Anda di halaman 1dari 106

LAPORAN PENDAHULUAN

KOLABORASI PADA KASUS PATOLOGI DAN KOMPLIKASI

Disusun guna Memenuhi Persyaratan Ketuntasan


Praktik Kebidanan Kolaborasi pada Kasus Patologi dan Komplikasi
Program Studi Pendidikan Profesi Bidan

Disusun oleh:
Nama : KRISTITIN
NIM : PO.62.24.2.20.342

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALANGKA RAYA
JURUSAN KEBIDANAN
TAHUN 2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan
Praktik Kebidanan Kolaborasi pada Kasus Patologi dan Komplikasi
Telah Disahkan Tanggal : Februari 2021

Mengesahkan,

Pembimbing Institusi ,

Oktaviani, S.SiT., M.Keb


NIP. 19801017 200212 2 003

Mengetahui,

Ketua Program Studi Koordinator MK


Sarjana Terapan Kebidanan Dan Praktik Kebidanan Kolaborasi pada
Pendidikan Profesi Bidan Kasus Patologi dan Komplikasi

Heti Ira Ayue, SST., M.Keb Oktaviani, S.SiT., M.Keb


NIP. 19781027 200501 2 001 NIP. 19801017 200212 2 003

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan karunia-Nya
sehingga Laporan Pendahuluan Praktik Kebidanan Kolaborasi pada Kasus Patologi
dan Komplikasi terselesaikan. Laporan Pendahuluan Praktik Kebidanan Kolaborasi
pada Kasus Patologi dan Komplikasi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu tugas
dari kegiatan Praktik Kebidanan Kolaborasi pada Kasus Patologi dan Komplikasi
pada Program Studi Sarjana Terapan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Palangka Raya.
Laporan Pendahuluan ini terwujud berkat bimbingan, arahan dan bantuan dari
Pembimbing Institusi yang meluangkan waktu dan pikirannya sehingga penulis bisa
merampungkan proses pembuatan Laporan Pendahuluan ini. Penulis menyadari
banyak kekurangan dalam penyusunan Laporan Pendahuluan ini sehingga penulis
terbuka terhadap saran dan kritik yang membangun untuk penyempurnaan resume ini
dan semoga Laporan Pendahuluan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
terlibat dalam proses pembelajaran ini.

Palangka Raya, Februari 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................. i
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ iv
DAFTAR TABEL............................................................................................ v
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................... 1
B. Tujuan ....................................................................................................... 3
C. Manfaat...................................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Kasus Patologi dan Komplikasi pada kebidanan....................................... 4
1. Pengertian patologi dan komplikasi kebidanan.................................. 4
2. Jenis patologi dan komplikasi............................................................. 4
a. Maternal ...................................................................................... 4
b. Neonatal....................................................................................... 49
3. Pencegahan......................................................................................... 65
4. Penatalaksanaan.................................................................................. 70
5. Mekanisme pengelolaan kasus, kolaborasi, dan rujukan.................... 73
6. Kewenangan bidan pada kasus patologi dan komplikasi kebidanan.. 77
B. EVIDENCE BASED IN MIDWIFERY...................................................... 78
1. EBM Kegawatdaruratan Maternal........................................................ 78
2. EBM Kegawatdaruratan Neonatal........................................................ 85

DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR GAMBAR

Judul Hlm.
Gambar 2.1 Distosia Bahu.............................................................................. 28
Gambar 2.2 Manuver Mc. Robert................................................................... 30
Gambar 2.3 Manual Plasenta.......................................................................... 40
Gambar 2.4 Peregangan Tali Pusat Terkendali............................................... 43
Gambar 2.5 Apgar Score................................................................................. 52
Gambar 2.6 Derajat Ikterus............................................................................. 62

iv
DAFTAR TABEL

Judul Hlm.
Tabel 2.1 BAKSOKUDA................................................................................ 75

v
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Jurnal Evidence Based

Lampiran 2. Jurnal Refleksi Kritis

Lampiran 3. Daftar presentasi mahasiswa

Lampiran 4. Daftar kontrak belajar

Lampiran 5. Lembar bimbingan

Lampiran 6. Laporan kegiatan harian

vi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehamilan merupakan suatu keadaan dimana seorang wanita yang didalam
rahimnya terdapat embrio atau fetus. Kehamilan dimulai pada saat masa konsepsi
hingga lahirnya janin, dan lamanya kehamilan dimulai dari ovulasi hingga partus
yang diperkirakan sekitar 40 minggu dan tidak melebihi 43 minggu (Kuswanti,
2014). Kondisi kesehatan calon ibu pada masa awal kehamilan akan
mempengaruhi tingkat keberhasilan kehamilan serta kondisi status kesehatan
calon bayi yang masih didalam rahim maupun yang sudah lahir, sehingga
disarankan agar calon ibu dapat menjaga perilaku hidup sehat dan menghindari
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kondisi calon ibu pada masa kehamilan
(Johnson, 2016).
Kehamilan merupakan suatu kondisi fisiologis, namun kehamilan normal
juga dapat berubah menjadi kehamilan patologis (Walyani, 2015). Patologi pada
kehamilan merupakan suatu gangguan komplikasi atau penyulit yang menyertai
ibu saat kondisi hamil (Sukarni & Wahyu, 2013) Risiko tinggi pada kehamilan
dapat ditemukan saat menjelang waktu kehamilan, waktu hamil muda, waktu
hamil pertengahan, saat in partu bahkan setelah persalinan (Manuaba, 2014). Ibu
hamil yang mengalami gangguan medis atau masalah kesehatan akan dimasukan
kedalam kategori risiko tinggi, sehingga kebutuhan akan pelaksanaan asuhan
pada kehamilan menjadi lebih besar (Robson and Waugh, 2012).
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator kesehatan
suatu bangsa. Kematian ibu merupakan kematian seorang wanita yang dapat
disebabkan pada saat kondisi hamil atau menjelang 42 hari setelah persalinan.
Hal ini dapat terjadi akibat suatu kondisi yang berhubungan atau diperberat oleh
kehamilannya maupun dalam penatalaksanaan, tetapi bukan termasuk kematian
ibu hamil yang diakibatkan karena kecelakaan (Maternity & Putri, 2017).

1
Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO)
mencatat sekitar 830 wanita diseluruh dunia meninggal setiap harinya akibat
komplikasi yang terkait dengan kehamilan maupun persalinan dan sebanyak 99%
diantaranya terdapat pada negara berkembang AKI diakibatkan karena risiko
yang dihadapi oleh ibu selama masa kehamilan hingga persalinan. Beberapa
faktor risiko yang dapat mempengaruhi kesehatan ibu hamil meliputi kondisi
sosial ekonomi yang menjadi salah satu indikator terhadap status gizi ibu hamil,
kesehatan yang kurang baik pada saat sebelum maupun dalam masa kehamilan,
adanya komplikasi pada kehamilan dan saat melahirkan, adanya ketersediaan
fasilitas kesehatan khususnya pelayanan terhadap prenatal dan obstetri. Selain
itu, terdapat 4 kriteria “terlalu” yang juga menjadi penyebab kematian dalam
maternal, yaitu terlalu muda usia ibu untuk melahirkan (usia < 20 tahun), terlalu
tua usia ibu saat melahirkan (usia > 35 tahun), terlalu banyak jumlah anak (anak
> 4 orang), dan terlalu rapat jarak antar setiap kelahiran (jarak < 2 tahun)
(Kemenkes, 2017).
Sustainable Development Goals (SDGs) adalah agenda global dalam
Pembangunan Berkelanjutan dengan pelaksanaan dari tahun 2016 hingga tahun
2030 yang merupakan pembaharuan Millenium Development Goals (MDGs) atau
agenda Pembangunan Milenium yang telah resmi berahir pada tahun 2015. Salah
satu tujuan SDGs adalah terciptanya suatu kondisi kehamilan dan persalinan
yang aman, serta ibu dan bayi yang dilahirkan dapat hidup dengan sehat, yang
dilakukan dengan pencapaian target dalam mengurangi rasio kematian ibu secara
global hingga kurang dari 70 per 100.000 kelahiran (WHO, 2017).
Komplikasi dalam kehamilan dapat terjadi pada tahap kehamilan trimester
manapun, mulai dari fertilisasi hingga persalinan. Diagnosis dini faktor risiko
terhadap komplikasi akan mengarah pada pengobatan dan mencegah timbulnya
bahaya terhadap ibu maupun janin (Johnson, 2016). Dari berbagai faktor yang
berperan pada kematian ibu, kemampuan kinerja petugas kesehatan berdampak
langsung pada peningkatan kualitas pelayanan kesehatan maternal neonatal
terutama kemampuan dalam mengatasi masalah kehamilan, persalinan hingga

2
masa nifas yang bersifat kegawatdaruratan (Didien Ika Setyarini & Suprapti,
2018).
B. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Konsep Dasar Patologi dan komplikasi kebidanan
Maternal
2. Untuk Mengetahui Konsep Dasar Patologi dan komplikasi kebidanan
Neonatal
3. Untuk Mengetahui Evidence Based in Midwifery Patologi dan komplikasi
kebidanan Maternal
4. Untuk Mengetahui Evidence Based in Midwifery Patologi dan komplikasi
kebidanan Neonatal

C. Manfaat
Manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Penulis dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang Asuhan
Kebidanan Patologi dan komplikasi kebidanan Maternal dan Neonatal
2. Pembaca dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang Asuhan
Kebidanan Patologi dan komplikasi kebidanan Maternal dan Neonatal

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. KASUS PATOLOGI DAN KOMPLIKASI PADA KEBIDANAN


1. Pengertian patologi dan komplikasi kebidanan
Patologi merupakan cabang bidang kedokteran yang berkaitan dengan
ciri-ciri dan perkembangan penyakit melalui analisis perubahan fungsi atau
keadaan bagian tubuh. Bidang patologi terdiri atas patologi anatomi dan
patologi klinik. Ahli patologi anatomi membuat kajian dengan mengkaji
organ sedangkan ahli patologi klinik mengkaji perubahan pada fungsi yang
nyata pada fisiologis tubuh. Ada beberapa macam patologi kebidanan yang
harus di antisipasi oleh setiap bidan dan tenaga kesehatan lainnya: patologi
kehamilan, patologi persalinan, patologi nifas. Patologi kehamilan adalah
penyulit atau gangguan atau komplikasi yang menyertai ibu saat hamil
(Sujiyatini,2012).
Pengertian dari Komplikasi Kebidanan, yaitu kesakitan pada ibu hamil,
ibu bersalin, ibu nifas yang dapat mengancam jiwa ibu dan atau bayi.
Komplikasi kehamilan adalah kegawat daruratan obstetrik yang dapat
menyebabkan kematian pada ibu dan bayi (Prawirohardjo, 2014).

2. Jenis kasus patologi dan komplikasi


a. Maternal
1) Hiperemesis Gravidarum
a) Pengertian
Hiperemesis gravidarum adalah mual muntah yang berlebihan
pada wanita hamil sampai mengganggu aktifitas sehari-hari
karena keadaan umum pasien yang buruk akibat dehidrasi.
Mual dan muntah adalah gejala yang umum dan wajar terjadi
pada usia kehamilan trimester I. Mual biasanya terjadi pada
pagi hari, akan tetapi dapat juga timbul setiap saat dan pada

4
malam hari. Gejala-gejala ini biasanya terjadi 6 minggu setelah
hari pertama haid terakhir dan berlangsung selama kurang lebih
10 minggu
b) Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi yang sering kemukakan adalah
primigravida, mola hidatidosa dan kehamilan ganda. Hal
tersebut dikaitkan dengan meningkatnya produksi hormone
korionik gonadotropin. Perubahan metabolik dalam kehamilan,
alergi dan faktor psikososial, wanita dengan riwayat mual pada
kehamilan sebelumnya dan wanita yang mengalami obesitas
juga mengalami peningkatan risiko hiperemesis gravidarum
(HEG).
c) Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala menurut berat ringannya hiperemesis
gravidarum dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu:
(1) Derajat/Tingkat 1
Muntah terus menerus (lebih dari 3-4 x sehari yang
mencegah masuknya makanan atau minuman selama 24
jam) yang menyebabkan ibu menjadi lemah, tidak ada
nafsu makan, berat badan turun (2-3 Kg dalam 1 minggu),
nyeri ulu hati, nadi meningkat sampai 100 x / menit,
tekanan darah sistolik menurun, turgor kulit menurun dan
mata cekung.
(2) Derajat/Tingkat 2
Penderita tampak lebih lemah dan tidak peduli/apatis pada
sekitarnya, nadi kecil dan cepat, lidah kering dan tampak
kotor, suhu kadang naik, mata cekung dan sclera sedikit
kuning, berat badan turun, tekanan darah turun, terjadi
pengentalan darah, urin berkurang, sulit BAB/konstipasi,
dan pada nafas dapat tercium bau aseton.

5
(3) Derajat/Tingkat 3
Keadaan umum lebih parah, muntah berhenti, kesadaran
menurun sampai koma, nadi kecil dan cepat, suhu
meningkat dan tekanan darah menurun. Komplikasi fatal
dapat terjadi pada susunan saraf yang dikenal dengan
ensefalopati Wernicke dengan gejala: nistagmus,
penglihatan ganda, dan perubahan mental. Keadaan ini
akibat kekurangan zat makanan termasuk vitamin B
kompleks. Jika sampai ditemukan kuning berarti sudah ada
gangguan hati.
d) Diagnosis
Dari anamnesis, didapatkan amenorhoe, terdapat tanda
kehamilan muda dengan keluhan muntah terus menerus. Pada
pemeriksan fisik didapatkan keadaan pasien lemah apatis
sampai koma, nadi meningkat sampai 100x/menit, suhu
meningkat, TD turun, atau ada tanda dehidrasi lain. Pada
institusi pelayanan yang lebih tinggi dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang, diantaranya: Pada pemeriksaan
elektrolit darah ditemukan kadar natrium dan klorida turun.
Pada pemeriksaan urin kadar klorida dan dapat ditemukan
keton. Diagnosis Banding: muntah karena gastritis, ulkus
peptikum, hepatitis, kolesistitis, pielonefritis.
e) Pengelolaan
Pencegahan agar emesis gravidarum tidak mengarah pada
hiperemesis gravidarum, perlu diberikan penjelasan bahwa
kehamilan dan persalinan adalah suatu proses fisiologis.
Memberikan keyakinan bahwa mual dan muntah yang terjadi
(morning sickness) adalah gejala yang fisiologis pada
kehamilan muda dan akan hilang setelah bulan ke 4.

6
Menganjurkan untuk mengubah pola makan sedikit-sedikit,
tetapi sering. Berikan makanan selingan seperti biskuit, roti
kering dengan teh hangat saat bangun pagi dan sebelum tidur.
Hindari makanan berminyak dan berbau, makan dalam keadaan
hangat/panas atau sangat dingin serta defekasi teratur.
Apabila terjadi hiperemesis gravidarum, bidan perlu merujuk
ke Rumah Sakit untuk mendapatkan pengelolaan lebih lanjut,
diantaranya adalah:
(1) Pemberian obat-obatan
Kolaborasi dengan dokter diperlukan untuk memberikan
obat-obatan pada ibu hamil dengan hiperemesis
gravidarum.
(2) Isolasi
Ibu hamil disendirikan dalam kamar yang tenang, tetapi
cerah, dan peredaran udara yang baik. Hanya dokter dan
bidan/perawat yang boleh masuk sampai ibu mau makan.
(3) Terapi Psikologis
Perlu diyakinkan bahwa kondisi ini dapat disembuhkan,
hilangkan rasa takut karena kehamilan dan persalinan
karenan hal tersebut merupakan hal yang fisiologis.
Kurangi
pekerjaan serta hilangkan masalah dan konflik yang
menjadi latar belakang permasalahan kondisi ibu.
(4) Cairan Parenteral
Berikan cairan parenteral yang cukup elektrolit,
karbohidrat dan protein dengan glukosa 5% dalam cairan
garam fisiologis sebanyak 2-3 liter per hari. Catat input dan
output
cairan. Suhu dan nadi diperiksa setiap 4 jam sekali, TD
sehari 3 kali. Pemeriksaan hematocrit dilakukan pada awal

7
dan selanjutnya apabila diperlukan. Air kencing perlu
diperiksa untuk melihat adanyan protein, aseton, klorida
dan bilirubin. Apabila selama 24 jam tidak muntah dan
kondisi bertambah baik, dapat dicoba untuk memberikan
minuman, dan lambat laun ditambah makanan yang tidak
cair. Pada umumnya, dengan penanganan tersebut, gejala
akan berkurang dan keadaan akan bertambah baik.

2) Abortus
a) Klasifikasi Abortus
(1) Abortus Imminens (Keguguran mengancam)
Perdarahan pervaginam sedikit, hasil konsepsi masih di
dalam uterus, tidak ada pembukaan ostium uteri internum
(OUI), nyeri memilin, uterus sesuai dengan usia
kehamilan, tes hamil (+).
(2) Abortus Insipiens (Keguguran tidak dapat dicegah)
Perdarahan (kadang bergumpal), hasil konsepsi masih di
dalam uterus, terdapat pembukaan servik, uterus sesuai
dengan usia kehamilan, mules/nyeri sering dan kuat.
(3) Abortus Inkomplit (Keguguran tidak lengkap)
Pengeluaran sebagian hasil konsepsi, masih ada sisa di
dalam uterus, terdapat pembukaan ostium uteri internum
(OUI) dan teraba sisa, perdarahan/tidak berhenti jika hasil
konsepsi belum keluar semua, bisa sampai syok bila
perdarahan sangat banyak.
(4) Abortus Komplit (Keguguran lengkap)
Semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan, ostium sudah
menutup, perdarahan sedikit, uerus lebih kecil.
b) Penatalaksanaan Abortus
(1) Abortus Imminens

8
(a) Tidak perlu pengobatan khusus atau tirah baring total
(b) Jangan melakukan aktivitas fisik berlebihan atau
hubungan seksual.
(c) Perdarahan berhenti, lakukan asuhan antenatal seperti
biasa.
(d) Lakukan penilaian jika perdarahan terjadi lagi.
(e) Perdarahan terus berlangsung : nilai kondisi janin (uji
kehamilan/USG).
(f) Lakukan konfirmasi kemungkinan adanya penyebab
lain. Perdarahan berlanjut, khususnya jika ditemui
uterus yang lebih besar dari yang diharapkan, mungkin
menunjukkan kehamilan ganda atau mola
(g) Tidak perlu terapi hormonal (estrogen atau progestin)
atau tokolitik (seperti salbutamol atau indometasis)
karena obat-obat ini tidak dapat mencegah abortus
(2) Abortus Incipient
(a) Lakukan konseling terhadap kehamilan yang tidak
dapat dipertahankan
(b) Lakukan rujukan ibu ketempat layanan sekunder
(c) Informasi mengenai kontrasepsi pasca keguguran
(d) Jelaskan kemungkinan risiko dan rasa tidak nyaman
selama tindakan evakuasi.
(e) Lakukan pemantauan pascatindakan setiap 30 menit
selama 2 jam. Bila kondisi ibu baik, pindahkan ibu ke
ruang rawat.
(f) Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik
dan kirimkan untuk pemeriksaan patologi ke
laboratorium.
(g) Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam,
tanda akut abdomen, dan produksi urin setiap 6 jam

9
selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24
jam.
(h) Bila hasil pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu
dapat diperbolehkan pulang.
(3) Abortus Inkomplit
(a) Lakukan konseling kemungkinan adanya sisa
kehamilan
(b) Jika perdarahan ringan atau sedang dan usia kehamilan
< 16 mg, gunakan jari atau forsep cincin untuk
mengeluarkan hasil konsepsi yang mencuat dari
serviks.
(c) Jika perdarahan berat dan usia kehamilan < 16 mg,
dilakukan evakuasi isi uterus.
(d) Jika evakuasi tidak dapat segera dilakukan, berikan
ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit
kemudian bila perlu).
(e) Jika usia kehamilan > 16 mg, berikan infus 20 IU
oksitosin dalam 500 ml NaCl 0,9% atau Ringer Laktat
dengan kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu
pengeluaran hasil konsepsi.
(f) Jika perlu berikan misoprostol 200 mcg pervaginam
setiap 4 jam sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi
(maksimal 800 mcg)
(g) Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam,
tanda akut abdomen, dan produksi urin setiap 6 jam
selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24
jam.
(h) Bila hasil pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu
dapat diperbolehkan pulang serta pastikan untuk tetap
memantau kondisi ibu setelah penanganan.

