Anda di halaman 1dari 94

MAKALAH ILMU KEDOKTERAN GIGI KLINIK 4

(MODUL 1 SKENARIO 3

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 1
Alberta Yudithhia A (1206256402)
Ariana Maulina Putri (1206207962)
Cinthia Muliadina Azhary (1206207691)
Cymilia Gityawati (1206207741)
Gadia Canaparimita G D (1206207760)
Miana Leily Hapsari (1206207880)
Rahmatul Hayati (1206207773)
Rezon Yanuar (1206207905)
Wida Priska Melinda (1206207893)
Zakia Amalia (1206207943)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS INDONESIA
2015

i
Makalah Ilmu Kedokteran Gigi Klinik 4
Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Indonesia

Skenario :3

Narasumber Skenario 1 : drg. Siti Aliyah, Sp.PM


Prof. Dr. Drg. M. Suharsini, S.U., Sp. KGA (K)
drg. Sri Angky Soekanto, PhD

Fasilitator : drg. Bramma Kiswanjaya, Ph.D

Kelompok : 1

1. Alberta Yudithhia A (1206256402)


2. Ariana Maulina Putri (1206207962)
3. Cinthia Muliadina Azhary (1206207691)
4. Cymilia Gityawati (1206207741)
5. Gadia Canaparimita G D (1206207760)
6. Miana Leily Hapsari (1206207880)
7. Rahmatul Hayati (1206207773)
8. Rezon Yanuar (1206207905)
9. Wida Priska Melinda (1206207893)
10. Zakia Amalia (1206207943)

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya
sehingga laporan ini dapat diselesaikan dengan baik. Laporan ini merupakan hasil diskusi
kelompok 1 pada skenario 3 mata kuliah Ilmu Kedokteran Gigi Klinik 4 (IKGK 4). Penyusun
telah berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan yang terbaik melalui laporan ini.
Namun, sebagai manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, tentu masih banyak kesalahan
yang terdapat dalam laporan ini. Laporan ini tentu masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu,
penyusun mengharapkan kritik dan saran dari staf pengajar, teman-teman, dan siapapun yang
membaca laporan ini.

Ucapan terima kasih kami ucapkan pada fasilitator kelompok 1, drg. Bramma
Kiswanjaya, Ph.D, seluruh staf pengajar mata kuliah IKGK 4, seluruh anggota kelompok 1
yang telah berkontribusi secara maksimal dalam penyusunan laporan ini, dan pihak-pihak lain
yang telah turut membantu dalam penyusunan laporan ini.

Akhir kata kami mengharapkan laporan ini dapat bermanfaat dan digunakan sebagaimana
mestinya.

Depok, 2 Maret 2015

Penyusun

Kelompok 1

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. iii


DAFTAR ISI............................................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 1
1.3 Analisis Masalah ......................................................................................................... 2
1.4 Tujuan Pembelajaran ................................................................................................... 2
1.5 Hipotesis ...................................................................................................................... 2
1.6 Jenis Penelitian dan Metode Penelitian yang Dilakukan ............................................ 2
BAB II LANDASAN TEORI .................................................................................................. 3
2.1 INFEKSI VIRUS......................................................................................................... 3
2.2 PEMERIKSAAN PENUNJANG DAN DIAGNOSIS PADA INFEKSI VIRUS .... 28
2.3 KOMPLIKASI INFEKSI VIRUS ............................................................................. 33
2.4 PENYAKIT-PENYAKIT OPORTUNISTIK YANG MENYERTAI HIV .............. 37
2.5 KONTROL INFEKSI ............................................................................................... 40
2.6 PENATALAKSANAAN HIV .................................................................................. 46
2.7 ETIKA DAN MEDIKOLEGAL DALAM PENANGANAN PASIEN HIV/AIDS . 53
2.8 MODIFIKASI PERAWATAN PADA PASIEN HIV-AIDS.................................... 60
2.9 KEGAWATDARURATAN...................................................................................... 60
2.10 FARMAKOLOGI ..................................................................................................... 64
BAB III KESIMPULAN.......................................................................................................... 89
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 90

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada skenario ini didapat kasus sebagai berikut:
Seorang gadis remaja berusia 19 tahun, datang ke RSKGM dan mengeluh pada bibir
atas kanan dan bibir bawah kirinya timbul 5-6 lentingan berisi cairan dengan ukuran
kecil-kecil dan berkelompok. Keadaan ini sudah beberapa kali timbul. Ia belum berani
berkonsultasi dengan dokter untuk lentingan tersebut, karena takut tertular AIDS pada
praktek dokter gigi. Saat ini ia sedang latihan intensif olahraga ski air untuk kompetisi
klubnya.
Ia datang bersama dengan adik laki-lakinya yang berusia 5 athun, karena juga terdapat
lentingan di tangan dan kaki serta sariawan dirongga mulut sehingga tidak mau makan.
Sebelum timbul sariawan, anak mengalami demam

1.2 Rumusan Masalah


 Apa penyebab timbulnya lentingan berisi cairan pada bibir remaja?
 Apakah penyakit tersebut dapat menular?
 Bagaimana penyebaran penyakit yang disebabkan infeksi virus?
 Apakah ada hubungan antara aktivitas remaja dengan penyakit yang dideritanya?
 Apakah AIDS dapat menular melalui praktek dokter gigi?
 Apa penyebab lentingan pada tangan dan kaki anak?
 Mengapa anak mengalami demam sebelum timbul sariawan?
 Bagaimana prosedur diagnosis pada kedua kasus tersebut?
 Apa rencana perawatan yang tepat untuk kedua kasus tersebut serta
penatalaksanaannya?

1
1.3 Analisis Masalah

1.4 Tujuan Pembelajaran


1. Menjelaskan klasifikasi infeksi virus
2. Menjelaskan patogenesis infeksi virus
3. Menjelaskan gejala klinis dari infeksi virus
4. Menjelaskan prosedur diagnosis infeksi virus
5. Menjelaskan rencana perawatan dan tatalaksana infeksi virus
6. Menjelaskan modifikasi perawatan pada pasien HIV-AIDS
7. Menjelaskan kegawatdaruratan yang dapat terjadi pada pasien HIV-AIDS
8. Menjelaskan etika dan hukum untuk pasien HIV-AIDS
9. Menjelaskan pemilihan obat untuk infeksi virus (penggolongan, dosis, efek
samping, dan penulisan resep)

1.5 Hipotesis
Lentingan yang dialami remaja dan anak merupakan manifestasi dari infeksi virus.
Dibutuhkan obat antivirus untuk menangani kasus tersebut.

1.6 Jenis Penelitian dan Metode Penelitian yang Dilakukan


Pada kasus ini jenis penelitian yang kami gunakan ialah diskusi kelompok yang
dilakukan dua kali (DK 1 dan DK 2). Metode analisis yang digunakan ialah PBL
(Problem Based Learning). Kami mengambil referensi dari berbagai buku dan jurnal.

2
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 INFEKSI VIRUS


Terminologi
Sebelum membahas klasifikasi virus dan gambaran klinisnya, kita perlu memahami
istilah jenis-jenis lesi yang biasa timbul di kulit dan mucosa mulut. Definisi dari setiap
jenis lesi dapat dilihat pada tabel:
Makula Lesi bulat datar, berbatas jelas, warna berbeda dengan kulit normal (biasanya merah karena
peningkatan vaskularitas atau inflamasi atau berpigmentasi karena adanya melanin,
hemosiderin, benda asing, atau obat-obatan). contoh : melanotic macule
Papula Lesi padat, menonjol , berdiameter < 1cm. contoh: hyperplastic candidiasis terlihat seperti
papula kuning-putih
Plak Lesi padat, menonjol, berdiameter > 1cm (papula besar)
Nodul Lesi yang terdapat dalam dermis, epidermis dapat dengan mudah digerakan diatasnya. Lesi
juga menonjol diatas kulit namun lebih sering meluas dibanding menonjol. Contoh :
irritation fibroma
Vesikel Benjolan berisi cairan bening, diameternya < 1cm
Bula Benjolan berisi cairan bening, diameternya > 1cm
Erosi Lesi merah lembap ang sering disebabkan oleh pecahnya vesikel atau bula
Pustula Benjolan berisi cairan purulensi
Ulser Defek di dalam epithelium, berbatas jelas, cekung, lapisan epidermis di atasnya telah
hilang, penampakan klinisnya kuning-putih. Contoh : apthous ulcer
Purpura Lesi datar berwarna merah-ungu, yang disebabkan oleh bocornya pembuluh darah ke
dalam jaringan ikat. Jika ditekan lesi ini tidak berubah menjadi putih
Petechiae Lesi purpura berdiameter < 0,5 cm  titik-titik
Yang lebih besar → ekimosis (ecchymoses)  bercak

1. HERPESVIRUS
Herpesvirus merupakan virus DNA yang ditransmisikan melalui saliva dan cairan
tubuh lainnya. Infeksi virus ini biasanya klinis dan berjangka pendek. Namun ada
beberapa yang subklinis kemudian menetap laten (nonaktif). Reaktivasi virus ini
seringkali disebabkan karena penurunan system imun dan dapat menimbulkan
penyakit-penyakit lain yang lebih parah.

3
Transmisi virus herpes bisa melalui saliva, cairan tubuh, kontak oral genital dengan
penderita infeksi HSV tipe I, dan transmisi vertical dari ibu yang terinfeksi ke
anaknya yang baru lahir.

PATOGENESIS VIRUS

Primary HSV Infection


- Terjadi pada pasien yang yang belum memiliki kekebalan terhadap virus
(biasanya pada anak-anak atau remaja yang sebelumnya belum pernah
terinfeksi).
- Infeksi primer terjadi akibat inokulasi pertama kali mukosa, kulit, dan mata.
Virus ini terikat ke permukaan sel epitel melalui heparin sulfat kemudian
diikuti dengan insersi transmembran sitoplasmik dan aktivasi gen spesifik
selama fase litik dari infeksi. Gen ini adalah immediate early (IE) dan early

4
(E) yang merupakan kode untuk pengaturan protein dan replikasi DNA. Selain
itu, terdapat gen late (L) yang merupakan kode untuk protein structural.
- Selama infeksi primer, hanya sedikit individu yang menunjukkan gejala klinis
dan symptom dari penyakit sistemik. Gejala yang timbul pada individu tersebut
biasanya hanya gejala subklinis. Pendeteksian pada individu ini dapat
dilakukan dengan tes laboratorium untuk memeriksa antibody HSV. Masa
inkubasi setelah terpapar virus ini adalah 2-20 hari.
- Gejala yang timbul adalah gingivostomatitis awal yang terdapat di jaringan
oral dan perioral. Erupsi ini biasa terjadi di tempat terjadinya kontak.

Latency
- Setelah memasuki periode resolusi (penyembuhan) dari herpetic
gingivostomatitis, virus bermigrasi ke sepanjang selubung periaxon dari saraf
trigeminal menuju ganglion trigeminal. Di ganglion inilah, virus memasuki
fase laten dimana virus menjadi non aktif  hanya terjadi ekspresi gen L
sehingga tidak ada virus yang menyebar, tidak ada MHC antigen yang
diekspresikan sehingga tidak ada respon dari sel T.
- HSV yang tetap laten pada sel lain selain sel saraf seperti epithelium disebut
extraneuronal latency.

Secondary HSV Infection


- Pada fase ini, virus laten teraktivasi kembali karena faktor tertentu, seperti:
paparan sinar matahari, paparan dingin, trauma, stress, menstruasi, penurunan
system imun, dan segala perawatan lain (kemoterapi, bedah) yang dapat
menyebabkan imunosupresi.
**Faktor-faktor tersebut dapat menstimulasi reaktivasi HSV melalui 2
mekanisme:
o Induksi langsung gen virus ICP4 dan VP16.

5
Paparan sinar dan panas mengaktivasi produk gen virus dan menghambat
efek latensi dari virus  menyebabkan aktivasi virus.
o Induksi tidak langsung
Sinar UV bersifat immunosupresif dan dapat menginduksi sitokin yang
memicu inflamasi. Sitokin-sitokin ini kemudian mempengaruhi dendrit yang
mengirim sinyal balik ke saraf dimana virus DNA berada.
- HSV-1 yang aktif kembali akan bereplikasi dan berjalan dari nervus trigeminal
ke epitel awal yang terinfeksi (mukosa atau kulit), menyebabkan infeksi
rekuren  biasanya manifestasi berupa vesikel atau ulser lokalis pada bibir.
- Setelah infeksi sekunder selesai, virus kembali ke ganglia trigeminal dan
menetap laten.

HERPES SIMPLEX VIRUS TIPE 1 dan 2 (HSV-1, HSV-2)


HSV-1 HSV-2
Cara penyebaran Kontak oral Kontak seksual
Saliva terinfeksi
Lesi perioral aktif
Paling banyak Mulut Daerah anogenital
menimbulkan infeksi di: Wajah
Daerah okuler (sekitar mata)

Dapat juga menimbulkan Faring Genitalia


infeksi di: Intraoral Kulit di bawah pinggang
Bibir
Mata
Kulit di atas pinggang

GEJALA KLINIS
Infeksi Primer HSV
 Biasanya terjadi pada anak-anak / remaja yang baru pertama terinfeksi virus
 sering salah diagnosis sebagai ‘teething’
 Munculnya erythema, kelompok vesikel, dan/atau ulser pada mukosa
terkeratinasi di palatum durum, attached gingiva, dorsum lidah, dan mukosa

6
non-terkeratinasi pada mukosa bukal dan labial, ventral lidah, dan palatum
mole. Lesi hampir ditemukan di semua mukosa.
 Gingivitis menyeluruh  gingival kemerahan dan sangat nyeri.
 Erupsi vesikular di kulit, vermillion border dan membran oral mukosa.
 Vesikel oral dan perioral ruptur  membentuk ulcers
 Gejala sistemik  demam, malaise, anorexia, sakit kepala, arthralgia,
chervical lymphadenopathy
 Pasien immunocompromised dapat mengalami penyakit yang lebih parah dan
menyebar lebih luas.
 Contohnya : Gingivostomatitis Herpes Primer, genital lesion.

Secondary herpes simplex  INFEKSI SEKUNDER/REKUREN


 Etiologi  reaktivasi virus laten.
 Temuan klinis  mempengaruhi perioral, bibir, attached gingiva, dorsum
lidah, dan palatum durum.
 Gejala  gatal, sensasi terbakar, dan sakit pada area infeksi.
a. Herpes Labialis Rekuren
- Reaktivasi virus laten akibat faktor pemicu seperti paparan sinar
matahari, mesnstruasi, emosional stress, pilek/infeksi demam,
iritasi lokal seperti perawatan gigi.
- Gejala klinis :
 Gatal-gatal, parastesi, kesemutan atau terbakar.
 Diikuti dengan eritema di area infeksi
 Dalam 1-2 jam terbentuk vesikel di sepanjang mukokutan bibir
 vesikel membesar  bergabung  mengeluarkan eksudat
 Setelah 2-3 hari vesikel rupture  ulser  timbul krusta
(keropeng)  penyembuhan lesi (tidak meninggalkan bekas

7
luka, kecuali ada infeksi bakteri sekunder). Nyeri umumnya
hanya dalam 2 hari pertama.

b. Recurrent Intraoral HSV


- Infeksi rekuren terjadi di mukosa terkeratinasi seperti attached
gingival, dorsum lidah, dan palatum durum.
- Gejala klinis : ulser tunggal atau berkelompok yang sangat nyeri
berukuran 1-5 mm dengan tepi erythematous terang, keluhan nyeri
pada gingival 1-2 hari setelah perawatan dental, contoh: scaling.

HSV-2
Gejala klinis untuk infeksi HSV tipe II biasanya ditemukan di genital berupa
blister (lepuhan). Blister yang pecah akan meninggalkan ulserasi yang sulit
disembuhkan (butuh 2-4 minggu untuk sembuh).

HSV pada Pasien Immunocompromised


Pasien yang termasuk kategori immunocompromised adalah pasien yang sedang
menjalani kemoterapi, transplantasi organ, AIDS, leukemia).
Karakteristik khas dari Recurrent Intraoral HSV pada pasien ini ialah:
- Ukuran lesi lebih besar, tampak sedikit lebih cekung dengan tepi timbul. Ciri
khas : ada vesikel atau ulser satelit berukuran 1-2 mm pada tepi ulser utama.
- Ulserasi lebih dalam (lebih cekung)

8
- Healing lebih lama
- Lokasi tidak khas
- HSV ditemukan di saliva. Dokter gigi atau asisten operator yang terkena saliva
penderita herpes dapat terjangkit herpetic whitlows  abses pada kuku dan ibu
jari, terasa sangat nyeri.

DIFERENSIAL DIAGNOSIS
Beberapa penyakit yang memiliki gejala klinis dan sistemik menyerupai
gingivostomatitis herpes primer :
 Faringitis streptokokal: secara klinis tidak melibatkan bibir REMINDER:
dan jaringan perioral, dan tidak ada vesikel yang mendahului Herpes simplex 
ulser lesi banyak,
berkelompok, terdapat
 Erythema multiformae: lesi ulser-nya lebih besar, biasanya
vesikel yang
tanpa melalui tahap vesicular, dan jarang ditemukan di mendahului ulser,
gingival. melibatkan gingival.

 Stomatitis Apthae : lesi hanya ditemukan di mukosa non keratinasi seperti


dasar mulut, mukosa buccal, dan muosal alveolar.
 ANUG: lesi oralnya hanya terbatas di gingiva dan dan tidak didahului oleh
vesikel, sering juga ditemukan rasa sakit dan bau mulut.
 Herpangina: hanya pada bagian posterior mulut dan lebih menyebar, tidak ada
gingivitis.
 Zoster: mirip, karena sama-sama herpes, namun zoster sifatnya unilateral dan
segmentasi.
 Coxsackievirus infections (terutama HFM disease)
- Dapat berupa ulserasi yang luas pada rongga mulut menyerupai primary
herpetic gingivostomatitis, namun ulcer pada infeksi ini umumnya tidak
berkelompok dan gingiva tidak terlibat  tidak ada gingivitis!
- Untuk membedakan keduanya dilakukan kultur virus atau smear sitologi.

9
MANAJEMEN PERAWATAN
1. Infeksi Primer HSV
Perawatan untuk infeksi primer HSV adalah pemberian antiviral
Acyclovir atau famciclovir. Penggunaan acyclovir 15 mg/kg 5 kali sehari pada
anak dapat menurunkan durasi demam, mengurangi HSV shedding,
menghentikan progress lesi, meningkatkan nafsu makan, dan mengurangi
kunjungan rumah sakit.
Dosis acyclovir pada dewasa 200-400 mg 5 kali sehari selama 5-7 hari.
Bila dosis tersebut tidak mempan berarti pasien imunodefisiensi.
2. Infeksi HSV Rekuren
RHL sering ditekan dengan mengurangi faktor pemicu, seperti penggunaan
sunscreen. Selain itu, diberikan pula obat antiviral topical seperti krim
acyclovir 50%, krim penciclovir 3%, dan krim doconasol 100% sangat efektif
jika digunakan 3-6 kali sehari pada gejala awal lesi. Terapi sistemik dengan
valacyclovir atau famciclovir (500-1000 mg 3 kali sehari) efektif dalam
merawat lesi aktif atau untuk menekan infeksi HSV pada pasien yang
mengalami episode sering, lesi besar, atau EM.
3. Infeksi HSV pada Pasien Immunocompromised
Umumnya, pasien dirawat dengan antiviral sistemik yaitu acyclovir intravena
untuk mencegah penyebaran virus ke lokasi lain (misalnya HSV esophagitis).
Untuk pasien alergi acyclovir, alternatifnya ialah foscarnet.
4. Terapi Supportif
Perawatan pendukung yang diberikan berupa kontrol intake cairan yang
adekuat, pemberian analgesic : acetaminophen, menjaga oral hygiene dengan
mouth cleansing dan kumur-kumur menggunakan CHX.

b. Herpesvirus 3 (Varicella dan Zoster)


CHICKENPOX/CACAR AIR (Varicella)
Varicella/chickenpox atau cacar air merupakan penyakit infeksius menular
yang disebabkan olehh varicella zoster virus. Penyebaran virus terjadi melalui
udara (rute pernapasan) dan cairan tubuh. Bentuk infeksi primernya berupa
varicella, sedangkan infeksi sekunder/rekuren berupa zoster.

