PROPOSAL SKRIPSI
FAKULTAS KEBIDANAN
PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN
INSTITUT KESEHATAN RAJAWALI
BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi
yang berjudul “Hubungan Pemberian ASI Ekslusif, Berat Badan Lahir Rendah
Dan Pola Asuh Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Diwilayah Kerja
Puskesmas Buniwangi Kabupaten Sukabumi Tahun 2022”. proposal skripsi ini
disusun untuk memperoleh gelar sarjana kebidanan.
Tidak sedikit rintangan yang penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini,
baik dalam teknik penulisan maupun dalam pengumpulan dan pengolahan data.
Berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat
mengatasi kesulitan tersebut, penulis banyak mendapatkan pengarahan dari
berbagai pihak, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada
yang terhormat:
1 Tonika Tohri, S.Kp., M.Kes. Selaku Rektor Institut Kesehatan Rajawali;
2 Dr Eny Kusmiran, S.Kp., M.Kes. Selaku Wakil I Rektor Institut Kesehatan
Rajawali;
3 Yogiyanto,SKM.,MM. Selaku Kepala Puskesmas Buniwangi
4 Erni Hernawati, S.S.T., M.M., M.Keb. Selaku Dekan Fakultas Kebidanan
Institut Kesehatan Rajawali;
5 Lia Kamila, S.S.T.,M.Keb. Selaku Penanggung Jawab Program Studi Sarjana
Kebidanan Institut Kesehatan Rajawali;
6 Intan Karlina, S.ST, Bd., M.Keb., selaku Pembimbing utama;
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
iv
DAFTAR TABEL
1
2
yang dilakukan oleh Nuzurul Rahmi (2021) yang dilakukan pada balita usia
23-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Padang Tiji didapatkan hasil adanya
hubungan yang signifikan antara pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian
stunting.
Pola asuh yang diterapkan orang tua pada anaknya memberikan
pengaruh cukup besar dalam kehidupan anak di masa mendatang. Pola asuh
terkait dengan pemahaman dan pengetahuan ibu tentang pola asuh yang
benar. Ibu dengan pemahaman dan pengetahuan yang baik, maka pola asuh
yang diterapkan dengan baik pada anak dan keluarganya, karena dengan pola
asuh yang baik ibu akan lebih faham dan mengerti tentang kebutuhan gizi
untuk anak dan keluarganya. Hal ini diperkuat oleh penelitan yang dilakukan
oleh Ilya Krisnana (2020) menunjukkan pola asuh dengan kejadian stunting
baik demokratis, otoritatif dan permisif dapat disimpulkan bahwa pola asuh
yang baik berpengaruh dalam hal pemahaman seorang ibu dalam mengurus
anaknya baik dari kebutuhan, dan status gizinya. Penelitian lainnya yang
dilakukan oleh Evy Noorhasanah dan Nor Isna Tauhidah (2021) menunjukan
sebanyak 55,7% responden dengan pola asuh buruk memiliki anak pendek
dan sangat pendek dan terdapat hubungan pola asuh ibu dengan kejadian
stunting anak usia 12-59 bulan.
Stunting dapat terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru
nampak saat anak berusia dua tahun, biasanya anak terlahir dengan BBLR
sehingga dalam tahap pertumbuhan dan perkemabanganya kuran optimal
menyebabkan terjadinya stunting, pendapat ini diperkuat dengan penelitian
yang dilakukan oleh Erna Eka Wijayanti (2019) Hasil penelitian menunjukan
balita yang BBLR seluruhnya mengalami stunting sebanyak 28 responden
(100%) dan balita yang tidak mendapatkan ASI Esklusif hampir seluruhnya
mengalami stunting sebanyak 44 responden (94%). Stunting masih menjadi
permasalahan kehidupan balita saat ini, stunting yang dialami oleh balita
dapat berdampak buruk saat balita besar dan dewasa kelak. Dampak balita
stunting dapat menurunkan kecerdasan sehingga dapat menurunkan kualitas
6
sumber daya manusia di masa depan. BBLR diduga sebagai faktor resiko
terjadinya stunting pada balita(Candra Murti, 2020).
