Anda di halaman 1dari 51

LAPORAN KASUS

UPAYA PENDEKATAN KEDOKTERAN KELUARGA

PADA PASIEN DENGAN SKABIES

Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Disusun Oleh :

Iga Ramadani Hervias 21804101031

Penguji:

dr. Fancy Brahma Adiputra M. Gz

LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PUSKESMAS NGAJUM KABUPATEN MALANG

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG

2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum, wr.wb.
Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
dengan judul “Skabies” tepat pada waktunya.
Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik madya
Public Health dan untuk menambah wawasan penulis tentang penatalaksanaan
Skabies. Penulis menyadari bahwa dalam laporan kasus ini masih jauh dari
sempurna. Kritik dan saran untuk penyempurnaan semoga telah ini dapat berguna
dan memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.
Wassalamualaikum wr.wb

Malang, 19 Maret 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Cover ........................................................................................................... i
Kata Pengantar ........................................................................................... ii
Daftar Isi...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 2
1.3 Tujuan ............................................................................................... 2
1.4 Manfaat ............................................................................................. 2
BAB II LAPORAN KASUS ..................................................................... 3
2.1 Rekam Medis Pasien ........................................................................ 3
2.1.1 Identitas Pasien ......................................................................... 3
2.1.2 Anamnesis................................................................................. 3
2.1.3 Anamnesis Sistem..................................................................... 5
2.1.4 Pemeriksaan Fisik ..................................................................... 5
2.1.5 Pemeriksaan Penunjang ............................................................ 8
2.1.6 Resume ..................................................................................... 8
2.1.7 Diagnosa Holistik ..................................................................... 9
2.1.8 Penatalaksanaan Dokter Keluarga ............................................ 10
2.2 Identifikasi Keluarga ........................................................................ 13
2.2.1 Data Demografis Keluarga ....................................................... 13
2.2.2 Genogram Keluarga .................................................................. 14
2.2.3 Pola Interaksi Keluarga............................................................. 14
2.2.4 Tahapan Keluarga ..................................................................... 15
2.2.5 Identifikasi Fungsi Keluarga..................................................... 16
2.2.6 Diagnosis Keluarga ................................................................... 24
2.3 Pengkajian Masalah Kesehatan ........................................................ 24
2.3.1 Identifikasi Masalah dan Pemecahannya .................................. 24
2.3.2 Mapping Penyelesaian Masalah Menggunakan Konsep
Mandala of Health .................................................................... 27
BAB III LAPORAN KEGIATAN EDUKASI KELUARGA ................ 28

iii
3.1 Deskripsi Kegiatan ........................................................................... 28
3.2 Pelaksanaan Kegiatan ....................................................................... 28
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 31
4.1 Definisi Skabies ................................................................................ 31
4.2 Epidemiologi Skabies ....................................................................... 31
4.3 Etiologi Skabies ................................................................................ 31
4.4 Gambaran Klinis............................................................................... 35
4.5 Diagnosa Skabies ............................................................................. 36
4.6 Diagnosa Banding Skabies ............................................................... 40
4.7 Pencegahan Skabies ......................................................................... 40
4.8 Pengobatan Skabies ......................................................................... 40
4.9 Komplikasi ....................................................................................... 41
BAB V PENUTUP ..................................................................................... 42
5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 42
5.2 Saran ................................................................................................. 42
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 43
LAMPIRAN ............................................................................................... 44

iv
LEMBAR PERSETUJUAN

v
vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Skabies atau dikenal juga dengan kudis, gudig, dan budug, adalah penyakit
kulit yang disebabkan oleh infeksi kutu Sarcoptes scabiei varietas hominis
(Sungkar, 2016). Skabies merupakan penyakit endemi dimasyarakat. Penyakit ini
banyak dijumpai pada anak dan remaja, namun dapat mengenai semua golongan
umur (Marsha et al, 2020).
Di Indonesia, skabies merupakan salah satu penyakit kulit tersering di
puskesmas. Pada tahun 2008, prevalensi skabies di seluruh puskesmas di Indonesia
adalah 5,6 - 12,9%, merupakan penyakit kulit terbanyak urutan ketiga (Sungkar,
2016).
Skabies menyebabkan ruam, serta gatal yang dapat menyebabkan gangguan
tidur dan kesulitan konsentrasi. Skabies merupakan predisposisi infeksi bakteri
superfisial pada kulit (terutama disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan
Streptococcus pyogenes), yang dapat menyebabkan komplikasi serius termasuk
infeksi kulit dan jaringan lunak, sepsis, glomerulonefritis, dan kemungkinan
demam rematik akut. Meskipun respon imun tidak sepenuhnya dipahami, infeksi
tidak memberikan respon imunitas dan perlindungan lengkap pada paparan lebih
lanjut (Engelman et al, 2020).
Skabies merupakan penyakit yang berkaitan dengan kebersihan diri. Angka
kejadian skabies meningkat pada kelompok masyarakat yang hidup dengan kondisi
kebersihan diri dan lingkungan di bawah standar. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit skabies. Kurangnya
pengetahuan tentang faktor penyebab dan bahaya penyakit skabies membuat
penyakit ini dianggap sebagai penyakit yang biasa saja karena tidak membahayakan
jiwa. Selain itu rendahnya pengetahuan masyarakat tentang cara penyebaran dan
pencegahan skabies menyebabkan angka kejadian skabies tinggi pada kelompok
masyarakat (Aminah et al, 2020).

1
Penegakan diagnosis penyakit ini dapat dilakukan melalui anamnesis, dan
pemeriksaan fisik. Tatalaksana yang tepat memberikan prognosis yang baik.
Pemberian edukasi juga merupakan aspek penting dalam penatalaksanaan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah pengaplikasikan pelayanan holistik dengan prinsip
pendekatan kedokteran keluarga pada kasus skabies?
2. Bagaimanakah diagnosa klinis dari kasus skabies?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengaplikasikan pelayanan holistik dengan prinsip
pendekatan kedokteran keluarga pada kasus skabies.
2. Mengetahui diagnosa klinis dari kasus skabies.
1.4 Manfaat
1. Mengetahui dan memahami pelaksanaan pelayanan holistik dengan
prinsip pendekatan kedokteran keluarga terhadap kasus skabies.
2. Melatih mahasiswa dalam penerapan praktik kedokteran keluarga

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Rekam Medis Pasien


2.1.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 36 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT / Freelance
Pendidikan : SD
Agama : Islam
Alamat : Dsn. Sukoyuwono, Ds. Palaan, Kec. Ngajum
Status Perkawinan : Menikah
Suku : Jawa
Tanggal periksa : 19 Maret 2021

2.1.2 Anamnesis
A. Keluhan Utama
Gatal-gatal
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli umum Puskesmas Ngajum dengan keluhan gatal gatal
diseluruh tubuh terutama pada punggung dan tangan di dahi sejak 2 minggu
yang lalu. Keluhan mulai muncul sejak kedua anak pasien pulang dari
pondok pesantren didaerah Ketapang 1 minggu sebelumnya. Kedua anak
pasien mengeluhkan demam, lesi pada punggung tangan berupa bintik berisi
air disertai gatal. Kemudian setelahnya pasien dan ketiga anggota keluarga
lainnya mendapati keluhan yang sama. Keluhan gatal memberat terutama
saat malam hari.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat penyakit serupa : disangkal.
- Riwayat gigi berlubang : disangkal.

3
- Riwayat sakit gula : disangkal
- Riwayat penyakit jantung : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat sakit kejang : disangkal
- Riwayat alergi obat : disangkal
- Riwayat alergi makanan : disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat penyakit serupa : Ya, keluhan serupa dikeluhkan oleh
4 anak pasien dan suami pasien.
- Riwayat sakit gula : disangkal
- Riwayat penyakit jantung : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat sakit kejang : disangkal
E. Riwayat Kebiasaan
- Riwayat merokok : disangkal
- Riwayat minum alkohol : disangkal
- Riwayat olahraga : jarang melakukan olahraga karena
waktu sehari-hari ia gunakan sebagai ibu rumah tangga dan
terkadang mendapat tabahan penghasilan dari membungkus krupuk.
- Kebersihan : mandi 2 kali sehari, memiliki
kebiasaan menggunakan handuk yang sama dg anggota keluarga
lainnya, pasien jarang mengganti seprai dan menjemur kasur.