10
Secara struktur, VZV mirip dengan HSV karena memiliki inti DNA dan sama-
sama mengalami masa laten di ganglia sensory dalam waktu tertentu hingga
adanya reaktivasi virus.

PATOGENESIS
Penularan varicella umumnya melalui udara  inhalasi droplet yang
terkontaminasi. Setelah inkubasi 2 minggu, VZV berproliferasi dalam
makrofag, masuk ke aliran darah, dan menyebar ke kulit atau organ lain. Hal
tersebut memicu aktifnya respon imun non spesifik interferon dan respon imun
spesifik humoral dan selular. Pada host normal, respon imun mampu membatasi
replikasi virus dan memungkinkan penyembuhan dalam 2-3 minggu. Kemudian,
virus berjalan menuju ganglia sensory untuk menetap dalam fase laten.

TEMUAN KLINIS
 GEJALA : demam, malaise, pharyngitis, dan rhinitis.
 GAMBARAN KLINIS : gejala sistemik diatas berlanjut dengan munculnya
ruam pada wajah dan badan dan dilanjutkan ke anggota gerak, yang ditandai
dengan prurits exhantema. Ruam terdiri dari papul kecil di seluruh badan yang
cepat berubah menjadi vesikel, pustular dan pecah sehingga mengalami
ulserasi. Biasanya, seluruh lesi akan penuh ditutupi krusta dalam waktu 10 hari
(ruam papular  vesicular  pustular  pecah  ulserasi  krusta).
Infeksi ini jarang menyebabkan luka jaringan parut permanen, kecuali infeksi
sekunder berkembang.

 MANIFESTASI ORAL : Berupa ulser yang melibatkan vermillion border,


palatum, dan mucosa buccal. Lesi awal berupa vesikel (3-4 mm)  pustular
putih opak  rupture menjadi ulser (1-3 mm).

11
KOMPLIKASI  pada pasien immunocompromised, keparahan dapat
meningkat menjadi varicella menular dan hemorrhagic, pneumonia, gangguan
gastrointestinal (muntah, diare, dehidrasi). Pada janin dan bayi neonatus yang
lahir dari penderita varicella, bayi tersebut dapat terjangkit syndrome varicella
congenital disertai microcephaly, katarak, pertumbuhan terhambat, dan
hipoplasia anggota tubuh.

MANAJEMEN PERAWATAN
 Pencegahan : Vaksinasi varicella zoster 3-5 hari setelah terpapar.
 Penanganan : Pemberian varicella-zoster immunoglobulin dan obat antivirus
seperti acidoclovir, valaciclovir, atau famciclovir.

ZOSTER/CACAR API/CACAR ULAR


PATOGENESIS
Zoster merupakan infeksi sekunder karena reaktivasi virus varicella zoster yang
menetap laten di dorsal spinal ganglia. Faktor pemicu reaktivasi virus diantaranya
immunosupression, perawatan dengan obat – obatan cytotoxic, radiasi, adanya
malingansi, usia tua, pengguna alcohol, dan manipulasi dental. Insidensi herpes
zoster meningkat seiring dengan meningkatnya usia dan derajat imunosupresi.

TEMUAN KLINIS
 GEJALA :

12
Rasa sakit yang dalam/ seperti terbakar. Sakit berasal dari infeksi pada
dermatome (area epithelium yang diinervasi oleh saraf spinal) disertai demam,
malaise, sakit kepala, terdapat sedikit lymphadenopathy 1-4 hari sebelum
muncul lesi kutan.
 MANIFESTASI KLINIS :
Lesi awal berupa sekelompok vesikel dengan pola dermatom (bisa unilateral,
linear, atau terdistribusi dalam dermatom yang disuplai oleh satu saraf). Dalam
3-4 hari, vesikel berkembang menjadi pustular. Setelah 7-10 hari terjadi rupture
dan ulserasi yang diakhiri dengan krusta. Lesi mereda dalam 2-3 minggu.
Selama penyembuhan, dapat terbentuk scar disertai
hipopigmentasi/hiperpigmentasi.
Bila sakit tidak hilang sampai 3 bulan  masuk fase kronis : postherpetic
neuralgia. Sakitnya dideskripsikan sebagai sakit terbakar, tertusuk, gatal, ngilu,
dan sering dipicu hanya dengan sentuhan ringan oleh pakaian. Keadaan kronis
ini bahkan bisa berlangsung hingga 20 tahun.

 MANIFESTASI ORAL:
o Infeksi zoster pada divisi opthalmic N.Trigeminal  ruam wajah, nyeri,
lesi pada dahi dan kelopak mata serta ulserasi kornea (bisa menyebabkan
kebutaan).

o Infeksi zoster pada divisi maxillaris N.Trigeminal  lesi pada bibir atas
dan wajah tengah, sakit seperti terbakar pada palatum unilateral. Beberapa

13
hari kemudian, terbentuk ulser (1-5 mm) di palatum dengan distribusi
unilateral.

o Infeksi zoster pada divisi mandibularis N.Trigeminal  lesi wajah


bawah, bibir bawah, gingival rahang bawah, dan lidah.
o Pada pasien HIV, herpes zoster dilaporkan dapat menyebabkan resorpsi dan
tanggalnya gigi serta osteonekrosis tulang rahang.
o KOMPLIKASI  Ramsay Hunt Syndrome (keterlibatan ganglion
geniculate); pasien akan menderita Bells Palsy, lesi vesikel pada telinga luar,
dan parestesis 2/3 anterior lidah.

MANAJEMEN PERAWATAN
 Pencegahan: imunisasi varicella zoster sejak kecil untuk mencegah risiko
terjangkit cacar di kemudian hari.
 Perawatan : pemberian antivirus acyclovir, valaciclovir, atau famciclovir per oral
3 hari setelah timbulnya ruam. Pemberian secara intravena dikhususkan pada
pasien imunodefisiensi, terutama penderita HIV/AIDS karena dapat mengancam
nyawa.

14
 Nyeri postherpetic neuralgia tidak merespon baik terhadap analgesic. Pemberian
tricylic antidepressants, carbamazepine, atau capsaicin lebih dianjurkan.
 Perawatan postherpetic neuralgia dapat dilakukan dengan stimulasi kulit di area
yang sakit dengan cara menggosok area kulit dengan kain secara lembut;
menekan kulit dengan ibu jari; massage; acupuncture; local heat; cold spray;
atau stimulasi saraf dengan elektrik melalui transkutan (TENS).

2. ENTEROVIRUS
Enterovirus berreplikasi di mucosa usus dan ditransmisikan dari orang ke orang
melalui rute enteral (oral-faecal). Kebanyakan infeksi umumnya terjadi pada masa
kanak-kanak. Infeksi enterovirus biasanya bersifat sementara namun dapat
menciptakan kekebalan jangka panjang terhadap infeksi ini. Gejala klinis yang
muncul biasanya ringan, namun infeksi tertentu dapat menyebabkan kelainan yang
serius seperti poliomyelitis paralisis, meningitis, atau myocarditis. Enterovirus yang
relevan dengan kedokteran gigi adalah hepatitis A, poliomyelitis, herpangina, dan
hand-foot-mouth disease.

a. Virus Hepatitis
Sekitar 80% infeksi virus hepatitis disebabkan oeh Virus Hepatitis A (HAV),
Hepatitis B (HBV), Hepatitis C (HCV), Hepatitis D (HDV), dan Hepatitis E
(HEV). Virus tipe HBV, HDV, dan HCV merupakan jenis virus yang cukup
ditakuti dan mendapat perhatian khusus dari para praktisi kesehatan karena
virus-virus tersebut ditransmisikan secara parenteral dan dapat menimbulkan
infeksi kronis. Sedangkan, HAV dan HEV cenderung menyebar secara enteral
(lewat saluran cerna) dan tidak berpotensi menimbukan infeksi kronis.

15
Transmisi HBV, HCV, dan HDV biasa terjadi melalui :
- Paparan darah dan cairan tubuh.
- Transmisi vertical, dari ibu yang terinfeksi kepada janin-nya  penyebab
terbanyak kasus infeksi HBV di seluruh dunia.
- Penggunaan obat-obatan intravena (needle/syringe sharing)  penyebab
terbanyak infeksi HCV dan HDV.
- Pemakaian body-piercing/ tattoo.
- Hubungan sex dengan banyak individu.
- Hubungan sex dengan orang yang terinfeksi virus hepatitis.

DIAGNOSIS INFEKSI VIRUS HEPATITIS


 Gambaran Klinis
Infeksi Virus Hepatitis Akut Infeksi Virus Hepatitis Kronis
Kadang asimptomatik atau Gejala infeksi yang sudah kronis:
menunjukkan gejala seperti: - Jaundice

16
- Lelah - Urtikaria
- Mual - Urin berwarna gelap
- Demam - Feses berwarna terang
- Nyeri abdominal - Pembesaran liver
- Hilang nafsu makan

MANAJEMEN PERAWATAN
- Virus Hepatitis A
 Pencegahannya berupa vaksinasi hepatitis A sebagai profilaksis, terutama
bagi traveler yang akan pergi ke negara dengan risiko endemic yang tinggi.
 Pertimbangan dental : tidak ada risiko transmisi HAV yang fatal selama
melakukan perawatan dental. Namun, sebaiknya pasien tidak melakukan
perawatan gigi selama fase akut (karena masih lemas).
- Virus Hepatitis B
 Pencegahan: Vaksinasi hepatitis B bagi mahasiswa kedokteran/kedokteran
gigi, tenaga medis, traveler, bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HBV
(vaksinasi dilakukan 12 jam setelah kelahiran), dan mereka yang bekerja
dengan orang-orang berisiko tinggi .
Setelah vaksinasi rutin (kurang lebih 1-2 bulan setelah dosis vaksinasi
ketiga), perlu dilakukan pemeriksaan pasca vaksinasi untuk melihat adanya
respon antibody protektif. Respon yang adekuat menunjukan angka ≥ 10
mIU/ml. Pemeriksaan pasca vaksinasi ini lebih direkomendasikan bagi:
o Pasien immunocompromised.
o Penerima vaksin di area bokong
o Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif
o Tenaga medis yang pernah berkontak dengan darah pasien hepatitis
o Partner sex dari penderita infeksi kronis HBV.
 Manajemen untuk infeksi HBV akut  diet tinggi karbohidrat dan hindari
konsumsi hepatotoxins, contoh: alcohol.
 Manajemen untuk infeksi HBV kronis  pemberian antiviral berupa
interferon-α2b dan pegylated interferon-α2a untuk meningkatkan respon
imun alami serta adevofir dipivoxil, lamivudine, dan entecavir sebagai
penghambat sintesis DNA HBV.

17
- Virus Hepatitis C
Sampai sekarang, belum ditemukan vaksin untuk HVC. Oleh karena itu,
perawatan yang diberikan bersifat kuratif berupa pemberian pegylated
interferon-α2a dan ribavirin. Keberhasilan hasil terapi ditentukan dari respon
virologis yang diprediksi dari genotype HCV dan jumlah virus pre perawatan.
Respon virologis semakin baik apabila usia pasien < 40 tahun, berat < 75 kg,
HCV memiliki genotype 2 atau 3, dan jumlah virus pre perawatan rendah.
- Pertimbangan dental bagi pasien infeksi virus hepatitis :
 Mudah terjadi perdarahan,
 Mungkin ditemukan petecchiae, hematoma, atau ekimosis pada rongga
mulut pasien
 Menurut penelitian, prevalensi HCV yang semakin tinggi memicu
munculnya lichen planus di rongga mulut.
 Hindari pemberian obat yang dimetabolisme oleh hati, terutama pada pasien
infeksi kronis yang sudah mengalami gangguan fungsi hati.
 Kontrol infeksi sangat penting dilakukan oleh dokter gigi dan asisten. Hati-
hati terpapar saliva, darah, dan gigitan pasien. Paparan paling sering terjadi
ketika operator menggunakan jarum/syringe saat prosedur perawatan dengan
pasien yang terinfeksi
 Bila terlanjur terpapar darah, berikan postexposure profilaksis yaitu Hepatitis
B Immunoglobulin dan melakukan vaksin HBV dalam jangka 24 jam setelah
kontak.
 Dokter gigi yang positif terinfeksi HBV, HCV, HDV sebaiknya tidak
melakukan exposure-prone procedures.

b. Coxsackievirus (CV)
CV merupakan virus RNA, anggota genus Enterovirus dan family
Picornaviridae, serta memiliki gambaran yang sama dengan poliovirus.
Terdapat 23 CV tipe A (CVA) dan 6 CV tipe B (CVB). Virus bereplikasi
pertama kali di dalam mulut lalu menyebar ke saluran gastrointestinal bawah.
Transmisi utamanya melalui jalur enteral (faecal-oral). Pada rongga mulut,
infeksi CV menyebabkan 3 penyakit: HFM disease, herpangina, dan
lymphonodular pharyngitis.

18
HAND, FOOT, AND MOUTH DISEASE
HFM disease merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh CVA 16
dan Enterovirus (EV) 71. Virus ditransmisikan melalui persebaran udara
atau kontaminasi faecal-oral. 90% infeksi virus ini menyerang anak-anak di
bawah usia 5 tahun dan umumnya subklinis. HFM disease, bersama dengan
banyak infeksi CV, termasuk herpangina, cenderung terjadi musiman
(biasanya musim panas), terjadi pada kelompok epidemic, dan memiliki
tingkat transmisi yang tinggi. Inkubasi virus selama 3-5 hari. Pasien sembuh
dalam jangka waktu 1-2 minggu.
Perbedaan antara HFM disease yang disebabkan oleh EV71 dengan
CVA16 adalah infeksi EV71 lebih mungkin berhubungan dengan penyakit
system saraf pusat yang parah (seperti meningitis dan brainstem
encephalitis), paralysis, pulmonary edema, dan kematian.

TEMUAN KLINIS (terjadi dalam 3-7 hari)


 GEJALA : demam ringan, limfadenopati, sakit pada mulut, sakit
tenggorokan, batuk, disphagia, anorexia, rhinorrhea, muntah, myalgia,
dan sakit kepala.
 MANIFESTASI ORAL : Lesi awal berupa macula erythematous dengan
pusatnya berwarna pucat yang menjadi vesikel. Vesikel ini cepat pecah
dan menjadi ulser yang diselimuti membrane fibranous berwarna kuning
dan erythematous halo di sekitarnya. Lesi biasanya terletak pada lidah,
palatum durum dan mole, dan mukosa bukal namun dapat muncul pada
setiap permukaan oral.
 MANIFESTASI KLINIS : terdapat ruam kemerahan yang kemudian
berkembang menjadi lesi maculopapular  vesikel  vesikal pecah
dan timbul ulser pada permukaan tangan, jari tangan, kaki, dan jari kaki.
Lesi tersebut tidak atau hanya sedikit meninggalkan bekas luka tanpa
krusta. Lesi ini muncul bersamaan atau setelah infeksi oral terjadi.

19
MANAJEMEN PERAWATAN
Perawatan yang dilakukan umumnya bersifat simtomatik. Larutan
kumur mulut seperti sodium bikarbonat dalam air hangat dapat
digunakan untuk membantu meringankan ketidaknyamanan pada
mulut.Beberapa pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit jika mengalami
dehidrasi karena kesulitan makan dan hidrasi akibat ulser mulut yang
menyakitkan.

HERPANGINA
Herpangina merupakan infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus
Coxsackie tipe A (CVA1-6, CVA8, CVA10, CVA22, CVB3). Virus ini
ditransmisikan melalui saliva dan feses yang terkontaminasi. Herpangina
biasanya mewabah pada musim panas dan musim gugur. Penyakit ini lebih
sering dijumpai pada anak – anak usia kurang dari 10 tahun.

TEMUAN KLINIS
 Gejala : Setelah masa inkubasi selama 2-10 hari, infeksi dimulai dengan
gejala umum seperti demam, sakit kepala, menggigil, dan anorexia.
Gejala oral pertama herpangina adalah nyeri tenggorokan, dysphagia,
dan nyeri saat menelan
 Manifestasi Oral:
o Terdapat erythema pada orofaring, palatum mole, dan tonsillar pillars.

20
o Lesi oral diawali dengan makula yang dengan cepat
berkembang menjadi papul dan vesikel di area
posterior mulut seperti pharynx, tonsil, faucial
pillars, dan palatum mole. Lesi jarang ditemukan di
mukosa bukal, lidah dan palatum keras.
o Setelah 24-48 jam vesikel pecah menjadi ulser 2-4
mm. Keadaan ini bertahan selama 5-10 hari. Ulserasi
biasanya sembuh dalam 7-10 hari.
o Lymphonodular pharyngitis dipertimbangkan sebagai varian
herpangina dan berhubungan dengan CVA10.

MANAJEMEN PERAWATAN
Herpangina merupakan infeksi yang ringan, sebentar dan jarang
menyebabkan komplikasi sehingga tidak dibutuhkan perawatan spesifik.
Perawatan dilakukan dengan pemberian antipiretik nonaspirin dan
anestesi topikal (dyclonine hydrochloride) untuk mengurangi
ketidaknyamanan.

DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
Lesi HFM disease dan herpangina dapat menyerupai primary herpetic
gingivostomatitis. Lesi pada telapak tangan dan kaki adalah ciri khas HFM
disease, dan ulser pada rongga mulut posterior adalah ciri khas
herpangina. Infeksi primer HSV juga cenderung menyebabkan gejala
konstitusional lebih parah Chickenpox muncul dengan lesi kulit vesicular
generalis, namun ulser tidak jelas pada rongga mulut; pasien juga lebih sakit.
Infeksi Streptococcal pada tenggorokan umumnya tidak menghasilkan vesikel
atau ulser pada HFM disease atau herpangina melainkan eksudat purulen,
meskipun tampak mirip; kultur dapat membedakan keduanya.

PERBEDAAN HERPANGINA DENGAN HSV PRIMER:


 Herpangina terjadi secara epidemic (mewabah dalam suatu daerah tertentu
melebihi jumlah batas normal) , sedangkan infeksi HSV tidak.
 Herpangina lebih ringan daripada infeksi HSV.

21
 Lesi dari herpangina terdapat pada pharynx dan bagian posterior dari
mukosa oral, sedangkan HSV pada umumnya mempengaruhi bagian
anterior mulut.
 Herpangina dan infeksi CV tidak menyebabkan gingivitis menyeluruh.
 Infeksi HSV primer menyebabkan gejala konstitusional yang lebih parah.
 Lesi dari herpangina lebih kecil.

3. INFEKSI VIRUS EPSTEIN-BARR (EBV)

Infeksi mononucleus adalah penyakit simptomatis yang berasal dari


paparan terhadap virus Epstein-Bar (EBV, HHV-4). Infeksi biasanya terjadi oleh
kontak intim. Penyebaran umumnya intrafamilial, dan sekali seorang terpapar,
EBV tetap pada host seumur hidup. Anak-anak umumnya terinfeksi melalui saliva
pada jari yang terkontaminasi, mainan, atau benda lain. Pada dewasa, kontak virus
melalui transfer saliva langsung, seperti berciuman, oleh karena itu nama lain dari
infeksi virus ini adalah kissing disease. Paparan selama anak-anak biasanya
asimptomatik, dan infeksi paling simptomatik pada dewasa muda.

Disamping infectious mononucleosis, EBV telah menunjukkan lesi oral


hairy leukoplakia (OHL) dan berhubungan dengan beberapa kelainan
lymphoproliferative, nasopharyngeal carcinoma, beberapa gastric carcinoma, dan
kadang tumor otot polos.

Gambaran Klinis
Sebagian besar infeksi EBV pada anak asimptomatik. Pada anak yang berusia
kurang dari 4 tahun dengan gejala demam, lymphadenophaty, pharyngitis,
hepatosplenomegaly, dan rhinitis atau cough (batuk). Anak berusia 4 tahun
terafeksi ssama namun menunjukkan prevalensi hepatosplenomegaly, rhinitis dan
cough yang lebih rendah.