Penelitian yang dilakukan oleh Evy Noorhasanah dan Nor Isna
Tauhidah (2021) dengan judul Hubungan Pola Asuh Ibu Dengan Kejadian
Stunting Anak Usia 12-59 Bulan, menunjukan sebanyak 55,7% responden
dengan pola asuh buruk memiliki anak pendek dan sangat pendek dan
terdapat hubungan pola asuh ibu dengan kejadian stunting anak usia 12-59
bulan.
Berdasarkan hasil Bulan Penimbangan Balita (BPB) di Kabupaten
Sukabumi, Puskesmas Buniwangi masih banyak balita yang stunting.
Prevalensi stunting pada tahun 2022 di Puskesmas Buniwangi sebesar 10,6%
atau 315 balita dari total 2970 balita dan wasting sebanyak 86 balita, angka
tersebut masih bawah target dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi yaitu
< 10% (Dinkes Kabupaten Sukabumi, 2022). Berdasarkan hasil studi
pendahuluan yang dilakukan pada 10 balita yang 6 balita dengan riwayat
berat badan lahir rendah dan tidak diberikan ASI ekslusif, 2 balita lahir
dengan berat badan normal tetapi tidak diberikan ASI ekslusif, 2 balita yang
pola asuhnya kurang baik seperti balitanya yang dibiasakan mengkonsumsi
ciki permen karena anaknya tidak mau makan, dan memberikan makanan
yang tidak sesuai dengan usianya seperti mie instan sudah diberikan pada usia
1 tahun.
2.1 Balita
2.1.1 Pengertian
Balita adalah anak yang berumur 0-59 bulan, pada masa ini
ditandai dengan proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat
pesat dan disertai dengan perubahan yang memerlukan zat-zat gizi yang
jumlahnya lebih banyak dengan kualitas yang tinggi. Akan tetapi, balita
termasuk kelompok yang rawan gizi serta mudah menderita kelainan
gizi karena kekurangan makanan yang dibutuhkan. Konsumsi makanan
memegang peranan penting dalam pertumbuhan fisik dan kecerdasan
anak sehingga konsumsi makanan berpengaruh besar terhadap status
gizi anak untuk mencapai pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak
(Ariani, 2017).
Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu
tahun atau lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah lima
tahun. Menurut Sediaotomo (2010), balita adalah istilah umum bagi
anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak pra sekolah (3-5 tahun). Saat usia
batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan
kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan
berbicara dan berjalan sudah bertambah baik, namun kemampuan lain
masih terbatas. Masa balita merupakan periode penting dalam proses
tumbuh kembang manusia. Perkembangan dan pertumbuhan pasa masa
itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak
pada periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan
masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang kembali,
karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2018) menjelaskan
balita merupakan usia dimana anak mengalami pertumbuhan dan
perkembangan yang pesat. Proses pertumbuhan dan perkembangan
9
10
2.1.2 Karakteristik
Balita adalah anak usia kurang dari lima tahun sehingga bayi
usia di bawah satu tahun juga termasuk golongan ini. Balita usia 1-5
tahun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu anak usia lebih dari satu
tahun sampai tiga tahun yang yang dikenal dengan batita dan anak usia
lebih dari tiga tahun sampai lima tahun yang dikenal dengan usia pra
sekolah (Proverawati & Wati, 2013).
Menurut karakterisik, balita terbagi dalam dua kategori, yaitu
anak usia 1- 3 tahun (batita) dan anak usia pra sekolah. Anak usia 1-3
tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari
apa yang disediakan oleh ibunya (Sodiaotomo, 2010).
Laju pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa usia pra
sekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar. Pola
makan yang diberikan sebaiknya dalam porsi kecil dengan frekuensi
sering karena perut balita masih kecil sehingga tidak mampu menerima
jumlah makanan dalam sekali makan (Proverawati & Wati, 2010).
