Oleh
Medalion Bellano
712021039
Pembimbing:
Dr. dr. Hj Aryani Aziz, Sp.OG (K), MARS
LAPORAN KASUS
Judul:
Hamil Preterm Yang Disertai Partus Prematurus Imminens (PPI)
dan Asma Bronkial
Oleh:
Medalion Bellano
712021039
Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Obstetri dan Ginekologi Sakit Muhammadiyah
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus ini. Penulisan
laporan kasus ini dilakukan dalam rangka memenuhi syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di SMF Ilmu Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang pada Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah
Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir
zaman.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada :
1. Dr. dr. Hj. Aryani Aziz, Sp. OG (K), MARS selaku pembimbing Kepaniteraan
Klinik Senior di SMF Ilmu Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang, yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk
mengarahkan penulis dalam menyusun laporan kasus ini.
2. Rekan-rekan co-assistens dan semua pihak yang telah banyak membantu
penulis dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua dan
perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan
Allah SWT. Amin.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1
1.2 Maksud dan Tujuan .............................................................. 2
1.3 Manfaat ................................................................................ 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 3
2.1 Partus Prematurus Imminens (PPI) ....................................... 3
2.1.1 Definisi ............................................................................ 3
2.1.2 Epidemiologi ................................................................... 3
2.1.3 Klasifikasi PPI ................................................................. 4
2.1.4 Faktor Risiko ................................................................... 4
2.1.5 Patofisiologi .................................................................... 6
2.1.6 Diagnosis ......................................................................... 8
2.1.7 Tatalaksana ...................................................................... 9
2.1.8 Komplikasi ...................................................................... 10
2.1.9 Prognosis ......................................................................... 10
2.2 Asma Bronkial Pada Kehamilan........................................... 11
2.2.1 Definisi ............................................................................ 11
2.2.2 Fisiologi Pernafasan Pada Kehamilan .............................. 11
2.2.3 Epidemiologi ................................................................... 13
2.2.4 Faktor Risiko ................................................................... 13
2.2.5 Gejala Klinis .................................................................... 15
2.2.6 Diagnosis ......................................................................... 16
2.2.7 Pengaruh Asma Bronkial Dalam Kehamilan .................... 18
2.2.8 Tatalaksana Asma Dalam Kehamilan............................... 23
BAB III. LAPORAN KASUS .................................................................... 27
iv
BAB IV. ANALISA KASUS ...................................................................... 36
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 39
5.1 Simpulan ............................................................................. 39
5.2 Saran ................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 40
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.3. Manfaat
1.3.1. Manfaat Teoritis
Bagi institusi, diharapkan laporan kasus ini dapat menambah bahan
referensi dan studi kepustakaan dalam bidang ilmu obstetrik dan
ginekologi terutama tentang kasus Partus Prematurus Imminens (PPI)
dan Asma bronkial dalam kehamilan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
Kelahiran prematur secara umum terjadi sebesar 5%-18% dari kelahiran
hidup di seluruh dunia. Menurut WHO, setiap tahunnya diperkirakan 15 juta
bayi lahir prematur dan kurang lebih 1 dari 10 bayi yang lahir mengalami
kelahiran prematur. Bayi prematur terutama bayi yang memiliki berat badan
lahir rendah memiliki risiko kematian yang tinggi. 2,3
Pada tahun 2015 sebesar 11,5% bayi yang lahir di Amerika Serikat (sekitar
550 ribu) lahir prematur dan juga merupakan penyebab utama cacat neurologis
jangka panjang pada anak. Dari bayi yang lahir prematur tersebut 84% terjadi
pada usia kehamilan 32-36 minggu, 10% pada usia kehamilan 28-32 minggu dan
5% pada usia kehamilan <28 minggu.5
Angka kejadian persalinan prematur di Indonesia termasuk kedalam
peringkat 10 besar dari 184 negara dengan angka kejadian yaitu 15,5% kelahiran
prematur per 1000 kelahiran hidup dan pada tahun 2013 Indonesia merupakan
negara kelima dengan jumlah bayi prematur sebesar 675.000 bayi. Pada tahun
2010 Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo kelahiran prematur terjadi
sebesar 38,5%.5
3
2.1.3 Klasifikasi PPI
Secara umum PPI juga bisa dibagi menurut usia kehamilan, yaitu:
Extreme prematurity: usia kehamilan kurang dari 28 minggu (5%)
Severe prematurity: usia kehamilan antara 28- 31 minggu (15%)
Moderate prematurity: usia kehamilan 32-33 minggu (20%)
Near term: usia kehamilan 34-36 minggu (60-70%)1
4
D. Anemia
Peran utama Hb adalah untuk mengantarkan oksigen ke jaringan