Sebagian besar dewasa muda mengalami demam, lymphadeno[haty,


pharyngitis dan tonsillitis. Hepatosplenomegaly dan rash tidak terlalu sering
terlihat. Komplikasi yang mungkin meliputi splenic rupture, trombositopenia,
autoimmune hemolytic anemia, dan masalah neurologic. pada infeksi mononucleus
yang klasik pada dewasa muda, prodromal fatigue, malaise, dan anorexia terjadi

22
sampai 2 pekan sebelum perkembangan pyrexia. Suhu mencapai 104’F dan
bertahan selama 2-4 hari.

Lymphadenopathy terlihat pada 90% kasus dan tampak membesar, simetris,


dan tender nodes, sering dengan keterlibatan posterior dan anterior cervicak chains.
Lebih dari 80% kasus pada dewasa muda memiliki pembesaran tonsilar
oropharyngeal, kadang dengan eksudat permukaan difus dan abses tonsil sekunder.
Lesi oral selain pembesaran lymphadenophaty adalah petechiae pada palatum
durum atau mole. Biasanya hilang dalam 24-49 jam. NUG juga sering terjadi

a. Infectious mononucleosis
Infeksi akut yang mempengaruhi jaringan limfoid ke seluruh tubuh,
infectious mononucleosis terlihat pada remaja dengan insidensi puncak usia
15-20 tahun. Organisme ada pada saliva dan dapat menyebar melalui
ciuman. Inkubasi selama 4-7 pekan, bisa lebih singkat pada anak-anak 10-
40 hari. Gejala meliputi demam ringan dengan lymphadenopathy generalis
dan limfosit abnormal pada darah. Demam, tonsillitis dan fatigue umum,
dan banyak pasien memiliki splenomegaly. Limfositosis merupakan
gambaran khas.
b. Infeksi EBV kronis, persisten atau tereaktivasi
Gejalanya adalah fatigue persistent, dengan atau tanpa temuan fisik atau
laboratorium.
c. Persebaran EBV melalui sekresi respirasi, terutama melalui kontak oral
Pada pasien dengan sosioekonomi rendah, terpapar EBV pada usia awal,
sedangkan pada pasien dengan sosioekonomi tinggi, infeksi primer
biasanya tertunda sampai remaja atau dewasa muda.
d. Burkitt’s lymphoma
Merupakan tumor sangat ganas yang cepat menyebar dengan metastasis
yang luas. Penyakit ini sering terjadi di Afrika dengan endemic malaria.
Efek parasit malaria pada sistem reticuloendotalial dapat menyebabkan
respons abnormal terhadap infeksi EBV. EBV lalu menghasilkan perubahan
ganas pada jaringan limfoid (limfoma) bukannya proliferasi jinak.
e. Nasopharyngeal carcinoma
f. Hairy leukoplakia
Merupakan area putih dan timbul.

23
Diagnosis
Diagnosis berdasarkan gambaran klinis dan sebaiknya dikonfirmasikan
melalui prosedur laboratorium. Hitung sel leukosit meningkat dengan differential
count menunjukkan limfositosis relatif yang dapat terjadi menjadi 70%-90%
selama minggu kedua. Atypical limfositosis biasanya muncul pada daerah perifer.
Temuan serologi pada EBV adalah adanya Paul-Bunnel heterophil antibody, tes
cepat untuk antibody. Lebih dari 90% pasien dewasa muda memiliki temuan positif
heterophil antibody, namun pasien yang berusia kurang dari 4 tahun sering
mendapatkan hasil negatif. Indirect immunofluorescent testing untuk mendeteksi
antibody spesifik EBV (IgM) sebaiknya digunakan pada pasien yang diduga
memiliki infeksi EBV yang negatif pada tes Paul-Bunnel. ELISA dan recombinant
DNA-derived antigen dapat menggantikan indirect immunofluorescent test.

Perawatan dan Diagnosis


Infectious mononucleosis sembuh dalam 4-6 pekan (ringan dan self-limiting).
Antipiretik tanpa mengandung aspirin dan NSAID dapat digunakan untuk
meminimalkan sebagian besar gejala. Komplikasi yang jarang meliputi splenic
rupture, hepatitis yang berhubungan dengan EBV, dan Bell’s palsy. Pasien dengan
pembesaran limpa sebaiknya menghindari olahraga kontak untuk mencegah splenic
rupture. Kadang, fatigue dapat menjadi kronik. Pada pasien immunokompromis,
poliferasi polyclonal B-lymphocyte dapat terjadi dan mungkin menyebabkan
kematian.

Keterlibatan tonsilar menyerupai streptococcal pharyngitis dan myocarditis


terlihat pada pasien yang memiliki infectious mononucleosis dan dirawat dengan
steroid. Penggunaan kortikosteroid menghasilkan durasi demam yang lebih singkat
dan penyusutan pembesaran jaringan limfiod, namun penggunaannya harus
dibatasi pada kasus yang mengancam nyawa (seperti pada pasien dengan gangguan
pernafasan atas karena lymphadenopathy yang besar).

4. Rubeolla (Campak Jerman)


Etiologi dan Patogenesis
Campak merupakan infeksi virus menular yang disebabkan virus dari famili
paramyxo-virus. Virusnya dikenal sebagai virus campak, merupakan virus RNA-

24
enveloped yang terkait secara struktural dan biological terhadap famili virus
orthomyxovirus, yang dapat menyebabkan mumps dan influenza.Virus tersebut
tersebar melalui droplet udara melalui epitel respirasi nasopharynx, dengan insiden
kejadian antara maret dan april. Periode inkubasi antara 10 – 11 hari dengan
periode prodromal 1 – 7 hari.Exaanthem terdiri dari elevasi pinpoint awal pada
palatum lunak yang menyatu dengan keterlibatan faring dengan eritema terang,
tonsil menunjukkan daerah keabu – abuan biru yang disebut dengan Herman spots.

Campak Jerman, atau rubella, merupakan penyakit menular yang


disebabkan oleh virus yang tidak terkait dengan famili togavirus. Penyakit ini
menunjukkan gambaran klinis campak berupa demam, gejala respirasi, dan
kemerahan.Tetapi, gambaran ini sangat ringan dan singkat.Bintik Koplik tidak
tampak pada campak Jerman.Hal yang signifikan dari campak Jerman, virusnya
menyebabkan cacat bawaan dalam perkembangan janin. Pada kondisi yang
abnormal menghasilkan variasi dan mungkin berupa keparahan, khususnya jika
infeksi intrauterin terjadi selama trisemster pertama kehamilan.

Gambaran Klinis
Campak merupakan penyakit yang menyerang anak-anak biasanya pada
musim semi setelah periode inkubasi 7 hingga 10 hari, gejala prodromal seperti
demam, tidak enak badan, coryza, konjungtivitis, photophobia, dan batuk. Dalam
1 – 2 hari, makula eritema pathognomonic yang kecil dengan nekrosis berwarna
putih di tengah tampak pada mukosa bukal.
Bintik lesi, yang dikenal sebagai bintik Koplik, setelah dokter anak pertama
kali menggambarkannya seperti berikutTimbulnya kemerahan kulit makulopapular
campak. Bintik Koplik umumnya diawali dengan kulit kemerahan dalam 1 – 2 hari.
Lesi serupa dapat dilihat pada konjungtiva di canthus medial. Kemerahan awalnya
mempengaruhi kepala dan leher, diikuti dengan saluran pernafasan, dan anggota
gerak. Komplikasi yang terkait dengan virus campak adalah ensefalitis dan
trombositopenia purpura. Infeksi sekunder dapat berkembang sebgai otitis media
atau pneumonia.

Differential diagnosis

25
Diagnosis campak biasanya dibuat berdasarkan tanda klinis dan gejala yang
terjadi pada individu yang belum divaksin. Gejala prodromal, bintik Koplik, dan
kemerahan memberikan bukti adanya campak.Jika dibutuhkan, uji laboratori dapat
dilkukan melalui kultur virus atau tes serologi untuk antibodi terhadap virus
campak

Perawatan
Tidak ada perawatan tertentu untuk campak.Terapi pendukung istirahat penuh,
cairan, diet cukup dan analgesik umumnya dibutuhkan. Vaksin efektif untuk
mencegah campak dan diberikan kepada balita dalam bentuk imunisasi untuk
mencegah mumps dan rubella. Vaksinnya disebut dengan MMR (measles, mumps,
rubella)

5. Mumps
Mumps merupakan infeksi virus sialadenitis primer akut yang menyerang
kelenjar parotis. Sebelum adanya imunisasi rutin, mumps meruoakan endemik
dalam setahun walaupun biasanya terjadi pada akhir musim dingin dan
semi.Bentuk noninfeksi mumps atau pembesaran parotis merupakan iodide
mumps.Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar berhubungan dengan
kandungan material kontras radiografik – yodium.Kondisinya terbatas dan jinak
dengan rekurensi paparan berulang terhadap material kontras yodium
Etiologi dan Patogenesis
Agen penyebab infeksi mumps adalah paramyxovirus. Periode inkubasinya
yakni 2 – 3 minggu dengan memberikan gejala klinis. Transmisi terjadi secara
kontak langsung dengan percikan saliva.
Gambaran Klinis
Paien menjadi demam, tidak enak badan, sakit kepala, dan panas dingin,
sakit pada preauricular. Kelenjar saliva, parotis, terjadi infeksi bilateral.
Pembengkakan parotis cenderung asimetri, mencapai proporsi maksimal 2-3 hari.
Sakit lokal lanjut terjadi pada saat rahang bergerak untuk berbicara dan menelan.
Duktus stensen menjadi tersumbat sebagian karena pembengkakan kelenjar,
dengan nyeri yang tajam akibat stimulasi mekanisme sekresi oleh makanan dan
minuman.

26
Pembengkakan mengecil secara jelas sekitar 10 hari setelah timbulnya
gejala. Penyakit ini mempengaruhi pria dan wanita, terutama dewasa muda dan
anak – anak.
Komplikasi yang berpotensi serius (orkitis atau ooforitis) dapat terjadi pada orang
dewasa.
Gondong merupakan infeksi sistemik, hal ini dibuktikan dengan keterlibatan
penyebaran yang luas jaringan glandular dan lainnya dalam tubuh, termasuk hati,
pancreas, ginjal, dan saraf.
Diagnosis
Diagnosis dibuat dengan mendemonstrasikan antibody terhadap mumps S
dan antigen V dan antigen hemaglutinasi. Diagnosis gondok pada orang dewasa
dapat lebih sulit. Uji cepat juga tersedia yakni dengan menggunakan cairan rongga
mulut (mumps-imunoglobulin m (IgM) spesifik yang menangkap immunoassay)
menunjukkan sesitivitas yang baik dan spesifitas sebagai alternatif untuk tes
serologi konvensional.
Uji saliva menggunakan rangkaian reaksi transkripsi polimerasi terbalik
dan amplifikasi gen isothermal-lingkaran membantu dalam perhitungan jumlah
virus yang dapat membantu dalam penilaian pathogenesis penyakit
Perawatan
Perawatannya bersifat simtomatik dan membutuhkan istirahat total.
Analgesik yang diberikan dan kortikosteroid dapat digunakan pada kasus yang
berat. Pemulihan lengkap umumnya diharuskan, walaupun kematian telah
dikaitkan dengan virus ensefalitis, miokarditis, dan nefritis. Gangguan saraf telinga
dan atrofi testis bilateral dapat terjadi meskipun jarang
Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan menggunakan vaksin yang
menginduksi infeksi subklinis menular. Konversi antibodi terjadi pada sekitar 90%
dari individu yang rentan dan kekebalan seumur hidup. Meskipun gondong
merupakan bentuk paling umum dari virus sialadenitis, parotitis mungkin juga
disebabkan oleh agen virus lain, termasuk virus CoxsackieA, echovirus,
viruschoriomeningitis, cytomegalovirus, dan jenisvirusparainfluenza1dan2

27
2.2 PEMERIKSAAN PENUNJANG DAN DIAGNOSIS PADA INFEKSI
VIRUS
Infeksi Virus Herpes Simplex
 Pemeriksaan Histopatologi
o Pada pemeriksaan sitologi memakai tehnik Tzanck. Gambaran
mikroskopis tampak pada epitel sel yang terinfeksi terjadi akantolisis,
nukleus menjadi jelas karena terjadi perbesaran nukleus. Gambaran
terserbut disebut balloning degeneration. Terkadang terlihat fusi
multinukleus menjadi giant cell. Namun pemeriksaan secara sitologi
tidak dapat membedakan infeksi pada HSV-1 atau HSV-2.
 Pemeriksaan Serologi
o Dideteksi melalui adanya antibodi glycoprotein G. Menunjukkan bahwa
terinfeksi virus HSV-1 atau HSV-2. Untuk pemeriksaan spesifik dapat
digunakan HerpeSelect-1 ELISA dan HerpeSelect-2 ELISA. Adanya
antibodi glycoprotein G1 menunjukkan infeksi HSV-1 dan glycoprotein
G2 menjukkan infeksi HSV-2.
 Isolasi Virus
o Pengambilan sampel virus dapat dilakukan dengan tehnik Swab pada
sekret infeksi atau ulserasi. Isolasi virus kemudian dilakukan pada
metode PCR.
 Diagnosis
o Gambaran klinis pada infeksi HSV memiliki kemiripan dengan gejala
klinis infeksi lain, sehingga sering kali kita dibingungkan dalam
menegakkan diagnosis. Oleh sebab itu pemeriksaan laboratorium sangat
diperlukan. Pemeriksaan yang paling tepat adalah dengan isolasi virus,
namu pemeriksaan ini memerlukan waktu hingga 2-4 hari. Pemeriksaan
serologi dapat digunakan atau metode antibodi monoklonal DNA in situ
hibridilisasi sangat berguna dalam mengidentifikasi virus. DD: ANUG
(Vincent’s disease) atau Stomatitis apthous.

Infeksi Virus Herpes Zoster


 Pemeriksaan Histopatologi
o Secara mikroskopis sama dengan gambaran infeksi virus varicella,
karena meruapakan infeksi lanjutan dari virus varicella.

28
 Pemeriksaan Serologi
o Pada pemeriksaan serologi didapatkan peningkatan IgM dan memori
IgG dari infeksi varicella. Jumlah IgG akan tinggi diakibatkan adanya
IgG dari infeksi sebelumnya.
 Isolasi Virus
o Polymerase chain reaction (PCR) dilakukan pada cairan vesikel atau
darah. tehnik pewarnaan langsung pada lapisan sitologik dengan Direct
flouroescent antibody (DFA)
 Diagnosis
o Diagnosis dapat ditegakkan dari gambaran klinis pasien. Isolaso kultur
virus dapat dilakukan namun membutuhkan waktu hingga 24 jam untuk
mendapatkan hasil yang tepat. Pemeriksaan secara sitologi akan
didapatkan hasil yang sama dengan infeksi HSV dan varicella. Diagnosa
dapat dilakukan dengna cepat dengan tehnik pewarnaan langsung pada
lapisan sitologik dengan flouroescent antibodi monoklonal VzV.

Infeksi Virus Varicella


 Pemeriksaan Histopatologi
o Morfologi pada inflamasi pada infeksi virus varicella dan HSV pada
umumnya sama. Secara mikroskop epital sel yang terinfeksi terlihat
homogeneus nukleus dan terdapat produk virus. Multinukleus sel juga
terlihat dan tampak terjadi akantolisis.
 Pemeriksaan Serologi
o Pada pemeriksaan serologi didapatkan peningkatan antibodi. Namun
jumlah IgG tidak setinggi pada infeksi HZV yang diakibatkan adanya
IgG dari infeksi sebelumnya. Pemeriksaan dengan IgM ELISA dapat
menilai infeksi pertama, infeksi ulang atau infeksi yang kembali aktif.
 Isolasi Virus
o Dilakukan tehnik scrapping dari badan lesi lalu tehnik pewarnaan
langsung pada lapisan sitologik dengan flouroescent antibodi
monoklonal VzV

29
 Diagnosis
o Diagnosis dapat ditegakkan dari riwayat medis pasien dan penyebaran
lesi. Pemeriksaan dengna sitologic dapat menyebaban kesalahan
diagnosis menjadi infeksi HSV. DD: infeksi HSV dan Hand Foot dan
Mouth Disease

Infeksi Virus Paramixovirus (mumps)


 Pemeriksaan Histopatologi
 Pemeriksaan Serologi
o Terjadi peningkatan antibody mumps-specific IgM dan mumps-specific
IgG
 Isolasi Virus
o Sampel dapat diambil dari saliva, urin, cairan serebrospinal
 Diagnosis
o Diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis. Pemeriksaan
lab seperti kultur virus dan pemeriksaan serologi tidak terlalu
diperlukan.

Infeksi Virus Coxackie (Herpangina)


 Pemeriksaan Histopatologi
o Terjadi edema atau perbesaran intersellular pada vesikel. Diikuti dengan
spongiosis dan pembentukan intraepitel vesikel. Perbesaran eptiel dapat
menyebabkan pecahnya vesikel melalu sel epitel basal. Terdapat Sel
epitel nekrosis dan ulserasi terlihat.
 Pemeriksaan Serologi
o Terjadi peningkatan IgM pada satu minggu pertama. Setelah beberapa
bulan IgM digantikan IgG. Namun pemeriksaan serologi tidak terlalu
perlu dilakukan.
 Isolasi Virus
o Dilakukan tehnik swab pada nasopharingeal dan juga dari urin, feces
atau darah.

30
 Diagnosis
o Diagnosis biasanya berdasarkan rivvayat medis dan gambaran klinis dari
pasien. Diagnosis dapat dibantu melalui isolasi virus dan melalui
pemeriksaan serologi, namun biasanya tidak terlalu digunakan. DD:
apthous ulcer, herpes gingivostomatitis, acute lymponodular pharyngitis

Infeksi Virus Hand Foot dan Mouth Disease


 Pemeriksaan Histopatologi
o Mirip dengan gambaran pada infeksi herpangina. Vesikel ditemukan
dalam epitel karena replikasi dari virus di keranosit. Inklusi eosinofilik
sering kali terlihat dengan epitel yang terinfeksi. Ketika keranosit hancur
karena virus, terjadi pembesaran vesikel dan berisi debri, protein dan sel
inflamasi.
 Pemeriksaan Serologi
o Terjadi peningkatan antibody dan pada pemeriksaan darah terjadi
peningkatan sel darah putih.
 Isolasi Virus
o Dilakuka swab pada vesikel
 Diagnosis
o DD: Herpes gingivostomatitis atau varicella

Infeksi Virus HIV


 Pemeriksaan Hematologi
o Penurunan jumlah sel darah merah, penurunan sel darah putih seperti
CD4+ dan CD8+ limfosit, penurunan eosinofil dan neutrofil, dan
penurunan trombosit. Pemeriksaan hematologi perlu rutin dilakukan
untuk memonitor jumlah sel darah putih pasien.
 Pemeriksaan Serologi
o Pada penderita infeksi HIV akan menunjukkan peningkatan antibodi
pada 6 bulan setelah terpapar meskipun tanpa gejala klinis. ELISA
digunakan dalam mengidentifikasi antibodi pada HIV. Pemeriksaan juga
dilakukan dengan western blot analisis. Tes pada ELISA dapat diambil
menggunakan saliva dan diukur antibodinya. Combinasi dari kedua test

31
ini memiliki keakuratan hingga 99%. Pemeriksaan lain dapat digunakan
EIA (enzym imunoassay). Pemeriksaan melihat jumlah dari p24 antigen,
yang mana merupakan antigen dari HIV.
 Isolasi Virus
 Diagnosis
o Konfirmasi infeksi HIV dapat dilakukan dengan cara kultur virus atau
pemeriksaan antibody dan antigen HIV. Standar pemeriksaan
menggunakan EIA, western blot, ELISA, atau pun RIPAI. Diagnosis
AIDS dapat juga diindikasikan pada hasil pemeriksaan lab dengan
jumalah CD4+ limposit kurang dari 200 permikro liter. Diagnosis juga
dapat ditegakkan jika ada indikator yang sesuai dengan tabel dibawah.