2.2 Stunting
2.2.1 Definisi Stunting
Stunting merupakan sebuah masalah kurang gizi kronis yang
disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama,
hal ini menyebabkan adanya gangguan di masa yang akan datang yakni
mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif
yang optimal. Anak stunting mempunyai Intelligence Quotient (IQ)
lebih rendah dibandingkan rata – rata IQ anak normal (Kemenkes RI,
2018).
Stunting didefinisikan sebagai keadaan dimana status gizi pada
anak menurut TB/U dengan hasil nilai Z Score = <-2 SD, hal ini
menunjukan keadaan tubuh yang pendek atau sangat pendek hasil dari
gagal pertumbuhan. Stunting pada anak juga menjadi salah satu faktor
risiko terjadinya kematian, masalah perkembangan motorik yang
rendah, kemampuan berbahasa yang rendah, dan adanya
ketidakseimbangan fungsional (Anwar, Khomsan, dan Mauludyani,
2014).
Stunting menjadi masalah gagal tumbuh yang dialami oleh bayi
di bawah lima tahun yang mengalami kurang gizi semenjak di dalam
kandungan hingga awal bayi lahir, stunting sendiri akan mulai nampak
ketika bayi berusia dua tahun (Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan, 2017). Sesuai dengan yang dikemukakan
oleh Schmidt bahwa stunting ini merupakan masalah kurang gizi
dengan periode yang cukup lama sehingga muncul gangguan
12
pertumbuhan tinggi badan pada anak yang lebih rendah atau pendek
(kerdil) dari standar usianya (Schmidt, 2014).
Stunting didefinisikan sebagai tinggi badan menurut usia di
bawah –2 standar median kurva pertumbuhan anak (Fikawati dkk,
2017). Seorang anak dikatakan pendek apabila berdasarkan perhitungan
indeks TB/U dia berada rentang -2 SD sampai -3-SD, sedangkan
dikatakan sangat pendek apabila perhitungan indeks TB/U nilainya < -
3 SD (Purnamasari, 2018).
diantaranya :
1. Mengurangi kemiskinan dan kelaparan karena ASI sangat ekonomis tidak
seperti susu formula yang membutuhkan biaya tinggi untuk membelinya (Monika,
2016 : 10). Tidak perlu uang untuk membeli susu formula, botol susu, minyak
atau merebus air, susu ataupun peralatan (Ratih, 2009 : 61).
2. Mengurangi anggaran biaya perawatan baik anggaran rumah tangga atau
anggaran perusahaan tempat ibu / ayah bekerja ( Monika, 2016 : 10). Menghemat
waktu keluarga apabila bayi selalu sehat (Ratih, 2009 : 61).
3. Lebih praktis bila berpergian tidak perlu membawa botol, susu, air panas,
dan lain-lain (Ratih, 2009 : 61).
4. Mengurangi penggunaan energi ( yang diperlukan untuk memproduksi
susu formula di pabrik ) dan tidak membahayakan lingkungan (tidak ada sampah
kemasan plastik) (Monika, 2016 : 10).
c. Untuk Masyarakat dan Negara
1. Menghemat devisa negara karena tidak perlu mengimpor susu formula dan
peralatan lain untuk persiapannya.
2. Bayi sehat membuat negara lebih sehat.
3. Terjadi penghematan pada sektor kesehatan karena jumlah bayi sakit lebih
sedikit.
4. Memperbaiki kelangsungan hidup anak dengan menurunkan kematian.
5. Melindungi lingkungan karena tak ada pohon yang digunakan sebagai
kayu bakar untuk merebus air, susu dan peralatannya.
6. ASI adalah sumber daya yang terus menerus diproduksi dan baru.
a. Protein
Kadar protein didalam ASI tidak terlalu tinggi namun
mempunyai peranan yang sangat penting. Di dalam ASI protein
berada dalam bentuk senyawa-senyawa sederhana, berupa asam
amino (Nurhaeni, 2009 : 40). Protein adalah bahan baku untuk
tumbuh, kualitas protein sangat penting selama tahun pertama
kehidupan bayi, karena pada saat ini pertumbuhan bayi paling cepat.
