Anda di halaman 1dari 71

PROPOSAL TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK XI

IDENTIFIKASI DIARE DENGAN KUESIONER COWMISS

DI MASYARAKAT

KELOMPOK I
Dosen Pembimbing : dr. Ahmad Ghiffari, M.Kes

Natasya Viana Permata Sugiantara 702018066


Irene Regina Agustin 702018059
Fandika Dhimas Prayogi 702018002
Panianida Parindapa 702018085
Radicha Maurisha 702018027
Siska Indriyani 702018011
Medalion Bellano 702018016
Khalifah Hasanah Ilham 702018009
Rizka Anisa Nurfadilah 702018028
Putri Saudah Wulandari 702018030
Muhammad Affandi Taufiq Hasibuan 702016048

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG

2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadiran Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat meyelesaikan proposal Tugas Pengenalan Profesi Blok
XI yang berjudul “Identifikasi Diare dengan Kuesinoer Cowmiss di Masyarakat ”.
Shalawat beriring salam kita haturkan kepada junjungan kita,
Nabi Muhammad SAW. karena atas berkat perjuangan beliau kita dapat
dihantarkan kepada zaman yang terang benderang seperti sekarang ini.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Ahmad Ghiffari, M.Kes karena
atas bimbingan beliau akhirnya kami dapat menyelesaikan laporan Tugas
Pengenalan Profesi ini, beliau telah membimbing kami sehingga proposal ini dapat
kami selesaikan dengan baik. Dan kami juga mengucapkan banyak terima kasih
kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan proposal ini,
karena jika tidak ada kerja sama yang baik kami kira proposal ini tidak akan
terselesaikan dengan baik.
Akhir kata semoga proposal yang telah kami buat ini bermanfaat bagi kita
semua dalam pengembangan ilmu pengetahuan, Aamiin.

Palembang, Maret 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah ............................................................................. 2

1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................... 2

1.3.1. Tujuan Umum ......................................................................... 2

1.3.2. Tujuan Khusus ........................................................................ 3

1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 4

2.1. Anatomi Sistem Digestif ……………………………………………... 4

2.1.1. Traktus Digestivus…………………………………………… 4

2.1.2. Accesoris Organ (Organ Tambahan)………………………… 22

2.2 Fisiologi Sistem Digestif.…………………………………………….. 32


2.2.1. Mekanisme Perjalanan Makanan…………………….………. 32

2.2.2. Enzim-enzim dalam Sistem Digestif…………………………. 35


2.2.3. Sistem Pertahanan Sistem Digestif ………………………….. 36
2.3 Penyakit-penyakit pada Sistem Digestif………………………………… 37
2.3.1. Diare……………………………………………………………. 37
2.3.2. Konstipasi………………………………………………………. 38
2.3.3. Apendisitis……………………………………………………… 38
2.4. Diare…………………………………………………………………………… 39

2.4.1. Pengertian……………………………………………………… 39

2.4.2. Klasifikasi……………………………………………………… 39

3
2.4.3. Epidemiologi…………………………………………………... 42

2.4.4. Etiologi dan Faktor Resiko…………………………………….. 43

2.4.5. Patofisiologi……………………………………………………. 45

2.4.6. Manifestasi Klinis……………………………………………… 48

2.4.7. Cara Menegakkan Diagnosis…………………………………... 49

2.4.8 Pemeriksaan Penunjang………………………………………..... 49

2.4.9 Tatalaksana……………………………………………………… 51

2.4.10. Prognosis…………………………………………………….... 58

2.4.11. SKDU…………………………………………………….…… 58

2.5. Alergi Protein Susu Sapi……………………………………………… 60

2.5.1. Microbiota Usus………………………………………………... 61

2.5.2. Gejala dan Diagnosis…………………………………………… 62

2.5.3. Cara Menggunakan CowMiSS dalam Praktek Klinis………….. 63

2.5.4. Tatalaksana CMA………………………………………………. 63

BAB III METODE PELAKSANAAN ........................................................ . 65

3.1 Tempat Pelaksanaan ........................................................................... . 65

3.2 Waktu Pelaksanaan ............................................................................ . 65

3.3 Subjek Tugas Mandiri ........................................................................ . 65

3.4 Alat dan Bahan .................................................................................. . 65

3.5 Langkah Kerja ................................................................................... . 65

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………... 67

4
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sistem pencernaan merupakan suatu sistem organ yang menerima
makanan, mencernanya menjadi energi dan nutrien yang dibutuhkan oleh
tubuh, serta mengeluarkan sisa proses tersebut. Sistem tersebut melibatkan
beberapa organ dalam tubuh manusia, mulai dari mulut, faring, esophagus,
gaster, usus halus (duodenum, jejunum dan ileum), usus besar, rektum sampai
anus dan organ pencernaan tambahan seperti kelenjar saliva, hati, pankreas dan
sistem empedu. Pada beberapa organ tersebut gaster, usus kecil dan usus besar
merupakan organ yang berperan penting dalam mencerna dan mengabsorbsi
makanan. Di samping itu juga organ-organ tersebut seringkali mengalami
gangguan yang diakibatkan oleh manusia itu sendiri baik dalam mengkonsumsi
makanan yang kurang sehat maupun keadaan lingkungan yang tidak baik. Salah
satunya adalah penyakit diare (Ganong, 2013).
Penyakit diare masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat
yang penting karena merupakan penyumbang utama ketiga angka kesakitan dan
kematian anak di berbagai negara termasuk Indonesia. Diperkirakan lebih dari
1,3 miliar serangan dan 3,2 juta kematian per tahun pada balita disebabkan oleh
diare. Setiap anak mengalami episode serangan diare rata-rata 3,3 kali setiap
tahun. Lebih kurang 80% kematian terjadi pada anak berusia kurang dari 2
tahun.
Pada anak-anak yang memiliki keadaan tubuh yang lemah biasanya,
diare disertai dengan penurunan nafsu makan sehingga keadaan sangat
membahayakan kesehatan anak. Pada tahap ini biasanya orang tua belum
menanggapi secara sungguh-sungguh dikarenakan kurangnya pengetahuan
orang tua mengenai penyakit diare pada anak. Langkah-langkah yang dilakukan
orang tua dalam menatalaksana penyakit diare yang banyak tersebar di
masyarakat yaitu anak harus di puasakan dan usus dikosongkan sehingga tidak
terjadi rangsangan yang menyebabkan anak merasa ingin buang air besar. Jika

5
langkah tersebut sudah dilakukan maka dapat mengurangi angka kesakitan pada
anak tetapi hal tersebut juga dapat meningkatkan resiko anak mengalami kurang
gizi dan akan memperburuk keadaan bahkan dapat menyebabkan kematian.
Sebagai calon dokter, sudah seharusnya mahasiswa mengetahui dan
memahami gangguan tersebut agar setelah menjadi dokter dapat melakukan
penatalaksanaan terhadap gangguan tersebut secara komprehensif. Oleh karena
itu, kami dari kelompok I akan melaksanakan kegiatan Tugas Pengenalan
Profesi (TPP) dengan judul “Identifikasi Diare dengan Kuesioner Cowmiss di
Masyarakat”.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah pada Tugas Pengenalan Profesi, yaitu :
1. Apa saja faktor-faktor penyebab diare pada pasien ?
2. Bagaimana tanda dan gejala yang dialami oleh pasien penderita
diare ?
3. Bagaimana pengobatan yang didapat oleh pasien diare ?
4. Bagaimana pencegahan yang dapat dilakukan agar tidak terkena
diare ?

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Memahami dan melakukan Tugas Pengenalan Profesi
dengan judul “Identifikasi Diare dengan Kuesioner Cowmiss di
Masyarakat” sebagai kompetensi tugas kelompok yang harus
dilakukan dan diselesaikan dalam pembelajaran blok XI mengenai
Sistem Digestif.

6
1.3.2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan dari Tugas Pengenalan Profesi yaitu:
1. Untuk memahami faktor-faktor penyebab pada pasien diare.
2. Untuk memahami bagaimana tanda dan gejala yang dialami
oleh pasien diare.
3. Untuk memahami bagaimana tatalaksana untuk pasien diare
4. Untuk memahami bagaimana pencegahan yang dapat
dilakukan agar tidak terkena diare.

1.4. Manfaat Penelitian


Adapun manfaat dari Tugas Pengenalan Profesi ini yaitu agar
penulis dan pembaca dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang
penyakit diare pada masyarakat.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sistem Digestif


Organ-organ dalam sistem digestif dibagi menjadi dua kelompok besar
yaitu traktus digestivus dan accessory organ.

2.1.1. Traktus Digestivus


2.1.1.1. Rongga Mulut
Rongga mulut merupakan sebuah bagian tubuh yang terdiri dari:
lidah bagian oral (dua pertiga bagian anterior dari lidah), palatum durum
(palatum keras), dasar dari mulut, trigonum retromolar, bibir, mukosa
bukal, ‘alveolar ridge’, dan gingiva. Tulang mandibula dan maksila
adalah bagian tulang yang membatasi rongga mulut. Rongga mulut yang
disebut juga rongga bukal, dibentuk secara anatomis oleh pipi, palatum
keras, palatum lunak, dan lidah. Pipi membentuk dinding bagian lateral
masing-masing sisi dari rongga mulut. Pada bagian eksternal dari pipi,
dilapisi oleh kulit. Sedangkan pada bagian internalnya, pipi dilapisi oleh
membran mukosa, yang terdiri dari epitel pipih berlapis yang tidak
terkeratinasi. Otot-otot buccinator (otot yang menyusun dinding pipi)
dan jaringan ikat tersusun di antara kulit dan membran mukosa dari pipi.
Bagian anterior dari pipi berakhir pada bagian bibir.
Mulut terbentang dari bibir sampai ke pharynx. Kedua sis pintu
msuk pharynx , istmus faucium, dibentuk oleh arcus palatoglossus.
Mulut dapat dibagi menjadi vestibulum oris dan cavum oris proprium
(Snell, 2014).
 Vestibulum Oris
Vestibulum terletak diantara bibir dan pipi di sebelah luar
serta gusi dan gigi geligi di sebelah dalam. Ruangan berbentuk celah
ini dihubungkan dengan dunia luar oleh fissure oris diantara kedua
bibir. Jika rahang di tutup, ruangan ini berhubungan dengan cavum

8
oris proprium melalui permukaan belakang gigi molar pada masing-
masing sisi. Vestibulum dibatasi pada bagian atas dan bawah oleh
lipatan membrana mucosa dari bibir dan pipi sampai gusi.
Dinding lateral vestibulum dibentuk oleh pipi, yang dibentuk
oleh musculus buccinator dan dilapisi oleh mebrana mucosa. Tonus
musculus buccinator serta otot-otot bibir mempertahankan dinding
vestibulum tetap kontak satu dengan yg lain. Saluran kelenjar liur
parotis bermuara ke papilla kecil di dalam vestibulum yang
bersebrangan dengan gigi molar kedua atas.
 Cavum oris proprium
Cavum moris proprium mepunyai atap dan dasar
1. Atap rongga mulut
Atap cavum oris proprium dibentuk di depan oleh
palatun durum dan dibelakang oleh palatum mole.
2. Dasar rongga mulut
Sebagian besar dasar rongga mult dibentuk dua pertiga
bagian anterior lidah dan oleh membrana mucosa yang
terbentang dari pinggir lidah kearah gusi yang terdapat di
mandibula. Lipatan membrana mucosa yang disebut frenulum
linguae menghubungan garis tengah permukaan bawah lidah
dengan dasar rongga mulut. Lateral dari frenulum membrana
mucosa membentuk lipatan yang bergerigi disebut plisa
fimbriata.
Ductus submandibularis dari glandula submandibularis
bermuara pada dasar rongga mulut pada puncak papilla kecil
disisi kanan dan kiri dari frenulum linguae. Glandula
sublingualis juga bermuara kedalam rongga mulut, dengan
membentuk lipatan kecil dari membrana mucosa, disebut plica
sublingualis. Sejumlah ductus dari glandula bermuara kedalam
lipatan kecil.

9
a. Bibir
Bibir merupakan dua lipatan yang terdapat di orificium oris.
Mereka diliputi di sebelah luar oleh kulit di sebelah dalalm dilapisi oleh
membrana mucosa. Bagian utama bibir dibentuk oleh musculus
orbicularis oris dan otot - otot ini menyebar dari bibir ke wajah. Di dalam
bibir terdapat juga pembuluh darah dan saraf, jaringan ikat dan banyak
kelenjar ludah kecil. Philtrum adalah cekungan dangkal vertical yang
dapat dilihat dari garis tengah pada permukaan luar bibir atas. Lipatan
medial dari membrana mucosa - renulum labialis - menghubungkan
permukaan dalam bibir ke gusi.

b. Membrana mucosa mulut


Di dalam vestibulum, membrana mucosa ditambatkan ke
musculus buccinator oleh serabut serabut elastis yang terdapat didalam
submucosa, hal ini bertujuan untuk mencegah lipatan membrana mucosa
yang berlebihan tergigit dianta gigi-geligi pada saat rahang di tutup.
Membrana mucosa dari gigiva atau gusi, dilekatkan dengan kuat
keperiosteum alveolar.

2.1.1.1.1. Inervasi
 Atap: nervus palatinus major dan nervus nasopalatinus dari
divisi nervus trigeminus.
 Dasar: nervus lingualis (sensasi umum) sebuah cabang dari
divisi mandibularis nervus trigeminus, serabut-serabut
pengecap berjalan didalam chorda tympani, sebuah cabang dari
nervus facialis.
 Pipi: nervus bucalis, sebuah cabang dari divisi mandibularis
nervus trigeminus (musculus buccinator dipersarafi oleh ramus
buccalis nervus facialis).

