Breastfeeding jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh
kekurangan asupan ASI. Biasanya timbul pada hari ke-2 atau
ke-3 pada waktu produksi ASI belum banyak. Untuk neonatus
cukup bulan sesuai masa kehamilan (bukan bayi berat lahir
rendah), hal ini tidak perlu dikhawatirkan, karena bayi dibekali
cadangan lemak coklat, glikogen, dan cairan yang dapat
mempertahankan metabolisme selama 72 jam. Walaupun
demikian keadaan ini dapat memicu terjadinya
hiperbilirubinemia, yang disebabkan peningkatan sirkulasi
enterohepatik akibat kurangnya asupan ASI. Ikterus pada bayi
ini tidak selalu disebabkan oleh breastfeeding jaundice, karena

32
dapat saja merupakan hiperbilirubinemia fisiologis.
Breastfeeding jaundice seringkali terjadi pada bayi-bayi yang
mendapatkan ASI eksklusif namun tidak diiringi dengan
manajemen laktasi yang baik. Bayi akan mengalami beberapa
tanda sebagai akibat kekurangan cairan, seperti demam,
penurunan berat badan > 10%, dan berkurangnya produksi
kencing. Frekuensi buang air besar dapat juga berkurang pada
kasus ini.
2) Breast-milk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh air
susu ibu (ASI). Insidens pada bayi cukup bulan berkisar 2-4%.
Pada sebagian besar bayi, kadar bilirubin turun pada hari ke-4,
tetapi pada breast-milk jaundice, bilirubin terus naik, bahkan
dapat mencapai 20-30 mg/dL pada usia 14 hari. Bila ASI
dihentikan, bilirubin akan turun secara drastis dalam 48 jam.
Bila ASI diberikan kembali, maka bilirubin akan kembali naik
tetapi umumnya tidak akan setinggi sebelumnya. Bayi tampak
sehat dengan menunjukkan kemampuan minum yang baik,
aktif, lincah, produksi ASI cukup. Yang diiringi dengan
pertambahan berat badan yang baik, fungsi hati normal, dan
tidak terdapat bukti hemolisis. Breast-milk jaundice dapat
berulang (70%) pada kehamilan berikutnya. Mekanisme
sesungguhnya yang menyebabkan breast-milk jaundice belum
diketahui, tetapi diduga timbul akibat terhambatnya uridine
diphosphoglucuronic acid glucuronyl transferase (UDGPA)
oleh hasil metabolisme progesteron, yaitu pregnane-3- alpha
2-beta-diol yang ada di dalam ASI sebagian ibu.

2. Pemeriksaan fisik4
Ikterus dapat dideteksi secara klinis dengan cara mengobservasi
warna kulit setelah dilakukan penenkanan menggunakan jari.
Pemeriksaan terbaik dilakukan menggunakan cahaya matahari.
Ikterus dimulai dari kepala dan meluas secara sefalokaudal.

33
Walaupun demikian inspeksi visual tidak dapat dijadikan indikator
yang andal untuk memprediksi kadar bilirubin serum, terutama pada
bayi dengan kulit yang gelap. Pemeriksaan visual hanya dapat
digunakan untuk melihat bahwa bayi tersebut menderita ikterus atau
menyingkirkan bahwa bayi tersebut sudah tidak menderita ikterus.
Pemeriksaan visual dianjurkan untuk dilakukan oleh semua orang
tua yang memiliki bayi baru lahir dan melihat progresivitasnya. Pada
pemeriksaan fisik, hal-hal yang dapat dicari antara lain :
a. Tanda-tanda prematuritas
b. Kecil masa kehamilan, kemungkinan berhubungan dengan
polisitemia
c. Tanda infeksi intrauterin, misalnya mikrosefali, kecil masa
kehamilan
d. Perdarahan ekstravaskular, misalnya memar, sefalhematom,
subgaleal hematom
e. Pucat, berhubungan dengan anemia hemolitik atau kehilangan
darah ekstravaskular
f. Ptekie, berkaitan dengan infeksi kongenital, sepsis, atau
eritroblastosis
g. Hepatosplenomegali, berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi
kongenital, penyakit hati
h. Omfalitis
i. Korioretinitis, berhubungan dengan infeksi kongenital
j. Tanda hipotiroid
k. Perubahan warna tinja

3. Pemeriksaan Visual3
Metode visual memiliki angka kesalahan yang cukup tinggi,
namun masih dapat digunakan bila tidak tersedia alat yang memadai.
Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena
besarnya bias penilaian. Secara evident base, pemeriksaan metode
visual tidak direkomendasikan, namun bila terdapat keterbatasan alat

34
masih boleh digunakan untuk tujuan skrining. Bayi dengan skrining
positif harus segera dirujuk untuk diagnosis dan tata laksana lebih
lanjut. Panduan WHO mengemukakan cara menentukan ikterus secara
visual, sebagai berikut.
1. Pemeriksaan dilakukan pada pencahayaan yang cukup (di siang hari
dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila
dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada
pencahayaan yang kurang.
2. Kulit bayi ditekan dengan jari secara lembut untuk mengetahui
warna di bawah kulit dan jaringan subkutan.
3. Keparahan ikterus ditentukan berdasarkan usia bayi dan bagian
tubuh yang tampak kuning

Kriteria Diagnosis Untuk Menentukan Etiologi:6


1. Anamnesis sedini dan secermat mungkin mengenai riwayat
kehamilan dan persalinan.
2. Ikterus pada hari 1: Periksa kadar bilirubin, periksa darah tepi
lengkap, golongan darah ibu dan bayi, coomb test.
3. Ikterus timbul pada hari ke 2 atau 3: Periksa kadar bilirubin, periksa
darah tepi lengkap, golongan darah ibu dan bayi, coomb test (bila
peningkatan bilirubin > 5 mg dalam 24 jam, karena masih ada
kemungkinan penyebabnya inkompabilitas ABO dan Rh),
pemeriksaan enxim G6PD.
4. Ikterus timbul pada hari ke 4 atau lebih: periksa kadar bilirubin,
periksa darah tepi lengkap, pemeriksaan enxim G6PD.

