Anda di halaman 1dari 80

HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSLUSIF, BERAT

BADAN LAHIR RENDAH DAN POLA ASUH


DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA
BALITA DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS BUNIWANGI
KABUPATEN SUKABUMI
TAHUN 2022

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh


Gelar Sarjana Kebidanan

SENJA NOVALIA HASTUTI


6221499

FAKULTAS KEBIDANAN
PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN
INSTITUT KESEHATAN RAJAWALI
BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi
yang berjudul “Hubungan Pemberian ASI Ekslusif, Berat Badan Lahir Rendah
Dan Pola Asuh Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Diwilayah Kerja
Puskesmas Buniwangi Kabupaten Sukabumi Tahun 2022”. proposal skripsi ini
disusun untuk memperoleh gelar sarjana kebidanan.
Tidak sedikit rintangan yang penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini,
baik dalam teknik penulisan maupun dalam pengumpulan dan pengolahan data.
Berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat
mengatasi kesulitan tersebut, penulis banyak mendapatkan pengarahan dari
berbagai pihak, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada
yang terhormat:
1 Tonika Tohri, S.Kp., M.Kes. Selaku Rektor Institut Kesehatan Rajawali;
2 Dr Eny Kusmiran, S.Kp., M.Kes. Selaku Wakil I Rektor Institut Kesehatan
Rajawali;
3 Yogiyanto,SKM.,MM. Selaku Kepala Puskesmas Buniwangi
4 Erni Hernawati, S.S.T., M.M., M.Keb. Selaku Dekan Fakultas Kebidanan
Institut Kesehatan Rajawali;
5 Lia Kamila, S.S.T.,M.Keb. Selaku Penanggung Jawab Program Studi Sarjana
Kebidanan Institut Kesehatan Rajawali;
6 Intan Karlina, S.ST, Bd., M.Keb., selaku Pembimbing utama;

7 Euis Nurhayati, S.S.T., M.Kes. Selaku pembimbing pendamping;


8 Bapak dan Ibu dosen Program Studi Sarjana Kebidanan yang telah
memberikan banyak ilmu selama penulis menempuh studi di Institut
Kesehatan Rajawali Bandung;
9 Rekan-rekan seperjuangan mahasiswa Sarjana Kebidanan Alih Jenjang
Institut Kesehatan Rajawali yang senantiasa selalu memberikan doa dan
dukungan.
10 Keluarga yang senantiasa memberikan doa dan memberikan dukungan
selama penulisan ini;
i
Penulis menyadari bahwa penulisan proposal skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis harapkan kritik dan saran dari semua pihak
sebagai pembelajaran untuk menjadi lebih baik lagi.
Akhirnya, besar harapan penulis semoga Allah SWT meridhoi kita semua
dan tulisan ini semoga memberikan manfaat khususnya bagi perkembangan
Pendidikan.

Bandung, November 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................i


DAFTAR ISI .......................................................................................................ii
DAFTAR TABEL ...............................................................................................iii
DAFTAR BAGAN ..............................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................v
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Identifikasi Masalah 4
1.3 Rumusan Masalah 6
1.4 Tujuan Penelitian 7
1.5 Hipotesis Penelitian 8
1.6 Manfaat Penelitian 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Balita 9
2.2 Stunting 11
2.3 ASI Eklusif 27
2.4 BBLR................................................................................................43
2.5 Pola Asuh..........................................................................................45
2.6 Peran Bidan.......................................................................................49
2.7 Kerangka Konsep..............................................................................54
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian.....................................................................55
3.2 Kerangka Penelitian........................................................................55
3.3 Variabel Penelitian.........................................................................55
3.4 Definisi Operasional.......................................................................56
3.5 Populasi dan Sampel Penelitian......................................................57
3.6 Teknik Pengumpulan Data.............................................................59
3.7 Pengolahan dan Analisis Data .......................................................65
3.8 Lokasi dan Waktu Penelitian .........................................................68
DAFTAR PUSTAKA

iii
iv
DAFTAR TABEL

No Judul Tabel Halaman


2.1 Tabel Indikator Status Gizi Balita (Z-Score)...................................... 13
3.1 Definisi Operasional........................................................................... 56
3.2 Tabel Skala Likert ............................................................................ 61
3.3 Tabel Kisi Kisikuesioner ................................................................... 61
DAFTAR BAGAN

No Judul Bagan Halaman


2.1 Kerangka Teori...................................................................................54
3.1 Kerangka Penelitian............................................................................58
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Balita Pendek (Stunting) adalah status gizi yang didasarkan pada
indeks PB/U atau TB/U dimana dalam standar antropometri penilaian status
gizi anak, hasil pengukuran tersebut berada pada ambang batas (Z-Score) <-2
SD sampai dengan -3 SD (pendek/ stunted) dan <-3 SD (sangat pendek /
severely stunted). Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang
disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat
pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting dapat
terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak
berusia dua tahun (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2021 mengestimasikan
prevalensi balita kerdil (stunting) di seluruh dunia sebesar 22 persen atau
sebanyak 149,2 juta pada 2020, lebih dari setengah balita stunting di dunia
berasal dari Asia (59,5%) sedangkan lebih dari sepertiganya (36,8%) tinggal
di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal
dari Asia Selatan (30,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Timur (4,9%).
Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) Tahun 2021 menunjukkan
prevalensi balita stunting di Indonesia masih tinggi, yakni 24,4 % diatas
batasan yang ditetepkan World Health Organization (WHO) sebesar 20 %.
Prevalensi stunting di Provinsi Jawa Barat tahun 2021 sebesar 24,5 %
(Kemenkes RI, 2022) dan prevalensi stunting di Kabupaten Sukabumi sebesar
37,6 % ( Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi, 2022).
Anak yang stunting mengalami pertumbuhan rangka yang lambat dan
pendek. Kondisi ini merupakan hasil dari periode panjang akibat tidak
terpenuhinya kebutuhan makanan yang meningkatkan kesakitan. Zat gizi
memegang peranan penting dalam dua tahun pertama kehidupan.
Pertumbuhan dan perkembangan sel-sel otak memerlukan zat gizi yang
adekuat. Kecukupan zat gizi pada masa ini akan mempengaruhi proses

1
2

tumbuh kembang anak pada periode selanjutnya. Penelitian lain menyatakan


bahwa gangguan keterlambatan perkembangan antara lain ditandai dengan
lambatnya kematangan sel-sel syaraf, lambatnya gerakan motorik, kurangnya
kecerdasan, dan lambatnya respon sosial. Berbagai stimulasi melalui panca
indra seperti mendengar, melihat, merasa, mencium, dan meraba, yang
diberikan selama awal kehidupan mempunyai pengaruh besar pada
pertumbuhan dan maturasi otak (Pantaleon. dkk, 2015).
Berdasar atas Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes
RI) periode 1.000 hari pertama kehidupan merupakan periode kritis untuk
menentukan kualitas kehidupan. Bila kekurangan gizi tidak ditangani selama
1.000 hari pertama kehidupan mengakibatkan stunting dan dampak krusial
jangka pendek dapat terjadi salah satunya perkembangan motorik yang tidak
optimal. Dua tahun pertama sangat penting untuk proses perkembangan dan
arborisasi apikal dendrit korteks otak. Beberapa studi menunjukkan anak
yang kekurangan gizi selama periode perkembangan otak mengalami
beberapa perubahan struktural pada saraf seperti pemendekan dendrit apikal,
jumlah akson berkurang, serta mengganggu proses mielinisasi yang
memengaruhi kecepatan hantaran impuls antar neuron. Beberapa komponen
nutrisi yang memengaruhi fisiologis saraf adalah iron, zinc, zat besi, iodin,
lemak, dan protein. Defisiensi zinc dapat mengubah arborisasi dendrit
serebellar yang berkaitan dengan pengaturan koordinasi motorik. Fungsi
motorik yang terganggu pada anak stunting berhubungan dengan kematangan
otot tricep surae yang terhambat sehingga kemampuan mekanik otot
terganggu. Menurut penelitian Hoddinot dkk. efek yang didapat ketika
seseorang mengalami stunting adalah hambatan perkembangan motorik.
Perkembangan motorik terbagi menjadi dua, yaitu motorik kasar (gross
motoric) dan motorik halus (fine motoric). Motorik kasar adalah kemampuan
gerak yang dikontrol oleh otot-otot besar seperti pada lengan dan kaki.
Motorik halus ialah kemampuan gerak yang dikontrol oleh otot-otot kecil.
Menurut WHO, stunting dapat meyebabkan gangguan perkembagan
motorik halus, karena pada anak stunting terjadi keterlambatan kematangan
3

sel saraf terutama di bagian cerebellum yang merupakan pusat koordinasi


gerak motorik (Nugroho, Susanto and Kartasurya, 2014). Pada anak stunting
yang mengalami penurunan fungsi motorik berkaitan dengan rendahnya
kemampuan mekanik dari otot trisep akibat lambatnya kematangan fungsi
otot (Hanani, 2016). Gerakan motorik halus tidak dapat dilakukan dengan
sempurna apabila mekanisme otot belum berkembang, hal ini terjadi pada
anak yang mengalami gangguan pertumbuhan seperti pendek (stunted),
dimana otot berbelang (striped muscle) atau striated muscle yang
mengendalikan gerakan sukarela berkembang dalam laju yang agak lambat,
sebelum anak dalam kondisi normal, tidak mungkin ada tindakan sukarela
yang terkoordinasi (Nurbaeti, 2016). Sehingga kejadian stunting berlangsung
sejak lama yang dialami oleh anak dapat menyebabkan terlambatnya
perkembangan motorik. Terlambatnya perkembangan motorik halus pada
anak stunting dapat mengakibatkan tujuan dari perkembangan motorik halus
tidak dapat tercapai salah satunya dalam memfungsikan otot-otot kecil seperti
gerakan jari tangan (Novisiam, 2012).
Penelitian lainnya menyebutkan bahwa faktor penyebab kejadian
stunting terjadi sejak kehamilan akibat kekurangan nutrisi pada masa tersebut,
inisiasi menyusui dini kurang dari 1 jam kelahiran maupun tidak sama sekali,
pemberian ASI terhenti 12 bulan, dan makanan yang diberikan tidak
bervariasi dengan frekuensi dan tekstur yang tidak sesuai usia (Anggryni
dkk., 2021). Hal ini di tandai dengan meningkatnya prevalensi kejadian
BBLR di Indonesia dengan hasil 5,1% (2017), 6,2% (2018), dan 10,1%
(2019). Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) merupakan berat badan bayi saat
lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang masa gestasi, bisa terjadi pada
bayi cukup bulan ataupun prematur. BBLR akan menjadi masalah kesehatan
masyarakat secara global baik jangka pendek maupun jangka panjang.
(WHO, 2014, Unicef. 2017)
Faktor langsung yang berhubungan dengan stunting yaitu asupan
makanan dan status kesehatan. Asupan energi dan zat gizi yang tidak
memadai, serta penyakit infeksi merupakan faktor yang sangat berperan
4

terhadap masalah stunting. Faktor tidak langsung yang berhubungan dengan


stunting salah satunya pola pengasuhan, dalam hal ini yang sangat
berhubungan adalah pola asuh pemberian makan. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan Renyoet, dkk didapatkan hasil adanya hubungan yang
signifikan antara perhatian/ dukungan ibu terhadap anak dalam praktik
pemberian makanan, persiapan dan penyimpanan dengan kejadian stunting,
maka dapat dikatakan ibu yang memberikan perhatian dan dukungan terhadap
anak dalam hal ini akan memberikan dampak positif dalam keadaan status
gizi.
Menurut UNICEF, stunting berdampak pada tingkat kecerdasan,
kerentanan terhadap penyakit, menurunnya produktifitas dan kemudian
menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan
ketimpangan. Oleh karena itu, kejadian stunting di wilayah Kerja Puskesmas
Buniwangi perlu mendapat perhatian khusus. Berdasarkan uraian diatas,
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan
Pemberian ASI Ekslusif, Berat Badan Lahir Rendah Dan Pola Asuh Dengan
Kejadian Stunting Pada Balita Diwilayah Kerja Puskesmas Buniwangi
Kabupaten Sukabumi Tahun 2022”.

1.2 Identifikasi Masalah


Meskipun ASI eksklusif sangat kuat dihubungkan dengan penurunan
risiko stunting, hal tersebut belum sepenuhnya dapat merubah persepsi
masyarakat terkait pentingnya pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan
pertama kehidupan. Hal ini ditandai dengan rendahnya persentase bayi yang
mendapat ASI di Indonesia. Secara nasional cakupan ASI eksklusif ini di
Indonesia hanya sebesar 41,9% pada tahun 2019 dan pada tahun 2020,
persentase bayi mendapat ASI umur 0-5 bulan berdasarkan kelompok umur
ada sebesar 54%. Sedangkan tahun 2021, bayi mendapat ASI eksklusif sesuai
umurnya sebesar 46,7%.
Pemeberian ASI Ekslusif yang tidak sesuai merupakam salah satu
faktor utama penyebab terjadinya stunting, hal ini diperkuat oleh penelitian
5

yang dilakukan oleh Nuzurul Rahmi (2021) yang dilakukan pada balita usia
23-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Padang Tiji didapatkan hasil adanya
hubungan yang signifikan antara pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian
stunting.
Pola asuh yang diterapkan orang tua pada anaknya memberikan
pengaruh cukup besar dalam kehidupan anak di masa mendatang. Pola asuh
terkait dengan pemahaman dan pengetahuan ibu tentang pola asuh yang
benar. Ibu dengan pemahaman dan pengetahuan yang baik, maka pola asuh
yang diterapkan dengan baik pada anak dan keluarganya, karena dengan pola
asuh yang baik ibu akan lebih faham dan mengerti tentang kebutuhan gizi
untuk anak dan keluarganya. Hal ini diperkuat oleh penelitan yang dilakukan
oleh Ilya Krisnana (2020) menunjukkan pola asuh dengan kejadian stunting
baik demokratis, otoritatif dan permisif dapat disimpulkan bahwa pola asuh
yang baik berpengaruh dalam hal pemahaman seorang ibu dalam mengurus
anaknya baik dari kebutuhan, dan status gizinya. Penelitian lainnya yang
dilakukan oleh Evy Noorhasanah dan Nor Isna Tauhidah (2021) menunjukan
sebanyak 55,7% responden dengan pola asuh buruk memiliki anak pendek
dan sangat pendek dan terdapat hubungan pola asuh ibu dengan kejadian
stunting anak usia 12-59 bulan.
Stunting dapat terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru
nampak saat anak berusia dua tahun, biasanya anak terlahir dengan BBLR
sehingga dalam tahap pertumbuhan dan perkemabanganya kuran optimal
menyebabkan terjadinya stunting, pendapat ini diperkuat dengan penelitian
yang dilakukan oleh Erna Eka Wijayanti (2019) Hasil penelitian menunjukan
balita yang BBLR seluruhnya mengalami stunting sebanyak 28 responden
(100%) dan balita yang tidak mendapatkan ASI Esklusif hampir seluruhnya
mengalami stunting sebanyak 44 responden (94%). Stunting masih menjadi
permasalahan kehidupan balita saat ini, stunting yang dialami oleh balita
dapat berdampak buruk saat balita besar dan dewasa kelak. Dampak balita
stunting dapat menurunkan kecerdasan sehingga dapat menurunkan kualitas
6

sumber daya manusia di masa depan. BBLR diduga sebagai faktor resiko
terjadinya stunting pada balita(Candra Murti, 2020).
Penelitian yang dilakukan oleh Evy Noorhasanah dan Nor Isna
Tauhidah (2021) dengan judul Hubungan Pola Asuh Ibu Dengan Kejadian
Stunting Anak Usia 12-59 Bulan, menunjukan sebanyak 55,7% responden
dengan pola asuh buruk memiliki anak pendek dan sangat pendek dan
terdapat hubungan pola asuh ibu dengan kejadian stunting anak usia 12-59
bulan.
Berdasarkan hasil Bulan Penimbangan Balita (BPB) di Kabupaten
Sukabumi, Puskesmas Buniwangi masih banyak balita yang stunting.
Prevalensi stunting pada tahun 2022 di Puskesmas Buniwangi sebesar 10,6%
atau 315 balita dari total 2970 balita dan wasting sebanyak 86 balita, angka
tersebut masih bawah target dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi yaitu
< 10% (Dinkes Kabupaten Sukabumi, 2022). Berdasarkan hasil studi
pendahuluan yang dilakukan pada 10 balita yang 6 balita dengan riwayat
berat badan lahir rendah dan tidak diberikan ASI ekslusif, 2 balita lahir
dengan berat badan normal tetapi tidak diberikan ASI ekslusif, 2 balita yang
pola asuhnya kurang baik seperti balitanya yang dibiasakan mengkonsumsi
ciki permen karena anaknya tidak mau makan, dan memberikan makanan
yang tidak sesuai dengan usianya seperti mie instan sudah diberikan pada usia
1 tahun.

