Anda di halaman 1dari 90

LAPORAN KASUS

Gastroentritis + Gizi Buruk + Tuberkulosis Paru + Anemia + Diaper


Dermatitis + Trichuriasis

Laporan kasus ini dibuat untuk melengkapi persyaratan kepaniteraan klinik


senior di Dapartemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Pirngadi Medan

DISUSUN OLEH :

Melia Wahyuni (71210891025)

Thesa Lonica (71210891049)

PEMBIMBING

dr. Indra Wahyudi Tanjung, Sp. A

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD Dr. PIRNGADI
KOTA MEDAN
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal :

Nilai :

Dokter Pembimbing

dr. Indra Wahyudi Tanjung, Sp. A

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan “Laporan Kasus” ini untuk
memenuhi persyaratan mengikuti Persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan dengan
judul “Gizi Buruk dengan Tuberkulosis Paru”.
Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.
Indra Wahyudi Tanjung, Sp. A atas segala bimbingan dan arahannya dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah
Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan dan dalam pembuatan laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangannya,


oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun
guna memperbaiki laporan kasus ini di kemudian hari.

Harapan penulis semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat dan menambah
pengetahuan bagi kita semua serta dapat menjadi arahan dalam
mengimplementasikan ilmu kedokteran dalam praktik di masyarakat.

Medan, 8 November 2021

Penulis
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ..............................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gastroentritis

2.2.1 Defenisi ..................................................................................................5

2.2.2 Etiologi ..................................................................................................6

2.2.3 Patologi dan Patogenesis .......................................................................7

2.2.4 Menifestasi Klinis ................................................................................12

2.2.5 Pemeriksaan Penunjang .......................................................................14

2.2.6 Penatalaksanaan ...................................................................................15

2.2.7 Komplikasi...........................................................................................21

2.2.8 prognosis ..............................................................................................23

2.2 Gizi Buruk

2.2.1 Definisi ...............................................................................................24

2.2.2 Penyebab Gizi Buruk ...........................................................................24

2.2.3 Patofisiologi .........................................................................................25

2.2.4 Klasifikasi Gizi Buruk .........................................................................25

2.2.5 Diagnosa ..............................................................................................27


v

2.2.6 Penilaian Awal Anak Gizi Buruk ........................................................28

2.2.7 Pemeriksaan Fisis ................................................................................29

2.2.8 Penatalaksanaan ...................................................................................30

2.2.9 Penatalaksanaan Kondisi Penyerta ......................................................42

2.2.10 Kriteria Pulang ...................................................................................44

2.3 Tuberkulosis Paru

2.3.1 Definisi ................................................................................................45

2.3.2 Etiologi ................................................................................................45

2.3.3 Patologi dan Patogenesis .....................................................................46

2.3.4 Manifestasi Klinis ................................................................................47

2.3.5 Pemeriksaan Penunjang .......................................................................50

2.3.6 Sistem Skoring TB...............................................................................52

2.3.7 Penatalaksanaan ...................................................................................53

2.3.8 Prognosis dan Komplikasi TB Paru Anak ...........................................56

2.4 Diaper Dermatitis

2.4.1 Defenisi ................................................................................................57

2.4.2 Etiologi ................................................................................................57

2.4.3 Patogenesis ..........................................................................................58

2.4.4 Gejala Klinis ........................................................................................60

2.4.5 Pemeriksaan Penunjang .......................................................................62

2.4.6 Diagnosis Banding ...............................................................................62

2.4.7 Tatalaksana ..........................................................................................63

v
vi

LAPORAN KASUS ..............................................................................................65

BAB III PENUTUP ...............................................................................................77

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................78

LAMPIRAN

vi
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi


secara wajar, mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Mereka juga
berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan
kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial, seperti tercantum dalam Undang-
undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002. Semua pihak berperan dalam
menciptakan lingkungan yang kondusif agar anak dapat mengembangkan potensi
yang dimilikinya dan menjadi generasi berkualitas (Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia, 2020).