32
2.3 KOMPLIKASI INFEKSI VIRUS

Infeksi Virus Varicella Zoster


Hal yang terpenting dari Infeksi Herpes Zoster adanya postherpetic yang berupa
neuralgia. Neuralgia adalah rasa sakit yang masih ada selama 30 hari atau 120 hari
setelah onset dari ruam (rash) akut. Neuralgia ini dirasakan oleh hampir 70% pasien
pada umur 50 tahun, dan 50% pasien dengan umur diatas 50 tahun merasakan rasa sakit
yang bertahan lenih dari 1 bulan, da nada beberapa pasien yang merasakan efek dari
neuralgia ini hingga tahunan.

Pada pasien immunocompromised biasanya terjadi infeksi varicella zoster yang lebih
parah, infeksi dapat timbul atypical, bilateral dan melibatkan multiple dermatomes,
selain itu terjadi retinitis, pneumonitis dan encephalitis. Infeksi herpes zoster tidak
hanya melibatkan ganglion dorsal tetapi juga anterior horn cell, yang menyebabkan
paralysis.

Oral manifestasi : komplikasi yang tidak wajar pada infeksi herpes zoster yaitu adanya
keterlibatan geniculate ganglion yang disebut dengan Ramsay Hunt Syndrom. Pasien
akan mengalami Bells palsy, vesikula pada telinga luar, kehilangan sensasi rasa pada
2/3 anterior lidah. Selain itu infeksi herpes zoster dilaporkan dapat menyebabkan
resorspsi dan eksofiliasi pada gigi, osteonecrosis pada tulang rahang terutama pada
pasien HIV.

 Herpes zoster
Komplikasi yang terjadi pada infeksi hespes zoster adalah adanya secondary
infeksi ulcer, neuralgia, paralysis, inflamasi ocular (jika saraf trigeminal
(ophthalmic) terkena virus herpes zoster)

 Varicella
Komplikasi yang dapat terjadi adalah pneumonitis, encephalitis, myocarditis,
hepatitis dan inflamasi pada organ lain (terjadi dalam sedikit kasus). Jika
varicella terjadi saat kehamilan dapat menyababkan abnormalitas pada janin.
Jika terjadi pada pasien lansia dan immunocompromised, dapat lebih parah
infeksi yang terjadi dan mengakibatkan banyak komplikasi

33
Measles (Rubeola)
Komplikasi yang terjadi akibat infeksi virus measles adalah encephalitis dan purpura
thrombocytopenic. Infeksi sekunder dapat berkembang menjadi ostitis media atau
pneumonia

Cytomegalovirus (CMV) infection


Komplikasi serius yang dapat terjadi adalah meningoencephalitis, myocarditis, dan
thrombositopenia

Infeksi HIV
Imunodefisiensi merupakan keadaan yang merupakan akibat dari kerusakan pada
respon imun. Imunodefisiensi menjadi predisposisi dari infeksi rekuren, terutama pada
kulit, mukosa dan respiratory tract. HIV AIDS merupakan imunodefiesiensi mayor dan
isu kesehatan di seluruh dunia. Konsekuesi utama pada pasien imunodefisiensi adalah
abnormal susceptibility terhadap infeksi dan biasanya disebabkan oleh organisme yang
memiliki patogenenesis yang rendah dan jarang terjadi pada individu normal. Hal
tersebut dapat menimbulkan infeksi oportunistik. Infeksi yang umum terjadi adalah
candidosis, infeksi herpes, Pneumocytis carinii pneumonia dan mudah terjangkit
neoplasma. HIV menginfeksi CD4+ limfosit T-helper. Transmisi HIV melalui cairan
tubuh, seperti hubungan seksual (melalui saliva, semen dan darah yang terdapat HIV),
darah dan organ transplantasi, jarum yang terkontaminasi, transmisi vertical dari ibu ke
bayi melalu kelahiran dan air susu Ibu.

TANDA KLINIS HIV


Infeksi HIV dapat bertahap tergantung pada tanda klinis. HIV akan menyerang
limfosit-T kemudia, jumlah CD4 akan menurun, mikroorganisme akan menyerang
seperti virus, jamur, bakteri, Pneumocytis, dan parasite lalu selama berbulan-bulan dan
bertahun-tahun akan menjadi AIDS banyak terdapat infeksi, neoplasma, penyakit
autoimun dan encephalopathy yang kemudian akan mengakibatkan kematian.

Klasifikasi CDC untuk Infeksi HIV


CDC Gejala Klinis
Stage
1 Penyakit primer seroconversion
2 Penyakit asimptomatik

34
3 Persistent generalized lymphadenopathy (PGL)
4a AIDS-related complex (ARC) tapi bukan AIDS-defining conditions
4b-d AIDS (AIDS-defining illness)

Setelah infeksi awal dengan HIV, akut viraemia merupakan hasil dari penyebaran virus.
Antibody terhadap HIV akan berkembang dan terdapat pada serum selama 6 minggu
hingga 6 bulan infeksi (seroconversion). Dari sepertiga pasien HIV, perkembangan
klinis dari pernyakit seroconversion 3-6 minggu setelah infeksi awal, resembling
glandular fever, terkadang dengan neurological involvement atau dengan rash atau ulser
pada mulut. Pada infeksi HIV akut atau pada stage CDC 1 penyakit seroconversion
pada pasien HIV berupa sakit kepala, pusing, mual, mutah, anorexia, ulcer pada rongga
mulut, demam, berkeringat, diare, pembesaran limpa, dan myalgia.

Infeksi HIV dapat tidak ada symptom untuk beberapa waktu selama 10 tahun.
Walaupun begitu, HIV masih dapat ditransmisikan.

Gambar : infeksi akut HIV – penyakit seroconversion (pada awal terinfeksi 6 minggu-6 bulan)

35
HIV menginfeksi CD4+ akan mengakibatkan lymphopenia dan jumlah CD4 akan
menurun sekitar 500/mm3, dan terdapat gejala klinis yang akan muncul (HIV disease).
Rasio CD4+, CD8+, limfosit-T akan menurun, manifestasi pada umumnya merupakan
infeksi seperti neoplasma, neurological dan kelainan autoimun.

Berdasarkan definisi CDC, pasien yang sudah dikatakan AIDS jika jumlah CD4 pada
darah kurang dari 200/mm3 dengan HIV dan terapat 26 kondisi klinis yang ada pada
pasien dengan advanced HIV disesase seperti pulmonary tuberculosis (TB),
Pneumocytis peneumonia, rekuren pneumonia atau karsinoma servikal invasive.

Kemudian pada pasien akan berkembang infeksi-infeksi (berasal dari virus, bakteri,
jamur, dan parasit), malignancies atau keganasan (kanker, neoplasma, melanoma,
karsinoma sel basal, Kaposi sarcoma, lymphoma, karsinoma sel squamous pada kulit
dan bibir, karsinoma pada serviks, genitalia eksternal dan perineum) dan
encephalophaty. Selain itu penurunan berat badan umum terjadi pada pasien AIDS. Di
Afrika disebut dengan “Slim Disease”.

Gambar : penyakit-penyakit pada pasien AIDS

36
Onset AIDS dapat dipengaruhi oleh virus HIV, umur pasien, jenis kelamin, konsumsi
obat-obatan, imunogenetik dan faktor-faktor lain. Penyakit akan timbul ketika jumlah
CD4 menurun ke level yang rendah, dimana pasien yang terinfeksi pertahanannya akan
menurun, seperti malnutrisi dan dimana dapat paparan dari pathogen potensial

Beberapa pasien dengan infeksi HIV akan menderita karena seebagai host dari kondisi
mematikan, termasuk infeksi-infeksi lain (contoh infeksi jamur atau virus, hepatitis,
infeksi menular seksual, Tuberculosis), substance abuse, penyakit kejiwaan, dan
homelessness.

2.4 PENYAKIT-PENYAKIT OPORTUNISTIK YANG MENYERTAI HIV


HIV menyerang system imun manusia sehingga kekebalan tubuh terhadap infeksi
lainnya dapat meningkat. Oleh sebab itu, bakteri atau virus lainnya mengambil
kesempatan ini untuk menginfeksi tubuh penderita AIDS yang dikenal dengan istilah
infeksi oportunistik. Infeksi oportunistik adalah infeksi yang disebabkan oleh
organisme yang biasanya tidak menyebabkan penyakit pada orang dengan sistem
kekebalan tubuh yang normal, tetapi dapat menyerang orang dengan sistem kekebalan
tubuh yang buruk.

Lebih dari 75% pasien dengan AIDS memilki penyakit orofasial. Lesi-lesi oral yang
menyertainya seperti hairy leukoplakia, thrush, erythematous candidosis, Kaposi’s
sarcoma, dan oral ulcers.

1. Oral Candidosis
Oral thrush atau bentuk lain dari candidosis dapat ditemukan pada lebih dari
70% pasien AIDS. Hal ini mengindikasikan penurunan imunintas dan bahwa
infeksi lainnya dapat mengikuti. Sekitar 50% pasien dengan HIV-assosiated
thrush berkembang menjadi AIDS dalam 5 tahun. Tipe paling umum candidosis
seperti angular stomatitis, palatah erythema atau hyperplastic candidosis juga
dapat ditemukan pada pasien AIDS.

37
Gambar 1. Erythematous Candidosis
Sumber: Cawson

2. Infeksi Viral Mucosal


Herpetic stomatitis tidak terlalu umum ditemukan numn dapar menyebabkan
atypical atau chronic ulceration. Rorofacial zoster yang parah mengindikasikan
prognosis yang buruk.
Cytomegalovirus dapat ditemukan bada beberapa oral ulcer dan Epstein-Barr
virus adalah penyebab hairy leukoplakia. Papillomavirus telah diisolasi dari lesi
proliferative, seperti verucca vulgaris, condyloma acuminatum, dan focal
epithelial hyperplasia.

Gambar 2. Ulserasi Herpes Simpleks pada Imunodefisisensi

3. Hairy Leukoplakia
Hairy leukoplakia adalah karakteristik infeksi HIV.

Gambar 3. Hairy Leukoplakia

38
4. Tumor
Sekitar 50% pasien dengan AIDS memiliki tumor malignant dan yang paling
sering yaitu Kaposi’s sarcoma dan non-Hodgkin lymphoma. Tidak seperti
pasien non-AIDS, tumor ini biasanya pada regio kepala dan leher.

5. Limfoma
AIDS-related lymphoma dapat berkembang pada sisi intraoral atau kelenjar
saliva lebih sering dari pada orang dengan HIV negative. Sisi di dalam rongga
mulut yang sering diserang yaitu palatum dan gingiva.

6. Lymphadenopathy
Cervical lymphadenopathy adalah manifestasi kepala dan leher paling umum
infeksi HIV. Pembesaran nodus limfa servikal juga dapat dikarenakan limfoma.

7. Penyakit Autoimun
Penyakit autoimun paling umum pada AIDS yaitu thrombocytopenic purpura.
Penyakit autoimun lainnya seperti lupus erythematosus dan Sjogren-like
salivary gland disease.

Gambar 4. Purpura

8. Penyakit Kelenjar Saliva


Parotitis kronis yang kemungkinan disebabkan oleh Epstein-Barr virus atau
cytomegalovirus terkadang menginfeksi anak-anak dengan AIDS. Sedangkan
pada dewawa, Sjogren –like syndrome dengan xerostomia namun dengan
sedikit karakteristik autoantibodi juga dapat terjadi.

39
2.5 KONTROL INFEKSI
Tindakan control infeksi adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
cross-infection dan cross-contamination baik dari pasien ke dokter gigi, pasien ke
pasien, maupun pasien ke pekerja pelayanan kesehatan. Dokter gigi perlu
melaksanakan usaha-usaha kontrol infeksi untuk membatasi penyebaran penyakit
karena:
 Untuk melakukan suatu tindakan bedah, dokter gigi biasanya akan merusak
lapisan epitel yang merupakan pertahanan penting terhadap infeksi
 Selama sebagian besar prosedur bedah mulut, dokter gigi, perawat, dan
peralatan yang digunakan menjadi terkontaminasi oleh darah dan saliva pasien.

A. Teknik Asepsis dan Universal Precaution


Agen fisik dan kimiawi merupakan dua sarana utama untuk mengurangi
jumlah mikroba pada permukaan. Antiseptik, disinfektan, dan gas ethylene
dioxide adalah agen kimiawi utama untuk membunuh mikroorganisme pada
permukaan. Sedangkan cara fisik yang digunakan untuk mengeliminasi
organisme hidup adalah dengan panas, iradiasi, dan mechanical dislodgment.
Mikroba penyebab penyakit pada manusia mencakup bakteri, virus,
mycobacteria, parasit, dan fungi. Mikroorganisme yang paling resisten untuk
dieliminasi adalah endospora bakteri. Jadi secara umum, metode sterilisasi atau
disinfeksi yang membunuh endospora akan mampu mampu membunuh mikroba
yang lain.
Teknik Sterilisasi Instrumen
Prinsip sterlisasi  reliable, praktis, dan aman bagi instrumen.

1. Sterilisasi dengan Panas


a. Dry Heat
Dry heat umumnya digunakan untuk sterilisasi alat-alat
glassware dan bulky yang dapat bertahan dalam panas namun
mudah berkarat. 3 faktor penting yang harus diperhatikan dengan
cermat saat menggunakan metode dry heat:
 Waktu pemanasan (warm-up) bagi oven dan material
yang akan disterilisasi
 Konduktivitas panas material

40
 Aliran udara di seluruh bagian oven dan yang melalui
objek yang disterilisasi.
 (tambahan: waktu bagi alat yang disterilisasi untuk
menjadi dingin).
Keuntungan: penggunaannya mudah dan mengurangi
kemungkinan merusak instrumen yang tahan panas.
Kerugian: waktu yang diperlukan relatif lama sehingga kurang
praktis dan adanya resiko merusak instrumen yang sensitif
terhadap panas.

b. Moist Heat
Kontainer yang biasa digunakan untuk menyediakan uap dengan
tekanan dikenal sebagai autoclave. Autoclave bekerja dengan
menciptakan uap, kemudian melalui serangkaian katup, terjadi
peningkatan tekanan sehingga uap menjadi lebih panas.
Instrumen yang akan disterilisasi dengan autoclave harus
dikemas untuk memungkinkan masuknya aliran uap ke
instrumen; misalnya dengan ditaruh di paper bags atau kain.
Moist heat lebih efisien dibanding dry heat karena moist heat
efektif pada temperatur yang lebih rendah dan memerlukan
waktu yang lebih singkat.. Uap jenuh (saturated steam) yang
diberi tekanan (autoclaving) lebih efisien dibanding uap tanpa
tekanan.

41
Keuntungan: cepat, efektif, relatif tersedia untuk office-
proportioned.
Kerugian: cenderung membuat instrumen berkarat dan relatif
mahal.

2. Sterilisasi dengan Gas


Gas ethylene dioxide merupakan yang paling sering digunakan. Pada
suhu 50°C, gas ethylene dioxide efektif membunuh semua organisme
termasuk spora dalam waktu 3 jam. Namun, karena toksisitasnya yang
tinggi terhadap jaringan hewan, istrumen yang terpajan gas ini kemudian
harus di dianginkan selama 8-12 jam pada suhu 50°C -60°C atau pada
suhu ruangan selama 4-7 hari.
Keuntungan: efektif untuk sterilisasi material berporus, peralatan besar,
dan peralatan yang sensitif terhadap panas dan kelembaban.
Kerugian: kebutuhan peralatan khusus; waktu sterilisasi relatif lama;
kebutuhan aeation atau penganginan untuk mengurangi toksisitas
jaringan; kurang efektif kecuali dokter gigi memiliki akses ke fasilitas
yang bersedia melakukan sterilisasi gas pada perawatan dental.

Teknik Disinfeksi Instrumen


Jika instrumen dental tidak kuat menahan temperatur pada sterilisasi dengan
panas, dan fasilitas sterilisasi dengan gas tidak ada, dan sterilitas absolut tidak
diperlukan  maka lakukan disinfeksi kimiawi. Agen kimiawi dengan
kemampuan disinfeksi diklasifikasikan berdasarkan kemampuannya

42
menginaktivasi vegetative bacteria, tubercle bacilli, spora bakteri, virus nonlipid
dan virus lipid. Klasifikasinya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Substansi yang dapat diterima untuk disinfeksi instrumen dental untuk bedah:
 Glutaraldehyde  paling sering digunakan
 Iodofor
 Chlorine compunds
 Formaldehyde
Alkohol tidak cocok untuk disinfeksi dental umum karena mengalami evaporasi
terlalu cepat, namun alkohol bisa digunakan untuk disinfeksi cartridge anestesi
lokal. Quartenary ammonium compound tidak direkomendasikan pada bidang
kedokgi karena tidak efektif terhadap virus hepatitis B dan menjadi inaktif oleh
adanya sabun dan agen anionik.
Yang harus diperhatikan dalam melakukan disinfeksi dengan agen kimiawi:
 Instrumen harus tetap berkontak dengan larutan disinfeksi selama
beberapa waktu
 Tidak boleh ada instrumen baru yang terkontaminasi yang dimasukkan
ke larutan disinfeksi selama waktu tersebut
 Semua instrumen harus dibersihkan dari darah atau material terlihat
lainnya sebelum dimasukkan ke larutan disinfeksi
 Setelah proses disinfeksi, instrumen harus dibilas bersih agar bebas dari
bahan kimia dan harus segera digunakan.

Operatory Disinfection
Permukaan apapun yang berkontak dengan pasien atau sekresi tubuh pasien
berpotensi sebagai carrier organisme infeksius. Selain itu, penggunaan alat bur
high speed memungkinkan tercipratnya darah dan sekresi pasien ke berbagai
permukaan di area praktik dokter gigi. Disinfeksi ruang praktik dapat dilakukan
dengan dua cara dasar:

43
 Semua permukaan dilap dengan larutan disinfektan hospital-grade
Chlorine compounds dan glutaraldehid dapat mencegah penyebaran
virus hepatitis ketika digunakan dengan konsentrasi 0,2% untuk chlorine
compounds dan 2% untuk glutaraldehid.
 Semua permukaan dilapisi dengan lapisan pelindung yang diganti setiap
pergantian pasien.
Headrest, tray tables, nitrous oxide dan chair control, light handles
dapat dilapisi dengan disposable covers yang banyak tersedia di pasaran.
Dispenser sabun dan keran pada wastafel merupakan sumber kontaminasi,
kecuali keduanya dapat diaktivasi tanpa menggunakan sentuhan tangan (misal
dengan sensor otomatis). Oleh karena itu, keduanya harus sering didisinfeksi
karena banyak bakteri yang hidup bahkan menyukai lingkungan bersabun.

44
1. Manajemen luka
Beberapa prinsip perawatan pasca bedah berguna untuk mencegah penyebaran
patogen.
 Luka harus diinspeksi atau ditutup dengan tangan yang sudah memakai gloves
baru dan bersih.
 Jika beberapa pasien menunggu, mereka yang tanpa masalah infeksi harus
diperiksa terlebih dahulu, dan kemudian pasien dengan masalah seperti drainase
abses baru diperiksa kemudian.
2. Manajemen benda tajam
 Material yang sudah terkontaminasi selama prosedur bedah harus dibuang
dengan cara tertentu sehingga staff dan pasien lain tidak terinfeksi.
 Resiko terbesar transmisi penyakit dari pasien yang terinfeksi adalah melalui
laserasi dari scalpel atau jarum suntik secara tidak sengaja.
 Sharp injuries dapat dicegah dengan menggunakan jarum anestesi lokal untuk
menutup kembali jarum setelah digunakan.

45
 Hati-hati agar tidak melepas atau memasang blade dari dan ke scalpel tanpa
instrumen
 Alat-alat tajam harus dibuang ke suatu wadah yang kaku, bertanda, dan memang
didesain khusus untuk objek tajam terkontaminasi.
 Barang-barang yang sudah terkontaminasi harus dibuang dalam suatu plastik
yang diberi label dan diberikan ke reputable hazardous waste management
company.

