(MODUL 1 SKENARIO 3
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 1
Alberta Yudithhia A (1206256402)
Ariana Maulina Putri (1206207962)
Cinthia Muliadina Azhary (1206207691)
Cymilia Gityawati (1206207741)
Gadia Canaparimita G D (1206207760)
Miana Leily Hapsari (1206207880)
Rahmatul Hayati (1206207773)
Rezon Yanuar (1206207905)
Wida Priska Melinda (1206207893)
Zakia Amalia (1206207943)
i
Makalah Ilmu Kedokteran Gigi Klinik 4
Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Indonesia
Skenario :3
Kelompok : 1
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya
sehingga laporan ini dapat diselesaikan dengan baik. Laporan ini merupakan hasil diskusi
kelompok 1 pada skenario 3 mata kuliah Ilmu Kedokteran Gigi Klinik 4 (IKGK 4). Penyusun
telah berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan yang terbaik melalui laporan ini.
Namun, sebagai manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, tentu masih banyak kesalahan
yang terdapat dalam laporan ini. Laporan ini tentu masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu,
penyusun mengharapkan kritik dan saran dari staf pengajar, teman-teman, dan siapapun yang
membaca laporan ini.
Ucapan terima kasih kami ucapkan pada fasilitator kelompok 1, drg. Bramma
Kiswanjaya, Ph.D, seluruh staf pengajar mata kuliah IKGK 4, seluruh anggota kelompok 1
yang telah berkontribusi secara maksimal dalam penyusunan laporan ini, dan pihak-pihak lain
yang telah turut membantu dalam penyusunan laporan ini.
Akhir kata kami mengharapkan laporan ini dapat bermanfaat dan digunakan sebagaimana
mestinya.
Penyusun
Kelompok 1
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3 Analisis Masalah
1.5 Hipotesis
Lentingan yang dialami remaja dan anak merupakan manifestasi dari infeksi virus.
Dibutuhkan obat antivirus untuk menangani kasus tersebut.
2
BAB II
LANDASAN TEORI
1. HERPESVIRUS
Herpesvirus merupakan virus DNA yang ditransmisikan melalui saliva dan cairan
tubuh lainnya. Infeksi virus ini biasanya klinis dan berjangka pendek. Namun ada
beberapa yang subklinis kemudian menetap laten (nonaktif). Reaktivasi virus ini
seringkali disebabkan karena penurunan system imun dan dapat menimbulkan
penyakit-penyakit lain yang lebih parah.
3
Transmisi virus herpes bisa melalui saliva, cairan tubuh, kontak oral genital dengan
penderita infeksi HSV tipe I, dan transmisi vertical dari ibu yang terinfeksi ke
anaknya yang baru lahir.
PATOGENESIS VIRUS
4
(E) yang merupakan kode untuk pengaturan protein dan replikasi DNA. Selain
itu, terdapat gen late (L) yang merupakan kode untuk protein structural.
- Selama infeksi primer, hanya sedikit individu yang menunjukkan gejala klinis
dan symptom dari penyakit sistemik. Gejala yang timbul pada individu tersebut
biasanya hanya gejala subklinis. Pendeteksian pada individu ini dapat
dilakukan dengan tes laboratorium untuk memeriksa antibody HSV. Masa
inkubasi setelah terpapar virus ini adalah 2-20 hari.
- Gejala yang timbul adalah gingivostomatitis awal yang terdapat di jaringan
oral dan perioral. Erupsi ini biasa terjadi di tempat terjadinya kontak.
Latency
- Setelah memasuki periode resolusi (penyembuhan) dari herpetic
gingivostomatitis, virus bermigrasi ke sepanjang selubung periaxon dari saraf
trigeminal menuju ganglion trigeminal. Di ganglion inilah, virus memasuki
fase laten dimana virus menjadi non aktif hanya terjadi ekspresi gen L
sehingga tidak ada virus yang menyebar, tidak ada MHC antigen yang
diekspresikan sehingga tidak ada respon dari sel T.
- HSV yang tetap laten pada sel lain selain sel saraf seperti epithelium disebut
extraneuronal latency.
5
Paparan sinar dan panas mengaktivasi produk gen virus dan menghambat
efek latensi dari virus menyebabkan aktivasi virus.
o Induksi tidak langsung
Sinar UV bersifat immunosupresif dan dapat menginduksi sitokin yang
memicu inflamasi. Sitokin-sitokin ini kemudian mempengaruhi dendrit yang
mengirim sinyal balik ke saraf dimana virus DNA berada.
- HSV-1 yang aktif kembali akan bereplikasi dan berjalan dari nervus trigeminal
ke epitel awal yang terinfeksi (mukosa atau kulit), menyebabkan infeksi
rekuren biasanya manifestasi berupa vesikel atau ulser lokalis pada bibir.
- Setelah infeksi sekunder selesai, virus kembali ke ganglia trigeminal dan
menetap laten.
GEJALA KLINIS
Infeksi Primer HSV
Biasanya terjadi pada anak-anak / remaja yang baru pertama terinfeksi virus
sering salah diagnosis sebagai ‘teething’
Munculnya erythema, kelompok vesikel, dan/atau ulser pada mukosa
terkeratinasi di palatum durum, attached gingiva, dorsum lidah, dan mukosa
6
non-terkeratinasi pada mukosa bukal dan labial, ventral lidah, dan palatum
mole. Lesi hampir ditemukan di semua mukosa.
Gingivitis menyeluruh gingival kemerahan dan sangat nyeri.
Erupsi vesikular di kulit, vermillion border dan membran oral mukosa.
Vesikel oral dan perioral ruptur membentuk ulcers
Gejala sistemik demam, malaise, anorexia, sakit kepala, arthralgia,
chervical lymphadenopathy
Pasien immunocompromised dapat mengalami penyakit yang lebih parah dan
menyebar lebih luas.
Contohnya : Gingivostomatitis Herpes Primer, genital lesion.
7
luka, kecuali ada infeksi bakteri sekunder). Nyeri umumnya
hanya dalam 2 hari pertama.
HSV-2
Gejala klinis untuk infeksi HSV tipe II biasanya ditemukan di genital berupa
blister (lepuhan). Blister yang pecah akan meninggalkan ulserasi yang sulit
disembuhkan (butuh 2-4 minggu untuk sembuh).
8
- Healing lebih lama
- Lokasi tidak khas
- HSV ditemukan di saliva. Dokter gigi atau asisten operator yang terkena saliva
penderita herpes dapat terjangkit herpetic whitlows abses pada kuku dan ibu
jari, terasa sangat nyeri.
DIFERENSIAL DIAGNOSIS
Beberapa penyakit yang memiliki gejala klinis dan sistemik menyerupai
gingivostomatitis herpes primer :
Faringitis streptokokal: secara klinis tidak melibatkan bibir REMINDER:
dan jaringan perioral, dan tidak ada vesikel yang mendahului Herpes simplex
ulser lesi banyak,
berkelompok, terdapat
Erythema multiformae: lesi ulser-nya lebih besar, biasanya
vesikel yang
tanpa melalui tahap vesicular, dan jarang ditemukan di mendahului ulser,
gingival. melibatkan gingival.
9
MANAJEMEN PERAWATAN
1. Infeksi Primer HSV
Perawatan untuk infeksi primer HSV adalah pemberian antiviral
Acyclovir atau famciclovir. Penggunaan acyclovir 15 mg/kg 5 kali sehari pada
anak dapat menurunkan durasi demam, mengurangi HSV shedding,
menghentikan progress lesi, meningkatkan nafsu makan, dan mengurangi
kunjungan rumah sakit.
Dosis acyclovir pada dewasa 200-400 mg 5 kali sehari selama 5-7 hari.
Bila dosis tersebut tidak mempan berarti pasien imunodefisiensi.
2. Infeksi HSV Rekuren
RHL sering ditekan dengan mengurangi faktor pemicu, seperti penggunaan
sunscreen. Selain itu, diberikan pula obat antiviral topical seperti krim
acyclovir 50%, krim penciclovir 3%, dan krim doconasol 100% sangat efektif
jika digunakan 3-6 kali sehari pada gejala awal lesi. Terapi sistemik dengan
valacyclovir atau famciclovir (500-1000 mg 3 kali sehari) efektif dalam
merawat lesi aktif atau untuk menekan infeksi HSV pada pasien yang
mengalami episode sering, lesi besar, atau EM.
3. Infeksi HSV pada Pasien Immunocompromised
Umumnya, pasien dirawat dengan antiviral sistemik yaitu acyclovir intravena
untuk mencegah penyebaran virus ke lokasi lain (misalnya HSV esophagitis).
Untuk pasien alergi acyclovir, alternatifnya ialah foscarnet.
4. Terapi Supportif
Perawatan pendukung yang diberikan berupa kontrol intake cairan yang
adekuat, pemberian analgesic : acetaminophen, menjaga oral hygiene dengan
mouth cleansing dan kumur-kumur menggunakan CHX.
10
Secara struktur, VZV mirip dengan HSV karena memiliki inti DNA dan sama-
sama mengalami masa laten di ganglia sensory dalam waktu tertentu hingga
adanya reaktivasi virus.
PATOGENESIS
Penularan varicella umumnya melalui udara inhalasi droplet yang
terkontaminasi. Setelah inkubasi 2 minggu, VZV berproliferasi dalam
makrofag, masuk ke aliran darah, dan menyebar ke kulit atau organ lain. Hal
tersebut memicu aktifnya respon imun non spesifik interferon dan respon imun
spesifik humoral dan selular. Pada host normal, respon imun mampu membatasi
replikasi virus dan memungkinkan penyembuhan dalam 2-3 minggu. Kemudian,
virus berjalan menuju ganglia sensory untuk menetap dalam fase laten.
TEMUAN KLINIS
GEJALA : demam, malaise, pharyngitis, dan rhinitis.
GAMBARAN KLINIS : gejala sistemik diatas berlanjut dengan munculnya
ruam pada wajah dan badan dan dilanjutkan ke anggota gerak, yang ditandai
dengan prurits exhantema. Ruam terdiri dari papul kecil di seluruh badan yang
cepat berubah menjadi vesikel, pustular dan pecah sehingga mengalami
ulserasi. Biasanya, seluruh lesi akan penuh ditutupi krusta dalam waktu 10 hari
(ruam papular vesicular pustular pecah ulserasi krusta).
Infeksi ini jarang menyebabkan luka jaringan parut permanen, kecuali infeksi
sekunder berkembang.
11
KOMPLIKASI pada pasien immunocompromised, keparahan dapat
meningkat menjadi varicella menular dan hemorrhagic, pneumonia, gangguan
gastrointestinal (muntah, diare, dehidrasi). Pada janin dan bayi neonatus yang
lahir dari penderita varicella, bayi tersebut dapat terjangkit syndrome varicella
congenital disertai microcephaly, katarak, pertumbuhan terhambat, dan
hipoplasia anggota tubuh.
MANAJEMEN PERAWATAN
Pencegahan : Vaksinasi varicella zoster 3-5 hari setelah terpapar.
Penanganan : Pemberian varicella-zoster immunoglobulin dan obat antivirus
seperti acidoclovir, valaciclovir, atau famciclovir.
TEMUAN KLINIS
GEJALA :
12
Rasa sakit yang dalam/ seperti terbakar. Sakit berasal dari infeksi pada
dermatome (area epithelium yang diinervasi oleh saraf spinal) disertai demam,
malaise, sakit kepala, terdapat sedikit lymphadenopathy 1-4 hari sebelum
muncul lesi kutan.
MANIFESTASI KLINIS :
Lesi awal berupa sekelompok vesikel dengan pola dermatom (bisa unilateral,
linear, atau terdistribusi dalam dermatom yang disuplai oleh satu saraf). Dalam
3-4 hari, vesikel berkembang menjadi pustular. Setelah 7-10 hari terjadi rupture
dan ulserasi yang diakhiri dengan krusta. Lesi mereda dalam 2-3 minggu.
Selama penyembuhan, dapat terbentuk scar disertai
hipopigmentasi/hiperpigmentasi.
Bila sakit tidak hilang sampai 3 bulan masuk fase kronis : postherpetic
neuralgia. Sakitnya dideskripsikan sebagai sakit terbakar, tertusuk, gatal, ngilu,
dan sering dipicu hanya dengan sentuhan ringan oleh pakaian. Keadaan kronis
ini bahkan bisa berlangsung hingga 20 tahun.
MANIFESTASI ORAL:
o Infeksi zoster pada divisi opthalmic N.Trigeminal ruam wajah, nyeri,
lesi pada dahi dan kelopak mata serta ulserasi kornea (bisa menyebabkan
kebutaan).
o Infeksi zoster pada divisi maxillaris N.Trigeminal lesi pada bibir atas
dan wajah tengah, sakit seperti terbakar pada palatum unilateral. Beberapa
13
hari kemudian, terbentuk ulser (1-5 mm) di palatum dengan distribusi
unilateral.
MANAJEMEN PERAWATAN
Pencegahan: imunisasi varicella zoster sejak kecil untuk mencegah risiko
terjangkit cacar di kemudian hari.
Perawatan : pemberian antivirus acyclovir, valaciclovir, atau famciclovir per oral
3 hari setelah timbulnya ruam. Pemberian secara intravena dikhususkan pada
pasien imunodefisiensi, terutama penderita HIV/AIDS karena dapat mengancam
nyawa.