F. Riwayat Sosial Ekonomi


Status ekonomi keluarga pasien termasuk golongan menengah ke bawah.
Suami pasien merupakan tulang punggung yang berkerja sebagai tukang
kebun. Hubungan dengan keluarga baik. Hubungan sosial dengan tetangga
dan lingkungan sekitar baik.

G. Riwayat Gizi

4
- Kualitas : Nasi, lauk pauk (tempe, tahu, ayam), sayur, minum
air putih secukupnya. Buah jarang.
- Kuantitas : ± 3 kali per hari
H. Riwayat Pengobatan
Seminggu yang lalu, pasien sempat membeli obat gatal di apotik (cetirizin),
namun keluhan tidak kunjung membaik, kemudian pasien memutuskan
untuk ke Puskesma

2.1.3 Anamnesis Sistem


1. Kulit: warna kulit kuning langsat, pucat (-), gatal (-), kulit kering (-)
2. Kepala: rambut hitam, sakit kepala (-)
3. Mata: pandangan mata berkunag-kunang (-), penglihatan kabur (-)
4. Hidung : tersumbat (-), mimisan (-)
5. Telinga: pendengaran berkurang (-), berdengung (-), keluar cairan (-)
6. Mulut: sariawan (-), mulut kering (-)
7. Gigi geligi: karies (+)
8. Tenggorokan: sakit menelan (-), serak (-)
9. Pernafasan: sesak nafas (-), batuk kering (-), batuk berdahak (-)
10. Kadiovaskuler: nyeri dada (-), berdebar-debar (-)
11. Gastrointestinal: mual (-), muntah (-), diare (-), nyeri perut (-)
12. Genitourinaria: BAK lancar, warna dan jumlah dalam batas normal
13. Neurologik: kejang (-), lumpuh (-), kesemutan dan rasa tebal (-)
14. Ekstremitas
- Atas kanan : bengkak (-), nyeri (-), luka (-), kaku (-)
- Atas kiri : bengkak (-), nyeri (-), luka (-), kaku (-)
- Bawah kanan: bengkak (-), nyeri (-), luka (-), kaku (-)
- Bawah kiri: bengkak (-), nyeri (-), luka (-), kaku (-)

2.1.4 Pemeriksaan Fisik


1. Keadaan Umum
a. Tampak sakit ringan
b. Kesadaran : Komposmentis

5
c. GCS : 456
d. Kesan : Gizi Cukup
2. Tanda Vital
a. Tensi : 100/70 mmHg
b. Nadi : 78 x/ menit
c. Pernafasan : 20 x/ menit
d. Suhu : 36,7 c
e. BB : 58 kg
f. TB : tidak diukur
g. BMI :-
3. Head to Toe
Kulit
Turgor baik, ikterik (-), sianosis (-), petechie (-), spider nevi (-), berkeringat (-).
Kepala
Bentuk mesocephal, luka (-), rambut tidak mudah dicabut, keriput (-),makula (-),
papula (-), nodula (-), kelainan mimik wajah / bells palsy (-), oedem (-), pucat (-)
Mata
Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-).
Mulut
Bibir pucat (-), bibir sianosis (-), gusi berdarah (-), typhoid tongue (-)
Telinga
Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-), pendengaran berkurang (-).
Tenggorokan
Tonsil membesar (-), faring hiperemis (-), tonsil T1/T1 hiperemi (-).
Leher
JVP tidak meningkat, trakea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran
kelenjar limfe (-), lesi pada kulit (-).
Thoraks
Normochest, simetris, pernapasan thoracoabdominal, retraksi (-), spider nevi (-),
pulsasi infrasternalis (-), sela iga melebar (-).

6
Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis ICS V midclavicular line sinistra
Perkusi : batas kiri atas : ICS II Linea Para Sternalis Sinistra
batas kanan atas : ICS II Linea Para Sternalis Dextra
batas kiri bawah : ICS V Midclavicular Line Sinistra
batas kanan bawah : ICS IV Linea Para Sternalis Dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I–II intensitas normal, regular, bising (-)
Pulmo
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Stem fremitus simetris kanan & kiri.
Perkusi : Sonor pada kedua paru di semua lapang paru.
Auskultasi : Suara tambahan (Ronchi (-/-), Wheezing (-/-), Vesikuler
semua lapang paru.
Abdomen
Inspeksi : Tidak ditemukan adanya kelainan
Palpasi : Soefl (+)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Ektremitas
Deformitas (-), akral hangat (+), akral pucat (-), edema pretibial (-)
4. Status Lokalis
Regio:
Corporis, manus dextra
Efloresensi:
Pada regio corporis didapatkan: papul dan vesikel eritematosa multipel, makula
hiperpigmentasi, bentuk bulat, batas tegas, ukuran 0,5 – 1 cm
Pada regio manus dextra didapatkan: papul, makula hiperpigmentasi, disertai
erosi bentuk bulat, batas tegas, ukuran 3-5 cm.

7
Gambar 2.1 Lesi pada daerah manus dextra (atas) dan corporis (bawah)

2.1.5 Pemeriksaan Penunjang


Tidak dilakukan

8
2.1.6 Resume
Ny. S 36 tahun keluhan gatal gatal diseluruh tubuh terutama pada punggung
dan tangan di dahi sejak 2 minggu yang lalu. Keluhan mulai muncul sejak kedua
anak pasien pulang dari pondok pesantren didaerah Ketapang 1 minggu
sebelumnya. Kedua anak pasien mengeluhkan demam, lesi pada punggung tangan
berupa bintik berisi air disertai gatal. Kemudian setelahnya pasien dan ketiga
anggota keluarga lainnya mendapati keluhan yang sama. Keluhan gatal memberat
terutama saat malam hari.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan Ny. S dalam keadaan sakit ringan,
kesadaran komposmentis, GCS 456. Tanda-tanda vital didapatkan tekanan darah
100/70 mmHg, nadi 78 x/menit, respiratory rate 20 x/menit. Pemeriksaan head to
toe dalam batas normal. Status lokalis pada regio corporis papul eritematosa
multipel, makula hiperpigmentasi, bentuk bulat, batas tegas, ukuran 0,5 – 1 cm

2.1.7 Diagnosa Holistik


1. Aspek Personal
- Keluhan utama:
Gatal pada seluruh tubuh dan tangan.
- Yang diharapkan pasien:
Keluhan dapat membaik dan tidak menganggu aktifitas sehari-hari.
- Yang dikhawatirkan pasien:
Keluhan semakin memberat dan meluas sehingga mengganggu aktifitas
sehari-hari dan dapat menular pada orang lain.
2. Aspek Klinis
- Diagnosa: Skabies
- Diagnosis Banding:
- Dermatitis contact
- Pioderma
- Insect bite reaction

3. Aspek Resiko Internal


a. Pengetahuan

9
Pengetahuan mengenai penyakit scabies mengenai penyebab, gejala, factor
resiko, dan pengoatan masih kurang
b. Perilaku
Kebiasaan seperti jarang mengganti sperei dan menggunakan handuk yang
sama dengan penyakit skabies dapat meningkatkan resiko tertular penyakit
tersebut. Penularan melalui kontak tidak langsung melalui perlengkapan
tidur, pakaian, atau handuk memegang peranan penting.
c. Higenitas Peseorangan
Hyegine perseorangan memegang peranan penting dalam pencegahan
penularan skabies. Hyegine perseorangan termasuk mandi dan memakai
pakaian yang bersih. Pasien juga jarang mengganti seperai, selain itu keluarga
pasien memiliki kebiasaan menggunakan handuk mandi secara bersamaan.