10
(4) Abortus Komplit
(a) Tidak diperlukan evakuasi lagi
(b) Lakukan konseling untuk memberikan dukungan
emosional dan menawarkan kontrasepsi pasca
keguguran
(c) Observasi keadaan ibu apabila terdapat anemia
sedang, berikan tablet sulfas ferosus 600 mg/hari
selama 2 minggu, jika anemia berat berikan transfusi
darah
(d) Evaluasi keadaan ibu setelah 2 minggu
3) Kehamian Ektopik Terganggu
a) Pengertian
Jika terjadi perdarahan pada kehamilan kurang dari 22 minggu,
kondisi ini berkaitan dengan kehamilan ektopik terganggu
(KET) yang terjadi karena sel telur yang sudah dibuahi dalam
perjalanan menuju endometrium tersendat sehingga embrio
sudah berkembang sebelum mencapai kavum uteri dan
akibatnya akan tumbuh di luar rongga rahim. Bila tempat nidasi
tersebut tidak dapat menyesuaikan diri dengan besarnya buah
kehamilan, akan terjadi ruptura dan menjadi kehamilan ektopik
yang terganggu (KET).
b) Tanda Gejala Kehamilan Ektopik Terganggu
(1) Gejala kehamilan awal (flek atau perdarahan yang ireguler,
mual, pembesaran payudara, perubahan warna pada vagina
dan serviks, perlukaan serviks, pembesaran uterus,
frekuensi buang air kecil yang meningkat.
(2) Sakit perut mendadak yang mula-mula terdapat pada satu
sisi kemudian menjalar ke bagian tengah atau ke seluruh
perut sehingga menekan diafragma
(3) Nyeri bahu iritasi saraf frenikus

11
(4) Darah intraperitoneal meningkat timbul nyeri dan terjadi
defence muskuler dan nyeri lepas.
(5) Bila terjadi hematoke retrouterina dapat menimbulkan
nyeri defekasi dan selanjutnya diikuti dengan syok
(Hipotensi dan hipovolemia)
(6) Serviks tertutup
(7) Perdarahan dari uterus tidak banyak dan berwarna merah
tua
(8) Penegakkan diagnosis dibantu dengan pemeriksaan USG

c) Penatalaksanaan Kehamilan Ektopik Terganggu


(1) Penanganan Umum
(a) Melakukan pengkajian data baik subyektif ataupun
obyektif sebelum melakukan asuhan kegawat
daruratan maternal dengan KET
(b) Setelah diagnosis diegakan (sesuai kewenangan
bidan), lakukan rujukan ke pelayanan yang punya
fasilitas penanganan KET
(c) Observasi keadaan umum dan kesadaran penderita
(d) Stabilisasi keadaan umum penderita : restorasi cairan
tubuh dengan cairan krisaloid NaCl 0.9% atau Ringer
Laktat (500 ml dalam 15 menit pertama atau 2 L
dalam 2 jam pertama)
(2) Penanganan Awal
(a) Jika fasilitas memungkinkan segera lakukan uji silang
darah dan persiapan laparotomi
(b) Jika fasilitas tidak memungkinkan, segera rujuk ke
fasilitas lebih lengkap dengan memperhatikan hal-hal
yang diuraikan pada bagian penilaian awal

12
(3) Penangaan Lanjut
(a) Sebelum memulangkan pasien, berikan konseling dan
nasehat mengenai prognosis kesuburannya. Mengingat
meningkatnya resiko akan kehamilan ektopik
selanjutnya, konseling metode kontrasepsi.
(b) Bila anemia dengan pemberian tablet besi sulfas
ferosus 600 mg/hari peroral selama 2 minggu
(c) Jadwalkan kunjungan ulang setelah 4 minggu
4) Mola Hidatidosa
Kehamilan mola merupakan proliferasi abnormal dari villi
khorialis.
a) Tanda Gejala Mola Hidatidosa
(1) Gejala sangat bervariasi mulai perdarahan mendadak
disertai shock sampai perdarahan samar – samar sehingga
sukar untuk dideteksi
(2) Seperti hamil muda, tetapi derajat keluhan sering lebih
hebat
(3) Uterus lebih besar dari usia kehamilan
(4) Tidak ada tanda-tanda adanya janin
(5) Nyeri perut
(6) Serviks terbuka
(7) Mungkin timbul preeklamsia atau eklamsia pada usia
kehamilan > 24 minggu
(8) Penegakkan diagnosis kehamilan mola dibantu dengan
pemeriksaan USG
b) Penatalaksanaan Kegawatdaruratan Dengan Mola Hidatidosa
(1) Tatalaksana Umum
(a) Diagnosis dini tanda mola
(b) Beri infus NS/RL preventif terhadap perdarahan hebat
(c) Observasi kadar HCg

13
(d) Observasi kadar Hb dan T/N/S serta perdarahan
pervaginam
(e) Rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap untuk dilakukan
evakuasi jaringan mola
(2) Tatalaksana Khusus
(a) Pasang infus oksitosin 10 unit dalam 500 ml NaCl
0.9% atau RL dengan kecepatan 40-60 tetes/menit
untuk mencegah perdarahan.
(b) Pengosongan isi uterus dengan menggunakan Aspirasi
Vakum Manual (AVM)
(c) Ibu dianjurkan menggunakan kontrasepsi hormonal
bila masih ingin memiliki anak, atau tubektomi bila
ingin menghentikan kesuburan
(d) Selanjutnya ibu dipantau: Pemeriksaan HCG serum
setiap 2 minggu.
(e) Bila hasil HCG serum terus menetap atau naik dalam 2
kali pemeriksaan berturut-turut, ibu dirujuk ke rumah
sakit rujukan tersier yang mempunyai fasilitas
kemoterapi
(3) Penanganan Selanjutnya
(a) Pasien dianjurkan menggunakan kontrasepsi hormonal
atau tubektomi
(b) Lakukan pemantauan setiap 8 minggu selama minimal
1 tahun pasca evakuasi dengan menggunakan tes
kehamilan dengan urin karena adanya resiko
timbulnya penyakit trofoblas yang menetap
(c) Jika tes kehamilan dengan urin yang belum memberi
hasil negatif setelah 8 minggu atau menjadi positif
kembali dalam satu tahun pertama, rujuk ke rumah

14
sakit rujukan tersier untuk pemantauan dan
penanganan lebih lanjut
5) Kehamilan dengan Anemia
a) Pengertian Anemia dalam kehamilan
Pengertian Anemia dalam kehamilan adalah suatu kondisi
ibu dengan kadar nilai haemoglobin dibawah 11 gr% pada
trimester I dan III atau kadar nilai Haemoglobin kurang dari
10,5 gr % pada trimester dua, perbedaan nilai batas diatas
dihubungkan dengan kejadian hemodilusi, terutama pada
trimester II.
b) Patogenesis
Perubahan hematologi sehubungan dengan kehamilan,
antara lain adalah oleh karena peningkatan oksigen, perubahan
sirkulasi yang makin meningkat terhadap plasenta dan janin,
serta kebutuhan suplai darah untuk pembesaran uterus,
sehingga terjadi peningkatan volume darah yaitu peningkatan
volume plasma dan sel darah merah. Namun, peningkatan
volume plasma terjadi dalam proporsi yang lebih besar jika
dibandingkan dengan peningkatan eritrosit sehingga terjadi
penurunan konsentrasi hemoglobin akibat hemodilusi.
Volume plasma meningkat 45-65 % dimulai pada trimester
II kehamilan, dan maksimum terjadi pada bulan ke-9 yaitu
meningkat sekitar 1000 ml, menurun sedikit menjelang aterm,
serta kembali normal tiga bulan setelah partus. Stimulasi yang
meningkatkan volume plasma seperti laktogen plasenta, yang
menyebabkan peningkatan sekresi aldosteron. Volume plasma
yang terekspansi menurunkan hematokrit, konsentrasi
hemoglobin darah, dan hitung eritrosit, tetapi tidak menurunkan
jumlah absolut Hb atau eritrosit dalam sirkulasi. Penurunan
hematokrit, konsentrasi hemoglobin, dan hitung eritrosit

15
biasanya tampak pada minggu ke-7 sampai ke-8 kehamilan,
dan terus menurun sampai minggu ke-16 sampai ke-22 ketika
titik keseimbangan tercapai. Sebab itu, apabila ekspansi volume
plasma yang terus-menerus tidak diimbangi dengan
peningkatan produksi eritropoetin sehingga menurunkan kadar
Ht, konsentrasi Hb, atau hitung eritrosit di bawah batas
“normal”, timbulah anemia.
Kehamilan membutuhkan tambahan zat besi sekitar 800-
1000 mg untuk mencukupi kebutuhan yang terdiri dari:
(1) Terjadinya peningkatan sel darah merah membutuhkan
300-400 mg zat besi dan mencapai puncak pada 32 minggu
kehamilan.
(2) Janin membutuhkan zat besi 100-200 mg.
(3) Pertumbuhan plasenta membutuhkan zat besi 100-200 mg.
(4) Sekitar 190 mg hilang selama melahirkan.
Selama periode setelah melahirkan 0,5-1 mg besi perhari
dibutuhkan untuk laktasi, dengan demikian jika cadangan pada
awalnya direduksi, maka pasien hamil dengan mudah bisa
mengalami kekurangan besi.
c) Tanda dan Gejala
Walaupun tanpa gejala, anemia dapat menyebabkan tanda dan
gejal sebagai berikut:
(1) Letih dan sering mengantuk
(2) Pusing, lemah
(3) Sering sakit kepala
(4) Kulit dan membran mukosa mucat (konjuntiva, lidah)
(5) Bantalan kuku pucat
(6) Tidak ada nafsu makan, kadang mual dan muntah

16
d) Faktor Predisposisi
(1) Riwayat anemia
(2) Penyakit sel sabit (sickel cell)
(3) Menderita talassemia atau riwayat talasemia dalam
keluarga
(4) ITP (idiopathic thrombocytopenic purpura)
(5) Gangguan perdarahan
(6) Riwayat kehamilan sebelumnya disertai perdarahan
(7) Riwayat malaria
(8) Menderita cacingan
(9) Riwayat sindrom HELLP Riwayat diet: sumber makanan
yang kurang zat besi, pica yang berlebihan
e) Klasifikasi
Anemia dalam kehamilan Anemia banyak diklasifikasikan
dengan ringan, sedang, berat. Namun standar nilai Hb untuk
tiap populasi/tempat tidak dapat disamakan. Secara khusus
WHO mengklasifikasikan anemia, sebagai berikut: Kriteria
Anemia Menurut WHO
(1) Umur 6 bln – 5 tahun : Hb < 11 gr%
(2) Umur 6 – 14 tahun : Hb < 12 gr%
(3) Umur > 14 th (laki-laki) : Hb < 13 gr%
(4) Umur > 14 th (wanita) : Hb < 12 gr%
(5) Wanita hamil : Hb < 11 gr%
Untuk wanita hamil, anemia diklasifikasikan sebagai berikut:
(1) Anemia : Hb < 11gr%
(2) Anemia Berat : Hb < 8 gr%
f) Deteksi Anemia dalam Kehamilan

17
Untuk menegakkan diagnosis anemia dapat dilihat dari tanda
dan gejala yang muncul serta diperlukan metode pemeriksaan
yang akurat dan kriteria diagnosis yang tegas. Gejala ini berupa
badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta
telinga mendenging. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien
yang pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah
kuku. Penegakkan diagnosa anemia dapat dilakukan dengan
memeriksa kadar hemoglobin dengan menggunakan alat
sederhana seperti Hb Sahli
g) Penatalaksanaan Anemia pada Kehamilan
Apabila diagnosis anemia telah ditegakkan, lakukan
pemeriksaan apusan darah tepi untuk melihat morfologi sel
darah merah. Bila pemeriksaan apusan darah tepi tidak tersedia,
berikan suplementasi besi dan asam folat. UNICEF
merekomendasikan suplemen zat besi yang sudah
diformulasikan dengan asam folat (60 mg iron + 400µ folic
acid). Asam folat diperlukan dalam pembentukan sel darah
merah.
Tablet yang saat ini banyak tersedia di Puskesmas adalah
tablet tambah darah yang berisi 60 mg besi elemental dan
250μg asam folat. Pada ibu hamil dengan anemia, tablet
tersebut dapat diberikan 3 kali sehari. Bila dalam 90 hari
muncul perbaikan, lanjutkan pemberian tablet sampai 42 hari
pascasalin. Apabila setelah 90 hari pemberian tablet besi dan
asam folat kadar hemoglobin tidak meningkat, rujuk pasien ke
pusat pelayanan yang lebih tinggi untuk mencari penyebab
anemia.
Penatalaksanaan anemia defisiensi besi berfokus pada
untuk meningkatkan zat besi dan juga meningkatkan kadar Hb
agar bisa kembali pada kadar normal sehinggga dapat kembali

18
menyuplai oksigen ke jaringan-jaringan tubuh. Pada wanita
hamil, pengobatan tidak hanya untuk meningkatkan zat besi
dan kadar Hb, tetapi tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan
hasil keluaran ibu dan bayi yang baik, yaitu persalinan
premature, ibu tidak gagal jantung, perdarahan postpartum, dan
bahkan kematian. Pada bayi yaitu Bayi Berat Lahir Rendah
(BBLR), asfiksia berat, APGAR score rendah, dll.
Berdasarkan International Nutrinational Anemia
Consultative Group (INACG) terdapat beberapa jenis makanan
yang secara alami mengandung zat besi. Ada yang berasal dari
hewani seperti daging merah, dan yang berasal dari nabati
seperti kecambah dan kacangkacangan. Terdapat juga beberapa
makanan yang sudah difortifikasi dengan zat besi, seperti susu
bubuk/cair, yoghurt, tepung terigu, ikan kalengan, garam, gula.
Jumlah zat besi yang diserap dari makanan sangat tergantung
pada komposisi makanan, yaitu jumlah zat yang dapat
meningkatkan atau menghambat penyerapan zat besi. Teh dan
kopi menghambat penyerapan zat besi bila dikonsumsi dengan
makan atau segera setelah makan.
Daging merah mengandung zat besi yang mudah diserap
tubuh dan juga dapat membantu penyerapan zat besi dari
sumber makanan yang lain tidak dapat diserap tubuh. Vitamin
C (asam askorbat) juga dapat membantu penyerapan zat besi
dari makanan nonmeat bila dikonsumsi dalam makanan.
Semakin banyak kandungan vitamin C dalam makanan, maka
penyerapan zat besi oleh tubuh juga akan semakin meningkat.
Pesan lainnya adalah untuk tidak memasak makanan terlalu
matang, karena dapat merusak vitamin C yang terkandung
dalam makanan tersebut.

19
Jumlah zat besi yang dapat diabsorpsi dari makanan
kadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan seseorang.
Terutama pada wanita hamil dan juga menyusui, yang memang
terjadi perubahan secara fisilologis pada tubuhnya sehingga
membutuhkan asupan zat besi yang lebih. Oleh karena itu
dibutuhkan suplemen zat besi tambahan agar kebutuhan
tercukup
6) Ketuban Pecah Sebelum Waktunya (KPSW)
a) Pengertian
Ketuban pecah sebelum waktunya (KPSW) atau ketuban pecah
dini (KPD) atau ketuban pecah prematur (KPP) adalah
keluarnya cairan dari jalan lahir/vagina sebelum proses
persalinan atau disebut juga Premature Rupture of Membrane
= Prelabour Rupture Of Membrane = PROM
b) Tanda dan Gejala

(1) Adanya cairan yang berisi mekonium (kotoran janin),


verniks kaseosa (lemak putih) rambut lanugo atau (bulu-
bulu halus) bila telah terinfeksi bau.

(2) Pemeriksaan inspekulo, lihat dan perhatikan apakah


memang air ketuban keluar dari kanalis servikalis pada
bagian yang sudah pecah, atau terdapat cairan ketuban
pada forniks posterior

(3) USG: volume cairan amnion


berkurang/oligohidramnion

(4) Terdapat infeksi genital (sistemik)

(5) Gejala chorioamnionitis


c) Masalah Potensial
(1) Janin
(a) Persalinan Prematuritas

20
(b) Prolaps funiculli/penurunan tali pusat
(c) Hipoksia dan Asfiksia sekunder (kekurangan oksigen
pada bayi) Mengakibatkan kompresi tali pusat, prolaps
uteri, dry labour/partus lama, apgar score rendah,
ensefalopaty, cerebralpalsy, perdarahan intrakranial,
renal failure, respiratory distress
(2) Ibu
(a) Infeksi intrapartal dalam persalinan
(b) Jika terjadi infeksi dan kontraksi ketuban pecah maka
bisa menyebabkan sepsis yang selanjutnya dapat
mengakibatkan meningkatnya angka morbiditas dan
mortalitas
(c) Infeksi puerperalis/masa nifas
(d) Dry labour/Partus lama
(e) Perdarahan post partum
(f) Meningkatkan tindakan operatif obstetric (khususnya
SC)
(g) Morbiditas dan mortalitas maternal
d) Penatalaksanaan
(1) Konservatif
(a) Rawat di Rumah Sakit
(b) Berikan antibiotik (ampicillin 4 x 500 mg selama 7
hari)
(c) Jika umur kehamilan < 32-34 minggu, dirawat selama
air ketuban masih keluar, atau sampai air ketuban
tidak lagi keluar.
(d) Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu,
tidak infeksi, tes busa negatif: beri dexamethason,

21
observasi tanda-tanda infeksi, dan kesejahteraan janin.
Terminasi pada kehamilan 37 minggu.
(e) Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu,
tidak ada infeksi, berikan tokolitik (salbutamol),
dexamethason, dan induksi sesudah 24 jam.
(f) Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri
antibiotik dan lakukan induksi.
(g) Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leokosit, tanda-tanda
infeksi intrauterin).
(h) Pada usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid,
untuk memacu kematangan paru janin, dan kalau
memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingomielin
tiap minggu. Dosis betametason 12 mg dosis tunggal
selama 2 hari, dexamethason IM 5 mg setiap 6 jam
sebanyak 4 kali
(2) Aktif
(a) Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin,
bila gagal seksio sesarea. Dapat pula diberikan
misoprostrol 50 mg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4
kali.
(b) Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotik dosis
tinggi, dan persalinan diakhiri:
(c) Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan serviks,
kemudian induksi. Jika tidak berhasil, akhiri
persalinan dengan seksio sesarea.
(d) Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus
pervaginam.
7) Pre Eklamsia
Preeklamsia/Eklamsia merupakan suatu penyulit yang timbul pada
seorang wanita hamil dan umumnya terjadi pada usia kehamilan

22
lebih dari 20 minggu dan ditandai dengan adanya hipertensi dan
protein uria. Pada eklamsia selain tanda tanda preeklamsia juga
disertai adanya kejang. Preeklamsia/Eklamsia merupakan salah satu
penyebab utama kematian ibu di dunia. Tingginya angka kematian
ibu pada kasus ini sebagian besar disebabkan karena tidak
adekuatnya penatalaksanaan di tingkat pelayanan dasar sehingga
penderita dirujuk dalam kondisi yang sudah parah, sehingga
perbaikan kualitas di pelayanan kebidanan di tingkat pelayanan
dasar diharapkan dapat memperbaiki prognosis bagi ibu dan
bayinya.
a) Klasifikasi Pre Eklamsia
Berikut beberapa klasifikasi pre eklamsia, diantaranya yaitu :
(1) Diagnosis hipertensi dalam kehamilan ditegakkan bila
didapatkan:
Tekanan darah ≥140/90 mmHg untuk pertama kalinya
selama kehamilan, tidak terdapat protein uria, tekanan
darah kembali normal dalam waktu 12 minggu pasca
persalinan (jika peningkatan tekanan darah tetap bertahan,
ibu didiagnosis hipertensi kronis), diagnosis akhir baru
dibuat pada periode pasca persalinan, tanda tanda lain
preeklamsia seperti nyeri epigastrik dan trombositopenia
mungkin ditemui dan dapat mempengaruhi
penatalaksanaan yang diberikan.
(2) Diagnosis preeklamsia ringan ditegakkan bila didapatkan :
Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg setelah usia kehamilan 20
minggu, protein uria ≥ 1+ pada pengukuran dengan
dipstick urine atau kadar protein total ≥ 300 mg/24 jam.
(3) Diagnosis preeklamsia berat ditegakkan bila didapatkan:
(a) Hipertensi: Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau
tekanan darah diastolic ≥110 mmHg.