14
Nyeri postherpetic neuralgia tidak merespon baik terhadap analgesic. Pemberian
tricylic antidepressants, carbamazepine, atau capsaicin lebih dianjurkan.
Perawatan postherpetic neuralgia dapat dilakukan dengan stimulasi kulit di area
yang sakit dengan cara menggosok area kulit dengan kain secara lembut;
menekan kulit dengan ibu jari; massage; acupuncture; local heat; cold spray;
atau stimulasi saraf dengan elektrik melalui transkutan (TENS).
2. ENTEROVIRUS
Enterovirus berreplikasi di mucosa usus dan ditransmisikan dari orang ke orang
melalui rute enteral (oral-faecal). Kebanyakan infeksi umumnya terjadi pada masa
kanak-kanak. Infeksi enterovirus biasanya bersifat sementara namun dapat
menciptakan kekebalan jangka panjang terhadap infeksi ini. Gejala klinis yang
muncul biasanya ringan, namun infeksi tertentu dapat menyebabkan kelainan yang
serius seperti poliomyelitis paralisis, meningitis, atau myocarditis. Enterovirus yang
relevan dengan kedokteran gigi adalah hepatitis A, poliomyelitis, herpangina, dan
hand-foot-mouth disease.
a. Virus Hepatitis
Sekitar 80% infeksi virus hepatitis disebabkan oeh Virus Hepatitis A (HAV),
Hepatitis B (HBV), Hepatitis C (HCV), Hepatitis D (HDV), dan Hepatitis E
(HEV). Virus tipe HBV, HDV, dan HCV merupakan jenis virus yang cukup
ditakuti dan mendapat perhatian khusus dari para praktisi kesehatan karena
virus-virus tersebut ditransmisikan secara parenteral dan dapat menimbulkan
infeksi kronis. Sedangkan, HAV dan HEV cenderung menyebar secara enteral
(lewat saluran cerna) dan tidak berpotensi menimbukan infeksi kronis.
15
Transmisi HBV, HCV, dan HDV biasa terjadi melalui :
- Paparan darah dan cairan tubuh.
- Transmisi vertical, dari ibu yang terinfeksi kepada janin-nya penyebab
terbanyak kasus infeksi HBV di seluruh dunia.
- Penggunaan obat-obatan intravena (needle/syringe sharing) penyebab
terbanyak infeksi HCV dan HDV.
- Pemakaian body-piercing/ tattoo.
- Hubungan sex dengan banyak individu.
- Hubungan sex dengan orang yang terinfeksi virus hepatitis.
16
- Lelah - Urtikaria
- Mual - Urin berwarna gelap
- Demam - Feses berwarna terang
- Nyeri abdominal - Pembesaran liver
- Hilang nafsu makan
MANAJEMEN PERAWATAN
- Virus Hepatitis A
Pencegahannya berupa vaksinasi hepatitis A sebagai profilaksis, terutama
bagi traveler yang akan pergi ke negara dengan risiko endemic yang tinggi.
Pertimbangan dental : tidak ada risiko transmisi HAV yang fatal selama
melakukan perawatan dental. Namun, sebaiknya pasien tidak melakukan
perawatan gigi selama fase akut (karena masih lemas).
- Virus Hepatitis B
Pencegahan: Vaksinasi hepatitis B bagi mahasiswa kedokteran/kedokteran
gigi, tenaga medis, traveler, bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HBV
(vaksinasi dilakukan 12 jam setelah kelahiran), dan mereka yang bekerja
dengan orang-orang berisiko tinggi .
Setelah vaksinasi rutin (kurang lebih 1-2 bulan setelah dosis vaksinasi
ketiga), perlu dilakukan pemeriksaan pasca vaksinasi untuk melihat adanya
respon antibody protektif. Respon yang adekuat menunjukan angka ≥ 10
mIU/ml. Pemeriksaan pasca vaksinasi ini lebih direkomendasikan bagi:
o Pasien immunocompromised.
o Penerima vaksin di area bokong
o Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif
o Tenaga medis yang pernah berkontak dengan darah pasien hepatitis
o Partner sex dari penderita infeksi kronis HBV.
Manajemen untuk infeksi HBV akut diet tinggi karbohidrat dan hindari
konsumsi hepatotoxins, contoh: alcohol.
Manajemen untuk infeksi HBV kronis pemberian antiviral berupa
interferon-α2b dan pegylated interferon-α2a untuk meningkatkan respon
imun alami serta adevofir dipivoxil, lamivudine, dan entecavir sebagai
penghambat sintesis DNA HBV.
17
- Virus Hepatitis C
Sampai sekarang, belum ditemukan vaksin untuk HVC. Oleh karena itu,
perawatan yang diberikan bersifat kuratif berupa pemberian pegylated
interferon-α2a dan ribavirin. Keberhasilan hasil terapi ditentukan dari respon
virologis yang diprediksi dari genotype HCV dan jumlah virus pre perawatan.
Respon virologis semakin baik apabila usia pasien < 40 tahun, berat < 75 kg,
HCV memiliki genotype 2 atau 3, dan jumlah virus pre perawatan rendah.
- Pertimbangan dental bagi pasien infeksi virus hepatitis :
Mudah terjadi perdarahan,
Mungkin ditemukan petecchiae, hematoma, atau ekimosis pada rongga
mulut pasien
Menurut penelitian, prevalensi HCV yang semakin tinggi memicu
munculnya lichen planus di rongga mulut.
Hindari pemberian obat yang dimetabolisme oleh hati, terutama pada pasien
infeksi kronis yang sudah mengalami gangguan fungsi hati.
Kontrol infeksi sangat penting dilakukan oleh dokter gigi dan asisten. Hati-
hati terpapar saliva, darah, dan gigitan pasien. Paparan paling sering terjadi
ketika operator menggunakan jarum/syringe saat prosedur perawatan dengan
pasien yang terinfeksi
Bila terlanjur terpapar darah, berikan postexposure profilaksis yaitu Hepatitis
B Immunoglobulin dan melakukan vaksin HBV dalam jangka 24 jam setelah
kontak.
Dokter gigi yang positif terinfeksi HBV, HCV, HDV sebaiknya tidak
melakukan exposure-prone procedures.
b. Coxsackievirus (CV)
CV merupakan virus RNA, anggota genus Enterovirus dan family
Picornaviridae, serta memiliki gambaran yang sama dengan poliovirus.
Terdapat 23 CV tipe A (CVA) dan 6 CV tipe B (CVB). Virus bereplikasi
pertama kali di dalam mulut lalu menyebar ke saluran gastrointestinal bawah.
Transmisi utamanya melalui jalur enteral (faecal-oral). Pada rongga mulut,
infeksi CV menyebabkan 3 penyakit: HFM disease, herpangina, dan
lymphonodular pharyngitis.
18
HAND, FOOT, AND MOUTH DISEASE
HFM disease merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh CVA 16
dan Enterovirus (EV) 71. Virus ditransmisikan melalui persebaran udara
atau kontaminasi faecal-oral. 90% infeksi virus ini menyerang anak-anak di
bawah usia 5 tahun dan umumnya subklinis. HFM disease, bersama dengan
banyak infeksi CV, termasuk herpangina, cenderung terjadi musiman
(biasanya musim panas), terjadi pada kelompok epidemic, dan memiliki
tingkat transmisi yang tinggi. Inkubasi virus selama 3-5 hari. Pasien sembuh
dalam jangka waktu 1-2 minggu.
Perbedaan antara HFM disease yang disebabkan oleh EV71 dengan
CVA16 adalah infeksi EV71 lebih mungkin berhubungan dengan penyakit
system saraf pusat yang parah (seperti meningitis dan brainstem
encephalitis), paralysis, pulmonary edema, dan kematian.
19
MANAJEMEN PERAWATAN
Perawatan yang dilakukan umumnya bersifat simtomatik. Larutan
kumur mulut seperti sodium bikarbonat dalam air hangat dapat
digunakan untuk membantu meringankan ketidaknyamanan pada
mulut.Beberapa pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit jika mengalami
dehidrasi karena kesulitan makan dan hidrasi akibat ulser mulut yang
menyakitkan.
HERPANGINA
Herpangina merupakan infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus
Coxsackie tipe A (CVA1-6, CVA8, CVA10, CVA22, CVB3). Virus ini
ditransmisikan melalui saliva dan feses yang terkontaminasi. Herpangina
biasanya mewabah pada musim panas dan musim gugur. Penyakit ini lebih
sering dijumpai pada anak – anak usia kurang dari 10 tahun.
TEMUAN KLINIS
Gejala : Setelah masa inkubasi selama 2-10 hari, infeksi dimulai dengan
gejala umum seperti demam, sakit kepala, menggigil, dan anorexia.
Gejala oral pertama herpangina adalah nyeri tenggorokan, dysphagia,
dan nyeri saat menelan
Manifestasi Oral:
o Terdapat erythema pada orofaring, palatum mole, dan tonsillar pillars.
20
o Lesi oral diawali dengan makula yang dengan cepat
berkembang menjadi papul dan vesikel di area
posterior mulut seperti pharynx, tonsil, faucial
pillars, dan palatum mole. Lesi jarang ditemukan di
mukosa bukal, lidah dan palatum keras.
o Setelah 24-48 jam vesikel pecah menjadi ulser 2-4
mm. Keadaan ini bertahan selama 5-10 hari. Ulserasi
biasanya sembuh dalam 7-10 hari.
o Lymphonodular pharyngitis dipertimbangkan sebagai varian
herpangina dan berhubungan dengan CVA10.
MANAJEMEN PERAWATAN
Herpangina merupakan infeksi yang ringan, sebentar dan jarang
menyebabkan komplikasi sehingga tidak dibutuhkan perawatan spesifik.
Perawatan dilakukan dengan pemberian antipiretik nonaspirin dan
anestesi topikal (dyclonine hydrochloride) untuk mengurangi
ketidaknyamanan.
DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
Lesi HFM disease dan herpangina dapat menyerupai primary herpetic
gingivostomatitis. Lesi pada telapak tangan dan kaki adalah ciri khas HFM
disease, dan ulser pada rongga mulut posterior adalah ciri khas
herpangina. Infeksi primer HSV juga cenderung menyebabkan gejala
konstitusional lebih parah Chickenpox muncul dengan lesi kulit vesicular
generalis, namun ulser tidak jelas pada rongga mulut; pasien juga lebih sakit.
Infeksi Streptococcal pada tenggorokan umumnya tidak menghasilkan vesikel
atau ulser pada HFM disease atau herpangina melainkan eksudat purulen,
meskipun tampak mirip; kultur dapat membedakan keduanya.
21
Lesi dari herpangina terdapat pada pharynx dan bagian posterior dari
mukosa oral, sedangkan HSV pada umumnya mempengaruhi bagian
anterior mulut.
Herpangina dan infeksi CV tidak menyebabkan gingivitis menyeluruh.
Infeksi HSV primer menyebabkan gejala konstitusional yang lebih parah.
Lesi dari herpangina lebih kecil.
Gambaran Klinis
Sebagian besar infeksi EBV pada anak asimptomatik. Pada anak yang berusia
kurang dari 4 tahun dengan gejala demam, lymphadenophaty, pharyngitis,
hepatosplenomegaly, dan rhinitis atau cough (batuk). Anak berusia 4 tahun
terafeksi ssama namun menunjukkan prevalensi hepatosplenomegaly, rhinitis dan
cough yang lebih rendah.
22
sampai 2 pekan sebelum perkembangan pyrexia. Suhu mencapai 104’F dan
bertahan selama 2-4 hari.
a. Infectious mononucleosis
Infeksi akut yang mempengaruhi jaringan limfoid ke seluruh tubuh,
infectious mononucleosis terlihat pada remaja dengan insidensi puncak usia
15-20 tahun. Organisme ada pada saliva dan dapat menyebar melalui
ciuman. Inkubasi selama 4-7 pekan, bisa lebih singkat pada anak-anak 10-
40 hari. Gejala meliputi demam ringan dengan lymphadenopathy generalis
dan limfosit abnormal pada darah. Demam, tonsillitis dan fatigue umum,
dan banyak pasien memiliki splenomegaly. Limfositosis merupakan
gambaran khas.
b. Infeksi EBV kronis, persisten atau tereaktivasi
Gejalanya adalah fatigue persistent, dengan atau tanpa temuan fisik atau
laboratorium.
c. Persebaran EBV melalui sekresi respirasi, terutama melalui kontak oral
Pada pasien dengan sosioekonomi rendah, terpapar EBV pada usia awal,
sedangkan pada pasien dengan sosioekonomi tinggi, infeksi primer
biasanya tertunda sampai remaja atau dewasa muda.
d. Burkitt’s lymphoma
Merupakan tumor sangat ganas yang cepat menyebar dengan metastasis
yang luas. Penyakit ini sering terjadi di Afrika dengan endemic malaria.
Efek parasit malaria pada sistem reticuloendotalial dapat menyebabkan
respons abnormal terhadap infeksi EBV. EBV lalu menghasilkan perubahan
ganas pada jaringan limfoid (limfoma) bukannya proliferasi jinak.
e. Nasopharyngeal carcinoma
f. Hairy leukoplakia
Merupakan area putih dan timbul.
23
Diagnosis
Diagnosis berdasarkan gambaran klinis dan sebaiknya dikonfirmasikan
melalui prosedur laboratorium. Hitung sel leukosit meningkat dengan differential
count menunjukkan limfositosis relatif yang dapat terjadi menjadi 70%-90%
selama minggu kedua. Atypical limfositosis biasanya muncul pada daerah perifer.