1.3 Rumusan Masalah


Berdasarkan latarbelakang diatas maka dapat ditarik suatu rumusan
masalah apakah terdapat “Hubungan pemberian asi ekslusif, berat badan lahir
rendah dan pola asuh dengan kejadian stunting pada balita diwilayah kerja
puskesmas buniwangi kabupaten sukabumi tahun 2022?’’
7

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan Pemberian
Asi Ekslusif, Berat Badan Lahir Rendah Dan Pola Asuh Dengan
Kejadian Stunting Pada Balita Diwilayah Kerja Puskesmas Buniwangi
Kabupaten Sukabumi Tahun 2022.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian stunting pada
balita diwilayah kerja puskesmas buniwangi kabupaten sukabumi
tahun 2022
2. Mengetahui distribusi frekuensi pemberian ASI ekslusif
pada balita diwilayah kerja puskesmas buniwangi kabupaten
sukabumi tahun 2022.
3. Mengetahui distribusi frekuensi berat badan lahir rendah
pada balita diwilayah kerja puskesmas buniwangi kabupaten
sukabumi tahun 2022.
4. Mengetahui distribusi frekuensi pola asuh pada balita
diwilayah kerja puskesmas buniwangi kabupaten sukabumi tahun
2022.
5. Mengetahui hubungan pemberian ASI ekslusif dengan
kejadian stunting pada balita diwilayah kerja puskesmas buniwangi
kabupaten sukabumi tahun 2022.
6. Mengetahui hubungan berat badan lahir rendah dengan
kejadian stunting pada balita diwilayah kerja puskesmas buniwangi
kabupaten sukabumi tahun 2022.
7. Mengetahui hubungan pola asuh dengan kejadian stunting
pada balita diwilayah kerja puskesmas buniwangi kabupaten
sukabumi tahun 2022.
8

1.5 Hipotesis Penelitian


1. Mengetahui hubungan pemberian ASI ekslusif dengan kejadian stunting
pada balita diwilayah kerja Puskesmas Buniwangi Kabupaten Sukabumi
Tahun 2022
2. Mengetahui hubungan berat badan lahir rendah dengan kejadian stunting
pada balita diwilayah Kerja Puskesmas Buniwangi Kabupaten Sukabumi
Tahun 2022
3. Mengetahui hubungan pola asuh dengan kejadian stunting pada balita
diwilayah kerja Puskesmas Buniwangi Kabupaten Sukabumi Tahun 2022

1.6 Manfaat Penelitian


1.6.1 Teoritis
Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber inform ASI tentang
Hubungan Pemberian ASI Ekslusif, Berat Badan Lahir Rendah dan
Pola Asuh dengan Kejadian Stunting pada Balita Diwilayah Kerja
Puskesmas Buniwangi Kabupaten Sukabumi Tahun 2022
1.6.2 Praktis
1. Bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan
masukan untuk puskesmas khususnya sebagai bahan dan masukan
bagi pihak Puskesmas untuk menurunkan angka kejadian stunting
2. Bagi Responden
Hasil penelitian diharapkan penelitian ini memberikan
masukan bagi masyarakat sebagai informasi dan menambah
pengetahuan bagi masyarakat tentang stunting agar dapat melakukan
upaya pencegahan stunting pada balita.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Balita
2.1.1 Pengertian
Balita adalah anak yang berumur 0-59 bulan, pada masa ini
ditandai dengan proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat
pesat dan disertai dengan perubahan yang memerlukan zat-zat gizi yang
jumlahnya lebih banyak dengan kualitas yang tinggi. Akan tetapi, balita
termasuk kelompok yang rawan gizi serta mudah menderita kelainan
gizi karena kekurangan makanan yang dibutuhkan. Konsumsi makanan
memegang peranan penting dalam pertumbuhan fisik dan kecerdasan
anak sehingga konsumsi makanan berpengaruh besar terhadap status
gizi anak untuk mencapai pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak
(Ariani, 2017).
Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu
tahun atau lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah lima
tahun. Menurut Sediaotomo (2010), balita adalah istilah umum bagi
anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak pra sekolah (3-5 tahun). Saat usia
batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan
kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan
berbicara dan berjalan sudah bertambah baik, namun kemampuan lain
masih terbatas. Masa balita merupakan periode penting dalam proses
tumbuh kembang manusia. Perkembangan dan pertumbuhan pasa masa
itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak
pada periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan
masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang kembali,
karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2018) menjelaskan
balita merupakan usia dimana anak mengalami pertumbuhan dan
perkembangan yang pesat. Proses pertumbuhan dan perkembangan

9
10

setiap individu berbeda-beda, bisa cepat maupun lambat tergantung dari


beberapa faktor, yaitu nutrisi, lingkungan dan sosial ekonomi keluarga.

2.1.2 Karakteristik
Balita adalah anak usia kurang dari lima tahun sehingga bayi
usia di bawah satu tahun juga termasuk golongan ini. Balita usia 1-5
tahun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu anak usia lebih dari satu
tahun sampai tiga tahun yang yang dikenal dengan batita dan anak usia
lebih dari tiga tahun sampai lima tahun yang dikenal dengan usia pra
sekolah (Proverawati & Wati, 2013).
Menurut karakterisik, balita terbagi dalam dua kategori, yaitu
anak usia 1- 3 tahun (batita) dan anak usia pra sekolah. Anak usia 1-3
tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari
apa yang disediakan oleh ibunya (Sodiaotomo, 2010).
Laju pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa usia pra
sekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar. Pola
makan yang diberikan sebaiknya dalam porsi kecil dengan frekuensi
sering karena perut balita masih kecil sehingga tidak mampu menerima
jumlah makanan dalam sekali makan (Proverawati & Wati, 2010).

2.1.3 Kebutuhan gizi Balita


Kebutuhan gizi yang harus dipenuhi pada masa balita di
antaranya adalah energi dan protein. Kebutuhan energi sehari untuk
tahun pertama kurang lebih 100-200 kkal/kg berat badan. Energi dalam
tubuh diperoleh terutama dari zat gizi karbohidrat, lemak dan protein.
Protein dalam tubuh merupakan sumber asam amino esensial yang
diperlukan sebagai zat pembangun, yaitu untuk pertumbuhan dan
pembentukan protein dalam serum serta mengganti sel-sel yang telah
rusak dan memelihara keseimbangan cairan tubuh.
Lemak merupakan sumber kalori berkonsentrasi tinggi yang
mempunyai tiga fungsi, yaitu sebagai sumber lemak esensial, zat
11

pelarut vitamin A, D, E dan K serta memberikan rasa sedap dalam


makanan. Kebutuhan karbohidrat yang dianjurkan adalah sebanyak 60-
70% dari total energi yang diperoleh dari beras, jagung, singkong dan
serat makanan. Vitamin dan mineral pada masa balita sangat diperlukan
untuk mengatur keseimbangan kerja tubuh dan kesehatan secara
keseluruhan (Dewi, 2013).

2.2 Stunting
2.2.1 Definisi Stunting
Stunting merupakan sebuah masalah kurang gizi kronis yang
disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama,
hal ini menyebabkan adanya gangguan di masa yang akan datang yakni
mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif
yang optimal. Anak stunting mempunyai Intelligence Quotient (IQ)
lebih rendah dibandingkan rata – rata IQ anak normal (Kemenkes RI,
2018).
Stunting didefinisikan sebagai keadaan dimana status gizi pada
anak menurut TB/U dengan hasil nilai Z Score = <-2 SD, hal ini
menunjukan keadaan tubuh yang pendek atau sangat pendek hasil dari
gagal pertumbuhan. Stunting pada anak juga menjadi salah satu faktor
risiko terjadinya kematian, masalah perkembangan motorik yang
rendah, kemampuan berbahasa yang rendah, dan adanya
ketidakseimbangan fungsional (Anwar, Khomsan, dan Mauludyani,
2014).
Stunting menjadi masalah gagal tumbuh yang dialami oleh bayi
di bawah lima tahun yang mengalami kurang gizi semenjak di dalam
kandungan hingga awal bayi lahir, stunting sendiri akan mulai nampak
ketika bayi berusia dua tahun (Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan, 2017). Sesuai dengan yang dikemukakan
oleh Schmidt bahwa stunting ini merupakan masalah kurang gizi
dengan periode yang cukup lama sehingga muncul gangguan
12

pertumbuhan tinggi badan pada anak yang lebih rendah atau pendek
(kerdil) dari standar usianya (Schmidt, 2014).
Stunting didefinisikan sebagai tinggi badan menurut usia di
bawah –2 standar median kurva pertumbuhan anak (Fikawati dkk,
2017). Seorang anak dikatakan pendek apabila berdasarkan perhitungan
indeks TB/U dia berada rentang -2 SD sampai -3-SD, sedangkan
dikatakan sangat pendek apabila perhitungan indeks TB/U nilainya < -
3 SD (Purnamasari, 2018).

2.2.2 Indikator Stunting


Negara-negara berkembang dan salah satunya Indonesia
memiliki beberapa masalah gizi pada balita, di antaranya wasting,
anemia, berat badan lahir rendah, dan stunting. Stunting merupakan
kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya pertumbuhan karena
malnutrisi jangka panjang. Stunting menurut WHO Child Growth
Standard didasarkan pada indeks panjang badan menurut umur (PB/U)
atau tinggi badan menurut umur (TB/U) dengan batas (z-score) <-2 SD
(WHO, 2010).
Indikator TB/U menggambarkan status gizi yang sifatnya kronis,
artinya muncul sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama
seperti kemiskinan, perilaku pola asuh yang tidak tepat, sering
menderita penyakit secara berulang karena higiene dan sanitasi yang
kurang baik (Kemenkes RI, 2018).

2.2.3 Klasifikasi Stunting


Menilai status gizi anak dapat menggunakan tinggi badan dan
umur yang dikonversikan ke dalam Z-Score. Berdasarkan nilai Z-Score
masing - masing indikator tersebut ditentukan status gizi balita sebagai
berikut :
13

Table 2.1 Tabel Indikator Status Gizi Balita (Z-Score)


Indeks Kategori Status Gizi Ambang
Batas
(Z-Score)
Berat Badan Berat badan sangat kurang (severely < -3 SD
menurut underweight)
Umur (BB/U)
Berat badan kurang (underweight) -3 SD sd < -2 SD
Berat badan normal -2 SD sd +1 SD
Risiko Berat badan lebih > +1 SD
Tinggi Badan Sangat pendek (severely stunted) < -3 SD
menurut Pendek (stunted) -3 SD sd < -2 SD
Umur (TB/U)
Normal -2 SD sd +3 SD
Tinggi > +3 SD
Berat Badan Gizi buruk (severely wasted) < -3 SD
menurut Tinggi Gizi kurang (wasted) -3 SD sd < -2 SD
Badan
(BB/TB) Gizi baik (normal) -2 SD sd +1 SD
Berisiko gizi lebih (possible risk of > +1 SD sd +2 SD
overweight)

Gizi lebih (overweight) > +2 SD sd +3 SD


Obesitas (obese) > +3 SD
Indeks Massa Gizi buruk (severely wasted) < -3 SD
Tubuh menurut Gizi kurang (wasted) -3 SD sd < -2 SD
Umur (IMT/U)
Gizi baik (normal) -2 SD sd +1 SD
Berisiko gizi lebih (possible risk of > +1 SD sd +2 SD
overweight)

Gizi lebih (overweight) > +2 SD sd +3 SD


Obesitas (obese) > +3 SD
Sumber: (Kementerian Kesehatan RI, Permenkes No 2 Tahun 2020)

2.2.4 Dampak Stunting bagi Perkembangan


Stunting adalah masalah gizi utama yang akan berdampak pada
kehidupan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Selain itu, stunting
dapat berpengaruh pada anak balita pada jangka panjang yaitu
14

mengganggu kesehatan, pendidikan serta produktifitasnya di kemudian


hari. Anak balita stunting cenderung akan sulit mencapai potensi
pertumbuhan dan perkembangan yang optimal baik secara fisik maupun
psikomotorik (Dewey KG dan Begum K, 2011).
Gangguan perkembangan adalah kondisi anak tidak mampu
mencapai tugas perkembangan pada waktu diperkirakan. Gangguan dapat
terjadi pada banyak area perkembangan, misalnya pada motorik, bahasa,
sosial, atau berpikir. Grantham Mc Gregor menyimpulkan bahwa
perkembangan motorik dan kognitif berhubungan erat dengan status gizi
yang dinilai berdasarkan Tinggi Badan/Umur (Husaini, et.al., 2012).
Stunting menyebabkan terhambatnya perkembangan motorik
kasar maupun halus, karena pada anak stunting terjadi keterlambatan
kematangan sel-sel saraf terutama di bagian cerebellum yang merupakan
pusat koordinasi gerak motorik (Mc Gregor dan Henningham, 2005).
Stunting yang terjadi pada masa anak merupakan faktor risiko
meningkatnya angka kematian, kemampuan kognitif, dan perkembangan
motorik yang rendah serta fungsi-fungsi tubuh yang tidak seimbang
(Allen dan Gillespie, 2011).
Stunting pada balita perlu mendapatkan perhatian khusus karena
dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan fisik, perkembangan
mental dan status kesehatan pada anak. Menurut World Healtf
Organization (WHO) dalam buletin jendela data dan informasi kesehatan
yang diterbitkan oleh Kementrian Kesehatan RI Tahun 2018. Dampak
yang ditimbulkan stunting dapat dibagi menjadi dampak jangka pendek
dan jangka panjang. Adapun dampak jangka pendek diantaranya :
a. Peningkatan kejadian kesakitan dan kematian
b. Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal,
dan Peningkatan biaya kesehatan.
Sedangkan dampak jangka panjang diantaranya:
a. Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek
dibandingkan pada umumnya),
15

b. Meningkatnya resiko obesitas dan penyakit lainnya,


c. Menurunya kesehatan reproduksi,
d. Kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat masa
sekolah, dan
e. Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal. (Kemenkes,
2018).

2.2.5 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Stunting


Penyebab stunting dapat juga dikatakan sebagai suatu bentuk
adaptasi fisiologis pertumbuhan atau non patologis karena dua penyebab
utamanya adalah asupan makanan yang tidak adekuat dan respon
terhadap tingginya penyakit infeksi. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi stunting terbagi atas dua macam faktor yaitu faktor secara
langsung yakni asupan makanan, penyakit infeksi, berat badan lahir
rendah dan genetik. Sedangkan faktor secara tidak langsung yakni
pengetahuan tentang gizi, pendidikan orang tua, sosial ekonomi, pola
asuh orang tua, distribusi makanan dan besarnya keluarga/jumlah
anggota keluarga (Lainua, 2016).
A. Faktor Langsung
1. Asupan Makanan
a. Zat Gizi
Zat gizi merupakan salah satu komponen penting
dalam proses tumbuh dan berkembang selama masa
kehamilan dan pertumbuhan anak, apabila zat gizi tidak
terpenuhi atau kurang terpenuhi maka akan menghambat
pertumbuhan dan perkembangan pada anak (Hidayat, 2009).
b. ASI Ekslusif
Bayi atau balita dalam praktek pemberian ASI
ekslusif maupun MP-ASI yang kurang optimal dan
terbatasnya makanan dalam hal kualitas, kuantitas dan jenis
akan memberikan kontribusi terhadap stunting.
16

Status ASI eksklusif menjadi salah satu faktor yang


dapat mempengaruhi prevalensi stunting karena gizi yang
terkandung dalam ASI merupakan salah satu faktor penting
yang menentukan masa tumbuh kembang anak. Salah satu
permasalahan dalam pemberian makanan pada bayi adalah
terhentinya pemberian air susu ibu (ASI) dan pemberian MP-
ASI yang tidak cukup. WHO merekoendasikan pemberian
ASI eksklusif 6 bulan pertama kehidupan dan dilanjutkan
dengan pengenalan MP-ASI dengan terus memberikan ASI
sampai usia 2 tahun. Menurut penelitian Teshome, anak yang
diberi MP-ASI terlalu dini (< 4 bulan) berisiko menderita
kejadian stunting. Pada penelitian yang dilakukan Avianti
(2011) menunjukkan walaupun secara statistik hubungan
pemberian ASI eksklusif dengan stunting pada anak umur 2
tahun tidak bermakna, namun secara klinis anak yang tidak
mendapat ASI eksklusif cukup mempengaruhi kejadian
stunting.
Pada bayi Air Susu Ibu (ASI) sangat berperan dalam
pemenuhan nutrisinya. Konsumsi ASI juga meningkatkan
kekebalan tubuh bayi sehingga menurunkan risiko penyakit
infeksi. Kadar mineral pada ASI tidak dipengaruhi oleh
makanan yang dikonsumsi ibu dan status nutrisi ibu. Mineral
dalam ASI lebih mudah diserap dibanding mineral dalam susu
sapi. Mineral utama yang terdapat pada ASI adalah kalsium
yang berfungsi untuk pertumbuhan jaringan otot dan rangka,
transimi jaringan saraf dan pembekuan darah. Hal inilah yang
mendukung pertumbuhan bayi terutama tinggi badan sehingga
bayi yang diberikan ASI juga memiliki tinggi badan yang
lebih tinggi dan sesuai dengan kurva pertumbuhan
dibandingkan dengan bayi yang diberikan dengan susu
formula. Dengan pemberian ASI, bayi dapat terhindar dari
17

resiko stunting (Rivanaica, 2016).