4. Aspek Resiko Eksternal dan Psikososial


a. Keluarga
Pengetahuan keluarga tentang sakit yang diderita masih kurang
b. Lingkungan
Pasien tinggal diperkampungan, dengan tingkat kebersihan yang masih
kurang, jarak rumah pasien dengan kandang sapi milik tetangga sekitar 3
meter. Kondisi rumah pasien kurang ventilasi terutama kamar yang
digunakan pasien dan keluarga
c. Masalah ekonomi keluarga
Suami pasien berkerja sebagai tukang kebun, pasien merupakan ibu rumah
tangga yang terkadang menambah penghasilan dengan membantu
membungkus kerupuk.

5. Derajat Fungsional
Mampu melakukan pekerjaan seperti sebelum sakit (Derajat 1)

2.1.8 Penatalaksanaan Dokter Keluarga


1. Tatalaksana Holistik
a. Aspek Personal

10
Memberikan edukasi bahwa penyakit yang diderita pasien bisa
disebabkan oleh tungau S. scabei serta menjelaskan mengenai faktor
resiko terjadinya penyakit tersebut. Memberikan edukasi pasien bahwa
keluhan tersering adalah gatal di malam hari disertai orang terdekat yang
mengalami keluhan serupa. Memberikan pengetahuan bahwa
pengetahuan bahwa penyakit ini dapat sembuh dengan menjaga
higenitas dari pasien dan penggunaan obat yang tepat.
b. Aspek Klinis
- Permetrin kim 5% 1x1 ue (dioleskan rata seluruh tubuh
selama 8-14 jam dan diulangi 7 hari jika masih ada keluhan)
- Klorfeniramin maleat (CTM) 1x4 mg p.c (diminum malam hari)
c. Aspek Resiko Internal
- Menjaga higenitas pasien dengan mandi 2x sehari menggunakan
sabun, tidak menggunakan barang secara bergantian seperti baju,
selimut, handuk, atau kasur.
- Mencuci pakaian atau barang yang dipakai oleh pasien dengan
menggunakan air panas atau jika barang yang tidak dapat dicuci
dapat dimasukkan ke dalam kantong plastik dan ditutup selama 72
jam.
d. Aspek Resiko Eksternal
- Memberikan edukasi untuk tidak menggunakan barang secara
bersamaan dalam keluarga.
- Edukasi dan motivasi mengenai pentingnya keluarga dan pengurus
pondok pesantren dalam keberhasilan pengobatan yntuk eradikasi
skabies.
- Menjemur kasur dan bantal minimal 2 minggu sekali dibawah sinar
matahari
- Menjaga lingkungan tempat tinggal agar tetap mendapat sinar
matahari yang cukup, tidak lembab, dan selalu dalam keadaan
bersih.
2. Tatalaksana Komprehensif
1. Promotif

11
- Edukasi pasien mengenai penyakit skabies
- Edukasi pasien mengenai PHBS
2. Preventif
- Meningkatkan higenitas perseorangan.
- Mengobati seluruh anggota keluarga yang ternfeksi skabies agar
memutus rantai penyebaran.
3. Kuratif
Diagnosis Ny. S adalah skabies sehingga diberikan terapi non
farmakologi dan farmakologi.
Non-farmakologi:
- Mandi dengan air hangat dan keringkan tubuh dengan handuk
- Pengobatan meliputi seluruh again dari kulit tanpa terkecuali
- Pengobata yang diberikan dioleskan di kulit dan sebaiknya malam
hari
- Hindari menyentuh mulut dan mata dengan tangan
- Jangan ulangi penggunaan skabisidal yang berlebihan dalam
seminggu walaupun muncuk keluhan.
Farmakologi:
- Permetrin kim 5% 1x1 u.e
- Klorfeniramin maleat (CTM) 3x4 mg p.c
4. Rehabilitatif
Mengikuti aturan dokter dan kontrol rutin 1 minggu setelah
menggunakan obat.
3. Tatalaksana Berkesinambungan
Melakukan follow-up 1 minggu terhadap pasien untuk menilai
perkembangan proses penyembuhan. Apabila masih terdapat keluhan
pengobatan dapat diulang.
4. Tatalaksana Integratif
Dalam penanganan pasien diperlukan kerjasama yang baik antara dokter
umum, spesialis kulit dan kelamin, keluarga, untuk menangani kondisi
pasien.
2.1.9 Prognosis

12
Prognosis kondisi Ny. S tergantung dari aspek higenitas pasien dan tingkat
kepatuhan serta upaya pencegahan dan pengobatan penyakit. Keluarga Ny. S
termasuk keluarga yang peduli dengan kesehatan sehingga prognosisnya adalah

Ad vitam : Dubia ad bonam


Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

2.2 Identifikasi Keluarga


2.2.1 Data Demografis Keluarga
Tabel 2.1 Daftar Anggota Keluarga yang Tinggal dalam Satu Rumah
Pasien
No Nama Status L/P Umur Pendidikan Pekerjaan Ket
Lapsus

1. Tn. A Menikah L 42 th SD Tukang Kebun Tidak Skabies


2. Ny. S Menikah P 36 th SD IRT Ya Skabies
Belum
3. An. 1 L 16 th SMA Pelajar Tidak Skabies
menikah
Belum
4. An. 2 L 13 th SMP Pelajar Tidak Skabies
menikah
Belum
5. An. 3 L 9 th SD Pelajar Tidak Skabies
menikah
Belum
6. An. 4 L 6 th SD Pelajar Tidak Skabies
menikah

2.2.2 Genogram Keluarga


Bentuk keluarga: Nuclear Family
Adalah keluarga inti yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak yang
tinggal dalam satu rumah ditetapkan oleh saksi-saksi legal
dalam suatu ikatan perkawinan, satu atau keduanya dapat
bekerja di luar rumah.

13
Gambar 2.2 Genogram keluarga Ny. S

Keterangan :
Menderita psoriasis vulgaris
Pasien
Meninggal dunia
Tinggal serumah
2.2.3 Pola Interaksi Keluarga

Tn.A

Ny.S An.1

An.4 An.2

An.3

Gambar 2.3 Pola Interaksi Keluarga Ny. S

14
Keterangan: Berhubungan baik
Hubungan antara Ny. S dengan keluarganya cukup baik. Dalam
keluarga ini jarang terjadi konflik atau hubungan buruk antar
anggota keluarga.

Kesimpulan : Interaksi antar anggota keluarga adalah baik.

2.2.4 Tahapan Keluarga


Perkembangan keluarga adalah proses perubahan dari sistem keluarga yang
terjadi dari waktu ke waktu meliputi perubahan interaksi dan hubungan diantara
keluarga dari waktu ke waktu. Keluarga Ny. S termasuk dalam tahap kelima
keluarga dengan anak remaja (families with teenagers). Tahap ini dimulai pada saat
anak pertama melewati umur 13 tahun dan berlangsung 6-7 tahun.. Tujuan utama
pada tahap ini adalah melonggarkan ikatan yang memungkinkan tanggung jawab
dan kebebasan yang lebih optimal bagi remaja untuk menjadi dewasa muda. Tugas
perkembangan keluarga pada tahap ini adalah:
a. Menyeimbangkan kebebasan dengan tanggung jawab ketika remaja
menjadi dewasa dan semakit mandiri
b. Memfokuskan hubungan perkawinan
c. Berkomunikasi secara terbuka antara ortu dengan anak-anak
Masalah kesehatan yang mungkin terjadi pada keluarga ditahapan ini antara lain:
a. Masalah kesehatan fisik keluarga biasanya baik, namun promosi
kesehatan tetap perlu diberikan
b. Perhatian pada gaya hidup keluarga yang sehat, seperti penyakit
coroner pada orang tua
c. Pada remaja, kecelakaan, penggunaan narkotika, alcohol, mulai
menggunkan rokok sebagai alat pergaulan, kehamilan diluar nikah
d. Konseling dan pendidikan tentang sex education menjadi sangat
penting
e. Terdapat beda persepsi antara orang tua dengan remaja tentang sex
education
f. Persepsi remaja tentang sex education: uji kemalihan, AIDS, alat n
kontrasepsi dan aborsi