dan mengembalikan CO2 ke paru-paru untuk di eliminasi dari tubuh,
setiap kekurangan fungsi Hb atau penurunan massa sel darah merah
dapat menyebabkan anemia . Selama kehamilan total jumlah plasma dan
jumlah sel darah nerah pada wanita hamil meningkat dari kebutuhan
awal, namun peningkatan volume plasma lebih besar dibandingkan
peningkatan massa sel darah merah dan menyebabkan penurunan
konsentrasi hemoglobin, sehingga mempengaruhi kadar O2 yang masuk
ke dalam jaringan. Keadaan ini dapat menyebabkan hipoksia jaringan
yang kemudian akan memproduksi kortisol dan prostaglandin, yang
mencetuskan terjadinya persalinan.7
E. Preeklamsi/ Eklamsi
Kejadian kelahiran premature yang dipengaruhi oleh preeklamsi/
eklamsi terjadinya akibat spasmus pembuluh darah. Menurunya aliran
darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Spasme
arteriol yang mendadak dapat menyebabkan asfiksia berat. Jika spasme
berlangsung lama akan mengganggu pertumbuhan janin. Jika terjadi
peningkatan tonus dan kepekaan uterus terhadap rangsangan dapat
menyebabkan kelahiran prematur. Menurunnya aliran darah ke plasenta
mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Pada hipertensi dengan
pertumbuhan janin yang terganggu, dapat terjadi gawat janin sampai
kematian karena kekurangan oksigen. Kenaikan tonus uterus dan
kepekaan terhadap perangsang sering didapatkan pada preeklamsi dan
eklamsi, sehingga lebih mudah terjadi kelahiran prematur.7
F. Ketuban Pecah Sebelum Waktunya
Pecahnya selaput ketuban disebabkan karena selaput ketuban
tidak kuat akibat kurangnya jaringan ikat dan vaskularisasi. Akibatnya
selaput ketuban yang berfungsi melindungi atau menjadi pembatas dunia
luar dan ruangan dalam rahim pecah dan mengeluarkan air ketuban yang
menyebabkan hubungan langsung antara dunia luar dan ruangan dalam
5
rahim yang memudahkan terjadinya infeksi asenden. Semakin lama
periode laten maka semakin besar kemungkinan infeksi dalam rahim,
kelahiran prematur dan selanjutnya meningkatkan kejadian kesakitan
dan kematian bayi atau janin dalam rahim. Pecahnya ketuban sebelum
waktunya bisa dihubungkan dengan kelahiran prematur karena ketika
selaput ketuban pecah pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu
secara langsung ketuban pecah dan menimbulkan kontraksi sehingga
merangsang mulut rahim membuka dan dapat menimbulkan terjadinya
kelahiran premature.7
G. Pendarahan Antepartum.
Perdarahan antepartum menyebabkan seperlima bayi lahir
dengan kurang bulan, penyebab paling sering dari perdarahan antepartum
adalah plasenta previa dan abrupsio plasenta.7
2.1.5 Patofisiologi
1) Aktivasi prematur dari pencetus terjadinya persalinan
Stres meningkatkan risiko terjadinya persalinan preterm dengan
meningkatkan pelepasan CRH (Corticotropin Releasing Hormone). CRH
berasal dari hipotalamus dan berperan sebagai mediator pelepasan ACTH
(Adrenocorticotropin Hormone), kemudian ACTH akan meningkatkan
sekresi kortisol. Peningkatan kortisol secara cepat dapat meningkatkan
jumlah CRH dalam sirkulasi darah sehingga produksi prostaglandin juga
meningkat. Prostaglandin berperan sebagai uterotonin dan meningkatkan
kemampuan miometrium melalui peningkatan jumlah reseptor oksitosin
dan juga melalui pembentukan gap-junction. CRH juga merangsang
produksi estrogen plasenta dengan menstimulasi prekusornya dari kelenjar
adrenal janin. Estrogen berinteraksi dengan miometrium sehingga terjadi
kontraksi dan pembukaan serviks.
2) Inflamasi/infeksi
Infeksi merupakan penyebab tersering dari persalinan preterm,
dimana bakteri dapat menyebar ke uterus dan cairan amnion sehingga
6
memicu terjadinya inflamasi dan mengakibatkan persalinan preterm dan
ketuban pecah sebelum waktunya. Persalinan spontan yang terjadi pada
trimester kedua dihubungkan oleh infeksi virus pada jaringan plasenta.
Menurut beberapa penelitian, infeksi Human Papilloma Virus (HPV) dan
Cytomegalovirus (CMV) dapat merangsang kematian sel trofoblas
ekstravilli dan mengurangi invasi plasenta pada dinding uterus sehingga
menyebabkan disfungsi plasenta dan berakibat pada keluaran bayi,
termasuk kelahiran prematur.
Decidua-chorio-amnionitis, yaitu infeksi bakteri yang menyebar ke
uterus dan cairan amnion. Keadaan ini merupakan penyebab potensial
terjadinya kelahiran prematur. Infeksi intraa mnion akan terjadi pelepasan
mediator inflamasi seperti pro-inflamatory sitokin (IL-1β, IL-6, IL-8, dan
TNF-α ). Sitokin akan merangsang pelepasan CRH, yang akan merangsang
aksis HPA janin dan menghasilkan kortisol dan DHEAS. Hormon-hormon
ini bertanggung jawab untuk sintesis uterotonin (prostaglandin dan
endotelin) yang akan menimbulkan kontraksi. Sitokin juga berperan dalam
meningkatkan pelepasan protease (MMP) yang mengakibatkan perubahan
pada serviks dan pecahnya kulit ketuban.
3) Perdarahan desidua
Perdarahan desidua akan menyebabkan penurunan fungsi dari
pembuluh darah uteroplasenta dan kekurangan oksigen pada janin yang
akan melepaskan CRH, meningkatkan serbukan makrofag dengan
pelepasan sitokinnya atau secara langsung merangsang produksi protease
dan prostanoid desidua melalui pembentukan trombin. Aktivitas trombin
merangsang koagulasi dan pembentukan gumpalan darah (clot), sehingga
merangsang produksi protease. Protease memiliki kemampuan untuk
merusak membran janin dan menyebabkan pembukaan serviks sehingga
terjadi preterm premature rupture of the membranes (PPROM). Trombin
juga secara tidak langsung memiliki efek uterotonika pada miometrium dan
merangsang kontraksi.