Menyusui yang berkelanjutan selama dua tahun
memberikan kontribusi signifikan terhadap asupan nutrisi
penting pada bayi (Sandra Fikawati dkk, 2017). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Sri di Sleman terdapat
hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting
pada balita dua sampai tiga tahun. ASI merupakan asupan gizi
yang sesuai dengan kebutuhan akan membantu pertumbuhan
dan perkembangan anak. Bayi yang tidak mendapatkan ASI
dengan cukup berarti memiliki asupan gizi yang kurang baik
dan dapat menyebabkan kekurangan gizi salah salah satunya
dapat menyebabkan stunting (Sri Indrawati, 2016).
Penelitian yang dilakukan Arifin pada tahun 2012
dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa kejadian
stunting dipengaruhi oleh berat badan saat lahir, asupan gizi
balita, pemberian ASI, riwayat penyakit infeksi, pengetahuan
gizi ibu. balita, pendapatan keluarga, jarak antar kelahiran
namun faktor yang paling dominan adalah pemberian ASI
(Arifin, 2012).
2. Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi juga dapat menyebabkan terjadinya
kejadian stunting, akan tetapi tergantung pada tingkat keparahan,
durasi dan kekambuhan penyakit infeksi yang diderita oleh bayi
maupun balita dan apabila ketidakcukupan dalam hal pemberian
makanan untuk pemulihan (WHO, 2012). Penyakit infeksi yang
sering diderita oleh balita adalah ISPA dan diare (Welasasih dan
Wirjatmadi, 2012).
3. BBLR
Berat badan lahir rendah dan prematur sering terjadi
bersama-sama, dan kedua faktor tersebut berhubungan dengan
peningkatan morbiditas dan mortalitas bayi baru lahir. Berat bayi
18

yang kurang saat lahir beresiko besar untuk hidup selama


persalinan maupun sesudah persalinan. Dikatakan berat badan
lahir rendah apabila berat bayi kurang dari 2500 gram. Bayi
prematur mempunyai organ dan alat tubuh yang belum berfungsi
normal untuk bertahan hidup di luar rahim sehingga semakin
muda umur kehamilan, fungsi organ menjadi semakin kurang
berfungsi dan prognosanya juga semakin kurang baik. Kelompok
BBLR sering mendapatkan koplikasi akibat kurang matangnya
organ karena kelahiran premature
Bayi yang berat lahirnya kurang dari 2.500 gram akan
membawa risiko kematian, gangguan pertumbuhan anak,
termasuk dapat berisiko menjadi pendek jika tidak ditangani
dengan baik. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Tiwari yang menyatakan bahwa anak dengan
riwayat kelahiran BBLR berisiko menderita stunting
dibandingkan dengan anak yang tidak menderita BBLR (Tiwari,
2014).
Berat badan lahir sangat terkait dengan pertumbuhan dan
perkembangan jangka panjang anak balita, pada penelitian yang
dilakukan oleh (Lidia, 2018) menyimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara berat lahir dengan kejadian stunting pada balita
di Pekanbaru. Penelitian yang dilakukan oleh (Sartono, 2013) di
Yogyakarta tentang hubungan antara BBLR dengan kejadian
stunting diantaranya menyatakan hal yang sama bahwa ada
hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian stunting
(Sartono, 2013).

B. Faktor Tidak langsung


1. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu dari alat indera baik
penglihatan maupun pendengaran terhadap objek tertentu,
19

sehingga seseorang menghasilkan sesuatu yang diketahui


(Notoatmodjo 2012).
Pengetahuan tidak lepas dari informasi yang didapatkan
dalam hidupnya. Pengetahuan dapat diperoleh dari media massa/
informasi. Berkembangnya teknologi akan tersedia bermacam-
macam media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan
seseorang tentang inovasi baru. Berbagai bentuk media massa
seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain sebagai
sarana komunikasi, mempunyai pengaruh besar terhadap
pembentukan opini dan kepercayaan orang. Pengetahuan
merupakan faktor permudah (presdisposisi factor) bagi seseorang,
dengan demikian faktor ini menjadi pemicu terhadap perilaku
yang menjadi dasar atau motivasi bagi tindakannya akibat tradisi
atau kebiasaan, kepercayaan, tingkat pendidikan dan tingkat sosial
ekonomi (Puspadewi, 2013). Ibu yang memiliki kemampuan
dalam dirinya sendiri akan meningkatkan pengetahuan untuk
mengatasi upaya pencegahan stunting (Arsyati, 2019)
Pengetahuan ibu mengenai gizi yang tinggi bisa
memberikan pengaruh terhadap pola makan balita yang nantinya
dapat memberi pengaruh pada status gizi balita. Bilamana
pemahaman yang dimiliki ibu baik, ibu bisa memilih serta
memberi makanan untuk balita baik dari aspek kuantitas ataupun
kualitas yang bisa mencukupi angka kebutuhan gizi yang
diperlukan balita hingga akhirnya bisa memberi pengaruh status
gizi pada balita tersebut (Puspasari & Andriani, 2017).
Hal tersebut didukung dengan penelitian dari Yuneta,
Nurma Yuneta, Hardiningsih and Yunita (2019) yang menyatakan
mayoritas narasumber memiliki pengetahuan cukup atau sedang
sebanyak 66%. Menurut Wahyani (2015) pada penelitiannya
tentang relasi karakteristik keluarga dengan stunting pada balita
menjelaskan tingkat pengetahuan bisa terpengaruh dari beberapa
20

faktor yakni intelegensi, usia, sosial, budaya, informasi,


lingkungan, pengalaman dan pendidikan. Menurut Yuneta et al.
(2019) dalam hasil penelitiannya, pengetahuan erat kaitannya
dengan pendidikan, Pemahaman ibu merupakan hal utama dalam
manajemen rumah tangga, hal ini akan memberi pengaruh sikap
seseorang ibu pada saat memilih bahan makanan yang hendak di
santap oleh keluarganya.
2. Pendidikan
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat konsumsi
pangan seseorang dalam memilih bahan pangan demi memenuhi
kebutuhan hidupnya. Orang yang memiliki pendidikan tinggi
akan cenderung memilih bahan pangan yang lebih baik dalam
kuantitas maupun kualitas dibandingkan dengan orang yang
berpendidikan rendah (Sulistjiningsih, 2011).
Menurut Hidayat (2009) Tingkat pendidikan keluarga
yang rendah akan sulit untuk menerima arahan dalam pemenuhan
gizi dan mereka sering tidak mau atau tidak meyakini pentingnya
pemenuhan kebutuhan gizi serta pentingnya pelayanan kesehatan
lain yang menunjang pertumbuhan pada anak, sehingga
berpeluang terhadap terjadinya stunting. Makin tinggi pendidikan,
pengetahuan dan ketrampilan terdapat kemungkinan makin baik
tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan
anak dan keluarga makin banyak memanfaatkan pelayanan yang
ada. Ketahanan pangan keluarga juga terkait dengan ketersediaan
pangan, harga pangan, dan daya beli keluarga, serta pengetahuan
tentang gizi dan kesehatan (Waryana, 2010).
Menurut Anisa (2012) kecenderungan kejadian stunting
pada balita lebih banyak terjadi pada ayah yang berpendidikan
rendah. Pendidikan yang tinggi dapat mencerminkan pendapatan
lebih tinggi dan ayah akan lebih memperhatikan gizi istri saat
hamil sehingga tidak akan terjadi kekurangan gizi saat kehamilan
21

yang menyebabkan anak yang akan dilahirkan stunting, karena


stunting disebabkan oleh masalah gizi pada masa lampau.
Keluarga dengan ayah yang berpendidikan rendah dengan
pendapatan yang rendah biasanya memiliki rumah yang tidak
layak, kurang dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan dan
kebersihan lingkungan kurang terjaga, selain itu konsumsi
makanan tidak seimbang, keadaan ini dapat menghambat
perkembangan anak (Mugianti et al, 2018).
Menurut Astuti (2017) Ibu dengan tingkat pendidikan
tinggi cenderung memiliki pengetahuan yang luas dan mudahnya
menangkap informasi baik dari pendidikan formal yang mereka
tempuh maupun dari media massa (cetak dan elektronik) untuk
menjaga kesehatan anak dalam mencapai status gizi yang baik
sehingga perkembangan anaknya menjadi lebih optimal. Semakin
tinggi pendidikan ibu maka pengetahuannya akan gizi akan lebih
baik, sebaliknya semakin rendah pendidikan ibu maka
pengetahuan akan gizi akan kurang baik. Rendahnya pendidikan
ibu pada saat kehamilan mempengaruhi pengetahuan gizi ibu saat
mengandung. Ibu hamil yang mengalami kurang gizi akan
mengakibatkan janin yang dikandung juga mengalami
kekurangan gizi. Kekurangan gizi pada kehamilan yang terjadi
terus menerus akan melahirkan anak yang mengalami kurang gizi.
Kondisi ini jika berlangsung dalam kurun waktu yang relative
lama akan menyebabkan anak mengalami kegagalan dalam
pertumbuhan (stunting) (Ni’mah dan Muniroh, 2016).
3. Sosial ekonomi
Kondisi ekonomi berkaitan dengan kemampuan
keluarga dalam memenuhi kebutuhan asupan yang bergizi
dan bagaimana seseorang memilih pelayanan kesehatan
untuk ibu hamil dan balita.
Status sosial ekonomi yang dapat memengaruhi proses
22

pertumbuhan diantaranya yaitu pendapatan dan pendidikan.


Pendapatan keluarga memengaruhi kemampuan seseorang
untuk mengakses makanan tertentu yang akan berpengaruh
pada status gizi anak.
Sesesorang dengan status sosial ekonomi rendah
memiliki keterbatasan kemampuan dalam mengakses makanan
tertentu, sehingga beresiko mengonsumsi makanan dengan
jumlah yang kurang.
4. Pola Asuh
Pola asuh sebagai pola sikap atau perlakuan orang tua
terhadap anak yang masing-masing mempunyai pengaruh
tersendiri terhadap perilaku anak antara lain terhadap kompetensi
emosional, social, dan intelekrual anak. Keseluruhan kegiatan
yang terdiri dari beberapa perilaku khusus dari orang tua yang
bekerja secara bersama maupun secara individual, yang kemudian
berpengaruh terhadap perilaku anak. Para orang tua tidak boleh
menghukum dan mengucilkan anak, tetap sebagai gantinya orang
tua harus mengembangkan aturan-aturan bagi anak dan
mencurahkan kasih sayang kepada anaknya Baumrind 1991
dalam (Tarmidzi, 2018)
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita
(bayi di bawah lima tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis
sehingga anak terlalu pendek untuk usiannya (Sekretariat Wakil
Presiden RI, 2017). Faktor ibu dan pola asuh yang kurang baik
terutama pada perilaku dan praktik pemberian makan kepada anak
juga menjadi penyebab anak stunting apabila ibu tidak
memberikan asupan gizi yang cukup dan baik. Ibu yang masa
remajanya kurang nutrisi, bahkan di masa kehamilan, dan laktasi
akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan tubuh dan otak anak
(Kementerian Kesehatan RI, 2018).
Pola asuh adalah kemampuan orang tua dan keluarga
23

untuk menyediakan waktu, perhatian, kasih sayang dan dukungan


terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik
secara fisik, mental dan social. Pengasuhan merupakan faktor
yang berkaitan sangat erat dengan pertumbuhan anak berusia
dibawah lima tahun. Masa balita adalah masa dimana anak sangat
membutuhkan suplai makanan dan gizi dalam jumlah yang
memadai. Oleh karena itu, pengasuhan kesehatan dan pemeberian
makanan pada tahun pertama kehidupan sangat penting untuk
pertumbuhan dan perkembangan anak (syahrul sarea, 2014).
Penelitian oleh (Lubis, 2016) didapatkan hasil bahwa
terdapat hubungan tipe pola asuh terhadap pola makan
berdasarkan frekuensi makan dan status gizi balita berdasarkan
indicator TB/U, dimana status gizi balita sangat pendek dan
pendek mayoritas terdapat pada tipe pola asuh permisif. Menurut
(Saeni, 2016) dalam penelitiannya menyatakan ada hubungan
antara praktek pemberian makan dan kebersihan diri dengan
kejadian stunting pada balita.
5. Ketersediaan Pangan
Ketersediaan pangan yang kurang dapat berakibat pada
kurangnya pemenuhan asupan nutrisi dalam keluarga itu sendiri.
Rata-rata asupan kalori dan protein anak balita di Indonesia masih
di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dapat
mengakibatkan balita perempuan dan balita laki-laki Indonesia
mempunyai rata-rata tinggi badan masing-masing 6,7 cm dan 7,3
cm lebih pendek dari pada standar rujukan WHO 2005
(Bappenas, 2011). Oleh karena itu penanganan masalah gizi ini
tidak hanya melibatkan sektor kesehatan saja namun juga
melibatkan lintas sektor lainnya.
Ketersediaan pangan merupakan faktor penyebab kejadian
stunting, ketersediaan pangan di rumah tangga dipengaruhi oleh
pendapatan keluarga, pendapatan keluarga yang lebih rendah dan
24

biaya yang digunakan untuk pengeluaran pangan yang lebih


rendah merupakan beberapa ciri rumah tangga dengan anak
pendek (Sihadi dan Djaiman, 2011). Penelitian di Semarang
Timur juga menyatakan bahwa pendapatan perkapita yang rendah
merupakan faktor risiko kejadian stunting (Nasikhah, 2012).
Selain itu penelitian yang dilakukan di Maluku Utara dan di
Nepal menyatakan bahwa stunting dipengaruhi oleh banyak
faktor salah satunya adalah faktor sosial ekonomi yaitu defisit
pangan dalam keluarga (Paudel et al, 2012).
6. Besarnya keluarga/jumlah keluarga
Jumlah anggota keluarga sangat menentukan jumlah
kebutuhan keluarga. Semakin banyak anggota keluarga berarti
semakin pula jumlah kebutuhan yang harus dipenuhi. Begitu pula
sebaliknya. Semakin sedikit anggota keluarga bersrti semakin
sedikit pula jumlah kebutuhan yang harus dipenuhi. Jumlah
anggota keluarga adalah jumlah anggota keluarga rumah tangga
yang tinggal dan makan dari satu dapur dengan kelompok
penduduk yang sudah termasuk dalam kelompok tenaga kerja.
Kelompok yang dimaksud makan dari satu

2.6.7 Penanganan dan Penegahan Stunting


Menurut WHO upaya pencegahan pada stunting dapat dimulai
sejak remaja. Remaja putri dapat mulai diberikan pengetahuan dan
pemahaman mengenai pentingnya pemenuhan nutrisi saat remaja.
Pemenuhan nutrisi saat remaja dapat mencegah terjadinya gizi yang
kurang saat masa kehamilan. Nutrisi yang adekuat saat kehamilan dapat
mencegah terjadinya pertumbuhan yang terhambat pada janin yang
dikandung. Selain itu, pencegahan stunting juga difokuskan pada 1.000
Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu pada Ibu Hamil, Ibu Menyusui,
Anak 0- 23 bulan. Periode 1.000 HPK merupakan periode yang efektif
dalam mencegah terjadinya stunting karena merupakan periode yang
25

menentukan kualitas kehidupan. Pada 1.000 HPK anak akan mengalami


masa “Periode Emas” dimana pertumbuhan anak akan berlangsung
cepat. Oleh karena itu, pada periode ini cakupan gizi harus terpenuhi
mulai dari 270 hari selama kehamilan dan 730 hari pertama setelah bayi
dilahirkan. Namun, menurut WHO pencegahan terjadinya stunting tidak
hanya dimulai saat 1.000 HPK, melainkan dimulai saat remaja dengan
memperbaiki gizi saat remaja. Pencegahan yang dilakukan pada ibu
hamil dapat dilakukan dengan memperbaiki gizi ibu hamil. Perbaikan
gizi yang dapat dilakukan saat kehamilan yaitu dengan memberikan
tablet tambah darah minimal 90 tablet saat kehamilan. Selain itu pada
ibu yang mengalami Kurang Energi Kronis (KEK) perlu mendapatkan
makanan tambahan untuk meningkatkan gizi ibu hamil tersebut.
Meningkatkan praktek menyusui juga merupakan salah satu tindakan
untuk mencegah terjadinya stunting. InisiASI menyusui dini dan
pemberian ASI eksklusif selama enam bulan dapat memberikan
perlindungan terhadap infeksi gastrointestial. Pernyataan tersebut di
dukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Tiwari yang menyatakan
bahwa anak yang diberi ASI ekslusif kemungkinan menderita stunting
lebih rendah jika dibandingkan anak yang tidak diberi ASI ekslusif.