23
(b) Protein uria: Kadar protein dalam kencing ≥ ++ pada
pengukuran dipstick urine atau kadar protein total
sebesar 2 gr/24 jam.
(c) Kadar kreatinin darah melebihi 1,2 mg/dL kecuali
telah diketahui meningkat sebelumnya.
(d) Tanda/gejala tambahan: Tanda gejala tambahan
lainnya dapat berupa keluhan subyektif berupa nyeri
kepala, nyeri uluhati, dan mata kabur. Ditemukannya
proteinuria ≥ 3 gram, jumlah produksi urine ≤ 500
cc/24 jam (oliguria), terdapat peningkatan kadar asam
urat darah, peningkatan kadar BUN dan kreatinin
serum serta terjadinya sindroma HELLP yang ditandai
dengan terjadinya hemolisis ditandai dengan adanya
icterus, hitung trombosit ≤ 100.000, serta peningkatan
SGOT dan SGPT.
(e) Pada eklampsia disertai adanya kejang konvulsi yang
bukan disebabkan oleh infeksi atau trauma.
(f) Diagnosis Preeklamsia super impos ditegakkan apabila
protein awitan baru ≥ 300 mg/24 jam pada ibu
penderita darah tinggi tetapi tidak terdapat protein uria
pada usia kehamilan sebelum 20 minggu.
(g) Diagnosis hipertensi kronis ditegakkan apabila
hipertensi telah ada sebelum kehamilan atau yang
didiagnosis sebelum usia kehamilan 20 minggu, atau
hipertensi pertama kali didiagnosis setelah usia
kehamilan 20 minggu dan terus bertahan setelah 12
minggu pasca persalinan.
b) Pencegahan Pre Eklamsia
(1) Anamnesa

24
Metode skrining yang pertama adalah dengan melakukan
anamneses pada ibu, untuk mencari beberapa faktor risiko
sebagai berikut :
(a) Usia Ibu
Primigravida dengan usia dibawah 20 tahun dan
semua ibu dengan usia diatas 35 tahun dianggap lebih
rentan untuk mengalami preeklamsia/ eklamsia.
(b) Ras
Ras African lebih berisiko mengalami preeklamsia
dibandingkan ras caucasian maupun ras Asia.
(c) Metode Kehamilan
Kehamilan yang tidak terjadi secara alamiah
(inseminasi dan sebagainya) berisiko 2 kali lipat untuk
terjadinya preeklamsia
(d) Merokok selama hamil
Wanita yang merokok selama hamil berisiko untuk
mengalami preeklamsia
(e) Riwayat penyakit dahulu (Hipertensi, preeklamsia
pada kehamilan terdahulu, penyakit Ginjal, penyakit
Autoimun, Diabetes Mellitus, Metabolik sindrom,
Obesitas dll)
(f) Riwayat penyakit keluarga
Bukti adanya pewarisan secara genetik paling
mungkin disebabkan oleh turunan yang resesif

(g) Paritas
Primigravida memiliki insidensi hipertensi hampir 2
kali lipat dibandingkan multigravida
(h) Kehamilan sebelumnya

25
Kehamilan dengan riwayat preeklamsi sebelumnya
berisiko mengalami preeklamsia kembali pada
kehamilan sekarang. Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa risiko rekurensi (terjadinya
preeklamsia kembali) jika kehamilan sebelumnya
preeklampsia: 14-20% dan risiko rekurensi lebih besar
(s/d 38%) jika menghasilkan persalinan prematur
(early-onset preeklampsia).
(2) Pengukuran Tekanan Darah
Metode skrining yang kedua adalah dengan melakukan
pengukuran tekanan darah setiap kali antenatal care.
Hipertensi didefinisikan sebagai hasil pengukuran sistolik
menetap (selama setidaknya 4 jam) >140–150 mmHg, atau
diastolic 90–100 mmHg. Pengukuran tekanan darah
bersifat sensitif terhadap posisi tubuh ibu hamil sehingga
posisi harus seragam, terutama posisi duduk, pada lengan
kiri setiap kali pengukuran. Apabila tekanan darah
≥160/100 maka kita dapat menetapkan hipertensi.
Pengukuran tekanan darah dapat berupa tekanan darah
Sistolik, Tekanan Darah Diastolik dan MAP (Mean
Arterial Pressure). Dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa MAP trimester 2 >90 mmHg berisiko 3.5 kali untuk
terjadinya preeklamsia, dan tekanan darah diastole >75
mmHg pada usia kehamilan 13–20 minggu berisiko 2.8
kali untuk terjadinya preeklamsia. MAP merupakan
prediktor yang lebih baik daripada tekanan darah sistol,
diastol, atau peningkatan tekanan darah, pada trimester
pertama dan kedua kehamilan.
(3) USG Doppler

26
Pada pasien Preeklamsia terdapat perubahan patofisiologis
yaitu:
(a) Gangguan implantasi trophoblast
Perfusi uteroplacenta yang berkurang dan mengarah ke
disfungsi endotel yang menyebabkan edema, protein
uria dan hemokonsentrasi; vasospasme yang
menyebabkan hipertensi, oliguria, iskemia organ,
solusio placenta dan terjadinya kejang-kejang; aktifasi
koagulasi yang menyebabkan trombositopenia; dan
pelepasan zat molekul berbahaya (sitokin dan lipid
peroksidase) yang menyebabkan penurunan perfusi
uteriplacenta lebih lanjut dan pelepasan molekul
vasoaktif seperti prostaglandin, nitrit oksida, dan
endotelin, yang seluruhnya menurunkan perfusi
uetroplacenta.
(b) Aliran uteroplacenta bertahanan tinggi
Akibat patofisiologis diatas, terdapat tiga lesi patologis
utama yang terutama berkaitan dengan preeklamsia
dan eklamsi yaitu: Perdarahan dan nekrosis dibanyak
organ, sekunder terhadap konstriksi kapiler,
Endoteliosis kapiler glomerular, Tidak adanya dilatasi
arteri spiral
(4) Penatalaksanaan Pre Ekslamsia
(a) Jangan biarkan pasien sendirian
(b) Tempatkan penderita setengah duduk
(c) Mintalah pertolongan pada petugas yang lain atau
keluarga penderita
(d) Jalan nafas : Bersihkan jalan nafas (pertahankan),
miringkan kepala penderita

27
(e) Pernafasan : Berikan oksigen 4 -6 liter/ menit, kalau
perlu lakukan ventilasi dengan balon dan masker
(f) Sirkulasi : Observasi nadi dan tekanan darah, pasang
IV line (infuse) dengan cairan RL/ RD5/ Na Cl 0,9%
(g) Cegah Kejang/Kejang Ulangan : MgSO4 40% 4 gram
(10 cc) dijadikan 20 cc diberikan IV, bolus pelan ± 5
menit.
- Bila IM: Mg SO4 40% 8 gram (20 cc) bokong
kanan/kiri
- Bila IV: Mg So4 40% 6 gram (15 cc) masukkan
dalam cairan RL/ RD5/ Na Cl 0,9% 250 cc drip
dengan tetesan 15 tetes per menit
- Bila Kejang berlanjut: Mg SO4 40% 2 gram (5 cc)
dijadikan 10 cc diberikan IV Bolus pelan ± 5 menit
- Pantau: Pernafasan, reflek patella,produksi urine
- Antidotum: calcium Gluconas 10% 10 cc IV pelan
(h) Pengaturan Tekanan Darah : Antihipertensi diberikan
bila:
- Tekanan darah systole : ≥ 160mmHg
- Tekanan darah diatole: ≥ 110 mmhg
- Nifedipin 10 mg Oral
- Metildopa 250 mg
(i) Dirujuk Langsung ke Rumah Sakit dengan
BAKSOKU (Bidan, Alat, Kendaraan, Surat, Obat,
Keluarga, Uang)
8) Distosia Bahu
a) Pengertian
Distosia bahu adalah tersangkutnya bahu janin dan tidak
dapat dilahirkan setelah kepala janin dilahirkan. Sebuah kriteria
objektif untuk menentukan adanya distosia bahu yaitu interval

28
waktu antara lahirnya kepala dengan seluruh tubuh. Nilai
normal interval waktu antara persalinan kepala dengan
persalinan seluruh tubuh adalah 24 detik, pada distosia bahu 79
detik. Mereka mengusulkan bahwa distosia bahu adalah bila
interval waktu tersebut lebih dari 60 detik.
Distosia bahu adalah kondisi darurat oleh karena bila
tidak segera ditangani akan menyebabkan kematian janin dan
terdapat ancaman terjadinya cedera syaraf daerah leher akibat
regangan berlebihan/terjadinya robekan (Widjanarko, 2012)

Gambar 2.1 Distosia Bahu


Sumber : Alomedika.com 2015

b) Etiologi
(1) Maternal
(a) Kelainan bentuk panggul
(b) Diabetes gestasional
(c) Kehamilan postmature
(d) Riwayat persalinan dengan distosia bahu
(e) Ibu yang pendek.
(2) Fetal
(a) Dugaan macrosomia

29
c) Tanda dan Gejala
American College of Obstetricians and Gynecologist
menyatakan bahwa penelitian yang dilakukan dengan metode
evidence based menyimpulkan bahwa:

(1) Sebagian besar kasus distosia bahu tidak dapat


diramalkan atau dicegah

(2) Adanya kehamilan yang melebihi 5000 gram


atau dugaan berat badan janin yang dikandung oleh
penderita diabetes lebih dari 4500 gram
d) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan distosia bahu

(1) Mengenakan sarung tangan desinfeksi tingkat


tinggi atau steril.

(2) Melaksanakan episiotomi secukupnya dengan


didahului dengan anastesi lokal.

(3) Mengatur posisi ibu Manuver Mc Robert.

(a) Pada posisi ibu berbaring terlentang, minta ibu


menarik lututnya sejauh mungkin kearah dadanya dan
diupayakan lurus. Minta suami/keluarga membantu.

(b) Lakukan penekanan ke bawah dengan mantap


diatas simpisis pubis untuk menggerakkan bahu
anterior di atas simpisis pubis. Tidak diperbolehkan
mendorong fundus uteri, beresiko menjadi ruptur uteri

(c) Ganti posisi ibu dengan posisi merangkak dan


kepala berada di atas
 Tekan ke atas untuk melahirkan bahu depan

30
 Tekan kepala janin mantap ke bawah untuk
melahirkan bahu belakang

Gambar 2.2 Manuver Mc.Robert


Sumber : Kemenkes, 2015

Penatalaksanaan distosia bahu


(1) Bersikap relaks. Hal ini akan mengkondisikan penolong
untuk berkonsentrasi dalam menangani situasi gawat
darurat secara efektif.
(2) Memanggil dokter. Bila bidan masih terus menolong
sampai bayi lahir sebelum dokter adatang, maka dokter
akan menangani perdarahan yang mungkin terjadi atau
untuk tindakan resusitasi.
(3) Siapkan peralatan tindakan resusitasi.
(4) Menyiapkan peralatan dan obat-obatan untuk penanganan
perdarahan.
(5) Beritahu ibu prosedur yang akan dilakukan.
(6) Atur posisi Mc Robert.
(7) Cek posisi bahu. Ibu diminta tidak mengejan. Putar bahu
menjadi diameter oblik dari pelvis atau anteroposterior bila
melintang. Kelima jari satu tangan diletakkan pada dada
janin, sedangkan kelima jari tangan satunya pada
punggung janin sebelah kiri. Perlu tindakan secara hati-hati

31
karena tindakan ini dapat menyebabkan kerusakan pleksus
syaraf brakhialis.
(8) Meminta pendamping persalinan untuk menekan daerah
supra pubik untuk menekan kepala ke arah bawah dan luar.
Hati-hati dalam melaksanakan tarikan ke bawah karena
dapat menimbulkan kerusakan pleksus syaraf brakhialis.
Cara menekan daerah supra pubik dengan cara kedua
tangan saling menumpuk diletakkan di atas simpisis.
Selanjutnya ditekan ke arah luar bawah perut.
(9) Bila persalinan belum menunjukkan kemajuan, kosongkan
kandung kemih karena dapat menganggu turunnya bahu,
melakukan episiotomy, melakukan pemeriksaan dalam
untuk mencari kemungkinan adanya penyebab lain distosia
bahu. Tangan diusahakan memeriksa kemungkinan:
(a) Tali pusat pendek.
(b) Bertambah besarnya janin pada daerah thorak dan
abdomen oleh karena tumor.
(c) Lingkaran bandl yang mengindikasikan akan terjadi
ruptur uteri.
(10) Mencoba kembali melahirkan bahu. Bila distosia bahu
ringan, janin akan dapat dilahirkan.
(11) Lakukan tindakan perasat seperti menggunakan alat untuk
membuka botol (corkcrew) dengan cara seperti
menggunakan prinsip skrup wood. Lakukan pemutaran dari
bahu belakang menjadi bahu depan searah jarum jam,
kemudian di putar kembali dengan posisi bahu belakang
menjadi bahu depan berlawanan arah dengan jarum jam
putar 180oC. Lakukan gerakan pemutaran paling sedikit 4
kali, kemudian melahirkan bahu dengan menekan kepada

32
ke arah luar belakang disertai dengan penekanan daerah
suprapubik.
(12) Bila belum berhasil, ulangi melakukan pemutaran bahu
janin seperti langkah 11.
(13) Bila tetap belum berhasil, maka langkah selanjutnya
mematahkan klavikula anterior kemudian melahirkan bahu
anterior, bahu posterior, dan badan janin.
(14) Melakukan maneuver Zavenelli, yaitu suatu tindakan untuk
memasukkan kepala kembali ke dalam jalan lahir dengan
cara menekan dinding posterior vagina, selanjutnya kepala
janin di tahan dan dimasukkan, kemudian dilakukan SC.
9) Persalinan Lama
a) Pengertian
Partus lama adalah fase laten lebih dari 8 jam. Persalinan telah
berlangsung 12 jam atau lebih, bayi belum lahir. Dilatasi
serviks di kanan garis waspada persalinan aktif (Syaifuddin
AB, 2002 dalam Didien 2016). Partus lama adalah persalinan
yang berlangsung lebih dari 24jam pada primigradiva, dan
lebih dari 18 jam pada multigradiva (Mochtar, 1998 dalam
Didien 2016).
b) Etiologi
Menurut (Saifudin AB, 2007 dalam Didien 2016) Pada
prinsipnya persalinan lama dapat disebabkan oleh :
(1) His tidak efisien (inadekuat)
(2) Faktor janin (malpresenstasi, malposisi, janin besar)
Malpresentasi adalah semua presentasi janin selain vertex
(presentasi bokong, dahi, wajah, atau letak lintang).
Malposisi adalah posisi kepala janin relative terhadap
pelvis dengan oksiput sebagai titik referansi. Janin yang
dalam keadaan malpresentasi dan malposisi kemungkinan

33
menyebabkan partus lama atau partus macet (Saifudin AB,
2007 Didien 2016)
(3) Faktor jalan lahir (panggul sempit, kelainan serviks,
vagina, tumor). Panggul sempit atau disporporsi
sefalopelvik terjadi karena bayi terlalu besar dan pelvic
kecil sehingga menyebabkan partus macet. Cara penilaian
serviks yang baik adalah dengan melakukan partus
percobaan (trial of labor). Kegunaan pelvimetre klinis
terbatas (Saifudin AB, 2007 Didien 2016)
(4) Faktor lain (Predisposisi)
(a) Paritas dan Interval kelahiran (Fraser, MD, 2009
Didien 2016)
(b) Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai
pecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan. Hal
ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh
sebelum waktunya melahirkan. KPD preterm adalah
KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu. KPD yang
memanjang adalah KPD yang terjadi lebih dari 12 jam
sebelum waktunya melahirkan (Sujiyatini, 2009
Didien 2016). Pada ketuban pecah dini bisa
menyebabkan persalinan berlangsung lebih lama dari
keadaan normal, dan dapat menyebabkan infeksi.
Infeksi adalah bahaya yang serius yang mengancam
ibu dan janinnya, bakteri di dalam cairan amnion
menembus amnion dan menginvasi desidua serta
pembuluh korion sehingga terjadi bakteremia dan
sepsis pada ibu dan janin (Wiknjosastro, 2007 Didien
2016). KPD pada usia kehamilan yang lebih dini
biasanya disertai oleh periode laten yang lebih

34
panjang. Pada kehamilan aterm periode laten 24 jam
pada 90% pasien (Scott RJ, 2002 Didien 2016).
c) Tanda Gejala
(1) Pembukaan serviks tidak membuka (kurang dari 3 cm),
tidak didapatkan kontraksi uterus Belum inpartu, fase labor
(2) Pembukaan serviks tidak melewati 3 cm sesudah 8 jam
inpartu Prolonged laten phase
(3) Pembukaan serviks tidak melewati garis waspada
partograf:
(a) Frekuensi dan lamanya kontraksi kurang dari 3
kontraksi per 10 menit dan kurang dari 40 detik
(b) Secondary arrest of dilatation atau arrest of descent
(c) Secondary arrest of dilatation dan bagian terendah
dengan caput terdapat moulase hebat, edema serviks,
tanda rupture uteri immenens, fetal dan maternal
distress
(d) Kelainan presentasi (selain vertex)
(4) Pembukaan serviks lengakap, ibu ingin mengedan, tetapi
tidak ada kemajuan (kala II lama/ prolonged second stage)
d) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan berdasarkan diagnosisnya, yaitu:
(1) Fase Laten Memanjang
(a) Bila fase laten lebih dari 8 jam dan tidak ada tanda-
tanda kemajuan, lakukan penilaian ulang terhadap
serviks.
(b) Jika tidak ada perubahan pada pendataran atau
pembukaan serviks dan tidak ada gawat janin,
mungkin pasien belum inpartu

35
(c) Jika ada kemajuan dalam pendataran dan pembukaan
serviks, lakukan amniotomi dan induksi persalinan
dengan oksitosin atau prostaglandin
(d) Lakukan penilaian ulang setiap 4 jam
(e) Jika didapatkan tanda-tanda infeksi (demam, cairan
vagina berbau): lakukan akselerasi persalinan dengan
oksitosin
(f) Berikan antibiotika kombinasi sampai persalinan
(g) Ampisilin 2 g IV setiap 6 jam
(h) Ditambah gentamisin 5 mg/kgBB IV setiap 24 jam
(i) Jika terjadi persalinan pervaginam stop antibiotika
pascapersalinan
(j) Jika dilakukan SC, lanjutkan antibiotika ditambah
metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam sampai ibu
bebas demam selama 48 jam.
(2) Fase Aktif Memanjang
(a) Jika tidak ada tanda - tanda disproporsi sefalopelfik
atau obstruksi dan ketuban masih utuh, pecahkan
ketuban
(b) Jika his tidak adekuat (kurang dari 3 his dalam 10
menit dan lamanya kurang dari 40 detik)
pertimbangkan adanya inertia uteri
(c) Jika his adekuat (3 kali dalam 10 menit dan lamanya
lebih dari 40 detik), pertimbangkan adanya
disproporsi, obstruksi, malposisi atau malpresentasi
(d) Lakukan penanganan umum yang akan memperbaiki
his dan mempercepat kemajuan persalinan
Partus lama adalah kasus yang juga sering terjadi bila
pertolongannya dilakukan bukan oleh tenaga kesehatan
atau oleh tenaga kesehatan tetapi salah dalam pengelolaan

36
persalinannya. Setelah Anda mengenal apa itu partus lama,
maka diharapkan kasus ini akan terminimalisasi.
e) Pencegahan
(1) Persiapan kelahiran bayi dan perawatan prenatal yang baik
akan mengurangi insidensi partus lama.
(2) Persalinan tidak boleh diinduksi atau dipaksakan kalau
serviks belum matang. Servik yang matang adalah servik
yang panjangnya kurang dari 1,27 cm (0,5 inci), sudah
mengalami pendataran, terbuka sehingga bisa dimasuki
sedikitnya satu jari dan lunak serta bisa dilebarkan.
f) Tindakan suportif
(1) Selama persalinan, semangat pasien harus didukung.
(2) Intake cairan sedikitnya 2500 ml per hari. Pada semua
partus lama, intake cairan sebanyak ini di pertahankan
melalui pemberian infus larutan glukosa. Dehidrasi,
dengan tanda adanya acetone dalam urine, harus dicegah.
(3) Makanan yang dimakan dalam proses persalinan tidak
akan tercerna dengan baik. Makanan ini akan tertinggal
dalam lambung sehingga menimbulkan bahaya muntah dan
aspirasi. Untuk itu, maka pada persalinan yang
berlangsung lama di pasang infus untuk pemberian kalori.
(4) Pengosongan kandung kemih dan usus harus memadai.
Kandung kemih dan rectum yang penuh tidak saja
menimbulkan perasaan lebih mudah cidera dibanding
dalam keadaan kosong
(5) Meskipun wanita yang berada dalam proses persalinan,
harus diistirahatkan dengan pemberian sedatif dan rasa
nyerinya diredakan dengan pemberian analgetik, namun
semua preparat ini harus digunakan dengan bijaksana.