10
2.1.1.2. Faring
Faring merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut
dengan kerongkongan (esofagus). Di dalam lengkung faring terdapat
tonsil. Tonsil merupakan dua kumpulan jaringan limfosit yang terletak
di kanan dan kiri faring di antara tiang-tiang lengkung fauses. Tonsil
bekerja sebagai garis besar pertahanan dalam infeksi yang tersebar dari
hidung, mulut dan tenggorokan (Patwa dan Shah, 2015).
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa ±14 cm dan
bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding
faring dibentuk oleh selaput lendir, fasiafaringobasiler, pembungkus
otot dan sebagian fasia bukofaringeal (Patwa dan Shah, 2015).
Faring dibagi menjadi 3 area, yaitu:
 Nasofaring (di belakang hidung): Di dinding pada daerah ini
terdapat lubang saluraneustakhius. Kelenjar-kelenjar adenoid
terdapat pada nasofaring.
 Orofaring (terletak dibelakang mulut): Kedua tonsil ada di
dinding lateral daerah faring ini.
 Laringofaring: Ialah bagian terendah yang terletak di belakang
laring.
Dinding faring terdiri atas tiga lapisan, yaitu:
 Lapisan dalam dilapisi oleh membran mukosa yang berupa
epitelium skuamosa berlapis, terus melapisi faring hingga ke
pangkal mulut dan esofagus.
 Lapisan tengah terdiri atas jaringan fibrosa yang semakin
menipis dibagian ujung bawahnya dan mengandung pembuluh
limfe dan saraf.
 Lapisan luar terdiri atas sejumlah otot involunter yang terlibat
dalam proses menelan. Saat makanan mencapai faring, proses
menelan tidak lagi di bawah kendali otot volunteer (Patwa dan
Shah, 2015).

11
2.1.1.2.1. Vaskularisasi
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-
kadang tidak beraturan, yang utama berasal dari cabang arteri karotis
eksterna (cabang faring asendens dan cabang fausial) serta dari
cabang arteri maksila interna yakni cabang palatine superior.

2.1.1.2.2. Inervasi
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari
pleksus faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang
faring dari Nervus Vagus, cabang dari Nervus Glossopharyngeus
dan serabut simpatis. Cabang faring dari Nervus Vagus berisi
serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar
cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali M.Stilofaring yang
dipersarafi langsung oleh cabang Nervus Glossopharyngeus.

2.1.1.3. Esofagus
Esofagus adalah sebuah tabung berotot yang panjangnya 20-25
cm, di atas dimulai dari faring, sampai pintu masuk kardiak lambung.
Terletak dibelakang trakea dan didepan tulang punggung. Setelah
melalui toraks, menembus diafragma, masuk kedalam abdomen, dan
menyambung dengan lambung.
Esofagus adalah suatu tabung otot yang terbentang dari
hipofaring (cervikal 6) sampai ke lambung (torakal 11) dengan panjang
23-25 cm pada dewasa. Esofagus pada awalnya berada di garis tengah
kemudian berbelok ke kiri dan kembali ke tengah setinggi mediastinum
(T7) kemudian berdeviasi ke kiri ketika melewati hiatus diafragma.
Lengkungan esofagus dilihat dari sisi anteroposterior mengikuti
lengkungan dari vertebra torakal. (Drake, R., etc, 2014)

12
Esofagus mempunyai dinding 4 lapis :
1. Lapisan selaput lendir (mukosa)
2. Lapisan submukosa
3. Lapisan otot melingkar (m.sirkuler)
4. Lapisan otot memanjang (m.longitudinal)
Pada esofagus normal terdapat 3 penyempitan (gambar 1) yaitu
pada pertemuan antara faring dan esofagus (cervikal 6 atau 15 cm dari
incisivus atas), pada persilangan arkus aorta dan bronkus kiri (torakal 4-
5 atau setinggi 25 cm dari incisivus atas) dan pada hiatus diafragma
(torakal 10 atau 40 cm dari incisivus atas). Lumen esofagus mempunyai
diameter yang berbeda pada tiap-tiap lokasi serta mempunyai
kemampuan elastisitas yang tinggi.

Gambar 1. Anatomi esofagus dan jarak penyempitan pada esofagus dari


inscisivus atas.
Otot esofagus sepertiga bagian atas adalah otot serat lintang
yang berhubungan erat dengan otot-otot faring, sedangkan dua pertiga
bagian bawah adalah otot polos yang terdiri atas otot sirkular dan otot
logitudinal. Esofagus menyempit pada tiga tempat, penyempitan
pertama yang bersifat sfigter, terletak setinggi tulang rawan krikoid
pada batas antara faring dan esofagus, yaitu tempat peralihan otot serat
lintang menjadi otot polos. Penyempitan kedua terletak di rongga dada

13
bagian tengah, akibat tertekan lengkung aorta dan bronkus utama kiri.
Penyempitan terakhir terletak pada hiatus esofagus diafragma, yaitu
tempat esofagus berakhir di kardia lambung. Otot polos pada bagian ini
murni bersifat sfingter.

2.1.1.3.1. Vaskularisasi
Arteri tiroidea inferior kanan dan kiri yang berasal dari arteri
subklavia kiri dan kanan, arteri bronkialis dekstra yang berasal dari
bronkus kanan, arteri bronkialis sinistra superior dan inferior, yang
berasal dari bronkus kiri, arteri esofagealis aorta yang berasal dari
aorta, arteri frenika inferior gastrika sinistra. Vena porta dan vena
kava superior melalui pleksus vena didinding esofagus, hubungan
antara vena porta dan vena superior berjalan dari kaudal ke kranial
melalui vena gastrika sinistra, vena koronaria, pleksus vena di
submukosa dinding esofagus, vena hemiazigos dan vena azigos ke
vena kava superior.

2.1.1.3.2. Inervasi
 Parasimpatis berasal dari N.vagus yang membentuk plexus
oesophageal yang di distal menyatu membentuk truncus vagalis
anterior dan posterior.
 Simpatis berasal dari N.splanchnicus thoracalis dan
N.splanchnicus major. Saraf simpatis ini membawa rangsang
nyeri dari oesophagus yang sakit akhirnya dirasakan di daerah
thoracal bawah dari regio epigastrica (Snell, 2014).

2.1.1.4. Gaster
Gaster merupakan bagian dari traktus gastrointestinal pertama
yang berada di intra abdominal, terletak di antara esophagus dan
duodenum. Terletak pada daerah epigastrium dan meluas ke
hipokhondrium kiri, berbentuk melengkung seperti huruf “J” dengan

14
mempunyai paries anterior (superior) dan paries posterior (inferior).
Seluruh organ lambung terdapat di dalam rongga peritoneum dan
ditutupi oleh omentum.

Gambar 2. Pembagian daerah anatomi gaster

Gaster terbagi atas 5 daerah secara anatomik (gambar 2),


yaitu: pars cardiaca, bagian gaster yang berhubungan dengan
esofagus di mana di dalamnya terdapat ostium cardiacum. Fundus
gaster, bagian yang berbentuk seperti kubah yang berlokasi pada
bagian kiri dari kardia dan meluas ke superior melebihi tinggi pada
bagian gastroesofageal junction. Korpus gaster, merupakan 2/3
bagian dari lambung dan berada di bawah fundus sampai ke bagian
paling bawah yang melengkung ke kanan membentuk huruf “J”.
Pars pilori, terdiri dari dua bangunan yaitu anthrum pyloricum dan
pylorus. Di dalam antrum pyloricum terdapat canalis pyloricus dan
didalam pylorus terdapat ostium pyloricum yang dikelilingi
m.sphincter pyloricus. Dari luar m.sphincter pylorus ini ditandai
adanya v. prepylorica (Mayo). (Oktarida, 2016)

15
2.1.1.4.1. Vaskularisasi
 Suplai arteri: pada curvatura minor di dalam omentum minus
terdapat a.gastrica sinistra yang merupakan cabang terkecil dari
a.coeliaca dan a.gastrica dextra cabang dari a.hepatica
communis. Kedua arteriae ini beranastomose kira-kira
pertengahan curvatura minor. Sedangkan pada curvatura major
mempunyai suplai aa.gastrica breves yang endarahi fudus dan
pars cardiac gaster, a. Gastroomentalis sinistra yang mendapat
suplai dari a.gastrica dextra cabang dari a.gastroduodenalis
(Snell, 2014).

 Sistem vena anlog dengan arterinya di mana vv.gastricae breves


dan plexus esophageal mengalir ke dalam v.lienalis. v.gastrica
sinistra dan plexus esophageal mengalir ke dalam v.porta.
sedangkan v.gastrica dextra setelah menerima v.prepylorica
selanjutnya mengalir ke dalam v.porta setinggi pars superior
duodeni. Aliran v.gastroomentalis dextra mengalir ke dalam
v.gastroduodenalis (Snell, 2014).

2.1.1.4.2. Inervasi
 Parasimpatis berfungsi untuk gerak motilitas (pengosongan
gaster dan sekretomotor kelenjar). Gaster mendapat suplai dari
n.vagus sinistra (anterior) dan n.vagus dextra (posterior) masing-
masing melalui truncus vagalisnya. N.vagus sinistra memberi
percabangan untuk hepar yang bersama a.hepatica dan v.porta
untuk mencapai plexus hepaticu. Cabang untuk gaster sendiri
berupa cabang-cabang pada fundus dan corpus pada paries
anterior, cabang yang paling panjang disebut n.latarget anterior
yang mencapai antrum dan pylorus. N.vagus dextra seperti yang
sebelah sinistra selain memberi suplai ke gaster akan
memberikan cabang ke plexus coeliacus. Cabang-cabang ke

16
gaster terdapat diparies posterior pada fundus dan corpus,
bedanya n.latarget posterior hanya mencapai antrum pyloricum
(Snell, 2014).

 Simpatis: serabut afferennya membawa impuls nyeri sedangkan


efferennya mempunyai inhibisi terhadap motilitas dan sekrei
kelenjar tetapi menyebabkan kontraksi terhadap m.sphincter
pyloricus. Selain itu juga memberikan pengaruh terhadap
vasokontriksi arteri. Nervus simpatis ini berasal dari nn.spinales
thoracal 5-12 mencapai gaster melalui n.splanchnicus major,
n.splanchnicus minor dan selanjutnya ke plexus coeliacus (Snell,
2014).

2.1.1.4.3. Sistem Limfatik


Aliran limfe pada gaster yaitu mengikuti perjalanan aretri
menuju ke nodi gastric sinistri dan dextri, nodi gastroepiploici inistri
dan dextri, serta nodi gastric breves. Semua cairan limfe dari gaster
akhirnya berjalan ke nodi coeliaci (Snell, 2014).

2.1.1.5. Intestinum Tenue (Usus Halus)


Usus halus merupakan suatu tabung yang kompleks, berlipat-
lipat dan membentang dari pilorus hingga katup ilosekal. Usus halus
terbagi menjadi duodenum, jejunum dan ileum. Pemisahan jejunum dan
duodenum di tandai oleh adanya ligamentum treitz yang berfungsi
sebagai penggantung.
1. Duodenum
Duodenum atau biasa disebut dengan usus 12 jari merupakan
salah satu dari tiga bagian utama pada usus halus dan berbentuk seperti
huruf C yang menghubungkan lambung dengan bagian lain dari usus
halus. Secara anatomis, duodenum terletak pada regio epigastrika dan
umbilikalis. Duodenum dibagi dalam empat bagian yang tersusun secara

17
berurutan. Bagian pertama dari duodenum berasal dari pylorus lambung
lalu berjalan ke atas dan belakang hingga setinggi vertebra lumbalis II,
bagian kedua yang berjalan vertikal ke bawah di depan hilum renale
dextrum di sisi kanan vertebra lumbalis II dan III, bagian ketiga yang
berjalan horizontal lalu melintas di depan columna vertebralis dan
berjalan menyusuri sisi bawah kaput pankreatis, dan bagian keempat
yang berjalan ke atas lalu ke kiri hingga mencapai flexura
duodenojejunalis, yang tetap berada pada posisinya karena ditahan oleh
ligamentum Treitz (Snell, 2014).

Gambar 3. Intestinum Tenue

Struktur mukosa duodenum membentuk kerutan-kerutan yang


berbentuk sirkular, yang disebut plicae circulares. Struktur kerutan ini
dijumpai di seluruh bagian duodenum kecuali di bagian pertama, yang
struktur mukosanya cenderung halus. Pada plicae circulares di dinding
pertengahan pada bagian kedua duodenum, khususnya pada muara ductus
choledochus dan ductus 6 pancreaticus, terdapat suatu peninggian kecil
yang berbentuk bulat dan disebut sebagai papilla duodeni major (Snell,
2014).

18
2. Jejenum dan Ileum
Jejenum dan ileum sering disebut juga dengan usus halus atau usus
penyerapan membentang dari flexura duodenojejunales sampai ke juncture
oleocacaecalis. Jejenum dan ileum ini sama-sama merupakan organ
intraperitoneal. Jejunum dan ileum memiliki penggantung yang disebut
dengan messenterium yang memiliki proyeksi ke dinding posterior
abdomen dan disebut dengan radix mesenterii. Pada bagian akhir dari ileum
akan terdapat sebuah katup yang disebut dengan valvula ileocaecal (valvula
bauhini) yang merupakan salah satu batas yang memisahkan antara
intestinum tenue dengan intestinum crassum. Selain itu juga berfungsi untuk
mencegah terjadinya refleks fekalit maupun flora normal dalam
intestinumcrassum kembali ke intestinum tenue, dan juga untuk mengantur
pengeluaran zat sisa penyerapan nutrisi.

Gambar 4. Intestinum

2.1.1.5.1. Vaskularisasi
 Vaskularisasi duodenum:
 Suplai arteri duodenum pars superior dari a.gastroduodenalis
yang dicabangkan oleh a.hepatica communis. Selain itu
terdapat arteri yang mendarahi sisi posterior dari duodenum
pars superior yaitu a.retroduodenalis cabang

19
a.gastroduodenalis. Sedangkan bagian duodenum yang lain
mendapat suplai dari a.pancreaticoduodenalis inferior
cabang dari a.mesenterica superior (Snell, 2014).
 Sistem vena, pars superior duodenum melalui
gastroduodenalis bermuara kedalam v.porta. Bagian
duodenum yang lain mengalir ke dalam v.mesenterica
superior melalui v.pancreaticoduodenalis inferior. Oleh
karena bagian ini terletak retroperitoneal sekunder, venae ini
beranastomose dengan vena sistemik melalui anastomosis
transperitoneal (v.retzius) (Snell, 2014).

 Vaskularisasi jejunum dan ileum:


 Jejunum divaskularisasi oleh a.jejunales dan ileum
divaskularisasi a.ileales. Dimana arteri ini merupakan
cabang dari a. Mesenterica superior (Snell, 2014).
 V.jejunales dan v.ileales juga sama-sama bermuara ke
v.mesenterica superior (Snell, 2014).