3.1.9 Pemeriksaan Penunjang


Bilirubin serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan
diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentu-kan perlunya
intervensi lebih lanjut. Pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin total
perlu dipertimbangkan karena hal ini merupakan tindakan invasif yang
dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonates.3

35
Pemeriksaan serum bilirubin (direk dan indirek) harus dilakukan
pada neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang
tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong risiko tinggi mengalami
hiperbilirubinemia berat. Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan
untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus antara lain adalah
golongan darah dan Coombs test, darah lengkap dan hapusan darah,
hitung retikulosit, skrining Glucose-6-phosphate dehydrogenase
(G6PD) dan bilirubin direk.3

Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam


tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum
albumin juga harus diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar atau
transfusi tukar. Hiperbilirubinemia dianggap patologis (Non
Physiological Jaundice) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia
neonatus >95%.3

Bilirubinometer transkutan
Bilirubinometer merupakan instrumen spektrofotometrik dengan
prinsip kerja memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya (panjang
gelombang 450 nm). Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi
warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.3

Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO


Bilirubin bebas dapat melewati sawar darah otak secara difusi.
Oleh karena itu, ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi
bilirubin serum yang rendah. Beberapa metode digunakan untuk
mencoba mengukur kadar bilirubin bebas, antara lain dengan metode
oksidaseperoksidase. Prinsip cara ini yaitu berdasarkan kecepatan
reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin dimana bilirubin menjadi
substansi tidak berwarna. Pemecahan heme menghasilkan bilirubin dan
gas CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka
pengukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan dapat
digunakan sebagai indeks produksi bilirubin.3

36
Gambar 3.3.Derajat Kramer3

Kriteria Diagnosis
Anamnesis riwayat kehamilan & persalinan, berat lahir Tentukan
termasuk ikterus fisiologis atau patologis.
- Ikterus hari 1. Periksa : kadar bilirubin, darah tepi lengkap, golongan
darah ibu & bayi, coomb test
- Ikterus timbul hari ke 2 / hari ke 3. Periksa: kadar bilirubin, darah
tepi lengkap, golongan darah ibu & bayi, coomb test, enzim G6PD
- Ikterus timbul pada hari ke 4/ lebih. Periksa: kadar bilirubin, darah
tepi, enzim G6PD

37
3.1.10 Tatalaksana
Prinsip tatalaksana ikterus berdasarkan etiologi yang mendasari.
Pada hiperbilirubinemia, bayi harus tetap diberikan ASI dan jangan
diganti dengan air putih atau air gula karena protein susu akan melapisi
mukosa usus dan menurunkan penyerapan kembali bilirubin yang tidak
terkonyugasi. Pada keadaan tertentu bayi perlu diberikan terapi sinar.
Transfusi tukar jarang dilakukan pada ikterus dini atau ikterus karena
ASI. Indikasi terapi sinar dan transfusi tukar sesuai dengan tata laksana
hiperbilirubinemia.
1. Fototerapi4
Tidak ada metode standart dalam memberikan fototerapi. Unit
fototerapi memiliki variasi yang sangat banyak, termasuk juga jenis
lampu yang digunakan. Efektivitas fototerapi dalam menurunkan
kadar bilirubin bergantung pada beberapa hal yang dapat
dimodifikasi diantaranya adalah: jarak sumber cahaya dengan bayi,
intensitas lampu fototerapi, jenis lampu fototerapi yang digunakan,
luas permukaan paparan, serta kondisi klinis pasien sendiri.
Fototerapi menurunkan kadar bilirubin dengan cara mengkonversi
molekul bilirubin menjadi produk fotoisomer dan produk oksidasi
yang kurang lipofilik dan tidak membutuhkan konjugasi hati untuk
bisa di eksresikan. Fotoisomer sebagian besar di ekskresikan dalam
empedu dan produk oksidasi sebagian besar dieksresikan dalam urin.
Fototerapi akan mengekspos kulit bayi melalui cahaya dengan
panjang gelombang tertentu, dimana mampu menurunkan total
bilirubin dengan beberapa mekanisme berikut ini:
a. Pembentukan isomer menjadi lumirubin, fototerapi merubah
bilirubin menjadi lumirubin melalui struktur isomerase yang
bersifat irreversible. Lumirubin bersifat lebih larut daripada
bilirubin lalu di ekskresikan menuju empedu dan urin.
b. Fotoisomer kurang toksik daripada isomer bilirubin, fototerapi
merubah isomer bilirubin 4Z, 15Z menjadi isomer 4Z, 15E
dimana lebih polar dan kurang toksik dibandingkan 4Z, 15Z.

38
seperti lumirubin, isomer 4Z, 15E dieksresikan kedalam empedu
tanpa dikonjugasi. Tidak seperti struktur isomerase menjadi
lumirubin, fotoisomer bersifat reversible, tapi kliren isomer 4Z,
15E sangat pelan, dan fotoisomer menjadi reversible. Beberapa
isomer 4Z,15E dalam empedu dikonversi kembali menjadi
4Z,15Z, hasilnya alur ini sedikit berefek terhadap bilirubin total.
c. Foto-oksidasi molekul polar. Reaksi Foto-oksidasi menjadi
bilirubin tidak berwarna, komponen polar diekskresikan terutama
dalam urin.