7
4) Peregangan yang berlebihan pada uterus
Peregangan uterus yang berlebihan seperti polihidroamnion,
kehamilan ganda dan kelainan anatomi uterus dapat meningkatkan risiko
persalinan pretem spontan. Mekanisme yang ditimbulkan adalah
peregangan dapat meningkatkan aktivitas miometrium, pengeluaran
prostaglandin dan sitokin, serta meningkatkan reseptor oksitosin pada
miometrium sehinga tejadi kelahiran prematur.6
2.1.6 Diagnosis
Anamnesis:
1. Usia kehamilan antara 20-37 minggu.
2. Adanya kontraksi yang regular yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya
setiap 7-8 menit sekali atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit.
3. Keluar lendir pervagina yang bercampur darah.
4. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi,
rasa tertekan intrapelvic dan nyeri pada punggung bawah.
Pemeriksaan Fisik:
1. Pada pemeriksaan dalam didapati telah terjadi pembukaan serviks
sedikitnya 2 cm dan pendataran serviks 50-80 %
Pemeriksaan Penunjang:
1. USG Transvaginal
Penilaian USG transvaginal dilakukan pada ibu usia kehamilan ≥30
minggu dengan kecurigaan kemungkinan terjadi kelahiran prematur.
Penilaian bertujuan untuk mengukur panjang serviks sebagai tes diagnostis
untuk memperkirakan kejadian persalinan dalam 48 jam ke depan.
American College of Obstetrician and Gynecologists (ACOG) panjang
serviks yang berhubungan dengan kelahiran prematur adalah kurang dari 25
mm. Menurut rekomendasi NICE, saat tepat untuk skrining pemeriksaan
panjang serviks pada perempuan dengan kehamilan tunggal adalah pada
usia kehamilan 18–24 minggu.8
8
Indikasi pemeriksaan ultrasonografi transvaginal adalah adanya
gejala kontraksi uterus, hasil pemeriksaan USG transabdominal curiga
panjang serviks pendek, dan terdapat beberapa faktor risiko untuk terjadi
kelahiran kurang bulan. Jika panjang serviks ≤ 25 mm pertimbangkan
pemasangan sirklase serviks, namun jika panjang serviks >25 mm, tidak
perlu tindakan sirklase serviks.6
2. Pemeriksaan Fibronektin Janin
Pemeriksaan fibronektin janin digunakan untuk memperkirakan
kemungkinan persalinan dalam 48 jam pada wanita dengan usia kehamilan
lebih dari 30 minggu.. Normalnya, kadar fibronektin janin terdeteksi pada
sekresi servikovaginal hingga usia kehamilan 22 minggu dan menurun
setelahnya (<50ng/ml). Pemeriksaan fibronektin janin lebih baik akurasinya
jika dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan lain seperti pemeriksaan
panjang serviks dengan transvaginal ultrasonografi.
1. Jika tes fibronektin negatif (konsentrasi 50 ng/mL atau kurang), wanita
tersebut hampir tidak dalam proses persalinan preterm.
2. Jika tes fibronektin lebih dari 50 ng/mL, pertimbangkan diagnosis
persalinan preterm dan lakukan terapi sesuai usia kehamilan.6
2.1.7 Tatalaksana
Pada kasus PPI penatalaksanaan nya ada 3 pilihan:
1. Mempertahankan kehamilan sehingga janin dapat lahir se aterm
mungkin.
2. Menunda persalinan 2-3 hari hingga dapat memberikan obat
pematangan paru janin.
3. Membiarkan terjadi persalinan jika terdapat kontraindikasi terhadap
pemberian tokolitik.
Berdasarkan ACOG, rekomendasi tatalaksana pada ancaman
persalinan preterm sebagai berikut:
9
1) Tokolitik seperti kalsium antagonis: nifedipine 10 mg/oral diulang 2-3
kali jam, dilanjutkan tiap 8 jam sampai kontraksi hilang
direkomendasikan untuk seluruh usia kehamilan kurang dari 37 minggu.
2) Pemberian Magnesium sulfat juga dapat menurunkan derajat keparahan
dan risiko terjadinya serebral palsi pada bayi ketika dilahirkan sebelum
usia kehamilan 32 minggu namun obat ini memiliki efek samping
seperti hipokalemia, hiperglikemia, hipotensi, takikardi.
3) Kortikosteroid dosis tunggal dapat dipertimbangkan sejak usia
kehamilan 20 sampai 37 minggu dengan risiko terjadi persalinan
preterm yang akan lahir dalam 7 hari. Adapun kortikosteroid yang
digunakan adalah deksametason 2x6 mg i.v dengan jarak pemberian 24
jam atau betametason 1x12 mg i.m.
4) Pemberian antibiotik segera diberikan apabila pada kehamilan
mengandung resiko terjadinya infeksi tanpa memandang usia
kehamilan. Obat yang dianjurkan adalah eritromisin, cefadroxil,
ampisilin.6
2.1.8 Komplikasi
Komplikasi partus prematurus iminens yang terjadi pada ibu adalah
terjadinya kelahiran prematur yang dapat menyebabkan infeksi endometrium
sehingga mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka
episiotomi. Sedangkan pada bayi prematur memiliki resiko terjadi sindrom
gawat nafas kekurangan surfaktan dalam jumlah yang memadai sehingga
alveoli tidak terbuka dan bayi tidak dapat bernafas dengan bebas. Pada bayi
lahir premature juga dapat terjadi sakit kuning karna bilirubin darah yang
meningkat akibat fungsi hati yang belum matang serta dapat terjadi resiko
infeksi yang serius.9
10
2.2. Asma Bronkial Pada Kehamilan
2.2.1. Definisi
Asma didefinisikan sebagai penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan
yang dihubungkan dengan hiperresponsif saluran napas, keterbatasan aliran udara
yang reversible, dan gejala pernapasan.