2.3 ASI Ekslusif


2.3.1 Pengertian
Air Susu Ibu (ASI) adalah air susu yang dihasilkan oleh ibu dan
mengandung semua zat gizi yang diperlukan oleh bayi untuk kebutuhan
pertumbuhan dan perkembangannya. Air Susu Ibu Eksklusif adalah ASI
yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6 bulan tanpa
menambahkan dan/ atau mengganti dengan makanan atau minuman
lain. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012, ASI
eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan
selama enam bulan, tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan
makanan atau minuman lain (kecuali obat, vitamin, dan mineral)
26

(Kemenkes RI, 2019).


Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan cair pertama yang
dihasilkan secara alami oleh payudara Ibu. ASI mengandung berbagai
zat gizi yang dibutuhkan yang terformulasikan secara unik di dalam
tubuh ibu untuk menjamin proses pertumbuhan dan perkembangan
bayi. Selain menyediakan nutrisi lengkap untuk seorang anak, ASI juga
memberikan perlindungan pada bayi atas infeksi dan sakit penyakit
bayi. ASI adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan
garam – garam anorganik yang disekresi oleh kelenjar mamae ibu, yang
berguna sebagai makanan bagi bayinya. ASI dalam jumlah yang cukup
merupakan makanan terbaik bagi bayi dan dapat memenuhi kebutuhan
bayi sampai dengan 6 bulan pertama. ASI merupakan makanan alamiah
yang pertama dan utama bagi bayi sehingga mencapai tumbuh kembang
yang optimal (Wahyuningsih, 2018).
ASI eksklusif adalah pemberian air susu ibu saja, tanpa
tambahan cairan lainnya seperti susu formula, air putih, madu, air teh,
maupun makanan lainnya (Roesli, 2013). Menurut World Health
Organization / WHO (2017) ASI eksklusif adalah memberikan ASI saja
tanpa memberikan makanan dan minuman lainnya kepada bayi sampai
berumur 6 bulan, kecuali obat dan vitamin.

2.3.2 Manfaat ASI


ASI merupakan makanan pokok bagi bayi yang baru lahir,
dikarenakan kandungan ASI sangat cocok dan dibutuhkan bagi tubuh
bayi yang barusaja lahir. Berikut ini beberapa penjelasan manfaat ASI
eksklusif menurut beberapa sumber.
a. Manfaat ASI bagi bayi
Bayi mendapatkan manfaat yang besar dari ASI. Selain
mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan bayi, ASI juga berperan
penting dalam melindungi dan meningkatkan kesehatan bayi.
UNICEF mengatakan bahwa ASI menyelamatkan jiwa bayi terutama
27

di negara-negara berkembang. Keadaan ekonomi yang sulit, kondisi


sanitasi yang buruk, serta air bersih yang sulit didapat menyebabkan
pemberian susu formula sebagai penyumbang resiko terbesar
terhadap kondisi malnutrisi dan munculnya berbagai mavam
penyakit sepeti diare akibat penyiapan dan pemberian susu formula
yang tidak higienis. Laporan WHO juga menyebutkan bahwa hampir
90% kematian balita terjadi di negara berkembang dan lebih dari
40% kematian tersebut disebabkan diare 26 dan infeksi saluran
pernafasan akut yang dapat dicegah dengan pemberian ASI eksklusif
(Monika, 2016 : 4-5).
Berikut ini beberapa fakta peran ASI dalam meningkatkan
kesehatan bayi :
1. Bayi yang diberi ASI 17 kali lebih jarang menderita
pneumonia/radang paru oleh caesar (dalam Monika, 2016 : 5).
2. Bayi yang diberi ASI lebih terlindungi dari penyakit
sepsis/infeksi dalam darah yang menyebabkan kegagalan fungsi
organ tubuh hingga kematian oleh Patel (dalam Monika, 2016:
5). Selain itu, para dokter sepakat bahwa ASI dapat mengurangi
resiko infeksi lambung-usus, sembelit, dan alergi (Ratih, 2009 :
56).
3. ASI yang didapat bayi selama proses menyusui akan memenuhi
kebutuhan nutrisi bayi sehingga dapat menunjang perkembangan
otak bayi. Berdasarkan suatu penelitian anak yang mendapatkan
ASI pada masa bayi mempunyai IQ yang lebih tinggi
dibandingkan anak yang tidak mendapatkan ASI (Lesmana,
Sandi, Mera & Nisman, 2011 : 15).
4. Mengisap ASI membuat bayi mudah mengkoordinasi saraf
menelan , mengisap dan bernafas menjadi lebih sempurna dan
bayi menjadi lebih aktif dan ceria Lesmana, Sandi, Mera &
Nisman, 2011 : 15).
5. Waktu menyusui yang panjang dapat melindungi bayi dan anak
28

dari penyakit asma atau mengurangi terjadinya serangan asma


pada anak kecil. Resiko menderita asma meningkat apabila
pemberian ASI eksklusif dihentikan sebelum 4 bulan oleh Kull &
Benner (dalam Monika, 2016 : 5).
6. Menyusui dengan waktu yang lebih panjang (lebih dari 6 bulan)
dapat melindungi bayi adan anak dari penyakit rhinitis oleh
Ehlayel (dalam Monika, 2016 : 5).
7. Bayi yang diberi ASI eksklusif lebih terlindungi dari infeksi
telinga tengah oleh sabirov (dalam Monika,2016 : 5).
8. Bayi prematur yang memiliki berat badan lahir sangat rendah
yang diberi ASI eksklusif dapat terhindar dari ROP Retimopathy
of Prematurnity oleh Manzoni (dalam Monika,2016 : 5).
9. Pemberian ASI eksklusif selama 3-5 bulan mengurangi resiko
obesitas sebasar 35% di masa yang akan datang (3-5 tahun) oleh
Carol (dalam Monika, 2016 : 5).
10. Pemberian ASI eksklusif dapat mengurangi resiko bayi
kekurangan gizi (dalam Monika, 2016 : 5). ASI adalah makanan
alamiah yang disediakan untuk bayi dengan komposisi nutrisi
yang sesuai untuk perkembangan bayi (Ratih, 2009 : 55).
11. Pemberian ASI ekslusif mengurangi resiko terkena penyakit
jantung dan pembuluh darah (Ratih, 2009 : 55). Bayi yang
menerima susu formula memiliki konsentrasi LDL (kolestrol
jahat) yang lebih tinggi daripada HDL (kolestrol baik) yang lebih
rendah. LDL merupakan salah satu pemicu penyakit jantung dan
pembuluh darah oleh Owen (dalam Monika, 2016 : 5).
12. Bayi prematur menerima ASI memiliki tekanan darah yang lebih
rendah (13 -16 tahun) kemudian dibandingkan dengan bayi yang
menerima susu formula oleh Singhal (dalam Monika, 2016 : 5).
Bayi prematur akan cepat tumbuh apabila mereka diberikan ASI
eksklusif. Komposisi ASI akan teradaptasi sesuai dengan
kebutuhan bayi, dan ASI bermanfaat untuk manaikkan berat
29

badan dan menumbuhkan sel otak pada bayi prematur (Ratih,


2009 : 57).
13. Penyakit Necrotizing Enterecolitis/NEC (infeksi dan peradangan
menyebabkan kerusakan usus atau bagian dari usus) yang umum
di derita oleh bayi prematur dan sering menyebabkan kematian
dapat dicegah dengan pemberian ASI oleh Gephart (dalam
Monika, 2016 : 6).
14. ASI mencegah kerusakan gigi, misalnya gigi keropos dan
maloklusi/kelainan susunan gigi geligi atas dan bawah yang
berhubungan dengan bentuk rongga mulut/rahang oleh Agalawal
(dalam Monika, 2016 : 9). Karies gigi pada bayi yang diberi ASI
eksklusif tidak akan terjadi karena ASI mengandung mineral
selenium (Ratih, 2009: 55).
15. ASI selalu tersedia dalam keadaan bersih dari payudara ibu
(Monika, 2016 : 6). Selalu tersedia kapanpun dengan suhu yang
tepat (Monika, 2016 : 6). ASI selalu tersedia setiap saat bayi
menginginkannya dalam keadan steril dan suhu yang pas (Ratih,
2009 : 57).
16. ASI mudah dicerna dan diserap oleh pencernaan bayi yang
belum sempurna (Lesmana, Sandi, Mera & Nisman, 2011 : 14)
Begitupula saat bayi sakit, ASI adalah makanan yang terbaik
untuk diberikan karena kemudahan dalam dicerna akan membuat
bayi cepat sembuh (Ratih, 2009 : 57).
17. Dapat membantu perkembangan gigi dan rahang bayi karena
bayi mengisap ASI dari payudara (Monika, 2016 : 6). Mengisap
ASI dari payudara membuat rahang dan gigi menjadi lebih baik
dibandingkan dengan mengisap susu formula dengan
menggunakan dot (Lesmana, Sandi, Mera & Nisman, 2011 : 16)
18. Mendapatkan ASI dengan mengisap dari payudara membuat
kualitas hubungan psikologis ibu dan bayi menjadi semakin
dekat (Lesmana, 29 Sandi, Mera & Nisman, 2011 : 14). Kontak
30

kulit ibu dengan bayi saat menyusui menciptakan


kedekatan/ikatan serta perkembangan psikomotorik dan sosial
yang lebih baik (Monika, 2016 : 6). Bayi merasa aman, nyaman
dan terlindungi dan ini mempengaruhi kemampanan emosi si
anak di masa depan (Ratih, 2009 : 57).
b. Manfaat ASI Untuk Ibu
Berbagai penelitian mendukung bukti bahwa ASI
bermanfaat bagi ibu, baik secara fisik maupun emosional. Sebagian
ibu tidak mengetahui manfaat bagi diri sendiri sehingga kurang
menikmati menyusui dan terpaksa menyusui atau memberikan ASI
agar hanya bayi sehat. Menyusui dapat memberi manfaat bagi
kesehatan fisik dan psikologis ibu, baik jangka pendek maupun
panjang sebagai berikut :
1. Memberikan ASI segera setelah melahirkan akan
meningkatkan kontraksi rahim, yang berarti mengurangi resiko
pendarahan (Novianti, 2009 : 59). Mengurangi pendarahan
pasca persalinan yang dikemukakan oleh sobhy (dalam
monika, 2016:8) ibu yang segera menyusui (melakukan IMD)
setelah bersalin akan lebih mudah pulih dibandingkan ibu yang
tidak segera menyusui.
2. Mempercepat bentuk rahim kembali ke keadaan sebelum hamil
oleh Holdcroft (dalam monika, 2016 : 8). Isapan bayi saat
menyusu membuat ibu melepaskan hormon oksitosin yang
kemudian menstimulasi rahim sehingga mengembalikan
bentuk rahim ibu pada saat kondisi sebelum hamil (Ratih, 2009
: 60 ).
3. Wanita menyusui memiliki angka insidensi terkena kanker
payudara, kanker indung telur (ovarium), dan kanker
endometri lebih rendah (Lesmana, Sandi, Mera & Nisman,
2011:14). Menyusui dapat menekan produksi hormon estrogen
berlebih yang bertanggung jawab terhadap perkembangan
31

kanker payudara, kanker indung telur, dan kanker


endometrium (Monika, 2016 : 8).
4. Mengurangi resiko terkena penyakit diabetes tipe 2. Penelitian
yang dilakukan oleh Lie, Jorm dan Banks mengemukakan
bahwa resiko terkena penyakit diabetes tipe 2 meningkat 50%
pada ibu yang tidak menyusui (Monika, 2016 : 8)
5. Mengurangi resiko terkena rheumatoid arthitis oleh karlson
(dalam Monika, 2016 : 8). Rheumathoid arthritis merupakan
kelainan autoimun, penelitian yang melibatkan lebih dari 7000
ibu di China menemjukan bahwa menyusui dalam jangka
panjang mengurangi resiko terkena rheumatoid arthitis hingga
50%.
6. Mengurangi resiko kropos tulang / osteoporosis oleh chantry
rheumatoid arthitis Bukti penelitian ini adalah wanita
menyusui beresiko rendah menderita kropos tulang (Monika,
2016 : 8).
7. Menjadi metode kontrasepsi yang paling aman dan efektif oleh
vekemans (dalam Monika, 2016: 8) yaitu sebesar 98% ibu
menyusui eksklusif selama 6 bulan belum mendapatkan
menstruasi yang pertamakali setelah nifas.
8. Mengurangi resiko obesitas dan lebih cepat mengembalikan
berat badan sepert sebelum hamil oleh Baker (dalam Monika,
2016 : 9). Menyusui eksklusif dapat menghabiskan 500 kalori
per hari (setara dengan berenang 30 putaran atau bersepeda
menanjak selama satu jam). Apalagi jika seorang ibu menyusui
eksklusif selama 1 tahun. Lemak disekitar panggul dan
pinggang yang ditimbun pada masa kehamilan pindah ke
dalam ASI, sehingga ibu lebih cepat langsing kembali (Ratih,
2009 : 60).
9. Mengurangi stres dan kegelisahan oleh Mezzacappa (dalam
Monika, 2016 : 9). Penelitian medis menunjukkan bahwa
32

perempuan yang menyusui bayinya mendapatkan manfaat fisik


dan manfaat emosional (Ratih, 2009 : 60). Saat bayi mengisap
dan kulitnya bersentuhan dengan kulit ibu, hormon prolaktin
dilepaskan dari tubuh ibu dan membuat tenang juga rileks
(Monika, 2016 : 9).
10. Mengurangi ibu menderita depresi pasca persalinan (post
partum depression) oleh kendal (dalam Monika, 2016 : 9).
Hormon oksitosin yang dilepaskan saat menysui menciptakan
kuatnya ikatan kasih sayang, kedekatan dengan bayi, dan
ketenangan.
11. Mengurangi resiko hipertensi pada masa datang (American
journal of epidemology 2011). Penelitian yang dilakukan di
Amerika Serikat dengan sampel lebih dari 50.000 ibu
menemukan bahwa ibu yang menyusui eksklusif selama 6
bulan memiliki resiko hipertensi yang lebih kecil pada masa
yang akan datang (Monika, 2016 : 9).
12. Mengurangi tindakan kekerasan ibu pada anak oleh Stratheam
(dalam Monika, 2016 : 9). Pernyataan tersebut didukung kuat
dalam penelitian terhadap 5890 ibu selama 15 tahun.
13. Mengurangi resiko anemia oleh Dermer (dalam Monika,
2016 : 9). Jumlah zat besi yang digunakan ibu untuk
memproduksi ASI lebih sedikit dibandingkan dengan zat besi
yang hilang dari tubuh ibu akibat pendarahan (nifas maupun
menstruasi).
14. Memudahkan hidup ibu, dengan menyusui ibu tidak perlu
repot menyiapkan botol, membeli susu formula, menyiapkan
susu formula, dan lain-lain (Monika, 2016 : 9)
b. Untuk Keluarga
Menyusui juga tidak hanya memberikan keuntungan bagi ibu
dan bayi saja namun juga bagi keluarga dan lingkungan disekitar ibu
dan bayi. Berikut keuntungan ASI bagi keluarga dan lingkungan
33

diantaranya :
1. Mengurangi kemiskinan dan kelaparan karena ASI sangat ekonomis tidak
seperti susu formula yang membutuhkan biaya tinggi untuk membelinya (Monika,
2016 : 10). Tidak perlu uang untuk membeli susu formula, botol susu, minyak
atau merebus air, susu ataupun peralatan (Ratih, 2009 : 61).
2. Mengurangi anggaran biaya perawatan baik anggaran rumah tangga atau
anggaran perusahaan tempat ibu / ayah bekerja ( Monika, 2016 : 10). Menghemat
waktu keluarga apabila bayi selalu sehat (Ratih, 2009 : 61).
3. Lebih praktis bila berpergian tidak perlu membawa botol, susu, air panas,
dan lain-lain (Ratih, 2009 : 61).
4. Mengurangi penggunaan energi ( yang diperlukan untuk memproduksi
susu formula di pabrik ) dan tidak membahayakan lingkungan (tidak ada sampah
kemasan plastik) (Monika, 2016 : 10).
c. Untuk Masyarakat dan Negara
1. Menghemat devisa negara karena tidak perlu mengimpor susu formula dan
peralatan lain untuk persiapannya.
2. Bayi sehat membuat negara lebih sehat.
3. Terjadi penghematan pada sektor kesehatan karena jumlah bayi sakit lebih
sedikit.
4. Memperbaiki kelangsungan hidup anak dengan menurunkan kematian.
5. Melindungi lingkungan karena tak ada pohon yang digunakan sebagai
kayu bakar untuk merebus air, susu dan peralatannya.
6. ASI adalah sumber daya yang terus menerus diproduksi dan baru.