37
Narcosis dalam jumlah yang berlebihan dapat mengganggu
kontraksi dan membahayakan bayinya.
(6) Pemeriksaan rectal atau vaginal harus dikerjakan dengan
frekuensi sekecil mungkin. Pemeriksaan ini menyakiti
pasien dan meningkatkan resiko infeksi. Setiap
pemeriksaan harus dilakukan dengan maksud yang jelas.
(7) Apabila hasil-hasil pemeriksaan menunjukkan adanya
kemajuan dan kelahiran diperkirakan terjadi dalam jangka
waktu yang layak serta tidak terdapat gawat janin ataupun
ibu, tetapi suportif diberikan dan persalinan dibiarkan
berlangsung secara spontan
g) Perawatan pendahuluan
Penatalaksanaan penderita dengan partus lama adalah sebagai
berikut:
(1) Suntikan Cortone acetate 100-200 mg intramuscular
(2) Penisilin prokain: 1 juta IU intramuskular
(3) Streptomisin 1 gr intramuskular
(4) Infus cairan: Larutan garam fisiologis, Larutan glukose 5-
100% pada janin pertama: 1 liter/jam
(5) Istirahat 1 jam untuk observasi, kecuali bila keadaan
mengharuskan untuk segera bertindak
10) Retensio Plasenta
a) Pengertian
Retensio plasenta merupakan sisa plasenta dan ketuban yang
msih tertinggal dalam rongga rahim. Hal ini dapat
menimbulkan perdarahan postpartum dini atau perdarahan
pospartum lambat (6-10 hari) pasca postpartum.
b) Penyebab

38
Menurut Rustam Muchtar dalam bukunya Sinopsis Obstetri
(1998 dalam Didien, 2016) penyebab rentensio plasenta
adalah :
(1) Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena tumbuh
terlalu melekat lebih dalam, berdasarkan tingkat
perlekatannya dibagi menjadi :
(a) Plasenta adhesive, yang melekat pada desidua
endometrium lebih dalam. Kontraksi uterus kurang
kuat untuk melepaskan plasenta.
(b) Plasentaa akreta, implantasi jonjot khorion memasuki
sebagian miometriun
(c) Plasenta inkreta, implantasi menembus hingga
miometriun
(d) Plasenta perkreta, menembus sampai serosa atau
peritoneum dinding rahim
Plasenta normal biasanya menanamkan diri sampai batas
atas lapisan miometrium.
(2) Plasenta sudah lepas tapi belum keluar, karena :
(a) Atonia uteri adalah ketidak mampuan uterus untuk
berkontraksi setelah bayi lahir. Hal ini akan
menyebabkan perdarahan yang banyak
(b) Adanya lingkaran kontriksi pada bagian rahim akibat
kesalahan penanganan kala III sehingga menghalangi
plasenta keluar (plasenta inkarserata)
Manipulasi uterus yang tidak perlu sebelum
terjadinya pelepasan plasenta dapat menyebabkan
kontraksi yang tidak ritmik, pemberian uterotonika tidak
tepat pada waktunya juga akan dapat menyebabkan
serviks berkontraksi dan menahan plasenta. Selain itu

39
pemberian anastesi yang dapat melemahkan kontraksi
uterus juga akan menghambat pelepasan plasenta.
Pembentukkan lingkaran kontriksi ini juga
berhubungan dengan his. His yang tidak efektif yaitu his
yang tidak ada relaksasinya maka segmen bawah rahim
akan tegang terus sehingga plasenta tidak dapat keluar
karena tertahan segmen bawah rahim tersebut.
(3) Penyebab lain :
Kandung kemih penuh atau rectum penuh Hal-hal diatas
akan memenuhi ruang pelvis sehingga dapat menghalangi
terjadinya kontraksi uterus yang efisien. Karena itu
keduanya harus dikosongkan. Bila plasenta belum lepas
sama sekali tidak akan terjadi perdarahan, tapi bila
sebagian plasenta sudah lepas akan terjadi perdarahan dan
ini merupakan indikasi untuk segera dikeluarkan.
c) Gejala
(1) Plasenta belum lahir setelah 30 menit
(2) Perdarahan segera (P3)
(3) Uterus berkontraski dan keras, gejalan lainnya antara lain
(4) Tali pusat putus akibat traksi berlebihan
(5) Inversio uteri akibat tarikan dan
(6) Perdarahan lanjutan
d) Penatalaksanaan
Plasenta Manual dilakukan dengan :
(1) Dengan narkosis
(2) Pasang infus NaCl 0.9%
(3) Tangan kanan dimasukkan secara obstetrik ke dalam
vagina
(4) Tangan kiri menahan fundus untuk mencegah korporeksis

40
(5) Tangan kanan menuju ostium uteri dan terus ke lokasi
plasenta
(6) Tangan ke pinggir plasenta dan mencari bagian plasenta
yang sudah lepas
(7) Dengan sisi ulner, plasenta dilepaskan

Gambar 2.3 Manual Plasenta


Sumber : Saifudin, 2014

Pengeluaran isi plasenta


(1) Pengeluaran Isi Plasenta dilakukan dengan cara kuretase
(2) Jika memungkinkan sisa plasenta dapat dikeluarkan secara
manual
(3) Kuretase harus dilakukan di rumah sakit
(4) Setelah tindakan pengeluaran, dilanjutkan dengan
pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau peroral
Antibiotika dalam dosis pencegahan sebaiknya diberikan.
11) Atonia uteri
a) Pengertian
Atonia uteri terjadi jika miometroium tidak berkontraksi.
Dalam hal ini uterus menjadi lunak dan pembuluh darah pada
daerah bekas perlekatan plasenta menjadi terbuka lebar.
Penyebab perdarahan post partum ini lebih banyak (2/3 dari

41
semua kasus perdarahan post partum) oleh Atonia Uteri. Atonia
uteri didefinisikan sebagai suatu kondisi kegagalan
berkontraksi dengan baik setelah persalinan (Saifudin AB,
2002 dalam Didien, 2016). Sedangkan dalam sumber lain
atonia didefinisikan sebagai hipotonia yang mencolok setelah
kelahiran placenta. Dua definisi tersebut sebenarnya
mempunyai makna yang hampir sama, intinya bahwa atonia
uteri adalah tidak adanya kontraksi segera setelah plasenta
lahir. Pada kondisi normal setelah plasenta lahir, otot-otot
rahim akan berkontraksi secara sinergis. Otot – otot tersebut
saling bekerja sama untuk menghentikan perdarahan yang
berasal dari tempat implantasi plasenta. Namun sebaliknya
pada kondisi tertentu otot – otot rahim tersebut tidak mampu
untuk berkontraksi/kalaupun ada kontraksi kurang kuat.
Kondisi demikian akan menyebabkan perdarahan yang terjadi
dari tempat implantasi plasenta tidak akan berhenti dan
akibatnya akan sangat membahayakan ibu. Sebagian besar
perdarahan pada masa nifas (75-80%) adalah akibat adanya
atonia uteri. Sebagaimana kita ketahui bahwa aliran darah
uteroplasenta selama masa kehamilan adalah 500 – 800
ml/menit, sehingga bisa kita bayangkan ketika uterus itu tidak
berkontraksi selama beberapa menit saja, maka akan
menyebabkan kehilangan darah yang sangat banyak.
Sedangkan volume darah manusia hanya berkisar 5-6 liter saja.
b) Gejala
(1) Uterus tidak berkontraksi dan lembek. Gejala ini
merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang
membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang
lainnya.

42
(2) Perdarahan terjadi segera setelah anak lahir Perdarahan
yang terjadi pada kasus atonia sangat banyak dan darah
tidak merembes. Yang sering terjadi pada kondisi ini
adalah darah keluar disertai gumpalan. Hal ini terjadi
karena tromboplastin sudah tidak mampu lagi sebagai anti
pembeku darah.
(3) Tanda dan gejala lainnya adalah terjadinya syok,
pembekuan darah pada serviks/posisi telentang akan
menghambat aliran darah keluar
(a) Nadi cepat dan lemah
(b) Tekanan darah yang rendah
(c) Pucat
(d) Keringat/kulit terasa dingin dan lembab
(e) Pernapasan cepat
(f) Gelisah, bingung, atau kehilangan kesadaran
(g) Urin yang sedikit
c) Pengaruh terhadap maternal
Hal yang menyebabkan uterus meregang lebih dari kondisi
normal antara lain :
(1) Kemungkinan terjadi polihidranmion, kehamilan kembar
dan makrosomia Peregangan uterus yang berlebihan karena
sebab-sebab tersebut akan mengakibatkan uterus tidak
mampu berkontraksi segera setelah plasenta lahir.
(2) Persalinan lama. Pada partus lama uterus dalam kondisi
yang sangat lelah, sehingga otot- otot rahim tidak mampu
melakukan kontraksi segera setelah plasenta lahir.
(3) Persalinan terlalu cepat
(4) Persalinan dengan induksi atau akselerasi oksitosin
(5) Infeksi intrapartum

43
(6) Paritas tinggi. Kehamilan seorang ibu yang berulang kali,
maka uterus juga akan berulang kali teregang. Hal ini akan
menurunkan kemampuan berkontraksi dari uterus segera
setelah plasenta lahir.
d) Penatalaksanaan
Manajemen Aktif kala III
Ibu yang mengalami perdarahan post partum jenis ini ditangani
dengan :
(1) Pemberian suntikan Oksitosin
(a) Periksa fundus uteri untuk memastikan kehamilan
tunggal
(b) Suntikan Oksitosin 10 IU IM
(2) Peregangan Tali Pusat
(a) Klem tali pusat 5-10 cm dari vulva/gulung tali pusat
(b) Tangan kiri di atas simfisis menahan bagian bawah
uterus, tangan kanan meregang tali pusat 5-10 cm dari
vulva
(c) Saat uterus kontraksi, tegangkan tali pusat sementara
tangan kiri menekan uterus dengan hati-hati arah
dorso-kranial.

Gambar 2.4 Peregangan tali pusat terkendali


Sumber : Saifudin, 2014

44
(3) Mengeluarkan Plasenta
(a) Jika tali pusat terlihat bertambah panjang dan terasa
adanya pelepasan plasenta, minta ibu meneran sedikit
sementara tangan kanan menarik tali pusat ke arah
bawah kemudian keatas dengan kurve jalan lahir
(b) Bila tali pusat bertambah panjang tetapi belum lahir,
dekatkan klem ± 5-10 cm dari vulva
(c) Bila plasenta belum lepas setelah langkah diatas,
selama 15 menit lakukan suntikan ulang 10 IU
oksitosin i.m, periksa kandung kemih lakukan
katerisasi bila penuh, tunggu 15 menit, bila belum
lahir lakukan tindakan plasenta manual.
(4) Massase Uterus
(a) Segera setelah plasenta lahir, lakukan masase pada
fundus uteri dengan menggosok fundus secara sirkular
mengunkan bagian palmar 4 jam tangan kiri hingga
kontraksi uterus baik (fundus terasa keras).
(b) Memeriksa kemungkinan adanya perdarahan pasca
persalinan, kelengkapan plasenta dan ketuban,
kontraksi uterus, dan perlukaan jalan lahir.
12) Sepsis Puerperalis
a) Pengertian
Sepsis puerperalis merupakan infeksi pada traktus genitalia
yang dapat terjadi setiap saat antara awitan pecah ketuban
(ruptur membran) atau persalinan dan 42 hari setelah persalinan
atau abortus. Untuk menentukan apakah sepsis putperalis
terjadi, maka Anda dapat mendeteksinya melalui adanya dua
atau lebih dan hal – hal berikut ini :
(1) Nyeri pelvik
(2) Demam >38,5° diukur melalui oral kapan saja;

45
(3) Vagina yang abnormal
(4) Vagina berbau busuk;
(5) Keterlambatan penurunan ukuran uterus (sub involusio
uteri).
b) Klasifikasi Sepsis Pueperalis
Menentukan adanya kegawatdarutan ibu nifas dengan sepsis
peurperalis bila terdapat tanda dan gejala sesuai dengan lokasi
adanya infeksi atau peradangan alat-alat genitalia. Pada kasus
sepsis peurperalis dapat menimbulkan kegawatdaruratan, yang
dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Infeksi Yang Terbatas
Pada Perineum, Vulva, Vagina, Cerviks Dan Endometrium
(1) Vulvitis
Pada infeksi bekas sayatan episiotomi atau luka perineum
jaringan sekitarnya membengkak, tepi luka menjadi merah
dan bengkak; jahitan ini mudah terlepas dan luka yang
terbuka menjadi ulkus dan mangeluarkan pus.
(2) Vaginitis
Infeksi vagina dapat terjadi secara langsung pada luka
vagina atau melalui perineum. Permukaan mukosa
membengkak dan kemerahan, terjadi ulkus, dan getah
mengandung nanah yang keluar dari daerah ulkus.
Penyebaran dapat terjadi, tetapi pada umumnya infeksi
tinggal terbatas
(3) Servisitis
Infeksi sering juga terjadi, akan tetapi biasanya tidak
menimbulkan banyak gejala. Luka serviks yang dalam dan
meluas dan langsung kedasar ligamentum latum dapat
menyebabkan infeksi yang menjalar ke parametrium
(4) Endometritis

46
Jenis infeksi yang paling sering ialah endometritis. Kuman-
kuman memasuki endometrium, biasanya pada luka bekas
Insersio plasenta, dan dalam waktu singkat
mengikutsertakan seluruh endometrium
c) Komplikasi
(1) Peritonitas
Peritonitas menyeluruh adalah peradangan pada semua
bagian peritonium, ini berarti baik peritoneum
parietal,yaitu membran yang melapisi dinding
abdomen,maupaun peritoneum viseral,yang terletak di atas
vasera atau organorgan internal meradang
(2) Salpingo-Ooforitis Dan Parametritis
Salpingo-ooforitis adalah infeksi pada ovariun dan tuba
fallopi. Parametritis adalah infeksi pada parametrium,
jaringan yang memanjang sampai kesisi servik dan
kepertengahan lapisan- lapisan ligamen besar
(3) Septikemia
Septikemia adalah ada dan berkembangbiaknya bakteri di
dalam aliran darah.
(4) Abses
Masa yang menonjol dan berfluktuasi pada pemeriksaan
vagina, nyeri yang hebat dan nyeri tekan, demam tidak
menurun meskipun diberikan antibiotic
d) Penatalaksanaan Sepsis Puerperalis
(1) Menilai Kondisi Pasien
(a) Keadaan Umum
(b) Tanda-tanda vital
(2) Resusitasi Dan Isolasi
(a) Isolasi pasien yang diduga infeksi untuk
memudahakan pengamatan

47
(b) Berikan pemasangan infus
(3) Mengambil Spesimen dan Pengobatan
(a) Obati secara aktif jika diduga, tanpa menunggu
kepastian diagnosis.
(b) Mulai dengan antibiotik seperti: benzil penisilin
ditambah dengan gentamisin dan metronidazol, cairan
4 dan analgesik (seperti petidin 50-100 mg secara IM
setiap 6 jam).
(c) Jika tersedia, pasang selang nasogastrik (NGT) dan
aspirasikan isi lambung.
(4) Rujuk
(a) Dirujuk Langsung ke RUMAH SAKIT
(b) BAKSOKU (Bidan, Alat, Kendaraan, Surat, Obat,
Keluarga, Uang)
13) Mastitis
a) Pengertian
Mastitis adalah infeksi peradangan pada mamma, terutama
pada primipara yang biasanya disebabkan oleh staphylococcus
aureus, infeksi terjadi melalui luka pada putting susu, tetapi
mungkin juga melalui peredaran darah Bila tidak segera
ditangani menyebabkan Abses Payudara (pengumpulan nanah
lokal di dalam payudara) merupakan komplikasi berat dari
mastitis
b) Klasifikasi Mastitis
(1) Dibedakan berdasar tempat serta penyebab dan kondisinya
(a) Mastitis yang menyebabkan abses di bawah areola
mammae
(b) Mastitis di tengah-tengah mammae yang
menyebabkan abses di tempat itu

48
(c) Mastitis pada jaringan di bawah dorsal dari kelenjar-
kelenjar yang menyebabkan abses antara mammae dan
otot-otot di bawahnya.
(2) Menurut penyebab dan kondisinya
(a) Mastitis Periductal
- Muncul pada wanita di usia menjelang
menopause, penyebab utamanya tidak jelas
diketahui.
- Keadaan ini dikenal juga dengan sebutan
mammary duct ectasia, yang berarti peleburan
saluran karena adanya penyumbatan pada saluran
di payudara.
(b) Mastitis Puerperalis/Lactational
- Banyak dialami oleh wanita hamil atau menyusui.
- Penyebab utama mastitis puerperalis yaitu kuman
yang menginfeksi payudara ibu, yang ditransmisi
ke puting ibu melalui kontak langsung
(c) Mastitis Supurativa
- Paling banyak dijumpai
- Penyebabnya bisa dari kuman Staphylococcus,
jamur, kuman TBC dan juga sifilis. Infeksi kuman
TBC memerlukan penanganan yang ekstra
intensif.
c) Penatalaksanaan
(1) Dimulai dengan memperbaiki teknik menyusui ibu untuk
aliran ASI yang baik dengan lebih sering menyusui dimulai
dari payudara yang bermasalah.
(2) Bila ibu merasa sangat nyeri, menyusui dimulai dari sisi
payudara yang sehat, kemudian sesegera mungkin

49
dipindahkan ke payudara bermasalah, bila sebagian ASI
telah menetes (let down) dan nyeri sudah berkurang.
(3) Posisikan bayi pada payudara, dagu atau ujung hidung
berada pada tempat yang mengalami sumbatan agar
membantu mengalirkan ASI dari daerah tersebut.
(4) Ibu yang tidak mampu melanjutkan menyusui harus
memerah ASI dari payudara dengan tangan atau pompa.
(5) Pijatan payudara yang dilakukan dengan jari-jari yang
dilumuri minyak atau krim selama proses menyusui dari
daerah sumbatan ke arah puting juga dapat membantu
melancarkan aliran ASI.
Terapi antibiotika, diindikasikan pada:

(1) Hitung sel dan koloni bakteri dan biakan yang ada serta
menunjukkan infeksi
(2) Gejala berat sejak awal
(3) Terlihat putting pecah-pecah
(4) Gejala tidak membaik setelah 12-24 jam setelah
pengeluaran ASI diperbaiki
(5) Dan dapat diberikan antibiotika seperti: Antibiotika Beta-
lakta-mase
(6) Pengobatan simtomatik
(7) Diterapi dengan anlgesik (mis: Ibuprofen, Parasetamol)
(8) Istirahat atau tirah baring dengan bayinya
(9) Penggunaan kompres hangat pada payudara
(10) Yakinkan ibu untuk cukup cairan

b. Neonatal
1) BBLR
a) Pengertian

50
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir
kurang dari 2500 gram tanpa memandang masa gestasi. Berat
lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 (satu) jam
setelah lahir. BBLR termasuk faktor utama dalam peningkatan
mortalitas, morbiditas dan disabilitas neonatus, bayi dan anak
serta memberikan dampak jangka panjang terhadap
kehidupannya dimasa depan.
b) Komplikasi
Komplikasi penyakit BBLR tergantung klasifikasi nya :
(1) BBLR kurang bulan sesuai masa kehamilan
(2) BBLR kecil masa kehamilan
(3) BBLR besar masa kehamilan
Pada BBLR,BKB (Bayi Kurang Bulan) Sistem fungsi dan
struktur organ tubuh masih sangat muda/imatur/prematur
belum berfungsi optimal sehingga akan muncul komplikasi :
(1) Susunan Syaraf Pusat ( aktifitas reflek belum maksimal
menghisap, batuk terganggu)
(2) Komplikasi saluran pernafasan-Idiopathic Respiratory
Distress Syndrome (IRDS) akibat defisiensi surfaktan
dalam alveoli yang berfungsi mengembangkan alveoli
(3) Pusat thermoregulator belum sempurna - mudah
hypo/hyperthermia
(4) Metabolisme produksi enzim glukoronil transfererase ke
sel hati belum sempurna - mudah ikterus neonatorum
(5) Imunoglobulin masih rendah - mudah infeksi
(6) Ginjal belum berfungsi sempuna utama filtrasi
gromerulus - mudah alami keracunan obat dan menderita
asidosis (metabolik)
c) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Untuk Neonatus Dengan BBLR:

51
(1) Berat Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLRSR) atau
sangat kecil
Bayi sangat kecil (< 1500 gr atau < 32 minggu) sering
terjadi masalah yang berat yaitu :
(a) Sukar bernafas
(b) Kesukaran pemberian minum
(c) Icterus yang berat
(d) Infeksi
(e) Rentan hypothermi bila tidak dalam incubator
Asuhan yang diberikan :
(a) Pastikan kehangatan bayi dengan bungkus dengan
kain lunak, kering, selimut dan pakai topi
(b) Jika pada riwayat ibu terdapat kemungkinan infeksi
bakteri beri dosis pertama antibiotika gentamisin 4
mg/kg BB IM (atau kanamisin) ditambah ampisilin
100mg/kg BB IM
(c) Bila bayi sianosis (biru) atau sukar bernafas
(frekuensi 60 X/menit, tarikan dinding dada ke dalam
atau merintih, beri oksigen 0,5 l /menit lewat kateter
hidung atau nasal prong
(d) Segera rujuk ketempat pelayanan kesehatan khusus
yang sesuai untuk bayi baru lahir sakit atau kecil
(2) Bayi Prematur Sedang (BBLR)
Bayi premature sedang (33 – 38 minggu) atau BBLR
(1500 – 2500 gram) dapat mempunyai masalah
segerasetelah lahir. Asuhan yang diberikan adalah :
(a) Jika bayi tidak ada kesukaran bernafas dan tetap
hangat dengan metode Kanguru:
- Rawat bayi tetap bersama ibunya

52
- Dorong ibu mulai menyusui dalam 1 jam
pertama
(b) Jika bayi sianosis sianosis (biru) atau sukar bernafas
(frekuensi 60 X/ menit, tarikan dinding dada ke
dalam atau merintih) beri oksigen 0,5 l /menit lewat
kateter hidung atau nasal prong
(c) Jika suhu aksiler turun dibawah 35oC,hangatkan bayi
segera
(3) Bayi Prematur dan/atau Ketuban Pecah Lama dan
Asimptomatis
Asuhan yang diberikan:
(a) Jika ibu mempunyai tanda klinis infeksi bakteri atau
jika ketuban pecah lebih dari 18 jam meskipun tanpa
klinis infeksi:
- Rawat bayi tetap bersama ibu dan dorong ibu
tetap menyusui
- Lakukan kuktur darah dan berikan obat dosis
pertama antibiotika gentamisin 4 mg/kg BB IM
(atau kanamisin) ditambah ampisilin 100mg/kg
BB IM
(b) Jangan berikan antibiotika pada kondisi lain. Amati
bayi terhadap tanda infeksi selama 3 hari :
- Rawat bayi tetap bersama ibu dan dorong ibu
tetap menyusui
- Jika dalam 3 hari terjadi tanda infeksi, rujuk ke
tempat layanan bayi sakit atau bayi kecil.
2) Asfiksia
a) Pengertian
Merupakan kegagalan bernapas secara spontan dan teratur pada
saat lahir atau beberapa saat setelah lahir. Setelah melakukan

53
penilaian keadaan bayi, hal penting selanjutnya yang perlu
dilakukan adalah melihat penilaian asfiksia dengan Penilaian
APGAR Skor yang digambarkan pada Bagan di bawah ini :

Gambar 2.5 Tabel Apgar Score


Sumber : Kemenkes, 2015

b) Penatalaksanaan
(1) Ante /intrapartum
Bila ada kegawat janin utamanya sebelum aterm, yang
terpikir penyakit membran hyalin (kematangan paru) pada
bayi. Penataksanaan:

(a) Pertahankan kehamilan (kolaburasi medis) dengan


pemberian tokolitik dan antibiotik untuk mencegah
infeksi.