15
2.2.5 Identifikasi Fungsi Keluarga
A. Fungsi Biologis
Ny. S didiagnosa dengan Skabies. Bukan penyakit herediter yang menurun,.
B. Fungsi Psikologis
Hubungan interaksi antar anggota keluarga baik. Jika pasien memiliki keluhan,
pasien dapat mengutarakan langsung ke anggota keluarganya. Keluarga juga
berespon baik terhadap permasalahan pasien dengan cara berusaha memberi
solusi sehingga masalah dapat terpecahkan bersama-sama.
C. Fungsi Sosio-ekonomi
- Baik pasien maupun anggota keluarganya memiliki hubungan yang baik
dengan tetangga, teman kerja, teman sekolah, maupun lingkungan sekitar.
Sebelum adanya pandemi, mereka aktif dalam kegiatan sosial desa dan sering
berinteraksi dengan tetangga sekitar. Saat pandemi, aktivitas sosial
berkurang, dan lebih menggunakan sosial media untuk saling berinteraksi.
- Pasien dan keluarganya dapat memenuhi kebutuhan sehari-sehari seperti
pangan, sandang, papan, serta kebutuhan tambahan lain. Apabila memiliki
masalah kesehatan/sakit, saat ini keluarga pasien baru saja mengurus
kepesertaan BPJS.
D. Fungsi Fisiologis
Fungsi fisiologi keluarga dapat diukur dengan menggunakan APGAR score.

16
Tabel 2.2 APGAR score Ny. S
Sering/ Kadang- Jarang/
APGAR Ny. S Terhadap Keluarga
selalu kadang Tidak
Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga
saya bila saya menghadapi masalah
Saya puas dengan cara keluarga saya membahas
dan membagi masalah dengan saya
Saya puas dengan cara keluarga saya menerima
dan mendukung keinginan saya untuk
melakukan kegiatan baru atau arah hidup yang
baru
Saya puas dengan cara keluarga saya
mengekspresikan kasih sayangnya dan merespon
emosi saya seperti kemarahan, perhatian dll

Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya


membagi waktu bersama-sama
Skor 10

Tabel 2.3 APGAR score Tn. A


Sering/ Kadang- Jarang/
APGAR Tn. A Terhadap Keluarga
selalu kadang Tidak
Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga
saya bila saya menghadapi masalah
Saya puas dengan cara keluarga saya membahas
dan membagi masalah dengan saya
Saya puas dengan cara keluarga saya menerima
dan mendukung keinginan saya untuk
melakukan kegiatan baru atau arah hidup yang
baru
Saya puas dengan cara keluarga saya
mengekspresikan kasih sayangnya dan merespon
emosi saya seperti kemarahan, perhatian dll

Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya


membagi waktu bersama-sama
Skor 10

Keterangan:
0 : jarang/tidak sama sekali

17
1 : kadang-kadang
2 : sering/selalu
Pola interaksi keluarga seharusnya ditinjau dari semua anggota keluarga inti
pada Ny. S. Namun karena kesulitan untuk mengumpulakan semua anggota
keluarga, maka data yang didapat menjadi kurang.

Kategori penilaian (total skor):


• Kurang = < 5
• Cukup = 6 – 7
• Baik = 8 - 10

APGAR score keluarga Ny. S =


(10 + 10 ) : 2 = 10
Kesimpulan: Fungsi fisiologis keluarga Ny. S dalam kategori baik.
Menandakan bahwa komunikasi, pemecahan masalah bersama, dan rasa saling
peduli antar anggota keluarga Ny. S baik.

E. Fungsi Patologis
Fungsi patologis keluarga dapat diukur dengan menggunakan SCREEM score
dengan rincian sebagai berikut:
a. Social
Skor 1 = bila interaksi dengan tetangga tidak berjalan baik dan bermasalah
Skor 0 = bila interaksi dengan tetangga berjalan dengan baik dan tidak ada
masalah
b. Culture
Skor 1 = bila tidak ada kepuasan terhadap budayanya, tata krama dan sopan
santun tidak terlalu diperhatikan
Skor 0 = bila ada kepuasan terhadap budayanya, masih memperhatikan tata
krama dan sopan santun
c. Religious
Skor 1 = bila tidak taat menjalankan ibadah sesuai ajaran agamanya
Skor 0 = bila taat menjalankan ibadah sesuai ajaran agamanya
d. Economy
Skor 1 = bila status ekonomi rendah, kepala keluarga dan atau anggota
keluarga tidak berpenghasilan

18
Skor 0 = bila status ekonomi sedang-lebih, kepala keluarga dan atau anggota
keluarga berpenghasilan
e. Education
Skor 1 = bila tingkat pendidikan anggota keluarga rendah
Skor 0 = bila tingkat pendidikan anggota keluarga cukup-tinggi
f. Medical
Skor 1 = bila anggota keluarga tidak mendapatkan layanan kesehatan yang
memadai
Skor 0 = bila anggota keluarga mendapatkan layanan kesehatan yang
memadai
Jika skor < 3 berarti fungsi patologis baik, dan jika ≥ 3 maka fungsi patologis
kurang. Berikut hasil dari SCREEM score keluarga Ny. S:

Tabel 2.4 SCREEM score keluarga Ny. S


SUMBER PATHOLOGY SKOR
Social Keluarga ini aktif berinteraksi sosial dengan
0
lingkungan sekitarnya.
Cultural Keluarga ini berasal dari suku Jawa. Keluarga ini
memberikan respon yang baik terhadap budaya, tata 0
krama, dan perhatian terhadap sopan santun.
Religius Keluarga ini menganut agama Islam, dan cukup taat
beribadah sesuai agama yang dianutnya. 0

Economy Ekonomi keluarga ini termasuk cukup, pendapatan dari


pekerjaan orang tua sudah mencukupi kebutuhan sehari-
0
hari. Terlebih, pasien sekarang selain kuliah, juga
memiliki pekerjaan sampingan.
Education Tingkat pendidikan pada keluarga ini rata-rata cukup
sampai tinggi, walaupun terdapat 1 anggota yang tingkat 1
pendidikannya rendah.
Medical Pasien memiliki BPJS dan ketika mengalami masalah
kesehatan dalam keluarga lansung menuju ke sarana
kesehatan untuk memeriksakan keluarga yang sakit. 0
Hanya terkadang mencoba membeli obat sendiri ke
apotek.

SCREEM score keluarga Ny. S =


0+0+0+0+1+0=1
Kesimpulan: Fungsi patologis keluarga Ny. S dalam kategori baik.

19
F. Fungsi Hubungan Antar Manusia
Dapat dilihat pada subbab Pola Interaksi Keluarga.
G. Fungsi Keturunan
Dapat dilihat pada subbab Genogram Keluarga.
H. Fungsi Perilaku
1. Pengetahuan
- Pasien dan keluarga memiliki pengetahuan yang masih kurang tentang
PHBS.
- Pasien dan anggota keluarga memiliki pengetahuan yang kurang tentang
penyakit Ny. S. Keluarga kurang paham mengenai penyebab, faktor yang
memperberat atau memperingan kondisi penyakit, tujuan pengobatan dan
efek apabila tidak rutin berobat.
2. Sikap
- Keluarga peduli terhadap penyakit pasien. Sehingga ketika keluhan dirasa
mengganggu, keluarga segera mengurus BPJS dan membawa pasien
berobat.
3. Tindakan
- Tindakan pasien dan keluarga sehari-hari kurang mencerminkan PHBS.
- Pasien menuju ke pelayanan kesehatan untuk memeriksakan terkait
keluhannya karena keluhan tidak membaik dengan mengkonsumsi obat
gatal.
I. Fungsi Non Perilaku
 Dipandang dari segi ekonomi, keluarga ini termasuk keluarga menengah
 Keluarga sudah menjadi anggota BPJS, sehingga segera berobat apabila
keluhan sudah dirasakan mengganggu aktifitas.
 Jarak antara rumah dengan pelayanan kesehatan puskesmas dekat dengan
estimasi waktu 5 menit san jarak anatara rumah dengan klinik terdekat 1
menit sehingga dapat dijangkau dengan kendaraan bermotor maupun
berjalan kaki.
 Rumah yang dihuni keluarga ini kurang bersih. Kekurangan terletak pada dapur
yang terlihat kotor