Gejala pernapasan yang timbul dapat berupa mengi, sesak napas, dada
seperti terikat, dan batuk yang bervariasi dalam frekuensi dan intensitas. Gejala
ini berhubungan dengan variasi aliran udara ekspirasi karena konstriksi bronkus
yang menyebabkan kesulitan dalam mengeluarkan udara dari paru-paru.10
11
Gambar 2.1 Pengaruh Hormonal dan Mekanik Pada Ibu Hamil
Terhadap fungsi Paru1
12
dan janin, bahkan lebih bila kembar) merupakan suatu hal yang perlu
diperhatikan.4
2.2.3. Epidemiologi
Asma adalah penyakit yang sering memberikan komplikasi medis yang
berarti pada kehamilan. Prevalensi morbiditas asma pada kehamilan terus
meningkat dari tahun ke tahun, meskipun angka mortalitasnya menurun. Insiden
asma dalam kehamilan adalah sekitar 0,5-1% dari seluruh kehamilan dimana
serangan asma biasanya timbul di usia kehamilan 24-36 minggu jarang pada
akhir kehamilan.
Di Indonesia prevalensi asma dalam kehamilan adalah sekitar 3,7-4%. Hal
tersebut membuat asma menjadi salah satu permasalahan yang biasa ditemukan
dalam kehamilan.12
13
Studi lain menunjukkan bahwa seseorang penderita asma yang terkena asap
rokok selama satu jam, maka akan mengalami sekitar 20% kerusakan fungsi
paru. Pada anak anak, asap rokok akan memberikan efek lebih parah
dibandingkan orang dewasa, ini disebabkan lebar saluran pernafasan anak lebih
sempit, sehingga jumlah nafas anak akan lebih cepat dari orang dewasa.
Akibatnya, jumlah asap rokok yang masuk ke dalam saluran pernapasan menjadi
lebih banyak dibanding berat badannya.
Tungau debu rumah adalah hewan (Dermatophagoides Pteronyssinus)
yang sangat kecil sekitar 0,5 mm yang umum di jumpai di tempat tinggal
manusia. Tungau debu rumah biasanya berada di karpet dan jok kursi yang kotor,
terutama yang berbulu tebal dan lama tidak dibersihkan, juga dari tumpukan
koran, buku, pakaian yang kotor. Tungau debu rumah yang menyerang penderita
asma bronkial disebabkan oleh masuknya suatu alergen ke dalam saluran napas
seseorang sehingga merangsang terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I atau
reaksi alergi.
Polusi udara adalah suatu keadaan dimana udara mengandung bahan
kimia, partikel, organisme hidup lainnya yang menyebabkan kerugian atau
ketidaknyamanan pada manusia. Polusi udara di bagi menjadi 2 yaitu :Polusi
udara dalam ruangan dapat menimbulkan ancaman kesehatan yang serius,
seperti semprotan minyak wangi, semprotan nyamuk, debu dalam lemari, dan
lain-lain. Menurut Studi EPA (Environment Protecting Agency/ Badan
Perlidungan Lingkungan Hidup) menunjukkan bahwa tingkat polusi udara
sebanyak 2-5 kali lebih tinggi udara dalam ruangan dibandingkan udara luar
ruangan. Tingkat tingginya polusi udara dalam ruangan menjadi perhatian
khusus, karena banyak orang yang menghabiskan sebanyak 90 persen dari waktu
mereka di dalam ruangan. Efek kesehatan polusi udara dalam ruangan bisa
menjadi lebih buruk bagi orang-orang dengan gangguan pernapasan seperti
asma.
Kualitas udara di luar ruangan merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang utama. Di luar ruangan, seperti polusi akibat zat kimia hasil pabrikan,
kendaraan bermotor, dan orang yang bekerja di lingkungan berdebu atau asap
14
dapat memicu serangan sesak napas yang berkepanjangan. Polusi udara di luar
ruangan memberikan efek yang merugikan kesehatan seperti penyakit jantung,
kanker, asma, penyakit pernapasan, dan bahkan kematian. Paling berisiko dari
polusi udara di luar ruangan adalah anak-anak, remaja, orang dewasa yang lebih
tua, dan orang dengan penyakit paru-paru, seperti asma dan penyakit paru
obstruktif kronis.
Kondisi cuaca yang berlawanan seperti temperatur dingin, tingginya
kelembaban dapat menyebabkan asma lebih parah, epidemik yang dapat
membuat asma menjadi lebih parah berhubungan dengan badai dan
meningkatnya konsentrasi partikel alergenik. Di mana partikel tersebut dapat
menyapu pollen sehingga terbawa oleh air dan udara. Perubahan tekanan
atmosfir dan suhu memperburuk asma dengan serangan sesak napas dan
pengeluaran lendir yang berlebihan. Ini umum terjadi ketika kelembaban tinggi,
hujan, badai selama musim dingin. Udara yang kering dan dingin menyebabkan
sesak disaluran pernafasan.13
15
Beberapa penelitian telah banyak dilakukan sejak tahun 1967 mengenai
perubahan gejala asma selama kehamilan. Schatz dkk dengan jumlah subjek 336
ibu hamil mendapatkan 35% terjadi perburukan gejala asma, 33% tidak ada
perubahan dan 28% terjadi perbaikan gejala asma.4
Penelitian dari Gluck&Gluck mendapatkan hubungan antara peningkatan
serum imunoglobulin E (IgE) dan perburukan gejala asma selama kehamilan.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa gejala asma dapat juga dipengaruhi oleh
janin. Beecroft dkk dengan uji prospektif tersamar meneliti 34 ibu hamil dengan
asma sedang dan berat yang mendapatkan terapi asma secara teratur
mendapatkan hasil bahwa ibu hamil dengan janin perempuan secara bermakna
mengeluhkan gejala sesak napas, terbangun malam hari, perburukan gejala batuk
dibandingkan ibu hamil dengan janin laki-laki dilaporkan lebih banyak
mengalami perbaikan gejala asma.4
2.2.6. Diagnosis
Diagnosis asma dapat ditegakkan dengan identifikasi karakteristik gejala
pernapasan yang dapat ditemukan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
selanjutnya apabila mengarah ke asma maka dilakukan pemeriksaan lanjutan
untuk menunjang diagnosis.