Temuan serologi pada EBV adalah adanya Paul-Bunnel heterophil antibody, tes
cepat untuk antibody. Lebih dari 90% pasien dewasa muda memiliki temuan positif
heterophil antibody, namun pasien yang berusia kurang dari 4 tahun sering
mendapatkan hasil negatif. Indirect immunofluorescent testing untuk mendeteksi
antibody spesifik EBV (IgM) sebaiknya digunakan pada pasien yang diduga
memiliki infeksi EBV yang negatif pada tes Paul-Bunnel. ELISA dan recombinant
DNA-derived antigen dapat menggantikan indirect immunofluorescent test.
24
enveloped yang terkait secara struktural dan biological terhadap famili virus
orthomyxovirus, yang dapat menyebabkan mumps dan influenza.Virus tersebut
tersebar melalui droplet udara melalui epitel respirasi nasopharynx, dengan insiden
kejadian antara maret dan april. Periode inkubasi antara 10 – 11 hari dengan
periode prodromal 1 – 7 hari.Exaanthem terdiri dari elevasi pinpoint awal pada
palatum lunak yang menyatu dengan keterlibatan faring dengan eritema terang,
tonsil menunjukkan daerah keabu – abuan biru yang disebut dengan Herman spots.
Gambaran Klinis
Campak merupakan penyakit yang menyerang anak-anak biasanya pada
musim semi setelah periode inkubasi 7 hingga 10 hari, gejala prodromal seperti
demam, tidak enak badan, coryza, konjungtivitis, photophobia, dan batuk. Dalam
1 – 2 hari, makula eritema pathognomonic yang kecil dengan nekrosis berwarna
putih di tengah tampak pada mukosa bukal.
Bintik lesi, yang dikenal sebagai bintik Koplik, setelah dokter anak pertama
kali menggambarkannya seperti berikutTimbulnya kemerahan kulit makulopapular
campak. Bintik Koplik umumnya diawali dengan kulit kemerahan dalam 1 – 2 hari.
Lesi serupa dapat dilihat pada konjungtiva di canthus medial. Kemerahan awalnya
mempengaruhi kepala dan leher, diikuti dengan saluran pernafasan, dan anggota
gerak. Komplikasi yang terkait dengan virus campak adalah ensefalitis dan
trombositopenia purpura. Infeksi sekunder dapat berkembang sebgai otitis media
atau pneumonia.
Differential diagnosis
25
Diagnosis campak biasanya dibuat berdasarkan tanda klinis dan gejala yang
terjadi pada individu yang belum divaksin. Gejala prodromal, bintik Koplik, dan
kemerahan memberikan bukti adanya campak.Jika dibutuhkan, uji laboratori dapat
dilkukan melalui kultur virus atau tes serologi untuk antibodi terhadap virus
campak
Perawatan
Tidak ada perawatan tertentu untuk campak.Terapi pendukung istirahat penuh,
cairan, diet cukup dan analgesik umumnya dibutuhkan. Vaksin efektif untuk
mencegah campak dan diberikan kepada balita dalam bentuk imunisasi untuk
mencegah mumps dan rubella. Vaksinnya disebut dengan MMR (measles, mumps,
rubella)
5. Mumps
Mumps merupakan infeksi virus sialadenitis primer akut yang menyerang
kelenjar parotis. Sebelum adanya imunisasi rutin, mumps meruoakan endemik
dalam setahun walaupun biasanya terjadi pada akhir musim dingin dan
semi.Bentuk noninfeksi mumps atau pembesaran parotis merupakan iodide
mumps.Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar berhubungan dengan
kandungan material kontras radiografik – yodium.Kondisinya terbatas dan jinak
dengan rekurensi paparan berulang terhadap material kontras yodium
Etiologi dan Patogenesis
Agen penyebab infeksi mumps adalah paramyxovirus. Periode inkubasinya
yakni 2 – 3 minggu dengan memberikan gejala klinis. Transmisi terjadi secara
kontak langsung dengan percikan saliva.
Gambaran Klinis
Paien menjadi demam, tidak enak badan, sakit kepala, dan panas dingin,
sakit pada preauricular. Kelenjar saliva, parotis, terjadi infeksi bilateral.
Pembengkakan parotis cenderung asimetri, mencapai proporsi maksimal 2-3 hari.
Sakit lokal lanjut terjadi pada saat rahang bergerak untuk berbicara dan menelan.
Duktus stensen menjadi tersumbat sebagian karena pembengkakan kelenjar,
dengan nyeri yang tajam akibat stimulasi mekanisme sekresi oleh makanan dan
minuman.
26
Pembengkakan mengecil secara jelas sekitar 10 hari setelah timbulnya
gejala. Penyakit ini mempengaruhi pria dan wanita, terutama dewasa muda dan
anak – anak.
Komplikasi yang berpotensi serius (orkitis atau ooforitis) dapat terjadi pada orang
dewasa.
Gondong merupakan infeksi sistemik, hal ini dibuktikan dengan keterlibatan
penyebaran yang luas jaringan glandular dan lainnya dalam tubuh, termasuk hati,
pancreas, ginjal, dan saraf.
Diagnosis
Diagnosis dibuat dengan mendemonstrasikan antibody terhadap mumps S
dan antigen V dan antigen hemaglutinasi. Diagnosis gondok pada orang dewasa
dapat lebih sulit. Uji cepat juga tersedia yakni dengan menggunakan cairan rongga
mulut (mumps-imunoglobulin m (IgM) spesifik yang menangkap immunoassay)
menunjukkan sesitivitas yang baik dan spesifitas sebagai alternatif untuk tes
serologi konvensional.
Uji saliva menggunakan rangkaian reaksi transkripsi polimerasi terbalik
dan amplifikasi gen isothermal-lingkaran membantu dalam perhitungan jumlah
virus yang dapat membantu dalam penilaian pathogenesis penyakit
Perawatan
Perawatannya bersifat simtomatik dan membutuhkan istirahat total.
Analgesik yang diberikan dan kortikosteroid dapat digunakan pada kasus yang
berat. Pemulihan lengkap umumnya diharuskan, walaupun kematian telah
dikaitkan dengan virus ensefalitis, miokarditis, dan nefritis. Gangguan saraf telinga
dan atrofi testis bilateral dapat terjadi meskipun jarang
Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan menggunakan vaksin yang
menginduksi infeksi subklinis menular. Konversi antibodi terjadi pada sekitar 90%
dari individu yang rentan dan kekebalan seumur hidup. Meskipun gondong
merupakan bentuk paling umum dari virus sialadenitis, parotitis mungkin juga
disebabkan oleh agen virus lain, termasuk virus CoxsackieA, echovirus,
viruschoriomeningitis, cytomegalovirus, dan jenisvirusparainfluenza1dan2
27
2.2 PEMERIKSAAN PENUNJANG DAN DIAGNOSIS PADA INFEKSI
VIRUS
Infeksi Virus Herpes Simplex
Pemeriksaan Histopatologi
o Pada pemeriksaan sitologi memakai tehnik Tzanck. Gambaran
mikroskopis tampak pada epitel sel yang terinfeksi terjadi akantolisis,
nukleus menjadi jelas karena terjadi perbesaran nukleus. Gambaran
terserbut disebut balloning degeneration. Terkadang terlihat fusi
multinukleus menjadi giant cell. Namun pemeriksaan secara sitologi
tidak dapat membedakan infeksi pada HSV-1 atau HSV-2.
Pemeriksaan Serologi
o Dideteksi melalui adanya antibodi glycoprotein G. Menunjukkan bahwa
terinfeksi virus HSV-1 atau HSV-2. Untuk pemeriksaan spesifik dapat
digunakan HerpeSelect-1 ELISA dan HerpeSelect-2 ELISA. Adanya
antibodi glycoprotein G1 menunjukkan infeksi HSV-1 dan glycoprotein
G2 menjukkan infeksi HSV-2.
Isolasi Virus
o Pengambilan sampel virus dapat dilakukan dengan tehnik Swab pada
sekret infeksi atau ulserasi. Isolasi virus kemudian dilakukan pada
metode PCR.
Diagnosis
o Gambaran klinis pada infeksi HSV memiliki kemiripan dengan gejala
klinis infeksi lain, sehingga sering kali kita dibingungkan dalam
menegakkan diagnosis. Oleh sebab itu pemeriksaan laboratorium sangat
diperlukan. Pemeriksaan yang paling tepat adalah dengan isolasi virus,
namu pemeriksaan ini memerlukan waktu hingga 2-4 hari. Pemeriksaan
serologi dapat digunakan atau metode antibodi monoklonal DNA in situ
hibridilisasi sangat berguna dalam mengidentifikasi virus. DD: ANUG
(Vincent’s disease) atau Stomatitis apthous.
28
Pemeriksaan Serologi
o Pada pemeriksaan serologi didapatkan peningkatan IgM dan memori
IgG dari infeksi varicella. Jumlah IgG akan tinggi diakibatkan adanya
IgG dari infeksi sebelumnya.
Isolasi Virus
o Polymerase chain reaction (PCR) dilakukan pada cairan vesikel atau
darah. tehnik pewarnaan langsung pada lapisan sitologik dengan Direct
flouroescent antibody (DFA)
Diagnosis
o Diagnosis dapat ditegakkan dari gambaran klinis pasien. Isolaso kultur
virus dapat dilakukan namun membutuhkan waktu hingga 24 jam untuk
mendapatkan hasil yang tepat. Pemeriksaan secara sitologi akan
didapatkan hasil yang sama dengan infeksi HSV dan varicella. Diagnosa
dapat dilakukan dengna cepat dengan tehnik pewarnaan langsung pada
lapisan sitologik dengan flouroescent antibodi monoklonal VzV.
29
Diagnosis
o Diagnosis dapat ditegakkan dari riwayat medis pasien dan penyebaran
lesi. Pemeriksaan dengna sitologic dapat menyebaban kesalahan
diagnosis menjadi infeksi HSV. DD: infeksi HSV dan Hand Foot dan
Mouth Disease
30
Diagnosis
o Diagnosis biasanya berdasarkan rivvayat medis dan gambaran klinis dari
pasien. Diagnosis dapat dibantu melalui isolasi virus dan melalui
pemeriksaan serologi, namun biasanya tidak terlalu digunakan. DD:
apthous ulcer, herpes gingivostomatitis, acute lymponodular pharyngitis
31
ini memiliki keakuratan hingga 99%. Pemeriksaan lain dapat digunakan
EIA (enzym imunoassay). Pemeriksaan melihat jumlah dari p24 antigen,
yang mana merupakan antigen dari HIV.
Isolasi Virus
Diagnosis
o Konfirmasi infeksi HIV dapat dilakukan dengan cara kultur virus atau
pemeriksaan antibody dan antigen HIV. Standar pemeriksaan
menggunakan EIA, western blot, ELISA, atau pun RIPAI. Diagnosis
AIDS dapat juga diindikasikan pada hasil pemeriksaan lab dengan
jumalah CD4+ limposit kurang dari 200 permikro liter. Diagnosis juga
dapat ditegakkan jika ada indikator yang sesuai dengan tabel dibawah.
32
2.3 KOMPLIKASI INFEKSI VIRUS
Pada pasien immunocompromised biasanya terjadi infeksi varicella zoster yang lebih
parah, infeksi dapat timbul atypical, bilateral dan melibatkan multiple dermatomes,
selain itu terjadi retinitis, pneumonitis dan encephalitis. Infeksi herpes zoster tidak
hanya melibatkan ganglion dorsal tetapi juga anterior horn cell, yang menyebabkan
paralysis.
Oral manifestasi : komplikasi yang tidak wajar pada infeksi herpes zoster yaitu adanya
keterlibatan geniculate ganglion yang disebut dengan Ramsay Hunt Syndrom. Pasien
akan mengalami Bells palsy, vesikula pada telinga luar, kehilangan sensasi rasa pada
2/3 anterior lidah. Selain itu infeksi herpes zoster dilaporkan dapat menyebabkan
resorspsi dan eksofiliasi pada gigi, osteonecrosis pada tulang rahang terutama pada
pasien HIV.
Herpes zoster
Komplikasi yang terjadi pada infeksi hespes zoster adalah adanya secondary
infeksi ulcer, neuralgia, paralysis, inflamasi ocular (jika saraf trigeminal
(ophthalmic) terkena virus herpes zoster)
Varicella
Komplikasi yang dapat terjadi adalah pneumonitis, encephalitis, myocarditis,
hepatitis dan inflamasi pada organ lain (terjadi dalam sedikit kasus). Jika
varicella terjadi saat kehamilan dapat menyababkan abnormalitas pada janin.