Tidak ada standart untuk menghentikan pemberian fototerapi.


Kadar TSB untuk menghentikan fototerapi tergantung pada usia
dimana fototerapi dimulai dan penyebab hiperbilirubinemia. Untuk
bayi yang dirawat kembali setelah rawat inap kelahiran mereka
(biasanya pada kadar TSB 18 mg/dL [308 μmol/L] atau lebih),
fototerapi dapat dihentikan ketika kadar bilirubin serum turun
dibawah 13-14 mg/dL (239μmol/L). Pemulangan dari rumah sakit
tidak perlu ditunda untuk mengobservasi bayi yang kembali
rebound. Jika fototerapi digunakan untuk bayi dengan penyakit
hemolitik atau dimulai lebih awal dan dihentikan sebelum bayi
berusia 3-4 hari, pengukuran bilirurin lanjutan dalam waktu 24 jam
setelah kepulangan direkomendasikan. Untuk bayi yang masuk
kembali dengan hiperbilirubinemia dan kemudian dipulangkan,
kejadian rebound sangat jarang, namun pengukuran TSB ulangan
atau tindak lanjut dalam 24 jam setelah kepulangan merupakan
pilihan klinis.

Prosedur pemberian fototerapi4


1) Tempatkan bayi dibawah Sinar Fototerapi
2) Tutup mata bayi dengan penutup mata, pastikan hidung tidak
tertutup. Jangan tempelkan penutup mata dengan menggunakan
selotip.

39
3) Balikan bayi setiap 3 jam. Pastikan bayi diberi makan. Motivasi
ibu untuk menyusui bayinya dengan ASI ad libitum setiap 3 jam.
4) Selama menyusui pindahkan bayi dari unit fototerapi dan
lepaskan penutup mata.
5) Pemberian suplemen atau pengganti ASI dengan makanan atau
cairan lain. Bila bayi menerima cairan per IV dan ASI tingkatkan
volume cairan atau ASI 10% perhari.
6) Bila bayi menerima cairan per IV atau makanan melalui NGT,
jangan pindahkan bayi dari sinar fototerapi.
7) Perhatikan: selama menjalani terapi sinar, konsistensi tinja bayi
bisa menjadi lebih lembek dan berwarna kuning. Keadaan ini
tidak membutuhkan terapi khusus. Teruskan terapi dan lakukan
tes lain yang telah ditetapkan
8) Pindahkan bayi dari unit fototerapi untuk melakukan prosedur
yang tidak dapat dilakukan dalam unit foto terapi.
9) Bila bayi menerima oksigen matikan sinar fototerapi sebentar
untuk mengetahui apakah bayi mengalami sianosis sentral (lidah
dan bibir biru).
10) Ukur suhu dan suhu udara dibawah sinar fototerapi setiap 3 jam.
Bila suhu bayi 37,5C, pindahkan sementara sampai suhu antara
36,5 C - 37,5 C.
11) Ukur kadar bilirubin serum setiap 24 jam. Hentikan fototerapi
bila kadar bilirubin serum tidak meningkat dibawah garis resiko.
12) Bila kadar bilirubin serum mendekati jumlah indikasi transfusi
tukar, persiapkan kepindahan bayi dan secepat mungkin kirim
bayi ke rumah sakit tersier atau senter untuk transfusi tukar.
Sertakan contoh darah ibu dan bayi.
13) Bila bilirubin serum tidak dapat diperiksa, hentikan terapi sinar
setelah 3 hari.
14) Setelah terapi sinar di hentikan : Observasi bayi selama 24 jam
dan ulangi pemeriksaan bilirubin.

40
15) Bila ikterus kembali ditemukan atau bilirubin serum berada di
atas nilai, ulangi terapi sinar seperti yang telah dilakukan.
16) Bila terapi sinar sudah tidak diperlukan lagi, bayi bisa makan
dengan baik dan tidak ada masalah lain selama perawatan,
pulangkan bayi.
17) Ajarkan ibu untuk menilai ikterus dan beri nasihat untuk
membawa kembali bayi bila bayi bertambah kuning

Komplikasi fototerapi4
1) Terjadi dehidrasi karena pengaruh sinar lampu dan
mengakibatkan peningkatan Insensible Water Loss (IWL)
(penguapan cairan). Pada BBLR kehilangan cairan dapat
meningkat 2-3kali lebih besar. Hal ini dapat dicegah dengan
memonitor cairan secara berkala.
2) Tinja lembek dan frekuensi defekasi meningkat sebagai
meningkatnya bilirubin indirek dalam cairan empedu dan
meningkatnya peristaltik usus.
3) Timbul kelainan kulit sementara pada daerah yang terkena sinar
(berupa Ruam Makular Eritematosa) tetapi akan hilang setelah
terapi selesai.
4) Bronze Baby Syndrome, Perubahan warna kulit yang coklat
keabu-abuan gelap, biasanya terjadi pada bayi yang menderita
hiperbilirubinemia dengan peningkatan kadar bilirubin direk
yang bermakna dan sering pada ikterus kolestatik
5) Kenaikan suhu akibat sinar lampu. Jika hal ini terjadi sebagian
lampu dimatikan,terapi diteruskan. Jika suhu terus naik lampu
semua dimatikan sementara, bayi dikompres dingin dan
diberikan ekstra minum.
6) Komplikasi pada gonad yang diduga menimbulkan
kemandulan. Dan dapat dicegah dengan memakai penutup pada
organ reproduksi bayi