(b) Kehamilan <35 minggu, kehamilan tidak dapat


dipertahankan untuk percepat kematangan paru dengan
kortikosteroid dosis tunggal
(2) Persiapan sebelum lahir Menyiapkan alat-2 resusitasi (dari
perawatan perinatologi)
(a) Meja resusitasi, lampu penghangat
(b) Pengisap lendir disposable dan suction pump bayi
(c) Ambulans incubator

54
(d) 0 2 dengan flowmeter
(3) Resusitasi
(a)Tentukan skor apgar 1 dan 5 menit (masing-masing
untuk menentukan diagnosa/ada tidaknya asfiksia dan
berikutnya untuk menentukan prognosa bayi)
(b)Lakukan resusitasi tahap 1-5 sesuai kondisi bayi
(4) Pasca resusitasi
(a)Lakukan pemeriksaan fisik secara sistimatis dan
lengkap
(b)Tentukan masa gestasi berdasarkan skor Dubowitz/
modifikasi
(c)Lakukan perawatan tali pusat dengan antibiotika/
antiseptik dengan kasa steril
(d)Tetes mata/zalf mata untuk cegah Go
(e)Vit K 1 mg im/ 1-2 mg/peroral
(f) Beri identitas ibu dan bayi yang sama
(g)Perawatan BBLR sesuai dengan masa gestasi
- Perawatan 1/rawat gabung rooming in
- Perawatan 2/perawatan khusus untuk observasi
- Perawatan 3/perawatan intensive neonatus/neonatal
intensive care unit
(5) Penataksanaan Pascaresusitasi yang Berhasil
(a) Hindari kehilangan panas
- Lakukan kontak kulit di dada ibu (metode
Kanguru), dan selimuti bayi
- Letakkan dibawah radiant heater, jika tersedia
(b) Periksa bayi dan hitung napas dalam semenit
Jika bayi sianosis (biru) atau sukar bernafas (frekuensi
< 30 atau > 60 X/menit, tarikan dinding dada ke dalam
atau merintih)

55
- Isap mulut dan hidung untuk memastikan jalan
nafas bersih
- Beri oksigen 0,5 l/menit lewat kateter hidung atau
nasal prong.
- Rujuk ke kamar bayi atau ketempat pelayanan
yang dituju.
INGAT: pemberian oksigen secara sembarangan pada bayi
prematur dapat menimbulkan kebutaan
(c) Ukur suhu aksiler:
- Jika suhu 36oC atau lebih, teruskan metode
kanguru dan mulai pemberian ASI
- Jika suhu <36oC, lakukan penanganan
hypothermia
(d) Mendorong ibu mulai menyusui: bayi yang mendapat
resusitasi cenderung hipoglikemia.
- Jika kekuatan mengisap baik, proses
penyembuhan optimal
- Jika mengisap kurang baik, rujuk ke kamar bayi
atau ketempat pelayanan yang dituju
- Lakukan pemantauan yang sering dalam 24 jam
pertama. Jika sukar bernafas kambuh, rujuk ke
kamar bayi atau ke tempat pelayanan yang dituju.
3) Hipotermi
a) Pengertian
Hipotermia adalah kondisi dimana suhu tubuh <360C atau
kedua kaki dan tangan teraba dingin. Untuk mengukur suhu
tubuh pada hipotermia diperlukan termometer ukuran rendah
(low reading termometer) sampai 250C. Disamping sebagai
suatu gejala, hipotermia dapat merupakan awal penyakit yang
berakhir dengan kematian.

56
Akibat hipotermia adalah meningkatnya konsumsi oksigen
(terjadi hipoksia), terjadinya metabolik asidosis sebagai
konsekuensi glikolisis anaerobik, dan menurunnya simpanan
glikogen dengan akibat hipoglikemia. Hilangnya kalori tampak
dengan turunnya berat badan yang dapat ditanggulangi dengan
meningkatkan intake kalori. Etiologi dan faktor predisposisi
dari hipotermia antara lain: prematuritas, asfiksia, sepsis,
kondisi neurologik seperti meningitis dan perdarahan cerebral,
pengeringan yang tidak adekuat setelah kelahiran dan
eksposure suhu lingkungan yang dingin.
b) Tanda Gejala
Tanda-tanda klinis hipotermia:
(1) Hipotermia sedang (suhu tubuh 320C - < 360C), tanda-
tandanya antara lain: kaki teraba dingin, kemampuan
menghisap lemah, tangisan lemah dan kulit berwarna tidak
rata atau disebut kutis marmorata.
(2) Hipotermia berat (suhu tubuh < 320C), tanda-tandanya
antara lain: sama dengan hipotermia sedang, dan disertai
dengan pernafasan lambat tidak teratur, bunyi jantung
lambat, terkadang disertai hipoglikemi dan asidosis
metabolik.
(3) Stadium lanjut hipotermia, tanda-tandanya antara lain:
muka, ujung kaki dan tangan berwarna merah terang,
bagian tubuh lainnya pucat, kulit mengeras, merah dan
timbul edema terutama pada punggung, kaki dan tangan
(sklerema).
c) Penatalaksanaan
(1) Asuhan Neonatus dengan Hipothermia Berat

57
(a) Segera hangatkan bayi di bawah pemancar panas yang
telah dinyalakan sebelumnya bila mugkin. Gunakan
incubator atau ruangan hangat bila perlu
(b) Ganti baju yang dingin dan basah bila perlu. Berikan
pakaian yang hangat, pakai topi dan selimut hangat
(c) Hindari paparan panas yang berlebihan dan posisi bayi
sering diubah
(d) Bila bayi dengan gangguan nafas (frekuensi nafas > 60
X/menit atau < 30 X/menit, tarikan dinding dada,
merintih saat respirasi), lakukan management
gangguann nafas.
(e) Berikan infus sesuai dosis rumatan dibawah pemancar
panas untuk menghangatkan cairan
(f) Periksa kadar glucose darah, bila < 45 mg/dl (2,6
mmoI/L tangani hipoglikemia
(g) Nilai tanda-tanda kegawatan pada bayi (misalnya
gangguan nafas, kejang atau tidak sadar) setiap jam
dan nilai juga kemampuan minum setiap 4 jam sampai
suhu tubuh kembali dalam batas normal.
(h) Ambil sampel darah dan berikan antibiotika sesuai
program terapi untuk penangan kemungkinan bayi
sepsis
(i) Anjurkan ibu menyusui segera setelah siap:
- Bila bayi tidak dapat minum ASI, peras dengan
menggunakan salah satu alternatif cara pemberian
minum
- Bila bayi tidak menyusu sama sekali, pasang pipa
lambung dan beri ASI peras begitu suhu mencapai
35oC

58
(j) Periksa suhu setiap jam, bila suhu naik paling tdak 0,5 o
C/jam, berarti upaya menghangatkan berhasil,
kemudian lanjutkan dengan memeriksa suhu bayi
setiap 2 jam
(k) Periksa juga suhu alat yang dipakai untuk
menghangatkan dan suhu ruangan setiap jam
(l) Setelah suhu normal :
- Lakukan perawatan lanjutan untuk bayi
- Pantau bayi selama 12 jam kemudian ukur suhu
setiap 3 jam
(m)Pantau selama 24 jam setelah penghentian antibiotika,
bila suhu tetap dalam batas normal dan bayi dapat
minum dengan baik serta tidak ada masalah yang lain
untuk perawatan di rumah sakit, bayi dipulangkan dan
nasehati ibu bagaimana cara menjaga agar bayi tetap
hangat selama di rumah.
(2) Asuhan Neonatus dengan Hipothermia Sedang
(a) Ganti pakaian yang dingin dan basah dengan pakaian
yang hangat , memakai topi dan selimut hangat
(b) Bila ada ibu/pengganti ibu, anjurkan menghangatkan
bayi dengan melakukan kontak kulit atau perawatan
bayi lekat (Perawatan Metode Kangguru/PMK)
(c) Bila ibu tidak ada :
- Periksa suhu alat penghangat dan suhu ruangan,
beri ASI peras denganmenggunakan salah satu
alternative cara pemberian minum dan sesuaikan
pengatur suhu
- Hindari paparan panas yang berlebihan dan posisi
bayi lebih sering diubah

59
(d) Anjurkan ibu untuk menyusui lebih sering, bila bayi
tidak menyusu, berikan ASI peras menggunakan salah
satu alternative cara pemberian minum
(e) Mintalah ibu untuk mengamati tanda kegawatan
(misalnya gangguan nafas, kejang, tidak sadar) dan
segera mencari pertolongan bila hal itu terjadi
(f) Periksa kadar glukosa darah, bila < 45 mg/dl (2,6
mmoI/L tangani hipoglikemia
(g) Nilai tanda kegawatan, midsalnya gangguan nafas, bila
ada tangani gangguan nafasnya
(h) Periksa suhu setiap jam, bila suhu naik paling tdak 0,5 o
C/jam, berarti upaya menghangatkan berhasil,
kemudian lanjutkan dengan memeriksa suhu bayi
setiap 2 jam
(i) Bila suhu tidak naik atau naik terlalu pelan, kurang
0,5o C/jam, cari tanda sepsis
(j) Setelah suhu normal :
- Lakukan perawatan lanjutan untuk bayi
- Pantau bayi selama 12 jam kemudian ukur suhu
setiap 3 jam
(k) Bila suhu tetap dalam batas normal dan bayi dapat
minum dengan baik serta tidak ada masalah yang lain
untuk perawatan di rumah sakit, bayi dipulangkan dan
nasehati ibu bagaimana cara menjaga agar bayi tetap
hangat selama di rumah.
4) Hipertermia
a) Pengertian
Hipertermia adalah peningkatan suhu tubuh di atas titik
pengaturan hipotalamus bila mekanisme pengaturan panas

60
terganggu (oleh obat dan penyakit) atau dipengaruhi oleh panas
eksternal (lingkungan) atau internal (metabolik).
b) Gejala Hipertermia
(1) Suhu tubuh bayi >37.5˚C
(2) Frekuensi pernafasan bayi >60/menit
(3) Tanda – tanda dehidrasi, seperti berat badan menurun,
turgor kulit kurang, banyaknya air kemih yang berkurang
c) Penatalaksanaan
(1) Jangan memberikan obat antipitetika kepada bayi yang
suhunya tinggi
(2) Bila suhu diduga karena paparan panas yang berlebihan :
(a) Letakkan bayi di ruangan dengan suhu lingkungan
normal ( 25-28oC)
(b) Lepaskan sebagian atau seluruh pakaian bila perlu
(c) Periksa suhu aksiler setiap jam sampai tercapai suhu
dalam batas normal
(d) Bila suhu sangat tinggi ( > 39 oC), bayi dikompres
atau dimandikan selama 10-15 menit dalam air yang
suhunya 4 oC lebih rendah dari suhu tubuh bayi.
(e) Jangan menggunakan air dingin atau air yang suhunya
lebih rendah dari 4 oCdibawah suhu bayi.
(5) Bayi pernah diletakkan di bawah pemancar panas atau
inkubator
(a) Turunkan suhu alat penghangat, bila bayi di dalam
incubator, buka incubator sampai suhu dalam batas
normal
(b) Lepas senbagian atai seluruh pakaian bayi selama 10
menit kemudian beri pakaian lagi sesuai dengan alat
penghangat yang digunakan

61
(c) Periksa suhu bayi setiap jam sampai tercapai suhu
dalam bats normal
(d) Periksa suhu incubator atau pemancar panas setiap jam
dan sesuaikan pengatur suhu
(6) Bukan bukan paparan panas yang berlebihan
(a) Terapi untuk kemungkinan bebas sepsis
(b) Letakkan bayi di ruang dengan suhu lingkungan
normal ( 25-280C)
(c) Lepas pakaian bayi sebagian atau seluruhnya bila
perlu
(d) Periksa suhu bayi setiap jam sampai dicapai suhu
tubuh dalam batas normal
(e) Bila suhu sangat tinggi ( > dari 39oC), bayi dikompres
atau dimandikan 10-15 menit dalam air yang suhunya
4oC lebih rendah dari suhu tubuh bayi

5) Hiperbilirubin
a) Pengertian
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang
ditandai oleh pewarnaan kuning pada kulit dan sklera akibat
akumulasi bilirubin indirek yang berlebih (Xiaong dkk., 2011).
Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar
plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang
diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90
(Blackburn, 2011)
Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum
bilirubin >2 mg/dl (>17µmol/L) sedangkan pada neonatus baru

62
tampak apabila serum bilirubin >5mg/dl (86µmol/L) (Mishra
dkk., 2011).
Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa
pewarnaan kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia
lebih mengacu pada gambaran kadar bilirubin serum total
(Abdellatief dkk., 2012).
Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan
konsentrasi bilirubin serum, < 12 mg/dL pada hari III
dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis.

(1) Kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak


pada hari ke 3 -5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL,

(2) kemudian menurun kembali dalam minggu I setelah


lahir.

(3) Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin


sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2 mg/dL
Selanjutnya bagaimana proses pemecahan hemoglobin dan
pembentukan bilirubin pada bagan dibawah ini.
b) Klasifikasi
Terdapat dua jenis ikterus, yaitu ikterus fisiologis dan
ikterus patologis :
(1) Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologi adalah tidak mempunyai dasar
patologi atau tidak mempunyai potensi menjadi
kernikterus. Biasanya timbul pada hari ke dua dan ke tiga.
Kadar bilirubin serum total 6-8 mg/dL, bahkan hingga 12
mg/dL pada bayi cukup bulan, masih dianggap fisiologis
(Mishra dkk., 2011).
Penurunan kadar bilirubin total akan terjadi secara
cepat dalam 2-3 hari, kemudian diikuti penurunan lambat

63
sebesar 1 mg/dL selama 1- 2 minggu. Pada bayi kurang
bulan kadar bilirubin serum total 10-12 mg/dL, bahkan
dapat meningkat hingga 15 mg/dL dengan tanpa adanya
gangguan pada metabolism bilirubin (Mishra dkk., 2011).
Kadar bilirubin total yang aman untuk bayi kurang
bulan sangat bergantung pada usia kehamilan.
(2) Ikterus Patologis
Ikterus patologis biasanya terjadi sebelum umur 24
jam. Kadar bilirubin serum total meningkat > 0,5
mg/dL/jam. Ikterus biasanya bertahan setelah 8 hari pada
bayi cukup bulan dan 14 hari pada bayi kurang bulan.
Keadaan klinis bayi tidak baik seperti muntah, letargis,
malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, suhu
tubuh yang tidak stabil, apnea
c) Diagnosis
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara
klinis, mudah dan sederhana adalah dengan penilaian menurut
Kramer (Szabo dkk., 2012). Lokasi penentuan derajat kuning
berdasarkan Kramer dapat dlihat pada Gambar dibawah ini:

Gambar 2.6 Derajat Ikterus


Sumber : Djoko Waspodo, 2012

64
d) Penatalaksanaan
Fototerapi Pada Hiperbilirubinemia Fototerapi dilakukan
pada hiperbilirubinemia yang memiliki kecenderungan
mengalami keadaan patologis. Panduan untuk dilakukannya
fototerapi pada bayi dengan usia kehamilan ≥ 35 mingg
Sebagai patokan yang digunakan adalah kadar bilirubin
total. Fototerapi intensif dilakukan apabila kadar bilirubin total
berada di atas garis kelompok risiko sesuai dengan usia
kehamilan. Faktor risiko termasuk isoimmune hemolytic disease,
defesiensi G6PD, asfiksia, letargi, suhu tubuh yang tidak stabil,
sepsis, asidosis, kadar albumin < 3 gr/dL.
Prinsip penatalaksanaan hiperbilirubinemia dengan
fototerapi adalah untuk mengurangi kadar bilirubin dan
mencegah peningkatannya. Fototerapi menggunakan sinar untuk
mengubah bentuk dan struktur bilirubin menjadi molekul yang
dapat diekskresikan walaupun ada gangguan konjugasi
(Stokowski, 2011)
Ketika bilirubin menyerap sinar maka terjadi dua reaksi
yaitu perubahan 4Z, 15Z-bilirubin menjadi bentuk isomerik yang
berbeda, yaitu 4Z,15E bilirubin (photobilirubin) dan lumirubin.
Photobilirubin dapat diekskresikan melalui hepar tanpa
konjugasi, namun prosesnya lambat dan bersifat reversibel.
Photobilirubin dapat berubah kembali menjadi bilirubin di dalam
saluran cerna (jauh dari paparan sinar).
Lumirubin tidak bersifat reversible, sehingga walaupun
pembentukan lumirubin lebih sedikit jika dibandingkan dengan
photobilirubin, namun lebih cepat dihilangkan dari serum.
Pembentukan lumirubin dianggap berperan penting pada
penurunan kadar bilirubin selama fototerapi (Stokowski, 2011).

65
Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan
dilakukannya fototerapi :
(1) Kualitas spektrum dari sinar yang digunakan.
Sumber sinar yang paling efektif untuk mendegradasi
bilrubin adalah sinar dengan panjang gelombang 400 – 520
nm, dengan gelombang terbaik 460 nm (Stokowski, 2011).
Pada panjang gelombang ini sinar menembus kulit paling
baik dan paling maksimal diserap oleh bilirubin. Sinar biru,
hijau dan turkois (antara biru dan hijau) merupakan sinar
yang paling efektif. Banyak pendapat yang salah yang
menyatakan bahwa fototerapi menggunakan sinar ultraviolet
(panjang gelombang < 400 nm) (Maisels dan MsDonagh,
2008; Stokowski, 2011).
(2) Intensitas Sinar (Irradiance)
Intensitas sinar yang dimaksud adalah jumlah photon yang
disalurkan per sentimeter kuadrat permukaan tubuh yang
terpapar. Semakin tinggi intensitas sinar maka semakin
cepat penurunan kadar bilirubin. Fototerapi standar biasanya
menggunakan intensitas sinar 10 µW/cm2 /nm, sedangkan
fototerapi intensif ≥ 30 µW/cm2 /nm (Stokowski, 2011;
Maisels dan McDonagh, 2011).
(3) Jarak antara bayi dan sinar
Intensitas cahaya berbanding lurus dengan jarak antara bayi
dan sinar, semakin dekat jarak antara bayi dan sinar semakin
tinggi intensitas sinar yang didapat. Jarak yang dianggap
cukup aman adalah sekitar 15-20 cm (Porter dan Dennis,
2012).
(4) Area permukaan tubuh yang terpapar sinar
Semakin luas area permukaan tubuh yang terpapar sinar
maka makin efektif fototerapi yang dilakukan. Merubah

66
posisi bayi secara berulang selama fototerapi tidak
meningkatkan kecepatan penurunan kadar bilirubin
(Stokowski, 2011). Dianjurkan memposisikan bayi dengan
posisi supine. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal
maka selama fototerapi bayi dibiarkan telanjang. Pemakaian
diaper masih kontroversi, beberapa penelitian menyatakan
penggunaan diaper selama fototerapi tidak mempengaruhi
penurunan kadar bilirubin. Selama fototerapi diharuskan
menggunakan penutup mata untuk mengurangi risiko
kerusakan retina bayi yang masih imatur (Stokowski, 2011).

3. Pencegahan
a. Deteksi Dini Kehamilan
1) Definisi
Yaitu pemeriksaan yang dilakukan oleh seseorang wanita untuk
pertama kali ketika menyadari dirinya hamil. Tujuannya :
a) Mengetahui apakah wanita tersebut benar-benar hamil, untuk
menentukan usia kehamilan,
b) Melakukan deteksi adanya faktor risiko dan komplikasi
kehamilan,
c) Perencanaan penyuluhan dan pengobatan,
d) Melakukan rujukan dan kolaborasi bila kehamilan mengalami
komplikasi dan faktor risiko yang memungkinkan komplikasi
terjadi
2) Faktor Risiko Kehamilan
a) Perdarahan pervaginam
b) Hipertensi, kenaikan sistole 30 mmHg, diastole 15 mmHg
c) Kenaikan BB > 13 kg atau < 9 kg selama kehamilan atau
kenaikan BB < 1 / 2kg/mgg.
3) Risiko Pada Triwulan Terakhir

67
a) Odema (bengkak pada wajah dan kelopak mata)
b) Pusing dan penglihatan berkunang-kunang
c) Kehamilan ganda (kembar)
d) Kematian janin dalam kandungan
e) Usia kehamilan < 37 minggu atau < 42 minggu
f) Ibu hamil dg penyakit menahun
g) Primigravida kepala belum masuk PAP pada akhir kehamilan
h) Urine protein positif 2 (++)
i) Muntah berlebihan
j) Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu banyak
penyulit
4) Kontak Dini Kehamilan Trimester 1
Pemeriksaan kehamilan dilakukan minimal 4 kali selama hamil
a) TM I: yang perlu diwaspadai: anemia, penyakit keturunan,
infeksi, perdarahan (abortus, KET, Mola hidatidosa), HEG,
kelainan genetik janin (jika memiliki riwayat atau risiko)
b) TM II: Yang harus diwaspadai: perdarahan, PE dan Eklampsia,
gangguan pertumbuhan janin
c) TM III: yang harus diwaspadai: kehamilan ganda, perdarahan
(Plasenta previa dan solusio plasenta)
5) Pelayanan ANC Berdasarkan Kebutuhan Individu
Pelayanan ANC dilakukan oleh nakes yang profesional (yang sudah
mempunyai SIB dan SIPB), Setidaknya ibu hamil melakukan
kunjungan ANC min.4 kali selama hamil. Bidan harus faham untuk
intervensi yang diberikan berdasarkan kebutuhan pasien
(disesuaikan TM kehamilanya).
6) Skrining Untuk Deteksi Dini
Pemeriksaan secara komprehensif (berdasarkan manajemen
kebidanan Varney/SOAP). Pemeriksaan penunjang: laboratorium,
pemeriksaan radiologi .