2.1.1.5.2. Inervasi
 Inervasi duodenum:
 Parasimpatis, dari n.vagus melalui plexus coeliacus yang
mempengaruhi peristaltic dan sekresi kelenjar duodenum.
 Simpatis, dari n.splanchnicus major, ganglion coeliacus dan
plexus coeliacus afferens sympathies membawa rangsang
nyeri melalui n.splanchnicus ke rangkaian ganglion
sympathicus melalui ramus communicans albus menuju
n.spinalis T 7-9 (Snell, 2014).

20
 Inervasi jejunum dan ileum:
 Parasimpatis, serabut-serabutnya berasal dari n.vagus dextra
melalui plexus coeliacus selanjutnya serabut postganglioner
ini ke plexus mesentericus superior dan akhirnya menuju
jejunum dan ileum.
 Simpatis berasal dari medulla spinalis thoracal 9-10, serabut-
serabut preganglioner menuju plexus coeliacus yang
selanjutnya ke plexus mesentericus superior untuk berganti
neuron (Snell, 2014).

2.1.1.6. Intestinum Crassum


Intestinum crassum (usus besar) terdiri dari caecum, appendix
vermiformiis, colon, rectum dan canalis analis. Caecum adalah bagian
pertama intestinum crassum dan beralih menjadi colon ascendens
Panjang dan lebarnya kurang lebih 6 cm dan 7,5 cm. Caecum terletak
pada fossa iliaca kanan di atas setengah bagian lateralis ligamentum
inguinale.
Appendix Vermiformis berupa pipa buntu yang berbentuk
cacing dan berhubungan dengan caecum di sebelah kaudal peralihan
ileosekal. Colon ascendens panjangnya kurang lebih 15 cm, dan
terbentang dari caecum sampai ke permukaan visceral dari lobus kanan
hepar untuk membelok ke kiri pada flexura coli dextra untuk beralih
menjadi colon transversum.
Colon transversum merupakan bagian usus besar yang paling
besar dan paling dapat bergerak bebas karena bergantung pada
mesocolon, yang ikut membentuk omentum majus. Panjangnya antara
45-50 cm.
Colon descendens panjangnya kurang lebih 25 cm. Colon
descendens melintas retroperitoneal dari flexura coli sinistra ke fossa
iliaca sinistra dan disini beralih menjadi colon sigmoideum. Colon
sigmoideum disebut juga colon pelvinum. Panjangnya kurang lebih 40

21
cm dan berbentuk lengkungan huruf S. Rectum adalah bagian akhir
intestinum crassum yang terfiksasi. Ke arah kaudal rectum beralih
menjadi canalis analis.
Fungsi utama kolon adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus
untuk membentuk feses yang padat dan penimbunan bahan feses sampai
dapat dikeluarkan, kolon mengubah 1000-2000 ml kimus isotonik yang
masuk setiap hari dari ileum menjadi tinja semipadat dengan volume
sekitar 200-250 ml.
Sebagian besar absorpsi dalam usus besar terjadi pada
pertengahan proksimal kolon, sehingga bagian ini dinamakan kolon
pengabsorpsi, sedangkan kolon bagian distal pada prinsipnya berfungsi
sebagai tempat penyimpanan feses sampai waktu yang tepat untuk
ekskresi feses dan oleh karena itu disebut kolon penyimpanan. Banyak
bakteri, khususnya basil kolon, bahkan terdapat secara normal pada
kolon pengabsorpsi. Bakteri-bakteri ini mampu mencernakan sejumlah
kecil selulosa, dengan cara ini menyediakan beberapa kalori nutrisi
tambahan untuk tubuh.

2.1.1.6.1. Vaskularisasi
 Pendarahan colon ascendens dan flexura coli dextra terjadi
melalui arteri ileocolica dan arteri colica dextra, cabang arteri
mesenterica superior. Vena ileocolica dan vena colica dextra,
anak cabang mesenterika superior, mengalirkan balik darah dari
colon ascendens.
 Pendarahan colon transversum terutama terjadi melalui arteria
colica media, cabang arteria mesenterica superior, tetapi
memperoleh juga darah melalui arteri colica dextra dan arteri
colica sinistra. Penyaluran balik darah dari colon transversum
terjadi melalui vena mesenterica superior.

22
2.1.1.7. Anus
Anus adalah bagian terakhir dari saluran pencernaan. Panjang
anus adalah kira-kita 4-5 cm. Anus memainkan peranan penting untuk
defekasi. Sekiranya terjadi kelainan, defekasi tidak dapat berlangsung
normal. Terdapat beberapa otot yang membantu anus agar defekasi
lancar seperti m.puborektal merupakan bagian dari otot levator ani,
sfingter ani eksternus (otot lurik) dan sfingter ani internus (otot polos).

Gambar 5. Anus (Netter, 2014)

Anus adalah bagian terakhir dari sistem pencernaan pada


manusia dan hewan, anus yang juga sering disebut dengan dubur ialah
perpanjangan dari rektum yang terletak di luar tubuh, terbuka atau
tertutupnya anus diatur oleh otot sfingter.

23
Gambar 6. Vaskularisasi rectum (Snell, 2014).

2.1.1.7.1. Vaskularisasi
 Pendarahan Arteri
 Arteri hemoroidalis superior adalah kelanjutan langsung
a.mesenterika inferior. Arteri ini membagi diri menjadi dua
cabang utama: kiri dan kanan. Cabang yang kanan
bercabang lagi. Letak ketiga cabang terakhir ini mungkin
dapat menjelaskan letak hemoroid dalam yang khas yaitu
dua buah di setiap perempat sebelah kanan dan sebuah
diperempat lateral kiri.
 Arteri hemoroidalis medialis merupakan percabangan
anterior a.iliaka interna, sedangkan a.hemoroidalis inferior
adalah cabang a.pudenda interna. Anastomosis antara
arkade pembuluh inferior dan superior merupakan sirkulasi
kolateral yang mempunyai makna penting pada tindak
bedah atau sumbatan aterosklerotik didaerah percabangan
aorta dan a.iliaka.

24
 Pendarahan Vena
Vena hemoroidalis superior berasal dari pleksus
hemoroidalis internus dan berjalan kearah kranial kedalam
v.mesenterika inferior dan seterusnya melalui v.lienalis ke vena
porta. Vena ini tidak berkatup sehingga tekanan ronggga perut
menentukan tekanan di dalamnnya.

2.1.1.7.2. Sistem Limfatik


Pembuluh limfe dari kanalis membentuk pleksus halus yang
menyalirkan isinya menuju ke kelenjar limfe inguinal, selanjutnya
dari sini cairan limfe terus mengalir sampai ke kelenjar limfe iliaka.
Infeksi dan tumor ganas di daerah anus dapat mengakibatkan
limfadenopati inguinal. Pembuluh limfe dari rektum di atas garis
anorektum berjalan seiring dengan v.hemoroidalis superior dan
melanjut ke kelenjar limf mesenterika inferior dan aorta. Operasi
radikal untuk eradikasi karsinoma rektum dan anus didasarkan pada
anatomi saluran limfe ini.

2.1.1.7.3. Inervasi
Inervasi kanalis ani diatur oleh saraf somatik sehingga sangat
sensitif terhadap rasa sakit, sedang rektum oleh saraf viseral
sehingga kurang sensitif terhadap rasa sakit. Rektum diinervasi oleh
saraf simpatis dari pleksus mesenterika inferior dan n.presakralis
(hipogastrica) yang berasal dari L2,3,4 dan saraf parasimpatis dari
S2,3,4.

25
2.1.2. Accessory Organ (Organ Tambahan)
Organ-organ tambahan pencernaan adalah organ-organ yang
mengeluarkan zat-zat yang dibutuhkan untuk pencernaan kimiawi makanan
tetapi makanan tidak benar-benar lewat sebagaimana dicerna, yaitu gigi,
lidah, glandula salivarius, hepar, empedu, dan pankreas. Selain hati, organ
aksesori utama pencernaan adalah kantong empedu dan pankreas. Organ-
organ ini mengeluarkan atau menyimpan zat-zat yang dibutuhkan untuk
pencernaan di bagian pertama usus halus, duodenum, tempat sebagian besar
pencernaan kimiawi terjadi. (Wakim & Grewal, 2020)

2.1.2.1. Gigi
Gigi merupakan organ pertama yang melakukan digesti
mekanis. Pertama, makanan digigit oleh gigi depan (incisura), kemudian
gigi taring (kanina) memecah makanan menjadi bagian kecil.
Selanjutnya, makanan dipotong menjadi bagian lebih kecil lagi oleh gigi
premolar. Setelah itu, gigi molar menggiling makanan sebagai akhir dari
proses digesti mekanis di rongga mulut. Gigi geligi sangat kuat, gigi
depan yang memecah dan menggiling makanan bisa mengeluarkan
kekuatan sampai 40 kg, sedangkan gigi molar mempunyai kekuatan
menggilas hingga 50 - 125 kg. Kunyahan gigi meningkatkan luas
permukaan makanan sehingga penetrasi enzim digesti yang terkandung
dalam saliva menjadi lebih mudah. Selain itu, lidah turut membantu
gerakan ke depan, belakang, dan samping untuk mengoptimalkan
pencampuran makanan dengan saliva. Tidak hanya memecah makanan,
digesti mekanis juga merangsang impuls saraf yang memicu sekresi
cairan lambung dan mempersiapan proses menelan.

26
2.1.2.2. Lidah
Lidah adalah suatu organ muskular yang berhubungan dengan
pengunyahan, pengecapan dan pengucapan yang terletak pada sebagian
di rongga mulut dan faring. Lidah berfungsi untuk merasakan
rangsangan rasa dari benda-benda yang masuk ke dalam mulut (Drake,
2014).

Gambar 7. Anatomi lidah (Drake, 2014)

Lidah dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu radiks, korpus,


dan apeks. Radiks lidah melekat pada tulang hioid dan mandibula, di
bagian bawah kedua tulang terdapat otot geniohioid dan otot milohioid.
Korpus lidah bentuknya cembung dan bersama apeks membentuk
duapertiga anterior lidah. Radiks dan korpus dipisahkan oleh alur yang
berbentuk ”V” yang disebut sulkus terminalis (Drake, 2014).
Lidah dipersarafi oleh saraf sensoris yaitu, duapertiga anterior
oleh nervus lingualis dan sepertiga posterior oleh nervus lingualis,
glosofaring dan vagus. Lidah juga dipersarafi oleh saraf pengecap yaitu,
duapertiga anterior oleh serabut-serabut nervus fasialis dan satupertiga
posterior oleh nervus glosofaring. Serta saraf motorik Yang

27
mempersarafi otot-otot lidah yaitu otot stiloglosus, hioglosus dan
genioglosus (Drake, 2014).
Lidah di perdarahi oleh arteri lingualis yang merupakan cabang
dari arteri karotis eksterna. Arteri ini terus berjalan melewati otot-otot
pengunyahan bagian posterior menuju ke tulang hioid, kemudian
bersama-sama dengan nervus hipoglosus dan vena lingualis menuju
otot hioglosus. Setelah melewati otot hioglosus arteri lingualis ini
bercabang, yaitu rami dorsalis lingual dan di ujung anterior terbagi lagi
menjadi dua cabang terminalis yaitu, arteri sublingualis yang berjalan
diantara otot genioglosus dan glandula sublingual. Serta arteri lingualis
profunda terletak di bagian lateral permukaan bawah lidah (Drake,
2014).
Vena lingualis profunda terletak pada membran mukosa bagian
lateral bawah lidah. Vena lingualis profunda dan vena sublingualis
bergabung dengan dorsal lingualis di daerah posterior dari otot
hioglossus, lalu berjalan menuju vena jugularis (Drake, 2014).
Pembuluh limfe berjalan di belakang papila sirkumvalata
menuju posterior menembus dinding faring dan memasuki nodus
limfatikus di daerah servikal yang terletak di sebelah lateral vena
jugularis interna yang terdiri dari pembuluh marginal yaitu terdapat
pada satupertiga luar dari permukaan atas lidah. Pembuluh marginal
terbagi menjadi dua bagian, bagian anterior berjalan dari ujung lidah
dan berakhir di nodus limfatikus submaksilaris, bagian posterior
berjalan di belakang otot milohioid dan berakhir di nodus jugulo
omohioiedeus. Dan pembuluh sentral yang berjalan dari ujung lidah ke
bawah melalui otot miloihioid dan berakhir pada nodus submental
(Drake, 2014).

28
2.1.2.3. Glandula Salivarius
Bersamaan dengan proses mengunyah, tiga pasang kelenjar
ludah di mulut menghasilkan saliva. Dalam sehari, tubuh kurang-lebih
menghasilkan 1-1,5 kuarta saliva yang berfungsi untuk menjaga
kelembapan mulut, melarutkan makanan agar dapat dirasakan oleh indra
pengecap, membilas gigi agar tetap bersih, dan melumasi makanan
dengan musin agar mudah ditelan. Selain itu, saliva juga mengandung
enzim amilase atau ptyalin yang berfungsi untuk memecah zat tepung
menjadi maltosa serta mengandung lisozim (lysozyme) yang dapat
mencerna dinding sel bakteri sehingga berfungsi dalam pertahanan
tubuh terhadap kuman. Setelah proses digesti mekanis dan kimia di
rongga mulut, lidah akan memindahkan bolus-bolus makanan ke dalam
faring sebagai langkah awal menelan (Snell, 2014).