2.6 PENATALAKSANAAN HIV (Little & Falace)


Riwayat kesehatan, pemeriksaan kepala dan leher, pemeriksaan jaringan lunak
intraoral, dan periodontal lengkap dan pemeriksaan gigi harus dilakukan pada semua
pasien baru. Pada saat melakukan pemeriksaan, dapat saja ditemukan temuan klinis
yang menunjukkan bahwa pasien mengalami infeksi HIV / AIDS, namun jika pasien
tahu mereka seropositif dan mereka berisiko tinggi untuk kondisi ini mungkin tidak
menjawab pertanyaan dengan jujur, karena privasi bagi mereka. Dengan demikian
riwayat kesehatan, tingkah laku, pola hidup, dan pekerjaan pasien harus diperoleh bila

46
memungkinkan dengan komunikasi verbal di tempat yang tenang, lokasi pribadi, dan
berbagi pengetahuan dan fakta-fakta dalam suasana kejujuran dan keterbukaan.

Jika pasien positif terinfeksi HIV maka pasien harus dirujuk untuk tes HIV, dan
evaluasi medis. Dokter gigi dapat melakukan pemeriksaan laboratorium diagnostik
menggunakan air liur (OraQuick muka, OraSure Technologies, Inc, Bethlehem,
Pennsylvania) atau pengujian serum dapat dilakukan dengan rujukan ke fasilitas medis.
Dokter harus memberikan pengertian kepada pasien mengenai pentingnya pengujian
dan dokter harus memastikan faktor risiko termasuk kebiasaan seksual, penggunaan
narkoba melalui suntikan, dan sebagainya. Pasien dengan faktor risiko tinggi harus
didorong untuk mengikuti tes diagnostik.

Pasien dengan risiko tinggi AIDS dan yang didiagnosa terkena AIDS atau HIV
harus diperlakukan dengan perlakuan yang sama seperti pasien lain, dengan
kewaspadaan standar lainnya. Beberapa pedoman telah muncul mengenai hak-hak
dokter gigi dan pasien dengan AIDS, seperti berikut:

 Dokter gigi tidak mungkin menolak melakukan perawatan gigi kepada pasien
yang menolak untuk menjalani tes pajanan HIV, meskipun dokter gigi tahu
bahwa pasien sedang terinfeksi HIV dan dokter gigi harus memperlakukan
pasien menggunakan tindakan pencegahan standar, seperti untuk pasien lainnya.
 Pasien AIDS yang membutuhkan perawatan gigi darurat tidak dapat ditolak
perawatan hanya karena dokter gigi tidak mau mengobati pasien dengan AIDS.
 Tidak ada alasan medis atau ilmiah untuk membenarkan mengapa pasien AIDS
yang mencari perawatan gigi rutin dapat menolak pengobatan oleh dokter gigi,
terlepas dari alasan pribadi praktisi. Namun, jika dokter gigi dan pasien setuju,
dokter gigi dapat merujuk pasien ini ke operator lain yang lebih bersedia atau
lebih cocok (sesuai dengan status kesehatan mulut pasien) untuk memberikan
pengobatan.
 Seorang pasien yang telah berada di bawah perawatan seorang dokter gigi dan
kemudian menyebarkan AIDS atau kondisi terkait, harus diperlakukan baik dan
dilakukan perawatan yang memuaskan dengan dokter gigi tersebut atau
menerima rujukan pasien tersebut.

47
 CDC dan American Dental Association menyarankan dokter gigi
menginformasikan pasien mengenai infeksi dari status HIV mereka dan harus
menerima persetujuan atau menahan diri dari melakukan prosedur invasif.

PENATALAKSANAAN HIV (Scully)

GENERAL MANAGEMENT

Diagnosis infeksi HIV didasarkan pada riwayat paparan potensi untuk HIV
(yang mungkin tidak terlihat) dan pola klinis. Pemeriksaan lebih spesifik adalah dengan
serologi: antibodi serum terhadap HIV dapat dideteksi dengan ELISA (enzyme-linked
immunosorbent assay) atau tes skrining aglutinasi dan tes konfirmasi tambahan seperti
imunoblotting Barat. ELISA atau aglutinasi tes skrining untuk antibodi serum terhadap
HIV adalah langkah pertama. Antibodi biasanya terdeteksi dari sekitar 6-8 minggu
setelah infeksi, dan sebagian bertahan hidup. ELISA uji memiliki sensitivitas sekitar
98% dan spesifisitas sekitar 99% dalam kondisi optimal.

PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL

Tingkat kematian akibat AIDS hampir 100%, tetapi meskipun masih belum ada
pengobatan yang efektif untuk, obat antiretroviral secara signifikan dapat menghambat
kemajuan infeksi HIV. Terapi antiretroviral (ART) berarti mengobati infeksi HIV
dengan beberapa obat. Karena HIV adalah retrovirus, obat ini biasa disebut sebagai
obat antiretroviral (ARV). ARV tidak membunuh virus itu. Namun, ART dapat
melambatkan pertumbuhan virus. Waktu pertumbuhan virus dilambatkan, begitu juga
penyakit HIV. Obat ARV umumnya dipakai dalam gabungan dengan tiga atau lebih
ARV dari lebih dari satu golongan. Hal ini disebut sebagai terapi kombinasi, atau ART.
ART bekerja jauh lebih baik daripada hanya satu ARV sendiri. Cara penggunaan obat
ini mencegah munculnya resistansi. Saat ini, belum ditemukan penyembuh infeksi HIV.
ARV mengurangi viral load, yaitu jumlah HIV dalam aliran darah kita. Kalau viral load
kita lebih rendah, kita tetap sehat lebih lama. Kita juga kurang mungkin menularkan
HIV pada orang lain.

PROFILAKSIS ANTIMIKROBA

48
Pasien dengan jumlah CD4 rendah diberikan antimikroba sebagai profilaksis
terhadap infeksi oportunistik.

Profilaksis antimikroba, terapi dan pengobatan suportif dapat membantu


memperpanjang dan meningkatkan kualitas hidup pada penyakit HIV. Obat yang
tersedia untuk membantu mengobati infeksi oportunistik :

DENTAL MANAGEMENT

Sebagian besar pasien dengan penyakit HIV memiliki manifestasi oral, kepala
dan leher pada periode waktu tertentu, seperti:

49
Lesi oral pada pasien HIV/AIDS timbul saat sel CD4 dihitung berkurang dan
kadang masih dalam keadaan terkontrol, setidaknya secara sementara menggunakan
perawatan antiretroviral. Manifestasi oral menurut WHO digolongkan menjadi:

50
PERAWATAN PASIEN AIDS
- Pengobatan untuk penyembuhan belum ada.
- Obat masih tahap percobaan HPA-23 di Perancis. Foscernet di Swedia dan
Kanada.
- Obat yang terbukti menghambat laju penyakit adalah Zidovudin (AZT)
- Pengobatan untuk melawan infeksi sampingan, mencegah komplikasi virus,
memperbaiki fungsi tubuh penderita.
- Diperlukan juga : Psikoterapi, konseling keluarga dan terapi kelompok

PERAWATAN DENTAL
- Pertimbangan utama : meminimalisasi kemungkinan penularan HIV dari pasien
kepada dokter gigi, para staf dan pasien lain.
- Prosedur dental yang bersinggungan dengan jaringan lunak dapat menyebabkan
saliva bercampur darah  terjadi penular HIV.
- 4 parameter yang perlu dipertimbangkan untuk formulasi rencana perawatan
yang tepat pada pasien ini adalah :
1. Kondisi kesehatan pasien menentukan kemampuannya.
2. Hal yang penting untuk memperbaiki fungsi penyembuhan pasien.
3. Prognosis pasien
4. Keadaan keuangan
Pencegahan HIV
 Penjaringan Pasien
Dalam hal ini harus disadari bahwa tidak semua pasien dengan penyakit
infeksi dapat terjaring dengan rekam medik sehingga system penjaringan pasien
tidak menjamin sepenuhnya pencegahan penularan penyakit. Konsep Universal
precaution pertama kali dianjurkan oleh Centers For disease Control (CDC)
pada tahun 1987 yaitu memperlakukan semua pasien seolah-olah mereka
terinfeksi HIV.
 Perlindungan diri
Perlindungan diri meliputi cuci tangan, pemakaian sarung tangan, masker,
kaca mata, dan mantel kerja. Prosedur cuci tangan dilakukan dengan sabun
antiseptik di bawah air mengalir. Persyaratan yang harus dipenuhi sarung
tangan adalah dasar tidak mengiritasi tangan, tahan bocor, dan memberikan
kepekaan yang tinggi bagi pemakainya. Masker berfungsi untuk melindungi

51
mukosa hidung dan kontaminasi percikan saliva dan darah pada mata karena
conjunctiva mata merupakan salah satu port entry sebagian besar infeksi virus.
Sedangkan mantel kerja dianjurkan digunakan sewaktu melayani pasien yang
setiap saat terkancing baik.
 Dekontaminasi Peralatan
Dekontaminasi adalah suatu istilah umum yang meliputi segala metode
pembersihan, desinfeksi dan sterilisasi yang bertujuan untuk menghilangkan
pencemaran mikroorganisme yang melekat pada peralatan medis sedemikian
rupa sehingga tidak berbahaya. Metode dekontaminasi yang utama adalah
penguapan dibawah tekana (autoklav), pemanasan kering (oven udara panas),
air mendidih dan desinfektan kimia dengan menggunakan hipoklorit atau
glutaraldehid 2%.
 Desinfeksi permukaan lingkungan kerja
Setiap permukaan yang dijamah oleh tangan operator harus disterilkan
(misalnya instrumen) atau desinfeksi (misalnya meja kerja, kaca pengaduk,
tombol-tombol atau pegangan laci dan lampu). Meja kerja, tombol-tombol,
selang aspirator, tabung, botol material dan pegangan lampu unit harus diulas
dengan klorheksidin 0,5% dalam alcohol atau hipoklorit 1000 bagian perjuta
(bpj) dari klorida yang tersedia, dalam setiap sesi atau setiap pergantian pasien.
Piston harus dicuci dan debris dari pelastik penyaring dibersihkan setiap selesai
satu pasien. Selang aspirator sebaiknya memakai yang sekali pakai. Bila ada
noda darah, cairan tubuh atau nanah, permukaan harus didesinfeksidengan
larutan hipoklorit yang mengandung 10.000 bjp dari klorida yang tersedia dan
kemudian dibersihkan dengan lap sekali pakai. Larutan harus dibiarkan pada
permukaan yang akan dibersihkan minimal selama tiga menit, kemudian
larutan tersebut dilap, serta permukaan permukaan tersebut dibilas dan
dikeringkan.
Posisi operator tertentu didalam melakukan tindakan perawatan gigi, juga
mempunyai resiko kontaminasi dari mulut pasien ke operator. Penelitian di
Universitas Bologna, Itali membuktikan bahwa resiko terbesar bagi operator
bila ia bekerja pada posisi kanan penderita diposisi jam 9.
 Penanganan limbah klinik
Yang dimaksud dengan limbah klinik adalah semua bahan yang menular
atau kemungkinan besar menular atau zat-zat yang berbahaya yang berasal dari

52
lingkungan kedokteran dan kedokteran gigi. Limbah ini dikumpulkan untuk
dibakar, atau ditanam untuk jenis tertentu. Limbah klinik seperti jarum
dikumpulkan di dalam wadah plastik berwarna kuninguntuk dibakar dan jenis
limbah tertentu dikumpulkan untuk ditanam. Sebaiknya jarum suntik disposible
setelah dipakai langsung dibuang dalam wadah tanpa memasang kembali
penutup jarum, hal ini untuk menghindari tertusuknya tangan oleh jarum
tersebut.
Limbah darah, adalah yang paling potensial mengandung HIV, maka bila
ada limbah darah misalnya kapas dengan darah, ekstraksi jaringan atau gigi
jatuh ke lantai ambillah limbah tersebut dengan mengggunakan sarung tangan,
dibersihkan dengan lap atau tissue kertas kemudian lap atau tissue dan daerah
tumpahan dituangkan larutan hipoklorit 10.000 bpj. Setelah 10 menit atau lebih,
bilas tempat tersebut dengan lap lain, dan lap serta tissue dapat dibuang sesuai
dengan tempatnya.

2.7 ETIKA DAN MEDIKOLEGAL DALAM PENANGANAN PASIEN


DENGAN HIV/AIDS
Menurut WMA (World Medical Association), etika merupakan kajian mengenai
moralitas - refleksi terhadap moral secara sistematik dan hati-hati dan analisis terhadap
keputusan moral dan perilaku baik pada masa lampau, sekarang atau masa mendatang.
Moralitas merupakan dimensi nilai dari keputusan dan tindakan yang dilakukan
manusia.
 Alasan perlu belajar etika:
- Untuk menyiapkan mahasiswa kedokteran menghadapi situasi-situasi yang sulit
dan melaluinya dengan cara yang benar sesuai prinsip dan rasional
- Penting dalam hubungan dokter dengan masyarakat dan kolega mereka dan
dalam melakukan penelitian kedokteran
 Prinsip hubungan antara dokter dan pasien
1. Penghargaan dan perlakuan yang sama
Profesi kesehatan mempunyai perbedaan sudut pandang mengenai
persamaan dan hak-hak pasien. Satu sisi dokter paham bahwa tidak boleh
”membiarkan pertimbangan usia, penyakit atau kecacatan, keimanan, etnik, jenis
kelamin, nasionalitas, keanggotaan politik, ras, orientasi seksual, atau posisi

53
sosial mengintervensi tugas saya dan paien saya” (Deklarasi Jenewa). Pada saat
yang sama dokter juga mengklaim bahwa mereka berhak menolak atau
menerima pasien kecuali dalam keadaan gawat. Walaupun pembenaran
penolakan ini berhubungan dengan keseluruhan praktek atau kurangnya
spesialisasi dan kualifikasi pendidikan, namun jika dokter tidak memberikan
alasan penolakan tersebut maka dengan mudah dikatakan dokter telah
melakukan diskriminasi.
Bahkan walaupun dalam memilih pasien dokter tetap menghargai dan
memandang sama, dokter dapat saja tidak melakukan hal sama dalam hal
perilaku dan perawatan yang diberikan kepada pasien. Jika pemeriksaan atau
tindakan di luar kapasitas seorang dokter dia harus menyerahkan kepada dokter
lain yang mempunyai kemampuan yang diperlukan.
Pada pasien HIV/AIDS, tidak hanya karena penyakitnya yang mengancam
jiwa namun juga karena hal itu sering dikaitkan dengan prasangka sosial. Namun
ada banyak penyakit infeksi lain yang lebih mudah ditularkan kepada pekerja
kesehatan dibanding HIV/AIDS. Beberapa dokter ragu dalam melakukan
prosedur invasif terhadap pasien dengan kondisi tersebut karena kemungkinan
dokter dapat tertular. Namun demikian, kode etik kedokteran tidak membuat
perkecualian terhadap pasien infeksi karena memang kewajiban dokter untuk
memperlakukan semua pasien secara sama.

Berikut adalah Statement on the Professional Responsibility of Physicians in


Treating AIDS Patient yang dikeluarkan oleh WMA:
 Pasien AIDS harus mendapatkan perawatan yang tepat dengan belas kasih
dan
 penghargaan martabat manusia.
 Seorang dokter tidak boleh menolak secara etis untuk melakukan tindakan
terhadap pasien yang kondisinya dalam kompetensi dokter, hanya karena
pasien tersebut seropositif.
 Etika kedokteran tidak membenarkan deskriminasi berdasarkan kategori
tertentu terhadap pasien hanya karena seropositif tersebut. Seorang yang
menderita AIDS memerlukan perawatan yang tepat dan dengan belas kasih.

54
 Seorang yang menderita AIDS memerlukan perawatan yang tepat dan
dengan belas kasih. Dokter yang tidak sanggup memberikan perawatan dan
pelayanan yang diperlukan oleh pasien AIDS harus membuat rujukan yang
sesuai terhadap dokter atau fasilitas yang dapat memberikan pelayanan yang
diperlukan. Sampai rujukan didapatkan, dokter harus terus merawat pasien
berdasarkan kemampuan terbaik yang dimilikinya.

2. Komunikasi dan Persetujuan


Kondisi yang diperlukan agar tercapai persetujuan yang benar adalah
komunikasi yang baik. Saat ini komunikasi memerlukan sesuatu yang lebih dari
dokter karena dokter harus memberikan semua informasi yang diperlukan pasien
dalam pengambilan keputusan. Ini termasuk menerangkan diagnosa medis,
prognosis, dan regimen terapi yang konpleks dengan bahasa sederhana agar
pasien paham mengenai pilihan-pilihan terapi yang ada, termasuk keuntungan
dan kerugian dari masing-masing terapi, menjawab semua pertanyaan yang
mungkin diajukan, serta memahami apapun keputusan pasien serta alasannya .
Untuk melakukan tindakan dokter harus mendapatkan izin dari pasien. Izin
tersebut dapat berupa eksplisit atau implisit.
Ada dua perkecualian syarat untuk mendapatkan ijin berdasarkan
pemahaman oleh pasien yang kompeten:
 Keadaan dimana pasien memberikan secara sukarela hak pengambilan
keputusan kepada dokter atau pihak ketiga. Karena kompleksitas masalah
atau karena pasien percaya sepenuhnya kepada penilaian dokter, maka
pasien dapat saja mengatakan ”Lakukan apa yang menurut anda yang
terbaik”. Dokter tidak boleh terlalu berani bertindak karena mendapat
permintaan seperti itu, namun harus tetap memberi pasien informasi dasar
mengenai pilihan tindakan yang ada dan tetap menyemangati pasien untuk
mengambil keputusan sendiri. Namun setelah diberitahu dan didorong
paisen tetap menyerahkan keputusan kepada dokter, dokter harus bertindak
berdasarkan kepentingan terbaik pasien.
 Keadaan dimana penyampaian informasi kepada pasien dapat menyakiti
pasien. Konsep therapeutic privilege (hak istimewa terapi) dapat digunakan
dalam kasus tersebut dimana dokter diijinkan menyimpan informasi medis

55
jika ternyata menyampaikannya dapat membahayakan atau menyakiti pasien
secara emosional, psikologi, fisik dirinya atau orang lain; seperti jika pasien
dapat melakukan tindakan bunuh diri jika diagnosa ternyata
mengindikasikan adanya penyakit stadium terminal. Hak istimewa ini sangat
mungkin disalahgunakan, sehingga dokter hanya boleh menggunakannya
dalam keadaan yang ekstrim. Dokter harus mengawali dengan anggapan
bahwa semua orang pasien dapat menghadapi semua fakta dan tetap
mencoba terbuka terhadap kasus-kasus dimana dokter menganggap bahwa
akan lebih membahayakan jika mengatakan kebenaran dibanding tidak
mengatakannya.

3. Kerahasiaan
Terhadap kerahasiaan yang diminta oleh hukum, dokter mempunyai tugas etik
untuk membagi informasi dengan orang yang mungkin berada dalam bahaya
karena pasien tersebut. Keadaan ini dapat terjadi saat dokter yakin bahwa pasien
yang dihadapinya HIV Positif namun tetap meneruskan hubungan seks yang
tidak aman dengan pasangannya atau dengan orang lain.
Dalam kasus pasien HIV positif pembeberan informai kepada pasangan atau
partner seksnya saat itu bukanlah sesuatu yang tidak etis, dan bahkan dibenarkan
jika pasien tidak bersedia menginformasikannya kepada orang (orang-orang)
tersebut bahwa dia (mereka) dalam resiko. Pembenaran dari pembeberan
informasi haruslah berdasar: partner beresiko terinfeksi HIV namun tidak
mengetahui kemungkinan terinfeksi; pasien menolak memberi tahu pasangan
seksnya; pasien menolak bantuan dokter untuk melakukannya; dan dokter telah
mengatakan kepada pasien untuk memberitahu pasangannya.