Air susu ibu mengandung protein khusus yang dirancang untuk
pertumbuhan bayi. ASI mengandung total protein lebih rendah tetapi
lebih banyak protein yang halus, lembut dan mudah dicerna.
Komposisi inilah yang membentuk gumpalan lebih lunak yang
mudah dicerna dan diserap oleh bayi (Haryono, dan Setianingsih,
2014 : 18). Protein ASI disusun terbesar oleh : laktalbumin,
laktalglobulin, lactoferrin, dsb yang digunakan untuk pembuatan
enzim anti bakteri (Mangku, 2013 : 36 ). Rasio protein ASI adalah
60:40 sedangkan rasio protein susu sapi hanya 20:80. ASI
mengandung asam amino essential taurin yang tinggi, kadar
metiolin, tirosin, dan fenilalanin ASI lebih rendah dari susu sapi
akan tetapi kadar sistin jauh lebih tinggi. Kadar poliamin dan
nukleotid yang penting untuk sintesis protein (Bahiyatun, 2009 : 13).
b. Lemak
Lemak ASI adalah komponen yang dapat berubah-ubah
kadarnya kadar lemak bervariasi disesuaikan dengan kebutuhan
kalori untuk bayi yang sedang tumbuh. Merupakan sumber kalori
(energi) utama yang terkandung di dalam ASI. Meskipun kadarnya
di dalam ASI cukup tinggi, namun senyawa lemak tersebut mudah
diserap oleh saluran pencernaan bayi yang belum berkembang secara
sempuurna. Hal ini disebabkan karena lemak didalam ASI
merupakan lemak yang sederhana struktur zatnya (jika dikaji dari
sisi ilmu kimia) tidak bercabang-cabang sehingga mudah melewati
saluran pencernan bayi yang belum berfungsi secara optimal
35
(Nurhaeni, 2009 : 39). ASI yang pertama kali keluar disebut susu
mula (foremilk). Cairan ini kira-kira mengandung 1-2% lemak dan
tampak encer. ASI berikutnya disebut susu belakang (hindmilk) yang
mengandung lemak paling sedikit tiga seperempatkali lebih banyak
dari susu formula. Cairan ini memberikan hampir seluruh energi
(Haryono, dan Setianingsih, 2014 : 19).
c. Karbohidrat
Laktosa merupakan komponen utama karbohidrat dalam ASI.
Kandungan laktosa dalam ASI lebih banyak dibandingkan dengan
susu sapi. Laktosa ini jika telah berada di dalam saluran pencernaa
bayi akan dihidrolisis menjadi zat-zat yang lebih sederhana yaitu
glukosa dan galaktosa). Kedua zat inilah yang nanti akan diserap
oleh usus bayi, dan sebagai zat penghasil energi tinggi (Nurhaeni,
2009 : 39). Selain merupakan sumber energi yang mudah dicerna,
beberapa laktosa diubah menjadi asam laktat, asam ini membantu
mencegah pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan dan membantu
dalam penyerapan kalsium dan mineral lainnya (Haryono, dan
Setianingsih, 2014 : 19).
d. Mineral
ASI mengandung mineral yang lengkap. Walaupun kadarnya
relatif rendah tetapi cukup untuk bayi sampai umur 6 bulan. Kadar
kalsium, natrium, kalium, fosfor, dan klorida yang lebih rendah
dibandingkan dengan susu sapi, tetapi dengan jumlah itu sudah
cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi bahkan mudah diserap
tubuh. Kandungan mineral pada susu sapi memang cukup tinggi,
tetapi hal tersebut justru berbahaya karena apabila sebagian besar
tidak dapat diserap maka akan memperberat kerja usus bayi dan akan
mengganggu sistem keseimbangan dalam pencernaan (Lesmana,
Sandi, Mera & Nisman, 2011 : 12). Jenis mineral essensial ( vital )
lain yang terkandung di dalam ASI, yaitu senyawa seng (Zn).