20
Pemahaman: Keluarga Lingkungan :
kurang memahami
Rumah kurang bersih
penyakit penderita

Sikap: Pembiayan :
Keluarga Ny. S
Keluarga peduli BPJS
terhadap penyakit
penderita Pelayanan Kesehatan :
Tindakan: Berobat karna gatal
menganggu terutama
Keluarga peduli dan
saat malam hari
berobat ke puskesmas

Gambar 2.4. Faktor perilaku dan non perilaku

J. Fungsi Indoor
Komponen Rumah
1. Ukuran Rumah
Ukuran rumah Ny. S adalah 12x10 m = 120 m2, yang terdiri dari 1 lantai
dan memiliki 2 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1 ruang ruang TV, 1 kamar
mandi, 1 dapur + tempat menjemur pakaian, dan 1 gudang. Menurut Badan
Standar Nasional Indonesia (2004), standar rumah sehat adalah ketika tiap
1 orang dalam rumah memiliki ruang gerak minimal 9 m2. Dengan
demikian, luas rumah keluarga Ny. S tergolong memenuhi standar karena
berukuran 120 m2 dan diisi 6 orang anggota keluarga.
2. Langit – Langit
Langit – langit rumah tidak terpasang plafon sehingga tidak mencegah
pertebaran debu dari atap yang dapat mengganggu pernafasan atau
mencemari makanan apabila tidak ditutup sehingga dapat menimbulkan
gangguan sistem pencernaan, serta mudah dibersihkan.
3. Lantai
Lantai rumah terbuat dari semen. Berdasarkan persyaratan rumah sehat dari
Kemenkes, lantai rumah Ny. S sudah memenuhi syarat rumah sehat yaitu
tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak becek pada musim hujan
(kedap air), serta mudah dibersihkan.
4. Dinding

21
Dinding rumah dalam bentuk tembok, di cat, dan kedap air, sehingga
termasuk kriteria rumah sehat.
5. Ventilasi
Ventilasi di seluruh bagian rumah masih kurang, karena ventilasi hanya
terdapat di ruang tamu (jendela besar dan beberapa ventilasi kecil, sehingga
sirkulasi udara yang keluar-masuk masih kurang dan ruangan mudah
lembab.
6. Lubang asap dapur
Ruang dapur tidak dilengkapi sarana pembuangan asap,
7. Pencahayaan
Pencahayaan alam masih kurang karena sinar matahari hanya dapat masuk
ke dalam rumah melalui dari sisi depan rumah. Pencahayaan buatan sudah
cukup karena terdapat lampu di setiap ruangan yang tidak redup namun
tidak menyilaukan.
8. Sirkulasi udara
Sirkulasi udara kurang karena tidak semua ruangan memiliki ventilasi
udara.
9. Kepadatan penghuni
Rumah tersebut ditinggali oleh 5 orang. Kepadatan penghuni rumah dapat
dikatakan cukup karena menurut standar Badan Standar Nasional Indonesia
(2004) bahwa standar rumah layak dengan luas 9 m2 perorang sehingga
terhitung cukup untuk 5 orang.
Sarana Sanitasi
1. Sumber air bersih
Sumber air bersih yang digunakan Ny. S adalah dari sumber mata air.
2. Jamban
Posisi jamban gabung dengan bangunan rumah utama (di dalam rumah)
dengan kondisi yang kurang bersih, lantai tanah. Sedangkan untuk posisi
septic tank berada ± 5 meter dari jamban, namun berada di dalam bangunan
rumah. Hal ini beresiko menimbulkan masalah kesehatan seperti penularan
penyakit ataupun mencemari lingkungan akibat bau.
3. Pengelolaan sampah dan limbah

22
Sampah dikumpulkan di dalam tempat sampah di depan rumah dan diambil
oleh petugas kebersihan.
Berikut denah rumah keluarga Ny. S.

Gambar 2.5 Denah Rumah Keluarga Tn. RDF

K. Fungsi Outdoor
 Jarak antara rumah dengan jalan raya dan tingkat kebisingan
Posisi rumah Ny. S jauh dengan jalan raya, yaitu sekitar 5 kilometer,
sehingga keluarga Ny. S tidak sering mendengar dan merasakan kebisingan
yang ditimbulkan oleh kendaraan yang lewat. Hal ini tidak akan berdampak
buruk ke kesehatan telinga dan psikologis seperti stress akibat tingkat
kebisingan tinggi.
 Jarak antara rumah dengan tempat pembuangan sampah umum

23
Jarak rumah dengan tempat pembuangan sampah umum sangat dekat,
sehingga menjadikan keluarga Ny. S dapat mudah terkena penyakit akibat
vektor penyakit dari sampah, bau sampah, dan sampah itu sendiri.
 Jarak antara rumah dengan sungai
Posisi rumah Ny. S jauh dengan sungai, yaitu sekitar 100 meter. Hal ini
memberikan efek negatif karena dapat mudah terkena pencemaran
lingkungan di sekitar sungai seperti diare.

1.2.6 Diagnosis Keluarga


a. Bentuk keluarga:
Nuclear Family
b. Siklus keluarga:
Tahap 5 yaitu keluarga dengan anak remaja (Family With Teenagers)
c. Disfungsi keluarga:
Tidak ditemukan
d. Faktor resiko internal:
Tiap anggota keluarga memiliki kegiatan masing-masing sehari-harinya,
sehingga jarang menyediakan waktu khusus untuk berolahraga secara rutin.
Selain itu, adanya salah satu anggota keluarga yang merokok dapat
menyebabkan permasalahan kesehatan pada anggota keluarga lainnya dan Ny. S
e. Faktor resiko eksternal keluarga:
Tidak ditemukan.

2.3 Pengkajian Masalah Kesehatan


2.3.1 Identifikasi Potensi Masalah Kesehatan Keluarga dan Pemecahan
Permasalahannya
Secara umum potensi masalah keluarga yang mungkin terjadi adalah karena
psikologis pasien dan faktor lingkungan. Sehingga pemecahan permasalahannya
adalah dengan penatalaksanaan kedokteran keluarga yang meliputi
penatalaksanaan holistik, komprehensif, berkesinambungan, dan integratif.

Secara holistik dokter dapat menjembatani persepsi pasien bahwa keluhan yang
di alami oleh pasien sekarang bisa disebabkan karena berbagai macam faktor seperti

24
usia, jenis kelamin, genetik, berat badan, gaya hidup, faktor lingkungan, dan
beberapa faktor lain yang kemungkinan dapat saling berkolaborasi mencetuskan
keluhan tersebut. Oleh karena itu pola hidup harus lebih diperhatikan lagi, seperti
pola makan, aktivitas, olahraga, serta lingkungan.

Selain itu juga dibutuhkan pelayanan komprehensif yang terdiri dari promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Penatalaksanaan promotifnya dengan cara
memberikan edukasi dan KIE mengenai permasalahan kesehatan yang mungkin
muncul dalam keluarga. Potensi permasalahan dan pemecahan permasalahan pada
keluarga ini antara lain:

1. Ny. S tertular oleh kedua anak pasien yang tinggal dipesantren sehingga kurang
mendapatkan perhatian tentang kebersihan dan kesehatan seperti saat berada di
rumah, serta kebiasaan pasien dan keluarga pasien jarang menganti seperai
menggunakan 1 handuk untuk bersama.
Solusi pemecahan masalah:
Menganjurkan Ny. S agar segera menghubungi pengasuh pondok pesantren
jika terdapat keluhan kesehatan agar segera ditindak lanjuti. Mengedukasi Ny.
S dan keluarga mengenai hiegiyne perseorangan dan PHBS agar terhindar dari
penyakit saat berada di pondok pesantren dan di Rumah.
2. Resiko gangguan kebisingan dan resiko gangguan karena posisi rumah yang
dekat dengan kandang sapi.
Solusi pemecahan masalah:
Menganjurkan pasien dan keluarga tetap menjaga kebersihan rumah, serta
berkoordinasi dengan tetangga untuk menjaga kebersihan kandang
3. Resiko gangguan kesehatan dan resiko banjir dan longsor akibat rumah yang
dekat dengan sungai.
Solusi pemecahan masalah:
Tidak menggunaka air yang berasal dari sungai sehingga resiko terinfeksi
kuman akibat air sungai rendah. Membuat plengseran didekat sungai agar tidak
terjadi resiko longsor.
Selanjutnya untuk preventifnya dengan cara mengajak keluarga untuk
meningkatkan kebersihan rumah dan lingkungan, higenitas perseorangan, gizi dan