2.3.3 Komposisi ASI


ASI merupakan cairan nutrisi yang unik, spesifik, dan kompleks
dengan komponen imunologis dan komponen pemacu pertumbuhan.
ASI mengandung sebagian besar air sebanyak 87,5%, oleh karena itu
bayi yang mendapat cukup ASI tidak perlu mendapat tambahan air
walaupun berada di tempat sushu udara panas. Selain itu, berbagai
komponen yang terkandung dalam ASI anatara lain:
34

a. Protein
Kadar protein didalam ASI tidak terlalu tinggi namun
mempunyai peranan yang sangat penting. Di dalam ASI protein
berada dalam bentuk senyawa-senyawa sederhana, berupa asam
amino (Nurhaeni, 2009 : 40). Protein adalah bahan baku untuk
tumbuh, kualitas protein sangat penting selama tahun pertama
kehidupan bayi, karena pada saat ini pertumbuhan bayi paling cepat.
Air susu ibu mengandung protein khusus yang dirancang untuk
pertumbuhan bayi. ASI mengandung total protein lebih rendah tetapi
lebih banyak protein yang halus, lembut dan mudah dicerna.
Komposisi inilah yang membentuk gumpalan lebih lunak yang
mudah dicerna dan diserap oleh bayi (Haryono, dan Setianingsih,
2014 : 18). Protein ASI disusun terbesar oleh : laktalbumin,
laktalglobulin, lactoferrin, dsb yang digunakan untuk pembuatan
enzim anti bakteri (Mangku, 2013 : 36 ). Rasio protein ASI adalah
60:40 sedangkan rasio protein susu sapi hanya 20:80. ASI
mengandung asam amino essential taurin yang tinggi, kadar
metiolin, tirosin, dan fenilalanin ASI lebih rendah dari susu sapi
akan tetapi kadar sistin jauh lebih tinggi. Kadar poliamin dan
nukleotid yang penting untuk sintesis protein (Bahiyatun, 2009 : 13).
b. Lemak
Lemak ASI adalah komponen yang dapat berubah-ubah
kadarnya kadar lemak bervariasi disesuaikan dengan kebutuhan
kalori untuk bayi yang sedang tumbuh. Merupakan sumber kalori
(energi) utama yang terkandung di dalam ASI. Meskipun kadarnya
di dalam ASI cukup tinggi, namun senyawa lemak tersebut mudah
diserap oleh saluran pencernaan bayi yang belum berkembang secara
sempuurna. Hal ini disebabkan karena lemak didalam ASI
merupakan lemak yang sederhana struktur zatnya (jika dikaji dari
sisi ilmu kimia) tidak bercabang-cabang sehingga mudah melewati
saluran pencernan bayi yang belum berfungsi secara optimal
35

(Nurhaeni, 2009 : 39). ASI yang pertama kali keluar disebut susu
mula (foremilk). Cairan ini kira-kira mengandung 1-2% lemak dan
tampak encer. ASI berikutnya disebut susu belakang (hindmilk) yang
mengandung lemak paling sedikit tiga seperempatkali lebih banyak
dari susu formula. Cairan ini memberikan hampir seluruh energi
(Haryono, dan Setianingsih, 2014 : 19).
c. Karbohidrat
Laktosa merupakan komponen utama karbohidrat dalam ASI.
Kandungan laktosa dalam ASI lebih banyak dibandingkan dengan
susu sapi. Laktosa ini jika telah berada di dalam saluran pencernaa
bayi akan dihidrolisis menjadi zat-zat yang lebih sederhana yaitu
glukosa dan galaktosa). Kedua zat inilah yang nanti akan diserap
oleh usus bayi, dan sebagai zat penghasil energi tinggi (Nurhaeni,
2009 : 39). Selain merupakan sumber energi yang mudah dicerna,
beberapa laktosa diubah menjadi asam laktat, asam ini membantu
mencegah pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan dan membantu
dalam penyerapan kalsium dan mineral lainnya (Haryono, dan
Setianingsih, 2014 : 19).
d. Mineral
ASI mengandung mineral yang lengkap. Walaupun kadarnya
relatif rendah tetapi cukup untuk bayi sampai umur 6 bulan. Kadar
kalsium, natrium, kalium, fosfor, dan klorida yang lebih rendah
dibandingkan dengan susu sapi, tetapi dengan jumlah itu sudah
cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi bahkan mudah diserap
tubuh. Kandungan mineral pada susu sapi memang cukup tinggi,
tetapi hal tersebut justru berbahaya karena apabila sebagian besar
tidak dapat diserap maka akan memperberat kerja usus bayi dan akan
mengganggu sistem keseimbangan dalam pencernaan (Lesmana,
Sandi, Mera & Nisman, 2011 : 12). Jenis mineral essensial ( vital )
lain yang terkandung di dalam ASI, yaitu senyawa seng (Zn).
Senyawa ini dibutuhkan oleh tubuh bayi untuk mendukung
36

pertumbuhan dan perkembangan (karena senyawa yang berperan


sebagai katalisator (pemacu) pada proses-proses metabolisme
didalam tubuh.mineral seng juga berperan dalam pembentukan 25
antibodi, sehingga meningkatka imunitas tubuh bayi dari penyakit-
penyakit tertentu ( Nurhaeni, 2009 : 42).
e. Vitamin
Vitamin dalam ASI dapat dikatakan lengkap. Vitamin A, D,
dan C cukup, sedangkan golongan vitamin B kurang (Haryono, dan
Setianingsih, 2014 : 19). Selain itu vitamin yang terkandung di
dalam ASI meliputi Vistamin E, vitamin K, karoten, biotin kolin,
asam folat, inositol, asam nikotinat (niasin), asam pathotenat,
prodoksin (Vitamin B3), riboflavin (vitamin B2), thiamin (vitamin
B1) dan sianokobalamin (vitamin B12) (Nurhaeni, 2009 : 42)

2.3.4 ASI Menurut Stadium Laktasi


Menurut stadium laktasinya ASI dibedakan menjadi tiga bagian
berikut ini :
1. Kolostrum
Ibu yang melahirkan normal memiliki kesempatan untuk
memberikan kolostrum. Bagi ibu yang melahirkan melalui operasi
caesar, tentunya diperlukan peran tenaga medis dananggota keluarga
lain agar kolostrum dapat diberikan kepada bayi (Anggraini, dan
Sutomo, 2010: 20). Kolostrum merupakan cairan piscous dengan
warna kekuning-kuningan dan lebih kuning dibandingkan susu yang
matur, Kolostrum juga dikenal dengan cairan emas yang encer
berwarna kuning (dapat pula jernih) dan lebih menyerupai darah
daripada susu karena mengandung sel hidup menyerupai sel darah
putih yang dapat membunuh kuman penyakit (Haryono, dan
Setianingsih, 2014 : 17). Oleh karena itu, kolostrum harus diberikan
pada bayi. Kolostrum melapisi usus bayi dan melindunginya dari
bakteri. Merupakan suatu laxanif yang ideal untuk membersihkan
37

meconeum usus bayi yang baru lahir. Dapat dikatakan bahwa


kolostrum merupakan obat untuk membersihkan saluran pencernaan
dari kotoran bayi dan membuat saluran tersebut siap menerima
makanan (Marmi, 2012 : 14).
Kolostrum disekresi oleh kelenjar payudara dari hari pertama
sampai ketiga atau keempat. Pada awal menyusui, kolostrum yang
keluar mungkin hanya sesendok teh saja. Pada hari pertama pada
kondisi normal produksi kolostrum sekitar 10 - 100 cc dan terus
meningkat setiap hari sampai sekitar 150 – 300 ml / 24 jam.
Kolostrum lebih banyak mengandung protein dan zat anti infeksi 10
- 17 kali lebih banyak dibandingkan dengan ASI matur, tetapi kadar
karbohidrat dan lemak lebih rendah. Komposisi dari kolostrum dari
19 hari ke hari selalu berubah. Rata-rata mengandung protein 8,5%,
lemak 2,5%, karbohidrat 3,5%, corpusculum colostrums, garam
mineral (K,Na, dan Cl) 0.4% air 85,1% leukosit sisa-sisa epitel yang
mati, dan vitamin yang larut dalam lemak lebih banyak. Selain itu,
terdapat zat yang menghalangi hidrolisis protein sebagai zat anti
yang terdiri atas protein tidak rusak (Astutik, 2014 : 36). Fungsi
kolostrum adalah memberikan gizi dan proteksi yang terdiri atas zat
sebagai berikut :
1. Imunoglobulin, untuk melapisi dinding usus yang berfungsi untuk
mencegah penyerapan protein yang mungkin menyebabkan alergi
(Astutik, 2014 : 36). Dibandingkan dengan ASI mature yang
protein utamanya adalah casein, pada coloustrum protein
utamanya adalah globulin sehingga dapat memberikan daya
perlindungan tubuh terhadap infeksi (Marmi, 201 : 15).
2. Laktoferin merupakan protein yang mempunyai afinitas yang
tinggi terhadap zat besi. Kadar laktoferin yang tertinggi pada
kolostrum dan air susu ibu adalah pada 7 hari pertama
postpartum. Kandungan zat besi yang rendah pada kolostrum dan
38

air susu ibu akan mencegah perkembangan bakteri patogen


(Astutik,2014 :36).
3. Lisosom berfungsi sebagai anti bakteri dan menghambat
pertumbuhan berbagai virus. Kadar lisosom pada kolostrum dan
air susu jauh lebih besar kadarnya dibanding susu sapi
(Astutik,2014 :36).
4. Faktor antitripsin berfungsi menghambat kerja tripsin sehingga
akan menyebabkan imunoglobulin pelindung tidak akan dipecah
oleh tripsin (Astutik, 2014 : 36).
5. Lactobasillus ada di dalam usus bayi dan menghasilkan berbagai
asam yang mencegah pertumbuhan bakteri patogen. Untuk
pertumbuhannya, 20 Lactobasillus membutuhkan gula yang
mengandung nitrogen yaitu faktor bifidus. Faktor bifidus ini
terdapat di dalam kolostrum dan air susu ibu. Faktor bifilus tidak
terdapat dalam susu sapi (Astutik, 2014 : 36-37).
2. Air Susu Masa Peralihan
ASI peralihan adalah ASI yang keluar setelah kolostrum
sampai sebelum menjadi ASI yang matang/matur (Astutik, 2014 :
36-37). Ciri dari air susu pada masa peralihan adalah sebagai berikut:
1. Peralihan ASI dari kolostrum sampai menjadi ASI yang matur.
2. Disekresi dari hari ke-4 sampai hari ke-10 dari masa laktasi. Teori
lain, mengatakan bahwa ASI matur baru terjadi pada minggu ke-3
sampai dengan minggu ke-5.
3. Kadar lemak, laktosa, dan vitamin larut air lebih tinggi, dan kadar
protein mineral lebih rendah serta mengandung lebih banyak
kalori daripada kolostrum (Hesti Widuri, 2013 : 33).
4. Volume ASI juga akan makin meningkat dari hari ke hari
(Marmi, 2012 : 15) sehingga pada waktu bayi berumur tiga bulan
dapat diproduksi kurang lebih 800 ml/hr.
d. Air Susu Matang (Matur)
Merupakan cairan yang berwarna putih kekuningan,
39

mengandung semua nutrisi. Terjadi pda hari ke 10 sampai seterusnya


(Haryono, Setianingsih, 2014 : 18). Ciri dari susu matur adalah
sebagai berikut :
1. ASI yang disekresikan pada hari ke 10 dan seterusnya. Komposisi
relatif konstan (Haryono, Setianingsih, 2014 : 18). Tetapi, ada
juga yang 21 mengatakan bahwa minggu ke 3 sampai 5 ASI
komposisinya baru konstan (Marmi, 2012 : 16).
2. Pada ibu yang sehat, produksi ASI untuk bayi akan tercukupi. Hal
ini dikarenakan ASI merupakan makanan satu-satunya yang
paling baik dan cukup untuk bayi sampai usia enam bulan
(Astutik, 2014 : 38).
3. Cairan berwarna putih kekuning - kuningan yang diakibatkan
warna dari garam Ca-caseinant, riboflavin, dan karoten yang
terdapat di dalamnya (Bahiyatun, 2009 : 12).
4. Tidak menggumpal jika dipanaskan (Bahiyatun, 2009 : 12).
5. Terdapat faktor antimikrobial (Astutik, 2014 : 38).
6. Interferon producing cell (Bahiyatun, 2009 : 12).
7. Sifat biokimia yang khas, kapasitas buffer yang rendah, dan
adanya faktor bifidus (Astutik, 2014 : 38).

2.3.5 Jenis – Jenis ASI


Berikut ini adalah jenis – jenis ASI berdasarkan sifat dan
kandungan gizinya adalah sebagai berikut :
a. Foremilk
Foremilk adalah ASI yang encer yang di produksi pada awal
proses menyusui dengan kadar air yang tinggi dan mengandung
banyak protein, laktosa, serta nutrisi lainnya tetapi rendah lemak
(Depkes RI, 2007). Foremilk disimpan pada saluran pemyimpanan
dan keluar pada awal menyusui. Foremilk merupakan ASI yang
keluar pada lima menit pertama. ASI ini lebih encer dibandingkan
hindmilk, dihasilkan sangat banyak, dan cocok untuk menghilangkan
40

rasa haus bayi (Astutik, 2014 : 39).


b. Hindmilk
Hindmilk adalah ASI yang mengandung tinggi lemak yang
memberikan banyak zat tenaga / energi dan diproduksi menjelang
akhir proses menyusui (Depkes RI, 2007). Hindmilk keluar setelah
foremilk habis saat menyusui hampir selesai, sehingga bisa
dianalogikan seperti hidangan utama setelah hidangan pembuka.
Jenis air susu ini sangat kaya, kental, dan penuh lemak dan vitamin.
Hindmilk mengandung lemak 4-5 kali dibanding foremilk. Bayi
memerlukan foremilk dan hindmilk (Astutik, 2014: 39).

2.3.6 Faktor ibu tidak memberikan ASI pada bayinya


Keputusan untuk menyusui atau tidak menyusui bayinya adalah
keputusan yang sangat pribadi dari ibu sendiri. Keputusan ini
dipengaruhi oleh gaya hidup ibu, kedaan keuangan ibu, kepercayaan
dan faktor sosial budaya. Berkurangnya jumlah ibu yang menyusui
bayinya dimulai di kota-kota terutama pada keluarga yang
berpenghasilan cukup, yang kemudian menjalar ke daerah pinggiran
kota dan menyebar ke pedesaan. Menurut Syahmien Moehyi, 2010 ada
beberapa alasan mengapa jumlah ibu yang menyusui bayinya cenderung
menurun.
a. Semakin banyaknya ibu yang bekerja mencari nafkah cenderung
untuk tidak menyusui bayinya. Mereka dapat melakukan tersebut
ketika berada di rumah, yaitu sebelum berangkat dan setelah pulang
dari bekerja. Di beberapa perusahaan atau kantor ada yang
menyediakan tempat penitipan bayi, sehingga pada waktu ibu
istirahat, ibu dapat menyusui bayinya di tempat penitipan.
b. Tersedianya bermacam-macam susu/makanan bayi tidak dapat
terpenuhi banyaknya produk susu dari pabrik makanan bayi sudah
dalam bentuk siap pakai (instant milk) sangat memudahkan ibu
untuk menggunakannya. Akan tetapi sebaliknya telah diuraikan
41

terdahulu, seberapa pun baiknya susu sapi olahan, ASI tetap


merupakan makanan yang paling memenuhi syarat untuk bayi.
c. Iklan yang menyesatkan yang mempromosikan produk susu,
perusahaan promosi yang menyatakan produk susu suatu pabrik
sama baik dengan ASI sering dapat menggoyahkan keyakinan ibu,
sehingga tertarik untuk mencoba menggunakan susu instant itu
sebagai makanan bayi.
d. Ada anggapan menyusui adalah lambang keterbelakangan budaya.
Memberi susu botol dianggap sebagai lambang budaya modern dan
sebaliknya menyusui dianggap sebagai lambang keterbelakangan
sesungguhanya adalah salah. Dewasa ini di negara maju seperti di
Eropa dan Amerika justru dilakukan gerakan “Kembali ke air susu
ibu” atau “Back to breast freding”.
e. Alasan estetika, yaitu ibu akan menjadi cepat tua, khawatir akan
hilang kecantikannya dan ibu akan tampak kelihatan tua sungguh
tidak beralasan. Menjadi tua adalah proses alami yang tidak dapat
dihindari, yang harus dilakukan ialah memelihara kebugaran tubuh,
makan makanan yang bergizi, olahraga disamping memelihara
kecantikannya, jadi tidak ada hubungannya dengan menyusui.