Senyawa ini dibutuhkan oleh tubuh bayi untuk mendukung
36
2.4 BBLR
2.4.1 Pengertian
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir dengan
berat badan kurang dari 2.500 gram tanpa memandang masa kehamilan.
Dahulu neonatus dengan berat badan lahir kurang 2500 gram atau sama
dengan 2500 gram disebut premature. Pembagian menurut berat badan
ini sangat mudah tetapi tidak memuaskan. Sehingga lambat laun
diketahui bahwa tingkat morbiditas dan mortalitas pada neonatus tidak
hanya bergantung pada berat badan lahir saja, tetapi juga pada tingkat
maturitas bayi itu sendiri (WHO, 2014).
42
2.4.2 Klasifikasi
Klasifikasi BBLR menurut (Tando, 2016) ada beberapa cara
dalam mengelompokkannya yaitu:
a. Klasifikasi BBLR menurut harapan hidupnya:
1. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) berat lahir 1500-2500 gr
2. Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR) berat lahir 1000-1500
gr
3. Bayi Berat Lahir Ekstrim Rendah (BBLR) berat lahir 1000 gr
b. Menurut masa gestasinya:
1) Prematuritas murni: Masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan
berat badanya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi berat
atau biasa disebut neonatus kurang bulan sesuai untuk masa
kehamilan.
2) Dismaturitas: Bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat
badan seharusnya untuk masa gestasi itu. Berat bayi mengalami
retardasi 8 pertumbuhan intrauterin dan merupakan bayi yang
kecil untuk masa kehamilannya (Proverawati & Ismawati, 2012).
2.6.1 Definisi
pelayanan dari kesehatan ibu dan anak. Bidan adalah salah satu tenaga
yang memberikan pengawasan untuk memastikan bahwa nutrisi dan
program pendidikan kesehatan reproduksi berlanjut melaui 2 tahun
pertama kehidupan bayi, pertumbuhan dan perkembangan bayi, dapat
membantu mencegah stunting. Peran bidan dalam pencegahan stunting
ini meliputi intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif.
Intervensi gizi spesifik merupakan intervensi yang ditujukan kepada
anak dalam 1000 hari pertama kelahiran (PKH) dan berkontribusi pada
30% penuruan stunting. Sedangkan intervensi gizi sensitive merupakan
intervensi yang dilakukan menanggulangi penyebab tidak langsung
terjadinya stunting, seperti lingkungan yang buruk, kurangnya akses
terhadap layanan kesehatan berkualitas, pola asuh yang tidak memadai
serta permasalahan ketahanan pangan ditingkat rumah tangga
(Kemenkes, 2017).
51
52
Keterangan :
n = Jumlah Sampel
N = Jumlah seluruh populasi
E = toleransi error 10%
Adapun Kisi-kisi angket pola asuh ibu dapat dilihat pada tabel
sebagai berikut :
Tabel. 3.3 kisi-kisi kuesioner pola asuh
Dimensi Indikator Jumlah
Dimandingness Pemantauan dalam memilih makanan 1
perilaku makan anak (monitoring) 2
pembatasan untuk mengendalikan berat 3
badan anak (retriction)
pembatasan asupan makan dalam porsi 3
makan (pressure to eat)
mendorong atau menuntut anak untuk 5
makan
merekomendasikan pencegahan dan 3
penanganan berat badan (child control)
Responsiveness pemberian contoh perilaku makan orang tua 3
kepada anak (item modelling)
pengaturan emosi saat makan (emotion 2
regulation)
pengajaran tentang kesehatan dan gizi 3
(teaching about nutrition)
makanan sebagai hadiah (food as a reward) 1
keterlibatan anak dalam pemilihan makanan 2
(involvement)
mendorong keseimbangan makanan dan 2
jenis makanan (enchourage balance and
variety)
Total Pernyataan 29
pengabaian.