Gastroenteritis (GE) adalah peradangan mukosa lambung dan usus halus yang
ditandai dengan buang air besar encer sebanyak > 3 kali dalam waktu 24 jam.
Gastroenteritis yang terjadi dalam waktu kurang dari 14 hari disebut akut dan jika
lebih dari 30 hari disebut kronis. Menurut WHO (World Health Organization)
mendefinisikan diare akut adalah diare yang berlangsung selama 3-7 hari dan bisa
juga berlangsung sampai 14 hari. Diare persisten adalah kejadian diare yang
kemungkinan penyebabnya akibat adanya infeksi dan mula-mula ditandai dengan
diare akut tetapi, berakhir lebih dari 14 hari. Kondisi ini dapat menyebabkan
malnutrisi dan meningkatkan risiko kematian. GE lebih sering terjadi pada anak-
anak akibat daya tahan tubuh yang belum optimal. Diare merupakan salah satu
penyebab angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada anak di bawah umur
lima tahun. GE dapat disebabkan akibat infeksi mikroorganisme patogen dan non-
infeksi seperti malabsorbsi, keracunan atau alergi makanan dan psikologis
penderita (PB IDI, 2017).

Pada tahun 2013 lebih dari setengah juta anak dibawah umur 5 tahun
meninggal dunia akibat diare. Anak-anak yang meninggal akibat diare umumnya
berasal dari negara yang berpenghasilan rendah-menengah (low and middle income
countries) atau yang lebih dikenal sebagai LMIC. Sedangkan, pada negara yang
2

berpengahsilan tinggi (high income countries) atau yang lebih dikenal sebagai HIC
anak yang mengalami diare jarang sekali berakibat fatal. Namun, akibat diare ini
meningkatkan angka jumlah kunjungan ke unit gawat darurat dan rawat inap
(Florez et al., 2020).

Anak bebas gizi buruk termasuk komitmen bersama dunia, termasuk


Indonesia. Komitmen dunia internasional, tertuang dalam Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) butir kedua yang menegaskan
pentingnya “Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan
perbaikan gizi, serta menggalakkan pertanian yang berkelanjutan”. Di tingkat
nasional, hal ini sejalan dengan Nawacita dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, penanggulangan masalah
kekurangan gizi, termasuk gizi buruk, perlu ditingkatkan (Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia, 2020).

Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi
menahun. Gizi buruk merupakan kondisi kurang gizi yang disebabkan rendahnya
konsumsi energi dan protein (KEP) dalam makanan sehari hari (Saputra, 2016).

Permasalahan gizi memiliki dimensi luas, tidak hanya masalah kesehatan


tetapi juga masalah sosial, ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan, dan
lingkungan. Faktor pencetus munculnya masalah gizi buruk dapat berbeda antar
wilayah ataupun antar kelompok masyarakat, bahkan akar masalahnya dapat
berbeda antar kelompok usia . Kondisi kemiskinan mempengaruhi kondisi
ketahanan pangan dalam keluarga. Penyebab dasar lainnya yang berkontribusi
dalam terjadinya masalah gizi buruk adalah Pendidikan (N. H. Alhidayati, 2018).

Hasil utama Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa proporsi status gizi buruk
(severe wasting atau “sangat kurus”) pada balita telah menurun dari 6,2% (2007)
menjadi 5,3% (2013) dan 3,5% (2018); sedangkan status gizi kurang (wasting atau
“kurus”) dari 7,4% (2007) menjadi 6,8% (2013) dan 6,7% (2018) (Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, 2020).
3

Dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 260 juta pada tahun 2017 dan
proporsi balita (0-59 bulan) sekitar 8,8%, maka jumlah balita total sekitar 23 juta.
Perkiraan jumlah balita dengan gizi buruk adalah: 3,5% x 23 juta = 805.000 balita.
Dengan cakupan penanganan balita gizi buruk yang diperkirakan mencapai sekitar
20.000 balita pada tahun 2017, maka cakupan penanganan kasus balita dengan gizi
buruk baru mencapai sekitar 2,5% dari perkiraan jumlah total balita gizi buruk.
Rendahnya cakupan pelayanan gizi buruk pada balita ini merupakan tantangan yang
sangat besar dalam upaya menurunkan prevalensi gizi buruk pada balita
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2020).