Anamnesis
Pada anamnesis akan dijumpai keluhan batuk, sesak, mengi, atau rasa
berat di dada. Terkadang pasien mengeluh hanya batuk saja yang dialami pada
malam hari atau pada saat berolahraga. Riwayat alergi pada pasien ataupun pada
keluarga seperti rhinitis alergi, dan dermatitis atopi juga dapat membantu dalam
penegakkan diagnosis.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan asma sering kali normal. Temuan
yang paling sering pada pasien asma adalah adanya mengi (wheezing) saat
auskultasi yang akan mengkonfirmasi adanya obstruksi jalan napas. Namun
pada beberapa pasien dengan asma, wheezing bisa saja tidak ada atau hanya
terdengar apabila pasien diinstruksikan untuk melakukan ekspirasi paksa.
16
Biasanya pada eksaserbasi asma berat, wheezing tidak terdengar karena
penurunan laju udara pada saluran napas dan ventilasinya, namun muncul tanda
eksaserbasi berat lainnya berupa sianosis, penurunan kesadaran, kesulitan
berbicara, takikardia, dada hiperinflasi.
Pemeriksaan Penunjang
Dalam praktiknya, diagnosis asma tidak sulit ditegakkan. Namun
pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang objektif.
Pemeriksaan yang dilakukan merupakan pengukuran faal paru yang memiliki
kegunaan sebagai konfirmasi diagnosis, membantu menilai gradasi penyakit,
dan monitoring perjalanan penyakit. Beberapa metode dapat dilakukan untuk
menilai hambatan udara yang terjadi pada paruparu, namun terdapat dua metode
yang secara luas dipergunakan yaitu:
1. Spirometri, (VEP1) (forced expiratory flow in 1 second FEV1) dan
kapasitas vital paksa (KVP) (forced vital capacity/ FEC)
Spirometri merupakan metode yang direkomendasikan untuk
mengukur gangguan jalur napas dan reversibilitasnya untuk menegakkan
diagnosis asma. Pengukuran VEP1 dan KVP dilakukan saat pasien
berekspirasi maksimal atau ekspirasi paksa menggunakan spirometri.
Derajat reversibilitas VEP1 yang mengindikasikan diagnosis asma adalah
sebesar 12% dan perbaikan 200ml dari nilai VEP1 sebelum pemberian
bronkodilator. Namun, tidak semua pasien menunjukkan reversibilitas pada
setiap pemeriksaan, sehingga pemeriksaan berulang disarankan untuk
dilakukan.
Spirometri termasuk alat yang mampu mencerminkan kondisi
saluran napas dengan baik namun dalam penggunaannya sangat bergantung
pada usaha dan teknik pasien. Oleh karena itu diperlukan instruksi yang
tepat dan menyeluruh bagaimana untuk melakukan manuver ekspirasi paksa
pada pasien dan mencatat 3 nilai tertinggi yang mampu dilakukan oleh
pasien.
17
2. Arus puncak ekspirasi (APE) (peak expiratory flow/ PEF).
Pengukuran faal paru akan menampilkan derajat dari obstruksi jalan
napas, reversibilitas, variabilitas, dan menyediakan data untuk konfirmasi
diagnosis asma. Reversibilitas secara umum dijelaskan sebagai perbaikan
cepat pada VEP1 atau APE yang diukur dalam beberapa menit setelah
inhalasi bronkodilator aksi cepat, sebagai contoh pemberian 200 – 400 mcg
salbutamol, atau perbaikan dalam kurun waktu hari hingga minggu setelah
pemberian terapi kontrol berupa inhalasi glukokortikosteroid. Pengukuran
APE dilakukan dengan menggunakan alat bernama peak flow meter yang
menjadi alat penting didalam diagnosis dan monitoring asma. Pada kondisi
ini nilai yang dianggap paling baik adalah saat pasien berada dalam fase
asimptomatis atau pada kondisi dengan terapi penuh dan nantinya akan
mampu memberikan data tentang efek perbaikan kondisi saluran napas oleh
pemberian terapi saat terjadinya eksaserbasi atau setelah maintenance-nya.
Diagnosis asma ditegakkan jika didapatkan hasil peningkatan 60cc/menit
setelah inhalasi bronkodilator atau ≥20% dibandingkan APE sebelum
diberikan bronkodilator atau variasi diurnal APE ≥20% (dengan 2 kali
pembacaan setiap paginya).11
18
Gambar 2.2. Pengaruh Asma Terhadap Kehamilan1
19
janin. Pada plasenta ibu hamil dengan asma yang tidak menggunakan ICS
didapatkan penurunan bermakna aktivitas enzim 11β-HSD2 yang
berhubungan dengan penurunan pertumbuhan janin.
Pelepasan mediator inflamasi dari ibu hamil dengan asma juga
dapat berperan dalam mekanisme terjadi BBLR dan persalinan prematur.
Penelitian Murphy dkk. pada ibu hamil dengan asma mendapatkan
peningkatan rasio sel T-helper (Th) 2: Th1 di plasenta ibu hamil yang tidak
menggunakan ICS. Merokok juga sering dihubungkan dengan kejadian
BBLR terutama pada ibu hamil dengan asma dibanding bukan asma.
Hiperaktivitas otot polos bronkus dan miometrium diperkirakan berperan
dalam kejadian kelahiran prematur ibu dengan asma sehingga penanganan
asma selama kehamilan untuk mencegah terjadi serangan dapat
meningkatkan hasil akhir perinatal.