Aspek Etik Pada Pasien HIV/AIDS


Javier Perez de Crueler (Sekjen PBB)
“ AIDS rises crucial, social, humanitarian, and legal issues, threatening to undermine
the fabric of tolerance and understanding upon which our societies function”

 Reaksi spontan masyarakat (termasuk kalangan kedokteran sendiri) pada waktu


pertama kali menghadapi AIDS adalah:

56
- Menjauhkan diri dari penderita
- Berusaha tidak menyentuh penderita
- Bahkan membakar bekas pakaian penderita

 Reaksi awal ini terlanjur tersebar ke seluruh dunia melalui media massa Barat
sehingga
- Banyak negara yang berlaku kepercayaan yang salah tentang AIDS
- Di negara Barat sendiri sikap masyarakatnya sudah jauh lebih tenang dan rasional

 Kaidah Etik Kedokteran dengan Masalah Pencegahan AIDS


- Belum ada obat atau vaksin yang efektif untuk menanggulangi AIDS oleh karena
itu pencegahan dengan penyuluhan
- Harus mengetahui secara pasti cara-cara penyebaran virus AIDS tersebut
- Seorang dokter sesuai dengan KODEKI harus menjadi pendidik masyarakat yang
seharusnya yaitu dengan memberikan informasi kepada masyarakat dan
kelompok tinggi dan tentang bagaimana pola penyebaran virus AIDS dan
langkah2 pencegahannya.
- Hal lain yang perlu mendapatkan klarifikasi dari aspek hukum adalah tentang
pemeriksaan darah. Karena pemeriksaan darah sering dipaksakan kepada
kelompok tertentu didalam masyarakat beresiko tinggi. Namun persoalannya
adalah bahwa setiap bentuk intervensi medik, berdasarkan doktrin informed
concent, memerlukan izin dahulu dari yang bersangkutan.

 Kaidah Etik Kedokteran dengan Masalah Pengobatan AIDS


- Salah persepsi mengenai AIDS dan bagaimana seseorang menjadi pengidap
HIV/AIDS akan menyebabkan perawatan yang inadekuat.
- Menurut AMA (American Medical Association), 1987:
1. Seseorang tenaga kesehatan tidak boleh menolak pasien yang seropositif
2. Pasien tidak boleh didiskriminasikan hanya atas dasar ketakutan
3. Seorang tenaga kesehatan diharapkan terlibat untuk menyediakan pelayanan
medis yang baik dan bertanggung jawab dan menghormati hak-hak pasien
sebagai makhluk insani.

57
4. Seorang tenaga kesehatan yang tidak menyediakan pelayanan medis harus
merujuk kepada tenaga yang lebih ahli atau ke tempat yang memiliki fasilitas
lebih baik.
5. Tenaga kesehatan harus menghormati hak pribadi dan kerahasiaan penderita
AIDS dan orang-orang yang mengidap HIV
6. Apabila tidak ada peraturan atau larangan untuk melaporkan orang-orang
yang menderita seropositif ke lembaga kesehatan yang berwenang, sedangkan
tenaga kesehatan tersebut mengetahui orang2 tsb akan membahayakan
masyarakat, tenaga kesehatan itu harus:
o Menganjurkan penderita tersebut untuk menjaga diri supaya tidak
membahayakan pihak ketiga
o Jika anjuran tersebut tidak dipatuhi, melaporkan penderit atersebut ke
pihak yang modern berwenang.
o Jika yang berwenang tidak memberikan tanggapan, melaporan penderita
itu kepada masyarakat yang beresiko tertular
7. Tenaga kesehatan yang menemukan seseorang telah seropositif disarankan
kepadanya untuk tidak melibatkan diri pada aktivitas yang mempunyai resiko
tinggi terhadap penyebaran AIDS
8. Seorang tenaga medis yang menderita AIDS/Seropositif disarankan untuk
tidak melibatkan diri pada aktivitas yang mempunyai resiko tinggi kepada
pasiennya

“Yang dikatakan AMA tersebut adalah sesuai dengan kewajiban dokter


terhadap pasien dalam KODEKI”

- Dokter/dokter gigi sebagai manusia biasa adalah bagian dari masyarakat yang
dihadapkan pada banyak masalah sewaktu harus menghadapi kasus-kasus AIDS.
Dalam hal ini tetap melakukan profesi menurut ukuran tertinggi (KODEKI BAB
1 pasal 1)
- Sehubungan dengan telah masuknya infeksi HIV dan penderita AIDS ke
Indonesia terbitlah Instruksi Menteri Kesehatan RI No.72/Menkes/II/1988
tentang kewajiban melaporkan penderita dengan gejala AIDS, ditetapkan tanggal
11 Februari 1988

58
Aspek Legal Dalam Tatalaksana Perawatan ODHA
 Pasal 4 UU Kesehatan No. 36/2009 dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas
kesehatan. Permasalahan HIV dan AIDS sangat terkait dengan hak atas kesehatan.
Hak atas kesehatan adalah aset utama keberadaan umat manusia karena terkait
dengan kepastian akan adanya pemenuhan atas hak yang lain, seperti pendidikan
dan pekerjaan
 Dalam Pasal 5 UU Kesehatan No. 36/2009 dinyatakan bahwa terdapat kesamaan
hak tiap orang dalam mendapatkan akses atas sumber daya kesehatan, memperoleh
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.Tugas pemerintah dalam
hal ini untuk menyediakan tenaga medis, paramedik dan tenaga kesehatan lainnya
yang cukup dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi penderita HIV/AIDS dan
menjamin ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan sehingga tercapai derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya. Penyediaan obat dan perbekalan kesehatan serta
jaminan ketersediaan obat dan alat kesehatan diatur dalam UU Kesehatan dan
berlaku juga bagi penderita HIV/AIDS.
 Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013
Tentang Penanggulangan HIV/AIDS . Pada Bagian Kelima Pasal 30 dan 31
menjelaskan tentang pengobatan dan perawatan bagi ODHA sebagai berikut :
o Pasal 30 ayat 1 : setiap fasilitas pelayanan kesehatan dilarang menolak
pengobatan dan perawatan ODHA.
o Pasal 30 ayat 2 : dalam hal fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud ayat (1) tidak mampu memberikan pengobatan dan perawatan,
wajib merujuk ODHA ke fasilitas pelayanan kesehatan lain yang mampu
atau ke rumah sakit rujukan ARV.
o Pasal 31 ayat 1 : setiap orang terinfeksi HIV wajib mendapatkan konseling
pasca pemeriksaan diagnosis HIV, diregistrasi secara nasional dan
mendapatkan pengobatan.
o Pasal 31 ayat 2 : registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi
pencatatan yang memuat nomor kode fasilitas pelayanan kesehatan, nomor
urut ditemukan di fasilitas pelayanan kesehatan dan stadium klinis saat
pertama kali ditegakkan diagnosisnya.
o Pasal 31 ayat 3 : registrasi sebagaiman dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2
harus dijaga kerahasiaannya seuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

59
 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
812/Menkes/SK/VII/2007 Tentang kebijakan perawatan paliatif menteri kesehatan
republik indonesia.

2.8 MODIFIKASI PERAWATAN PADA PASIEN HIV-AIDS


- Asimptomatik Seropositif HIV
Pasien dapat mendapatkan semua perawatan yang diindikasikan
- Simptomatik Seropositif HIV
Pasien memiliki kerentanan terhadap terjadinya infeksi dan dapat diberikan obat
profilaksis
- HIV-infected, Pasien asimptomatik (limfosit CD4+ terhitung kurang dari 500/μL
tapi lebih dari 200/μL)
o Pasien yang terinfeksi HIV tanpa gejala diperlakukan sama seperti pasien
lain
o Pasien dapat mendapatkan semua perawatan yang diindikasikan
o Jika pasien dalam tahap remisi dengan jumlah CD4+ >200/ μL, perawatan
restoratif rutin dan kompleks dapat dilakukan
- AIDS (CD4+ terhitung kurang dari 200/μL)
o Pasien dengan tahap lanjut dapat menerima perawatan emergensi dan
preventif
o Perawatan gigi elektif biasanya tidak diindikasikan pada tahap ini
o Jika akan dilakukan perawatan invasif, harus diperhatikan pencegahan
infeksi dan kemungkinan pendarahan berlebihan sehingga antibiotik
profilaksis dapat diberikan.
o Jika diperlukan perawatan bedah harus melakukan konsultasi dengan dokter
yang bersangkutan

2.9 KEGAWATDARURATAN
Kegawatdaruratan Pasien Positif HIV
Menurunnya jumlah CD4 akibat HIV dikaitkan dengan beberapa infeksi
oportunistik/keganasan yang mungkin mengancam kehidupan dan memerlukan
intervensi cepat oleh petugas kesehatan. Keadaan darurat ini bisa berhubungan dengan

60
1. Infeksi oportunistik yang terlihat pada manifestasi atau yang terjadi karena
sistem kekebalan tubuh menjadi lemah.
2. Penyakit HIV-induced seperti enteropati dan wasting, diare yang menyebabkan
dehidrasi, komplikasi neurologis, dll
3. Komplikasi dari penggunaan obat anti-HIV seperti asidosis laktat, pankreatitis,
penekanan sumsum tulang dll
4. Sindrom immune reconstitution
Keadaan darurat pada pasien yang terinfeksi HIV dapat terjadi pada setiap tahap
penyakit. Infeksi oportunistik dapat menyebabkan kerusakan permanen organ seperti
otak, mata atau paru-paru. Penggunaan ART mungkin berhubungan dengan efek
samping obat ARV seperti penyakit kuning, asidosis laktat, anemia dll interaksi obat-
obat yang sering dapat menyebabkan gejala yang parah seperti mual, diare dan
komplikasi seperti anemia atau leukopenia. Namun, kondisi emergensi tersebut
biasanya tidak umum terjadi pada saat pasien sedang berkunjung ke praktek dokter gigi
untuk melakukan perawatan gigi.

Tabel. Emergensi pada infeksi HIV

Kegawatdaruratan yang Dapat Terjadi pada Dokter Gigi Saat Merawat Pasien
dengan HIV/AIDS
Pada saat merawat pasien, keadaan emergensi dapat terjadi pada tenaga
kesehatan. Paparan terhadap darah dan cairan tubuh lainnya dapat terjadi tenaga
kesehatan melalui jarum suntik, benda tajam lainnya, selaput lendir, dan eksposur kulit.

61
Patogen yang menjadi perhatian utama adalah human immunodeficiency virus (HIV),
virus hepatitis B (HBV), dan virus hepatitis C (HCV).
Risiko penularan melalui paparan cairan atau jaringan yang terinfeksi diyakini
lebih rendah dibandingkan penularan melalui paparan darah yang terinfeksi. Jika luka
atau kontaminasi hasil dari paparan materi yang terinfeksi HIV, harus tersedia
pertolongan pertama, konseling pasca-paparan, pengobatan, follow-up dan perawatan.
Risiko penularan dipengaruhi oleh:
i. Dalamnya luka
ii. Darah terlihat pada jarum
iii. Penempatan jarum pada vena/arteri pasien
iv. Sumber padanan terinfeksi HIV fase lanjut (berhubungan dengan tingginya
kadar virus pada sumber tersebut)
Pertolongan pertama harus diberikan segera setelah terjadi luka. Lokasi luka dan
kulit yang terpapar darah atau cairan tubuh harus dicuci dan dialiri dengan air. Daerah
yang terpapar harus dievaluasi untuk mengetahui potensi untuk menularkan infeksi
HIV. Sumber paparan dievaluasi untuk mengetahui adanya infeksi HIV hanya setelah
mendapat informed consent, dan harus mencakup konseling yang tepat dan rujukan.
Evaluasi klinis dan tes awal dari petugas kesehatan yang terkena harus dilanjutkan
setelah informed consent.

Gambar. Prosedur Menangani Luka Karena Jarum atau Benda Tajam Lain

62
PEP adalah terapi antiretroviral jangka pendek untuk mengurangi kemungkinan
infeksi HIV setelah paparan potensial dan harus disediakan ketika seseorang terpapar
HIV (atau ada kemungkinan bahwa sumber terinfeksi HIV). Mungkin perlu
dipertimbangkan paparan infeksi darah lainnya seperti HBV.
PEP harus dimulai sesegera mungkin setelah paparan HIV. Obat-obatan yang
digunakan dalam PEP HIV tergantung pada tingkat paparan HIV, dan pemilihan obat
harus menyeimbangkan risiko infeksi terhadap potensi toksisitas agen yang digunakan.
Karena kompleksitas pemilihan obat PEP HIV, sangat dianjurkan untuk konsultasi
dengan ahli ART dan penularan HIV. Situasi berikut dianggap paparan berbahaya,
sehinggga PEP dengan obat antiretroviral selama 4 minggu dianjurkan:
- paparan darah dengan jumlah besar
- kontak darah dengan luka atau luka terbuka pada kulit
- terlihat darah pada jarum yang telah digunakan pada pasien
- paparan darah dari seseorang dengan muatan virus tinggi (jumlah HIV dalam
darah besar)
Departemen Kesehatan Inggris saat ini merekomendasikan aturan untuk PEP.
- PEP harus dilakukan sesegera mungkin setelah terjadi paparan, idealnya dalam
satu jam, setelah dilakukan penilaian risiko hati-hati. Dalam perubahan
pedoman sebelumnya, PEP sekarang umumnya tidak dianjurkan setelah 72 jam
pasca-paparan.
- Masa follow-up yang disarankan setelah paparan HIV adalah minimal 12
minggu setelah paparan HIV atau jika PEP telah diambil, minimal 12 minggu
dari saat PEP dihentikan.
- Pemberian PEP awal adalah: Truvada (245 mg tenofovir dan 200 mg
emtricitabine (FTC)) sekali sehari ditambah Kaletra (200 mg lopinavir dan
ritonavir 50 mg) dua kali sehari.
- Hasil tes pasien sumber HIV idealnya diperoleh dalam 8 jam dan tidak lebih
dari 24 jam setelah darah diperoleh. Hal ini untuk meminimalisir tenaga
kesehatan terpapar obat PEP jika sumber tidak terinfeksi HIV.
Kerahasiaan harus dijaga. Laporan mengenai terjadinya paparan harus dibuat.
Pendidikan untuk mengurangi terjadinya risiko eksposur harus dilakukan dengan
konselor meninjau urutan kejadian paparan.
Tes serologi HIV harus dilakukan pada saat kejadian, dan diulang pada minggu
ke-6, 3 bulan dan 6 bulan. Hal ini penting karena dari penelitian didapatkan ada

63
sebagian pekerja/buruh yang baru terdeteksi positif setelah 6 bulan pasca pajanan. Tes
ini harus diulang pada bulan 12 untuk tenaga kesehatan menderita hepatitis C karena
dapat memperlambat pembentukan serokonversi HIV. Tenaga keseharan yang positif
HIV biasanya akan mengalami sindrom simtomatik akut HIV dalam 2-6 minggu pasca
pajanan.
Tenaga kesehatan harus mendapatkan konseling untuk melakukan hubungan
seks dengan aman atau tidak melakukan hubungan seks sampai hasil tes serologi
negatif setelah 6 bulan pasca pajanan. Risiko terbesar adalah pada 6 sampai 12 minggu
pertama.

2.10 FARMAKOLOGI

ANTIVIRAL

64
Obat-obat yang akan dibahas termasuk (1) idoxuridine, vidarabine, dan
trifluridine untuk perawatan penyakit ocular herpetic; (2) acyclovir, valacyclovir,
famciclovir, penciclovir, ganciclovir, dan foscarnet untuk perawatan infeksi grup
herpes sistemik dan lokalisasi; (3) ribavirin, agen broad-spectrum untuk perawatan
respiratory syncytial viral bronchitis dan pneumonia; (4) infeksi hepatitis kronik; dan
(5) 3 kelas agen antiviral untuk kontrol infeksi HIV

- Agen antiherpetik
Banyak virus herpes yang menyebabkan penyakit pada manusia,
seperti herpes simplex virus (HSV), herpes zoster virus (HZV), dan
sitomegalovirus (CMV). Virus ini merupakan virus DNA. Banyak agen anti-
HSV menetap secara viral di replikasi DNA. HSV juga menyebabkan penyakit
pada daerah orofacial, mata, kulit, organ genital, dan otak, dan menghasilkan
herpes stomatitis, recurrent herpes labialis, keratitis, cutaneous herpetic
infections, herpes genitalis, dan herpes encephalitis.
Infeksi awalnya biasanya dimulai dengan virus varicella-zoster yang
menyebabkan varixella dan dapat menyebabkan zoster pada individual 60
tahun ke atas. CMV juga dapat menyebabkan rentinitis sebanyak 20%-25%
dengan AIDS dan dapat menyebabkan CMV colitis dan esofagitis pada pasien
AIDS.
Tanpa adanya foscarnet dan vaksin, obat yang efektif untuk virus
herpes adalah purine atau pyrimidine analogues yang telah dikonversi menjadi
nukleotida oleh sel atau enzim virus spesifik. Obat yang diaktivasi dengan
virus-encoded enzymes dan merupakan agen yang dipilih adalah acyclovir,
valacyclovir dan penciclovir
Berikut dapat dilihat cara virus DNA bereplikasi di dalam sel.
i. Idoxuridine  disintesa pada tahun 1959 sebagai program anti kanker
yang kemudian diteliti dapat menjadi antiviral HSV. Idoxuridinie
memiilki atom iodine yang menggantikan grup metal dalam carbon 5
atom. Karena iodine memiliki radius yang sama dengan metal moiety,
idoxuridine dapat berfosforilasi menjadi idoxuridine monofosfat yang
akan dimetabolisme menjadi bentuk trifosfat dan bergabung dengan
DNA viral dan selular. Beberapa enzim yang digunakan untuk
biosintesis DNA seperti thymidine kinase, thymidylate kinase, dan

65
DNA polymerase ditempati oleh idoxuridine dan bentuk fosforilasi.
Hal ini dapat menyebabkan efek antiviral, seperti pemutusan
kromosom dan eprubahan sintesis protein viral. Hal ini juga dapat
terjadi pada DNA yang tidak terinfeksi virus. Idoxuridine juga
menunjukan resisten yang sering terjadi pada saat terapi (cepat tidak
teraktivasi dengan deaminase atau enzim nukleotidase).
ii. Vidarabine  merupakan analogue dari adenosine dan dapat
ditemukan pada Streptomyces antibioticus. Vidarabine dapat menjadi
antivirus DNA, seperti grup herpes dan poxviruses). Perawatan topical
dari vidarabine ini berguna untuk keratitis yang disebabkan HSV dan
lebih bagus daripada idoxuridine karena lebih efektif dan lebih tidak
alergenik, tidak iritasi ke mata, dan tidak terlalu cepat menyebabkan
resistensi. Infuse secara intravena juga efektif untuk herpes
encephalitis dan kontrol infeksi VZV pada pasien
immunocompromised. Untuk sekarang ini viradarabine telah diganti
dengan acyclovir. Aplikasi topikal untuk herpes labialis dan genital
tidak memiliki efek yang signifikan.
iii. Trifluridine merupakan derivative dari idoxuridine tetapi atom
iodinnya diganti dengan trifluoromethyl group. Obat ini digunakan
untuk herpetic keratitis dan 10 kali lebih baik daripada idoxuridine.
Obat ini juga efektif kepada orang yang sebelumnya tidak respon
terhadap obat idoxuridine dan vidarabine.larutan ini dijual sebagai
larutan ophthalmic 1% dan cocok untuk herpes keratitis. Efek toksik
dari obat ini: berasa sensasi terbakar dan edema pada lipatan mata.
Obat ini dapat mutagenic dan karsinogenik.
iv. Acyclovir dan valacyclovir  merupakan senyawa yang mirip dengan
adenosine deaminase (enzim untuk metabolisme). Acyclovir efektif
untuk virus herpes seperti HSV, VZV, dan CMV dan 10 kali lebih
efektif dibandingkan dengan idoxuridine.
Valacyclovir merupakan L-calyl ester dari acyclovir. Dapat diserap
secara cepa dengan oral ingestion dan dikonversi menjadi acyclovir
pada saat masuk ke usus dan hati.

66
v. Penciclovir  guanine nucleoside analogue yang secara structural
berhubungan dengan acyclovir. Pada pasien recurrent herpes labialis,
krim 1% penciclovir dapat menjadi pilihan dan digunakan setiap 2 jam.
vi. Foscarnet  phosphonoformate analogue yang dapat melawan infeksi
acyclovir-resistant HSV pada pasien AIDS, CMV retinitis pada pasien
immunocompromised, herpes virus yang lain, dan HIV-1. Harus
diberikan dengan lambat (minimal 1 jam) dan intravena. Obat ini dapat
menyebabkan toksisitas ginjal dan gangguan elektrolit.