41
Gambar 3.4. Panduan Fototerapi pada bayi dengan usia gestasi ≥
35 minggu4

Keterangan4
1) Gunakan TSB. Jangan mengurangi TSB dengan bilirubin direk.
2) Faktor risiko: isoimmune hemolytic disease, defisiensi G6PD,
asfiksia, letargis, suhu tubuh yang tidak stabil, sepsis, asidosis,
atau kadar albumin < 3g/dl
3) Pada bayi dengan usia kehamilan 35-37 6/7 minggu
diperbolehkan untuk melakukan fototerapi pada kadar bilirubin
total sekitar medium risk line. Merupakan pilihan untuk
melakukan intervensi pada kadar bilirubin total serum yang
lebih rendah untuk bayi-bayi yang mendekati usia 35 minggu
dan dengan kadar bilirubin total serum yang lebih tinggi untuk
bayi yang berusia mendekati 37 6/7 minggu.
4) Diperbolehkan melakukan fototerapi dengan dosis standard (8-
10 μW/cm2 per nm) baik di rumah sakit atau di rumah pada
kadar bilirubin total 2-3 mg/dL di bawah garis yang
ditunjukkan, namun pada bayi-bayi yang memiliki faktor risiko
fototerapi sebaiknya tidak dilakukan di rumah.

42
Terapi lain4
a) Ursodeoxycholic acid (UDCA)
UDCA dapat meningkatkan aliran empedu dan mengurangi kadar
TSB. UDCA dipakai sebagai terapi kolestasis. Masih terbatasnya
data tentang keamanan dan efikasi UDCA sebagai terapi
dibandingkan fototerapi, sehingga UDCA tidak
direkomendasikan dipakai rutin.
b) Fenobarbital
Penggunaan fenobarbital setelah lahir masih kontroversial dan
secara umum tidak direkomendasikan. Mengingat efek samping
pemberian fenobarbital yaitu sedasi pada bayi baru lahir.
Diperlukan waktu beberapa hari sebelum terlihat perubahan
bermakna, hal ini membuat penggunaan fototerapi nampak jauh
lebih mudah. Penggunaan fenobarbital profilaksis untuk
mengurangi pemakaian fototerapi atau tranfusi tukar pada bayi
dengan defisiensi G6PD ternyata tidak memberikan hasil baik.

2. Transfusi Tukar4
Transfusi tukar adalah tindakan menukar darah bayi dengan
darah donor dengan cara mengeluarkan dan mengganti sejumlah
darah secara berulang kali dalam periode waktu yang singkat.
Indikasi dilakukan transfusi tukar4
a) Adanya peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi yang
signifikan pada bayi baru lahir karena sebab apapun, ketika
fototerapi intensif gagal, atau ada risiko terjadinya kernikterus.
Transfusi tukar sesegera mungkin direkomendasikan jika
terdapat tanda awal gejala bilirubin ensefalopati akut.
b) Penyakit hemolisis alloimun pada bayi baru lahir (HDN) untuk
koreksi anemia berat dan hiperbilirubinemia
c) Anemia berat dengan gagal jantung kongestif atau hipervolemia
d) Polisitemia Walaupun transfusi tukar secara parsial dengan
kristaloid atau koloid mengurangi PCV dan hiperviskositas pada

43
bayi dengan polisitemia, namun ternyata tidak ada bukti
mengenai keuntungan jangka panjang dari prosedur tersebut
e) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
f) Leukemia kongenital
g) Toksin metabolic: Hiperammonemia, asidemia organic,
keracunan timbal
h) Overdosis atau intoksikasi obat-obatan
i) Eliminasi antibodi atau protein abnormal
j) Sepsis neonatorum atau malaria

Kontraindikasi dilakukan transfusi tukar4


a) Ketika alternatif seperti transfusi sederhana atau fototerapi sama
efektifnya dengan transfusi tukar namun dengan risiko yang lebih
rendah
b) Ketika pasien tidak stabil dan risiko dari prosedur transfusi tukar
melebihi keuntungan ada pasien dengan anemia berat, dengan
gagal jantung atau hipervolemia, transfusi tukar secara parsial
lebih berguna untuk menstabilkan kondisi pasien sebelum
transfusi tukar secara lengkap atau secara double volume
dilakukan
c) Ketika kontraindikasi untuk memasang jalur pemberian transfusi
tukar melebihi indikasi untuk dilakukan transfusi tukar. Akses
alternatif harus dicari jika transfusi tukar memang dibutuhkan

Prosedur pemberian transfuse tukar4


(1) Baca panduan yang diberikan oleh pabrikan
(2) Lakukan scrub seperti hendak melakukan prosedur besar.
Gunakan masker, penutup kepala pakaian steril, dan sarung
tangan
(3) Buka tempat peralatan dengan menggunakan teknik aseptik
(4) Identifikasi posisi katup sesuai arah jarum jam. Arah pegangan
mengarah menunjukkan port mana yang terbuka. Katup yang

44
tersedia memiliki fungsi sebagai berikut (searah jarum jam):
a) menarik dari pasien;
b) membuang ke kantong buangan;
c) mengambil darah baru;
d) memasukkan ke dalam pasien. Selalu putar pegangan searah
jarum jam untuk mengikuti alur yang sesuai, dan selalu jaga
sambungan dalam keadaan rapat
• Male adaptor pada jalur infus umbilikalis atau perifer
• Female adaptor pada tabung ekstensi dimana kantong
buangan akan dipasang
• Hubungkan pada tabung darah untuk dipasangkan pada
penghangat darah
• Posisi netral dimana bahan tambahan lainnya dapat
diberikan melalui karet penahan (180o dari kantong
buangan)
(5) Ikuti langkah yang disediakan oleh pabrikan untuk memasang
semua koneksi ke kantong darah dan kantong buangan
(6) Ketika katup membuka pada kantong darah, kosongkan udara
yang ada di spuit dengan cara memutar 270 o searah jarum jam
dan keluarkan ke kantong buangan
(7) Tutup katup dan putar ke bagian yang steril
(8) Gunakan jalur infus vena umbilikalis yang sudah ada atau
masukkan kateter ke vena umbilikalis menggunakan teknik
aseptik
a) Pertimbangkan untuk melakukan pengukuran CVP
menggunakan transduser pada bayi yang tidak stabil
b) Letakkan kateter pada IVC dan pastikan posisi dengan
menggunakan bantuan radiograf
c) Jika kateter tidak dapat diposisikan di IVC, kateter tersebut
masih dapat digunakan secara berhati-hati pada saat ada
kegawatan