Jika terjadi pada pasien lansia dan immunocompromised, dapat lebih parah
infeksi yang terjadi dan mengakibatkan banyak komplikasi
33
Measles (Rubeola)
Komplikasi yang terjadi akibat infeksi virus measles adalah encephalitis dan purpura
thrombocytopenic. Infeksi sekunder dapat berkembang menjadi ostitis media atau
pneumonia
Infeksi HIV
Imunodefisiensi merupakan keadaan yang merupakan akibat dari kerusakan pada
respon imun. Imunodefisiensi menjadi predisposisi dari infeksi rekuren, terutama pada
kulit, mukosa dan respiratory tract. HIV AIDS merupakan imunodefiesiensi mayor dan
isu kesehatan di seluruh dunia. Konsekuesi utama pada pasien imunodefisiensi adalah
abnormal susceptibility terhadap infeksi dan biasanya disebabkan oleh organisme yang
memiliki patogenenesis yang rendah dan jarang terjadi pada individu normal. Hal
tersebut dapat menimbulkan infeksi oportunistik. Infeksi yang umum terjadi adalah
candidosis, infeksi herpes, Pneumocytis carinii pneumonia dan mudah terjangkit
neoplasma. HIV menginfeksi CD4+ limfosit T-helper. Transmisi HIV melalui cairan
tubuh, seperti hubungan seksual (melalui saliva, semen dan darah yang terdapat HIV),
darah dan organ transplantasi, jarum yang terkontaminasi, transmisi vertical dari ibu ke
bayi melalu kelahiran dan air susu Ibu.
34
3 Persistent generalized lymphadenopathy (PGL)
4a AIDS-related complex (ARC) tapi bukan AIDS-defining conditions
4b-d AIDS (AIDS-defining illness)
Setelah infeksi awal dengan HIV, akut viraemia merupakan hasil dari penyebaran virus.
Antibody terhadap HIV akan berkembang dan terdapat pada serum selama 6 minggu
hingga 6 bulan infeksi (seroconversion). Dari sepertiga pasien HIV, perkembangan
klinis dari pernyakit seroconversion 3-6 minggu setelah infeksi awal, resembling
glandular fever, terkadang dengan neurological involvement atau dengan rash atau ulser
pada mulut. Pada infeksi HIV akut atau pada stage CDC 1 penyakit seroconversion
pada pasien HIV berupa sakit kepala, pusing, mual, mutah, anorexia, ulcer pada rongga
mulut, demam, berkeringat, diare, pembesaran limpa, dan myalgia.
Infeksi HIV dapat tidak ada symptom untuk beberapa waktu selama 10 tahun.
Walaupun begitu, HIV masih dapat ditransmisikan.
Gambar : infeksi akut HIV – penyakit seroconversion (pada awal terinfeksi 6 minggu-6 bulan)
35
HIV menginfeksi CD4+ akan mengakibatkan lymphopenia dan jumlah CD4 akan
menurun sekitar 500/mm3, dan terdapat gejala klinis yang akan muncul (HIV disease).
Rasio CD4+, CD8+, limfosit-T akan menurun, manifestasi pada umumnya merupakan
infeksi seperti neoplasma, neurological dan kelainan autoimun.
Berdasarkan definisi CDC, pasien yang sudah dikatakan AIDS jika jumlah CD4 pada
darah kurang dari 200/mm3 dengan HIV dan terapat 26 kondisi klinis yang ada pada
pasien dengan advanced HIV disesase seperti pulmonary tuberculosis (TB),
Pneumocytis peneumonia, rekuren pneumonia atau karsinoma servikal invasive.
Kemudian pada pasien akan berkembang infeksi-infeksi (berasal dari virus, bakteri,
jamur, dan parasit), malignancies atau keganasan (kanker, neoplasma, melanoma,
karsinoma sel basal, Kaposi sarcoma, lymphoma, karsinoma sel squamous pada kulit
dan bibir, karsinoma pada serviks, genitalia eksternal dan perineum) dan
encephalophaty. Selain itu penurunan berat badan umum terjadi pada pasien AIDS. Di
Afrika disebut dengan “Slim Disease”.
36
Onset AIDS dapat dipengaruhi oleh virus HIV, umur pasien, jenis kelamin, konsumsi
obat-obatan, imunogenetik dan faktor-faktor lain. Penyakit akan timbul ketika jumlah
CD4 menurun ke level yang rendah, dimana pasien yang terinfeksi pertahanannya akan
menurun, seperti malnutrisi dan dimana dapat paparan dari pathogen potensial
Beberapa pasien dengan infeksi HIV akan menderita karena seebagai host dari kondisi
mematikan, termasuk infeksi-infeksi lain (contoh infeksi jamur atau virus, hepatitis,
infeksi menular seksual, Tuberculosis), substance abuse, penyakit kejiwaan, dan
homelessness.
Lebih dari 75% pasien dengan AIDS memilki penyakit orofasial. Lesi-lesi oral yang
menyertainya seperti hairy leukoplakia, thrush, erythematous candidosis, Kaposi’s
sarcoma, dan oral ulcers.
1. Oral Candidosis
Oral thrush atau bentuk lain dari candidosis dapat ditemukan pada lebih dari
70% pasien AIDS. Hal ini mengindikasikan penurunan imunintas dan bahwa
infeksi lainnya dapat mengikuti. Sekitar 50% pasien dengan HIV-assosiated
thrush berkembang menjadi AIDS dalam 5 tahun. Tipe paling umum candidosis
seperti angular stomatitis, palatah erythema atau hyperplastic candidosis juga
dapat ditemukan pada pasien AIDS.
37
Gambar 1. Erythematous Candidosis
Sumber: Cawson
3. Hairy Leukoplakia
Hairy leukoplakia adalah karakteristik infeksi HIV.
38
4. Tumor
Sekitar 50% pasien dengan AIDS memiliki tumor malignant dan yang paling
sering yaitu Kaposi’s sarcoma dan non-Hodgkin lymphoma. Tidak seperti
pasien non-AIDS, tumor ini biasanya pada regio kepala dan leher.
5. Limfoma
AIDS-related lymphoma dapat berkembang pada sisi intraoral atau kelenjar
saliva lebih sering dari pada orang dengan HIV negative. Sisi di dalam rongga
mulut yang sering diserang yaitu palatum dan gingiva.
6. Lymphadenopathy
Cervical lymphadenopathy adalah manifestasi kepala dan leher paling umum
infeksi HIV. Pembesaran nodus limfa servikal juga dapat dikarenakan limfoma.
7. Penyakit Autoimun
Penyakit autoimun paling umum pada AIDS yaitu thrombocytopenic purpura.
Penyakit autoimun lainnya seperti lupus erythematosus dan Sjogren-like
salivary gland disease.
Gambar 4. Purpura
39
2.5 KONTROL INFEKSI
Tindakan control infeksi adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
cross-infection dan cross-contamination baik dari pasien ke dokter gigi, pasien ke
pasien, maupun pasien ke pekerja pelayanan kesehatan. Dokter gigi perlu
melaksanakan usaha-usaha kontrol infeksi untuk membatasi penyebaran penyakit
karena:
Untuk melakukan suatu tindakan bedah, dokter gigi biasanya akan merusak
lapisan epitel yang merupakan pertahanan penting terhadap infeksi
Selama sebagian besar prosedur bedah mulut, dokter gigi, perawat, dan
peralatan yang digunakan menjadi terkontaminasi oleh darah dan saliva pasien.
40
Aliran udara di seluruh bagian oven dan yang melalui
objek yang disterilisasi.
(tambahan: waktu bagi alat yang disterilisasi untuk
menjadi dingin).
Keuntungan: penggunaannya mudah dan mengurangi
kemungkinan merusak instrumen yang tahan panas.
Kerugian: waktu yang diperlukan relatif lama sehingga kurang
praktis dan adanya resiko merusak instrumen yang sensitif
terhadap panas.
b. Moist Heat
Kontainer yang biasa digunakan untuk menyediakan uap dengan
tekanan dikenal sebagai autoclave. Autoclave bekerja dengan
menciptakan uap, kemudian melalui serangkaian katup, terjadi
peningkatan tekanan sehingga uap menjadi lebih panas.
Instrumen yang akan disterilisasi dengan autoclave harus
dikemas untuk memungkinkan masuknya aliran uap ke
instrumen; misalnya dengan ditaruh di paper bags atau kain.
Moist heat lebih efisien dibanding dry heat karena moist heat
efektif pada temperatur yang lebih rendah dan memerlukan
waktu yang lebih singkat.. Uap jenuh (saturated steam) yang
diberi tekanan (autoclaving) lebih efisien dibanding uap tanpa
tekanan.
41
Keuntungan: cepat, efektif, relatif tersedia untuk office-
proportioned.
Kerugian: cenderung membuat instrumen berkarat dan relatif
mahal.
42
menginaktivasi vegetative bacteria, tubercle bacilli, spora bakteri, virus nonlipid
dan virus lipid. Klasifikasinya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Substansi yang dapat diterima untuk disinfeksi instrumen dental untuk bedah:
Glutaraldehyde paling sering digunakan
Iodofor
Chlorine compunds
Formaldehyde
Alkohol tidak cocok untuk disinfeksi dental umum karena mengalami evaporasi
terlalu cepat, namun alkohol bisa digunakan untuk disinfeksi cartridge anestesi
lokal. Quartenary ammonium compound tidak direkomendasikan pada bidang
kedokgi karena tidak efektif terhadap virus hepatitis B dan menjadi inaktif oleh
adanya sabun dan agen anionik.
Yang harus diperhatikan dalam melakukan disinfeksi dengan agen kimiawi:
Instrumen harus tetap berkontak dengan larutan disinfeksi selama
beberapa waktu
Tidak boleh ada instrumen baru yang terkontaminasi yang dimasukkan
ke larutan disinfeksi selama waktu tersebut
Semua instrumen harus dibersihkan dari darah atau material terlihat
lainnya sebelum dimasukkan ke larutan disinfeksi
Setelah proses disinfeksi, instrumen harus dibilas bersih agar bebas dari
bahan kimia dan harus segera digunakan.
Operatory Disinfection
Permukaan apapun yang berkontak dengan pasien atau sekresi tubuh pasien
berpotensi sebagai carrier organisme infeksius. Selain itu, penggunaan alat bur
high speed memungkinkan tercipratnya darah dan sekresi pasien ke berbagai
permukaan di area praktik dokter gigi. Disinfeksi ruang praktik dapat dilakukan
dengan dua cara dasar:
43
Semua permukaan dilap dengan larutan disinfektan hospital-grade
Chlorine compounds dan glutaraldehid dapat mencegah penyebaran
virus hepatitis ketika digunakan dengan konsentrasi 0,2% untuk chlorine
compounds dan 2% untuk glutaraldehid.
Semua permukaan dilapisi dengan lapisan pelindung yang diganti setiap
pergantian pasien.
Headrest, tray tables, nitrous oxide dan chair control, light handles
dapat dilapisi dengan disposable covers yang banyak tersedia di pasaran.
Dispenser sabun dan keran pada wastafel merupakan sumber kontaminasi,
kecuali keduanya dapat diaktivasi tanpa menggunakan sentuhan tangan (misal
dengan sensor otomatis). Oleh karena itu, keduanya harus sering didisinfeksi
karena banyak bakteri yang hidup bahkan menyukai lingkungan bersabun.
44
1. Manajemen luka
Beberapa prinsip perawatan pasca bedah berguna untuk mencegah penyebaran
patogen.
Luka harus diinspeksi atau ditutup dengan tangan yang sudah memakai gloves
baru dan bersih.
Jika beberapa pasien menunggu, mereka yang tanpa masalah infeksi harus
diperiksa terlebih dahulu, dan kemudian pasien dengan masalah seperti drainase
abses baru diperiksa kemudian.
2. Manajemen benda tajam
Material yang sudah terkontaminasi selama prosedur bedah harus dibuang
dengan cara tertentu sehingga staff dan pasien lain tidak terinfeksi.
Resiko terbesar transmisi penyakit dari pasien yang terinfeksi adalah melalui
laserasi dari scalpel atau jarum suntik secara tidak sengaja.
Sharp injuries dapat dicegah dengan menggunakan jarum anestesi lokal untuk
menutup kembali jarum setelah digunakan.
45
Hati-hati agar tidak melepas atau memasang blade dari dan ke scalpel tanpa
instrumen
Alat-alat tajam harus dibuang ke suatu wadah yang kaku, bertanda, dan memang
didesain khusus untuk objek tajam terkontaminasi.
Barang-barang yang sudah terkontaminasi harus dibuang dalam suatu plastik
yang diberi label dan diberikan ke reputable hazardous waste management
company.
46
memungkinkan dengan komunikasi verbal di tempat yang tenang, lokasi pribadi, dan
berbagi pengetahuan dan fakta-fakta dalam suasana kejujuran dan keterbukaan.
Jika pasien positif terinfeksi HIV maka pasien harus dirujuk untuk tes HIV, dan
evaluasi medis. Dokter gigi dapat melakukan pemeriksaan laboratorium diagnostik
menggunakan air liur (OraQuick muka, OraSure Technologies, Inc, Bethlehem,
Pennsylvania) atau pengujian serum dapat dilakukan dengan rujukan ke fasilitas medis.
Dokter harus memberikan pengertian kepada pasien mengenai pentingnya pengujian
dan dokter harus memastikan faktor risiko termasuk kebiasaan seksual, penggunaan
narkoba melalui suntikan, dan sebagainya. Pasien dengan faktor risiko tinggi harus
didorong untuk mengikuti tes diagnostik.
Pasien dengan risiko tinggi AIDS dan yang didiagnosa terkena AIDS atau HIV
harus diperlakukan dengan perlakuan yang sama seperti pasien lain, dengan
kewaspadaan standar lainnya. Beberapa pedoman telah muncul mengenai hak-hak
dokter gigi dan pasien dengan AIDS, seperti berikut:
Dokter gigi tidak mungkin menolak melakukan perawatan gigi kepada pasien
yang menolak untuk menjalani tes pajanan HIV, meskipun dokter gigi tahu
bahwa pasien sedang terinfeksi HIV dan dokter gigi harus memperlakukan
pasien menggunakan tindakan pencegahan standar, seperti untuk pasien lainnya.