2.4 BBLR
2.4.1 Pengertian
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir dengan
berat badan kurang dari 2.500 gram tanpa memandang masa kehamilan.
Dahulu neonatus dengan berat badan lahir kurang 2500 gram atau sama
dengan 2500 gram disebut premature. Pembagian menurut berat badan
ini sangat mudah tetapi tidak memuaskan. Sehingga lambat laun
diketahui bahwa tingkat morbiditas dan mortalitas pada neonatus tidak
hanya bergantung pada berat badan lahir saja, tetapi juga pada tingkat
maturitas bayi itu sendiri (WHO, 2014).
42

2.4.2 Klasifikasi
Klasifikasi BBLR menurut (Tando, 2016) ada beberapa cara
dalam mengelompokkannya yaitu:
a. Klasifikasi BBLR menurut harapan hidupnya:
1. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) berat lahir 1500-2500 gr
2. Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR) berat lahir 1000-1500
gr
3. Bayi Berat Lahir Ekstrim Rendah (BBLR) berat lahir 1000 gr
b. Menurut masa gestasinya:
1) Prematuritas murni: Masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan
berat badanya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi berat
atau biasa disebut neonatus kurang bulan sesuai untuk masa
kehamilan.
2) Dismaturitas: Bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat
badan seharusnya untuk masa gestasi itu. Berat bayi mengalami
retardasi 8 pertumbuhan intrauterin dan merupakan bayi yang
kecil untuk masa kehamilannya (Proverawati & Ismawati, 2012).

2.4.3 Tanda-Tanda Bayi Lahir Rendah


Bayi yang lahir dengan berat badan rendah mempunyai ciri-ciri :
a. Umur kehamilan kurang dari 37 minggu.
b. Berat badan kurang dari 2500 gram.
c. Panjang badan kurang dari 46 cm, lingkar kepala kurang dari 33 cm,
lingkar dada kurang dari 30 cm.
d. Rambut lanugo (rambut halus dan tipis yang muncul pada kulit janin
dan menghilang dalam beberapa waktu setelah kelahiran) masih
banyak.
e. Tulang rawan daun telinga belum sempurna pertumbuhannya.
f. Tumit mengkilap, telapak kaki halus.
43

g. Genitalia belum sempurna seperti pada bayi perempuan labio minora


belum tertutup oleh labia mayora, klitoris menonjol, pada bayi laki –
laki testis belum turun ke dalam skrotum
h. Tonus otot lemah sehingga bayi kurang aktif dan pergerakkannya
lemah dan tangisnya lemah.
i. Verniks kaseosa (sejenis lemak yang menyerupai keju dan
membantu untuk melindungi janin) tidak ada atau sedikit
(Proverawati dan Ismawati, 2012).

2.5 Pola Asuh


2.5.1 Pengertian
Secara etiologi, pola asuh berarti bentuk, tata cara. Sedangkan
asuh berarti merawat, menjaga, mendidik. Sehingga pola asuh berarti
bentuk atau sistem dalam merawat, menjaga dan mendidik. Pola asuh
orang tua adalah interaksi orang tua terhadap anaknya dalam hal
mendidik dan memberikan contoh yang baik agar anak dapat
kemampuan sesuai dengan tahap perkembangannya. (Handayani, dkk,
2017).
Pola asuh orang tua merupakan segala bentuk dan proses interaksi
yang terjadi antara orang tua dan anak yang dapat memberi pengaruh
terhadap perkembangan kepribadian anak. Interaksi orang tua dalam
suatu pembelajaran menentukan karakter anak nantinya (Rakhmawati,
2015).

2.5.2 Tipe Pola Asuh Orang Tua


a. Pola Asuh Otoritatif (Demokratis)
Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya pengakuan
orang tua terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk
tidak selalu tergantung kepada orang tua. Orang tua sedikit member
kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya,
44

anak disengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan


terutama yang menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri. Anak
diberi kesempatan untuk mengembangkan control internalnya
sehingga sedikit demi sedikit berlatih untuk bertanggung jawab
kepada dirinya sendiri.
Anak dilibatkan dan diberi kesempatan untuk berparisipasi
dalam mengatur hidupnya. Di samping itu, orang tua member
pertimbangan dan pendapat kepada anak, sehingga anak mempunyai
sikap terbuka dan bersedia mendengarkan pendapat orang lain,
karena anak sudah terbiasa menghargai hak dari anggota keluarga di
rumah. Mendidik anak denga cara demokratis yaitu orang tua
memberikan pengakuan terhadap kemampuan anak, anak diberi
kesempatan untuk tidak tergantung kepada orang tua. Orang tua
memberi kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang terbaik
baginya, mendengarkan pendapat anak, dilibatkan dalam
pembicaraan, terutama yang menyangkut kehidupan anak sendiri
(Thoha, 2005).
b. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter merupakan cara mendidik anak dengan
menggunakan kepemimpinan ototiter, kepemimpinan otoriter yaitu
pemimpin menentukan semua kebijakan, langkah dan tugas yang
harus dijalankan. Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang ditandai
dengan cara mengasuh anakanak dengan aturan yang ketat, sering
kali memaksa anak untuk berperilaku yang ketat, sering kali
memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua),
kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi, anak
jarang diajak berkounikasi dan diajak ngobrol, bercerita, bertukar
pikiran dengan orang tua. Orang tua malah menggap bahwa semua
sikap yang dilakukan itu sudah benar sehingga tidak perlu minta
pertimbangan anak atas semua keputusan yang mengangkat
permasalahan anak-anaknya. Pola asuh yang bersifat otoriter ini juga
45

ditandai dengan hukuman-hukuman yang dilakukan dengan keras,


anak juga diatur dengan berbagai macam aturan yang membatasi
perlakuannya. Perlakuannya seperti ini sangat ketat dan bahkan
masih tetap diberlakukan sampai anak tersebut menginjak dewasa
(Hurlock, 2013).
c. Pola Asuh Permisif
Pola asuh permisif adalah membiarkan anak bertindak sesuai
dengan keinginanya, orang tua tidak memberikan hukuman dan
pengendalian. Pola asuh ini ditandai dengan adanya kebebasan tanpa
batas pada anak untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya
sendiri, orang tua tidak pernah memberikan aturan dan pengarahan
kepada anak, sehingga anak akan berperilaku sesuai dengan
keinginannya sendiri walaupun terkadang bertentangan dengan
norma sosial (Hurlock, 2013).
d. Pola Asuh Lalai
Pola asuh lalai (neglectful parenting) merupakan gaya ketika
orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak-anak
yang orang tuanya lalai mengembangkan rasa bahwa aspek lain
kehidupan orang tua lebih penting daripada mereka. Anak-anak
tersebut cenderung tidak kompeten secara sosial. Banyak orang
miskin dalam pengendalian dirinya kurang mandiri. Mereka sering
memiliki harga diri rendah dan tidak matang, serta mungkin terasing
dari keluarga.

2.5.3 Jenis-Jenis Pengasuhan


a. Pola Asuh oleh Orang Tua
Sudah menjadi tugas orang tua untuk memberikan anak
pengalaman yang dibutuhkan anak agar kecerdasannya berkembang
sempurna. Ayah dan ibu memiliki peran yang sama dalam
pengasuhan anak-anaknya. Namun ada sedikit perbedaan dalam
sentuhan dari apa yang ditampilkan oleh ayah dan ibu. Peran ibu,
46

antara lain : menumbuhkan perasaan sayang, cinta, melalui kasih


sayang dan kelembutan seorang ibu, menumbuhkan kemampuan
berbahasa dengan baik kepada anak, mengajarkan anak perempuan
berperilaku sesuai jenis kelaminnya dan baik. Peran ayah, antara lain
: menumbuhkan rasa percaya diri dan berkompeten kepada anak,
memumbuhkan untuk anak agar mampu berprestasi, mengajarkan
anak untuk tanggung jawab (Rakhmawati, 2015).
b. Pola Asuh oleh Orang Tua Tunggal
Menjadi orang tua tunggal membutuhkan tenaga ekstra dalam
merawat anak. Orang tua tunggal dapat terjadi akibat perceraian atau
perpisahan, kematian pasangan, wanita tidak menikah yang
membesarkan anaknya sendiri, atau adopsi oleh pria atau wanita
yang tidak menikah. Pola asuh dengan orang tua tunggal memiliki
beberapa masalah yang dapat memengaruhi kesehatan anak-anak.
Hidup dalam rumah tangga dengan orang tua tunggal dapat
menimbulkan stress baik bagi individu dewada dan anak-anak.
Orang tua tunggal dapat merasa kewalahan karena tidak ada individu
lain untuk berbagi tanggung jawab sehari-hari dalam mengatur
asuhan anak-anak, mempertahankan pekerjaan, menjaga rumah dan
keuangan. Kounikasi dan dukungan penting untuk optimalitas fungsi
pola asuh dengan orang tua tunggal. Orang tua tunggal harus
memberikan dukungan yang lebih besar untuk anak-anak mereka
(kyle, terri, dan susan carman, 2014).
c. Pola Asuh dengan Kakek-Nenek
Dalam pola asuh oleh kakek-nenek, nenek memiliki
kecendrungan lebih banyak untuk mengasuh sang cucu
dibandingkan kakek. Penelitian secara konsisten telah menemukan
bahwa nenek memiliki kontak yang lebih banyak dengan cucunya
dibandingkan kakek. Peran kakek-nenek dapat memiliki fungsi yang
berbeda dalam keluarga, kelompok etnis dan budaya, dan situasi
yang berbeda. Keberagaman pengasuhan cucu pada usia lanjut juga
47

timbul pada penyidikan debelumnya tentang bagaimana kakek-nenek


berinteraksi dengan cucu mereka (Khairina, Erriz, dan Yapina,
Widyawati, 2013).
d. Pola Asuh dengan Perawat Asuh
Perawat asuh adalah situasi ketika anak diasuh dalam situasi
hidup lain yang terpisah dari orang tua atau wali legalnya. sebagian
besar anak-anak yang ditempatkan dalam perawat asuh telah menjadi
korban penganiayaan atau pengabaian. Anak-anak dalam perawat
asuh lebih cenderung memperlihatkan banyak masalah medis, emosi,
perilaku atau perkembangan. Perhatian individual terhadap anak
dalam perawatan asuh sangat penting. Pendekatan multidisiplin
terhadap asuhan yang mencakup orang tua kandung, orang tua asuh,
anak, professional layanan kesehatan, dan pelayanan pendukung
sangat penting untuk memenuhi kebutuhan anak akan pertumbuhan
dan perkembangan. Perawat memainkan peran penting dalam
mendukung anak.

2.6 Peran Bidan

2.6.1 Definisi

Menurut WHO Bidan adalah seseorang yang telah diakui secara


reguler dalam program pendidikan kebidanan sebagaimana yang diakui
yuridis, dimana ia ditempatkan dan telah menyelesaikan pendidikan
kebidanan dan telah mendapatkan kualifikasi serta terdaftar disahkan
dan mendapatkan ijin melaksanakan praktik kebidanan.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan pasal
46 menjelaskan tentang tugas bidan. Tugas bidan meliputi pelayanan
kesehatan ibu dan anak, reproduksi perempuan, dan keluarga
berencana. Didalamnya termasuk pencegahan stunting sebagai
48

pelayanan dari kesehatan ibu dan anak. Bidan adalah salah satu tenaga
yang memberikan pengawasan untuk memastikan bahwa nutrisi dan
program pendidikan kesehatan reproduksi berlanjut melaui 2 tahun
pertama kehidupan bayi, pertumbuhan dan perkembangan bayi, dapat
membantu mencegah stunting. Peran bidan dalam pencegahan stunting
ini meliputi intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif.
Intervensi gizi spesifik merupakan intervensi yang ditujukan kepada
anak dalam 1000 hari pertama kelahiran (PKH) dan berkontribusi pada
30% penuruan stunting. Sedangkan intervensi gizi sensitive merupakan
intervensi yang dilakukan menanggulangi penyebab tidak langsung
terjadinya stunting, seperti lingkungan yang buruk, kurangnya akses
terhadap layanan kesehatan berkualitas, pola asuh yang tidak memadai
serta permasalahan ketahanan pangan ditingkat rumah tangga
(Kemenkes, 2017).

2.6.2 Peran Bidan


Peran merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain
terhadap seseorang sesuai dengan kedudukan dalam suatu sistem.
Dalam melaksanakan profesinya bidan memiliki peran sebagai berikut:
1) Konselor
Pemandu adalah individu yang memberikan bantuan
kepada orang lain hanya dalam memutuskan atau menangani
masalah melalui pemahaman realitas saat ini, asumsi, persyaratan
dan sensasi klien. Menasihati tidak sama dengan menyampaikan
proklamasi-proklamasi yang mendidik karena pengarahan adalah
suatu upaya untuk mencapai perubahan perilaku yang dilakukan
secara sendiri-sendiri atau berkelompok dengan memanfaatkan
surat-menyurat yang berhasil, untuk menyatakan hal-hal sesuai
dengan keadaan objektif sehingga tujuan merasakan permasalahan
dan pedoman dalam pelaksanaannya. Buruh kesejahteraan harus
memiliki pilihan untuk menjadi pemandu untuk melakukan
49

pekerjaan mereka dan bekerja sebagai agen administrasi


kesejahteraan lokal. Karakteristik instruktur yang baik akan
mendidik daripada terlibat dan mengakui orang lain, siap untuk
mendengarkan dan sabar, penuh harapan, sadar, terbuka untuk
berbagai perspektif dan koneksi, tidak kritis, dapat tetap bijaksana,
memberi energi navigasi, menawarkan bantuan. , menyusun
pekerjaan yang didasarkan pada kepercayaan, dapat memberikan,
memahami perasaan dan kekhawatiran orang lain, dan memahami
batasan mereka.
2) Pendidik
Pekerjaan pekerja kesejahteraan sebagai guru diselesaikan
dengan membantu klien dalam memperluas informasi tingkat
kesejahteraan, efek samping penyakit dan selanjutnya kegiatan
yang diberikan, sehingga penyesuaian perilaku klien terjadi setelah
pelatihan kesejahteraan dilakukan.
3) Fasilitator
Fasilitator adalah individu atau unsur yang memberikan
kenyamanan atau kenyamanan. Pekerja kesehatan harus dapat
bertindak sebagai fasilitator bagi klien untuk mencapai status
kesehatan yang ideal. Pekerjaan memberi pertolongan dipandang
sebagai pekerjaan utama spesialis persalinan, terutama oleh
individu di luar kota. Individu akan merasa lebih terbuka jika
mendapatkan pelayanan sesuai dengan yang diharapkan secara
umum. Orang yang senang dengan apa yang diberikan akan mudah
terpengaruh dan diberi masukan karena mereka telah merasakan
kepatutan pelayanan kesehatan yang didapat.

2.6.3 Penggabungan Peran Bidan


50

Salah satu upaya yang dilakukan oleh seorang spesialis


mencoba memberikan pengaturan dan perhatian wali dalam
memeriksa perkembangan anak.

2.7 Kerangka Konsep

Faktor – faktor yang mempengaruhi


terjadinya stunting
Langsung
Asupan Makanan
Zat gizi
ASI Ekslusif
Penyakit Infeksi
BBLR
Kejadian Stunting
Tidak langsung
Pengetahuan
Pendidikan
Sosial ekonomi
Pola Asuh
Ketersediaan pangan
Jumlah Keluarga

Sumber: (Supariasa (2012), dalam Lainua (2016).


Bagan 2.1 Kerangka Teori
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian yang bersifat
deskriptif analitik dengan menggunakan pendekatan Cross sectional, yaitu
penelitian dimana variabel independen dan variabel dependen diambil dalam
waktu bersamaan dimana untuk mempelajari dinamika kolerasi antara faktor-
faktor risiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau
pengumpulan data sekaligus pada waktu yang sama. (Notoatmodjo, 2018).

3.2 Kerangka Penelitian


Kerangka penelitian merupakan suatu cara yang digunakan untuk
menjelaskan hubungan atau kaitan antara variabel yang akan
diteliti (Notoatmodjo, 2018).