25
ativitas fisik. Untuk kuratifnya dengan cara pemberian terapi terhadap pasien sesuai
dengan keluhannya.
Dokter juga harus terus memantau kesehatan pasien dan keluarganya dengan
melakukan home visit dan tetap berkomunikasi terus menerus. Jika diperlukan
untuk melakukan rujukan, dokter harus dapat menjadi koordinator pengobatan
dengan cara merujuk ke dokter spesialis sesuai dengan kebutuhan pasien

26
2.3.2 Mapping Penyelesaian Masalah Menggunakan Konsep Mandala Of Health

29
27
BAB III
LAPORAN KEGIATAN EDUKASI KELUARGA

3.1 Deskripsi Kegiatan


Tujuan:
Edukasi diberikan pada pasien untuk meningkatkan pemahaman pasien tentang
penyakit Skabies dan pengelolaan yang dapat dilakukan dalam pencegahan
terinfeksi kembali, serta pengobatan.
Sasaran:
Ny. S dan keluarga Ny. S.
Bentuk Pelaksanaan:
 Tahap Persiapan
Menyiapkan materi yaitu tentang penyakit Skabies meliputi apakah itu
skabies, bagaimana gejala umumnya, penyebab, faktor resiko dan faktor
pemicu kambuhnya skabies, serta pola hidup yang dianjurkan untuk
pencegahan terinfeksi kembali.
 Tahap Pelaksanaan
Penyampaian materi edukasi disampaikan langsung secara lisan kepada Ny.
S beserta keluarga.
 Tahap Evaluasi
Saat pemberian materi penyuluhan maupun saat berdiskusi, Ny. S dan
keluarga terlihat antusias dan aktif menanyakan beberapa hal yang
berhubungan dengan materi penyuluhan, karena Ny. S tidak ingin
penyakitnya menjadi lebih parah dan mengganggu penampilan. Setelah
ditanya kembali mengenai informasi yang diberikan, Ny. S dan keluarganya
dapat menjawab dengan benar.
3.2 Pelaksanaan Kegiatan
Tempat : Rumah Ny. S
Tanggal : 8 April 2021
Waktu : Pukul 16.00-17.20 WIB
Bentuk Kegiatan : Penyuluhan tentang pengelolaan penyakit Skabies

28
Gambar 3.1 Pemaparan Edukasi Tentang Skabies

Gambar 3.2 Leaflet Skabies (Halaman Luar)

29
Gambar 3.3 Leaflet Skabies (Halaman Dalam)

30
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Definisi Skabies


Skabies atau dikenal juga dengan kudis, gudig, dan budug, adalah penyakit
kulit yang disebabkan oleh infeksi kutu Sarcoptes scabiei varietas hominis
(Sungkar, 2016). Skabies merupakan penyakit endemi dimasyarakat. Penyakit ini
banyak dijumpai pada anak dan remaja, namun dapat mengenai semua golongan
umur (Marsha et al, 2020).

4.2 Epidemiologi
Di Indonesia, skabies merupakan salah satu penyakit kulit tersering di
puskesmas. Pada tahun 2008, prevalensi skabies di seluruh puskesmas di Indonesia
adalah 5,6 - 12,9%, merupakan penyakit kulit terbanyak urutan ketiga(Sungkar,
2016). Beberapa faktor yang berpengaruh pada prevalensi skabies antara lain
keterbatasan air bersih, perilaku kebersihan yang buruk, dan kepadatan penghuni
rumah(Marsha et al, 2020). Dengan tingginya kepadatan penghuni rumah, interaksi
dan kontak fisik erat yang akan memudahkan penularan skabies, oleh karena itu
penyakit ini banyak terdapat di asrama, panti asuhan, pondok pesantren, dan
pengungsian (Marsha et al, 2020).

4.3 Etiologi

Gambar 4.1 Sarcoptes scabei betina gravid dengan telur berwarna abu abu dan fecal
pallete

31
Sarcoptes scabiei varietas hominis adalah parasit yang termasuk kelas
Arachnida, subkelas Acarina, ordo Astigmata, dan famili Sarcoptidae. Selain
varietas hominis, S. Scabiei juga mempunyai varietas hewan, namun tidak menular,
hanya menimbulkan dermatitis sementara serta tidak dapat melanjutkan siklus
hidupnya pada manusia (Sungkar, 2016).

Gambar 4.2 Siklus Hidup S.scabei

Siklus hidup S. scabiei terdiri tadi telur, larva, nimfa, dan tungau dewasa.
Infestasi dimulai ketika tungau betina gravid berpindah dari penderita skabies ke
orang sehat. Tungau betina dewasa akan berjalan di permukaan kulit untuk mencari
daerah untuk digali; lalu melekatkan dirinya di permukaan kulit menggunakan
ambulakral dan membuat lubang di kulit dengan menggigitnya. Tungau akan
menggali terowongan sempit dan masuk ke dalam kulit; penggalian biasanya
malam hari sambil bertelur atau mengeluarkan feses. Tungau betina hidup selama

32
30-60 hari di dalam terowongan dan selama itu tungau tersebut terus memperluas
terowongannya (Sungkar, 2016).
S. scabiei mengalami empat tahapan dalam siklus hidupnya: telur, larva,
nimfa dan dewasa. Betina menyimpan 2-3 telur per hari saat mereka bersembunyi
di bawah kulit. Telur berbentuk oval dan panjang 0,10 sampai 0,15 mm dan menetas
dalam 3 sampai 4 hari. Setelah telur menetas, larva bermigrasi ke permukaan kulit
dan menggali ke dalam stratum korneum utuh untuk membangun liang pendek yang
hampir tak terlihat yang disebut molting pouches (CDC, 2021)

Tahap larva, yang muncul dari telur, hanya memiliki 3 pasang kaki dan
berlangsung sekitar 3 hingga 4 hari. Setelah larva berganti kulit, nimfa yang
dihasilkan memiliki 4 pasang kaki Jumlah 4. Bentuk ini berganti kulit menjadi
nimfa yang sedikit lebih besar sebelum berganti kulit menjadi nimfa dewasa. Larva
dan nimfa mungkin sering ditemukan di kantung ganti kulit atau di folikel rambut
dan terlihat mirip dengan orang dewasa, hanya saja lebih kecil. Kutu dewasa
berbentuk bulat, seperti kantung tanpa mata. Betina memiliki panjang 0,30 hingga
0,45 mm dan lebar 0,25 hingga 0,35 mm, dan jantan berukuran sedikit lebih dari
setengahnya. Perkawinan terjadi setelah jantan aktif menembus molting pouches
betina dewasa. Perkawinan terjadi hanya sekali dan membuat betina subur selama
sisa hidupnya. Betina yang hamil meninggalkan molting pouches mereka dan
berkeliaran di permukaan kulit sampai mereka menemukan tempat yang cocok
untuk liang permanen. Saat berada di permukaan kulit, tungau menahan kulit
menggunakan pulvilli seperti pengisap yang dipasang pada dua pasang kaki paling
anterior. Ketika tungau betina menemukan lokasi yang cocok, ia mulai membuat
liang yang khas, bertelur dalam prosesnya. Setelah liang betina yang dibuahi masuk
ke dalam kulit, dia tetap di sana dan terus memperpanjang liangnya dan bertelur
selama sisa hidupnya (1-2 bulan). Di bawah kondisi yang paling menguntungkan,
sekitar 10% telurnya akhirnya melahirkan tungau dewasa (CDC, 2021)

4.4 Klasifikasi
Terdapat beberapa bentuk skabies atipik yang jarang ditemukan dan sulit
dikenal, sehingga dapat menimbulkan kesalahan diagnosis. Beberapa bentuk
tersebut antara lain (Harahap, 2000):