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan


oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ,
terutama pada organ paru. Penyakit ini apabila tidak diobati atau pengobatannya
tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya dan bisa menyebabkan
kematian (Nurul Hikmah Alhidayati, 2018).

TB merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas pada anak-anak,


namun kejadian TB Paru pada anak kurang mendapat perhatian dalam epidemiologi
TB dikarenakan > 95% anak-anak dengan TB Paru memiliki sputum BTA (-),
sehingga tidak berkontribusi secara langsung dalam menularkan kejadian TB Paru.
Dari 9 juta kasus baru TB yang terjadi di seluruh dunia setiap tahun, diperkirakan
1 juta (11%) diantaranya terjadi pada anak-anak dibawah 15 tahun. Dari seluruh
kasus anak dengan TB Paru, 75% terjadi di 22 negara dengan beban TB Paru tinggi
(high burden countries). Dilaporkan dari berbagai negara, persentase kasus TB Paru
pada anak berkisar antara 3% hingga >25% (Ekasari, 2016).

Penderita TB di indonesia meningkat sebanyak 28% antara tahun 2017 dan


2018.3 Jumlah penderita TB tertinggi terdapat di tiga provinsi yang memiliki
jumlah penduduk yang besar, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.4
Rumah sakit Al-Ihsan ialah salah satu rumah sakit regional di Provinsi Jawa Barat
yang memiliki kasus TB terbanyak pada bulan Oktober 2018 (Rakhmawati et al.,
2020)
4

Oleh karena itu, kasus gizi buruk dan tuberkulosis paru termasuk ke dalam
kasus dengan kompetensi 4A, dimana seorang dokter mampu membuat diagnosa
klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas,
dan kompetensi ini dicapai pada saat lulus sebagai dokter umum. Berdasarkan latar
belakang tersebut, maka penulis mengangkat kasus ini sebagai bahan pembelajaran
dalam upaya penanganan penyakit ini pada anak.
5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gastroenteritis
2.2.1 Definisi

Gastroenteritis (GE) akut mengacu pada peradangan dan timbulnya proses


inflamasi pada saluran cerna diikuti dengan peningkatan frekuensi buang air besar
(BAB) > 3 kali dalam sehari yang tidak normal dengan konsistensi cairan lebih
banyak daripada ampas atau dalam hal ini mengacu pada kejadian diare. Diare
disebabkan oleh proses infeksi atau inflamasi yang berada di usus yang secara
langsung mempengaruhi sekresi enterosit dan fungsi penyerapan (Marcdante &
Kliegman, 2015). Diare juga dapat disebabkan akibat pengaruh non-infeksi seperi
malabsorbsi makanan, keracunan makanan, pengaruh obat-obatan,
immunodeficiency.

Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari,
disertai perubahan konsistensi tinja mejadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah
yang berlangsung kurang dari satu minggu. Pada bayi yang minum ASI sering
frekuensi buang air besarnya lebih dari 3 – 4 kali per hari, keadaan ini tidak dapat
disebut diare, tetapi masih bersifat fisiologis atau normal. Selama berat badan bayi
meningkat normal, hal tersebut tidak tergolong diare, tetapi merupakan intoleransi
laktosa sementara akibat belum sempurnanya perkembangan saluran cerna. Untuk
bayi yang minum ASI secara eksklusif definisi diare yang praktis adalah
meningkatnya frekuensi buang air besar atau konsistensinya menjadi cair yang
menurut ibunya abnormal atau tidak seperti biasanya. Kadang – kadang pada
seorang anak buang air besar kurang dari 3 kali perhari, tetapi konsistensinya cair,
keadaan ini sudah dapat disebut diare (Subagyo & Santoso, 2009).