Pasien AIDS yang membutuhkan perawatan gigi darurat tidak dapat ditolak
perawatan hanya karena dokter gigi tidak mau mengobati pasien dengan AIDS.
Tidak ada alasan medis atau ilmiah untuk membenarkan mengapa pasien AIDS
yang mencari perawatan gigi rutin dapat menolak pengobatan oleh dokter gigi,
terlepas dari alasan pribadi praktisi. Namun, jika dokter gigi dan pasien setuju,
dokter gigi dapat merujuk pasien ini ke operator lain yang lebih bersedia atau
lebih cocok (sesuai dengan status kesehatan mulut pasien) untuk memberikan
pengobatan.
Seorang pasien yang telah berada di bawah perawatan seorang dokter gigi dan
kemudian menyebarkan AIDS atau kondisi terkait, harus diperlakukan baik dan
dilakukan perawatan yang memuaskan dengan dokter gigi tersebut atau
menerima rujukan pasien tersebut.
47
CDC dan American Dental Association menyarankan dokter gigi
menginformasikan pasien mengenai infeksi dari status HIV mereka dan harus
menerima persetujuan atau menahan diri dari melakukan prosedur invasif.
GENERAL MANAGEMENT
Diagnosis infeksi HIV didasarkan pada riwayat paparan potensi untuk HIV
(yang mungkin tidak terlihat) dan pola klinis. Pemeriksaan lebih spesifik adalah dengan
serologi: antibodi serum terhadap HIV dapat dideteksi dengan ELISA (enzyme-linked
immunosorbent assay) atau tes skrining aglutinasi dan tes konfirmasi tambahan seperti
imunoblotting Barat. ELISA atau aglutinasi tes skrining untuk antibodi serum terhadap
HIV adalah langkah pertama. Antibodi biasanya terdeteksi dari sekitar 6-8 minggu
setelah infeksi, dan sebagian bertahan hidup. ELISA uji memiliki sensitivitas sekitar
98% dan spesifisitas sekitar 99% dalam kondisi optimal.
PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL
Tingkat kematian akibat AIDS hampir 100%, tetapi meskipun masih belum ada
pengobatan yang efektif untuk, obat antiretroviral secara signifikan dapat menghambat
kemajuan infeksi HIV. Terapi antiretroviral (ART) berarti mengobati infeksi HIV
dengan beberapa obat. Karena HIV adalah retrovirus, obat ini biasa disebut sebagai
obat antiretroviral (ARV). ARV tidak membunuh virus itu. Namun, ART dapat
melambatkan pertumbuhan virus. Waktu pertumbuhan virus dilambatkan, begitu juga
penyakit HIV. Obat ARV umumnya dipakai dalam gabungan dengan tiga atau lebih
ARV dari lebih dari satu golongan. Hal ini disebut sebagai terapi kombinasi, atau ART.
ART bekerja jauh lebih baik daripada hanya satu ARV sendiri. Cara penggunaan obat
ini mencegah munculnya resistansi. Saat ini, belum ditemukan penyembuh infeksi HIV.
ARV mengurangi viral load, yaitu jumlah HIV dalam aliran darah kita. Kalau viral load
kita lebih rendah, kita tetap sehat lebih lama. Kita juga kurang mungkin menularkan
HIV pada orang lain.
PROFILAKSIS ANTIMIKROBA
48
Pasien dengan jumlah CD4 rendah diberikan antimikroba sebagai profilaksis
terhadap infeksi oportunistik.
DENTAL MANAGEMENT
Sebagian besar pasien dengan penyakit HIV memiliki manifestasi oral, kepala
dan leher pada periode waktu tertentu, seperti:
49
Lesi oral pada pasien HIV/AIDS timbul saat sel CD4 dihitung berkurang dan
kadang masih dalam keadaan terkontrol, setidaknya secara sementara menggunakan
perawatan antiretroviral. Manifestasi oral menurut WHO digolongkan menjadi:
50
PERAWATAN PASIEN AIDS
- Pengobatan untuk penyembuhan belum ada.
- Obat masih tahap percobaan HPA-23 di Perancis. Foscernet di Swedia dan
Kanada.
- Obat yang terbukti menghambat laju penyakit adalah Zidovudin (AZT)
- Pengobatan untuk melawan infeksi sampingan, mencegah komplikasi virus,
memperbaiki fungsi tubuh penderita.
- Diperlukan juga : Psikoterapi, konseling keluarga dan terapi kelompok
PERAWATAN DENTAL
- Pertimbangan utama : meminimalisasi kemungkinan penularan HIV dari pasien
kepada dokter gigi, para staf dan pasien lain.
- Prosedur dental yang bersinggungan dengan jaringan lunak dapat menyebabkan
saliva bercampur darah terjadi penular HIV.
- 4 parameter yang perlu dipertimbangkan untuk formulasi rencana perawatan
yang tepat pada pasien ini adalah :
1. Kondisi kesehatan pasien menentukan kemampuannya.
2. Hal yang penting untuk memperbaiki fungsi penyembuhan pasien.
3. Prognosis pasien
4. Keadaan keuangan
Pencegahan HIV
Penjaringan Pasien
Dalam hal ini harus disadari bahwa tidak semua pasien dengan penyakit
infeksi dapat terjaring dengan rekam medik sehingga system penjaringan pasien
tidak menjamin sepenuhnya pencegahan penularan penyakit. Konsep Universal
precaution pertama kali dianjurkan oleh Centers For disease Control (CDC)
pada tahun 1987 yaitu memperlakukan semua pasien seolah-olah mereka
terinfeksi HIV.
Perlindungan diri
Perlindungan diri meliputi cuci tangan, pemakaian sarung tangan, masker,
kaca mata, dan mantel kerja. Prosedur cuci tangan dilakukan dengan sabun
antiseptik di bawah air mengalir. Persyaratan yang harus dipenuhi sarung
tangan adalah dasar tidak mengiritasi tangan, tahan bocor, dan memberikan
kepekaan yang tinggi bagi pemakainya. Masker berfungsi untuk melindungi
51
mukosa hidung dan kontaminasi percikan saliva dan darah pada mata karena
conjunctiva mata merupakan salah satu port entry sebagian besar infeksi virus.
Sedangkan mantel kerja dianjurkan digunakan sewaktu melayani pasien yang
setiap saat terkancing baik.
Dekontaminasi Peralatan
Dekontaminasi adalah suatu istilah umum yang meliputi segala metode
pembersihan, desinfeksi dan sterilisasi yang bertujuan untuk menghilangkan
pencemaran mikroorganisme yang melekat pada peralatan medis sedemikian
rupa sehingga tidak berbahaya. Metode dekontaminasi yang utama adalah
penguapan dibawah tekana (autoklav), pemanasan kering (oven udara panas),
air mendidih dan desinfektan kimia dengan menggunakan hipoklorit atau
glutaraldehid 2%.
Desinfeksi permukaan lingkungan kerja
Setiap permukaan yang dijamah oleh tangan operator harus disterilkan
(misalnya instrumen) atau desinfeksi (misalnya meja kerja, kaca pengaduk,
tombol-tombol atau pegangan laci dan lampu). Meja kerja, tombol-tombol,
selang aspirator, tabung, botol material dan pegangan lampu unit harus diulas
dengan klorheksidin 0,5% dalam alcohol atau hipoklorit 1000 bagian perjuta
(bpj) dari klorida yang tersedia, dalam setiap sesi atau setiap pergantian pasien.
Piston harus dicuci dan debris dari pelastik penyaring dibersihkan setiap selesai
satu pasien. Selang aspirator sebaiknya memakai yang sekali pakai. Bila ada
noda darah, cairan tubuh atau nanah, permukaan harus didesinfeksidengan
larutan hipoklorit yang mengandung 10.000 bjp dari klorida yang tersedia dan
kemudian dibersihkan dengan lap sekali pakai. Larutan harus dibiarkan pada
permukaan yang akan dibersihkan minimal selama tiga menit, kemudian
larutan tersebut dilap, serta permukaan permukaan tersebut dibilas dan
dikeringkan.
Posisi operator tertentu didalam melakukan tindakan perawatan gigi, juga
mempunyai resiko kontaminasi dari mulut pasien ke operator. Penelitian di
Universitas Bologna, Itali membuktikan bahwa resiko terbesar bagi operator
bila ia bekerja pada posisi kanan penderita diposisi jam 9.
Penanganan limbah klinik
Yang dimaksud dengan limbah klinik adalah semua bahan yang menular
atau kemungkinan besar menular atau zat-zat yang berbahaya yang berasal dari
52
lingkungan kedokteran dan kedokteran gigi. Limbah ini dikumpulkan untuk
dibakar, atau ditanam untuk jenis tertentu. Limbah klinik seperti jarum
dikumpulkan di dalam wadah plastik berwarna kuninguntuk dibakar dan jenis
limbah tertentu dikumpulkan untuk ditanam. Sebaiknya jarum suntik disposible
setelah dipakai langsung dibuang dalam wadah tanpa memasang kembali
penutup jarum, hal ini untuk menghindari tertusuknya tangan oleh jarum
tersebut.
Limbah darah, adalah yang paling potensial mengandung HIV, maka bila
ada limbah darah misalnya kapas dengan darah, ekstraksi jaringan atau gigi
jatuh ke lantai ambillah limbah tersebut dengan mengggunakan sarung tangan,
dibersihkan dengan lap atau tissue kertas kemudian lap atau tissue dan daerah
tumpahan dituangkan larutan hipoklorit 10.000 bpj. Setelah 10 menit atau lebih,
bilas tempat tersebut dengan lap lain, dan lap serta tissue dapat dibuang sesuai
dengan tempatnya.
53
sosial mengintervensi tugas saya dan paien saya” (Deklarasi Jenewa). Pada saat
yang sama dokter juga mengklaim bahwa mereka berhak menolak atau
menerima pasien kecuali dalam keadaan gawat. Walaupun pembenaran
penolakan ini berhubungan dengan keseluruhan praktek atau kurangnya
spesialisasi dan kualifikasi pendidikan, namun jika dokter tidak memberikan
alasan penolakan tersebut maka dengan mudah dikatakan dokter telah
melakukan diskriminasi.
Bahkan walaupun dalam memilih pasien dokter tetap menghargai dan
memandang sama, dokter dapat saja tidak melakukan hal sama dalam hal
perilaku dan perawatan yang diberikan kepada pasien. Jika pemeriksaan atau
tindakan di luar kapasitas seorang dokter dia harus menyerahkan kepada dokter
lain yang mempunyai kemampuan yang diperlukan.
Pada pasien HIV/AIDS, tidak hanya karena penyakitnya yang mengancam
jiwa namun juga karena hal itu sering dikaitkan dengan prasangka sosial. Namun
ada banyak penyakit infeksi lain yang lebih mudah ditularkan kepada pekerja
kesehatan dibanding HIV/AIDS. Beberapa dokter ragu dalam melakukan
prosedur invasif terhadap pasien dengan kondisi tersebut karena kemungkinan
dokter dapat tertular. Namun demikian, kode etik kedokteran tidak membuat
perkecualian terhadap pasien infeksi karena memang kewajiban dokter untuk
memperlakukan semua pasien secara sama.
54
Seorang yang menderita AIDS memerlukan perawatan yang tepat dan
dengan belas kasih. Dokter yang tidak sanggup memberikan perawatan dan
pelayanan yang diperlukan oleh pasien AIDS harus membuat rujukan yang
sesuai terhadap dokter atau fasilitas yang dapat memberikan pelayanan yang
diperlukan. Sampai rujukan didapatkan, dokter harus terus merawat pasien
berdasarkan kemampuan terbaik yang dimilikinya.
55
jika ternyata menyampaikannya dapat membahayakan atau menyakiti pasien
secara emosional, psikologi, fisik dirinya atau orang lain; seperti jika pasien
dapat melakukan tindakan bunuh diri jika diagnosa ternyata
mengindikasikan adanya penyakit stadium terminal. Hak istimewa ini sangat
mungkin disalahgunakan, sehingga dokter hanya boleh menggunakannya
dalam keadaan yang ekstrim. Dokter harus mengawali dengan anggapan
bahwa semua orang pasien dapat menghadapi semua fakta dan tetap
mencoba terbuka terhadap kasus-kasus dimana dokter menganggap bahwa
akan lebih membahayakan jika mengatakan kebenaran dibanding tidak
mengatakannya.
3. Kerahasiaan
Terhadap kerahasiaan yang diminta oleh hukum, dokter mempunyai tugas etik
untuk membagi informasi dengan orang yang mungkin berada dalam bahaya
karena pasien tersebut. Keadaan ini dapat terjadi saat dokter yakin bahwa pasien
yang dihadapinya HIV Positif namun tetap meneruskan hubungan seks yang
tidak aman dengan pasangannya atau dengan orang lain.
Dalam kasus pasien HIV positif pembeberan informai kepada pasangan atau
partner seksnya saat itu bukanlah sesuatu yang tidak etis, dan bahkan dibenarkan
jika pasien tidak bersedia menginformasikannya kepada orang (orang-orang)
tersebut bahwa dia (mereka) dalam resiko. Pembenaran dari pembeberan
informasi haruslah berdasar: partner beresiko terinfeksi HIV namun tidak
mengetahui kemungkinan terinfeksi; pasien menolak memberi tahu pasangan
seksnya; pasien menolak bantuan dokter untuk melakukannya; dan dokter telah
mengatakan kepada pasien untuk memberitahu pasangannya.