- Agen anti-viral hepatitis


Human interferons
Interferon merupakan glikoprotein yang disekresi sel yang telah
terinfeksi virus yang akan mendukung antiviral state pada sel yang tidak
terinfeksi. Sel yang paling signifikan dalam memproduksi interferon adalah
sel dari hematopoietic (limfosit dan makrofag.
Ada 3 jenis interferon, yaitu α, β, ϒ. Interferon juga dapat
digunakan sebagai profilaksis infeksi virus. Interferon dapat menyebabkan
peningkatan denyut nadi dan suhu, penurunan sel darah putih, sakit kepala,
ngantuk, dan malaise.
Hepatitis B virus DNA polymerase inhibitors
Lamivudine menghalangi transkripsi balik sehingga dapat
menghalangi DNA polimerasi HBV. Obat ini merupakan cytosine analogue
yang biasa digunakan secara oral dalam keadaan perut kosong. Efek yang
tidak diinginkan meliputi sakit kepala dan pusing.

- Agen virus anti-human immunodeficiency


i. Reverse trancriptase inhibitors
(a) Zidovudine merupakan thymidine analogue yang grup 3’-
hidroksil digantikan dengan grup azido (N3). Obat ini hanya
meringankan AIDS tetapi tidak menyembuhkan. Obat ini
mengurangi insiden infeksi neonatal setelah pemakaian 14 minggu
secara oral sampai melahirkan. Efek samping intraselular
zidovudine: mual, sakit kepala, dan bone marrow depression. Efek

67
samping zidovudine yang lain adalah asthenia, pusing, insomnia,
malaise, dan myalgia.
(b) Didanosine (1991)  aktif melawan HIV dan efektif serta baik
diserap pada pH netral sehingga baik digunakan sebelum makan.
Obat ini mudah dieliminasi dari tubuh dalam urin (1 jam) tetapi
hanya boleh digunakan 2 kali sehari.
(c) Zalcitabine (1992)  2’-3’-dideoksi analogue dari sitodin. Obat ini
tidak lebih bagus daripada zidovudine pada monoterapi tetapi dapat
menjadi pilihan jika pasien mengalami resistensi terhadap
zidovudine.
(d) Stavudine (1994)  2’-3’-dideoksi analogue thymidine. Stavudine
meningkatkan jumlah CD4 pada pasien yang resisten terhadap
zidovudine.
(e) Abacavir (1998)  nucleoside analogue reverse transcriptase
inhibitor. Obat ini dihubungan dengan reaksi fatal hipersensitivitas
(f) Lamivudine dan emtricitabine (1995)  lamivudine tidak efektif
pada monoterapi, biasanya digunakan degan kombinasi zidovudin.
Obat ini diberikan 1 hari sekali dan efek samping: mual dan sakit
kepala.
(g) Nevirapine, efavirenz, delavirdine, dan etravirine  merupakan
penghambat nukleosid, nevirapine tidak cocok untuk monoterapi.
Efek samping: bercak, diare, dan demam. Inhibitor lain, seperti
efavirenz, delavirdine, dan etravirine digunakan untuk infeksi HIV-
1. Adverse effect-nya adalah gejala gastrointestinal, bercak,
sindrom Stevens-Johnson.
ii. Protease inhibitors
Pada pasien HIV lanjut, penggunakan protease inhibitor dengan
kombinasi agen antiretroviral lain dapat meningkatkan
keberlangsungan hidup pasien.
(a) Saquinavir  obat pertama untuk menghambat HIV protease.
Sangat baik untuk aktivitas anti-HIV tetapi dapat menyebabkan
resisten. Efek samping: gangguan gastrointestinal, seperti mual dan
muntah.

68
(b) Indivinavir dan ritonavir  kombinasi 3 obat ritonvir dan 2
nucleoside analogue dapat meningkatkan limfosit CD4 dan
mengurangi mortalitas pada pasien AIDS lanjut. Kombinasi
indinavir dengan zidovudine dan lamivudine menghasilkan titrasi
virus yang tidak terdeteksi selama 1 tahun pada 80% pasien yang
menerima terapi. Efek samping indinavir: hiperbilirubinemia dan
nefrolitiasis (batu ginjal). Pada ritonavir: gangguan gastrointestinal,
rasa berubah dan perioral paresthesia.
(c) Nelfinavir dan lopinavir  merupakan protease inhibitor yang
paling umum karena toksisitas yang rendah. Efek samping:
hiperglikemia, distribusi lemak abnormal, diare.
(d) Amprenavir dan fosamprenavir  digunakan pada anak usia > 4
tahun dan dewasa yang terinfeksi HIV. Obat ini tersedia dengan
kapsul (150 mg dan 50 mg) dan larutan oral (15 mg/mL). Efek
samping: mual, muntah, diare, oral dan perioral paresthesia, dan
berak.
(e) Darunavir, tipranavir, dan atazanvir  efektif melawan banyak
HIV strains resistant dibandingkan yang lainnya. Obat ini harus
diberikan bersama ritonavir karena akan meningkatkan
bioavailability darunavir sampai 14 kali. Efek samping: diare,
mual, sakit kepala, peningkatan aminotransferase, dan
memperburuk diabetes. Tipranavir dengan ritonavir dapat
meningkatkan tingkat plasma tetapi menyebabkan gejala
gastrointestinal dan bercak. Atazanavir tidak boleh digunakan
dengan obat yang meningkatkan pH lambung. Efek samping:
gejala gastrointestinal, bercak, dan peripheral neuropathy.
iii. Fusion inhibitor
(a) Enfuvirtide  merupakan penghambat fusi yang efektif melawan
HIV. Enfuvirtide mengikat viral envelope glycoprotein yang
mencegah fusi antara viral envelope dengan membrane plasma
inang. Dapat menyebabkan eosinofilia
(b) Other anti-human immunodeficiency virus agents
Obat ini merupakan obat pertama yang digunakan 1 kali sehari.
Efek samping yang dapat terjadi adalah bercak kemerahan, pusing,

69
sakit kepala, insomnia, mimpi, dan ketidakmampuan untuk
berkonsentrasi.
(c) Human immunodeficiency virus vaccine
Merupakan vaksin untuk mencegah infeksi HIV yang merupakan
glikoprotein HIV 120-like protein yang membuat pembentukan
120 antibodi. Vaksin ini sukses pada Asia dan orang berkulit hitam
tetapi tidak pada orang berkulit putih.

Agen antiviral dalam rongga mulut


HSV menyebabkan berbagai lesi mukosa, termasuk gingivostomatitis
herpetik, recurrent intraoral herpes simplex, herpes labialis, dan eczema herpeticum
yang mengancam jiwa. Kebanyakan lesi viral yang berhubungan dengan HSV dirawat
dengan oral acyclovir, dengan intravena pada kasus yang berat
Acyclovir ini baik digunakan saat gejala mulai muncul. Dosis acyclovir
berdasarkan berat tubuh dan tipe lesi. Secara umum, 5-10 mg/kg berat badan selama 1
jam yang dipakai secara intravena dan diulang setiap 8 jam selama 5-10 hari.
Acyclovir baik digunakan jangka panjang untuk pasien eczema herpeticum secara oral
dengan dosis 200-400mg 2 sampai 3 kali per hari.
Krim topical penciclovir 1% dapat menjadi pilihan sebagai control untuk
recurrent herpes labialis dan diaplikasi pada lesi setiap 2 jam selama 4 hari. Krim ini
juga berguna untuk menghilang ketidaknyamanan infeksi dan bisa memperpendek
periode lesi 1-2 hari.
Infeksi HSV dapat berkembang menjadi lebih berat dan menjadi bentuk
seperti pada pasien AIDS. Lesi recurrent herpetic dapat menjadi kronik dan dapat
menjadi resisten terhadap acyclovir sehingga digunakan agen antiherpetik seperti
ganciclovir dan foscarnet.
Pada pasien AIDS, banyak lesi oral yang berasal dari virus yang berbeda.
Infeksi HPV yang paling terlihat pada kasus ini dengan variasi papiloma, condilomata
dan hyperplasia fokal epitel di dalam rongga mulut. Untuk infeksi HIV, sebagai gejala
awal dapat terlihat oral hairy leukoplakia yang disebabkan oleh virus EpsteinBarr
pada pasien immunocompromised. Perawatan pada oral hairy leukoplakia dilakukan
jika pasien mengeluhkan sakit dan biasanya obatnya melibatkan aplikasi topical dari
larutan resin podofilin 25% dan oral acyclovir 800mg 5 kali sehari. Alternatif lain
juga dapat digunakan valacyclovir (1000mg) dan famciclovir (500mg) secara oral 3

70
kali sehari. Penyakit ini biasanya berhenti dengan penggunaan obat dan akan muncul
kembali jika obatnya dihentikan.

Anti- Human Immunodeficiency Virus Agents


Sejak AIDS pertama kali ditemukan pada tahun 1980-an, dan disebabkan oleh HIV,
retrovirus, menunjukkan upaya yang besar untuk menjadi terapi efektif untuk
melawan penyakit tersebut. Saat ini, terdapat 4 kelompok obat yang digunakan secara
klinis, yaitu :
1. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs)
NRTIs merupakan zat yang menyerupai deoxyribonucleoside triphosphate
(nucleoside DNA) yang merupakan natural substrat untuk reverse
transkriptase. Ketika NRTIs menyatu dengan rantai DNA , mereka memutus
perpanjangan dan mengurangi atau mencegah replikasi HIV di sel yang
terinfeksi dari RNA menjadi DNA. Efek samping dari kelompok obat ini
antara lain, lactic acidosis, sakit kepala, gangguan pencernaan seperti mual
dan muntah, serta hepatomegali.
 Zidovudine
Zidovudine (azidothymidine) merupakan agen antiviral pertama yang
cukup efektif dan aman diterima untuk perawatan AIDS. Zidovudine
terfosforilasi oleh enzim selular menjadi zidovudine triphosphate, yang
tergabung menjadi cDNA virus oleh kebalikan transkripsi RNA HIV.
Zidovudine tidak hanya menghalangi replikasi virus, tetapi juga
membantu regenerasi limfosit CD4+. Agen ini juga menunda
perkembangan AIDS pada pasien yang terinfeksi HIV dengan jumlah sel
limfosit CD4+ kurang dari 500 sel/mm3 dan pada pasien yang tanpa
gejala atau sudah menunjukkan gejala awal dari penyakit AIDS.
Zidovuldine memberikan perawatan yang meringankan saja, bukan
menyembuhkan AIDS atau menghilangkan HIV dari tubuh. Walaupun
hanya sebagai tindakan pencegahan, zidovudine dapat menurunkan
insidensi infeksi neonatal secara signifikan saat ibu hamil yang terinfeksi
HIV mulai mengkonsumsi obatnya secara oral seetelah 14 minggu
kehamilan dan berlanjut hingga kelahiran (pada saat zidovuldine
diberikan secara intravena). Kegunaan zidovudine sebagai profilaksis
postexposure masih menjadi kontroversi.

71
Pedoman awal saat ini, merekomendasikan penggunaan dua obat selama
4 minggu (zidovudine dan lamivudine atau didanosine dan stavudine)
untuk sebagian besar pasien yang terkena HIV. Namun, dianjurkan
untuk menambahkan obat ketiga jika paparan HIV menimbulkan
peningkatan resiko penularan.
Resistensi zidovudine mudah terpengaruh oleh agen anti-HIV lainnya
seperti didanosine, zalcitabine, dan foscarnet in vitro. Zidovudine
diberikan secara oral setiap empat jam sekali. Obat ini dengan cepat di
absorbsi, dimetabolisme di hati, dan di ekskresikan dalam urin. Rata-rata
waktu paruh untuk mengeliminasi sekitar satu jam. Efek samping yang
sering timbul adalah mual, sakit kepala, dan tekanan pada sum-sum
tulang. Kadang, diperlukan transfusi pada pasien dengan
granulocytopenia dan anemia. Efek samping lain yang dapat timbul,
antara lain adalah asthenia, insomnia, lesu, dan nyeri otot. Penggunaan
obat ini secara jangka panjang sering dikaitkan dengan terjadinya toxic
myopathy.
 Didanosine
Didanosine (dideoxyinosine) aktif dalam melawan HIV, termasuk yang
resisten terhadap jenis zidovudine. Seperti pada zidovudine, didanosine,
ketika diubah ke bentuk triphosphate, menghambat aktivitas reverse
transcriptase dan dengan demikian menghambat sintesis cDNA HIV.
Didanosine oral meningkatkan jumlah limfosit CD4+, mengurangi titer
virus antigen, dan mengurangi gejala penyakit yang terkait AIDS. Efek
samping utama yang timbul adalah peripheral neuropathy dan berpotensi
dalam menimbulkan pankreatitis yang fatal.
Didianosine di absorbsi dengan baik pada pH netral dan harus
dikonnsumsi pada saat perut kosong. Tablet didanosine kunyah
mengandung antasid untuk menetralkan pH lambung, sehingga, tidak
boleh dikonsumsi dengan obat yang membutuhkan pH asam untuk
absorpsi, seperti, antibiotik itracinazole dan quinolone. Walaupun obat
ini cepat tereliminasi dalam urin (sekitar 1 jam), persistensi intracellular
didanosine triphosphate memperbolehkan dosis 2x sehari.
Didanosine awalnya diberikan untuk pasien dengan infeksi HIV lanjut
yang intoleran terhadap zidovudine atau menunjukkan keadaan klinis

72
maupun imunologis yang semakin memburuk. Namun sekarang, umum
digunakan pada kombinasi obat dengan zidovudine dan protefrom ase
inhibitor. Resistensi terhadap didanosine bersifat progresif, resisten ini
muncul pada kebanyakan pasien 6 bulan setelaha monoterapi.
 Zalcitabine
Zalcitabine, dianalogikan sebagai 2’-3’-dideoxy dari cytidine.
Mekanisme kerja dan latar belakang farmakologis mirip dengan
zidovudine. Zalcitabine kalah (lebih inferior) jika dibandingkan dengan
zidovudine sebagai monoterapi bila digunakan sebagai pengobatan awal.
Zalcitabine menunjukkan keberhasilan terapi pada pasien yang resisten
terhadap zidovudine dan sebanding dengan didanosine pada pasien yang
intoleran terhadap zidovudine. Obat ini sering diberikan dalam bentuk
kombinasi dengan zidovudine dan protease inhibitor.
 Stavudine
Stavudine, dianalogikan sebagai 2’-3’-dideoxy dari thymidine.
Penelitian menunjukkan terapi stavudine meningkatkan jumlah sel
CD4+ pada pasien yang tidak merespon pada terapi zidovudine.
Terkadang, perkembangan terjadinya resistensi stavudine juga
memberikan resistensi pada zidovudine dan didanosine. Seperti
antiretroviral lainnya, stavudine digunakan dalam terapi obat kombinasi.
 Abacavir
Abacavir adalah NRTI yang digunakan dalam kombinasi untuk
pengobatan pasien dengan infeksi HIV. Abacavir dapat menyebabkan
efek samping yang umum untuk NRTI dan telah dikaitkan dengan
terjadinya reaksi hipersensitivitas yang fatal.
 Lamivudine & Emtricitabine
Lamivudine merupakan enasiomer dari 2’-deoxy-3’-thiacytidine.
Perubahan intraseluller ke bentuk triphosphate menghambat
pemanjangan rantai virus cDNA dengan cara menghambat reverse
transcriptase. Lamivudine kurang efektif jika digunakan sebagai
monoterapi, namun, terbukti dapat mengontrol infeksi jika
dikombinasikan dengan zidovudine. Studi klinis menunjukkan bahwa
kombinasi yang sinergis dapat menghambat replikasi HIV dan

73
meningkatkan jumlah sel CD4+. Efek samping dari lamivudine
umumnya ringan, antara lain, mual dan sakit kepala.
Emtricitabine merupakan turunan fluoro dari lamivudine. Memiliki
waktu paruh yang lebih panjang dibandingkan dengan lamivudine dan
diberikan 1x sehari. Efek samping yg ditimbulkan hampir sama dengan
lamivudine.
Trizivir adalah tablet kombinasi dari lamivudine, zidovudine, dan
abacavir untuk pengobatan HIV. Obat ini tidak direkomendasikan untuk
pasien dengan berat badan dibawah 40 kg, karena, merupakan tablet
dengan dosis tetap. Efek samping yang paling menonjol dari trizivir
adalah kaitannya dengan reaksi hipersensitivitas terhadap abacavir (telah
di observasi pada 5% pasien HIV).

2. Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTIs)


NNRTIs bekerja dengan cara berikatan dengan situs aktif enzim reverse
transkriptase dan mencegah perubahan dari genom RNA menjadi untaian
ganda DNA retrovirus.
 Nevirapine, Efavirenz, Delavirdine, & Etravirine
Nevirapine (dipyridodiazepinone), merupakan Non-Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitors pertama. Obat ini tidak memerlukan aktivasi ;
mengikat langsung ke reverse transcriptase HIV-1 dan menghambat
sintesis cDNA non-kompetitif. Perkembangan cepat dari resistensi obat
merupakan keterbatasan utama dari obat ini, dimana, tidak boleh
digunakan sebagai monoterapi.
Berbeda dengan Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors, nevirapine
dapat larut dalam lemak, dapat diserap dengan baik, dan dimetabolisme
oleh cytochrome P450 secara ekstensif. Obat ini juga menginduksi
terjadinya pemecahan estrogen dan HIV protease inhibitors. Nevirapine
dapat menyebabkan ruam, diare, dan demam.
Obat lainnya adalah Evafirenz, Delavirdine, dan Etravirine. Obat-obat
ini digunakan dalam pengobatan infeksi HIV-1. Dapat timbul gejala
gastrointestinal jika mengkonsumsi obat ini. Ruam, sindrom Stevens-
Johnson, dapat terjadi akibat delavirdine dan jarang terjadi akibat

74
etravirine ; efek samping yang umum ditimbulkan oleh efavirenz adalah
ruam kulit yang ringan.

3. HIV Protase Inhibitors (PI)


PI bekerja dengan cara berikatan dengan enzim protease sehingga
menghalangi pemembelah rantai polypeptide selama proses perakitan dan
maturasi untuk membentuk protein virus baru (proses esensial untuk
membentuk virus baru yang akan menginfeksi sel lainnya). Pada pasien
dengan infeksi HIV lanjut, penggunaan protase inhibitor dalam terapi
kombinasi dengan agen antiretroviral lainnya meningkatkan kelangsungan
hidup pasien secara signifikan. Jika sudah terjadi resistensi obat, maka lebih
baik menggunakan protase inhibitor yang dikombinasikan dengan obat lain.
Semua protase inhibitor menunjukkan efek samping yang sama setelah
penggunaan yang lama. Efek samping yang umum timbul adalah,
hyperglikemia, hiperlipidemia, peningkatan aktivitas aminotransferase, dan
disfungsi sistem gastrointestinal.
 Saquinavir

Saquinavir telah menunjukkan aktivitas anti-HIV yang selektif dan


kuat. Namun, jika saquinavir dijadikan obat monoterapi, maka dapat
dengan cepat menginduksi resistensi virus. Kombinasi saquinavir,
zidovudine, dan salcitabine sangat mengurangi jumlah virus tanpa
menyebabkan peningkatan toksisitas dibandingkan dengan terapi dua
obat.
Efek samping dari saquinavir antara lain, mual dan muntah. Karena
saquinavir dimetabolisme oleh dan merupakan inhibitor dari hepatic
CYP3A isoenzymes, memungkinkan interaksi dengan obat lain yang
bergantung pada enzim P450 yang sama untuk inaktivasi.

75
Saquinavir dapat terakumulasi pada pasien yang mengkonsumsi obat
yang menghambat CYP3A, dan dapat menghambat metabolisme obat-
obat lainnya seperti verapamil dan triazolam. Obat yang menginduksi
ensim CYP3A (seperti : rifampisin dan nevirapine) dapat mengurangi
efektivitas saquinavir.
 Indinavir & Ritronavir
Indinavir dan ritonavir adalah protease inhibitor pada HIV. Kombinasi
tiga jenis obat (ritonavir dan dua NRTI) dapat meningkatkan jumlah
limfosit CD4+ secara singifikan dan mengurangi angka kematian pada
pasien dengan AIDS yang berlanjut. Kombinasi dari indinavir dengan
zidovudine dan lamivudine menunjukkan tidak terdeteksinya titer virus
selama satu tahun pada lebih dari 80% pasien dengan terapi tersebut.
Terdapat penelitian lain yang mengevaluasi keberhasilan terapi dari
terapi kombinasi dengan indinavir pada pasien anak seropositif untuk
HIV-1.