33
a. Skabies pada Orang Bersih (Scabies of Cultivated).
Bentuk ini ditandai dengan lesi berupa papul dan terowongan yang sedikit
jumlahnya sehingga sangat sukar ditemukan.
b. Skabies Incognito.
Bentuk ini timbul pada skabies yang diobati dengan kortikosteroid sehingga
gejala dan tanda klinis membaik, tetapi tungau tetap ada dan penularan masih bisa
terjadi. Skabies incognito sering juga menunjukkan gejala klinis yang tidak biasa,
distribusi atipik, lesi luas dan mirip penyakit lain.
c. Skabies Nodular
Pada bentuk ini lesi berupa nodus coklat kemerahan yang gatal. Nodus
biasanya terdapat didaerah tertutup, terutama pada genitalia laki-laki, inguinal dan
aksila. Nodus ini timbul sebagai reaksi hipersensetivitas terhadap tungau skabies.
Pada nodus yang berumur lebih dari satu bulan tungau jarang ditemukan. Nodus
mungkin dapat menetap selama beberapa bulan sampai satu tahun meskipun telah
diberi pengobatan anti skabies dan kortikosteroid.
d. Skabies yang Ditularkan Melalui Hewan.
Di Amerika, sumber utama skabies adalah anjing. Kelainan ini berbeda
dengan skabies manusia yaitu tidak terdapat terowongan, tidak menyerang sela jari
dan genitalia eksterna. Lesi biasanya terdapat pada daerah dimana orang sering
kontak/memeluk binatang kesayangannya yaitu paha, perut, dada dan lengan. Masa
inkubasi lebih pendek dan transmisi lebih mudah. Kelainan ini bersifat sementara
(4–8 minggu) dan dapat sembuh sendiri karena S. scabiei var. binatang tidak dapat
melanjutkan siklus hidupnya pada manusia.
e. Skabies Norwegia.
Skabies Norwegia atau skabies krustosa ditandai oleh lesi yang luas dengan
krusta, skuama generalisata dan hyperkeratosis yang tebal. Tempat predileksi
biasanya kulit kepala yang berambut, telinga bokong, siku, lutut, telapak tangan dan
kaki yang dapat disertai distrofi kuku. Berbeda dengan skabies biasa, rasa gatal
pada penderita skabies Norwegia tidak menonjol tetapi bentuk ini sangat menular
karena jumlah tungau yang menginfestasi sangat banyak (ribuan). Skabies
Norwegia terjadi akibat defisiensi imunologik sehingga sistem imun tubuh gagal
membatasi proliferasi tungau dapat berkembang biak dengan mudah.

34
f. Skabies Pada Bayi dan Anak.
Lesi skabies pada anak dapat mengenai seluruh tubuh, termasuk seluruh
kepala, leher, telapak tangan, telapak kaki, dan sering terjadi infeksi sekunder
berupa impetigo, ektima sehingga terowongan jarang ditemukan, sedangkan pada
bayi lesi di muka sering terjadi.
g. Skabies Terbaring di Tempat Tidur (Bed Ridden).
Penderita penyakit kronis dan orang tua yang terpaksa harus tinggal ditempat
tidur dapat menderita skabies yang lesinya terbatas.

4.5 Gambaran Klinis


Gejala klinis pada infeksi kulit akibat skabies disebabkan oleh respons
alergi tubuh terhadap tungau (Hardy etal, 2017). Setelah tungau melakukan
kopulasi (perkawinan) di atas kulit, tungau jantan akan mati dan tungau betina akan
menggali terowongan dalam stratum korneum sambil meletakkan sebanyak 2
hingga 50 telur (Djuanda,2015). Aktivitas S. scabiei di dalam kulit akan
menimbulkan rasa gatal yang umumnya mulai timbul 4-6 minggu setelah infestasi
pertama; bila terjadi re-infestasi tungau, gejala dapat muncul lebih cepat dalam 2
hari (Burkhart,2012). Rasa gatal biasa memburuk pada malam hari disebabkan
aktivitas tungau lebih tinggi pada suhu lebih lembap dan panas (Djuanda,2015).
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan kelainan kulit menyerupai dermatitis,
yaitu lesi papul, vesikel, urtika, dan bila digaruk timbul lesi sekunder berupa erosi,
eksoriasi, dan krusta (Djuanda,2015). Dapat ditemukan lesi khas berupa
terowongan (kunikulus) putih atau keabu-abuan berupa garis lurus atau berkelok,
panjang 1-10 mm di tempat predileksi (Djuanda,2015). Kunikulus umumnya sulit
ditemukan karena pasien biasa menggaruk lesi, sehingga berubah menjadi
ekskoriasi luas (Burkhart,2012). Pada dewasa, umumnya tidak terdapat lesi di area
kepala dan leher; tetapi pada bayi, lansia, dan pasien imunokompromais dapat
menyerang seluruh permukaan tubuh (Hardy etal, 2017).
Pada varian skabies berkrusta (Skabies Norwegia), ditemukan lesi kulit
berupa plak hiperkeratotik di tangan dan kaki, kuku jari tangan dan kaki distrofik,
serta skuama generalisata. Pada kasus berat dapat ditemukan lesi fisura dalam.

35
Berbeda dari varian skabies umumnya, skabies berkrusta dapat tidak
gatal(Djuanda,2015).
Rasa gatal dapat memberi dampak nyata karena mengganggu tidur yang
dapat berdampak pada aktivitas sekolah dan kerja. Pasien penderita infeksi skabies,
juga lebih mudah mengalami infeksi sekunder bakteri (Hardy etal, 2017).

Gambar 4.3. Skabies: Terowongan (kunikulus) pada sela jari. Papul dan terowongan
terdapat pada sela-sela jari tangan. Terowongan berwarna putih, berupa garis lurus, dengan
vesikel atau papul di ujung terowongan

Gambar 4.4. Skabies: Papul dan kunikulus pada area lateral punggung tangan.

4.5 Diagnosis
Diagnosis skabies dapat ditegakkan dengan adanya 2 dari 4 tanda kardinal
(tanda utama), yaitu (Djuanda,2015):
1. Gejala gatal pada malam hari (pruritus nokturna), disebabkan aktivitas
tungau skabies yang lebih tinggi pada suhu lebih lembap dan panas.

36
2. Gejala yang sama pada satu kelompok manusia. Penyakit ini menyerang
sekelompok orang yang tinggal berdekatan, seperti sebuah keluarga,
perkampungan, panti asuhan, atau pondok pesantren.
3. Terbentuknya terowongan atau kunikulus di tempat-tempat predileksi,
terowongan berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjangnya 2
cm, putih atau keabu-abuan. Predileksi di bagian stratum korenum yang
tipis, yaitu: sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku
bagian luar, lipat ketiak bagian depan, umbilikus, bokong, perut bagian
bawah, areola mammae pada wanita dan genitalia eksterna pada laki-laki.
4. Ditemukan tungau Sarcoptes scabiei,dapat ditemukan satu atau lebih
stadium hidup.