Diare kronis dan diare persisten seringkali dianggap suatu kondisi yang sama.
Ghishan menyebutkan diare kronis sebagai suatu episode diare lebih dari 2 minggu,
sedangkan kondisi serupa yang disertai berat badan menurun atau sukar naik
didefinisikan penulis lain sebagai diare persisten. Definisi diare kronis menurut
6

Bhutta adalah episode diare > 2 minggu, sebagian besar disebabkan diare akut
berkepanjangan akibat infeksi, sedangkan definisi menurut The American
Gastroenterological Association adalah episode diare lebih dari 4 minggu, dengan
etiologi non-infeksi. Bervariasinya definisi ini disebabkan perbedaan kejadian diare
kronik dan persisten di negara berkembang dan negara maju, dimana infeksi
merupakan latar belakang tertinggi di negara berkembang, sedangkan penyebab
non-infeksi lebih banyak dibicarakan dan dideteksi di negara maju. Di lingkungan
masyarakat gastrohepatologi anak di Indonesia digunakan pengertian bahwa ada 2
jenis diare ≥ 14 hari, yang juga menggunakan istilah diare kronis dan diare persisten
secara berbeda. Untuk kesepakatan bersama definisi diare persisten untuk yang
mempunyai dasar etiologi infeksi, dan diare kronis, untuk yang mempunyai dasar
etiologi non-infeksi.

2.2.2 Etiologi
GE dapat disebabkan akibat infeksi mikroorganisme patogen meliputi infeksi
virus, bakteri, dan parasit. Adapun penyebab dari GE adalah sebagai berikut :
• Virus
o Rotavirus → sering.
o Calicivirus (norovirus).
o Astrovirus.
o Enterik adenovirus (serotip 40 dan 41).
• Bakteri
o Campylobacter jejuni.
o Clostridium difficile.
o Escherichia coli meliputi; Enterophatogenic (EPEC), Enterotoxigenic
(ETEC), Enteroinvasive (EIEC), Enterohemorrhagic (EHEC), dan
Enteroaggregative (EAEC).
o Salmonela.
o Shigella.
o Vibrio cholerae.
o Vibrio parahaemolyticus.
7

o Yersinia enterocolitica.
• Parasit
o Entamoeba histolytica.
o Giardia lamblia.

2.2.3 Patologi dan Patogenesis


Secara umum diare disebabkan 2 hal yaitu gangguan pada proses absorbsi
atau sekresi. Terdapat beberapa pembagian diare (Subagyo & Santoso, 2009) :
1. Pembagian diare menurut etiologi.
2. Pembagian diare menurut mekanismenya yaitu gangguan
a. Absorbsi.
b. Gangguan sekresi.
3. Pembagian diare menurut lamanya diare
a. Diare akut yang berlangsung kurang dari 14 hari.
b. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi non-
infeksi.
c. Diare persisten yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi
infeksi.
Kejadian diare secara umum terjadi dari satu atau beberapa mekanisme yang
saling tumpang tindih. Menurut mekanisme diare maka dikenal: Diare akibat
gangguan absorpsi yaitu volume cairan yang berada di kolon lebih besar daripada
kapasitas absorpsi. Disini diare dapat terjadi akibat kelainan di usus halus,
mengakibatkan absorpsi menurun atau sekresi yang bertambah. Apabila fungsi usus
halus normal, diare dapat terjadi akibat absorpsi di kolon menurun atau sekresi di
kolon meningkat. Diare dapat juga dikaitkan dengan gangguan motilitas, inflamasi
dan imunologi.

Gangguan absorpsi atau diare osmotik.