Pemberian ASI eklusif Kejadian Stunting Pada


BBLR Balita
Pola Asuh

Bagan 3.1 Kerangka Penelitian

3.3 Variabel Penelitian


Variabel adalah karakteristik yang diamati yang mempunyai variasi
nilai dan merupakan operasionalisasi dari suatu konsep agar dapat diteliti
secara empiris atau ditentukan tingkatannya (Notoatmodjo, 2018). Variabel
dalam penelitian ini terdiri dari 2 variabel yaitu:
1. Varibel Independent (bebas)
Variabel Independent adalah Variabel independen, merupakan
variabel yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel
dependen (terikat). (Notoatmodjo, 2018). Variabel bebas dalam
penelitian ini adalah pemberian ASI ekslusif, BBLR, pola asuh.

51
52

2. Variabel Dependent (Tak bebas)


Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau
menjadi akibat karena variabel bebas. (Notoatmodjo, 2018). Variabel tak
bebas dalam penelitian ini adalah pemilihan kejadian stunting.

3.4 Definisi Operasional


Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil ukur Skala
1 Stunting Keadaan microtoise 1. Tidak Stunting Ordinal
kekurangan gizi keteliti an (-2 SD sd +3
kronis yang 0,1 cm. tabel SD)
disebabkan oleh ZScore 2. Stunting
asupan gizi yang (< -3 SD sd <
kurang dengan -2 SD )
kebutuhan gizi dan
berada pada batas
ukuran sesuai
dengan tabel score
TB/U
2 Pemberian Menyusui secara Kuisioner 1.Tidak Asi Ordinal
ASI ekslusif eksklusif selama Eksklusif jika
enam bulan, tanpa < Median (6)
memberikan 2.Asi Eksklusif
makanan jika ≥ Median
tambahan lainnya (6)
selain ASI.
3 BBLR Berat badan bayi Buku KIA 1. Tidak BBLR Ordinal
yang ditimbang (BBL ≥2.500-
saat lahir 4000 gram)
2. BBLR
(BB 1500 sd <
2.500 gram)
4 Pola asuh Pola perilaku ibu Kuisioner 1. Kurang baik , Ordinal
yang diterapkan jika < Mean
kepada balita usia (48,27)
25-59 bulan dalam 2. Baik, jika ≥
memberikan Mean (48,27)
makan untuk
menentukan pola
asuh baik dan
kurang baik
53

3.5 Populasi dan sampel Penelitian


3.5.1 Populasi
Populasi adalah sekelompok subyek dengan karakteristik
tertentu (Notoatmodjo, 2018).
Populasi pada penelitian ini adalah balita stunting di Wilayah
Kerja Puskesmas Buniwangi Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi
sampai bulan Okotober tahun 2022 sebanyak 188 balita.
3.5.2 Sampel
Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti dan
dianggap mewakili seluruh populasi. (Notoatmodjo, 2018)
Sampel pada penelitian ini adalah balita stunting di Wilayah
Kerja Puskesmas Buniwangi Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi
pada bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober tahun 2022 sebanyak
66 balita.
1. Kriteria sampel
a. Kriteria Inklusi
1) Ibu yang memiliki balita usaia 0-5 tahun di wilayah Puskesmas
Buniwangi
2) Pada Kelompok kasus ibu balita usia 0-5 tahun dengan nilai Z-
Score <-2 SD sampai dengan -3 SD berdasarkan TB/U
sedangkan pada kelompok kontrol ibu balita usia 25-59 bulan
dengan nilai Z-Score -1 SD sampai dengan +2 SD berdasarkan
TB/U.
3) Ibu bersedia menjadi responden
b. Kriteria Eksklusi
1) Ibu balita pindah tempat tinggal saat penelitian berlangsung.
2) Balita tidak dalam keadaan sakit (diare, infeksi pernafasan
ISPA, malaria) atau dalam perawatan dokter.
2. Besaran Sampel
Ukuran sampel atau sample size adalah banyaknya individu,
subyek, atau elemen dari populasi yang diambil dari sampel (Husani
54

dan Purmomo dalam buku Handani, 2020).


Ukuran untuk mendapatkan sampel yang dapat
menggambarkan populasi. Jika ukuran populasinya diketahui dengan
pasti, untuk menentukan berapa jumlah sampel yang harus diambil
dari populasi maka digunakan slovin sebagai berikut:

Keterangan :
n = Jumlah Sampel
N = Jumlah seluruh populasi
E = toleransi error 10%

Kseimpulan : Sampel yang didapatkan sebanyak 66 balita


3. Tehnik Pengambilan sampel
Teknik sampling adalah cara untuk menentukan sampel yang
jumlahnya sesuai dengan ukuran sampel yang akan dijadikan sumber
data sebenarnya, dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran
populasi agar diperoleh sampel yang representative (Murgono, 2004
dalam buku Handani 2020).
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah Pada
penelitian ini menggunakan teknik random sampling. Teknik random
sampling yaitu teknik pengambilan sampel dengan cara acak tanpa
memperhatikan strata yang ada dalam anggota populasi.
(Notoatmodjo, 2018)
55

Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan cara :


a. Mendapatkan data balita di wilayah kerja Puskesmas Buniwangi
dari pihak puskesmas kemudian diberi penomoran yang
selanjutnya dilakukan pengundian secara acak (simple random
sampling method) dengan bantuan Excel untuk penarikan sampel
kasus sebanyak 100 sampel
b. Menemui kader tiap desa dan menanyakan keberadaan serta
lokasi rumah responden yang dijadikan sampel penelitian
dilanjutkn kunjungan rumah (door to door).
c. Kemudian melakukan pengukuran ulang (tinggi badan dan umur)
untuk memastikan sampel termasuk bagian kasus atau kontrol.
d. Selanjutnya mengklarifikasi kembali kriteria eksklusi balita
sedang tidak dalam keadaan sakit atau dalam perawatan dokter.

3.6 Teknik Pengumpulan Data


3.6.1 Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data menurut Hardani (2020) merupakan
langkah yang paling strategis dalam penelitian karena tujuan utama dari
penelitian adalah mendapatkan data tanpa mengetahui Teknik
pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang
ditetapkan.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dibagi atas 3
(tiga) yaitu:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari responden. Data
primer yang didapat dalam penelitian ini yaitu data yang langsung
diambil dari responden (Notoatmodjo 2018).
Data primer dalam penelitian ini adalah data yang didapat
langsung dari responden dengan cara wawancara menggunakan
kuesioner berupa pertanyaan yang telah disiapkan sesuai tujuan
penelitian yaitu mendapatkan informasi dengan cara menjawab
56

pertanyaan yang telah disediakan.


b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang didapatkan dari pihak lain
baik perorangan maupun lembaga tertentu yang sudah diolah
(Notoatmodjo 2018). Data sekunder pada penelitian ini meliputi
data-data yang didapatkan Puskesmas.
c. Data tertier
Data ini diperoleh dari naskah yang sudah dipublikasikan.
Diperoleh dari berbagai referensi yang sangat valid, seperti: jurnal,
textbook, sumber elektronik (tidak boleh sumber anonim).

3.6.2 Instrumen Penelitian


Menurut Sugiyono (2017) instrument penelitian adalah suatu
alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun sosisal yang
diamati. Instrumen penelitian digunakan sebagai alat pengumpulan
data, dan instrumen yang lazim digunakan dalam penelitian adalah
beberapa daftar pertanyaan serta kuesioner yang disampaikan dan
diberikan kepada masing-masing responden yang menjadi sampel
dalam penelitian.
Instrumen/alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini alah
sebagai berikut :
1. Register data pantauan status gizi Puskesmas Buniwangi
2. Angket untuk mengkaji karakteristik berisi umur, pendidikan ibu,
pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, dan jenis pola asuh.
3. Kuisioner pola asuh ibu dengan penilaian menggunakan skala likert.

Tabel. 3.2 Skala Likert


Pernyataan Nilai Keterangan
Selalu 4 Apabila dilakukan setiap hari
Sering 3 Apabila dilakukan sebanyak 5-6 kali dalam
seminggu
Jarang 2 Apabila dilakukan sebanyak 1-3 kali dalam
seminggu
Tidak pernah 1 Apabila tidak pernah dilakukan
57

Adapun Kisi-kisi angket pola asuh ibu dapat dilihat pada tabel
sebagai berikut :
Tabel. 3.3 kisi-kisi kuesioner pola asuh
Dimensi Indikator Jumlah
Dimandingness Pemantauan dalam memilih makanan 1
perilaku makan anak (monitoring) 2
pembatasan untuk mengendalikan berat 3
badan anak (retriction)
pembatasan asupan makan dalam porsi 3
makan (pressure to eat)
mendorong atau menuntut anak untuk 5
makan
merekomendasikan pencegahan dan 3
penanganan berat badan (child control)
Responsiveness pemberian contoh perilaku makan orang tua 3
kepada anak (item modelling)
pengaturan emosi saat makan (emotion 2
regulation)
pengajaran tentang kesehatan dan gizi 3
(teaching about nutrition)
makanan sebagai hadiah (food as a reward) 1
keterlibatan anak dalam pemilihan makanan 2
(involvement)
mendorong keseimbangan makanan dan 2
jenis makanan (enchourage balance and
variety)
Total Pernyataan 29

3.6.3 Prosedur Penelitian


Prosedur penelitian yaitu langkah-langkah yang dipakai untuk
mengumpulkan data guna menjawab pertanyaan penelitian yang
diajukan didalam penelitian ini. Prosedur penelitian secara garis besar
dibagi dalam tiga tahapan yaitu pembuatan rancangan penelitian,
pelaksanaan penelitian, dan pembuatan laporan penelitian
Tahap I : Persiapan
a. Mengurus izin studi pendahuluan di bagian akademik Jurusan
Kebidanan Institut Rajawali Bandung
58

b. Melakukan studi pendahuluan di Puskesmas Buniwangi untuk


menentukan sasaran penelitian
c. Menyusun proposal skripsi dengan penyusunan proposal penelitian
dimulai pada bulan Agustus 2022 kemudian konsultasi
pembimbing, serta pemaparan usulan penelitian kepada dewan
penguji pada bulan Januari 2019.
d. Mengurus izin uji validitas dan izin penelitian di bagian akademik
Jurusan Kebidanan Institut Rajawali bandung
e. Mengurus etical clearance pada Komisi Etik Penelitian Kesehatan
(KEPK) Institut Rajawali Bandung.
Tahap III : Pelaksanaan
a. Mengajukan surat uji validitas ke Puskesmas Buniwangi
b. Melakukan uji validitas yang telah dilakukan pada bulan Oktober
2022 di Desa Pasiripis mencari responden sebanyak 30 sampel.
Kuisioner yang telah valid dan reliabel akan dijadikan bahan
kuisioner penelitian.
c. Mengajukan surat izin penelitian ke Puskesmas Buniwangi yang
sebelumnya telah mendapat surat pengantar dari Dinas Penanaman
Modal dan Perizinan Kabupaten Sukabumi.
d. Peneliti datang ke Puskesmas Buniwangi untuk mendapatkan data
pantauan status gizi balita di wilayah kerja Puskesmas Buniwangi
e. Peneliti melakukan kunjungan rumah yang sebelumnya dibantu
kader dalam memberikan petunjuk jalan ke rumah responden dan
peneliti dibantu asisten penelitian sebanyak 1 orang/kunjungan
untuk menemani peneliti dalam melakukan penelitian.
f. Peneliti mengukur tinggi badan balita untuk croscheck data kejadian
stunting yang peneliti terima dari pihak Puskesmas kemudian jika
telah didapatkan z-score maka dimasukan pada kelompok kasus
atau kontrol.
59

g. Kemudian peneliti menjelaskan lembar angket, tujuan dari peneliti,


dan lembar persetujuan informed consent tertulis kepada responden
dengan pendampingan.
h. Pengerjaan kuisioner diberi waktu selama 30 menit kemudian,
peneliti melakukan pengecekan data, data yang kurang ditanyakan
kepada responden untuk meminimalisir risiko kurang data ketika
pengolahan.
i. Pemberian souvenir berupa bolpoint custom sebagai ucapan
terimakasih atas kesediaannya menjadi responden penelitian.
Tahap III : Penyelesaian
a. Peneliti melakukan penyusunan dan pengolahan laporan hasil penelitian
yang telah dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Buniwangi.
b. Data yang telah diolah, kemudian disusun dan dibuat laporan penelitian
kemudian hasil penelitian diseminarkan didepan dewan penguji.
d. Uji Validitas dan Reliabilitas
1) Uji Validitas
Menurut Sugiyono (2017: 125) menunjukkan derajat
ketepatan antara data yang sesungguhnya terjadi pada objek
dengan data yang dikumpulkan oleh peneliti. Uji validitas ini
dilakukan untuk mengukur apakah data yang telah didapat setelah
penelitian merupakan data yang valid atau tidak, dengan
menggunakan alat ukur yang digunakan (kuesioner).
n ∑ XY-( ∑ X. ∑ Y)
r hitung =
√{n ∑ X 2 - (∑ X 2 )}{n ∑ Y 2 -( ∑ Y) 2 }
Keterangan:
R xy = Koefisien korelasi
N = Banyaknya sampel
Σ XY = Jumlah perkalian variabel x dan y
ΣX = Jumlah nilai variabel x
ΣY = Jumlah nilai variabel y
Σ X2 = Jumlah pangkat dari nilai variabel x
60

Σ Y2 = Jumlah pangkat dari nilai variabel y


Pengujian validitas ini dilakukan dengan menggunakan
program SPSS 22.0 for windows dengan kriteria berikut :
1. Jika r hitung > r tabel maka pernyataan tersebut dinyatakan
valid.
2. Jika r hitung < r tabel maka pernyataan tersebut dinyatakan
tidak valid.
3. Nilai r hitung dapat dilihat pada kolom corrected item total
correlation.
Angket/kuisioner yang di gunakan dalam penelitian ini
merupakan kuisioner yang sebelumnya sudah diuji oleh Corry
Ocvita Sari pada tahun 2018 di Wilayah Kerja Puskesmas
Pengasih II pada ibu yang memiliki balita usia 25-59 bulan dengan
jumlah 35 responden dimana pencarian responden dibantu oleh kader
melalui data balita yang berusia 25-59 bulan. Dari hasil uji validitas
angket dinyatakan valid karena berdsarkan uji validitas didapatkan nilai
hitung > r tabel (0,344).
2) Uji Reliabilitas
Menurut Sugiyono (2017: 130) menyatakan bahwa uji
reliabilitas adalah sejauh mana hasil pengukuran dengan
menggunakan objek yang sama, akan menghasilkan data yang
sama. Variabel dinyatakan reliabel dengan kriteria berikut :
a) Jika r-alpha positif dan lebih besar dari r-tabel maka
pernyataan tersebut reliabel.
b) Jika r-alpha negatif dan lebih kecil dari r-tabel maka
pernyataan tersebut tidak reliabel.
(1) Jika nilai Cronbach’s Alpha > 0,6 maka reliable
(2) Jika nilai Cronbach’s Alpha < 0,6 maka tidak reliable
Variabel dikatakan baik apabila memiliki nilai Cronbach’s
Alpha > dari 0,6 (Priyatno, 2013: 30)
Uji reliabilitas angket dalam penelitian ini dinyatakan reabiltas
61

Nilai Cronbach’s Alpha (0,9) > konstanta (0,6) maka pernyataan


tersebut reliable.

3.7 Pengolahan dan Analisis Data


3.7.1 Pengolahan Data
Setelah semua data terkumpul, data tersebut diolah secara
manual dan disajika dalam bentuk dan proses dengan langkah sebagai
berikut:
1. Editing (Pengeditan Data)
Angket yang telah diisi oleh responden terlebih dahulu diedit
untuk mengecek kebenaran data berdasarkan pengisian angket. Pada
tahap editing ini peneliti melakukan pengecekan kelengkapan data-
data yang ada terutama dalam kelengkapan data angket.
2. Scoring
Dalam menentukan nilai median dibutuhkan scoring dengan
tahap sebagai berikut :
a. Menjumlahkan skor masing-masing responden dari 2 dimensi
serta batas nilai maksimun yang didapat oleh responden
kemudian, peneliti mencari nilai median untuk kasus dan nilai
median untuk kontrol dan berikut tabel penjelasannya.
Tabel 3.4 Scoring
Nilai Nilai
Kode Dimensi Pernyataan
Maksimum Median
1. Responsiveness 13 butir 13 x 4 = 52 Case 48
2. Demandingness 16 butir 16 x 4 = 64 kontrol 49
b. Nilai median dijadikan pembanding dengan hasil demandingness
dan responsiveness yang dimiliki responden untuk menentukan
jenis pola asuh ibu.
c. Setelah mendapatkan jenis pola asuh dari tiap responden, peneliti
melakukan klasifikasi pola asuh baik dan kurang baik. Dengan
ketentuan positif dari pola asuh demokratis dan otoriter
sedangkan ketentuan negatif dari pola asuh permisif dan
62

pengabaian.