Gambar 4.5. Tempat Predileksi Skabies

Bila gejala klinis spesifik, diagnosis skabies mudah ditegakkan. Tetapi


penderita sering datang dengan lesi yang bervariasi sehingga diagnosis pasti sulit
ditegakkan. Pada umumnya diagnosis klinis ditegakkan bila ditemukan dua dari

37
empat cardinal sign. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk menemukan
tungau dan produknya yaitu :
a. Kerokan kulit
Papul atau kanalikuli yang utuh ditetesi dengan minyak mineral atau KOH
10% lalu dilakukan kerokan dengan meggunakan skalpel steril yang bertujuan
untuk mengangkat atap papula atau kanalikuli. Bahan pemeriksaan diletakkan di
gelas objek dan ditutup dengan kaca penutup lalu diperiksa dibawah mikroskop
(Amirudin, 2013)
b. Mengambil tungau dengan jarum
Bila menemukan terowongan, jarum suntik yang runcing ditusukkan kedalam
terowongan yang utuh dan digerakkan secara tangensial ke ujung lainnya kemudian
dikeluarkan. Bila positif, tungau terlihat pada ujung jarum sebagai parasit yang
sangat kecil dan transparan. Cara ini mudah dilakukan tetapi memerlukan keahlian
tinggi (Hengge, 2006)
c. Burrow ink test
Papul skabies dilapisi dengan tinta cina, dibiarkan selama 20-30 menit.
Setelah tinta dibersihkan dengan kapas alkohol, terowongan tersebut akan kelihatan
lebih gelap dibandingkan kulit di sekitarnya karena akumulasi tinta didalam
terowongan. Tes dinyatakan positif bila terbetuk gambaran kanalikuli yang khas
berupa garis menyerupai bentuk S (Hengge, 2006)
d. Epidermal shave biopsy
Dilakukan dengan cara menjepit lesi dengan ibu jari dan telunjuk kemudian
dibuat irisan tipis, dan dilakukan irisan superfisial menggunakan pisau dan berhati-
hati dalam melakukannya agar tidak berdarah. Kerokan tersebut diletakkan di atas

38
kaca objek dan ditetesi dengan minyak mineral yang kemudian diperiksa dibawah
mikroskop. Biopsi irisan dengan pewarnaan Hematoksilin and Eosin

Gambar 4.6 S. scabiei dalam epidermis (panah) dengan pewarnaan H.E

e. Uji tetrasiklin
Pada lesi dioleskan salep tetrasiklin yang akan masuk ke dalam kanalikuli.
Setelah dibersihkan, dengan menggunakan sinar ultraviolet dari lampu Wood,
tetrasiklin tersebut akan memberikan efluoresensi kuning keemasan pada kanalikuli
(Amirudin, 2003)
f. Dermoskopi
Dermoskopi awalnya dipakai oleh dermatolog sebagai alat yang berguna
untuk membedakan lesi-lesi berpigmen dan melanoma. Dermoskopi juga dapat
menjadi alat yang berguna dalam mendiagnosis skabies secara in vivo. Alat ini
dapat mengidentifikasi struktur bentuk triangular atau bentuk-V yang diidentifikasi
sebagai bagian depan tubuh tungau, termasuk kepala dan kaki. Banyak laporan
kasus yang didapatkan mengenai pengalaman dalam mendiagnosis skabies dengan
menggunakan Dermoskopi. Dermoskopi sangat berguna, terutama dalam kasus-
kasus tertentu, termasuk kasus skabies pada pasien dengan terapi steroid lama,
pasien imunokompromais dan skabies nodular (Park et al, 2012)

Gambar 4.7 Skabies yang teridentifikasi dengan dermoskopi

39
4.6 Diagnosis banding
Skabies merupakan the greatest imitator, karena dapat menyerupai banyak
penyakit kulit dengan keluhan gatal, sehingga klinisi perlu mempertimbangkan
beberapa diagnosis banding seperti gigitan serangga, infeksi bakteri, serta reaksi
kulit akibat reaksi mediasi imun (hipersensitivitas) (Djuanda,2015; Hardy, 2017).

Tabel 4.1 Diagnosa banding skabies

4.7 Pencegahan
Infestasi tungau dapat tidak bergejala (asimptomatik) tetapi individu sudah
terinfeksi (Hardy, 2017). Mereka dianggap sebagai pembawa (carrier) (Hardy,
2017). Oleh karena itu, pengobatan juga dilakukan kepada seluruh penghuni rumah
karena kemungkinan karier di penghuni rumah dan untuk mencegah reinfestasi
karier (Hardy, 2017).

4. 8 Pengobatan
Gejala gatal dapat ditangani dengan krim pelembap emolient,
kortikosteroid topikal potensi ringan, da n antihistamin oral (Hardy,
2017). Dengan terapi adekuat, seluruh gejala termasuk rasa gatal dapat
membaik setelah 3 hari; rasa gatal dan kemerahan masih dapat timbul
setelah empat minggu terapi, biasa dikenal sebagai “ postscabietic itch”
(Burkhart,2012). Pasien diedukasi hal tersebut untuk menghindari
persepsi kegagalan terapi. Pasien juga diberi edukasi untuk tidak
membersihkan kulit secara berlebihan dengan sabun antiseptik karena
dapat memicu iritasi kulit (Burkhart,2012).

40
Tabel 4.2 Tatalaksana medikamentosa pada skabies

4.9 Komplikasi
Kerusakan epidermis pada infeksi skabies, memudahkan infeksi
Streptococcus pyogenes (Group A Streptococcus [GAS]) atau Staphylococcus
aureus (Hardy, 2017). Keduanya dapat menyebabkan infeksi lokal jaringan seperti
impetigo, selulitis, dan abses, serta dapat menyebar sistemik lewat aliran darah dan
limfe (terutama pada skabies berkrusta dapat terjadi limfadenitis dan septikemia)
(Burkhart,2012).

41
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Pasien Ny. S usia 36 tahun datang dengan keluhan gatal di punggung. Pada
pemeriksaan fisik papul eritematosa multipel, makula hiperpigmentasi, bentuk
bulat, batas tegas, ukuran 0,5 – 1 cm didapatkan Berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik, Ny. S didiagnosis Skabies.
Skabies merupakan penyakit infeksi oleh ektoparasit Sarcoptes scabiei var.
hominis. Peyakit ini sering terjadi kepada orang atau kelompok dengan higienitas
yang rendah. Gejala yang paling sering ditimbulkan adalah gatal yang semakin
bertambah saat malam hari. Diagnosis skabies ditegakkan berdasarkan hasil
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Penatalaksanaan pada skabies memerlukan
edukasi yang lebih untuk pasien karena pilihan obat yang akan diberikan tidak
sedikit efek sampingnya dan parasit ini bersifat sangat menular.

5.2 Saran
Melakukan pendekatan berbasis kedokteran keluarga guna meningkatkan
PHBS penderita dan keluarga penderita skabies. Edukasi dapat dilakukan melalui
diskusi interaktif terhadap pasien dan anggota keluarga lainnya dengan
menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan sesuai tingkat pemahaman pasien,
sehingga terbentuk persepsi yang selaras.

42
DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin MD. 2003. Skabies. In. Amiruddin MD, editor. Ilmu Penyakit Kulit.
Ed 1. Makassar: Bagian ilmu penyakit kulit dan kelamin fakultas
kedokteran universitas hasanuddin;. p. 5-10.
Badan Standar Nasional Indonesia. 2004. SNI 03-1733-2004 Tentang Tata Cara
Perencanaan Lingkungan Perumahan dan Perkotaan. Jakarta: BSN;.
Burkhart CN, Burkhart CG. 2012. Scabies. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, eds. Fitzpatrick’s dermatology in
general medicine. 8th ed. New York: The McGraw-Hill Co.
CDC. Scabies [Internet]. Cdc.gov. 2021 [cited 7 February 2021]. Available from:
https://www.cdc.gov/parasites/scabies/biology.html#:~:text=When%20th
e%20impregnated%20female%20mite,(1%2D2%20months).
Djuanda A. 2015. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 7th Ed. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Hardy M, Engelman D, Steer A. 2017. Scabies: A clinical update. Australian
Family Physician; Melbourne 46, no. 5.
Hengge UR, Currie BJ, Jager G, Lupi O, Schwartz RA. 2006. Scabies: a
Ubiquitous Neglected Skin Disease. PubMed Med. J ;6:771.
Marsha K, Michael SSL, Franklind. 2020. Diagnosis dan Terapi Skabies. Fakultas
Kedokteran, Unika Atma Jaya. Jakarta.
Park JH, Kim CW, Kim SS. 2012. Scabies: The Diagnosis Accuracy of
Dermoscopy for Scabies. Ann Dermatology. 24: p. 194-99.
Perdoski. 2017. Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin
di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit Kelamin
Indonesia;.
Sungkar S. 2016. Skabies: Etiologi, patogenesis, pengobatan, pemberantasan, dan
pencegahan. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

43
LAMPIRAN

44
45

Anda mungkin juga menyukai