2. Analisa Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk menganalisis dua variabel
yang diduga berhubungan atau berkolerasi (Notoatmodjo, 2018).
Analisa bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara
dua variabel independen dengan variabel dependen, untuk
mengetahui hubungan antara kedua variabel digunakan uji Chi-
square dengan derajat kepercayaan 95% (p < 0.05). Bila hasil
analisa diperoleh nilai p < 0.05 maka secara statistik disebut
bermakna dan jika nilai p > 0.05 maka hasil perhitungan disebut
tidak bermakna (Sastroasmoro, 2014).
Rumus Chi Square :
(0 - E) 2
X 2
=
E
Keterangan :
64
X2 : Chi Square
0 : Frekuensi yyang
E : Frekuensi yang diharapkan
Selain itu penelitian ini mencari OR (odd ratio) sebagai
penguat dalam hasil penelitian:
Tabel 3.6 Matriks Perhitungan Odds Ratio (OR)
Kejadian stunting
Tidak(kontrol
Ya (kasus) Jumlah
)
Pola Asuh Baik A B A+B
Kurang C D C+D
Jumlah A+C B+D A+B+C+D
3.8 Lokasi
Lokasi Penelitian ini akan dilakukan di wilayah kerja Puskesmas
Buniwangi Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, L.H dan Gillespie, S.R. What Works? A Review of The Efficacy and.
Effectiveness of Nutrition Intervensions. Manila: ABD. 2011.
Anggryni, M., Mardiah, W., Hermayanti, Y., Rakhmawati, W., Ramdhanie, G. G.,
& Mediani, H. S. (2021). Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age
dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang. Jurnal
Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5(2), 1764–1776. Available at:
URL: https://doi.org/10.31004/obsesi.v5i2.967
Anwar, F., Khomsan, A., & Mauludyani, A. Masalah dan Solusi Stunting Akibat
Kurang Gizi di Wilayah Pedesaan, PT Penerbit IPB Press, Bogor. 2014.
Ariani, Putri. AM. Keb. 2017. Ilmu Gizi. Yogyakarta: Nuha Medika.
Arifin. Panduan Ibu Cerdas ASI dan Tumbuh Kembang Bayi. MedPress Jakarta.
2012.
Astuti, E.P. 2017. Status Gizi Balita di posyandu Melati Desa Sendangadi Mlati
Sleman Yogyakarta. Jurnal Permata Indonesia. Vol. 8, No. 1. Mei 2017.
Hal: 18-23. Available at: URL:
http://jurnal.permataindonesia.ac.id/index.php/JPI/article/view/38
Dewi, Fatma. 2013. Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Status Gizi Balita di
Lingkungan VIII Kelurahan Sei. Agulmedan. Karya Tulis Ilmiah tidak
diterbitkan. Fakultas Keperawatan dan Kebidanan Universitas Prima,
Medan.
Erna Eka Wijayanti. Hubungan Antara BBLR, ASI Esklusif dengan Kejadian
Stunting Pada Balita Usia 2-5 Tahun. 2019. Available at: URL:
http://journal.stikesdrsoebandi.ac.id/index.php/jkds/article/view/138
Evy Noorhasanah dan Nor Isna Tauhidah. Hubungan Pola Asuh Ibu Dengan
Kejadian Stunting Anak Usia 12-59 Bulan. 2021. Available at: URL:
https://journal.ppnijateng.org/index.php/jika/article/view/959
Fatimah Chandra Murti dkk. Hubungan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 2-5 Tahun Di Desa
Umbulrejo, Ponjong, Gunung Kidul. JKK. Vol. 11 No. 2. 2020. Available
at: URL: https://jurnal.stikmuhptk.ac.id/index.php/JK2/article/view/120
66
Fikawati S, Syafiq A, Karima K. Gizi Ibu dan Bayi. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Persada. 2017.