68
b. Deteksi Dini Penyulit Persalinan
Pemanfaatan partograf pada persalinan kala I
1) Definisi
Partograf adalah alat bantu untuk memantau kemajuan kala satu
persalinan dan informasi untuk membuat keputusan klinik.
2) Tujuan Utama Penggunaan Partograf
Mencatat hasil observasi dan kemajuan persalinan dengan menilai
pembukaan serviks melalui periksa dalam. Mendeteksi apakah
proses persalinan berjalan secara normal. Dengan demikian juga
dapat mendeteksi secara dini kemungkinan terjadinya partus lama.
3) Lanjutan Tujuan Utama Penggunaan Partograf
Data pelengkap yang terkait dengan pemantauan
a) kondisi ibu,
b) kondisi bayi,
c) grafik kemajuan proses persalinan,
d) bahan dan medikamentosa yang diberikan,
e) pemeriksaan laboratorium,
f) membuat keputusan klinik dan asuhan atau tindakan yang
diberikan.
4) Jadi Tujuan Penggunaan Partograf Adalah
a) Mencatat kemajuan persalinan
b) Mencatat kondisi ibu dan janinya
c) Mencatat asuhan yang diberikan selama persalinan dan
kelahiran
d) Menggunakan informasi yang tercatat untuk identifikasi dini
penyulit persalinan
e) Menggunakan informasi yang tersedia untuk membuat
keputusan klinik yang sesuai dan tepat waktu.
5) Pencatatan selama fase aktif persalinan: partograf
(Pada halaman depan parto) Informasi tentang ibu:

69
a) Nama, umur
b) Gravida, para, abortus
c) Nomor catatan medic/nomor puskesmas
d) Tanggal dan waktu mulai dirawat (atau jika dirumah, tanggal
dan waktu penolong persalinan mulai merawat ibu)
e) Waktu pecahnya selaput ketuban
6) Lanjutan fase aktif pada partograf
a) Kondisi janin : DJJ , Warna dan adanya air ketuban ,
Penyusupan (molase) kepala janin , Kemajuan persalinan,
Pembukaan serviks, Penurunan bagian terbawah atau presentasi
janin, Garis waspada dan garis bertindak
b) Jam dan waktu : Waktu mulainya fase aktif persalinan , Waktu
actual saat pemeriksaan atau penilaian , Kontraksi uterus,
Frekuensi kontraksi dalam waktu 10 menit ,Lama kontraksi
(dalam detik), Obat-obatan dan cairan yang diberikan ,
Oksitosin , Obat-obatan lainnya dan cairan IV yang diberikan
c) Kondisi ibu: Nadi, tekanan darah dan temperature tubuh , Urin
(volume, aseton, atau protein)
d) Asuhan, pengamatan dan keputusan klinik lainnya (dicatat
dalam kolom yang tersedia di sisi pertograf atau dicatatan
kemajuan persalinan).
c. Deteksi Dini Komplikasi Masa Nifas
Masa nifas (puerperium) adalah dimulai setelah kelahiran plasenta dan
berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum
hamil. Masa nifas berlangsung selama kira-kira 6 minggu.
1) Tujuan Asuhan Masa Nifas
a) Menjaga kesehatan ibu dan bayi (fisik dan psikologi)
b) Melaksanakan skrining yang komprehensif
c) Memberikan pendidikan kesehatan
d) Memberikan pelayanan KB

70
2) Kunjungan 6-8 Jam Setelah Persalinan
a) Mencegah perdarahan karena atonia uteri
b) Mendeteksi dan merawat penyebab lain perdarahan: rujuk bila
perdarahan berlanjut
c) Memberikan konseling pada ibu/keluarga bagaimana mencegah
perdarahan karena atonia uteri
d) Pemberian ASI awal
e) Melakukan hubungan ibu dan bayi baru lahir
f) Menjaga bayi tetap sehat dengan cara mencegah hipotermi
3) 6 Hari Setelah Persalinan
a) Memastikan involusio uterus berjalan dengan normal (uterus
berkontraksi, fundus dibawah umbilikus, tidak ada perdarahan
abnormal, tidak ada bau)
b) Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi atau perdarahan
abnormal
c) Memastikan ibu mendapatkan cukup makan minum dan
istirahat
d) Memastikan ibu menyusui dengan baik dan tidak
memperlihatkan penyulit
e) Memberikan konseling pada ibu ttg asuhan pada bayi, tali
pusat, menjaga bayi tetap hangat, dan merawat bayi sehari-hari
4) minggu setelah persalinan : sama dengan 6 hari setelah persalinan,
6 minggu setelah persalinan
a) Menanyakan pada ibu tentang penyulit-penyulit yang ibu atau
bayi alami
b) Memberikan konseling untuk KB secara dini

4. Penatalaksanaan
a. Pastikan Jalan Napas Bebas

71
Harus diyakini bahwa jalan napas tidak tersumbat. Jangan
memberikan cairan atau makanan ke dalam mulut karena pasien
sewaktu-waktu dapat muntah dan cairan muntahan dapat terisap masuk
ke dalam paru-paru. Putarlah kepala pasien dan kalau perlu putar juga
badannya ke samping dengan demikian bila ia muntah, tidak sampai
terjadi aspirasi. Jagalah agar kondisi badannya tetap hangat karena
kondisi hipotermia berbahaya dan dapat memperberat syok. Naikkanlah
kaki pasien untuk membantu aliran darah balik ke jantung. Jika posisi
berbaring menyebabkan pasien merasa sesak napas, kemungkinan hla
ini dikarenakan gagal jantung dan edema paru-paru. Pada kasus
demikian, tungkai diturunkan dan naikkanlah posisi kepala untuk
mengurangi cairan dalam paru-paru.
b. Pemberian Oksigen
Oksigen diberikan dengan kecepatan 6-8 liter / menit. Intubasi
maupun ventilasi tekanan positif hanya dilakukan kalau ada indikasi
yang jelas.
c. Pemberian Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan pada tahap awal untuk persiapan
mengantisipasi kalau kemudian penambahan cairan dibutuhkan.
Pemberian cairan infus intravena selanjutnya baik jenis cairan,
banyaknya cairan yang diberikan, dan kecepatan pemberian cairan harus
sesuai dengan diagnosis kasus. Misalnya pemberian cairan untuk
mengganti cairan tubuh yang hilang pada syok hipovolemik seperti pada
perdarahan berbeda dengan pemberian cairan pada syok septik. Pada
umumnya dipilih cairan isotonik, misalnya NaCl 0.9 % atau Ringer
Laktat. Jarum infus yang digunakan sebaiknya nomor 16-18 agar cairan
dapat dimasukkan secara cepat.
Pengukuran banyaknya cairan infus yang diberikan sangatlah
penting. Berhati-hatilah agar tidak berlebihan memberikan cairan
intravena terlebih lagi pada syok septik. Setiap tanda pembengkakan,

72
napas pendek, dan pipi bengkak, kemungkinan adalah tanda kelebihan
pemberian cairan. Apabila hal ini terjadi, pemberian cairan dihentikan.
Diuretika mungkin harus diberikan bila terjadi edema paru-paru.
d. Pemberian Tranfusi Darah
Pada kasus perdarahan yang banyak, terlebih lagi apabila disertai
syok, transfusi darah sangat diperlukan untuk menyelamatkan jiwa
penderita. Walaupun demikian, transfusi darah bukan tanpa risiko dan
bahkan dapat berakibat kompliksai yang berbahaya dan fatal. Oleh
karena itu, keputusan untuk memberikan transfusi darah harus dilakukan
dengan sangat hati-hati. Risiko yang serius berkaitan dengan transfusi
darah mencakup penyebaran mikroorganisme infeksius (misalnya
human immunodeficiency virus atau HIV dan virus hepatitis), masalah
yang berkaitan dengan imunologik ( misalnya hemolisis intravaskular),
dan kelebihan cairan dalam transfusi darah.
e. Pasang Kateter Kandung Kemih
Kateter kandung kemih dipasang untuk mengukur banyaknya urin
yang keluar guna menulai fungsi ginjal dan keseimbangan pemasukan
danpengeluaran cairan tubuh. Lebih baik dipakai kateter foley. Jika
kateterisasi tidak mungkin dilakukan, urin ditampung dan dicatat
kemungkinan terdapat peningkatan konsesntrasi urin (urin berwarna
gelap) atau produksi urin berkurang sampai tidak ada urin sama sekali.
Jika produksi urin mula-mula rendah kemudian semakin bertambah, hal
ini menunjukan bahwa kondisi pasien membaik. Diharapkan produksi
urin paling sedikit 100 ml/4 jam atau 30 mL/ jam.
f. Pemberian Antibiotika
Antibiotika harus diberikan apabila terdapat infeksi, misalnya pada
kasus sepsi, syok septik, cidera intraabdominal, dan perforasi uterus.
Pada kasus syok, pemberian antibiotika intravena lebih diutamakan
sebab lebih cepat menyebarkan obat ke jaringan yang terkena infeksi.
Apabila pemberian intravena tidak memungkinkan, obat dapat diberikan

73
intramuskular. Pemberian antibiotika per oral diberikan jika pemberian
intra vena dan intramuskular tidak memungkinkan, yaitu jika pasien
dalam keadaan syok, pada infeksi ringan, atau untuk mencegah infeksi
yang belum timbul, tetapi diantisipasi dapat terjadi sebagai komplikasi.
Profilaksis antibiotika adalah pemberian antibiotika untuk
pencegahan infeksi pada kasus tanpa tanda-tanda dan gejala infeksi.
Antibiotika diberikan dalam dosis tugngal, paling banyak ialah 3 kali
dosis. Sebaiknya profilaksis antibiotika diberikan setelah tali pusat
diklem untuk menghindari efeknya pada bayi. Profilaksis antibiotika
yang diberikan dalam dosis terapeutik selain menyalahi prinsip juga
tidak perlu dan suatu pemborosan bagi si penderita. Risiko penggunaan
antibiotika berlebihan ialah retensi kuma, efek samping, toksisitas,
reaksi alergi, dan biaya yang tidak perlu dikeluarkan.
g. Obat Pengurang Rasa Nyeri
Pada beberapa kasus kegawatdaruratan obstetri, penderita dapat
mengalami rasa nyeri yang membutuhkan pengobatan segera.
Pemberian obat pengurang rasa nyeri jangan sampai menyembunyikan
gejala yang sangat penting untuk menentukan diagnosis. Hindarilah
pemberian antibiotika pada kasus yang dirujuk tanpa didampingi
petugas kesehatan, terlebih lagi petugas tanpa kemampuan untuk
mengatasi depresi pernapasan.
h. Penanganan Masalah Utama
Penyebab utama kasus kegawatdaruratan kasus harus ditentukan
diagnosisnya dan ditangani sampai tuntas secepatnya setelah kondisi
pasien memungkinkan untuk segera ditindak. Kalau tidak, kondisi
kegawatdaruratan dapat timbul lagi dan bahkan mungkin dalam kondisi
yang lebih buruk.
i. Rujukan
Apabila fasilitas medik di tempat kasus diterima tidak memadai
untuk menyelesaikan kasus dengan tindakan klinik yang adekuat, maka

74
kasus harus dirujuk ke fasilitas kesehatan lain yang lebih lengkap.
Sebaiknya sebelum pasien dirujuk, fasilitas kesehatan yang akan
menerima rujukan dihubungi dan diberitahu terlebih dahulu sehingga
persiapan penanganan ataupun perawatan inap telah dilakukan dan
diyakini rujukan kasusa tidak akan ditolak.

5. Mekanisme Pengelolaan Kasus, Kolaborasi dan Rujukan


a. Pengertian
Sistem rujukan merupakan sistem jaringan pelayanan kesehatan
yang memungkinkan terjadinya penyerahan tanggungjawab. Sistem
rujukan bertujuan untuk meningkatkan mutu, cakupan dan efisiensi
pelaksanaan pelayanan kesehatan secara terpadu.
Bidan sebagai tenaga kesehatan harus memilki kemampuan untuk
merujuk ibu atau bayi ke fasilitas kesehatan rujukan secara optimal dan
tepat waktu jika menghadapi penyulit. Oleh karena itu persiapan perlu
diperhatikan dalam melakukan rujukan agar tidak terjadi hambatan
selama proses merujuk. Dalam persiapan ada singkatan rujukan yang
memudahkan kita untuk menyediakan dan menyiapkan segala sesuatu
yang diperlukan.
Singkatan “BAKSOKUDA” dapat digunakan untuk mengingat
hal-hal penting dalam mempersiapkan rujukan, yang dijabarkan sebagai
berikut :
(B) Bidan : Pastikan ibu/ bayi/ klien didampingi tenaga
kesehatan yang kompeten memiliki
kemampuan untuk melaksanakan
kegawatdaruratan selama perjalanan merujuk
(A) Alat : Bawa peralatan dan bahan-bahan yang
diperlukan (seperti spuit, infus set, tensi
meter, stetoskop, oksigen, dll.)
(K) Kendaraan : Siapkan kendaraan untuk mengantar ke tempat

75
merujuk, kendaraan yang cukup baik, yang
memungkinkan pasien berada dalam kondisi
yang nyaman dan dapat mencapai tempat
rujukan secepatnya.
(S) Surat : Surat rujukan yang berisi identitas pasien,
alasan rujukan, tindakan dan obat-obat yang
telah diberikan
(O) Obat : Bawa obat yang diperlukan seperti obat-
obatan essensial yang diperlukan selama
perjalanan merujuk
(K) Keluarga : Mendampingi dan diinformasikan keluarga
pasien tentang kondisi terakhir pasien, serta
alasan mengapa perlu dirujuk. Anggota
keluarga yang lain harus ikut mengantar
pasien ke tempat merujuk.
(U) Uang : Ingatkan keluarga untuk membawa uang
dalam jumlah yang cukup untuk persiapan
administrasi ditempat rujukan
(DA) Darah Persiapkan kantung darah sesuai golongan
darah pasien atau calon pendonor darah dari
keluarga yang berjaga-jaga dari kemungkinan
kasus yang memerlukan donor darah
Tabel 2.1 BAKSOKUDA

Jika upaya penanggulangan diberikan ditempat rujukan dan kondisi


klien telah memungkinkan, segera kembalikan klien ke tempat fasilitas
pelayanan asalnya dengan terlebih dahulu memberi hal – hal berikut :
1) Konseling tentang kondisi klien sebelum dan sesudah diberi upaya
penanggulangan
2) Nasihat yang perlu diperhatikan

76
3) Pengantar tertulis ke fasilitas pelayanan kesehatan mengenai
kondisi pasien, upaya penanggulangan yang telah diberikan dan
saran- saran.
b. Alur dan Skema Rujukan
Alur pelayanan rujukan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal adalah
sebagai berikut.
1) Sistem rujukan kegawatdaruratan maternal dan neonatal mengacu
pada prinsip utama kecepatan dan ketepatan tindakan, efisien,
efektif dan sesuai dengan kemampuan dan kewenangan fasilitas
pelayanan.
2) Setiap kasus dengan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal yang
datang ke Puskesmas PONED harus langsung dikelola sesuai
dengan protap dan buku acuan nasional kesehatan maternal dan
neonatal.
3) Setelah dilakukan stabilisasi kondisi pasien, ditentukan apakah
pasien akan dikelola ditingkat Puskesmas PONED atau dilakukan
rujukan ke RS PONEK untuk mendapatkan yang lebih baik.
4) Masyarakat dapat langsung memanfaatkan semua fasilitas
pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal.
5) Bidan di desa dan polindes dapat memberikan pelayanan langsung
terhadap ibu hamil,ibu bersalin dan ibu nifas baik yang datang
sendiri maupun yang dirujuk kader / masyarakat.
Selain menyelenggarakan pelayanan pertolongan persalinan normal,
bidan di desa dapat melakukan pengelolaan kasus dengan komplikasi
tertentu sesuai dengan kewenangan dan kemampuan atau melakukan
rujukan ke Puskesmas, PONED dan PONEK sesuai dengan tingkat
pelayanan.
1) Puskesmas sekurang-kurangnya harus mampu melakukan stabilisasi
pasien dengan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal yang datang

77
sendiri maupun dirujuk kader sebelum merujuk ke PONED dan RS
PONEK
2) Puskesmas PONED memiliki kemampuan untuk memberikan
pelayanan langsung terhadap ibu hamil, bersalin, nifas dan BBL
baik yang datang sendiri atau rujukan kader,bidan desa dan
Pusksemas. Puskesmas PONED dapat melakukan pengelolaan
kasus dengan komplikasi tertentu sesuai dengan kewenangan dan
kemampuan atau melakukan rujukan ke RS PONEK
3) RS PONEK 24 jam memiliki kemampuan untuk memberikan pelay
langsung pada pada ibu hamil/bersalin dan nifas serta BBL baik
yang dating sendiri atau rujukan.
4) Pemerintah Provinsi/Kabupaten memberikan dukungan secara
manajemen, administratif maupun kebijakan annggaran terhadap
kelancaran pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal.
5) Pokja/Satgas Gerakan Sayang Ibu (GSI) merupakan bentuk nyata
kerjasama Lembaga swadaya di Tingkat Provinsi dan kabupaten,
RS swasta, Rumah Bersalin, dokter, Bidan Praktik Mandiri (BPM),
dapat berkordinasi dengan baik.
c. Persyaratan Rujukan
Persyaratan dalam pelayanan rujukan meliputi hal di bawah ini.
1) Pelayanan unit kegawat daruratan harus tersedia untuk setiap
anggota masyarakat.
2) Akses pada pelayanan dan perawatan kegadar harus selalu terbuka
dan tidak terbatas.
3) Harus terdapat kesinambungan diantara pemberi pelayanan diluar
RS, pelaksana pelayanan kegawatdaruratan dan pelaksana
pelayanan tindak lanjut pasca kegawatdaruratan.
4) Tersedia sarana yang mampu memberikan pelayanan pasien dari
saat datang untuk melakukan penilaian pengambil
keputusan,pengobatan dan disposisi tindak lanjut.

78
5) Unit gadar harus memiliki kebijakan dan perencanaan yang efektif.
6) Dokter,Bidan,perawat dan petugas kesehatan lain inti unit kerja
pelayanan.
7) Memiliki hubungan kerjasama yang efektif.