56
- Menjauhkan diri dari penderita
- Berusaha tidak menyentuh penderita
- Bahkan membakar bekas pakaian penderita
Reaksi awal ini terlanjur tersebar ke seluruh dunia melalui media massa Barat
sehingga
- Banyak negara yang berlaku kepercayaan yang salah tentang AIDS
- Di negara Barat sendiri sikap masyarakatnya sudah jauh lebih tenang dan rasional
57
4. Seorang tenaga kesehatan yang tidak menyediakan pelayanan medis harus
merujuk kepada tenaga yang lebih ahli atau ke tempat yang memiliki fasilitas
lebih baik.
5. Tenaga kesehatan harus menghormati hak pribadi dan kerahasiaan penderita
AIDS dan orang-orang yang mengidap HIV
6. Apabila tidak ada peraturan atau larangan untuk melaporkan orang-orang
yang menderita seropositif ke lembaga kesehatan yang berwenang, sedangkan
tenaga kesehatan tersebut mengetahui orang2 tsb akan membahayakan
masyarakat, tenaga kesehatan itu harus:
o Menganjurkan penderita tersebut untuk menjaga diri supaya tidak
membahayakan pihak ketiga
o Jika anjuran tersebut tidak dipatuhi, melaporkan penderit atersebut ke
pihak yang modern berwenang.
o Jika yang berwenang tidak memberikan tanggapan, melaporan penderita
itu kepada masyarakat yang beresiko tertular
7. Tenaga kesehatan yang menemukan seseorang telah seropositif disarankan
kepadanya untuk tidak melibatkan diri pada aktivitas yang mempunyai resiko
tinggi terhadap penyebaran AIDS
8. Seorang tenaga medis yang menderita AIDS/Seropositif disarankan untuk
tidak melibatkan diri pada aktivitas yang mempunyai resiko tinggi kepada
pasiennya
- Dokter/dokter gigi sebagai manusia biasa adalah bagian dari masyarakat yang
dihadapkan pada banyak masalah sewaktu harus menghadapi kasus-kasus AIDS.
Dalam hal ini tetap melakukan profesi menurut ukuran tertinggi (KODEKI BAB
1 pasal 1)
- Sehubungan dengan telah masuknya infeksi HIV dan penderita AIDS ke
Indonesia terbitlah Instruksi Menteri Kesehatan RI No.72/Menkes/II/1988
tentang kewajiban melaporkan penderita dengan gejala AIDS, ditetapkan tanggal
11 Februari 1988
58
Aspek Legal Dalam Tatalaksana Perawatan ODHA
Pasal 4 UU Kesehatan No. 36/2009 dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas
kesehatan. Permasalahan HIV dan AIDS sangat terkait dengan hak atas kesehatan.
Hak atas kesehatan adalah aset utama keberadaan umat manusia karena terkait
dengan kepastian akan adanya pemenuhan atas hak yang lain, seperti pendidikan
dan pekerjaan
Dalam Pasal 5 UU Kesehatan No. 36/2009 dinyatakan bahwa terdapat kesamaan
hak tiap orang dalam mendapatkan akses atas sumber daya kesehatan, memperoleh
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.Tugas pemerintah dalam
hal ini untuk menyediakan tenaga medis, paramedik dan tenaga kesehatan lainnya
yang cukup dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi penderita HIV/AIDS dan
menjamin ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan sehingga tercapai derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya. Penyediaan obat dan perbekalan kesehatan serta
jaminan ketersediaan obat dan alat kesehatan diatur dalam UU Kesehatan dan
berlaku juga bagi penderita HIV/AIDS.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013
Tentang Penanggulangan HIV/AIDS . Pada Bagian Kelima Pasal 30 dan 31
menjelaskan tentang pengobatan dan perawatan bagi ODHA sebagai berikut :
o Pasal 30 ayat 1 : setiap fasilitas pelayanan kesehatan dilarang menolak
pengobatan dan perawatan ODHA.
o Pasal 30 ayat 2 : dalam hal fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud ayat (1) tidak mampu memberikan pengobatan dan perawatan,
wajib merujuk ODHA ke fasilitas pelayanan kesehatan lain yang mampu
atau ke rumah sakit rujukan ARV.
o Pasal 31 ayat 1 : setiap orang terinfeksi HIV wajib mendapatkan konseling
pasca pemeriksaan diagnosis HIV, diregistrasi secara nasional dan
mendapatkan pengobatan.
o Pasal 31 ayat 2 : registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi
pencatatan yang memuat nomor kode fasilitas pelayanan kesehatan, nomor
urut ditemukan di fasilitas pelayanan kesehatan dan stadium klinis saat
pertama kali ditegakkan diagnosisnya.
o Pasal 31 ayat 3 : registrasi sebagaiman dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2
harus dijaga kerahasiaannya seuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
59
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
812/Menkes/SK/VII/2007 Tentang kebijakan perawatan paliatif menteri kesehatan
republik indonesia.
2.9 KEGAWATDARURATAN
Kegawatdaruratan Pasien Positif HIV
Menurunnya jumlah CD4 akibat HIV dikaitkan dengan beberapa infeksi
oportunistik/keganasan yang mungkin mengancam kehidupan dan memerlukan
intervensi cepat oleh petugas kesehatan. Keadaan darurat ini bisa berhubungan dengan
60
1. Infeksi oportunistik yang terlihat pada manifestasi atau yang terjadi karena
sistem kekebalan tubuh menjadi lemah.
2. Penyakit HIV-induced seperti enteropati dan wasting, diare yang menyebabkan
dehidrasi, komplikasi neurologis, dll
3. Komplikasi dari penggunaan obat anti-HIV seperti asidosis laktat, pankreatitis,
penekanan sumsum tulang dll
4. Sindrom immune reconstitution
Keadaan darurat pada pasien yang terinfeksi HIV dapat terjadi pada setiap tahap
penyakit. Infeksi oportunistik dapat menyebabkan kerusakan permanen organ seperti
otak, mata atau paru-paru. Penggunaan ART mungkin berhubungan dengan efek
samping obat ARV seperti penyakit kuning, asidosis laktat, anemia dll interaksi obat-
obat yang sering dapat menyebabkan gejala yang parah seperti mual, diare dan
komplikasi seperti anemia atau leukopenia. Namun, kondisi emergensi tersebut
biasanya tidak umum terjadi pada saat pasien sedang berkunjung ke praktek dokter gigi
untuk melakukan perawatan gigi.
Kegawatdaruratan yang Dapat Terjadi pada Dokter Gigi Saat Merawat Pasien
dengan HIV/AIDS
Pada saat merawat pasien, keadaan emergensi dapat terjadi pada tenaga
kesehatan. Paparan terhadap darah dan cairan tubuh lainnya dapat terjadi tenaga
kesehatan melalui jarum suntik, benda tajam lainnya, selaput lendir, dan eksposur kulit.
61
Patogen yang menjadi perhatian utama adalah human immunodeficiency virus (HIV),
virus hepatitis B (HBV), dan virus hepatitis C (HCV).
Risiko penularan melalui paparan cairan atau jaringan yang terinfeksi diyakini
lebih rendah dibandingkan penularan melalui paparan darah yang terinfeksi. Jika luka
atau kontaminasi hasil dari paparan materi yang terinfeksi HIV, harus tersedia
pertolongan pertama, konseling pasca-paparan, pengobatan, follow-up dan perawatan.
Risiko penularan dipengaruhi oleh:
i. Dalamnya luka
ii. Darah terlihat pada jarum
iii. Penempatan jarum pada vena/arteri pasien
iv. Sumber padanan terinfeksi HIV fase lanjut (berhubungan dengan tingginya
kadar virus pada sumber tersebut)
Pertolongan pertama harus diberikan segera setelah terjadi luka. Lokasi luka dan
kulit yang terpapar darah atau cairan tubuh harus dicuci dan dialiri dengan air. Daerah
yang terpapar harus dievaluasi untuk mengetahui potensi untuk menularkan infeksi
HIV. Sumber paparan dievaluasi untuk mengetahui adanya infeksi HIV hanya setelah
mendapat informed consent, dan harus mencakup konseling yang tepat dan rujukan.
Evaluasi klinis dan tes awal dari petugas kesehatan yang terkena harus dilanjutkan
setelah informed consent.
Gambar. Prosedur Menangani Luka Karena Jarum atau Benda Tajam Lain
62
PEP adalah terapi antiretroviral jangka pendek untuk mengurangi kemungkinan
infeksi HIV setelah paparan potensial dan harus disediakan ketika seseorang terpapar
HIV (atau ada kemungkinan bahwa sumber terinfeksi HIV). Mungkin perlu
dipertimbangkan paparan infeksi darah lainnya seperti HBV.
PEP harus dimulai sesegera mungkin setelah paparan HIV. Obat-obatan yang
digunakan dalam PEP HIV tergantung pada tingkat paparan HIV, dan pemilihan obat
harus menyeimbangkan risiko infeksi terhadap potensi toksisitas agen yang digunakan.
Karena kompleksitas pemilihan obat PEP HIV, sangat dianjurkan untuk konsultasi
dengan ahli ART dan penularan HIV. Situasi berikut dianggap paparan berbahaya,
sehinggga PEP dengan obat antiretroviral selama 4 minggu dianjurkan:
- paparan darah dengan jumlah besar
- kontak darah dengan luka atau luka terbuka pada kulit
- terlihat darah pada jarum yang telah digunakan pada pasien
- paparan darah dari seseorang dengan muatan virus tinggi (jumlah HIV dalam
darah besar)
Departemen Kesehatan Inggris saat ini merekomendasikan aturan untuk PEP.
- PEP harus dilakukan sesegera mungkin setelah terjadi paparan, idealnya dalam
satu jam, setelah dilakukan penilaian risiko hati-hati. Dalam perubahan
pedoman sebelumnya, PEP sekarang umumnya tidak dianjurkan setelah 72 jam
pasca-paparan.
- Masa follow-up yang disarankan setelah paparan HIV adalah minimal 12
minggu setelah paparan HIV atau jika PEP telah diambil, minimal 12 minggu
dari saat PEP dihentikan.
- Pemberian PEP awal adalah: Truvada (245 mg tenofovir dan 200 mg
emtricitabine (FTC)) sekali sehari ditambah Kaletra (200 mg lopinavir dan
ritonavir 50 mg) dua kali sehari.
- Hasil tes pasien sumber HIV idealnya diperoleh dalam 8 jam dan tidak lebih
dari 24 jam setelah darah diperoleh. Hal ini untuk meminimalisir tenaga
kesehatan terpapar obat PEP jika sumber tidak terinfeksi HIV.
Kerahasiaan harus dijaga. Laporan mengenai terjadinya paparan harus dibuat.
Pendidikan untuk mengurangi terjadinya risiko eksposur harus dilakukan dengan
konselor meninjau urutan kejadian paparan.
Tes serologi HIV harus dilakukan pada saat kejadian, dan diulang pada minggu
ke-6, 3 bulan dan 6 bulan. Hal ini penting karena dari penelitian didapatkan ada
63
sebagian pekerja/buruh yang baru terdeteksi positif setelah 6 bulan pasca pajanan. Tes
ini harus diulang pada bulan 12 untuk tenaga kesehatan menderita hepatitis C karena
dapat memperlambat pembentukan serokonversi HIV. Tenaga keseharan yang positif
HIV biasanya akan mengalami sindrom simtomatik akut HIV dalam 2-6 minggu pasca
pajanan.
Tenaga kesehatan harus mendapatkan konseling untuk melakukan hubungan
seks dengan aman atau tidak melakukan hubungan seks sampai hasil tes serologi
negatif setelah 6 bulan pasca pajanan. Risiko terbesar adalah pada 6 sampai 12 minggu
pertama.
2.10 FARMAKOLOGI
ANTIVIRAL
64
Obat-obat yang akan dibahas termasuk (1) idoxuridine, vidarabine, dan
trifluridine untuk perawatan penyakit ocular herpetic; (2) acyclovir, valacyclovir,
famciclovir, penciclovir, ganciclovir, dan foscarnet untuk perawatan infeksi grup
herpes sistemik dan lokalisasi; (3) ribavirin, agen broad-spectrum untuk perawatan
respiratory syncytial viral bronchitis dan pneumonia; (4) infeksi hepatitis kronik; dan
(5) 3 kelas agen antiviral untuk kontrol infeksi HIV
- Agen antiherpetik
Banyak virus herpes yang menyebabkan penyakit pada manusia,
seperti herpes simplex virus (HSV), herpes zoster virus (HZV), dan
sitomegalovirus (CMV). Virus ini merupakan virus DNA. Banyak agen anti-
HSV menetap secara viral di replikasi DNA. HSV juga menyebabkan penyakit
pada daerah orofacial, mata, kulit, organ genital, dan otak, dan menghasilkan
herpes stomatitis, recurrent herpes labialis, keratitis, cutaneous herpetic
infections, herpes genitalis, dan herpes encephalitis.
Infeksi awalnya biasanya dimulai dengan virus varicella-zoster yang
menyebabkan varixella dan dapat menyebabkan zoster pada individual 60
tahun ke atas. CMV juga dapat menyebabkan rentinitis sebanyak 20%-25%
dengan AIDS dan dapat menyebabkan CMV colitis dan esofagitis pada pasien
AIDS.