 Kelenjar Saliva mayor


Kelenjar saliva ini merupakan kelenjar saliva terbanyak dan
ditemui berpasang-pasangan pada daerah ekstraoral serta memiliki
duktus yang panjang. Duktus ini menyalurkan sekresi saliva ke dalam
rongga mulut. Menurut struktur anatomi dan letaknya, kelenjar saliva
mayor dapat dibagi atas tiga tipe yaitu parotis, submandibularis dan
sublingualis.
a) Kelenjar Parotid
Pasangan kelenjar parotid merupakan kelenjar saliva yang
terbesar. Letak kelenjar ini adalah di ruang antara batas posterior
ramus mandibular dan prosesus mastoideus tulang temporal.
Bentuk kelenjar parotis bervariasi. Namun, seringkali ditemui
berbentuk segitiga dengan bagian apeks menuju inferior.
Cabang utama dari saraf kranial ketujuh (saraf fasial)
membagi kelenjar parotis secara kasar kepada lobus superfisial dan
lobus mendalam. Duktus-duktus kecil dari berbagai daerah di
kelenjar ini bergabung dan menyatu di sudut anterosuperior parotis

29
lalu membentuk duktus Stensen. Duktus Stensen ini merupakan
duktus mayor dari kelenjar parotis dan mempunyai diameter kira-
kira 1 hingga 3 milimeter dan panjang 6 sentimeter. Saluran keluar
yang utama ini terdiri dari epitel berlapis semu, bermuara ke dalam
vestibulum rongga mulut berhadapan dengan gigi molar kedua
atas. Di bagian anterior, kapsul pembungkus lapisan superfisial
kelenjar parotis lebih tebal dibandingkan di bagian posterior yang
lebih tipis menyerupai membran translusen. Secara histologisnya
mengandung asinus serus yang terdiri dari sel-sel pyramid, duktus
interkalata, dan duktus striata. Bagian permulaan dari saluran
tersebut adalah duktus interkalata yang panjang, dibatasi oleh
epitel pipih dan mengandung sel mioepitel. Duktus interkalata
bermuara ke dalam duktus sekretorius yang lebih besar. Kedua
jenis saluran ini terletak lobular. Duktus sekretorius dibatasi oleh
epitel silindris selapis, dan sering disebut juga sebagai saluran
bergaris atau duktus striata karena bila dilihat dengan mikroskop
cahaya tampak bergaris-garis pada bagian basalnya. Kelenjar ini
menghasilkan suatu sekret yang kaya air (sel serous) dan bersifat
basofilik.
b) Kelenjar Submandibula
Kelenjar submandibularis merupakan kelenjar kedua
terbesar dan ukurannya kira-kira seperempat dari kelenjar parotid.
Ia terdiri dari lobus superfisial berukuran besar yang terletak dalam
segitiga digastric di leher dan lobus profunda yang terletak di lantai
mulut posterior. Kedua lobus ini bersifat saling menyambung
antara satu sama lain di seluruh daerah perbatasan posterior otot
milohioid. Dua ‘lobus’ ini ternyata adalah tidak tepat secara
embriologi karena kelenjar submandibula berkembang dari
jaringan epitelium yang tunggal. Namun jika dibedah dua lobus
tersebut merupakan dua bagian yang terpisah. Duktus Wharton
ialah duktus utama untuk kelenjar submandibula dan panjangnya

30
kira-kira 5 sentimeter dan dindingnya lebih tipis dibandingkan
duktus Stensen di kelenjar parotid. Sekresi kelenjar ini bersifat
campuran dengan sifat mukus yang paling dominan.
c) Kelenjar Sublingual
Kelenjar yang terletak di antara dasar mulut dan otot
milohioid ini merupakan kelenjar yang terkecil di antara kelenjar-
kelenjar yang lain. Saraf lingual dan duktus Wharton memisahkan
kontur di antara kelenjar sublingual dan otot genioglosus. Terdapat
kira-kira 8-20 buah duktus kecil yang dipanggil sebagai duktus
Rivinus, yang mana membuka secara bebas di lantai mulut
bersama lipatan-lipatan serta papila sublingual. Kadang-kadang
duktus ini menyatu lalu membentuk duktus utama, yaitu duktus
Bhartolin. Kelenjar ini tidak memiliki kapsul yang dapat
melindunginya, dan secara histologis kelenjar ini terdiri dari asini
musin. Oleh karena itu kelenjar sublingual menghasilkan sekret
yang mukous dan konsistensinya kental (Snell, 2014).

 Kelenjar Saliva Minor


Kelenjar saliva minor terdiri dari kelenjar-kelenjar kecil yang
dapat dapat ditemui pada hampir seluruh epitel di bawah rongga mulut
dan orofaring. Kelenjar ini terdiri dari beberapa unit sekresi kecil dan
melewati duktus pendek yang berhubungan langsung dengan rongga
mulut. Kelenjar-kelenjar kecil ini membentuk beberapa kelompok
kelenjar mengikut lokasi seperti kelenjar labial, bukal, glosopalatinal,
palatal, dan lingual (Snell, 2014).
a) Kelenjar Glossopalatinal
Kelenjar ini terletak di dalam isthmus dari lipatan
glossopalatinal dan dapat meluas ke bagian posterior dari kelenjar
sublingual ke kelenjar yang ada di palatum mole. Cairan sekresinya
bersifat mukus.

31
b) Kelenjar Labial
Kelenjar ini terletak di submukosa bibir dan banyak ditemui
pada garis tengah dan memiliki banyak duktus. Cairan sekresinya
bersifat mukus dan serous.
c) Kelenjar Bukal
Lokasi dari kelenjar ini adalah pada mukosa pipi. Kelenjar
ini serupa dengan kelenjar labial dan mensekresi cairan yang
bersifat campuran, yaitu mukus dan serous.
d) Kelenjar Palatinal
Kelenjar ini mensekresi cairan bersifat mukus dan terletak di
kedua palatum lunak dan keras.
e) Kelenjar Lingual
Kelenjar lingual terbagi kepada dareah anterior (di otot
ventral) dan posterior (di pangkal lidah) dan kebanyakan cairan
sekresinya bersifat mukus. Kelenjar lingual posterior yang
mendalam mensekresi cairan serous secara predominan. Selain itu,
terdapat kelenjar serous tambahan Van Ebner di sekitar papila
sirkumvalasi di hujung lidah (Snell, 2014).

2.1.2.4. Hepar
Hepar merupakan organ terbesar, terletak di kuadran kanan atas
rongga abdomen. Hepar melakukan banyak fungsi penting dan berbeda-
beda dan tergantung pada sistem darahnya yang unik dan sel-selnya
yang sangat khusus. Hepar tertutupi kapsul fibroelastik berupa kapsul
glisson. Kapsul glisson berisi pembuluh darah, pembuluh limfe, dan
saraf. Hepar terbagi menjadi lobus kanan dan lobus kiri. Tiap lobus
tersusun atas unit-unit kecil yang disebut lobulus. Lobulus terdiri sel-sel
hati, disebut hepatosit yang menyatu dalam lempeng. Hepatosit dan
jaringan hati mudah mengalami regenerasi.

32
Hati menerima darah dari 2 sumber, yaitu arteri hepatika
(banyak mengandung oksigen) yang mengalirkan darah ±500 ml/mnt
dan vena porta (kurang kandungan oksigen tapi kaya zat gizi, dan
mungkin berisi zat toksik dan bakteri) yang menerima darah dari
lambung, usus, pankreas dan limpa; mengalirkan darah ±1000 ml/mnt.
Kedua sumber tersebut mengalir ke kapiler hati yang disebut sinusoid
lalu diteruskan ke vena sentralis ditiap lobulus. Dan dari semua lobulus
ke vena hepatika berlanjut ke vena kava inferior.
Tekanan darah di sistem porta hepatika sangat rendah, ±3 mmHg
dan di vena kava hampir 0 mmHg. Karena tidak ada resistensi aliran
melalui vena porta dan vena kava sehingga darah mudah masuk dan
keluar hati.
Hati manusia dewasa normal memiliki massa sekitar 1,4 kg atau
sekitar 2.5% dari massa tubuh. Letaknya berada di bagian teratas rongga
abdominal, disebelah kanan, dibawah diagfragma dan menempati
hampir seluruh bagian dari hypocondrium kanan dan sebagian
epigastrium abdomen. Permukaan atas berbentuk cembung dan berada
dibawah diafragma, permukaan bawah tidak rata dan memperlihatkan
lekukan fisura transverses. Permukaannya dilapisi pembuluh darah yang
keluar masuk hati.

2.1.2.5. Vesica Fellea


Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah pir
yang terletak di bagian sebelah dalam hati (scissura utama hati) di antara
lobus kanan dan lobus kiri hati. Panjang kurang lebih 7,5 – 12 cm,
dengan kapasitas normal sekitar 35-50 ml. Kandung empedu terdiri dari
fundus, korpus, infundibulum, dan kolum. Fundus mempunyai bentuk
bulat dengan ujung yang buntu. Korpus merupakan bagian terbesar dari
kandung empedu yang sebagian besar menempel dan tertanam didalam
jaringan hati sedangkan Kolum adalah bagian sempit dari kandung
empedu. Kandung empedu tertutup seluruhnya oleh peritoneum viseral,

33
tetapi infundibulum kandung empedu tidak terfiksasi ke permukaan hati
oleh lapisan peritoneum. Apabila kandung empedu mengalami distensi
akibat bendungan oleh batu, bagian infundibulum menonjol seperti
kantong yang disebut kantong Hartmann ((Reiza, 2014).

Duktus sistikus memiliki panjang yang bervariasi hingga 3 cm


dengan diameter antara 1-3 mm. Dinding lumennya terdapat katup
berbentuk spiral yang disebut katup spiral Heister dimana katup tersebut
mengatur cairan empedu mengalir masuk ke dalam kandung empedu,
akan tetapi dapat menahan aliran cairan empedu keluar. Duktus sistikus
bergabung dengan duktus hepatikus komunis membentuk duktus biliaris
komunis (Reiza, 2014).

34
Duktus hepatikus komunis memiliki panjang kurang lebih 2,5 cm
merupakan penyatuan dari duktus hepatikus kanan dan duktus hepatikus
kiri. Selanjutnya penyatuan antara duktus sistikus dengan duktus
hepatikus komunis disebut sebagai common bile duct (duktus koledokus)
yang memiliki panjang sekitar 7 cm. Pertemuan (muara) duktus
koledokus ke dalam duodenum, disebut choledochoduodenal junction.
Duktus koledokus berjalan di belakang duodenum menembus jaringan
pankreas dan dinding duodenum membentuk papila vater yang terletak
di sebelah medial dinding duodenum. Ujung distalnya dikelilingi oleh
otot sfingter oddi yang mengatur aliran empedu masuk ke dalam
duodenum. Duktus pankreatikus umumnya bermuara ditempat yang
sama dengan duktus koledokus di dalam papila vater, tetapi dapat juga
terpisah (Reiza, 2014).
Pasokan darah ke kandung empedu adalah melalui arteri sistikus
yang terbagi menjadi anterior dan posterior dimana arteri sistikus
merupakan cabang dari arteri hepatikus kanan yang terletak di belakang
dari arteri duktus hepatis komunis tetapi arteri sistikus asesorius sesekali
dapat muncul dari arteri gastroduodenal. Arteri sistikus muncul dari
segitiga Calot (dibentuk oleh duktus sistikus, common hepatic ducts, dan
ujung hepar) (Reiza, 2014).

2.1.2.6. Pankreas
Pankreas terletak di perut bagian atas di belakang perut.
Pankreas adalah bagian dari sistem pencernaan yang membuat dan
mengeluarkan enzim pencernaan ke dalam usus, dan juga organ
endokrin yang membuat dan mengeluarkan hormon ke dalam darah
untuk mengontrol metabolisme energi dan penyimpanan seluruh tubuh.

35
Gambar 9. Pankreas
Jaringan penyusun pancreas terdiri dari:
1. Jaringan eksokrin, berupa sel sekretorik yang berbentuk seperti
anggur yang disebut sebagai asinus/Pancreatic acini merupakan
jaringan yang menghasilkan enzim pencernaan ke dalam
duodenum.
2. Jaringan endokrin yang terdiri dari pulau-pulau Langerhans/Islet
of Langerhans yang tersebar di seluruh jaringan pankreas, yang
menghasilkan insulin dan glukagon ke dalam darah.

Gambar 10. Jaringan Penyusun Pankreas

36
Pulau-pulau Langerhans tersebut terdiri dari beberapa sel, yaitu:
 Sel α (sekitar 20%), menghasilkan hormon glukagon
 Sel ß (dengan jumlah paling banyak 70%), menghasilkan hormon insulin
 Sel δ (sekitar 5-10%), menghasilkan hormon Somatostatin
 Sel F atau PP (paling jarang), menghasilkan polipeptida pankreas. (Oktarida,
2016)

2.2. Fisiologi Sistem Digestif


2.2.1. Mekanisme Perjalanan Makanan
- Rongga Mulut
Makanan masuk ke dalam tubuh pertama kali melalui rongga mulut
dan dalam dicerna secara mekanik oleh gigi yang tersusun atas struktur
seperti tulang (dentin) yang dilapisi jaringan yang paling kuat pada tubuh,
yaitu enamel.Selain secara mekanik, adanya ludah (saliva) yang
mengandung enzim amilase yang mengubah karbohidrat makanan menjadi
maltosa dan dextrosa; dan enzim lipase yang memecah lemak menjadi
bentuk yang lebih sederhana.
- Faring
Setelah selesai proses di mulut, bolus akan masuk menuju faring.
Untuk mencegah masuknya makanan ke dalam saluran nafas pada Laring
ofaring terdapat suatu kartilago elastis, yaitu epiglotis yang akan menutup
saat menelan sehingga rongga laring akan menutup dan makanan masuk ke
dalam esofagus.
- Esofagus
Esofagus merupakan suatu tabung muskular yang akan dilalui
makanan yang masuk dari faring dan memiliki sfingter pada bagian atas dan
bawah. Sfingter atas mencegah kembalinya makanan ke faring, sedangkan
sfingter sebelah bawah mencegah makanan yang sudah sampai ke gaster
kembali ke dalam esofagus. Makanan masuk melalui esofagus menuju

37
gaster dibantu dengan adanya gerakan peristaltik dan gaya berat dari
makanan itu sendiri, serta adanya relaksasi otot sfingter bawah esofagus.
- Lambung
Setelah makanan masuk ke gaster terjadi pencernaan secara mekanik
oleh gerak otot-otot dinding gaster dan secara kimiawi oleh sekret yang
dikeluarkan oleh mukosa gaster. Mukosa gaster menghasilkan:
o Asam hidroklorik yang berfungsi sebagai anti kuman.
o Faktor intrinsik (oleh sel parietal pada fundus gaster) yang
berperan dalam absorpsi vitamin B12.
o Pepsinogen yang berfungsi memecah protein.
o Lipase gastrik (oleh sel chief pada fundus gaster) berfungsi
memecah lemak, meskipun tidak seefektif lipase pankreas.
o Hormon gastrin (oleh sel G) yang berfungsi memacu kerja enzim
pencernaan.
Setelah makanan masuk ke dalam lambung, 1-2 jam kemudian
campuran makanan dengan sekret lambung berbentuk cairan tebal semi-
liquid yang disebut dengan chymus dan masuk ke usus halus.
- Usus Halus
Terdapat muara dari ductus hepatopancreaticus yang mengalirkan
cairan empedu dan sekret dan enzim pencernaan yang dihasilkan pancreas
untuk membantu proses pencernaan makanan di dalam duodenum. Chymus
yang bersifat asam dibuat menjadi bersifat lebih alkali dengan penambahan
empedu dari kantung empedu (vesica felea) dan sekresi bikarbonat dari
pancreas dan kelenjar Brunner pada duodenum sehingga melindungi
dinding duodenum dan membuat enzim pencernaan dapat bekerja dengan
baik.
Proses kimiawi yang terjadi di dalam usus halus, antara lain:
1. Pemecahan protein menjadi peptida dan asam amino oleh tripsin
aminopeptidase dan dipeptidase.
2. Lemak akan diemulsi oleh empedu kemudian dipecah menjadi
asam lemak dan monogliserida oleh lipase pancreas.