Banyak penelitian membuktikan bahwa tidak didapatkan efek
samping bermakna penggunaan ICS terhadap pertumbuhan janin pada ibu
hamil dengan asma. Tatalaksana asma dengan ICS dapat menghindari
kejadian tidak diinginkan selama kehamilan.4
20
Gambar 2.3. Pengaruh Kehamilan Terhadap Asma
22
Gambar 2.4. Mekanisme Pengaruh Kehamilan Terhadap Asma
23
Semua obat asma secara umum dapat dipakai saat kehamilan kecuali
komponen alfa-adrenergik, bromfeniramin dan epinefrin. Obat inhalasi
kortikosteroid inhalasi sangat bermanfaat untuk mengontrol asma dan mencegah
serangan akut terutama saat kehamilan. Obat inhalasi agonis beta-2, leukotrien
dan teofilin dengan kadar yang termonitor dalam darah terbukti tidak
meningkatkan kejadian abnormalitas janin.
Pemilihan obat asma pada pasien yang hamil dianjurkan berupa obat
inhalasi dan sebaiknya memakai obat-obat asma yang pernah dipakai pada
kehamilan sebelumnya yang sudah terdokumentasi dan terbukti aman. Telah
banyak bukti keamanan penggunaan obat asma selama kehamilan yaitu beta-2
agonis kerja cepat, teofilin dan ICS. Keamanan steroid oral untuk asma selama
kehamilan masih belum jelas seperti terlihat pada dua penelitian kohort
prospektif berkala besar yang mendapatkan hubungan antara penggunaan steroid
oral dan peningkatan risiko persalinan prematur. Penelitian yang ada tidak
didapatkan perubahan perkembangan janin pada ibu hamil yang menggunakan
beklometason, budesonid atau flutikason dibandingkan dengan kontrol namun
hingga saat ini belum ada studi spesifik meneliti pengaruh beta2 agonis kerja
lama (salmeterol, formoterol) secara tunggal atau kombinasi dengan ICS selama
kehamilan.
Eksaserbasi akut yang terjadi harus segera diatasi agresif dengan
pemberian oksigen, agonis beta-2 kerja singkat secara nebulisasi dan
kortikosteroid sistemik jika ada indikasi. Pasien dan keluarga diupayakan
berperan aktif dalam mencegah eksaserbasi melalui kontrol lingkungan dan
melakukan pengobatan sesuai perencanaan yang dibicarakan bersama antara
dokter, pasien dan keluarga.
Tatalaksana asma intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan
persisten berat selama kehamilan tidak berbeda dengan tanpa kehamilan. Pasien
dengan asma intermiten dapat menggunakan inhalasi beta-2 agonis untuk
menghilangkan gejala dan tidak memerlukan obat pengontrol. Asma persisten
ringan dberikan inhalasi kortikosteroid dosis rendah atau teofilin lepas lambat
selain beta-2 agonis. Pada asma persisten sedang diberikan inhalasi
24
kortikosteroid dosis sedang ditambah bronkodilator kerja lama untuk
mengontrol gejala asma. Pada asma persisten berat memerlukan tatalaksana
terapi yang lebih kompleks dan obat obatan yang optimal yaitu kortikosteroid
dosis tinggi dikombinasi dengan inhalasi beta-2 agonis kerja lama atau teofilin
lepas lambat. Terapi eksaserbasi akut asma pada pasien dengan kehamilan sama
dengan yang tidak hamil termasuk pemberian kortikosteroid sistemik.4
Obat Asma Pada Kehamilan
1. β2-Agonis Kerja Singkat
Obat short acting β2-agonist (SABA) adalah terapi utama pelega saat
terjadi serangan asma pada semua derajat berat asma. Obat SABA bekerja dengan
menstimulus reseptor β2 pada jalan napas sehingga terjadi relaksasi otot polos
dan bronkodilatasi. Obat ini mempunyai onset kerja cepat (5-15 menit) dan masa
kerja pendek (3-6 jam) sehingga digunakan sebagai obat pelega. Obat SABA
masuk dalam kategori C pada daftar obat kehamilan namun dari hasil penelitian
telaah sistematis American Congress of Obstretricians and Gynecologists
(ACOG) dan National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) berkesimpulan
bahwa penggunaan SABA sebagai pelega serangan asma dikategorikan aman
untuk kehamilan.
Salbutamol atau albuterol direkomendasikan sebagai obat pelega pada
kehamilan. Para ibu hamil harus di edukasi pentingnya selalu menyediakan
salbutamol sebagai obat pelega bila dibutuhkan. Salbutamol dapat digunakan 2-
6 puff dengan 20 menit interval sampai dengan 2 dosis bila ada keluhan sesak
dan bila sesak tidak berkurang atau ada penurunan aktivitas janin maka harus
segera mencari bantuan medis.
2. Kortikosteroid Inhalasi (Inhaled Corticosteroids/ ICS)
Kortikosteroid inhalasi merupakan obat pelega utama pasien asma
persisten, demikian juga untuk ibu hamil dengan asma persisten. Penggunaan
ICS secara teratur dapat menurunkan nilai gejala asma, angka serangan dan
frekuensi gejala.
Kortikosteroid inhalasi dapat mengontrol inflamasi pada asma dengan
menghambat sel inflamasi dan mempunyai masa kerja 24 jam sampai 2 minggu.