Terapi pada dua tahun awal menunjukkan muatan RNA HIV-1


dibawah batas yang terdeteksi dan terjadi peningkatan jumlah sel
CD4+ 94% dari nilai usia normal yang sama pada kebanyakan pasien
yang melakukan perawatan ini. Efek samping utama dari indinavir
adalah hiperbilirubinemia dan nephrolithiasis. Karena, 3% dari pasien
yang mengkonsumsi indinavir timbul batu ginjal, dan
direkomendasikan untuk minum setidaknya 48 oz air putih/hari.
Ritonavir menyebabkan gangguan pencernaan, perubahan rasa, dan
perioral paresthesia. Potensi interaksi obat pada kedua obat tersebut
mirip dengan interaksi obat yang telah disebutkan untuk saquinavir.

 Nelfinavir & Lopinavir


Nelfinavir paling umum digunakan karena efek toksisitasnya relatif
rendah. Efek samping yang umumnya timbul adalah hiperglikemia,
distribusi lemak abnormal, dan diare, sering dikontrol dengan
loperamide.
Lopinavir menunjukkan potensi yang tinggi pada in vitro, terutama
pada saat dikombinasikan dengan ritonavir. Kombinasi tersebut dapat

76
menyebabkan efek samping berupa gastrointestinal ringan dan sakit
kepala

 Amprenavir & Fosamprenavir


Amprenavir dapat digunakan untuk infeksi HIV pada dewasa dan
anak-anak usia 4 tahun keatas. Amprenavir tersedia dalam kapsul (150
mg dan 50 mg) dan larutan oral (15 mg/mL). Amprenavir kapsul
mengandung vitamin E yang mempermudah proses absorbsi obat.
Setiap 150 mg kapsul mengandung 109 IU vitamin E, dimana,
melebihi asupan harian yang direkomendasikan, sehingga pasien yang
mengkonsumsu amprenavir tidak perlu tambahan supplemen vitamin
E.
Efek samping dari amprenavir, antara lain, mual, muntah, diare, oral &
perioral paresthesias, dan ruam. Mirip dengan protease inhibitor
lainnya, terjadi pula distribusi lemak abnormal, hiperglikemia, dan
peningkatan aktivitas aminotransferase.

Fosamprenavir adalah prodrug dari amprenavir yang lebih mudah


diabsorbsi, yang mana mengurangi dosis harian yang diperlukan.

 Darunavir, Tipranavir, & Atazanavir


Darunavir adalah protease inhibitor dan efektif melawan berbagai jenis
HIV yang resisten terhadap protease inhibitor lainnya. Obat ini harus
diberikan dengan ritonavir, yang meningkatkan biovailabilitas
darunavir (sebanyak 14 kali lipat). Efek samping obat ini hampir sama
dengan obat protease inhibitor lainnya, seperti diare, mual, sakit
kepala, dan peningkatan aktivitas aminotransferase.
Darunavir juga dapat memperburuk adanya diabetes.

Tipranavir hampir mirip dengan darunavir, dalam ritonavir


meningkatkan kadar plasma. Obat ini dapat menyebabkan gejala
gastrointestinal dan ruam. Efek samping yang lebih serius termasuk
toksisitas hati dan intercranial hemorrhage.

77
Atazanavir adalah protease inhibitor yang separuh plasmanya
meningkat oleh ritonavir. Obat ini tidak boleh dikonsumsi dengan obat
yang dapat meningkatkan pH dalam lambung. Efek samping obat ini
termasuk gejala gastrointestinal, ruam, neuropati perifer.

4. Fusion Inhibitors (F1/T20)


FI/T20 adalah peptide anti HIV yang secara struktural mirip dengan GP41
dan secara kompetitif menghalangi virus hiv menghancurkan dan masuk ke
membran sel host.
 Enfuvirtide
Enfuvirtide merupakan fusion inhibitor yang efektif untuk melawan HIV
dan diberikan melalui subkutan. Enfuvirtide mengikat glikoprotein pada
selubung virus, yang mencegah fusi antara selubung virus dengan
membran plasma pada host. Salah satu efek samping yang dapat terjadid
adalah eosinophilia

Agen Anti-HIV Lainnya


Kombinasi once-daily tablet untuk HIV. Obat atripla adalah kombinasi dari efavirenz
(NNRTIs) 600mg ; Emtricitabine (NRTIs) 200mg ; dan Tenofovir (NRTIs) 300 mg.
Obat ini merupakan obat kombinasi single tablet pertama yang dikonsumsi sekali
sehari untuk HIV. Efek sampingnya hampir sama dengan efek samping jika obat
dikonsumsi secara terpisah, antara lain, ruam, sakit kepala, insomnia,
ketidakmampuan untuk berkonsentrasis. Obat ini juga kontraindikasi untuk wanita
hamil karena terdapat teratogenicity.

Vaksin HIV
Baru-baru ini, vaksin (AIDSVax) diperkenalkan untuk pencegahan HIV ; vaksin ini
merupakan HIV glycoprotein 120 – seperti protein, dimana HIV glycoprotein 120
mempengaruhi pembentukan antibodi pada manusia.

Terapi Antiviral pada Rongga Mulut


HSV menyebabkan beberapa lesi pada oral mukosa, termasuk herpetic
gingivostomatitis, recurrent intraoral herpes simplex, herpes labialis, dan eczema
herpeticum. Herpetic gingivostomatitis dapat bermanifestasi juga pada host yang

78
lemah sebagai apthoid dari Pospischill-Feyrter, ditandai dengan perkembangan /
perluasan lesi yang cepat menuju tenggorokan dan kulit perioral. Kebanyakan, lesi
virus HSV diobati dengan acyclovir oral secara rutin, atau dengan pemberian
intravena pada beberapa kasus yang parah.
Acyclovir paling baik digunakan segera setelah gejala mulai timbul. Dosis acyclovir
intravena tergantung pada berat badan dan tipe lesi. Pada umumnya, 5-10 mg/kg
(berat badan) diberikan secara intravena selama 1 jam dan diulang setiap 8 jam
selama 5-10 hari. Penggunaan terapi acyclovir jangka panjang direkomendasikan
untuk pasien dengan eczema herpeticum, dengan 200-400 mg 2-3x sehari secara oral.
Selain itu, terdapat beberapa terapi suportif lainnya untuk lesi herpes, yaitu, analgesik
antipiretik, antibiotik antibakteri, dan antifungi yang dapat membantu kontrol infeksi
sekunder.
Untuk mengontrol herpes labialis yang berulang, dapat dipilih obat penciclovir krim
topikal 1%, dan dapat digunakan pada lesi setiap 2 jam selama 4 hari. Hal ini, dapat
mengurangi rasa tidak nyaman pada infeksi dan dapat mempercepat periode lesi
hanya dengan 1-2 hari.
Infeksi HSV dapat berkembang menjadi lebih parah pada pasien AIDS. Lesi herpes
yang berulang dapat menjadi kronik pada pasien ini, dan dapat terjadi resistensi
acyclovir, dimana, pada beberapa kasus penggunaan agen antiherpes lainnya, seperti
ganciclovir dan foscarnet mungkin lebih efektif. Pada pasien AIDS, beberapa lesi oral
dapat terjadi bersamaan walaupun dengan sumber virus yang berbeda
Infeksi HPV hampir selalu ada pada pasien AIDS, dapat dilihat dari variasi papilloma,
condylomata, dan epithelial hyperplasia dalam rongga mulut. Selain itu, CMV juga
berhubungan dengan apthae – seperti ulserasi dalam oral mukosa. Oral hairy
leukoplakia merupakan tanda awal dari adanya infeksi HIV, dapat disebabkan oleh
virus Epstein-Barr pada pasien immunocompromised. Perawatan yang dapat
dilakukan pada keadaan ini biasanya menggunakan aplikasi topikal dari larutan
podophyllin resin 25% dan acyclovir oral 800mg 5x sehari. Sebagai alternatif lainnya,
dapat menggunakan valacyclovir (1000mg) dan famciclovir (500mg), yang diberikan
secara oral 3x sehari. Antiretroviral (ARV) sistemik juga diberikan seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya. Oral hairy leukoplakia akan hilang setelah dilakukan terpi
obat, namun biasanya timbul kembali saat obat dihentikan.

79
PRINSIP PEMBERIAN ARV
1. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada dalam
dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas penggunaan obat.
2. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan akses
pelayanan ARV .
3. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan manajemen
logistik yang baik.
4. Jangan mulai memberikan ARV terlalu dini ketika CD4 masih tinggi atau telat
ketika CD4 sudah sangat rendah
5. Pemilihan jenis obat tergantung dan harus mempertimbangkan bukti efektifitas
obat, sedikit efek samping dan kemudahan pemberian

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH


- 3TC  Lamivudine
- ABC  Abacavir
- ARV  Antiretroviral
- AZT  Zidovudine yang sering juga disingkat menjadi ZDV
- CD4  Limfosit-T CD4+
- d4T  Stavudine
- ddl  Didanosine
- EFV  Efavirenz
- ENF (T-20)  Enfuvirtide
- FTC  Emtricitabine
- IDV  Indinavir
- LPV  Lopinavir
- NNRTI  Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor
- NsRTI  Nucleoside analogue Reverse Transcriptase Inhibitor
- NtRTI  Nucleotide analogue Reverse Transcriptase Inhibitor
- NFV  Nelfinavir
- NVP  Nevirapine
- ODHA  Orang Dengan HIV dan AIDS
- PI  Protease Inhibitor
- SQV  Saquinavir
- ZDV  Zidovudine (juga dikenal sebagai AZT)

80
GOLONGAN OBAT ARV

81
ANJURAN PEMILIHAN OBAT ARV LINI PERTAMA

Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah :

Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini:

82
WAKTU MEMULAI TERAPI PADA ODHA DEWASA

PERTIMBANGAN DALAM PENGGUNAAN & PEMILIHAN PADUAN


TERAPI ARV

1. Memulai dan Menghentikan Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor


(NNRTI)

Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama 14 hari
pertama dalam paduan ARV lini pertama bersama AZT atau TDF + 3TC. Bila
tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi 200 mg setiap 12
jam pada hari ke-15 dan selanjutnya. Mengawali terapi dengan dosis rendah

83
tersebut diperlukan karena selama 2 minggu pertama terapi NVP menginduksi
metabolismenya sendiri. Dosis awal tersebut juga mengurangi risiko terjadinya
ruam dan hepatitis oleh karena NVP yang muncul dini.

Bila NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan selama lebih dari 14
hari, maka diperlukan kembali pemberian dosis awal yang rendah tersebut.

Cara Menghentikan Paduan yang Mengandung NNRTI

 Hentikan NVP atau EFV

 Teruskan NRTI (2 obat ARV saja) selama 7 hari setelah penghentian


Nevirapine dan Efavirenz, (ada yang menggunakan 14 hari setelah
penghentian Efavirenz) kemudian hentikan semua obat. Hal tersebut guna
mengisi waktu paruh NNRTI yang panjang dan menurunkan risiko
resistensi NNRTI.

Penggunaan NVP dan EFV

 NVP dan EFV mempunyai efikasi klinis yang setara

 Ada perbedaan dalam profil toksisitas, potensi interaksi dengan obat lain, dan
harga

 NVP berhubungan dengan insidensi ruam kulit, sindrom Steven-Johnson dan


hepatotosksisitas yang lebih tinggi dibanding EFV.

 Dalam keadaan reaksi hepar atau kulit yang berat maka NVP harus dihentikan
dan tidak boleh dimulai lagi

 Gunakan NVP atau PI untuk ibu hamil trimester 1 atau triple NRTI jika NVP
dan PI tidak dapat digunakan. Triple NRTI hanya diberikan selama 3 bulan
lalu dikembalikan kepada paduan lini pertama

 Perlu kehati-hatian penggunaan NVP pada perempuan dengan CD4 >250


sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-nya dan pada laki-laki dengan
jumlah CD4 >400 sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-nya.

 Perlu dilakukan lead-in dosing pada penggunaan NVP, yaitu diberikan satu
kali sehari selama 14 hari pertama kemudian dilanjutkan dengan 2 kali sehari

84
 EFV dapat digunakan sekali sehari dan biasanya ditoleransi dengan baik,
hanya saja biayanya lebih mahal dan kurang banyak tersedia dibandingkan
NVP

 Toksisitas utama EFV adalah berhubungan dengan sistem saraf pusat (SSP)
dan ada kemungkinan (meski belum terbukti kuat) bersifat teratogenik bila
diberikan pada trimester 1 (tetapi tidak pada triemester dua dan tiga) dan ruam
kulit yang biasanya ringan dan hilang sendiri tanpa harus menghentikan obat.
Gejala SSP cukup sering terjadi, dan meskipun biasanya hilang sendiri dalam
2-4 minggu, gejala tersebut dapat bertahan beberapa bulan dan sering
menyebabkan penghentian obat oleh pasien

 EFV perlu dihindari pada pasien dengan riwayat penyakit psikiatrik berat,
pada perempuan yang berpotensi hamil dan pada kehamilan trimester pertama.

 EFV merupakan NNRTI pilihan pada keadaan ko-infeksi TB/HIV yang


mendapat terapi berbasis Rifampisin.

Dalam keadaan penggantian sementara dari NVP ke EFV selama terapi TB dengan
Rifampisin dan akan mengembalikan ke NVP setelah selesai terapi TB maka tidak
perlu dilakukan lead-in dosing

2. Pilihan Pemberian Triple NRTI

Regimen triple NRTI digunakan hanya jika pasien tidak dapat menggunakan
obat ARV berbasis NNRTI, seperti dalam keadaan berikut:

 Ko-infeksi TB/HIV, terkait dengan interaksi terhadap Rifampisin

 Ibu Hamil, terkait dengan kehamilan dan ko-infeksi TB/HIV

 Hepatitis, terkait dengan efek hepatotoksik karena NVP/EFV/PI

Anjuran paduan triple NRTI yang dapat dipertimbangkan adalah :

Penggunaan Triple NRTI dibatasi hanya untuk 3 bulan lamanya, setelah itu
pasien perlu di kembalikan pada penggunaan lini pertama karena supresi
virologisnya kurang kuat.
85
3. Penggunaan AZT dan TDF

 AZT dapat menyebabkan anemi dan intoleransi gastrointestinal

 Indeks Massa Tubuh (IMT / BMI = Body Mass Index) dan jumlah
CD4 yang rendah merupakan faktor prediksi terjadinya anemi oleh
penggunaan AZT

 Perlu diketahui faktor lain yang berhubungan dengan anemi, yaitu


antara lain malaria, kehamilan, malnutrisi dan stadium HIV yang lanjut

 TDF dapat menyebabkan toksisitas ginjal. Insidensi nefrotoksisitas


dilaporkan antara 1% sampai 4% dan angka Sindroma Fanconi sebesar
0.5% sampai 2%

 TDF tidak boleh digunakan pada anak dan dewasa muda dan sedikit
data tentang keamanannya pada kehamilan

 TDF juga tersedia dalam sediaan FDC (TDF+FTC) dengan pemberian


satu kali sehari yang lebih mudah diterima ODHA

4. Perihal Penggunaan d4T

Stavudin (d4T) merupakan ARV dari golongan NRTI yang poten dan telah
digunakan terutama oleh negara yang sedang berkembang dalam kurun waktu
yang cukup lama. Keuntungan dari d4T adalah tidak membutuhkan data
laboratorium awal untuk memulai serta harganya yang relatif sangat
terjangkau dibandingkan dengan NRTI yang lain seperti Zidovudin (terapi
ARV), Tenofovir (TDF) maupun Abacavir (ABC). Namun dari hasil studi
didapat data bahwa penggunaan d4T, mempunyai efek samping permanen
yang bermakna, antara lain lipodistrofi dan neuropati perifer yang
menyebabkan cacat serta laktat asidosis yang menyebabkan kematian.

Efek samping karena penggunaan d4T sangat berkorelasi dengan lama


penggunaan d4T (semakin lama d4T digunakan semakin besar kemungkinan
timbulnya efek samping). WHO dalam pedoman tahun 2006
merekomendasikan untuk mengevaluasi penggunaan d4T setelah 2 tahun dan
dalam pedoman pengobatan ARV untuk dewasa tahun 2010

86
merekomendasikan untuk secara bertahap mengganti penggunaan d4T dengan
Tenofovir (TDF).

Berdasarkan kesepakatan dengan panel ahli, maka pemerintah memutuskan


sebagai berikut:

 Menggunakan AZT atau TDF pada pasien yang baru memulai terapi
dan belum pernah mendapat terapi ARV sebelumnya

 Pada pasien yang sejak awal menggunakan d4T dan tidak dijumpai
efek samping dan/atau toksisitas maka direkomendasikan untuk diganti
setelah 6 bulan

 Jika terjadi efek samping akibat penggunaan AZT (anemia), maka


sebagai obat substitusi gunakan TDF.

 Pada saat sekarang penggunaan Stavudin (d4T) dianjurkan untuk


dikurangi karena banyaknya efek samping. Secara nasional dilakukan
penarikan secara bertahap (phasing out) dan mendatang tidak
menyediakan lagi d4T setelah stok nasional habis

5. Penggunaan Protease Inhibitor (PI)

Obat ARV golongan Protease Inhibitor (PI) TIDAK dianjurkan untuk terapi
Lini Pertama, hanya digunakan sebagai Lini Kedua. Penggunaan pada Lini
Pertama hanya bila pasien benar-benar mengalami Intoleransi terhadap
golongan NNRTI (Efavirenz atau Nevirapine). Hal ini dimaksudkan untuk
tidak menghilangkan kesempatan pilihan untuk Lini Kedua. mengingat
sumber daya yang masih terbatas

87
88
BAB III
KESIMPULAN

Pasien remaja terinfeksi virus HSV-1 (Herpes Labialis) ditandai dengan adanya vesikel
berkelompok di bibir. Diperlukan pemeriksaan lab untuk menunjang diagnosis. Pasien
diberikan obat antiviral berupa acyclovir 200 mg 5 kali sehari selama 5 hari.

Pasien anak terinfeksi virus coxsackievirus (Hand, Foot, Mouth Disease) ditandai dengan
adanya vesikel di tangan, kaki, dan mulut. Pasien dianjurkan untuk berkumur dengan larutan
kumur sodium bikarbonat dengan air hangat untuk membantu meringankan ketidaknyamanan
yang dialami.

89
DAFTAR PUSTAKA

 Greenberg MS, Glick M. 2008. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Treatment, 11th
edition., BC Decker Unc. Hamilton.
 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia NOMOR:
KEP. 68/MEN/IV/2004 Tentang Pencegahan Dan Penanggulangan HIV/AIDS Di
Tempat Kerja
 Little J, Falace DA :Dental Management of the Medically Compromised Patient 8 th
ed, 2012
 Regezi, A.Joseph. Oral Pathology 6th edition.
 Rewari, B. B., et al. "Emergencies in HIV Medicine–Part I." JAPI 56 (2008).
 Scully, C. 2010. Medical Problems in Dentistry 6th ed. Churchill Livingstone.
 Suniarti, Soekanto, Arif. Farmakologi Kedokteran Gigi. Badan Penerbit FKUI. 2012.
 Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2011)
 Aids dan Pencegahan Penularannya Pada Praktik Dokter Gigi [Internet] diakses pada
27/02/2015 20:25 PM available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1147/3/fkg-sondang2.pdf.txt
 Terapi Antiretroviral [Internet] diakses pada 27/02/2015 20.00 PM available from:
http://spiritia.or.id/li/bacali.php?lino=403
 Yagiela, Dowd, Neidle Pharmacology and Therapeutics for Dentistry, 6th ed. Elsevier
Mosby.

90

Anda mungkin juga menyukai