45
d) Minta salah satu asisten untuk mendokumentasikan tanda vital
dan data-data lainnya
e) Periksa kadar glukosa perifer setiap 30-60 menit. Lakukan
monitoring terhadap status kardiorespirasi, periksa saturasi
dengan menggunakan pulse oximetry secara terus menerus.
Pemeriksaan BGA dilakukan sebanyak yang diindikasikan
berdasarkan kondisi klinis dan stabilitas pasien sebelum
tindakan transfusi tukar
f) Lakukan aspirasi darah untuk dilakukan pemeriksaan
diagnostik
g) Rata-rata pertukaran darah pada transfusi tukar adalah sekitar
5mL/kg dalam 1 siklus (2-4 menit)
h) Pada bayi dengan hipovolemia atau memiliki CVP yang
rendah, lakukan transfusi tukar dengan didahului pemberian
transfusi (5mL/kg) melalui kateter. Pada bayi dengan
hipervolemia atau memiliki CVP yang tinggi, lakukan
transfusi tukar dengan didahului pengeluaran sebagian volume
darah
i) Lakukan pemeriksaan ulangan CVP jika ada indikasi.
Harapkan untuk terjadi peningkatan tekanan onkotik plasma
jika CVP rendah pada permulaan
j) Pastikan bahwa tingkatan dalam mengeluarkan dan
memasukkan darah kedalam bayi dilakukan secara perlahan,
membutuhkan setidaknya 1 menit untuk setiap proses untuk
mecegah fluktuasi tekanan darah. Fluktuasi yang cepat pada
tekanan arteri dalam teknik ini dapat diikuti dengan perubahan
tekanan intracranial. Pengeluaran darah yang cepat dari vena
umbilikalis menyebabkan terjadinya tekanan negatif yang
akan ditransmisikan ke vena mesenterika yang pada akhirnya
berkontribusi terhadap tingginya kejadian komplikasi iskemia
usus

46
k) Goyangkan kantong darah secara gentle setiap 10 hingga 15
menit untuk mecegah sedimentasi sel darah merah
l) Pertimbangkan untuk memberikan suplementasi kalsium pada
kondisi: Hipokalsemia yang terdokumentasi Muncul gejala
atau tanda hipokalsemia seperti: perubahan interval QTc;
agitasi dan takikardi (gejala ini tidak terbukti berhubungan
dengan kadar kalsium).

Komplikasi trnasfusi tukar4


a) Resiko kematian atau sequele yang parah diduga < 1% pada bayi
sehat, namun pada bayi sakit sebesar 12%. Ada keraguan terhadap
efek samping dari transfusi tukar pada bayi yang sudah dalam
kondisi kritis.
b) Kebanyakan efek samping adalah efek samping hematologi dan
biokimia, yang mana tidak menunjukkan adanya gejala. Efek
samping yang paling sering ditemukan pada saat atau sesaat setelah
transfusi tukar, biasanya pada bayi preterm atau bayi sakit, adalah:
(1) Apnea dan/atau bradikardi
(2) Hipokalsemia
(3) Trombositopenia (< 32 minggu usia kehamilan)
(4) Asidosis metabolik
(5) Spasme vaskular
c) Komplikasi yang dilaporkan pada transfusi tukar adalah yang
berhubungan dengan transfusi darah dan akses vaskular.
Komplikasi yang berpotensi terjadi antara lain:
(1) Metabolik: hipokalsemia, hipo atau hiperglikemia,
hiperkalemia
(2) Kardiorespirasi: apnea, bradikardi, hipotensi, hipertensi
(3) Hematologi: trombositopenia, dilusi koagulopati, neutropenia,
DIC
(4) Terkait kateter vaskular: spasme vaskular, thrombosis,
embolisasi

47
(5) Gastrointestinal: feeding intolerance, iskemia, NEC
(6) Infeksi: omfalitis, septikemia

Gambar 3.5. Panduan untuk transfusi tukar pada bayi dengan usia
gestasi ≥ 35 minggu4

Keterangan4
1) Garis putus-putus pada 24 jam pertama menunjukkan keadaan
tanpa patokan pasti karena terdapat pertimbangan klinis yang luas
dan tergantung respon terhadap fototerapi.
2) Direkomendasikan transfusi tukar segera bila bayi menunjukkan
gejala ensefalopati akut (hipertoni, arching, retrocollis,
opistotonus, high pitch cry, demam) atau bila kadar bilirubin total
≥ 5 mg/dL diatas garis patokan.
3) Faktor risiko: penyakit hemolitik autoimun, defisiensi G6PD,
asfiksia, letargis, suhu tidak stabil, sepsis, asidosis.
4) Periksa kadar albumin dan hitung rasio bilirubin total / albumin.
5) Gunakan TSB. Jangan mengurangkan dengan bilirubin direk atau
bilirubin terkonjugasi
6) Pada bayi sehat dan usia kehamilan 35-37 6/7 minggu (risiko
sedang) transfusi tukar yang hendak dilakukan bersifat individual
berdasarkan usia kehamilan saat ini.