Izzati, I.S. 2016. Hubungan Jenis Kelamin, Usia dan Riwayat Penyakit Infeksi
dengan Kejadian Stunting Anak di RSUD Tugurejo Semarang. Skripsi.
Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang. Available at: URL:
http://repository.unimus.ac.id
Kemenkes RI. 2011. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Kemenkes RI. 2016. Buku Saku Pemantauan Status Gizi dan Indikator Kinerja
Gizi Tahun 2016. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Mugianti, S. dkk. 2018. Faktor penyebab anak Stunting usia 25-60 bulan di
Kecamatan Sukorejo Kota Blitar. Jurnal Ners dan Kebidanan. Vol. 5. No.
3. Desember 2018. Hlm. 268–278. Available at: URL:
http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/article/download/374/pdf
Proverawati, A dan Wati, E K. 2010. Ilmu Gizi untuk Keperawatan dan Gizi
Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika.
Sari, A.A.I. 2017. Gambaran Status Gizi Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas
Sentolo I Kulon Progo Tahun 2016. Karya Tulis Ilmiah. Yogyakarta: Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Jenderal Achmad Yani.
Setyawati, V.A.V. 2018. Kajian Stunting Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin
Di Kota Semarang. Jurnal University Research Colloqium. Available at:
URL: http://repository.urecol.org/index.php/proceeding/article/view/273
Sulistyoningsih. Gizi untuk Kesehatan ibu dan anak. Edisi Pertama. Jakarta:
Graha Ilmu. 2011
Supariasa, I Dewa Nyoman., Bakri, Bachyar dan Fajar, Ibnu. 2012. Penilaian
Status Gizi. Jakarta: EGC.
Wong, Donna L, Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong (6 ed.). Jakarta: EGC,
2012
68
LAMPIRAN
69
INFORMED CONSENT
(PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN
PENELITIAN)
Nama :
Alamat :
No Telp :
Bandung , 2022
KUESIONER
HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSLUSIF, BBLR DAN POLA ASUH
DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA DI PUSKESMAS
BUNIWANGI KECAMATAN SURADE KABUPATEN SUKABUMI
B. Identitas Balita
Nama Anak : ………..…. (Inisial)
Usia anak : ................... Bulan
Berat Lahir anak :…………… gram
Tinggi Badan Anak : ................... cm
Berat Badan Anak : …………… kg
Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan
No Pernyataan SL SR JR TP
A Demangdingness
1 . Saya menentukan menu makanan yang akan
dikonsumsi anak
2 Saya berusaha mengingatkan anak untuk makan,
jika tidak mau makan saya akan memaksa anak
untuk tetap makan
3. Saya mengatakan kepada anak untuk makan sesuatu
yang ada diatas piring ("makan nasimu")
4. Saya mengambil makan dan menyuapi anak agar
tahu berapa banyak makanan yang dimakan anak
5. Saya melarang anak untuk memakan makanan yang
terlalu manis (gulali/permen/coklat)
6. Saya menekankan dengan keras bahwa anak tidak
boleh menyisakan makananan
7. Saya melarang anak untuk memakan aneka jajanan
di pinggir jalan karena tidak terjamin kebersihan dan
kandungan gizinya
8. Saya memarahi anak ketika memakan makanan
yang diberikan orang lain
9. Saya mengatakan kepada anak agar memakan
makanan yang tersedia di piring walaupun sedikit
10. Saya Mengharuskan anak untuk meminum susu
setelah makan siang
11. Jika anak tidak mau makan ibu memberi peringatan
tentang sesuatu yang lain selain makanan ("jika
kamu tidak menghabiskan makananmu kamu tidak
boleh bermain")
12. Saya memarahi anak ketika makanan yang
diberikan tersisa
13. Saya tetap menyuruh anak untuk memakan buah
72
Petunjuk :
Bacalah dengan teliti pertanyaan di bawah ini. Berilah tanda ceklist (√) pada
jawaban yang paling sesuai. Berikan jawaban dengan sejujurnya !
1 0
No. Pernyataan Ya Tidak