38
3. Amilase pancreas akan memecah karbohidrat kompleks
(amilum) menjadi oligosakarida, kemudian akan dipecah oleh
dextrinase, glukoamilase, maltase, sucrase, dan laktase.
- Usus Besar
Usus besar dimulai dari caecum, colon ascenden, colon transversum,
colon descenden, hingga colon sigmoid. Setelah sekitar 90% bagian
makanan diabsorpsi pada usus halus, chymus yang tersisa akan masuk ke
dalam usus besar. Elektrolit seperti sodium, magnesium, klorida yang tidak
diserap usus halus menjadi satu dalam makanan yang tidak dicerna, seperti
serat.
Perjalanan chymus pada usus besar sampai ke rectum dan keluar
sebagai feces saat defekasi membutuhkan waktu sekitar 12-50 jam. Colon
melakukan gerakan mencampur (haustrasi). Haustrasi berfungsi untuk
mengaduk dan memutar chymus agar semua bagian feces bersentuhan
dengan mukosa usus besar sehingga cairan serta zat-zat terlarut diabsorpsi
hingga hanya terdapat 80 sampai 200 mililiter feces yang dikeluarkan setiap
hari. Dorongan dalam caecum dan colon asenden oleh gerakan haustrasi
yang lambat tetapi berlangsung persisten menggerakan chymus dan
menjadikannya feces dengan karakteristik lumpur setengah padat.
Selain haustrasi, terdapat pula gerakan mendorong (pergerakan
massa) l ambung dan duodenum sehingga menyebabkan refleks gastrokolik
dan refleks duodenokolik yang dijalarkan melalui sistem saraf otonom dan
menyebabkan adanya gerakan pada colon. Iritasi dalam kolon juga dapat
menimbulkan gerakan massa yang kuat. Bila pergerakan massa sudah
mendorong feces ke dalam rectum, maka seseorang akan merasa ingin untuk
defekasi dan menyebabkan refleks kontraksi rectum dan relaksasi sfingter.
Mukus yang dihasilkan pada usus besar membantu menetralisir produk
akhir asam dari kerja bakteri ini.akan mendorong massa feces untuk lebih
menuruni colon.

39
- Defekasi
Defekasi merupakan proses terakhir dari suatu pencernaan makanan
yang ditimbulkan karena adanya refleks defekasi. Bila feces menekan
dinding rectum, maka plexus mienterikus pada mukosa rectum akan
menerima impuls untuk melakukan peristaltic di dalam colon desenden,
sigmoid, dan rectum mendorong feces ke arah anus (Sudoyo, 2014).

2.2.2. Enzim-enzim dalam Sistem Digestif


Tabel. Enzim-enzim Pencernaan, terdiri dari:
Organ Jenis Enzim Fungsi Enzim
Pencernaan Pencernaan
Kelenjar air liur Enzim ptyalin atau Mencerna amilum
amilase menjadi maltose
Lambung Pepsin Mengubah protein
menjadi pepton
Renin Mengubah karsinogen
menjadi kasein
Pankreas Tripsin Mengubah protein
menjadi polipeptida
Lipase pankreas Mengemulsikan lemak
menjadi asam lemak
dan gliserol
Amilase pankreas Mengubah amilum
menjadi disakarida
Karbohidrae pankreas Mencerna amilum
menjadi maltose
Usus halus Maltase Mengubah maltose
menjadi glukosa

40
Laktase Mengubah laktosa
menjadi galaktosa dan
glukosa
Enterokinase Mengubah tripsinogen
menjadi tripsin
Lipase Mengubah lemak
menjadi gliserol dan
asam lemak
Peptidae Mengubah polipeptida
menjadi asam amino
Sukrase Mengubah sukrosa
menjadi fruktosa dan
glukosa
(Cuesta, 2015)

2.2.3. Sistem Pertahanan Sistem Digestif


Sistem imun saluran cerna merupakan organ kekebalan tubuh
utama. Antibodi utama yang diproduksi di usus adalah imunoglobulin
(Ig)A yang biasanya ditemukan dalam bentuk dimer. IgA memiliki
karakteristik yang khas, yaitu relatif resisten terhadap proteolisis sehingga
antibodi ini memang tepat untuk berada di lingkungan usus yang
mengandung berbagai enzim pencernaan. Berbeda dengan IgG, IgA
tidak memicu reaksi inflamasi, antibodi ini hanya mengikat antigen dan
menyingkirkannya dari saluran cerna tanpa menyebabkan reaksi
inflamasi (Sudarmo, 2018).
Di satu sisi, fungsi utama sistem imun saluran cerna adalah untuk
menyingkirkan antigen, namun di sisi lain juga berfungsi untuk
memberikan toleransi terhadap antigen tertentu karena pada dasarnya
semua komponen makanan dan mikroflora usus adalah suatu antigen.
Lokasi utama untuk sampling antigen terdapat di Peyer’s patches yang
merupakan bagian dari gut- associated lymphoid tissue (GALT) dan

41
mengandung sel membran khusus (sel Microfold/ sel M). Fungsi
spesifik sel M adalah untuk “mengambil sampel” kandungan usus dan
mentransfer antigen ke sel penyaji antigen (antigen presenting cell) yang
kemudian akan menyajikan antigen ke sel B atau sel T. Sel T naif dapat
berkembang menjadi sel T helper 1 (Th1) atau sel T helper 2 (Th2). Sel Th1
akan mengatur diferensiasi sel B menjadi sel penghasil IgA, sementara sel
Th2 mengarahkan sel B untuk berdiferensiasi menjadi sel penghasil IgE.
Menariknya, sel M memiliki kecenderungan untuk mengambil antigen yang
berikatan dengan IgA sehingga memicu produksi IgA lebih lanjut. Toleransi
oral diperoleh dengan supresi sel Th1 oleh interleukin (IL)-4, IL-10, dan
transforming growth factor-ß pada paparan antigen dalam konsentrasi
rendah. Dosis antigen yang tinggi menyebabkan anergi klonal, yaitu sel
Th1 berada dalam kondisi tidak responsif sehingga tidak mampu
memproduksi IL-2 atau berproliferasi (Sudarmo, 2018).

2.3. Penyakit-penyakit pada Sistem Digestif


2.3.1. Diare
Diare adalah buang air besar (defekasi) tinja berbentuk cair atau
setengah cair, kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200g
atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai criteria frekuensi, yaitu buang
air besar yang encer lebih dari 4 kali per hari. Buang air besar encer tersebut
dapat/tanpa disertai lendir dan darah (Nemeth dkk., 2019).

2.3.2. Konstipasi
Buang air besar yang jarang atau sulit. Hal ini sering terjadi ketika
makanan dicerna, bergerak terlalu lambat melalui saluran pencernaan.
Akibatnya, tubuh menyerap terlalu banyak kotoran, sehingga makanan
menjadi keras, kering dan sulit untuk dicerna (Linberg, 2015).

42
2.3.3. Apendisitis
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Ini
adalah organ berlubang yang terletak di ujung sekum, biasanya di kuadran
kanan bawah perut. Namun, dapat ditemukan di hampir semua area perut,
tergantung pada apakah ada masalah perkembangan abnormal atau jika ada
kondisi lain yang bersamaan seperti kehamilan atau operasi sebelumnya.
Penyebab radang usus buntu biasanya berasal dari obstruksi lumen
apendiks. Ini bisa berasal dari usus buntu (batu apendiks), atau etiologi
mekanis lainnya. Tumor usus buntu seperti tumor karsinoid, parasit usus,
dan jaringan limfatik yang mengalami hipertrofi semuanya diketahui
sebagai penyebab obstruksi usus buntu dan radang usus buntu. Seringkali,
penyebab pasti apendisitis akut tidak diketahui. Ketika lumen usus buntu
terhambat, bakteri akan menumpuk di usus buntu dan menyebabkan
peradangan akut dengan perforasi dan pembentukan abses. (Eng, 2018)
Apendisitis merupakan infeksi bacteria. Berbagai hal berperan
sebagai pencetusnya, namun sumbatan lumen apendiks merupakan faktor
yang diajukan sebagai pencetus disamping hyperplasia jaringan lymphoid,
tumor apendiks, dan cacing askaris dapat menyebabkan sumbatan.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkanapendisitis adalah erosi
mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolytica. penelitian
epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan-makanan yang rendah
serat mempengaruhi terjadinya konstipasi yang mengakibatkan timbulnya
apendisitis (Budhgram dan Bengiamin, 2015).

43
2.4. Diare
2.4.1. Pengertian
Diare adalah buang air besar (defekasi) tinja berbentuk cair atau
setengah cair, kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200g
atau 200 ml/24 jam. Diare merupakan penyakit yang terjadi ketika terdapat
perubahan konsistensi feses lama dan frekuensi buang air besar. Definisi
lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar yang encer lebih dari
4 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan
darah. (Nemeth dkk, 2019).

2.4.2. Klasifikasi
Berdasarkan patofisiologinya, diare dapat dibagi atas 3 kelompok:
• Osmotic diarrhea, yang terjadi karena isi usus menarik air dari
mukosa. Hal ini ditemukan malabsorbsi, dan defisiensi laktase.
• Secretori diarrhea, pada keadaan ini usus halus, dan usus besar
tidak menyerap air dan garam, tetapi mengsekresikan air dan
elektrolit. Fungsi yang terbalik ini dapat disebabkan pengaruh
toksin bakteri, garam empedu, prostaglandin, dan lain-lain. Cara
terjadinya, melalui rangsangan oleh cAMP (cyclic AMP) pada sel
mukosa usus.
• Exudative diarrhea, ditemukan pada inflamasi mukosa seperti pada
colitis ulcerativa, atau pada tumor yang menimbulkan adanya
serum, darah, dan mukus (Amin, 2015).

Berdasarkan banyaknya kehilangan cairan dan elektrolit dari tubuh,


diare dapat dibagi menjadi:
• Diare tanpa dehidrasi
Pada tingkat diare ini penderita tidak mengalami dehidrasi
karena frekuensi diare masih dalam batas toleransi dan belum ada
tanda-tanda dehidrasi.

44
• Diare dengan dehidrasi ringan (3%-5%)
Pada tingkat diare ini penderita mengalami diare 3 kali atau
lebih, kadangkadang muntah, terasa haus, kencing sudah mulai
berkurang, nafsu makan menurun, aktifitas sudah mulai menurun,
tekanan nadi masih normal atau takikardia yang minimum dan
pemeriksaan fisik dalam batas normal.
• Diare dengan dehidrasi sedang (5%-10%)
Pada keadaan ini, penderita akan mengalami takikardi,
kencing yang kurang atau langsung tidak ada, irritabilitas atau lesu,
mata dan ubun-ubun besar menjadi cekung, turgor kulit berkurang,
selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering, air mata
berkurang dan masa pengisian kapiler memanjang (≥ 2 detik) dengan
kulit yang dingin yang dingin dan pucat.
• Diare dengan dehidrasi berat (10%-15%)
Pada keadaan ini, penderita sudah banyak kehilangan cairan
dari tubuh dan biasanya pada keadaan ini penderita mengalami
takikardi dengan pulsasi yang melemah, hipotensi dan tekanan nadi
yang menyebar, tidak ada penghasilan urin, mata dan ubun-ubun besar
menjadi sangat cekung, tidak ada produksi air mata, tidak mampu
minum dan keadaannya mulai apatis, kesadarannya menurun dan juga
masa pengisian kapiler sangat memanjang (≥ 3 detik) dengan kulit
yang dingin dan pucat (Kliegman et al, 2016).

Berdasarkan lamanya, diare dikelompokkan menjadi:


• Diare Akut
Diare akut dimana terjadi sewaktu-waktu dan berlangsung
selama 14 hari dengan pengeluaran tinjak lunak atau cair yang dapat
atau tanpa disertai lendir atau darah. Diare akut dapat menyebabkan
dehidrasi dan bila kurang megonsusmsi makanan akan mengakibatkan
kurang gizi (Ariani, 2016).

45
• Diare Kronik
Diare kronik berlangsung secara terus-menerus selama lebih
dari 2 minggu atau lebih dari 14 hari secara umum diikuti kehilangan
berat badan secara signifikan dan malasah nutrisi (Ariani, 2016).
• Diare Persisten
Diare persisten adalah diare akut dengan atau tanpa disertai
darah berlanjut sampai 14 hari atau lebih. Jika terdapat dehidrasi
sedang atau berat diklasifikasikan sebagai berat atau kronik. Diare
persisten menyebabkan kehilangan berat badan karena pengeluaran
volume faces dalam jumlah banyak dan berisiko mengalami diare.
Diare persisten dibagi menjadi dua yaitu diare persisten berat
dan diare persisten tidak berat atau ringan. Diare persisten berat
merupakan diare yang berlangsung selama ≥ 14 hari, dengan tanda
dehidrasi, sehingga anak memerlukan perawatan di rumah sakit.
Sedangkan diare persisten tidak berat atau ringan merupakan diare
yang berlangsung selama 14 hari atau lebih yang tidak menunjukkan
tanda dehidrasi (Ariani, 2016).
• Diare malnutrisi berat
Diare malnutrisi berat disebabkan karena infeksi. Infeksi dapat
menyebabkan anak mengalami malnutrisi karena selama
sakit,mengalami infeksi, anak mengalami penurunan asupan
makanan, gangguan pertahanan dan fungsi imun (Ariani, 2016).