48
Tabel 3.3. Rasio Bilirubin Total atau Albumin Sebagai Penunjang
Untuk Memutuskan Transfusi Tukar6

Tabel 3.4. Pedoman Terapi Sinar dan Transfusi Tukar Bayi Berat
Lahir Rendah Berdasarkan Berat Badan6

Tabel 3.5. Pedoman Terapi Sinar dan Transfusi Tukar Bayi Berat
Lahir Rendah Berdasarkan Masa Gestasi6

3.1.11 Komplikasi
Komplikasi berat pada hiperbilirubinemia neonates adalah
kernicterus atau ensenfalopati bilirubin. Ensefalopati bilirubin atau
kernikterus adalah disfungsi otak yang diinduksi oleh bilirubin. Ini
adalah sindrom neurologis yang dapat dicegah dengan efek samping
karena pengendapan bilirubin non-konjugasi di basal ganglia dan
batang otak. Biasanya, gejala kernikterus adalah dimanifestasikan 2 -
5 hari setelah lahir pada bayi cukup bulan dan 7 hari setelah lahir pada
bayi baru lahir prematur. Hiperbilirubinemia dapat menyebabkan
kernicterus waktu selama masa bayi. Gejala awal kernikterus
termasuk kelesuan, makan yang buruk, dan kerontokan refleks Moro,
diikuti oleh bayi yang ekstrim kelemahan, penurunan refleks tendon

49
dalam, distres pernapasan, opistotonus (sesekali), ubun-ubun
menonjol, gerakan abnormal wajah dan ekstremitas dan tangisan
melengking. Kebanyakan bayi, yang mengalami neurologis yang
parah ini gejala, mati dini, dan mereka yang selamat menderita dari
kerusakan ekstrim.7
Pasien dengan kernicterus tampak normal di dalam usia 3 bulan,
sedangkan opistotonus, kekakuan otot, abnormal gerakan dan kejang
berulang terjadi kemudian di tahun pertama kehidupan. Opistotonus
dan kejang biasanya berhenti pada tahun kedua kehidupan, sedangkan
kekakuan otot yang tidak teratur dan tidak disengaja dan peningkatan
hipotonia pada beberapa bayi baru lahir. Pada 3 tahun usia, gejala
neurologis penuh kernicterus termasuk atetosis bilateral dengan
involunter kejang otot, gejala ekstrapiramidal, kejang,
keterbelakangan mental, disartria, tinggi frekuensi gangguan
pendengaran, strabismus dan mata kelainan gerak muncul. Ringan dan
ketidakseimbangan neuromuskuler sedang, tuli dan disfungsi serebral
ringan (tunggal atau ganda). diamati pada anak-anak dengan
kernikterus ringan, yang mungkin tidak dikenali sebelum tahun
sekolah. Menurut kriteria patologis, kernikterus adalah terlihat dalam
satu - sepertiga dari bayi yang tidak diobati (sama sekali usia
kehamilan) dengan anemia hemolitik dan kadar bilirubin lebih dari
20-30 mg/dl. Insiden kernikterus telah diperkirakan 2 - 16%,
berdasarkan hasil otopsi pada premature bayi dengan
hiperbilirubinemia. Juga, keterlambatan dalam keterampilan motorik
diamati pada bayi cukup bulan pada usia enam tahun usia bulan
dengan riwayat hiperbilirubinemia.7

3.1.12 Prognosis
Hiperbilirubinemia baru akan berpengaruh buruk apabila
bilirubin indirek telah melalui sawar otak. Pada keadaan ini penderita
mungkin menderita kern ikterus atau ensefalopati biliaris. Risiko pada
bayi dengan eritroblastosis foetalis secara langsung berkaitan dengan

50
kadar bilirubin serum, hubungan antara kadar bilirubin serum dan
kern ikterus pada bayi cukup bulan yang sehat masih belum pasti.
Bilirubin indirek yang larut dalam lemak dapat melewati sawar darah
otak dan masuk ke otak dengan cara difusi apabila kapasitas albumin
untuk mengikat bilirubin dan protein plasma lainnya terlampaui, dan
kadar bilirubin bebas dalam plasma bertambah.8
Dengan pengobatan, prognosis untuk sebagian besar jenis
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi sangat baik. Pada mereka dengan
pengobatan yang tertunda atau tidak memadai, ensefalopati bilirubin
dapat terjadi. Beban ensefalopati bilirubin secara signifikan lebih
tinggi di negara berkembang dan negara terbatas sumber daya.
Kebangkitan kernikterus di negara-negara di mana komplikasi ini
hampir selalu terjadi masa lalu. Hal ini terutama disebabkan oleh
pemulangan dini bayi baru lahir dari rumah sakit bersalin. Pasien
dengan Crigler-Najjar tipe 1 memiliki prognosis yang buruk dan
memerlukan transplantasi hati untuk penyembuhan pasti. Dengan
tidak adanya transplantasi hati, ensefalopati bilirubin sering terjadi. 8