Tanpa adanya foscarnet dan vaksin, obat yang efektif untuk virus
herpes adalah purine atau pyrimidine analogues yang telah dikonversi menjadi
nukleotida oleh sel atau enzim virus spesifik. Obat yang diaktivasi dengan
virus-encoded enzymes dan merupakan agen yang dipilih adalah acyclovir,
valacyclovir dan penciclovir
Berikut dapat dilihat cara virus DNA bereplikasi di dalam sel.
i. Idoxuridine disintesa pada tahun 1959 sebagai program anti kanker
yang kemudian diteliti dapat menjadi antiviral HSV. Idoxuridinie
memiilki atom iodine yang menggantikan grup metal dalam carbon 5
atom. Karena iodine memiliki radius yang sama dengan metal moiety,
idoxuridine dapat berfosforilasi menjadi idoxuridine monofosfat yang
akan dimetabolisme menjadi bentuk trifosfat dan bergabung dengan
DNA viral dan selular. Beberapa enzim yang digunakan untuk
biosintesis DNA seperti thymidine kinase, thymidylate kinase, dan
65
DNA polymerase ditempati oleh idoxuridine dan bentuk fosforilasi.
Hal ini dapat menyebabkan efek antiviral, seperti pemutusan
kromosom dan eprubahan sintesis protein viral. Hal ini juga dapat
terjadi pada DNA yang tidak terinfeksi virus. Idoxuridine juga
menunjukan resisten yang sering terjadi pada saat terapi (cepat tidak
teraktivasi dengan deaminase atau enzim nukleotidase).
ii. Vidarabine merupakan analogue dari adenosine dan dapat
ditemukan pada Streptomyces antibioticus. Vidarabine dapat menjadi
antivirus DNA, seperti grup herpes dan poxviruses). Perawatan topical
dari vidarabine ini berguna untuk keratitis yang disebabkan HSV dan
lebih bagus daripada idoxuridine karena lebih efektif dan lebih tidak
alergenik, tidak iritasi ke mata, dan tidak terlalu cepat menyebabkan
resistensi. Infuse secara intravena juga efektif untuk herpes
encephalitis dan kontrol infeksi VZV pada pasien
immunocompromised. Untuk sekarang ini viradarabine telah diganti
dengan acyclovir. Aplikasi topikal untuk herpes labialis dan genital
tidak memiliki efek yang signifikan.
iii. Trifluridine merupakan derivative dari idoxuridine tetapi atom
iodinnya diganti dengan trifluoromethyl group. Obat ini digunakan
untuk herpetic keratitis dan 10 kali lebih baik daripada idoxuridine.
Obat ini juga efektif kepada orang yang sebelumnya tidak respon
terhadap obat idoxuridine dan vidarabine.larutan ini dijual sebagai
larutan ophthalmic 1% dan cocok untuk herpes keratitis. Efek toksik
dari obat ini: berasa sensasi terbakar dan edema pada lipatan mata.
Obat ini dapat mutagenic dan karsinogenik.
iv. Acyclovir dan valacyclovir merupakan senyawa yang mirip dengan
adenosine deaminase (enzim untuk metabolisme). Acyclovir efektif
untuk virus herpes seperti HSV, VZV, dan CMV dan 10 kali lebih
efektif dibandingkan dengan idoxuridine.
Valacyclovir merupakan L-calyl ester dari acyclovir. Dapat diserap
secara cepa dengan oral ingestion dan dikonversi menjadi acyclovir
pada saat masuk ke usus dan hati.
66
v. Penciclovir guanine nucleoside analogue yang secara structural
berhubungan dengan acyclovir. Pada pasien recurrent herpes labialis,
krim 1% penciclovir dapat menjadi pilihan dan digunakan setiap 2 jam.
vi. Foscarnet phosphonoformate analogue yang dapat melawan infeksi
acyclovir-resistant HSV pada pasien AIDS, CMV retinitis pada pasien
immunocompromised, herpes virus yang lain, dan HIV-1. Harus
diberikan dengan lambat (minimal 1 jam) dan intravena. Obat ini dapat
menyebabkan toksisitas ginjal dan gangguan elektrolit.
67
samping zidovudine yang lain adalah asthenia, pusing, insomnia,
malaise, dan myalgia.
(b) Didanosine (1991) aktif melawan HIV dan efektif serta baik
diserap pada pH netral sehingga baik digunakan sebelum makan.
Obat ini mudah dieliminasi dari tubuh dalam urin (1 jam) tetapi
hanya boleh digunakan 2 kali sehari.
(c) Zalcitabine (1992) 2’-3’-dideoksi analogue dari sitodin. Obat ini
tidak lebih bagus daripada zidovudine pada monoterapi tetapi dapat
menjadi pilihan jika pasien mengalami resistensi terhadap
zidovudine.
(d) Stavudine (1994) 2’-3’-dideoksi analogue thymidine. Stavudine
meningkatkan jumlah CD4 pada pasien yang resisten terhadap
zidovudine.
(e) Abacavir (1998) nucleoside analogue reverse transcriptase
inhibitor. Obat ini dihubungan dengan reaksi fatal hipersensitivitas
(f) Lamivudine dan emtricitabine (1995) lamivudine tidak efektif
pada monoterapi, biasanya digunakan degan kombinasi zidovudin.
Obat ini diberikan 1 hari sekali dan efek samping: mual dan sakit
kepala.
(g) Nevirapine, efavirenz, delavirdine, dan etravirine merupakan
penghambat nukleosid, nevirapine tidak cocok untuk monoterapi.
Efek samping: bercak, diare, dan demam. Inhibitor lain, seperti
efavirenz, delavirdine, dan etravirine digunakan untuk infeksi HIV-
1. Adverse effect-nya adalah gejala gastrointestinal, bercak,
sindrom Stevens-Johnson.
ii. Protease inhibitors
Pada pasien HIV lanjut, penggunakan protease inhibitor dengan
kombinasi agen antiretroviral lain dapat meningkatkan
keberlangsungan hidup pasien.
(a) Saquinavir obat pertama untuk menghambat HIV protease.
Sangat baik untuk aktivitas anti-HIV tetapi dapat menyebabkan
resisten. Efek samping: gangguan gastrointestinal, seperti mual dan
muntah.
68
(b) Indivinavir dan ritonavir kombinasi 3 obat ritonvir dan 2
nucleoside analogue dapat meningkatkan limfosit CD4 dan
mengurangi mortalitas pada pasien AIDS lanjut. Kombinasi
indinavir dengan zidovudine dan lamivudine menghasilkan titrasi
virus yang tidak terdeteksi selama 1 tahun pada 80% pasien yang
menerima terapi. Efek samping indinavir: hiperbilirubinemia dan
nefrolitiasis (batu ginjal). Pada ritonavir: gangguan gastrointestinal,
rasa berubah dan perioral paresthesia.
(c) Nelfinavir dan lopinavir merupakan protease inhibitor yang
paling umum karena toksisitas yang rendah. Efek samping:
hiperglikemia, distribusi lemak abnormal, diare.
(d) Amprenavir dan fosamprenavir digunakan pada anak usia > 4
tahun dan dewasa yang terinfeksi HIV. Obat ini tersedia dengan
kapsul (150 mg dan 50 mg) dan larutan oral (15 mg/mL). Efek
samping: mual, muntah, diare, oral dan perioral paresthesia, dan
berak.
(e) Darunavir, tipranavir, dan atazanvir efektif melawan banyak
HIV strains resistant dibandingkan yang lainnya. Obat ini harus
diberikan bersama ritonavir karena akan meningkatkan
bioavailability darunavir sampai 14 kali. Efek samping: diare,
mual, sakit kepala, peningkatan aminotransferase, dan
memperburuk diabetes. Tipranavir dengan ritonavir dapat
meningkatkan tingkat plasma tetapi menyebabkan gejala
gastrointestinal dan bercak. Atazanavir tidak boleh digunakan
dengan obat yang meningkatkan pH lambung. Efek samping:
gejala gastrointestinal, bercak, dan peripheral neuropathy.
iii. Fusion inhibitor
(a) Enfuvirtide merupakan penghambat fusi yang efektif melawan
HIV. Enfuvirtide mengikat viral envelope glycoprotein yang
mencegah fusi antara viral envelope dengan membrane plasma
inang. Dapat menyebabkan eosinofilia
(b) Other anti-human immunodeficiency virus agents
Obat ini merupakan obat pertama yang digunakan 1 kali sehari.
Efek samping yang dapat terjadi adalah bercak kemerahan, pusing,
69
sakit kepala, insomnia, mimpi, dan ketidakmampuan untuk
berkonsentrasi.
(c) Human immunodeficiency virus vaccine
Merupakan vaksin untuk mencegah infeksi HIV yang merupakan
glikoprotein HIV 120-like protein yang membuat pembentukan
120 antibodi. Vaksin ini sukses pada Asia dan orang berkulit hitam
tetapi tidak pada orang berkulit putih.
70
kali sehari. Penyakit ini biasanya berhenti dengan penggunaan obat dan akan muncul
kembali jika obatnya dihentikan.
71
Pedoman awal saat ini, merekomendasikan penggunaan dua obat selama
4 minggu (zidovudine dan lamivudine atau didanosine dan stavudine)
untuk sebagian besar pasien yang terkena HIV. Namun, dianjurkan
untuk menambahkan obat ketiga jika paparan HIV menimbulkan
peningkatan resiko penularan.
Resistensi zidovudine mudah terpengaruh oleh agen anti-HIV lainnya
seperti didanosine, zalcitabine, dan foscarnet in vitro. Zidovudine
diberikan secara oral setiap empat jam sekali. Obat ini dengan cepat di
absorbsi, dimetabolisme di hati, dan di ekskresikan dalam urin. Rata-rata
waktu paruh untuk mengeliminasi sekitar satu jam. Efek samping yang
sering timbul adalah mual, sakit kepala, dan tekanan pada sum-sum
tulang. Kadang, diperlukan transfusi pada pasien dengan
granulocytopenia dan anemia. Efek samping lain yang dapat timbul,
antara lain adalah asthenia, insomnia, lesu, dan nyeri otot. Penggunaan
obat ini secara jangka panjang sering dikaitkan dengan terjadinya toxic
myopathy.
Didanosine
Didanosine (dideoxyinosine) aktif dalam melawan HIV, termasuk yang
resisten terhadap jenis zidovudine. Seperti pada zidovudine, didanosine,
ketika diubah ke bentuk triphosphate, menghambat aktivitas reverse
transcriptase dan dengan demikian menghambat sintesis cDNA HIV.
Didanosine oral meningkatkan jumlah limfosit CD4+, mengurangi titer
virus antigen, dan mengurangi gejala penyakit yang terkait AIDS. Efek
samping utama yang timbul adalah peripheral neuropathy dan berpotensi
dalam menimbulkan pankreatitis yang fatal.
Didianosine di absorbsi dengan baik pada pH netral dan harus
dikonnsumsi pada saat perut kosong. Tablet didanosine kunyah
mengandung antasid untuk menetralkan pH lambung, sehingga, tidak
boleh dikonsumsi dengan obat yang membutuhkan pH asam untuk
absorpsi, seperti, antibiotik itracinazole dan quinolone. Walaupun obat
ini cepat tereliminasi dalam urin (sekitar 1 jam), persistensi intracellular
didanosine triphosphate memperbolehkan dosis 2x sehari.
Didanosine awalnya diberikan untuk pasien dengan infeksi HIV lanjut
yang intoleran terhadap zidovudine atau menunjukkan keadaan klinis
72
maupun imunologis yang semakin memburuk. Namun sekarang, umum
digunakan pada kombinasi obat dengan zidovudine dan protefrom ase
inhibitor. Resistensi terhadap didanosine bersifat progresif, resisten ini
muncul pada kebanyakan pasien 6 bulan setelaha monoterapi.
Zalcitabine
Zalcitabine, dianalogikan sebagai 2’-3’-dideoxy dari cytidine.
Mekanisme kerja dan latar belakang farmakologis mirip dengan
zidovudine. Zalcitabine kalah (lebih inferior) jika dibandingkan dengan
zidovudine sebagai monoterapi bila digunakan sebagai pengobatan awal.
Zalcitabine menunjukkan keberhasilan terapi pada pasien yang resisten
terhadap zidovudine dan sebanding dengan didanosine pada pasien yang
intoleran terhadap zidovudine. Obat ini sering diberikan dalam bentuk
kombinasi dengan zidovudine dan protease inhibitor.
Stavudine
Stavudine, dianalogikan sebagai 2’-3’-dideoxy dari thymidine.
Penelitian menunjukkan terapi stavudine meningkatkan jumlah sel
CD4+ pada pasien yang tidak merespon pada terapi zidovudine.
Terkadang, perkembangan terjadinya resistensi stavudine juga
memberikan resistensi pada zidovudine dan didanosine. Seperti
antiretroviral lainnya, stavudine digunakan dalam terapi obat kombinasi.
Abacavir
Abacavir adalah NRTI yang digunakan dalam kombinasi untuk
pengobatan pasien dengan infeksi HIV. Abacavir dapat menyebabkan
efek samping yang umum untuk NRTI dan telah dikaitkan dengan
terjadinya reaksi hipersensitivitas yang fatal.
Lamivudine & Emtricitabine
Lamivudine merupakan enasiomer dari 2’-deoxy-3’-thiacytidine.