6. Kewenangan Bidan Pada Kasus Patologi dan Komplikasi Kebidanan


Berdasarkan PMK No. 28 Tahun 2017 Tentang kewenangan bidan
dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Bidan berwenang melakukan:
a. episiotomi;
b. pertolongan persalinan normal;
c. penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II;
d. penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan;
e. pemberian tablet tambah darah pada ibu hamil;
f. pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas;
g. fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini dan promosi air susu ibu
eksklusif;
h. pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum;
i. penyuluhan dan konseling;
j. bimbingan pada kelompok ibu hamil; dan
k. pemberian surat keterangan kehamilan dan kelahiran
Penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. penanganan awal asfiksia bayi baru lahir melalui pembersihan jalan
nafas, ventilasi tekanan positif, dan/atau kompresi jantung;
b. penanganan awal hipotermia pada bayi baru lahir dengan BBLR melalui
penggunaan selimut atau fasilitasi dengan cara menghangatkan tubuh
bayi dengan metode kangguru;
c. penanganan awal infeksi tali pusat dengan mengoleskan alkohol atau
povidon iodine serta menjaga luka tali pusat tetap bersih dan kering; dan

79
d. membersihkan dan pemberian salep mata pada bayi baru lahir dengan
infeksi gonore (GO)

B. EVIDENCE BASED MIDWIFERY KOLABORASI PADA KASUS


PATOLOGI DAN KOMPLIKASI
1. Maternal
a. Jurnal 1 : Pengaruh Pemberian Sari Kurma Terhadap Peningkatan Kadar
Hemoglobin Ibu Hamil
Berdasarkan Tabel 3 hasil uji Wilcoxon, kadar hemoglobin pre-post
diperoleh p value (0,004) < 0,05 artinya ada pengaruh yang bermakna
terhadap peningkatan kadar hemoglobin sebelum dan sesudah diberikan
minuman sari kurma pada ibu hamil trimester II dengan anemia. Rata-
rata peningkatan kadar hemoglobin sebelum dan setelah konsumsi sari
kurma selama 10 hari sebesar 1 gr/dL. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terdapat peningkatan rata-rata kadar hemoglobin. Rata-rata kadar
hemoglobin sebelum diberikan sari kurma sebesar 9,6 gr/dL sedangkan
sesudah diberi sari kurma meningkat menjadi 10,6 gr/dL.
Sari kurma yang kaya akan kandungannya, mengandung
komponen-komponen yang mampu meningkatkan penyerapan zat besi
atau berperan dalam pembentukan sel darah merah tempat hemoglobin
berada. Sari kurma mengandung berbagai vitamin, mineral, antioksidan
dll. Dalam penyerapan besi di dalam tubuh, berkaitan erat dengan
lingkungan asam yang membantu penyerapan zat besi, yang terjadi di
bagian pertama dan kedua dari usus kecil. Oleh karena itu penyerapan
besi ditingkatkan dengan pemberian bersama senyawa asam, seperti
Vitamin C atau asam askorbat. Vitamin C yang terkandung dalam sari
kurma juga dapat meningkatkan penyerapan besi terutama dengan
mereduksi besi ferri menjadi besi ferro. Selain dari perannya dalam
pengubah Ferri menjadi Ferro sebelum penyerapan usus, vitamin C juga
mengatur homeostasis besi dengan menghambat ekspresi hepcidin

80
(misalnya, dalam sel HepG2), menjadikan vitamin C berpotensi
membantu melemahkan defisiensi besi
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh
pemberian sari kurma terhadap peningkatan kadar hemoglobin ibu hamil
TM II dengan anemia, artinya mengkonsumsi sari kurma secara rutin
menambah asupan zat besi yang tentunya akan semakin meningkatkan
kadar hemoglobin ibu hamil. Sari kurma adalah salah satu jenis
minuman khusus yang berfungsi untuk pengobatan dan merawat
kesehatan tubuh yang mengandung zat besi berfungsi meningkatkan
kadar hemoglobin dalam tubuh khususnya yang diperlukan ibu hamil.
Ibu hamil yang mengalami keluhan dan ketidaknyamanan akibat dari
efek samping tablet tambah darah dianjurkan dengan konsumsi sari
kurma.
(sumber jurnal : Widowati, Retno. Dkk. 2019. Pengaruh Pemberian
Sari Kurma Terhadap Peningkatan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil.
Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Sains Dan Teknologi, Vol. 5, No. 2,
September 2019)
b. Pengaruh Pemberian Sari Kurma Terhadap Peningkatan Kadar Hb pada
Ibu Hamil
Analisa bivariat diperoleh 15 orang sampel dimana sebelum
pemberian sari kurna memperoleh nilai mean sebesar 10,18 dan setelah
pemberian sari kurma memperoleh nilai mean sebesar 11,31. Hasil uji
T-Test menunjukkan bahwa nilai p sebesar 0,000 < 0,05 maka Ho
ditolak dan H1 diterima sehingga hal ini menunjukkan bahwa ada
pengaruh antara pemberian sari kurma dengan kadar hemoglobin.
Peningkatan rata-rata kadar hemoglobin ibu hamil dalam penelitian
ini lebih besar dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan
(Munafiah et al., 2019) yang menunjukkan kenaikan kadar hemoglobin
pada ibu nifas sesudah konsumsi kurma hanya sebesar 1,2 gr/dL. Bahwa
peningkatan kadar hemoglobin ibu hamil sesudah mengkonsumsi buah

81
jambu biji (Retnorini et al., 2017). Sari kurma yang kaya akan zat besi
dapat meningkatkan kadar hemoglobin. Sintesis hemoglobin dimulai di
dalam proeritroblas dan dilanjutkan sedikit dalam stadium retikulosit.
Saat retikulosit meninggalkan sumsum tulang dan masuk ke dalam
aliran darah, retikulosit tetap membentuk sedikit hemoglobin.
Kandungan zat besi dapat mensintesis pembentukan heme yang dapat
memacu kadar Hemoglobin. Kandungan protein, karbohidrat dan lemak
pada sari kurma mendukung proses sintesis hemoglobin. Karbohidrat
dan lemak membentuk suksinil CoA yang selanjutnya bersama glisin
akan membentuk protoporfirin melalui serangkaian proses porfirinogen.
Protoporfirin yang terbentuk selanjutnya bersama molekul heme dan
protein globin membentuk hemoglobin (Sepduwiana & Sutrianingsih,
2017).
Kurma mengandung nutrisi yang amat baik. Kandungan gula yang
terdapat di dalam buah kurma dapat langsung diserap oleh tubuh.
Kandungan gula dalam buah ini berbeda dengan kandungan gula dalam
makanan yang lain, sebab kandungan gula yang biasanya harus
diuraikan terlebih dahulu baru diserap oleh tubuh. Para pakar diet
menilai kurma sebagai makanan terbaik bagi wanita hamil dan ibu
menyusui. Bahwa pengaruh pemberian kurma terhadap kemajuan
persalinan, bagi ibu hamil untuk mengkonsumsi buah kurma dalam
jumlah dan saat yang tepat (M. A. Rahayu et al., 2016)
(Sumber Jurnal : Irmawati dkk. 2020. Pengaruh Pemberian Sari Kurma
Terhadap Peningkatan Kadar Hb pada Ibu Hamil. Jurnal Ilmiah
Kesehatan Sandi Husada Volume 12, Nomor 2, Desember 2020, pp
1063-1069 p-ISSN: 2354-6093 dan e-ISSN: 2654-4563. DOI:
10.35816/jiskh.v10i2.463)
c. Pengaruh Penambahan Sari Kurma Terhadap Kadar Hemoglobin Ibu
Hamil Anemia

82
Berdasarkan tabel 6 diatas terlihat terjadi perubahan kadar
hemoglobin pada semua responden kelompok perlakuan. Rata-rata
kadar hemoglobin sebelum diberi perlakuan yaitu 9,8 gr/dL sedangkan
rata-rata setelah diberi perlakuan yaitu 11,9 gr/dL.
Sari kurma mengandung zat besi yang membantu penambahan
kadar besi dalam tubuh ibu hamil, sehingga kebutuhan zat besi ibu
hamil dapat terpenuhi dengan konsumsi sari kurma juga dengan
tambahan suplemen zat besi. Secara umum tingginya prevalensi anemia
disebabkan oleh rendahnya asupan zat besi dan zat gizi lainnya seperti
vitamin A,C,Folat, Riboplafin dab B12, selain itu konsumsi makan
cukup tetapi makanan yang dikonsumsi memiliki bioavaibilitas zat besi
yang rendah sehingga jumlah zat besi yang diserap oleh tubuh kurang
(Ikhmawati et al, 2013).
Maka dari itu salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan gizi
ibu hamil dengan mengkonsumsi sari kurma dan tablet Fe dimana sari
kurma mengandung berbagai kandungan zat gizi seperti vitamin,
mineral, zat besi dan lain sebagainya. Penelitian yang dilakukan oleh
Yuniati (2019) yaitu pemberian sari kurma dapat meningkatkan kadar
hemoglobin pada ibu hamil rata-rata sebesar 0,35gr/dL. Dan juga
penelitian yang dilakukan oleh Arini, et al (2019) dari penelitiannya
yaitu rata-rata kadar hemoglobin pre test dengan pemberian sari kurma
sebesar 10,61 dan rata-rata kadar hemoglobin post test sebesar 11,53.
(sumber Jurnal : Fardillah, Natasya. Dkk. 2020. Pengaruh Penambahan
Sari Kurma Terhadap Kadar Hemoglobin Ibu Hamil Anemia di Klinik
Fistha Nanda Tahun 2020. JUKMAS Jurnal Untuk Masyarakat Sehat
(JUKMAS) Vol. 4, No. 2 Oktober 2020 e-ISSN : 2715-7687 P-ISSN :
2715-8748)
d. Pengaruh Pemberian Sari Kurma (Phoenix Dactylifera) Terhadap
peningkatan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil

83
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ada peningkatan
kadar hemoglobin dengan penggunaan sari buah kurma. Hasil salah satu
penelitian menunjukkan bahwa kadar hemoglobin tikus yang defisiensi
besi dan diberi sari kurma dosis 505 dan 100% lebih tinggi
dibandingkan dengan yang tidak diberi sari kurma akan tetapi lebih
rendah dibandingkan dengan kontrol. Hasil uji One Way Anova
menunjukkan pemberian sari kurma berpengaruh secara signifikan (p<
0,05) terhadap kadar hemoglobin darah tikus yang defesiensi besi)
Pemberian sari kurma berepengaruh terhadap kadar hemoglobin
pada tikus anemia. Hasil ini menunjukkan bahwa sari kurma yang kaya
akan zat besi dapat meningkatkan kadar hemoglobin. Guyton dan Hall
(1997) melaporkan bahwa sintesis hemoglobin dimulai di dalam
proeritroblas dan dilanjutkan sedikit dalam stadium retikulosit. Saat
retikulosit meninggalkan sumsum tulang dan masuk ke dalam aliran
darah, retikulosit tetap membentuk sedikit hemoglobin. Kandungan zat
besi dapat mensintesis pembentukan heme yang dapat memacu kadar
Hemoglobin.
Kandungan protein, karbohidrat dan lemak pada sari kurma
mendukung proses sintesis hemoglobin (Sotolu et al., 2011).
Karbohidrat dan lemak membentuk suksinil CoA yang selanjutnya
bersama glisin akan membentuk protoporfirin melalui serangkaian
proses porfirinogen. Protoporfirin yang terbentuk selanjutnya bersama
molekul heme dan protein globin membentuk hemoglobin (Murray et
al., 2003). Menurut penelitian Pravitasari (2009) yang menyatakan
bahwa ekstrak buah kurma dapat meningkatkan kadar hemoglobin.
Kombinasi buah kurma yang kaya kandungan glukosa, Ca, Fe, Zn, Cu,
P dan niasin dengan palmyra yang kaya kandungan vit. A dan kelapa
yang kaya kandungan Na dan K mampu memperbaiki kadar hemoglobin
pada pasien anemia (Barh dan Mazumdar, 2008).

84
kurma mengandung karbohidrat tinggi sehingga dapat menyediakan
energi yang cukup. Sebagian kandungan gulanya terdiri atas glukosa,
fruktosa, dan sukrosa,. Menurut data kementerian kesehatan haji
menjelaskan bahwa kadar zat besi dalam buah kurma juga cukup tinggi
yaitu 0,90mg/100g buah kurma (11% AKG), dimana zat besi menjadi
salah satu komponen dalam darah untuk membawa oksigen dalam
darah, untuk menjaga keseimbangan zat besi dalam tubuh, sehingga
mengurangi resiko terjadinya perdarahan pada ibu hamil (Diyah, 2017).
Kurma mengandung zat besi yang tinggi sehingga membantu
meningkatkan kadar hemoglobin dan mencegah anemia, dengan
mengkonsumsi kurma sebanyak 25 gr/hari/orang selama 30 hari dapat
meningkatkan kadar hemoglobin pada ibu hamil karna dalam 25 gr
kurma mengandung 0,225 zat besi (Eny et al., 2016)
(Sumber Jurnal : Sephia, Elmarossa. 2020. Pengaruh Pemberian Sari
Kurma (Phoenix Dactylifera) Terhadap Peningkatan Kadar
Hemoglobin Ibu Hamil. JMH Jurnal Medika Hutama Vol 02 No 01,
Oktober 2020 e-ISSN. 2715-9728 p-ISSN. 2715-8039)
e. Jurnal Internasional : Clinical effects of date palm (Phoenix dactylifera
L.): A systematic review on clinical trials
Kurma yang dikenal sebagai nama ilmiah Phoenix Dactylifera L.
adalah spesies tanaman kayu tahunan yang termasuk dalam famili
Arecaceae. Kurma tumbuh di berbagai iklim; kualitas tinggi dari
tanaman ini kultivar di daerah beriklim kering di daerah subtropis dan
tropis seperti di Semenanjung Arab, Afrika Utara, dan Timur Tengah.
Buah kurma mengandung vitamin yang berbeda (riboflavin, biotin,
thiamin, asam folat, dan asam askorbat), persentase gula dan karbohidrat
yang lebih tinggi,protein, asam lemak, garam dan mineral seperti kalium
dan magnesium. Gula utama pada kurma adalah glukosa, sukrosa, dan
fruktosa, yang merupakan gula yang mudah dicerna. Selanjutnya serat

85
makanan buah kurma tinggi membuatnya lebih mudah dicerna dan
bermanfaat untuk saluran pencernaan.
Kurma seharusnya sebagai makanan lengkap dan tanaman obat
sebagai studi fitokimia telah menjelaskan bahwa kurma mengandung
antosianin, fenolat, sterol, karotenoid, dan flavonoid.6 Sejak zaman
kuno, buah, kernel, dan serbuk sari kurma telah digunakan dalam sistem
tradisional dan sistem rakyat yang berbeda obat-obatan yang
dibudidayakan oleh pohon kurma ; seperti Pengobatan Tradisional India,
Pengobatan rakyat Timur Tengah dan Afrika dan Pengobatan Persia.
Berbagai macam fungsi atau efek pada penyakit yang dikaitkan
dengan kurma dan disebutkan dalam studi pengobatan tradisional
tersebut sebagai sembelit, kanker, anti-penuaan, anti-aterogenik,
diabetes tipe 2, urolitiasis, tukak lambung, kekebalan humoral,
neuropati, rinitis, kesuburan pria, dan penyembuhan luka di Timur
Tengah dan pengobatan rakyat Afrika tukak lambung, transit lambung,
neuropati diabetik, pelindung saraf, dan fungsi reproduksi, infeksi
saluran kemih, infeksi saluran pernapasan atas dan bawah, kelemahan
umum, linu panggul, dehidrasi, asma, cegukan, sistitis, tuberkulosis,
gangguan saraf, kulit masalah, kusta, kencing nanah, anemia, penurunan
jumlah sperma, purpura, edema, sepsis, disfungsi kognitif, kecemasan,
psikosis, kelumpuhan otot, gangguan kardiovaskular, gangguan ginjal
dan hati, serta mikroba dan virus infeksi dalam Pengobatan Tradisional
India yaitu antibakteri, kesuburan pria, analgesik, hiperplasia prostat,
tukak lambung, nyeri punggung bawah, infeksi parasit, memfasilitasi
persalinan, dan kekakuan sendi dalam Pengobatan Persia. Selain itu,
masih banyak penelitian di bidang fitoterapi tanggal. Studi seluler
menunjukkan efek kurma pada kanker, peradangan, diabetes, alergi,
infeksi bakteri, dan kesehatan usus besar.

86
Selain itu, penelitian pada hewan menjelaskan efek kurma terhadap
hiperlipidemia, hepatotoksisitas, alergi, penyakit jantung, dan
Alzheimer.
Menurut masalah di atas, kurma dianggap sebagai makanan obat
yang aman. Karena itu, tampaknya tanaman ini bisa berguna sebagai
produk alami yang aman dalam berbagai gangguan; tapi itu perlu
disetujui oleh studi dan uji klinis. Dalam hal ini, tujuan dari ini
studi adalah untuk meninjau dan mengkategorikan uji klinis yang
menyelidiki efek klinis dari bagian botani yang berbeda dari kurma
dibandingkan dengan kontrol dan hasil apa pun, tanpa batasan apa pun
pada bentuk dan durasi intervensi atau jenis penyakit.
(Sumber jurnal : Karimi, Alireza Bagherzadeh. 2020. Clinical effects of
date palm (Phoenix dactylifera L.): A systematic review on clinical
trials. Complementary Therapies in Medicine 51 (2020) 102429
https://doi.org/10.1016/j.ctim.2020.102429)

2. Neonatal
a. Pengaruh Perawatan Metode Kangguru (PMK) Terhadap Kenaikan
Suhu Tubuh Pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
Berdasarkan data pada Tabel 6 dimana yang menjadi sampel
penelitian adalah bayi BBLR yang telah dilakukan perawatan metode
kangguru dengan dilakukan pengukuran suhu tubuh menggunakan
termometer dan diperoleh hasil rata-rata suhu tubuh sebelum dilakukan
PMK sebesar 36,260 dan hasil rata-rata setelah dilakukan PMK sebesar
36,915 didapat nilai signifikan(2 taibel) sebesar 0,000 yang berarti nilai
signifikan 2 taibel ≤ 0,05 yang artinya Ha diterima dan Ho ditolak, maka
hasil uji dinyatakan signifikan dan didapat nilai t hitung sebesar -8,028
dan didapat nilai t tabel sebesar 2,093 yang dilihat dalam tabel statistik
pada signifikan 0,05 dengan df N-1 yaitu 19 sehingga –t hitung ≤ t tabel,
yang artinya Ha diterima dan Ho ditolak, maka hasil uji dinyatakan ada

87
pengaruh antara perawatan metode kangguru (PMK) terhadap kenaikan
suhu tubuh pada bayi BBLR dengan perubahan mean sebesar -0,655
Menurut Rohsiswatmo (2018) yang mengatakan penerapan PMK
dapat dimulai segera setelah bayi lahir atau setelah ia stabil kondisinya.
Ada beberapa kriteria mulainya penerapan PMK, yaitu berat lahir
≥1.800 gram (usia gestasi/kehamilan ≥34 minggu) dengan kondisi bayi
umumnya cukup stabil dan jarang mengalami perburukan, seperti henti
nafas maka PMK dapat segera dilakukan setelah bayi lahir. Berat lahir
1.200-1.799 gram (usia gestasi 28-32 minggu) dengan berbagai
komplikasi prematuritas sering terjadi pada kelompok ini, misalnya
sindroma gangguan pernafasan, yang perlu perawatan khusus sedini
mungkin, sebelum dilakukan PMK harus dipastikan pernafasan dan
sirkulasi bayi stabil maka bayi perlu waktu sekitar satu minggu sebelum
dilakukan PMK.
Menurut Rohsiswatmo (2018), bayi perempuan beresiko lahir
secara prematur ini dikarenakan pada bayi perempuan sering mengalami
masalah pada plasenta, preeklamsia, dan tekanan darah tinggi. Belum
diketahui secara pasti alasan hal ini terjadi. Namun, masalah-masalah
tersebut bisa memicu kelahiran prematur. Bayi laki-laki akan bertumbuh
lebih cepat dari pada bayi perempuan, yang artinya hal ini akan
menunjukkan banyak keuntungan, karena paru-paru dan organ lainnya
akan lebih cepat terbentuk sebelum kelahiran.
Penyebab kasus BBLR juga bisa dikarenakan oleh plasenta, yaitu
berat plasenta berkurang atau berongga atau keduanya (hidramnion),
luas permukaan berkurang, plasenta vilus (bakteri, virus dan parasite),
infark, tumor (korioangioma, molahidatidosa) dan plasenta yang lepas.
Pada penelitian ini, distribusi frekuensi suhu tubuh sebelum dilakukan
perawatan metode kanguru (PMK) pada hari I sampai dengan hari III
mayoritas suhu tubuh hipotermi sedang (32oC-36,4oC).

88
Pada pasien BBLR suhu tubuh cenderung hipotermia disebabkan
oleh produksi panas kurang dan kehilangan panas yang tinggi. Panas
kurang diproduksi karena sirkulasi yang masih belum sempurna,
respirasi masih lemah, konsumsi oksigen yang tendah, otot yang belum
aktif, serta asupan makan yang kurang kehilangan panas terjadi akibat
permukaan tubuh yang relatif lebih luas dan lemak subkutan yang
kurang, terutama lemak coklat. Mekanisme kehilangan bayi dapat
terjadi melalui konduksi, evaporasi, konveksi dan radiasi (Perinasia,
2015).
PMK adalah perawatan bayi baru lahir dengan melekatkan bayi di
dada ibu (kontak kulit bayi dan kulit ibu) sehingga suhu tubuh bayi tetap
hangat. Metode ini sangat menguntungkan terutama untuk bayi berat
lahir rendah (Proverawati & Ismawati, 2010). Keunggulan metode ini
yaitu bayi dapat mendapatkan sumber panas alami terus menerus
langsung dari kulit ibu, mendapatkan kehangatan udara dalam
kantung/baju ibu, serta ASI menjadi lancar, menstabilkan laju
pernafasan, dan denyut jantung bayi lebih cepat dari yang dirawat dalam
inkubator. Bayi pada PMK merasa nyaman dalam dekapan ibu sehingga
tanda vital lebih cepat stabil.
Pelaksanaan PMK dapat dimulai segera setelah lahir atau setelah
bayi stabil. PMK dapat dilakukan di rumah sakit atau dilakukan dirumah
setelah bayi pulang (Sembiring, 2017). Pelaksanaan PMK terdiri dari
dua jenis yaitu PMK intermitten adalah PMK dengan jangka waktu yang
pendek (perlekatan lebih dari satu jam perhari) dan PMK kontinu adalah
PMK dengan jangka waktu yang lebih lama yang dapat dilakukan
selama 24 jam. Pelaksanaan PMK diharapkan dimulai di tempat fasilitas
kesehatan, kemudian dilanjutkan ke rumah dengan pengawasan dari
petugas kesehatan. Di pelayanan kesehatan seperti rumah sakit,
meskipun direkomendasikan untuk pelaksanaan PMK dengan adanya
kontak langsung kulit ibu-bayi yang berkelanjutan, tetapi tidak menutup

89
kemungkinan hal tersebut diterapkan setiap saat dan pada setiap keadaan
(Perinasia, 2015).
(sumber Jurnal : Nugraeny, Lolita. 2020. Pengaruh Perawatan Metode
Kangguru (PMK) Terhadap Kenaikan Suhu Tubuh Pada Bayi Berat
Lahir Rendah (BBLR) di RS MitraMedika Medan Tahun 2019. Al Ulum
Seri Sainstek, Volume VIII Nomor 2, Tahun 2020 ISSN 2338-5391
(Media Cetak) | ISSN 2655-9862 (Media Online))
b. Pembinaan Kemandirian Ibu Dalam Perawatan Metode Kangguru
(PMK) Terhadap Peningkatan Suhu Tubuh Pada BBLR
Hasil uji statistik T Wilcoxon Test juga mendukung data pada tabel
diatas, dimana dari hasil uji diperoleh P value = 0.000 < 0.05 dengan
tingkat kepercayaan 95 %. Artinya Ho ditolak dan H1 diterima ada
Pengaruh Perawatan Metode Kangguru (PMK) Terhadap peningkatan
suhu tubuh pada BBLR di Ruang Nicu RSUD Bima.
Perawatan BBLR memerlukan tindakan yang segera dan intensif
sesuai dengan kondisi bayi untuk menghindari terjadinya komplikasi
terutama hipotermi. Pencegahan hipotermi pada bayi dapat dilakuan
dengan cara memasukan bayi kedalam inkubator atau melakukan
perawatan bayi dengan metode kangguru. Penggunaan inkubator lebih
mudah, namun penggunaan alat ini masih sangat dipengaruhi dengan
keterbatasan inkubator dan pasokan arus listrik. Sedangkan metode
kanguru dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja selama ibu dalam
keadaan sehat.
Metode kanguru adalah cara merawat bayi secara alami seperti
perawatan bayi kanguru dalam kantung indungnya, sehingga bayi
mendapat kontak langsung antara kulit bayi dan ibunya secara terus
menerus serta pancaran panas udara didalam kantung bayi tersebut,
sehingga bayi terhinda dari kedinginan/hipotermia. Penurunan suhu
pada bayi tersebut terjadi pada menit-menit ke 10-20 setelah kelahiran.