25
Kortikosteroid inhalasi sebaiknya digunakan secara teratur sehingga dapat
bekerja optimal. Efek samping lokal yang paling sering terjadi akibat
penggunaan ICS yaitu kandidiasis oral sehingga disarankan selalu kumur air
setiap kali selesai menggunakan kortikosteroid inhalasi. Efek sistemik pada
penggunaan ICS biasanya berhubungan dengan penggunaan jangka panjang
dosis tinggi. Kortikosteroid inhalasi termasuk kategori C obat kehamilan namun
dipertimbangkan aman digunakan ibu hamil untuk dosis rendah dan sedang.
3. Kombinasi Kortikosteroid Inhalasi dan Long Acting β2-Agonist
(LABACs)
Obat LABA lebih disarankan daripada menambahkan teofilin atau
Leukotriene Receptor Antagonists (LTRA) sebagai obat pengontrol. Mekanisme
kerja dan efek samping LABA sama dengan SABA tapi masa kerjanya lebih lama
sekitar 5,5 sampai 10 jam. Penggunaan LABA pada pasien asma harus bersamaan
dengan ICS. Kombinasi ICS dan LABA masuk kategori C obat kehamilan dan
penggunaannya masih diperdebatkan. Penelitian telaah sistematis yang
mendukung keamanan nya mendapatkan bahwa tidak ada hubungan bermakna
antara ICS dan LABA dengan malformasi kongenital, BBLR, kelahiran prematur
atau janin kecil tidak sesuai usia kehamilan pada beberapa penelitian utama yang
sudah ada.
4. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)
Obat golongan leukotriene receptor antagonist (LTRA) adalah montelukast
dan zafirlukast merupakan terapi alternatif obat pengontrol untuk asma
persisten. Mekanisme kerja LTRA dengan menghambat ikatan leukotrien
dengan reseptor sehingga terjadi edem jalan napas, kontraksi otot polos dan
inflamasi. Efek samping penggunaan LTRA antara lain sakit kepala, nyeri
perut, eksim, laringitis, sakit gigi dan dizziness. Obat LTRA termasuk obat
kehamilan kategori B. Penelitian tentang keamanan penggunaan montelukast
pada kehamilan tidak menemukan kejadian keguguran ataupun kematian
janin.4
26
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Ny. E
Umur : 37 tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Alamat : Jl. Kemas Rindu, Kertapati
MRS : 21 September 2022, Pukul 17.00 WIB
No. RM : 58.14.46
Identitas Suami
Nama : Tn. A
Umur : 37 tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Pedagang
Agama : Islam
Alamat : Jl. Kemas Rindu, Kertapati
3.2. Anamnesis
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 21 September 2022.
A. Keluhan Utama
Hamil kurang bulan dengan keluhan rasa mules yang menjalar ke
pinggang.
27
B. Riwayat Perjalanan Penyakit
Os datang dengan keluhan mules yang menjalar ke pinggang
disertai keluar lendir bercampur darah yang diikuti keluarnya darah
berwarna merah segar dengan banyak nya 1 kali ganti pembalut sejak 2
jam SMRS. Keluhan ini baru pertama kali dialami. Os mengaku tidak
ada keluar air air dari jalan lahir. Os mengaku hamil kurang bulan dengan
gerakan janin masih dirasakan.
Os mengidap asma sejak 2010, serangan asma sering muncul saat
os terkena debu dan kedinginan. Os mengaku selama kehamilan ini dua
kali mengalami serangan asma yang membuatnya datang ke RS. Saat
timbul serangan os mengaku mengalami sesak nafas sampai mengganggu
aktivitas.
E. Riwayat Menstruasi
Usia Menarke : 14 tahun
Sikluas Haid : 28-30 hari
Lama Haid : 5-7 hari, 2 kali ganti pembalut/hari
Keluhan Saat Haid : Tidak ada
HPHT : 15 Februari 2022
TP : 22 November 2022
28
F. Riwayat Perkawinan
Status Pernikahan : 2x
Lama Menikah :1. 6 tahun (2001-2007)
2. 12 tahun (2010-2022)
Usia saat Menikah :1. 16 tahun
2. 25 tahun
G. Riwayat Kontrasepsi
KB suntik dari tahun 2014-2021.
H. Riwayat ANC
5 kali ke puskesmas.
29
B. Keadaan Spesik
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemi (-/-), Sklera ikterik (-/-) Edema
periorbital (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran kelenjar thyroid (-)
Thorax : Inspeksi : Simetris, Retraksi sela iga (-)
Palpasi : Stem fremitus (+/+) Sama kanan dan kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+) Ronki (-/-) Wheezing (-/-)
Cor : Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I/II (+/+) normal, regular.
Murmur (-) gallop (-)
Abdomen : Inspeksi : Cembung, linea nigra (+) Striae
gravidarum (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Hepar lien tidak teraba pembesaran
Genitalia : Bloody Show (+), lesi (-)
Ekstremitas : Akral dingin (-/-) Edema (-/-)
C. Status Obstetri
Pemeriksaan Luar
Abdomen : Striae gravidarum (+), bekas operasi (-)
Leopold I : Perut tampak buncit, TFU 4 jari dibawah processus
xhypoideus, teraba bagian janin lunak, tidak mudah
digerakkan dan tidak melenting (kesan bokong).
Leopold II : Teraba bagian keras, memanjang dan datar seperti
papan di kanan perut ibu (punggung janin) dan
30
teraba bagian lunak yang kecil kecil dibagian kiri
(ekstremitas).