2.4.3. Epidemiologi
Norovirus dikaitkan dengan sekitar seperlima dari semua kasus diare
menular, dengan prevalensi yang sama pada anak-anak dan orang dewasa,
dan diperkirakan menyebabkan lebih dari 200.000 kematian setiap tahun di
negara-negara berkembang. Secara historis, rotavirus adalah penyebab
paling umum penyakit parah pada anak kecil secara global. Program
vaksinasi rotavirus telah menurunkan prevalensi kasus diare yang terkait
dengan rotavirus.

46
Penyebab umum dari diare kronis termasuk penyakit radang usus,
penyakit Crohn, dan kolitis ulserativa. Di Eropa, kejadian kolitis ulserativa
dan penyakit Crohn telah meningkat secara keseluruhan dari 6,0 per
100.000 orang-tahun pada kolitis ulseratif dan 1,0 per 100.000 orang-tahun
pada penyakit Crohn pada tahun 1962 menjadi 9,8 per 100.000 orang-tahun
dan 6,3 per 100.000 orang-tahun masing-masing pada tahun 2010 (Nemeth
dkk, 2019).

2.4.4. Etiologi dan Faktor Resiko


Biasanya disebabkan oleh mikroorganisme contohnya Escherichia
coli yang sebenarnya merupakan flora normal usus. Peningkatan jumlah
tersebut dapat menimbulkan penyakit diare. Penularan penyakit diare adalah
melalui makanan dan air. Faktor risiko penyebab diare antara lain meliputi
sarana air bersih, sanitasi lingkungan, jamban dan kondisi rumah yang tidak
bersih (WHO, 2018).

Faktor Resiko Terjadinya Diare


1. Infeksi
Diare adalah gejala infeksi yang disebabkan oleh sejumlah bakteri,
virus dan organisme parasite, yang sebagian besar disebarkan oleh air yang
terkontanmisasi tinja. Infeksi lebih sering terjadi ketika ada kekurangan
sanitasi dan kebersihan yang memadai dan air yang aman untuk diminum.
Rotavirus dan Escericia coli, adalah dua agen antigen yang paling umum
penyebab diare sedang sampai berat.

2. Malnutrisi
Anak-anak yang meninggal karena diare sering menderita
kekurangan gizi yang membuat mereka lebih rentan terhadap diare. Diare
merupakan penyebab utama malnutrisi pada anak dibawah lima tahun.
Penyebab lainnya, sanitasi yang buruk juga merupakan penyebab
diare. Makanan yang tidak higienis, penyimpanan dan penanganan air yang

47
tidak aman di konsumsi dan ikan makanan laut dari air yang tercemar juga
menyebabkan penyakit diare (WHO, 2018).

2.4.5. Patofisiologi
Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah gangguan
osmotik (makanan yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan
osmotik dalam rongga usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan
elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus berlebihan sehingga timbul
diare). Selain itu menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin didinding
usus, sehingga sekresi air dan elektrolit meningkat kemudian menjadi diare.
Gangguan motilitas usus yang mengakibatkan hiperperistaltik.
Akibat dari diare itu sendiri adalah kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi)
yang mengakibatkan gangguan keseimbangan asam basa (asidosis
metabolik dan hypokalemia), gangguan gizi (intake kurang, output
berlebih), hipoglikemia dan gangguan sirkulasi darah (Amin, 2015).
Mekanisme terjadinya diare dan termaksut juga peningkatan sekresi
atau penurunan absorbsi cairan dan elektrolit dari sel mukosa intestinal dan
eksudat yang berasal dari inflamasi mukosa intestinal (Amin, 2015).
Infeksi diare akut diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis
menjadi diare noninflamasi dan diare inflamasi. Diare inflamasi disebabkan
invasi bakteri dan sitoksin di kolon dengan manifestasi sindrom disentri
dengan diare disertai lendir dan darah. Gejala klinis berupa mulas sampai
nyeri seperti kolik, mual, muntah, tetenus, serta gejala dan tanda dehidrasi.
Pada pemeriksaan tinja rutin makroskopis ditemukan lendir dan atau
darah, mikoroskopis didapati sek lukosit polimakronuklear. Diare juga
dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme, yaitu peningkatan sekresi
usus dan penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan
inflamasi dan mengeluarkan toksin yang menyebakan terjadinya diare. Pada
dasarnya, mekanisme diare akibat kuman enteropatogen meliputi
penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa,
invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitoksin. Satu jenis bakteri

48
dapat menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk mengatasi
pertahanan mukosa usus (Amin, 2015).

Faktor

Makanan Psikologi Infeksi Malabsorbsi

Toksin tidak dapat Ansietas Kuman masuk dan Meningkatkan


diabsoorbsi berkembang di usus halus tekanan
osmotik
Penyerapan
makanan di Hiperperistalti
usus k Hipersekresi air & elektrolit
menurun
Peningkatan isi rongga usus

Distensi abdomen
Diare

Frekuensi BAB meningkat

Hilang cairan & Gangguan intregitas


elektrolit berlebih kulit perianal
Mual muntah

Gangguan keseimbangan Asidosis metabolik Nafsu makan


cairan & elektrolit menurun
Sesak
Dehidrasi Ketidakseimbangan
Gangguan pertukaran nutrisi kurang dari
gas kebutuhan

Kekurangan volume cairan Resiko syok (Hipovolemi)

49
2.4.6. Manifestasi Klinis
Diare karena infeksi dapat disertai muntah-muntah, demam,
tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut. Diare yang
berlangsung beberapa waktu tanpa pengulangan medis yang adekuat dapat
menyebabkan kematian karena kekurangan cairan pada tubuh yang
mengakibatkan ranjatan hipovolemik atau karena gangguan kimiawi berupa
asidosis metabolik yang lanjut (Kliegman et al, 2016).
Kehilangan cairan dapat menyebakan haus, berat badan menurun,
mata menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turtor kulit
menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan
deplesi air yang isotonik. Kehilangan bikarbonas, perbandingan bikarbonas
berkurang, yang mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan
merangsang pusat pernapasan sehingga frekuensi nafas lebih cepat dan lebih
dalam. Reaksi ini adalah usaha tubuh untuk mengeluarkan asam karbonas
agar pH dapat naik kembali normal. Pada keadaan asidosis metabolik yang
tidak dikompensasi, bikarbonat standard juga rendah, pCO2 normal dan
base excess sangat negatif (Kliegman et al, 2016).
Tanda-tanda awal dari diare adalah bayi dan anak menjadi gelisah
dan cengeng, suhu tubuh biasanya meningkat, nafsu makan berkurang atau
tidak ada, kemudian timbul diare. Tinja akan menjadi cair dan mungkin
disertai dengan lendir ataupun darah. Warna tinja bisa lama-kelamaan
berubah menjadi kehijau-hijauan karena tercampur dengan empedu. Anus
dan daerah sekitarnya lecet karena seringnya defekasi dan tinja makin lama
makin asam sebagai akibat banyaknya asam laktat yang berasal darl laktosa
yang tidak dapat diabsorbsi oleh usus selama diare. Gejala muntah dapat
terjadi sebelum atau sesudah diare dan dapat disebabkan oleh lambung yang
turut meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam-basa dan
elektrolit (Kliegman et al, 2016).

50
Bila penderita telah kehilangan banyak cairan dan elektrolit, maka
gejala dehidrasi mulai tampak. Berat badan turun, turgor kulit berkurang,
mata dan ubun-ubun besar menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut
serta kulit tampak kering (Kliegman et al, 2016).

2.4.7. Cara Menegakkan Diagnosis


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis (BAB cair lebih dari 3
kali sehari) dan pemeriksaan fisik (ditemukan tanda-tanda hipovolemik dan
pemeriksaan konsistensi BAB). Untuk diagnosis defenitif dilakukan
pemeriksaan penunjang (IDI, 2017).

2.4.8. Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan feses
Berat feses > 300 gram/24 jam mengkonfirmasi adanya diare.
Perhatikan bentuk tinja, apakah setengah cair, cair, berlemak atau
bercampur darah. Diare seperti air dapat terjadi akibat kelainan pada semua
tingkat system pencemaan, terutama usus halus. Adanya makanan yang
tidak tercerna merupakan manifestasi dari kontak yang terlalu cepat antara
tinja dan dinding usus yang disebabkan cepatnya waktu transit usus. Diare
yang bervolume banyak dan berbau busuk menunjukkan adanya infeksi dan
dapat dilakukan pewarnaan gram ataupun kultur.
Tinja harus segera diperiksa untuk melihat adaya leukosit, eritrosit,
parasit. Apabila dalam feses terdapat >14 gram lemak/24 jam menunjukkan
adanya steatorea. Adanya gelembung lemak mengarah ke penyakit
pankreas, dan lain-lain. Adanya amilum dalam tinja menunjukkan adanya
maldigesti karbohidrat. Eritrosit dalam tinja menunjukkan ada luka, colitis
ulserativa, infeksi, polip atau keganasan. Leukosit dalam tinja menunjukkan
kemungkinan infeksi atau inflamasi usus. pH tinja < 5,3 (asam) dan tes
reduksi (+) menunjukkan intoleransi glukosa, pH 6,0-7,5 dijumpai pada
sindrom malabsorpsi asam (Oktarida, 2016).

51
2. Pemeriksaan darah
Dapat dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap (Hb, Ht, Leukosit,
diftel), kadar elektrolit serum, analisa gas darah (apabila terdapat tanda-
tanda gangguan keseimbangan asam basa), fungsi kelenjar tiroid. Diare
yang disebabkan virus memiliki jumlah dan hitung jenis leukosit normal
atau limfositosis. Apabila diare disebabkan infeksi bakteri yang invasif ke
mukosa memiliki leukositosis. Eosinofil meningkat pada alergi makanan
atau infeksi parasit. Kadar asam folat rendah menunjukkan penyakit seliak.
Kadar vitamin B12 rendah menunjukkan pertumbuhan bakteri berliebihan
dalam usus halus. Kadar albumin rendah menunjukkan tanda kehilangan
protein dari peradangan di ileum, jejunum, kolon dan pada sindrom
malabsorpsi. Jika ada kemungkinan kuat penyakit dasar infeksi HIV pada
pasien dengan diare kronik, maka skrining pemeriksaan infeksi HIV dalam
darah penting dilakukan (Oktarida, 2016).

3. Pemeriksaan lanjutan
 Barium enema kontras ganda dan BNO: pemeriksaan barium enema
kontras ganda dilakukan untuk melihat kelainan di kolon dan ileum
terminal. BNO dilakukan untuk melihat adanya kalsifikasi pancreas
dan dilatasi kolon.
 Kolonoskopi dan ileoskopi: membantu dalam menegakkan
diagnosis terutama dalam mendapatkan diagnosis patologi anatomi
dengan biopsy mukosa usus. Dengan kolonoskopi dapat diketahui
penyebab diare apakah keganasan atau inflamasi, dapat ditemukan
sudah terjadi displasi atau keganasan pada colitis yang lama.
 Barium follow through: pemeriksaan roentgen ini dilakukan bila ada
kecurigaan gangguan pada ileum dan jejunum. Interpretasi
gambaran usus lebih sulit daripada barium enema sehingga
gambaran normal belum dapat menyingkirkan diagnosis (Oktarida,
2016).

52
2.4.9. Tatalaksana
2.4.9.1. Penatalaksanaan pada Pasien Dewasa
Pada umumnya diare akut bersifat ringan dan sembuh cepat
dengan sendirinya melalui rehidrasi dan obat antidiare, sehingga jarang
diperlukan evaluasi lebih lanjut.
Terapi dapat diberikan dengan:
1. Memberikan cairan dan diet adekuat
 Pasien tidak dipuasakan dan diberikan cairan yang adekuat
untuk rehidrasi.
 Hindari susu sapi karena terdapat defisiensi laktase transien.
 Hindari juga minuman yang mengandung alkohol atau kafein,
karena dapat meningkatkan motilitas dan sekresi usus.
 Makanan yang dikonsumsi sebaiknya yang tidak mengandung
gas, dan mudah dicerna.
2. Pasien diare yang belum dehidrasi dapat diberikan obat antidiare
untuk mengurangi gejala dan antimikroba untuk terapi definitif.
Pemberian terapi antimikroba empirik diindikasikan pada pasien
yang diduga mengalami infeksi bakteri invasif, traveller’s diarrhea,
dan imunosupresi. Antimikroba: pada GE akibat infeksi diberikan
antibiotik atau antiparasit, atau antijamur tergantung penyebabnya.

Obat antidiare, antara lain:


1) Turunan opioid: Loperamid, Difenoksilat atropin, Tinktur
opium.
2) Obat ini sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan disentri
yang disertai demam, dan penggunaannya harus dihentikan
apabila diare semakin berat walaupun diberikan terapi.
3) Bismut subsalisilat, hati-hati pada pasien immunokompromais,
seperti HIV, karena dapat meningkatkan risiko terjadinya
bismuth encephalopathy.

53
4) Obat yang mengeraskan tinja: atapulgit 4x2 tablet/ hari atau
smectite 3x1 sachet diberikan tiap BAB encer sampai diare stop.
5) Obat anti sekretorik atau anti enkefalinase: Racecadotril 3x1.

Antimikroba, antara lain:


1) Golongan kuinolon yaitu Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama
5-7 hari, atau
2) Trimetroprim/Sulfametoksazol 160/800 2x 1 tablet/hari.
3) Apabila diare diduga disebabkan oleh Giardia, Metronidazol
dapat digunakan dengan dosis 3x500 mg/ hari selama 7 hari.
4) Bila diketahui etiologi dari diare akut, terapi disesuaikan dengan
etiologic (IDI, 2017).