3. Coding (Pemberian Kode)


Teknik ini dilakukan dengan memberikan tanda pada masing-
masing jawaban dengan kode yang berupa angka, kemudian
dimasukan ke dalam perangkat lunak guna mempermudah
membacanya. Berikut langkah pemberian kode dari masing-masing
variabel yang diteliti.
Tabel 3.5 coding
Variabel Kode Parameter Keterangan
Pola Asuh Ibu 1 Baik Baik, jika ≥ Mean (48,27)
2 Kurang baik 1. Kurang baik , jika < Mean
(48,27)
Kejadian 1 Stunting Z-skor TB/U (< -3 SD sampai
Stunting dengan < -2 SD
2. Tidak Stunting Z-skor TB/U (-2 SD sampai
dengan +3 SD
4. Entry
Setelah semua isian angket terisi penuh dan benar, dan sudah
melewati coding, maka langkah selanjutnya memproses data agar
dapat dianalisis.
5. Cleaning (pembersihan data)
merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di-
entry apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan tersebut
dimungkinkan terjadi pada saat meng-entry data.
6. Tabulating (Pentabulasian)
Tabulation merupakan proses pembuatan tabel-tabel sesuai
dengan tujuan penelitian, kemudian memasukan data yang telah
diperoleh ke dalam master table.

3.7.2 Analisis Data


1. Analisis Univariat
Analisis univariat dimaksudkan untuk mengetahui distribusi
frekuensi dan proporsi dari variabel - variabel yang diamati. Tujuan
63

dari analisis ini adalah untuk menjelasan atau mendeskripikan


karateristik setiapvariabel penelitian. Pada analisis ini hanya
menghasilkan distribui frekuensi dan presentasi setiap variabel.
(Arikunto, 2016).
Pengolahan data dilakukan dengan cara tabulasi, kemudian di
tentukan persentasenya. Keuntungan menggunakan persentase sebagai
alat untuk menyajikan informasi, pembaca laporan penelitian akan
mengetahui seberapa jauh sumbangan tiap-tiap bagian didalam
keseluruhan konteks permasalahan yang sedang dibicarakan.
Adapun rumus persentase adalah:
F
P= X 100%
N
Keterangan:
P = Persentase
F = Jumlah pertanyaan yang dijawab benar
N = jumlah frekwensi maksimal

2. Analisa Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk menganalisis dua variabel
yang diduga berhubungan atau berkolerasi (Notoatmodjo, 2018).
Analisa bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara
dua variabel independen dengan variabel dependen, untuk
mengetahui hubungan antara kedua variabel digunakan uji Chi-
square dengan derajat kepercayaan 95% (p < 0.05). Bila hasil
analisa diperoleh nilai p < 0.05 maka secara statistik disebut
bermakna dan jika nilai p > 0.05 maka hasil perhitungan disebut
tidak bermakna (Sastroasmoro, 2014).
Rumus Chi Square :
(0 - E) 2
X 2
=
E
Keterangan :
64

X2 : Chi Square
0 : Frekuensi yyang
E : Frekuensi yang diharapkan
Selain itu penelitian ini mencari OR (odd ratio) sebagai
penguat dalam hasil penelitian:
Tabel 3.6 Matriks Perhitungan Odds Ratio (OR)
Kejadian stunting
Tidak(kontrol
Ya (kasus) Jumlah
)
Pola Asuh Baik A B A+B
Kurang C D C+D
Jumlah A+C B+D A+B+C+D

3.8 Lokasi
Lokasi Penelitian ini akan dilakukan di wilayah kerja Puskesmas
Buniwangi Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi.

3.9 Waktu Penelitian


Waktu Penetilian ini dilakukan di pada bulan November-Desember 2022
65

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, D Sediaoetomo. Ilmu Gizi. Jakarta: Dian Rakyat. 2010.

Allen, L.H dan Gillespie, S.R. What Works? A Review of The Efficacy and.
Effectiveness of Nutrition Intervensions. Manila: ABD. 2011.

Anggryni, M., Mardiah, W., Hermayanti, Y., Rakhmawati, W., Ramdhanie, G. G.,
& Mediani, H. S. (2021). Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age
dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang. Jurnal
Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5(2), 1764–1776. Available at:
URL: https://doi.org/10.31004/obsesi.v5i2.967

Anwar, F., Khomsan, A., & Mauludyani, A. Masalah dan Solusi Stunting Akibat
Kurang Gizi di Wilayah Pedesaan, PT Penerbit IPB Press, Bogor. 2014.

Ariani, Putri. AM. Keb. 2017. Ilmu Gizi. Yogyakarta: Nuha Medika.

Arifin. Panduan Ibu Cerdas ASI dan Tumbuh Kembang Bayi. MedPress Jakarta.
2012.

Astuti, E.P. 2017. Status Gizi Balita di posyandu Melati Desa Sendangadi Mlati
Sleman Yogyakarta. Jurnal Permata Indonesia. Vol. 8, No. 1. Mei 2017.
Hal: 18-23. Available at: URL:
http://jurnal.permataindonesia.ac.id/index.php/JPI/article/view/38

Dewey, K.G dan Begum, K. Long-term Consequences of Stunting In Early Life.


Blackwell Publishing Ltd Maternal and Child Nutrition. 7(3) : 5-18. 2011.
Available at: URL: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/21929633/

Dewi, Fatma. 2013. Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Status Gizi Balita di
Lingkungan VIII Kelurahan Sei. Agulmedan. Karya Tulis Ilmiah tidak
diterbitkan. Fakultas Keperawatan dan Kebidanan Universitas Prima,
Medan.

Erna Eka Wijayanti. Hubungan Antara BBLR, ASI Esklusif dengan Kejadian
Stunting Pada Balita Usia 2-5 Tahun. 2019. Available at: URL:
http://journal.stikesdrsoebandi.ac.id/index.php/jkds/article/view/138

Evy Noorhasanah dan Nor Isna Tauhidah. Hubungan Pola Asuh Ibu Dengan
Kejadian Stunting Anak Usia 12-59 Bulan. 2021. Available at: URL:
https://journal.ppnijateng.org/index.php/jika/article/view/959

Fatimah Chandra Murti dkk. Hubungan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 2-5 Tahun Di Desa
Umbulrejo, Ponjong, Gunung Kidul. JKK. Vol. 11 No. 2. 2020. Available
at: URL: https://jurnal.stikmuhptk.ac.id/index.php/JK2/article/view/120
66

Fikawati S, Syafiq A, Karima K. Gizi Ibu dan Bayi. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Persada. 2017.

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2009. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Selemba


Medika

Izzati, I.S. 2016. Hubungan Jenis Kelamin, Usia dan Riwayat Penyakit Infeksi
dengan Kejadian Stunting Anak di RSUD Tugurejo Semarang. Skripsi.
Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang. Available at: URL:
http://repository.unimus.ac.id

Kemenkes RI 2010, Standar Antopomentri Penilaian Status Gizi Anak. Kemenkes


RI, Jakarta.

Kemenkes RI 2011, Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, Jakarta.

Kemenkes RI. 2011. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Kemenkes RI. 2016. Buku Saku Pemantauan Status Gizi dan Indikator Kinerja
Gizi Tahun 2016. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

Lainua, M.Y.W. 2016. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Balita Stunting di


Kelurahan Sidorejo Kidul salatiga. Skripsi. Salatiga: Universitas Kristen
Satya Wacana Salatiga. Available at: URL:
https://repository.uksw.edu/handle/123456789/11772

Martha, Kresno, E. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Bidang. Kesehatan.


Depok: Raja Grafindo Persada. 2020.

Mc Gregor dan Henningham, 2005

Mugianti, S. dkk. 2018. Faktor penyebab anak Stunting usia 25-60 bulan di
Kecamatan Sukorejo Kota Blitar. Jurnal Ners dan Kebidanan. Vol. 5. No.
3. Desember 2018. Hlm. 268–278. Available at: URL:
http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/article/download/374/pdf

Ni Ketut Aryastami dan Ingan Tarigan. kajian kebijakan Pemerintah yang


bertajuk 1000 hari pertama kehidupan sebagai penanggulangan stunting.
2017. Available at: URL:
https://media.neliti.com/media/publications/222768-kajian-kebijakan-dan-
penanggulangan-masa.pdf

Ni’mah, C. & Muniroh, L. Hubungan Tingkat Pendidikan, Tingkat Pengetahuan


dan Pola Asuh Ibu dengan Wasting Dan Stunting Pada Balita Keluarga
Miskin. Jurnal Media Gizi Indonesia. Vol. 10. No. 1. Hlm: 84-90. 2015.
Available at: URL: https://e-journal.unair.ac.id/MGI/article/view/3131
67

Price, D. L. & Gwin, J. F., Pediatric Nursing : An Introductory Text. Canada:


Elsevier. 2016.

Proverawati, A dan Wati, E K. 2010. Ilmu Gizi untuk Keperawatan dan Gizi
Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika.

Sari, A.A.I. 2017. Gambaran Status Gizi Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas

Sentolo I Kulon Progo Tahun 2016. Karya Tulis Ilmiah. Yogyakarta: Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Jenderal Achmad Yani.

Setyawati, V.A.V. 2018. Kajian Stunting Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin
Di Kota Semarang. Jurnal University Research Colloqium. Available at:
URL: http://repository.urecol.org/index.php/proceeding/article/view/273

Sulistyoningsih. Gizi untuk Kesehatan ibu dan anak. Edisi Pertama. Jakarta:
Graha Ilmu. 2011

Supariasa, I Dewa Nyoman., Bakri, Bachyar dan Fajar, Ibnu. 2012. Penilaian
Status Gizi. Jakarta: EGC.

Supariasa. 2012. Pendidikan & Konsultasi Gizi. Jakarta: EGC

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2017)

Waryana. 2010. Gizi Reproduksi. Yogyakarta: Pustaka Rihama

WelasASIh D. B. & Wirjatmadi B. R. 2008. Beberapa Faktor yang Berhubungan


dengan Status Gizi Balita Stunting. The Indonesia Journal of Public
Health. Vol 8 (3). Hal. 99-10.

Wong, Donna L, Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong (6 ed.). Jakarta: EGC,
2012
68

LAMPIRAN
69

INFORMED CONSENT
(PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN
PENELITIAN)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :

Tempat/ Tanggal lahir :

Alamat :

No Telp :

Bersama ini menyatakan kesediaannya untuk menjadi


responden penelititan “_Hubungan Pemberian Asi Ekslusif, Berat
Badan Lahir Rendah Dan Pola Asuh Terhadap Kejadian Stunting Pada
Balita Di Puskesams Buniwangi Kecamatan Surade Kabupaten
Sukabumi Tahun 2022” dengan ketentuan bahwa ini dilakukan
semata-mata untuk penelitian, serta peneliti menjamin kerahasiaan
identitas responden.
Keikutsertaan saya dalam penelitian ini adalah sukarela dan
saya dapat menghentikan keikutsertaan ini tanpa kerugian apapun.
Demikian surat ini saya buat tanpa paksaan dari pihak manapun
dan agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Bandung , 2022

Peneliti Yang memberi persetujuan

(Senja Novalia Hastuti) ( )


70

KUESIONER
HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSLUSIF, BBLR DAN POLA ASUH
DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA DI PUSKESMAS
BUNIWANGI KECAMATAN SURADE KABUPATEN SUKABUMI

KUISIONER POLA ASUH


(Parental Style)

No. Urut Responden :.....................................................................


Tanggal Pengisian :......................................................................
Cara Pengerjaan beri tanda ( √ ) pada salah satu pilihan dibawah ini:
A. Identitas Ibu
Nama Responden :..................(Inisial)
Umur : 17-25 Tahun 26-45 Tahun
36-45 Tahun 46-55 Tahun
Pekerjaan : Bekerja Tidak Bekerja (IRT)

B. Identitas Balita
Nama Anak : ………..…. (Inisial)
Usia anak : ................... Bulan
Berat Lahir anak :…………… gram
Tinggi Badan Anak : ................... cm
Berat Badan Anak : …………… kg
Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan

C. Pendapatan Perbulan (Ayah+Ibu)


Kurang dari 1.660.000,-
Lebih dari 1.660.000,-
71

PETUNJUK PENGISIAN ANGKET

Bacalah setiap pernyataan dibawah ini dengan sebaik-baiknya dan seksama


kemudian berikan jawaban pada lembar jawaban bagi setiap pernyataan tersebut
dengan cara memberi tanda ( √ ) pada salah satu jawaban saudara sesuai dengan
keadaan atau kondisi saudara.
Petunjuk Pengisian Kuisioner :
Selalu (SL) : saya melakukannya setiap hari
Sering (SR) : saya melakukanya sebanyak 5-6 kali dalam seminggu
Jarang (JR) : saya melakukanya sebanyak 1-3 kali dalam seminggu
Tidak Pernah (TP) : saya tidak pernah melakukan

No Pernyataan SL SR JR TP
A Demangdingness
1 . Saya menentukan menu makanan yang akan
dikonsumsi anak
2 Saya berusaha mengingatkan anak untuk makan,
jika tidak mau makan saya akan memaksa anak
untuk tetap makan
3. Saya mengatakan kepada anak untuk makan sesuatu
yang ada diatas piring ("makan nasimu")
4. Saya mengambil makan dan menyuapi anak agar
tahu berapa banyak makanan yang dimakan anak
5. Saya melarang anak untuk memakan makanan yang
terlalu manis (gulali/permen/coklat)
6. Saya menekankan dengan keras bahwa anak tidak
boleh menyisakan makananan
7. Saya melarang anak untuk memakan aneka jajanan
di pinggir jalan karena tidak terjamin kebersihan dan
kandungan gizinya
8. Saya memarahi anak ketika memakan makanan
yang diberikan orang lain
9. Saya mengatakan kepada anak agar memakan
makanan yang tersedia di piring walaupun sedikit
10. Saya Mengharuskan anak untuk meminum susu
setelah makan siang
11. Jika anak tidak mau makan ibu memberi peringatan
tentang sesuatu yang lain selain makanan ("jika
kamu tidak menghabiskan makananmu kamu tidak
boleh bermain")
12. Saya memarahi anak ketika makanan yang
diberikan tersisa
13. Saya tetap menyuruh anak untuk memakan buah
72

sekalipun anak tidak suka


14. Sayaa tidak setuju ketika anak menolak untuk
makan makanan yang saya sediakan
15. Saya sudah mengatur jadwal pemberian makanan
anak sehari-hari
16. Saya membatasi anak makan makanan ringan terlalu
banyak sebelum makan
B. Responsivenes
17. Ibu membantu anak untuk makan (memotong
makanan menjadi bagian yang lebih kecil)
18. Ibu mengatakan sesuatu yang positif tentang
makanan yang dimakan anak selama anak makan
19. Ibu meminta (memohon) pada anak untuk makan
("Ayo makan, nanti nasinya keburu dingin")
20. Ibu mengatakan kepada anak untuk segera makan
("Ayo cepat dimakan nasinya")
21.S Saya mengarahkan kepada anak untuk memilih
makanan yang tidak berpengawet karena dapat
menimbulkan penyakit
22. Ibu menjelaskan (Menasehati) kepada anak kenapa
harus makan ("susu baik untuk kesehatanmu karena
dapat membuat tulangmu kuat")
23. Saya mengajarkan kebiasaan makan yang baik
kepada anak melalui pendidika gizi dirumah
24. Saya menjanjikan sesuatu (selain makanan) jika
anak bersedia makan (" jika kamu mau makan, nanti
ibu perbolehkan bermain bersama temanmu")
25. Saya mengenalkan kepada anak untuk memilih
makanan yang bergizi
26. Saya memperbolehkan anak makan lebih dari 3x
sehari
27. Ibu mendorong anak untuk coba makanan baru yang
bergizi
28. Saya menyiapkan sarapan pagi dengan makanan
yang mengandung karbohidrat seperti nasi, protein
seperti ikan dan lemak seperti daging
29. Saya memperkenalkan makanan pada anak,
sebaiknya diberi makanan dengan porsi sedikit
terlebih dahulu, agar dia mampu mengenal makanan
tersebut
73

KUISIONER ASI EKSKLUSIF

Petunjuk :
Bacalah dengan teliti pertanyaan di bawah ini. Berilah tanda ceklist (√) pada
jawaban yang paling sesuai. Berikan jawaban dengan sejujurnya !

1 0
No. Pernyataan Ya Tidak

Ibu hanya memberikan ASI eksklusif kepada anak


1.
selama 6 bulan
Ibu memberikan susu formula kepada anak sebelum usia
2.
6 bulan
Ibu pernah memberikan madu untuk di minum pada
3.
bayi ibu sebelum usia 6 bulan
Ibu memberikan makanan seperti bubur bayi
4.
sebelum usia 6 bulan
Ibu memberikan air putih kepada bayi ibu sebelum usia 6
5.
bulan
Ibu memberikan makanan buah seperti pisang kepada
6
anak ibu sebelum usia 6 bulan

Anda mungkin juga menyukai