Perubahan intraseluller ke bentuk triphosphate menghambat
pemanjangan rantai virus cDNA dengan cara menghambat reverse
transcriptase. Lamivudine kurang efektif jika digunakan sebagai
monoterapi, namun, terbukti dapat mengontrol infeksi jika
dikombinasikan dengan zidovudine. Studi klinis menunjukkan bahwa
kombinasi yang sinergis dapat menghambat replikasi HIV dan
73
meningkatkan jumlah sel CD4+. Efek samping dari lamivudine
umumnya ringan, antara lain, mual dan sakit kepala.
Emtricitabine merupakan turunan fluoro dari lamivudine. Memiliki
waktu paruh yang lebih panjang dibandingkan dengan lamivudine dan
diberikan 1x sehari. Efek samping yg ditimbulkan hampir sama dengan
lamivudine.
Trizivir adalah tablet kombinasi dari lamivudine, zidovudine, dan
abacavir untuk pengobatan HIV. Obat ini tidak direkomendasikan untuk
pasien dengan berat badan dibawah 40 kg, karena, merupakan tablet
dengan dosis tetap. Efek samping yang paling menonjol dari trizivir
adalah kaitannya dengan reaksi hipersensitivitas terhadap abacavir (telah
di observasi pada 5% pasien HIV).
74
etravirine ; efek samping yang umum ditimbulkan oleh efavirenz adalah
ruam kulit yang ringan.
75
Saquinavir dapat terakumulasi pada pasien yang mengkonsumsi obat
yang menghambat CYP3A, dan dapat menghambat metabolisme obat-
obat lainnya seperti verapamil dan triazolam. Obat yang menginduksi
ensim CYP3A (seperti : rifampisin dan nevirapine) dapat mengurangi
efektivitas saquinavir.
Indinavir & Ritronavir
Indinavir dan ritonavir adalah protease inhibitor pada HIV. Kombinasi
tiga jenis obat (ritonavir dan dua NRTI) dapat meningkatkan jumlah
limfosit CD4+ secara singifikan dan mengurangi angka kematian pada
pasien dengan AIDS yang berlanjut. Kombinasi dari indinavir dengan
zidovudine dan lamivudine menunjukkan tidak terdeteksinya titer virus
selama satu tahun pada lebih dari 80% pasien dengan terapi tersebut.
Terdapat penelitian lain yang mengevaluasi keberhasilan terapi dari
terapi kombinasi dengan indinavir pada pasien anak seropositif untuk
HIV-1.
76
menyebabkan efek samping berupa gastrointestinal ringan dan sakit
kepala
77
Atazanavir adalah protease inhibitor yang separuh plasmanya
meningkat oleh ritonavir. Obat ini tidak boleh dikonsumsi dengan obat
yang dapat meningkatkan pH dalam lambung. Efek samping obat ini
termasuk gejala gastrointestinal, ruam, neuropati perifer.
Vaksin HIV
Baru-baru ini, vaksin (AIDSVax) diperkenalkan untuk pencegahan HIV ; vaksin ini
merupakan HIV glycoprotein 120 – seperti protein, dimana HIV glycoprotein 120
mempengaruhi pembentukan antibodi pada manusia.
78
lemah sebagai apthoid dari Pospischill-Feyrter, ditandai dengan perkembangan /
perluasan lesi yang cepat menuju tenggorokan dan kulit perioral. Kebanyakan, lesi
virus HSV diobati dengan acyclovir oral secara rutin, atau dengan pemberian
intravena pada beberapa kasus yang parah.
Acyclovir paling baik digunakan segera setelah gejala mulai timbul. Dosis acyclovir
intravena tergantung pada berat badan dan tipe lesi. Pada umumnya, 5-10 mg/kg
(berat badan) diberikan secara intravena selama 1 jam dan diulang setiap 8 jam
selama 5-10 hari. Penggunaan terapi acyclovir jangka panjang direkomendasikan
untuk pasien dengan eczema herpeticum, dengan 200-400 mg 2-3x sehari secara oral.
Selain itu, terdapat beberapa terapi suportif lainnya untuk lesi herpes, yaitu, analgesik
antipiretik, antibiotik antibakteri, dan antifungi yang dapat membantu kontrol infeksi
sekunder.
Untuk mengontrol herpes labialis yang berulang, dapat dipilih obat penciclovir krim
topikal 1%, dan dapat digunakan pada lesi setiap 2 jam selama 4 hari. Hal ini, dapat
mengurangi rasa tidak nyaman pada infeksi dan dapat mempercepat periode lesi
hanya dengan 1-2 hari.
Infeksi HSV dapat berkembang menjadi lebih parah pada pasien AIDS. Lesi herpes
yang berulang dapat menjadi kronik pada pasien ini, dan dapat terjadi resistensi
acyclovir, dimana, pada beberapa kasus penggunaan agen antiherpes lainnya, seperti
ganciclovir dan foscarnet mungkin lebih efektif. Pada pasien AIDS, beberapa lesi oral
dapat terjadi bersamaan walaupun dengan sumber virus yang berbeda
Infeksi HPV hampir selalu ada pada pasien AIDS, dapat dilihat dari variasi papilloma,
condylomata, dan epithelial hyperplasia dalam rongga mulut. Selain itu, CMV juga
berhubungan dengan apthae – seperti ulserasi dalam oral mukosa. Oral hairy
leukoplakia merupakan tanda awal dari adanya infeksi HIV, dapat disebabkan oleh
virus Epstein-Barr pada pasien immunocompromised. Perawatan yang dapat
dilakukan pada keadaan ini biasanya menggunakan aplikasi topikal dari larutan
podophyllin resin 25% dan acyclovir oral 800mg 5x sehari. Sebagai alternatif lainnya,
dapat menggunakan valacyclovir (1000mg) dan famciclovir (500mg), yang diberikan
secara oral 3x sehari. Antiretroviral (ARV) sistemik juga diberikan seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya. Oral hairy leukoplakia akan hilang setelah dilakukan terpi
obat, namun biasanya timbul kembali saat obat dihentikan.
79
PRINSIP PEMBERIAN ARV
1. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada dalam
dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas penggunaan obat.
2. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan akses
pelayanan ARV .
3. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan manajemen
logistik yang baik.
4. Jangan mulai memberikan ARV terlalu dini ketika CD4 masih tinggi atau telat
ketika CD4 sudah sangat rendah
5. Pemilihan jenis obat tergantung dan harus mempertimbangkan bukti efektifitas
obat, sedikit efek samping dan kemudahan pemberian
80
GOLONGAN OBAT ARV
81
ANJURAN PEMILIHAN OBAT ARV LINI PERTAMA
Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini:
82
WAKTU MEMULAI TERAPI PADA ODHA DEWASA
Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama 14 hari
pertama dalam paduan ARV lini pertama bersama AZT atau TDF + 3TC. Bila
tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi 200 mg setiap 12
jam pada hari ke-15 dan selanjutnya. Mengawali terapi dengan dosis rendah
83
tersebut diperlukan karena selama 2 minggu pertama terapi NVP menginduksi
metabolismenya sendiri. Dosis awal tersebut juga mengurangi risiko terjadinya
ruam dan hepatitis oleh karena NVP yang muncul dini.
Bila NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan selama lebih dari 14
hari, maka diperlukan kembali pemberian dosis awal yang rendah tersebut.
Ada perbedaan dalam profil toksisitas, potensi interaksi dengan obat lain, dan
harga
Dalam keadaan reaksi hepar atau kulit yang berat maka NVP harus dihentikan
dan tidak boleh dimulai lagi
Gunakan NVP atau PI untuk ibu hamil trimester 1 atau triple NRTI jika NVP
dan PI tidak dapat digunakan. Triple NRTI hanya diberikan selama 3 bulan
lalu dikembalikan kepada paduan lini pertama
Perlu dilakukan lead-in dosing pada penggunaan NVP, yaitu diberikan satu
kali sehari selama 14 hari pertama kemudian dilanjutkan dengan 2 kali sehari
84
EFV dapat digunakan sekali sehari dan biasanya ditoleransi dengan baik,
hanya saja biayanya lebih mahal dan kurang banyak tersedia dibandingkan
NVP
Toksisitas utama EFV adalah berhubungan dengan sistem saraf pusat (SSP)
dan ada kemungkinan (meski belum terbukti kuat) bersifat teratogenik bila
diberikan pada trimester 1 (tetapi tidak pada triemester dua dan tiga) dan ruam
kulit yang biasanya ringan dan hilang sendiri tanpa harus menghentikan obat.
Gejala SSP cukup sering terjadi, dan meskipun biasanya hilang sendiri dalam
2-4 minggu, gejala tersebut dapat bertahan beberapa bulan dan sering
menyebabkan penghentian obat oleh pasien
EFV perlu dihindari pada pasien dengan riwayat penyakit psikiatrik berat,
pada perempuan yang berpotensi hamil dan pada kehamilan trimester pertama.
Dalam keadaan penggantian sementara dari NVP ke EFV selama terapi TB dengan
Rifampisin dan akan mengembalikan ke NVP setelah selesai terapi TB maka tidak
perlu dilakukan lead-in dosing
Regimen triple NRTI digunakan hanya jika pasien tidak dapat menggunakan
obat ARV berbasis NNRTI, seperti dalam keadaan berikut:
Penggunaan Triple NRTI dibatasi hanya untuk 3 bulan lamanya, setelah itu
pasien perlu di kembalikan pada penggunaan lini pertama karena supresi
virologisnya kurang kuat.
85
3. Penggunaan AZT dan TDF
Indeks Massa Tubuh (IMT / BMI = Body Mass Index) dan jumlah
CD4 yang rendah merupakan faktor prediksi terjadinya anemi oleh
penggunaan AZT
TDF tidak boleh digunakan pada anak dan dewasa muda dan sedikit
data tentang keamanannya pada kehamilan
Stavudin (d4T) merupakan ARV dari golongan NRTI yang poten dan telah
digunakan terutama oleh negara yang sedang berkembang dalam kurun waktu
yang cukup lama. Keuntungan dari d4T adalah tidak membutuhkan data
laboratorium awal untuk memulai serta harganya yang relatif sangat
terjangkau dibandingkan dengan NRTI yang lain seperti Zidovudin (terapi
ARV), Tenofovir (TDF) maupun Abacavir (ABC). Namun dari hasil studi
didapat data bahwa penggunaan d4T, mempunyai efek samping permanen
yang bermakna, antara lain lipodistrofi dan neuropati perifer yang
menyebabkan cacat serta laktat asidosis yang menyebabkan kematian.
86
merekomendasikan untuk secara bertahap mengganti penggunaan d4T dengan
Tenofovir (TDF).
Menggunakan AZT atau TDF pada pasien yang baru memulai terapi
dan belum pernah mendapat terapi ARV sebelumnya
Pada pasien yang sejak awal menggunakan d4T dan tidak dijumpai
efek samping dan/atau toksisitas maka direkomendasikan untuk diganti
setelah 6 bulan
Obat ARV golongan Protease Inhibitor (PI) TIDAK dianjurkan untuk terapi
Lini Pertama, hanya digunakan sebagai Lini Kedua. Penggunaan pada Lini
Pertama hanya bila pasien benar-benar mengalami Intoleransi terhadap
golongan NNRTI (Efavirenz atau Nevirapine). Hal ini dimaksudkan untuk
tidak menghilangkan kesempatan pilihan untuk Lini Kedua. mengingat
sumber daya yang masih terbatas
87
88
BAB III
KESIMPULAN
Pasien remaja terinfeksi virus HSV-1 (Herpes Labialis) ditandai dengan adanya vesikel
berkelompok di bibir. Diperlukan pemeriksaan lab untuk menunjang diagnosis. Pasien
diberikan obat antiviral berupa acyclovir 200 mg 5 kali sehari selama 5 hari.
Pasien anak terinfeksi virus coxsackievirus (Hand, Foot, Mouth Disease) ditandai dengan
adanya vesikel di tangan, kaki, dan mulut. Pasien dianjurkan untuk berkumur dengan larutan
kumur sodium bikarbonat dengan air hangat untuk membantu meringankan ketidaknyamanan
yang dialami.
89
DAFTAR PUSTAKA
Greenberg MS, Glick M. 2008. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Treatment, 11th
edition., BC Decker Unc. Hamilton.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia NOMOR:
KEP. 68/MEN/IV/2004 Tentang Pencegahan Dan Penanggulangan HIV/AIDS Di
Tempat Kerja
Little J, Falace DA :Dental Management of the Medically Compromised Patient 8 th
ed, 2012
Regezi, A.Joseph. Oral Pathology 6th edition.
Rewari, B. B., et al. "Emergencies in HIV Medicine–Part I." JAPI 56 (2008).
Scully, C. 2010. Medical Problems in Dentistry 6th ed. Churchill Livingstone.
Suniarti, Soekanto, Arif. Farmakologi Kedokteran Gigi. Badan Penerbit FKUI. 2012.
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2011)
Aids dan Pencegahan Penularannya Pada Praktik Dokter Gigi [Internet] diakses pada
27/02/2015 20:25 PM available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1147/3/fkg-sondang2.pdf.txt
Terapi Antiretroviral [Internet] diakses pada 27/02/2015 20.00 PM available from:
http://spiritia.or.id/li/bacali.php?lino=403
Yagiela, Dowd, Neidle Pharmacology and Therapeutics for Dentistry, 6th ed. Elsevier
Mosby.
90