Apabila terjadi dehidrasi, setelah ditentukan derajat dehidrasinya,


pasien ditangani dengan langkah sebagai berikut:
1. Menentukan jenis cairan yang akan digunakan
Pada diare akut awal yang ringan, tersedia cairan oralit yang
hipotonik dengan komposisi 29 gr glukosa, 3,5 gr NaCl, 2,5 gr
Natrium bikarbonat dan 1,5 KCl setiap liter. Cairan ini diberikan
secara oral atau lewat selang nasogastrik. Cairan lain adalah cairan
ringer laktat dan NaCl 0,9% yang diberikan secara intravena.
2. Menentukan jumlah cairan yang akan diberikan
Prinsip dalam menentukan jumlah cairaninisial yang
dibutuhkan adalah: BJ plasma dengan rumus:
Defisit cairan = BJ plasma – 1,025 X Berat badan X 4 ml
0,001
Kebutuhan cairan = Skor X 10% X kgBB X 1 liter
15

54
3. Menentukan jadwal pemberian cairan:
a. Dua jam pertama (tahap rehidrasi inisial): jumlah total
kebutuhan cairan menurut BJ plasma atau skor Daldiyono
diberikan langsung dalam 2 jam ini agar tercapai rehidrasi
optimal secepat mungkin.
b. Satu jam berikutnya/jam ke-3 (tahap ke-2) pemberian
diberikan berdasarkan kehilangan selama 2 jam pemberian
cairan rehidrasi inisial sebelumnya. Bila tidak ada syok
atauskor Daldiyono kurang dari 3 dapat diganti cairan per
oral.
c. Jam berikutnya pemberian cairan diberikan berdasarkan
kehilangan cairan melalui tinja dan insensible water loss
(IDI, 2017).

Kondisi yang memerlukan evaluasi lebih lanjut pada diare akut


apabila ditemukan:
1. Diare memburuk atau menetap setelah 7 hari, feses harus
dianalisa lebih lanjut.
2. Pasien dengan tanda-tanda toksik (dehidrasi, disentri, demam ≥
38,50C, nyeri abdomen yang berat pada pasien usia di atas 50
tahun.
3. Pasien usia lanjut.
4. Muntah yang persisten.
5. Perubahan status mental seperti lethargi, apatis, irritable.
6. Terjadinya outbreak pada komunitas.
7. Pada pasien yang immunokompromais (IDI, 2017).

Konseling dan Edukasi


Pada kondisi yang ringan, diberikan edukasi kepada keluarga
untuk membantu asupan cairan. Edukasi juga diberikan untuk
mencegah terjadinya GE dan mencegah penularannya.

55
Kriteria Rujukan
1. Tanda dehidrasi berat
2. Terjadi penurunan kesadaran
3. Nyeri perut yang signifikan
4. Pasien tidak dapat minum oralit
5. Tidak ada infus set serta cairan infus di fasilitas pelayanan (IDI,
2017).

2.4.9.2. Penatalaksanaan pada Pasien Anak


Menurut Kemenkes RI, prinsip tatalaksana diare pada balita
adalah LINTAS DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare), yang
didukung oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia dengan rekomendasi
WHO. Rehidrasi bukan satusatunya cara untuk mengatasi diare tetapi
memperbaiki kondisi usus serta mempercepat penyembuhan/
menghentikan diare dan mencegah anak kekurangan gizi akibat diare
juga menjadi cara untuk mengobati diare (IDI, 2017).
Adapun program LINTAS DIARE yaitu:
1. Rehidrasi menggunakan Oralit osmolalitas rendah
Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai
dari rumah tangga dengan memberikan oralit osmolaritas rendah,
dan bila tidak tersedia berikan cairan rumah tangga seperti larutan
air garam. Oralit saat ini yang beredar di pasaran sudah oralit yang
baru dengan osmolaritas yang rendah, yang dapat mengurangi rasa
mual dan muntah. Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi
penderita diare untuk mengganti cairan yang hilang. Bila penderita
tidak bisa minum harus segera di bawa ke sarana kesehatan untuk
mendapat pertolongan cairan melalui infus. Pemberian oralit
didasarkan pada derajat dehidrasi (IDI, 2017)

56
a. Diare tanpa dehidrasi
 Umur < 1 tahun: ¼ - ½ gelas setiap kali anak mencret (50–
100 ml).
 Umur 1 – 4 tahun: ½-1 gelas setiap kali anak mencret (100–
200 ml).
 Umur diatas 5 Tahun: 1–1½ gelas setiap kali anak mencret
(200–300 ml)
b. Diare dengan dehidrasi ringan sedang
 Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/ kg
bb dan selanjutnya diteruskan dengan pemberian oralit
seperti diare tanpa dehidrasi.
c. Diare dengan dehidrasi berat
 Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera
dirujuk ke Puskesmas untuk diinfus.
Tabel. Kebutuhan Oralit per Kelompok Umur
Umur Jumlah oralit yang Jumlah oralit yang
diberikan tiap BAB disediakan di rumah
<12 bulan 50-100 ml 400 ml/hari (2 bungkus)
1-4 tahun 100-200 ml 600-800 ml/hari (3-4
bngkus)
>5 tahun 200-300 ml 800-1000 ml/hari (4-5
bungkus)
Dewasa 300-400 ml 1200-2800 ml/hari

Untuk anak dibawah umur 2 tahun cairan harus diberikan dengan


sendok dengan cara 1 sendok setiap 1 sampai 2 menit. Pemberian
dengan botol tidak boleh dilakukan. Anak yang lebih besar dapat
minum langsung dari gelas. Bila terjadi muntah hentikan dulu
selama 10 menit kemudian mulai lagi perlahan-lahan misalnya 1
sendok setiap 2-3 menit. Pemberian cairan ini dilanjutkan sampai
dengan diare berhenti.

57
2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut
Pemberian zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama
dan tingkat keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar,
mengurangi volume tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian diare
pada 3 bulan berikutnya. Berdasarkan bukti ini semua anak diare harus
diberi Zinc segera saat anak mengalami diare.
Dosis pemberian Zinc pada balita:
o Umur < 6 bulan : ½ tablet (10 mg) per hari selama 10 hari.
o Umur > 6 bulan : 1 tablet (20 mg) per hari selama 10 hari.
Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah
berhenti. Cara pemberian tablet zinc : Larutkan tablet dalam 1 sendok
makan air matang atau ASI, sesudah larut berikan pada anak diare.

3. Teruskan pemberian ASI dan makanan


Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan
gizi pada penderita terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta
mencegah berkurangnya berat badan. Anak yang masih minum ASI
harus lebih sering diberi ASI. Anak yang minum susu formula juga
diberikan lebih sering dari biasanya. Anak usia 6 bulan atau lebih
termasuk bayi yang telah mendapatkan makanan padat harus diberikan
makanan yang mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih sedikit dan
lebih sering. Setelah diare berhenti, pemberian makanan ekstra
diteruskan selama 2 minggu untuk membantu pemulihan berat badan.

4. Antibiotik Selektif
Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya
kejadian diare pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika
hanya bermanfaat pada penderita diare dengan darah (sebagian besar
karena Shigellosis) dan suspek kolera.
Obat-obatan anti diare juga tidak boleh diberikan pada anak yang
menderita diare karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah

58
tidak dianjurkan kecuali muntah berat. Obat-obatan ini tidak mencegah
dehidrasi ataupun meningkatkan status gizi anak, bahkan sebagian besar
menimbulkan efek samping yang berbahaya dan bisa berakibat fatal.
Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh parasit
(amuba, giardia).

5. Nasihat kepada orang tua/pengasuh


Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan balita harus
diberi nasihat tentang:
a) Cara memberikan cairan dan obat di rumah.
b) Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila :
 Diare lebih sering.
 Muntah berulang.
 Sangat haus.
 Makan/minum sedikit.
 Timbul demam.
 Tinja berdarah.
 Tidak membaik dalam 3 hari.

Konseling dan Edukasi


Pencegahan diare menurut Pedoman Tatalaksana Diare Depkes
RI adalah sebagai berikut:
 Pemberian ASI.
 Pemberian makanan pendamping ASI.
 Menggunakan air bersih yang cukup.
 Mencuci tangan.
 Menggunakan jamban.
 Membuang tinja bayi dengan benar.
 Pemberian imunisasi campak.

59
Kriteria Rujukan
 Anak diare dengan dehidrasi berat dan tidak ada fasilitas rawat
inap dan pemasangan intravena.
 Jika rehidrasi tidak dapat dilakukan atau tercapai dalam 3 jam
pertama penanganan.
 Anak dengan diare persisten.
 Anak dengan syok hipovolemik (IDI, 2017).

2.4.10. Prognosis
Indikator prognostik yang signifikan atau faktor risiko untuk
peningkatan durasi diare akut, setelah disesuaikan untuk perancu, termasuk
diare berdarah atau berlendir, tanda-tanda infeksi dada yang menyertai,
adanya tanda-tanda defisiensi vitamin A, penurunan berat badan untuk usia,
penggunaan rutin air permukaan yang terkontaminasi, kurang menyusui dan
bertambahnya usia; Kehadiran rotavirus atau enterotoksigenik Escherichia
coli atau Vibrio cholerae 01 dalam tinja memiliki hubungan negatif. Dalam
regresi logistik dan analisis bertingkat faktor-faktor ini, kecuali kurangnya
menyusui dan usia, juga ditemukan menjadi faktor risiko atau indikator
prognostik diare persisten. Implikasi kebijakan dari temuan ini untuk
program-program untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas dari diare
persisten meliputi pengembangan vaksin efektif terhadap Shigella yang
menyebabkan disentri, program-program untuk mencegah kekurangan
vitamin A, kekurangan energi protein dan infeksi pernapasan akut pada anak-
anak, dan program jangka panjang untuk menyediakan air bersih untuk
semua kebutuhan sehari-hari (Schiller, dkk,. 2017).

2.4.11. SKDU
Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan
secara mandiri dan tuntas.
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan
penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas (SKDI, 2019).

60
2.5. Alergi Protein Susu Sapi
Alergi protein susu sapi (CMA) adalah reaksi imun terhadap protein CM
spesifik yang terjadi pada 2-5% bayi, menunjukkan gejala kulit, gastrointestinal
(GI) dan / atau pernapasan. Manifestasi ini dapat menjadi akut, dan dalam kasus
yang jarang terjadi bahkan mengancam kehidupan, seperti anafilaksis, atau
dapat menjadi kronis. Pada bayi dengan gejala gastrointestinal, diagnosis CMA
sangat menantang karena kurangnya tes diagnostik yang optimal, kurangnya
biomarker dan spektrum yang luas dari gejala yang muncul. Beberapa faktor
risiko telah diidentifikasi untuk CMA, tetapi patogenesis dan korelasi klinisnya
masih perlu diklarifikasi penuh untuk bayi yang diberi ASI dan susu formula.
Diet bebas susu sapi (CMFD) adalah pilihan perawatan yang diakui untuk bayi
dengan diagnosis CMA. Namun, tidak semua gejala GI bersifat alergi.
Regurgitasi, menangis berlebihan atau kolik, misalnya, adalah kondisi fisiologis
yang umum, sering menunjukkan resolusi spontan pada bulan-bulan pertama
kehidupan. Tantangan makanan oral (OFC) dianggap perlu untuk
mengkonfirmasi diagnosis CMA serta perolehan toleransi. Namun, seringkali
sulit untuk menafsirkan, terutama pada anak-anak dengan CMA yang tidak
dimediasi-IgE, yang mungkin memerlukan berhari-hari atau berminggu-
minggu untuk mendiagnosis, atau mungkin ditolak oleh orang tua yang takut
akan reaksi parah (Salvatore, 2019)
Untuk alasan ini, berbagai uji nutrisi dan farmakologis telah digunakan
untuk mencoba meningkatkan diagnosis. Tantangan nyata bagi dokter adalah
bagaimana mengidentifikasi dengan cepat subyek yang mungkin mendapat
manfaat dari CMFD ketika diduga CMA. Pada 2015 sebuah kelompok Belgia
menciptakan sistem skor berbasis gejala untuk membantu dalam
mengidentifikasi bayi dengan CMA, terutama mereka dengan bentuk yang
dimediasi non-IgE. Menangis, regurgitasi, pola tinja, kulit dan gejala
pernapasan dipertimbangkan, dan pemotongan 12 poin secara sewenang-
wenang disarankan sebagai skor yang memungkinkan untuk menunjukkan
CMA. Para penulis memperkenalkan akronim "CoMiSS" (cow’s milk-related
symptom score awareness tool). Skor dinilai pada bayi simptomatik (usia dua

61
minggu hingga enam bulan) pada diagnosis awal CMA, dan kemudian ketika
ditempatkan pada CMFD (Salvatore, 2019).
Mayoritas anak-anak yang terkena memiliki satu atau lebih gejala yang
melibatkan satu atau lebih sistem organ, terutama saluran pencernaan atau kulit.
Mayoritas memiliki setidaknya dua gejala dan gejala dalam setidaknya dua
sistem organ.2 Sekitar 50% -70 % memiliki gejala kulit, 50-60% gejala
pencernaan, dan sekitar 20-30% gejala pernapasan (Lifschitz dan Szajewska,
2015).
 Alat kesadaran CoMiSS harus dianggap sebagai alat untuk meningkatkan
kesadaran akan gejala CMPA yang paling umum, yang pada gilirannya
dapat membantu diagnosis yang akurat sebelumnya.
 CoMiSS harus meningkatkan kewaspadaan dan pengetahuan untuk
meminimalkan diagnosis yang terlalu banyak dan kurang dan untuk
mempertimbangkan gejala terkait susu sapi.
 CoMiSS juga merupakan alat yang dapat digunakan untuk mengevaluasi
dan mengukur evolusi gejala selama intervensi terapeutik.
 Data yang dipublikasikan menggunakan CoMiSS dalam uji klinis
menunjukkan bahwa nilai prediktif alat adalah 80% jika skornya> 12 di
awal dan menurun menjadi <6 dalam 2 minggu di bawah diet eliminasi
dengan formula yang dihidrolisis secara luas (Lifschitz dan Szajewska,
2015).
CoMiSS ditujukan untuk penyedia layanan kesehatan primer yang sering
kali sangat terbatas waktu dan oleh karena itu memerlukan alat yang sederhana,
cepat, dan mudah digunakan. Itu dapat diisi oleh penyedia layanan kesehatan
atau oleh orang tua sebagai persiapan untuk kunjungan dokter (Lifschitz dan
Szajewska, 2015).