90
Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan bayi untuk menghasilkan
panas yang cukup untuk mengimbangi hilangnya panas saat kelahiran.
Selain itu suhu dingin dan luar permukaan yang lebih besar
dibandingkan dengan tubuhnya yang kecil serta kepalanya yang secara
proporsional lebih besar, juga bisa menyebabkan turunnya suhu pada
bayi. (WHO, 2006). Adapun mekanisme atau proses penurunan suhu
pada BBL, yaitu segera setelah dilahirkan, suhu BBL akan turun. Bayi
yang masih basah bisa kehilangan panas cukup banyak untuk membuat
suhu tubuhnya turun sampai sebanyak 2- 4 oC (3,6 - 7,2 oC).
Karena dalam keadaan basah, maka bayi tersebut akan kehilangan
sebagian besar panas tubuhnya melalui penguapan (evaporasi) dari
permukaan kulit yang basah, persentuhan dengan benda-benda yang
dingin (konduksi), persentuhan dengan udara dingin (konveksi), atau
persentuhan dengan benda-benda yang bersuhu lebih rendah di
sekitarnya (radiasi).
Untuk pencegahan hipothermia pada BBL bisa dilakukan dengan
cara yang sangat sederhana dan mudah dikerjakan oleh setiap orang
yaitu menghangatkan bayi melalui panas tubuh ibu. Bayi diletakkan
telungkup di dada ibu agar terjadi kontak kulit ke kulit antara ibu dan
bayi secara langsung, yang biasanya lazim disebut dengan “Metode
Kanguru”, menghangatkan bayi dalam inkubator, bayi dikeringkan
segera setelah lahir, ataupun dibungkus di dalam kain yang hangat
(Nasrullah. 2019. Pembinaan Kemandirian Ibu Dalam Perawatan
Metode Kangguru (PMK) Terhadap Peningkatan Suhu Tubuh Pada
BBLR Di Ruang NICU RSUD Bima. Bima Nursing Journal. Vol.1 No.1
Nov. 2019)
c. Pengaruh Perawatan Metode Kanguru Terhadap Peningkatan Suhu
Tubuh Bayi Berat Lahir Rendah
Rata-rata suhu tubuh bayi sebelum dilakukan perawatan metode
kanguru 34,7 dengan standar deviasi 1,211. Suhu tubuh bayi sesudah

91
dilakukan perawatan metode kanguru rata-rata memiliki suhu 36,9
dengan standar deviasi 0,349. Ada perbedaan suhu tubuh sebelum dan
sesudah perawatan metode kanguru pada bayi berat lahir rendah
(BBLR) dengan p-Value yaitu 0.004 yang berarti nilai p (0,004) <
(α=0,05).
Perawatan metode kanguru sebagai suatu cara perawatan untuk bayi
BBLR melalui kontak kulit dengan kulit antara ibu dengan bayinya
dimulai di rumah sakit dan dilanjutkan dirumah dengan tetap diberikan
ASi supaya bayi tetap hangat (Surasmi, 2012). Perawatan metode
kanguru merupakan suatu cara khusus dalam Perawatan bayi BBLR
dengan metode kanguru yakni melakukan kontak langsung antara kulit
bayi dengan kulit ibu untuk membantu perkembangan kesehatan bayi
melalui peningkatan kontrol suhu, menyusui dan pencegahan infeksi
(Proverawati, 2012).
Analisa statistik menunjukkan bahwa bahwa rerata pengukuran
suhu tubuh pretest 34,7 dan suhu tubuh posttest 36,7 maka perbedaan
atau selisih antara pengukuran suhu tubuh pretest dan postes adalah
2.2273 dengan standar deviasi (SD) 1.1977. Hasil Uji statistik
didapatkan nilai p = 0,004 < (α = 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa
Hipotesa (Ha) diterima yaitu ada pengaruh perawatan metode kanguru
terhadap peningkatan suhu tubuh bayi berat lahir rendah
BBLR mempunyai keterbatasan dalam pengaturan fungsi tubuhnya,
salah satunya adalah ketidakstabilan suhu tubuh, sehingga dapat
menyebabkan hipotermi pada bayi BBLR. Hipotermi dapat
menyebabkan kesakitan bahkan kematian pada bayi BBLR. Salah satu
solusi pencegahan hipotermi pada BBLR dengan melakukan perawatan
metode kanguru dengan prinsip melakukan skin to skin contact sehingga
bayi tetap hangat. Hal ini bertujuan untuk memberikan lingkungan
hangat pada bayi dan meningkatkan hubungan ibu dengan bayinya
(Anggriani, 2014). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan

92
yang bermakna lama hari rawat bayi BBLR yang diberikan metode
kanguru dengan yang tidak diberikan (Astuti, 2018).
(Sumber Jurnal : Saputri, Ika Nur. 2019. Pengaruh Perawatan Metode
Kanguru Terhadap Peningkatan Suhu Tubuh Bayi Berat Lahir Rendah
Di Nicu Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam Tahun 2018.
Jurnalpenelitian Kebidanan & Kespro Vol. 1 No. 2 2019)
d. Pengaruh Pelaksanaan Kangaroo Mother Care (KMC) Selama Satu Jam
Terhadap Suhu Tubuh Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Berdasarkan penelitian ini didapatkan rata-rata suhu tubuh pada
Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di ruang Perinatologi RSUD
Pandan Arang Boyolali sebelum dan setelah pelaksanaan KMC selama
satu jam hari pertama, kedua, ketiga adalah 36,660 c dan 37,070 c.
Terdapat pengaruh pelaksanaan Kangaroo Mother Care (KMC) selama
satu jam terhadap suhu tubuh Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
di ruang Perinatologi RSUD Pandan Arang Boyolali (p < 0,05).
KMC merupakan alternatif pengganti incubator dalam perawatan
BBLR, dengan beberapa kelebihan antara lain: merupakan cara yang
efektif untuk memenuhi kebutuhan bayi yang paling mendasar yaitu
adanya kontak kulit bayi ke kulit ibu, dimana tubuh ibu akan menjadi
thermoregulator bagi bayinya (Endyarni, 2013).
KMC pada penelitian ini dilaksanakan secara intermitten yaitu
selama satu jam mengingat adaptasi psikologi ibu post partum ibu bayi
masih tergantung dengan keluarga untuk merawat bayinya. Manfaat dan
keuntungan KMC antara lain dapat menstabilkan suhu tubuh,
pernapasan dan denyut jantung bayi, perlindungan bayi dari infeksi,
mening-katkan pertumbuhan dan perkembangan bayi, berat badan bayi
cepat naik, meningkatkan keberhasilan pemberian ASI, stimulasi dini,
kasih sayang/bounding (bayi merasa dicintai dan diperhatikan)
menurunkan angka kematian neonatal (AKN), mengurangi biaya rumah

93
sakit karena waktu perawatan yang pendek,tidak memerlukan inkubator
dan efisiensi tenaga kesehatan (Proverawati dan Ismawati, 2010).
Hal ini sejalan dengan penelitian Almeida, dkk (2007) yang
menyatakan bahwa KMC berpengaruh pada fungsi fisiologis BBLR,
antara lain meningkatkan suhu tubuh, sehingga membe-rikan kontribusi
terhadap perbaikan kontrol termal, peningkatan saturasi oksigen perifer,
peningkatan oksigenasi jaringan dan menstabilkan pernapasan, yang
membawa kenyamanan pernapasan yang lebih besar untuk BBLR. Bayi
BBLR yang mengalami hipotermi di penelitian ini mengalami
peningkatan suhu setelah dilakukan KMC selama 1 jam, hal ini sejalan
dengan penelitian Ibe (2004) dalam Hartini (2011) yang menyatakan
bahwa terdapat perbedaan yang bermakna terhadap suhu tubuh bayi
prematur sebelum dan sesudah dilakukan perawatan metode kanguru.
Hasil penelitian menunjukkan semua suhu tubuh bayi yang
dilakukan Perawatan metode Kanguru mengalami kenaikan yang
bermakna dibanding bayi yang tidak dilakukan. Meletakkan dan
mendekapkan bayi di dada ibu merupakan salah satu cara mentransfer
panas agar menjaga tubuh bayi tetap hangat, karena bayi berat badan
lahir rendah mudah sekali kedinginan, dan serangan dingin dapat
menyebabkan kematian pada BBLR. Kontak langsung kulit bayi dan ibu
menyebabkan panas tubuh ibu menghangatkan tubuh bayi. Pada KMC,
metode peningkatan suhu tubuh bayi BBLR dilakukan secara konduksi
yakni perpindahan panas antara benda-benda yang berbeda suhunya
berkontak lansung satu sama lain. Panas berpindah mengikuti penurunan
gradient normal dari benda yang lebih panas ke yang lebih dingin.
Dalam hal ini, bayi BBLR mengambil suhu tubuh ibunya secara
langsung melalui kontak dari kulit ke kulit mengingat suhu tubuh ibunya
lebih tinggi dari suhu tubuh bayi (Suradi, dkk, 2008). Jadi pada tubuh
bayi BBLR yang mengalami hipotermi ketika dilakukan KMC selama

94
satu jam selain menghasilkan metabolisme panas, terjadi juga
perpindahan panas tubuh ibu ke bayinya secara konduksi.)
(Sumber Jurnal : Setyawan. 2019. Pengaruh Pelaksanaan Kangaroo
Mother Care (Kmc) Selama Satu Jam Terhadap Suhu Tubuh Bayi Berat
Badan Lahir Rendah (Bblr) Di Ruang Perinatologi Rsud Pandan Arang
Boyolali. Jurnal Keperawatan Global, Volume 4, No 1, Juni 2019, hlm
1-73 ISSN: 2528-0102 E-ISSN: 2580-5916)
e. Jurnal Internasional : The Effect Of Kanguru Mother Care Method To
Change Of Body Temperature In Lbw (Low Body Weight) Babies
Setelah dilakukan perawatan dengan metode perawatan ibu kanguru
suhu tubuh bayi BBLR meningkat rata-rata 36,20C, dan tiga bayi
mengalami penurunan suhu tubuh. Dengan penelitian yang dilakukan
oleh Hj. Nurlaila dkk. Dalam jurnal Husada Mahakam tahun 2015
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan suhu tubuh bayi yang
signifikan baik pada kelompok ibu yang melaksanakan PMK baik
maupun kelompok ibu pelaksana. PMK kurang baik terlihat dari skor
rata-rata ibu yang melaksanakan PMK dengan baik. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rata-rata suhu tubuh bayi pada kelompok ibu yang
melaksanakan PMK baik adalah 37.082. Tidak ada orang yang
menderita hipotermia yaitu suhu badan bayi <36,5 0 sedangkan
kelompok ibu yang melakukan PMK tidak baik dengan nilai rata-rata
35,508 yang menunjukkan bahwa pada kelompok ibu yang
melaksanakan PMK kurang baik, bayi mengalami hipotermia karena
suhu badan bayi <36,5ᵒ.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Verma, p dan
Verma V yang diterbitkan pada tanggal 29 November 2013. Dinyatakan
bahwa sebelum KMC 82,5% bayi mengalami hipotermia tetapi setelah
KMC 96,2% bayi menjadi normotermik dalam waktu setengah jam yang
ditemukan sangat tinggi. signifikan (p-value <0,0001). Berdasarkan
hasil penelitian lain Almeida Cm Et Al Tentang Pengaruh Perawatan

95
Ibu Kanguru Terhadap Tanda Vital Bayi Baru Lahir Prematur Berbobot
Rendah didapatkan hasil tidak ada perubahan yang signifikan pada
rerata tekanan arteri ( p> 0,05) atau detak jantung (p> 0,05) setelah
menerapkan perawatan ibu kanguru, namun terdapat peningkatan yang
signifikan pada suhu ketiak (p <0,05) dan saturasi oksigen perifer (p
<0,05), dan penurunan laju pernapasan yang signifikan ( p <0,05). Itu
berarti perawatan Kangaroomother meningkatkan suhu tubuh,
meningkatkan saturasi oksigen perifer (sehingga meningkatkan
oksigenasi jaringan), dan menurunkan laju pernapasan (sehingga
memberikan kenyamanan pernapasan yang lebih baik untuk bayi baru
lahir). Oleh karena itu, disarankan agar perawatan ibu kanguru
berkontribusi terhadap perubahan yang menguntungkan pada tanda vital
bayi baru lahir dengan berat badan rendah
(sumber jurnal : Sari, B., Arismawati, D., & wardani, R. (2018). The
Effect Of Kangaroo Care Method On The Change Of Body Temperature
In Low Birth Weight Infants (Lbwi). International Journal Of Nursing
And Midwifery Science (Ijnms), 2(02), 131-136.
https://doi.org/10.29082/IJNMS/2018/Vol2/Iss02/13)

96
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Bari Saifuddin. 2014. Ilmu Kebidanan, edisi4. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
Abdul Latief. 2012. Renjatan Hipovelemik pada Anak. Dalam: Naskah Lengkap Ilmu
Kesehatan Anak XXXV Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak IV. Hot Tropics
in Pediatric. Surabaya : Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Alomedika, 2015. Diakses pada tanggal 15 Februari 2021 dari
https://www.alomedika.com/penyakit/obstetrik-dan-
ginekologi/distosia/patofisiologi
Blackburn, S. T. 2011., Maternal, Fetal & Neonatal Physiology : A Clinical
Perspective. 3 rd ed. USA: Elsevier Inc. Page : 244 – 249
Cunnningham, dan Garry, F. 2013. Obstetric William. Jakarta: EGC
Didien Ika, Suprapti. 2016. Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal
Neonatal. Pusdik SDM kesehatan
Djoko, Waspodo. 2012. Buku Acuan Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Perinatal.
Edisi pertama cetakan kelima. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Jakarta
Fardillah, Natasya. Dkk. 2020. Pengaruh Penambahan Sari Kurma Terhadap Kadar
Hemoglobin Ibu Hamil Anemia di Klinik Fistha Nanda Tahun 2020.
JUKMAS Jurnal Untuk Masyarakat Sehat (JUKMAS) Vol. 4, No. 2 Oktober
2020 e-ISSN : 2715-7687 P-ISSN : 2715-8748
Irmawati dkk. 2020. Pengaruh Pemberian Sari Kurma Terhadap Peningkatan Kadar
Hb pada Ibu Hamil. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada Volume 12,
Nomor 2, Desember 2020, pp 1063-1069 p-ISSN: 2354-6093 dan e-ISSN:
2654-4563. DOI: 10.35816/jiskh.v10i2.463
Johnson, J.Y. 2016. Keperawatan Maternitas DeMYSTiFieD Buku Wajib Bagi
Praktisi dan Mahasiswa Keperawatan. Penerjemah : Diana Kurnia S.
Yogyakarta : Rapha Publishing
Karimi, Alireza Bagherzadeh. 2020. Clinical effects of date palm (Phoenix
dactylifera L.): A systematic review on clinical trials. Complementary
Therapies in Medicine 51 (2020) 102429
https://doi.org/10.1016/j.ctim.2020.102429
Kementrian Kesehatan RI. 2017. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kemenkes RI.
Kemenkes RI. 2018. Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia 2017. Jakarta
Kemenkes RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia
Kuswanti, I. 2014. Asuhan Kehamilan. Yogyakarta : Pustaka Pelaja
Manuaba, I.A.C. 2012. Buku Ajar Patologi Obstetri Untuk Mahasiswa Kebidanan.
Jakarta : EGC
Maternity, D., Putri, R.D., Aulia, D.L.N. 2017. Asuhan Kebidanan Komunitas
Disesuaikan dengan Rencana Pembelajaran Kebidanan. Yogyakarta : ANDI
Mishra, Shaily dkk. 2011. Annona muricata: A Review. The Global of
Pharmaceutical Research Vol. 2 (1): 1613-1618
Nasrullah. 2019. Pembinaan Kemandirian Ibu Dalam Perawatan Metode Kangguru
(PMK) Terhadap Peningkatan Suhu Tubuh Pada BBLR Di Ruang NICU
RSUD Bima. Bima Nursing Journal. Vol.1 No.1 Nov. 2019

Nugraeny, Lolita. 2020. Pengaruh Perawatan Metode Kangguru (PMK) Terhadap


Kenaikan Suhu Tubuh Pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di RS
MitraMedika Medan Tahun 2019. Al Ulum Seri Sainstek, Volume VIII
Nomor 2, Tahun 2020 ISSN 2338-5391 (Media Cetak) | ISSN 2655-9862
(Media Online
Porter, M.L., Dennis, B.L., 2012. Hyperbilirubinemia in the Term Newborn.
American Family Physician. 65:599-606.
Prawirohardjo, Sarwono. 2014. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Edisi
ke-12. Jakarta: Bina Pustaka
Purwaningsih, W., & Fatmawati, S. 2012. Asuhan Keperawatan Maternitas.
Yogyakarta: Nuha Medika
Robson, E.S., and Waugh, J. 2012. Medical Disorders in Pregnancy : a Manual for
Midwives. Penerjemah : Devi Yulianti. Jakarta : EGC
Saifuddin. 2016. Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal,
edisi 1. Cetakan 12. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Saputri, Ika Nur. 2019. Pengaruh Perawatan Metode Kanguru Terhadap
Peningkatan Suhu Tubuh Bayi Berat Lahir Rendah Di Nicu Rumah Sakit
Grandmed Lubuk Pakam Tahun 2018. Jurnalpenelitian Kebidanan & Kespro
Vol. 1 No. 2 2019
Sari, B., Arismawati, D., & wardani, R. 2018. The Effect Of Kangaroo Care Method
On The Change Of Body Temperature In Low Birth Weight Infants
(Lbwi). International Journal Of Nursing And Midwifery Science
(Ijnms), 2(02), 131-136. https://doi.org/10.29082/IJNMS/2018/Vol2/Iss02/13

Sephia, Elmarossa. 2020. Pengaruh Pemberian Sari Kurma (Phoenix Dactylifera)


Terhadap Peningkatan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil. JMH Jurnal Medika
Hutama Vol 02 No 01, Oktober 2020 e-ISSN. 2715-9728 p-ISSN. 2715-8039
Setyawan. 2019. Pengaruh Pelaksanaan Kangaroo Mother Care (Kmc) Selama Satu
Jam Terhadap Suhu Tubuh Bayi Berat Badan Lahir Rendah (Bblr) Di Ruang
Perinatologi Rsud Pandan Arang Boyolali. Jurnal Keperawatan Global,
Volume 4, No 1, Juni 2019, hlm 1-73 ISSN: 2528-0102 E-ISSN: 2580-5916
Sriningsih. 2018. Modul Asuhan KEbidanan Kegawatdaruratan Maternal dan
Neonatal. Ponorogo: Unmuh Ponorogo Press
Stokowski, G,. et all. 2011. The use of ultrasound to improve practice and reduce
complication rates in peripherally inserted central catheter insertions: final
repot of investigation. Journal of infusion nursing.
Sujiyatini. 2012. Asuhan Patologi Kebidanan. Yogyakarta : Pustaka Nuha Medika
WHO. 2017. World Health Statistics 2017 Monitoring Health for the SDGs,
Sustainable Development Goals. France.
WHO. 2018. Fact Sheet on Maternal Mortality : Key Fact, Where do Maternal
Death Occur?. Restrived from http://www.who.int/en/news-
room/factsheets/detail/maternal-mortality
Widowati, Retno. Dkk. 2019. Pengaruh Pemberian Sari Kurma Terhadap
Peningkatan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri
Sains Dan Teknologi, Vol. 5, No. 2, September 2019
Wiknjosastro, H. 2011. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo
Wiknjosastro, H. 2012. Pelayanan Kegawatdaruratan Maternal Neonatal. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo
Xiaong T, Cambier S, Mu D. 2011. The side effects of phototherapy for neonatal
jaundice : what do we know ? What should we do ?. Eur J Pediatri.

Anda mungkin juga menyukai