51
BAB IV
ANALISIS KASUS

Seorang bayi laki-laki berusia 7 hari dengan berat badan lahir 2700 gram dan
panjang badan 48 cm, dirawat di ruangan Neonatus RSUD Palembang BARI pada
tanggal 16 Juni 2023. Bayi laki-laki ini lahir spontan pervaginam di bidan dari ibu
G1P0A0 hamil aterm janin tunggal hidup presentasi kepala. Bayi ini dibawa
neneknya dengan keluhan tampak kuning dan muntah 2-3 kali berwarna kuning
sejak 4 hari setelah lahir.
Kuning pada neonates atau ikterus neonatorum merupakan keadaan klinis
yang ditandai oleh pewarnaan kuning pada kulit dan sklera akibat akumulasi
bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak
pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL. Apabila kondisi ini tidak
ditangani dengan segera dan tepat maka dapat menimbulkan komplikasi seperti
kernicterus spectrum disorder (KSD).
Sedangkan, apabila ikterus telah dikonfirmasi dengan peningkatan bilirubin
maka kondisi tersebut disebut hyperbilirubinemia, yaitu peningkatan kadar
bilirubin serum total ≥5 mg/dL (86 μmol/L). Hiperbilirubinemia adalah keadaan
transien yang sering ditemukan baik pada bayi cukup bulan (50- 70%) maupun bayi
prematur (80-90%). Sebagian besar hiperbilirubinemia adalah fisiologis dan tidak
membutuhkan terapi khusus, tetapi karena potensi toksik dari bilirubin maka semua
neonatus harus dipantau untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya
hiperbilirubinemia berat.
Pada kasus ini hiperbilirubinemia termasuk kedalam kondisi patologis
dikarenakan serum bilirubin total meningkat ≥5 mg/dL per hari, pada kasus
bilirubin total 19,8 mg/dL. Pada bayi cukup bulan, kadar serum bilirubin akan
meningkat sebanyak 12 mg/dL sedangkan pada bayi kurang bulan (premature)
kadar serum bilirubin total akan meningkat hingga 15 mg/dL.
Penilaian derajat kuning pada kasus dapat menggunakan penilaian secara
visual dan klasifikasi Kramer, pada kasus ini secara visual ikterus yang terjadi telah
sampai pada telapak tangan dan kaki bayi, dijumpai pada hasil pemeriksaan fisik
pada ekstremitas icterus (+). Ditambah dengan hasil laboratorium darah bilirubin

52
total pada bayi yaitu 19,8 mg/dL (> 18 mg/dL) maka pada kasus ini termasuk
kedalam Kramer V.
Pada kasus ini terjadinya icterus pada bayi kemungkinan besar karena faktor
jenis kelamin dan riwayat asfiksia yang terjadi sesaat setelah lahir.
Apabila dikaitkan dengan jenis kelamin maka, terdapat perbedaan bermakna
antara jenis kelamin dengan terjadinya hiperbilirubinemia pada neonates. Adanya
perbedaan antara kromosom x pada bayi laki-laki dan perempuan dimana bayi
perempuan mempunyai dua kromosom x sedangkan pada bayi laki-laki hanya
mempunyai satu kromosom x. Sehingga pasien berjenis kelamin laki-laki memiliki
risiko yang lebih tinggi menderita hiperbilirubinemia dibandingkan pasien yang
berjenis kelamin perempuan. Karena kromosom x dipercaya menpunyai peran dan
bertanggung jawab dalam fungsi enzim pada sel darah merah. Selain itu perbedaan
kromosom x tersebut juga dapat mengakibatkan defisiensi enzim G6PD yang bisa
menyebabkan lisisnya sel darah merah. Sehingga potensi untuk terjadinya
hiperbilirubinemia lebih besar.
Selain itu, pada kasus diketahui bahwa saat lahir pasien ini tidak langsung
menangis, secara teori terdapat hubungan antara riwatar asfiksia dengan terjadinya
hiperbilirubinemia. Pada saat terjadi asfiksia, hepar dan organ tubuh lainnya dapat
berdampak negatif akibat dari hipoksemia pada neonatus yang asfiksia. Fungsi
fisiologis hepar dapat menyebabkan syok hepar (gangguan berat hepar) yang
diakibatkan dari asfiksia pada saat lahir. Hal ini juga menyebabkan perubahan
dalam tes fungsi hepar yaitu bilirubin. Berkurangnya glikogen yang dihasilkan
tubuh dalam hati disebabkan karena asupan oksigen yang kurang pada organ-organ
tubuh sehingga fungsi organ hepar tidak maksimal sehingga hal tersebut dapat
menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia,
Pada kasus ini juga terjadi kondisi dehidrasi sedang, kondisi ini ditandai
dengan muntah 2-3 kali berwarna kuning yang dialami oleh bayi. Selain itu, berat
badan bayi juga menurun, berat badan lahir adalah 2700 gram sedangkan saat
masuk diruangan neonates berat badannya hanya 2480 gram, terjadi penururan
berat badan sebesar 220 gram (8,1%) yang menunjukkan adanya dehidrasi sedang
yaitu penurunan berat badan < 10%.