62
2.5.1. Mikrobiota Usus
Peran mikrobiota GI dalam alergi makanan telah menjadi topik
utama sejak bertahun-tahun. Toleransi oral adalah konsekuensi dari tidak
adanya respon sistemik terhadap antigen makanan. Mada bayi awal adalah
jendela di mana usus mikrobiota dapat membentuk hasil alergi makanan di
masa kanak-kanak. Antigen diet dan mikrobiota usus diketahui merupakan
mayoritas dari beban antigen di usus. Mikrobioma GI memainkan peran
yang kuat dalam orientasi respon imun (Vandenplas, 2017).
Alergi makanan dikaitkan dengan perubahan mikrobiota usus
atau disbiosis di awal kehidupan yang mungkin menjadi prediktif dari
persistensi penyakit versus perolehan toleransi. Perbedaan kualitatif dan
kuantitatif dalam komposisi mikrobiota usus antara bayi yang akan dan bayi
yang tidak akan mengalami alergi ditunjukkan sebelum pengembangan
manifestasi klinis atopi. Komposisi mikrobioma usus pada usia 3 sampai 6
bulan dikaitkan dengan perolehan toleransi terhadap protein susu pada usia
8 tahun, dengan pengayaan Clostridia dan Firmicutes dalam mikrobioma
usus bayi dari subyek dengan CMA yang teratasi. Prediksi fungsional
metagen yang didukung menurunnya metabolisme asam lemak untuk
beberapa subjek mikrobiotik yang memilih CMA yang terselesaikan.
Sebagai akibatnya, taksa bakteri dalam Clostridia dan Firmicutes dapat
dipelajari sebagai kandidat probiotik untuk terapi alergi susu. Data yang
diperoleh dalam model alergi makanan murine menunjukkan bahwa terapi
mikroba dengan bakteri protolerogenik seperti spesies Clostridial tertentu
menjanjikan dalam aplikasi masa depan untuk pencegahan atau terapi alergi
makanan. Ekstrapolasi dari data in vitro menunjukkan bahwa melengkapi
formula bayi seperti eHF dengan prebiotik atau probiotik (Lactobacillus (L.)
rhamnosus GG, biobakterobakteri (B.) berkembang biak) dapat
menawarkan manfaat tambahan (Vandenplas, 2017).

63
2.5.2. Gejala dan Diagnosis
Gejala yang berkaitan dengan asupan susu sapi biasanya
berkembang dalam dua bulan pertama setelah diperkenalkan dan tidak biasa
bagi CMA untuk berkembang pada anak yang berusia lebih dari satu tahun.
Gejala dapat dipisahkan dalam mediasi IgE dan non-IgE. Banyak bayi
mengalami gejala dalam dua atau lebih sistem organ. Gejala-gejala
termediasi IgE yang khas termasuk urtikaria, angioedema, muntah, diare
dan anafilaksis. Dermatitis dan rinitis dapat dimediasi IgE dan non-IgE.
Muntah, konstipasi, hemosiderosis, malabsorpsi, atrofi vili, proktokolitis
eosinofilik, enterokolitis dan esofagitis eosinofilik adalah reaksi yang
dimediasi non-IgE. Selain itu, gejala pernapasan seperti rinitis kronis dan
asma dapat disebabkan oleh CMA. Iritabilitas, kekaburan dan kolik kadang-
kadang satu-satunya gejala CMA. Investigasi diagnostik seperti IgE, RAST
spesifik dan tes skin prick harus dilakukan tergantung pada fasilitas dan
rutinitas setempat, tetapi mereka tidak direkomendasikan secara rutin. Total
IgE tidak membantu dalam diagnosis CMA, tetapi level IgE terkait dengan
pengembangan toleransi: semakin rendah total IgE, semakin cepat toleransi
berkembang. IgE spesifik dan tes skin prick dapat berkontribusi untuk
mengkonfirmasi diagnosis yang dicurigai, meskipun hasil positif palsu
memang ada. Tes patch atopy, yang populer di Perancis, belum dianggap
sebagai tes diagnostik yang direkomendasikan. Hasil tes negatif tidak
termasuk alergi. Tidak ada tempat untuk penentuan (mahal) kadar antibodi
IgG4 karena ini dianggap untuk menunjukkan kontak sistem kekebalan
dengan antigen tetapi tidak menyarankan reaksi alergi (Vandenplas, 2017).
Gejala berbasis skor, the Cow Milk Related Symptom Score
(CoMiSS) baru-baru ini dikembangkan untuk meningkatkan kesadaran
akan gejala yang berkaitan dengan konsumsi susu sapi. Mungkin sulit untuk
berpasif dalam 80% pasien jika tidak memiliki gambaran awal dari 12
pasien yang mengalami kemunduran dibandingkan dengan eHF. Oleh
karena itu, diharapkan bahwa, ketika divalidasi, CoMiSS dapat menjadi alat
diagnostik yang berharga (Vandenplas, 2017).

64
2.5.3. Cara Menggunakan CoMiSS Dalam Praktek Klinis
CoMiSS menghitung jumlah dan tingkat keparahan gejala.
Dugaan ‘Cow’s Milk-Related Symptoms’ didasarkan pada kombinasi gejala
berikut:
1. Ketidaknyaman Umum
Distress atau kolik yang persisten (≥ 3 jam per hari meratap/ mudah
tersinggung) setidaknya 3 hari/ minggu selama> 3 minggu.
2. Gejala Gastrointestinal
Sering regurgitasi, muntah, diare, sembelit (dengan/ tanpa ruam
perianal), darah dalam tinja.
3. Gejala Pernapasan
Hidung meler (otitis media), batuk kronis, mengi (tidak berhubungan
dengan infeksi).
4. Gejala Dermatologis
Dermatitis atopik, angioedema, urtikaria yang tidak berhubungan
dengan infeksi akut, manifestasi asupan obat (Lifschitz dan Szajewska,
2015).

2.5.4. Tatalaksana CMA


Sebagian besar bayi dengan dugaan CMA akan diberi susu formula
dan diberi kombinasi gejala yang tercantum dalam CoMiSS. Pedoman
merekomendasikan penghapusan diet dengan whH atau eHF berbasis kasein
dengan bukti klinis keberhasilan selama dua hingga empat minggu sebagai
opsi pertama. Skor CoMiSS dapat berkontribusi untuk mengukur klinis
perbaikan. Hidrolisat memperkuat penghalang epitel, memodulasi
diferensiasi sel T dan mengurangi peradangan. Beberapa studi menunjukkan
peran hidrolisat dalam memanipulasi patogen reseptor pensinyalan sebagai
mekanisme yang mendasarinya. Peptida dari hidrolisat telah terbukti
mengikat TLR2 dan TLR4 dan mempengaruhi produksi sitokin dalam sel
epitel dan makrofag. Wawasan saat ini menunjukkan bahwa hidrolisat dapat
berpartisipasi aktif dalam memodulasi kekebalan tubuh tanggapan pada

65
subjek dan mereka yang berisiko mengembangkan CMA. Persentase pasien
yang mentoleransi eHF akan tergantung pada pemilihan pasien. Dalam eHF,
sebagian besar nitrogen hadir sebagai asam amino dan peptida bebas <1500
kDa (Vandenplas, 2017).
Selama perawatan CMA, peptida alergi mungkin berpotensi
berbahaya. Amino formula berbasis asam (AAF) direkomendasikan jika
bayi yang diberi susu formula mengalami kondisi yang jarang anafilaksis
dan esofagitis eosinofilik, atau ketika anak tidak mentolerir eHF dan CMA
kemungkinan diagnosis (karena kegagalan eHF telah dilaporkan) atau
ketika analisis biaya/ manfaat masuk mendukung AAF. Namun, eHF telah
dilaporkan efektif pada orang dewasa dengan eosinofilik esofagitis yang
disebabkan oleh susu sapi. Jika diet ketat AAF tidak menghasilkan
perbaikan gejala, pasien tidak menderita CMA. Dalam kasus anafilaksis,
penatalaksanaan jangka panjang bayi tersebut harus memasukkan tantangan
dengan eHF sebelum susu sapi diperkenalkan kembali. Ini harus dilakukan
setelah 6 hingga 9 bulan atau ketika bayi berusia satu tahun dan selalu di
rumah sakit lingkungan hidup (Vandenplas, 2017).

66
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat Penelitian


Tugas Pengenalan Profesi akan dilaksanakan di Masyarakat wilayah

3.2. Waktu Pelaksanaan


Tugas Pengenalan Profesi akan dilaksanakan pada :
Hari :
Tanggal :
Pukul :

3.3. Subjek Tugas Mandiri


Subjek tugas mandiri pada pelaksanaan Tugas Pengenalan Profesi
Blok XI ini adalah pasien yang menderita Diare.

3.4. Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan dalam pelaksanaan Tugas Pengenalan
Profesi ini antara lain:
1. Buku tulis.
2. Alat tulis.
3. Kamera/alat rekam.
4. Daftar pertanyaan.
5. Informed Consent.

67
3.5. Langkah-Langkah Kerja
Untuk melaksanakan Tugas Pengenalan Profesi Blok XI dengan baik,
diperlukan langkah kerja yang sistematis. Langkah kerja yang di lakukan
adalah:
1. Membahas subjek penelitian Tugas Pengenalan Profesi dengan
pembimbing Tugas Pengenalan Profesi.
2. Membuat proposal Tugas Pengenalan Profesi.
3. Mengonsultasikan proposal pada pembimbing Tugas Pengenalan
Profesi.
4. Menyiapkan surat permohonan izin melakukan kegiatan Tugas
Pengenalan Profesi.
5. Melakukan evaluasi pasien Penyakit Jantung Bawaan.
a. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri kepada
responden.
b. Menanyakan identitas responden.
c. Menjelaskan tujuan TPP (Tugas Pengenalan Profesi).
d. Meminta izin kepada responden untuk melakukan evaluasi
(Informed Consent).
e. Melakukan identifikasi.
f. Mencatat hasil identifikasi di lembar daftar pertanyaan.
g. Mengucapkan terima kasih dan salam.
6. Membuat laporan akhir hasil kegiatan Tugas Pengenalan Profesi.
7. Membuat kesimpulan hasil kegiatan Tugas Pengenalan Profesi.
8. Meminta tanda tangan pembimbing untuk persetujuan pelaksanaan
pleno Tugas Pengenalan Profesi.

68
Daftar Pustaka

Amalie, Oktarida. 2016. Anatomi Fisiologi Organ Digestif. Jakarta: Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia.

Amin, L. Z. 2015. Tatalaksana Diare Akut, Continuing Medical Education, 42(7),


504-508.

Ariani, P (2016). Diare Pencegahan dan Pengobatan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Budhgram GR, Bengiamin R. 2015. Abdominal Pain. Philadelphia: Saunders


Elsevier.

Bhutta ZA. 2016. Acute Gastroenteritis in Children. Nelson textbook of pediatrics.


Edisi ke-20. Philadelphia: WB Saunders. h.1605-18.

Cuesta,. dkk. 2015. The Classification and Evolution of Enzyme Function; 109(6):
1082–1086. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4576142/

Drake, R. L., Vogl, A. W. & Mitchell, A. W. M., 2014. GRAY Dasar-Dasar


Anatomi. 1st ed. Singapore: Elsevier.

Eng KA, Abadeh A, Ligocki C, Lee YK, Moineddin R, Adams-Webber T, Schuh


S, Doria AS. 2018. Acute Appendicitis: A Meta-Analysis of the Diagnostic
Accuracy of US, CT, and MRI as Second-Line Imaging Tests after an Initial
US. Radiology;288(3):717-727.

Ganong, W. F. 2013. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: EGC.

69
Ikatan Dokter Indonesia (IDI). 2017. Panduan Praktis Klinis bagi Dokter di
Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta: IDI.

Lifschitz C, Szajewska H. Cow’s milk allergy: evidence-based diagnosis and


management for the practitioner. Eur J Pediatr. 2015;174;141-50.

Linberg G, Hamid S dkk. 2015. Undersatanding The Prevalence And Impact Of


Constipation. Canada: World Gastroenterology Organisation.

Nemeth, V., Zulfiqar, H., Pfleghaar, N., 2019. Diarrhea. Ncbi.


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448082/. Di akses pada tanggal
11 maret 2020.

Patwa, A. and Shah, A. (2015). Anatomy And Physiology Of Respiratory System


Relevant To Anaesthesia. Indian Journal Of Anaesthesia, 59(9), p.533.

Reiza, F,. 2014. Buku Pintar Anatomi Tubuh Manusia. Tuban: Vicosta
Publishing.

Salvatore, S,. dkk. 2019. Testing the Cow’s Milk-Related Symptom Score
(CoMiSSTM) for the Response to a Cow’s Milk-Free Diet in Infants: A
Prospective Study. Diakses pada 12 Maret 2020.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6835327/

Schiller LR, Pardi DS, Sellin JH. 2017. Chronic Diarrhea: Diagnosis and
Management. Clin. Gastroenterol. Hepatol. 2017 Feb;15(2):182-193.e3.

Snell, R.S. 2014. Anatomi Klinik Berdasarkan Regio. Dialihbahasakan oleh


Suguharto L. Edisi ke-9. Jakarta: EGC.

70
Konsil Kedokteran Indonesia, 2019. Standar Kompetensi Dokter Indonesia.
Jakarta: KKI.

Sudarmo, M., 2018, Saluran Cerna, Mikrobiota Usus dan Daya Tahan Tubuh,
Surabaya: FK UNAIR.

Sudoyo. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 ed.5. Jakarta: Interna
Publishing.

Vandenplas, Y. 2017. Prevention and Management of Cow’s Milk Allergy


in Non-Exclusively Breastfed Infants. Jurnal Nutrients. Dapat diakses di:
www.mdpi.com/journal/nutrients

Wakim, S & Grewal, M. 2020. Human Biology. Biology LibreTexts. Diakses:


05 Maret 2020. (dapat diakses:
https://bio.libretexts.org/Bookshelves/Human_Biology/Book%3A_Human
_Biology_(Wakim_and_Grewal)/18%3A_Digestive_System/18.6%3A_A
ccessory_Organs_of_Digestion)

World Health Organization, 2018. Diarrhoeal Diseases. Diakses: 11 Maret 2020.


https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/diarrhoeal-disease

71

Anda mungkin juga menyukai