Leopold III : Teraba bagian janin bulat, keras dan melenting,
kesan kepala
Leopold IV : Konvergen (belum masuk PAP)
HIS : 1/10’/20”
DJJ : 135x/ menit
TFU : 30 cm
TBJ : 2635 gram
Pemeriksaan Dalam
Vaginal Toucher:
• Pembukaan : kuncup
• Pendataran : 0%
• Selaput ketuban : belum dapat dinilai
• Presentasi : belum dapat dinilai
• Penunjuk : Belum dapat dinilai
• Molase : Belum dapat dinilai
• Hodge : Belum dapat dinilai
31
Neutrofil 76,8 40-60%
Limfosit 11,9 20 – 50%
Monosit 8,3 2 – 8%
Ratio N/L 6,5 < 3,13
Golongan Darah+Rhesus
Golongan Darah A
Rhesus Positif
Masa pembekuan/CT 8 < 15 menit
Masa perdarahan/BT 2 < 6 menit
Kimia Klinik
Glukosa Darah Sewaktu 87 70-140 mg/dl
Imunologi
Antigen SARS-CoV-2 Negatif Negatif
2. Pemeriksaan Urin
Urin Rutin
Makroskopis
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Jernih
Ph 7,5 4.5–7,5
Berat Jenis 1.015 1 - 1,05
Glukosa Negatif Negatif
Protein Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Positif
Urobilinogen Negatif Negatif
Darah Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Sedimen
Eritrosit 5 <3
Leukosit 4-5 <5
Epitel 2-3 1 – 15
32
Silinder Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Lain-lain Negatif Negatif
3.6 Penatalaksanaan
- Observasi Keadaan Umum, Tanda Vital Ibu, DJJ, HIS, pendarahan.
- IVFD Ringer Laktat 500 cc gtt 20x/menit
- Cek Laboratorium Darah Rutin, Urin Rutin, swab antigen SARS COV-2
- Inj. Dexametason 1x2 amp
- Inj. Asam traneksamat 1x500 mg
- Nifedipine 3x10 mg
3.7 Follow up
Tanggal Follow Up Keterangan
22 Sept 2022 S: Os mengeluh sesak. Th/
Pukul 07.00 WIB - Observasi Keadaan Umum,
O: Tanda Vital Ibu, DJJ, His
KU: Baik - IVFD Ringer Laktat 500 cc
TD: 120/80 mmHg gtt 20x/menit
HR: 70 x/menit - Tirah baring
RR: 24 x/menit - Konsul Sp.PD
T: 36,4ºC - Nifedipine 3x10 mg
DJJ: 147x/ menit - Ventolin 1x1 nebu
HIS: (-) - Ambroxol syrup 3x1
Perdarahan : (-)
33
A: G3P2A0 Hamil 31-32
minggu dengan PPI +
Asma Bronkial Janin
Tunggal Hidup Presentasi
Kepala
23 Sept 2022 S: Os mengatakan sesak Th/
Pukul 07.00 WIB sudah berkurang - Observasi Keadaan Umum,
Tanda Vital Ibu, DJJ, His
O: - IVFD Ringer Laktat 500 cc
KU: Baik gtt 20x/menit
TD: 130/70 mmHg - Tirah baring
HR: 76 x/menit - Nifedipine 3x10 mg
RR: 20 x/menit - Pulmicort 2x1 nebu
T: 36,7ºC - Ventolin 1x1 nebu
DJJ: 153x/ menit
HIS: (-)
Perdarahan : (-)
34
DJJ: 144x/ menit
HIS: (-)
Perdarahan : (-) A/
- Ventolin 1x1 nebu
- Amboroxol syrup 3x1
A: G3P2A0 Hamil 31-32
minggu dengan PPI + Asma
Bronkial Janin Tunggal
Hidup Presentasi Kepala
35
BAB IV
ANALISA KASUS
37
bahwa pemakaian kortikosteroid dapat menurunkan kejadian RDS, kematian
neonatal dan perdarahan intraventrikuler (IVH). Dianjurkan pada kehamilan
28-37 minggu.8
Pasien juga diberikan Inj. Asam Traneksamat 1x500 mg. Asam
traneksamat adalah analog lisin sintetis, dan antifibrinolitik yang digunakan
untuk mencegah dan mengelola perdarahan pada kehamilan dan perdarahan
vagina, terlepas dari apakah perdarahan tersebut disebabkan oleh trauma
saluran genital atau penyebab lainnya.14
Penatalaksanaan pada pasien ini sudah adekuat dengan mempertahankan
kehamilan sehingga janin dapat lahir aterm mungkin dengan pemberian obat
tokolitik dan pematangan paru.
38
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan
terapi yang diberikan dapat disimpulkan bahwa:
1. Diagnosis pada kasus ini sudah tepat.
2. Penatalaksanaan kasus ini sudah adekuat.
5.2 Saran
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa:
1. Dalam memberikan tatalaksana pada kasus partus prematurus imminens
harus segera di tatalaksana segera setelah diagnosis ditegakkan agar dapat
menghindari terjadinya kelahiran premature.
2. Lakukan edukasi kepada penderita untuk menghindari faktor yang dapat
menyebabkan timbulnya gejala baik itu gejala partus prematurus imminens
atau serangan asma.
39
DAFTAR PUSTAKA
40
11. Cuningham, F.G., Gant, N.F, Leveno, K.J, Gilstrap III LC, Hauth, JC.,
Wenstrom KD. Williams Obstetrics Edisi ke 23. New York : McGraw-Hill.
2014.
12. Kuruvilla, dkk. Epidemiology and Risk Factors for Asthma. Respiratory
Medicine 149 (2019) 16–22. Division of Pulmonary, Allergy, Critical Care
& Sleep Medicine, Emory University, USA. 2019.
13. Laksana MA, dan Berawi KN. Faktor-faktor yang Berpengaruh Pada
Timbulnya Kejadian Sesak Napas Penderita Asma Bronkial. Jurnal
Majority Vol 4 No 9. 2015
14. Zanco, J. Tranexamic acid for antenatal bleeding of unknown origin in the
second and third trimesters: A prospective clinical trial. Journal Medicine.
Vol. 25, No. (2). 2021.
41