53
Pada kasus ini dapat dinilai bahwa kondisi bayi termasuk kedalam klinis
sepsis neonatorum, ditandai dengan gejala hematologi yaitu tampak kuning pada
sekujur tubuh dan gejala gastroenteritis yaitu muntah 2-3 kali berwarna kuning
disertai dengan dehidrasi sedang. Tetapi dari pemeriksaan laboratorium darah yang
sudah di lakukan tidak terdapat tanda positif sepsis yang ditemukan.
Pada kasus ini tatalaksana yang diberikan adalah Rehidrasi IVFD Dekstrose
5% 1/4 NaCl 0,9% 500 cc, 270 cc untuk 4 jam pertama (kecepatan 67,5 cc/jam) dan
270 cc untuk 20 jam selanjutnya (kecepatan 11,25 cc/jam), setelah rehidrasi lanjut
IVFD Dekstrose 10% 1/5 NaCl 0,9% 500 cc, 486 cc/ hari (kecepatan 20,25 cc/jam),
injeksi Ceftazidine 3x135 mg/ IV, ASI/PASI: 12x10-20 cc, dan fototerapi.
Pada kasus ini diberikan antibiotik Ceftazidine. Secara teori, penggunaan
antibiotik pada durasi ≤5 hari berarti kondisi klinis dari pasien belum menunjukkan
tanda-tanda perbaikan dan hasil kultur belum keluar maka antibiotik yang diberikan
adalah ceftazidime atau amikasin, Setelah pemberian antibiotik lini kedua selama
tiga hari dan kondisi klinis pasien belum menunjukkan perbaikan dan hasil kultur
belum juga keluar maka digunakan antibiotik lini ketiga yaitu meropenem.
Tindakan fototerapi dapat dilakukan apabila telah ditegakkan
hiperbiliribunemia pada bayi baru lahir. Fototerapi berfungsi untuk menurunkan
bilirubin dalam kulit melaui tinja dan urine dengan oksidasi foto pada bilirubin dari
biliverdin. Prinsip penatalaksanaan hiperbilirubinemia dengan fototerapi adalah
untuk mengurangi kadar bilirubin dan mencegah peningkatannya. Fototerapi
menggunakan sinar untuk mengubah bentuk dan struktur bilirubin menjadi molekul
yang dapat diekskresikan walaupun ada gangguan konjugasi. Fototerapi yang
efisien dapat menurunkan konsentrasi bilirubin serum secara cepat. Pembentukan
lumirubin yang merupakan isomer bilirubin, komponen yang larut air merupakan
prinsip eliminasi bilirubin dengan fototerapi. Fototerapi dapat dihentikan ketika
kadar bilirubin serum turun dibawah 13-14 mg/dL (239μmol/L). Pemulangan dari
rumah sakit tidak perlu ditunda untuk mengobservasi bayi yang kembali rebound.
Jika fototerapi digunakan untuk bayi dengan penyakit hemolitik atau dimulai lebih
awal dan dihentikan sebelum bayi berusia 3-4 hari, pengukuran bilirurin lanjutan
dalam waktu 24 jam setelah kepulangan direkomendasikan. Untuk bayi yang masuk
kembali dengan hiperbilirubinemia dan kemudian dipulangkan, kejadian rebound

54
sangat jarang, namun pengukuran TSB ulangan atau tindak lanjut dalam 24 jam
setelah kepulangan merupakan pilihan klinis.
Terdapat beberapa komplikasi yang timbul pada bayi dengan ikterius
neonatorum, salah satunya kern icterus atau ensenfalopati bilirubin yaitu kerusakan
otak yang disebabkan oleh pengendapan bilirubin tak terkonjugasi di ganglia basal
dan inti batang otak. Pada kasus tidak ditemukan komplikasi apapun. Prognosis
pasien ini adalah dubia ad bonam. Diagnosis dan penatalaksanaan dini dapat
memperbaiki keadaan neonatus dan mencegah komplikasi

55
BAB V
KESIMPULAN

1. Kasus ini merupakan bayi Laki-laki lahir spontan pervaginam di bidan dari ibu
G1P0A0 hamil aterm janin tunggal hidup presentasi kepala, dengan berat badan
lahir 2700 gram, panjang badan lahir 48 cm dan mengalami kuning serta muntah
2-3 kali berwarna kuning sejak 4 hari setelah lahir.
2. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang, bayi ini didiagnosa
dengan Ikterik neonatorum + Hiperbilirubinemia + Dehidrasi Sedang + Klinis
sepsis neonatorum.
3. Penatalaksanaan yang diberikan pada kasus ini berupa, Rehidrasi IVFD
Dekstrose 5% 1/4 NaCl 0,9% 500 cc, 270 cc untuk 4 jam pertama (kecepatan
67,5 cc/jam) dan 270 cc untuk 20 jam selanjutnya (kecepatan 11,25 cc/jam),
setelah rehidrasi lanjut IVFD Dekstrose 10% 1/5 NaCl 0,9% 500 cc, 486 cc/ hari
(kecepatan 20,25 cc/jam), injeksi Ceftazidine 3x135 mg/ IV, ASI/PASI: 12x10-
20 cc, dan fototerapi.

56
DAFTAR PUSTAKA

1. Rohsiswatmo, R & Amandito, R. 2018. Hiperbilirubinemia pada Neonatus


>35 Minggu di Indonesia: Pemeriksaan dan Tatalaksana Terkini. Sari
Pediatri: Volume 20 Nomor 2, p. 155-122.
2. Auliya, N., Kusumajaya, H., & Lestari, IP. 2023. Faktor-Faktor yang
Berhubungan Dengan Kejadian Hiperbilirubinemia di Ruangan Neonatus.
Jurnal Penelitian Perawat Profesional: Volume 5 Nomor 2, p. 529-538.
3. Mathindas, S., Wilar, R., & Wahani, A. 2013. Hiperbilirubinemia Pada
Neonatus. Jurnal Biomedik: Volume 5 Nomor 1, p. S4-10.
4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/240/2019 Tentang
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Hiperbilirubinemia.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
5. Ullah, S., Rahman, K., & Hedayati, M. 2015. Hyperbilirubinemia in Neonates:
Types, Causes, Clinical Examinations, Preventive Measures and Treatments:
A Narrative Review Article. Iran Journal Public Health: Volume 45 Nomor 5,
p. 558-568.
6. Ridhayani., Alfarizi, AB., Halimah, & Asyik, H. 2014. Panduan Praktik Klinik
Departemen Kesehatan Anak RSUD Palembang Bari. Palembang: RSUD
Palembang Bari
7. Boskabadi, H., Ashrafzadeh, F., Azarkish, F., et al. 2017. Complications of
Neonatal Jaundice and the Predisposing Factors in Newborns. Journal Babol
Medical Science University: Volume 17 Issue 9, p. 7-13.
8. Ansong-Assoku, B., Shah, SD., Adnan, M., et al. 2023. Neonatal Jaundice.
StatPearls. Diakses pada tanggal 18 Juni 2023.

57

Anda mungkin juga menyukai