Secara umum terjadi penurunan fungsi absorpsi oleh berbagai sebab seperti
celiac sprue, atau karena: a. mengkonsumsi magnesium hidroksida b. defisiensi
sukrase-isomaltase adanya laktase defisien pada anak yang lebih besar c. adanya
8

bahan yang tidak diserap, menyebabkan bahan intraluminal pada usus halus bagian
proksimal tersebut bersifat hipertonis dan menyebabkan hiperosmolaritas. Akibat
perbedaan tekanan osmose antara lumen usus dan darah maka pada segmen usus
jejenum yang bersifat permeabel, air akan mengalir ke arah lumen jejenum,
sehingga air akan banyak terkumpul air dalam lumen usus. Na akan mengikuti
masuk ke dalam lumen, dengan demikian akan terkumpul cairan intraluminal yang
besar dengan kadar Na yang normal. Sebagian kecil cairan ini akan diabsorpsi
kembali, akan tetapi lainnya akan tetap tinggal di lumen oleh karena ada bahan yang
tidak dapat diserap seperti Mg, glukose, sukrose,laktose, maltose di segmen illeum
dan melebihi kemampuan absorpsi kolon, sehingga terjadi diare. Bahan-bahan
seperti karbohidrat dari jus buah, atau bahan yang mengandung sorbitol dalam
jumlah berlebihan, akan memberikan dampak yang sama.

Malabsoprsi umum
Keadaan seperti short bowel syndrom, celiac, protein, peptida, tepung, asam
amino dan monosakarida mempunyai peran pada gerakan osmotik pada lumen usus.
Kerusakan sel (yang secara normal akan menyerap Na dan air) dapat disebabkan
virus atau kuman, seperti Salmonella, Shigella atau Campylobacter. Sel tersebut
juga dapat rusak karena inflammatory bowel disease idiopatik, akibat toksin atau
obat-obat tertentu. Gambaran karakteristik penyakit yang menyebabkan
malabsorbsi usus halus adalah atropi villi. Lebih lanjut, mikororganisme tertentu
(bakteri tumbuh lampau, giardiasis, dan enteroadheren E. coli) menyebabkan
malabsorbsi nutrien dengan merubah faal membran brush border tanpa merusak
susunan anatomi mukosa. Maldigesti protein lengkap, karbohidrat, dan trigliserid
diakibatkan insuficiensi eksokrin pankreas menyebabkan malabsorbsi yang
signifikan dan mengakibatkan diare osmotik. Gangguan atau kegagalan ekskresi
pankreas menyebabkan kegagalan pemecahan kompleks protein, karbohidrat,
trigliserid, selanjutnya menyebabkan maldigesti, malabsorpsi dan akhirnya
menyebabkan diare osmotik. Steatorrhe berbeda dengan malabsorpsi protein dan
karbohidrat dengan asam lemak rantai panjang intraluminal, tidak hanya
menyebabkan diare osmotik, tetapi juga menyebabkan pacuan sekresi Cl- sehingga
9

diare tersebut dapat disebabkan malabsorpsi karbohidrat oleh karena kerusakan


difus mukosa usus, defisiensi sukrosa, isomaltosa dan defisiensi congenital laktase,
pemberian obat pencahar; laktulose, pemberian Mg hydroxide (misalnya susu Mg),
malabsorpsi karbohidrat yang berlebihan pada hipermotilitas pada kolon iritabel.
Mendapat cairan hipertonis dalam jumlah besar dan cepat, menyebabkan
kekambuhan diare. Pemberian makan/minum yang tinggi KH, setelah mengalami
diare, menyebabkan kekambuhan diare. Infeksi virus yang menyebabkan kerusakan
mukosa sehingga menyebabkan gangguan sekresi enzim laktase, menyebabkan
gangguan absorpsi nutrisi lactose.

Gangguan sekresi atau diare sekretorik Hiperplasia kripta.


Teoritis adanya hiperplasia kripta akibat penyakit apapun, dapat
menyebabkan sekresi intestinal dan diare. Pada umumnya penyakit ini
menyebabkan atrofi vili.

Luminal secretagogues : dikenal 2 bahan yang menstimulasi sekresi lumen


yaitu enterotoksin bakteri dan bahan kimia yang dapat menstimulasi seperti
laksansia, garam empedu bentuk dihydroxy, serta asam lemak rantai panjang.
Toksin penyebab diare ini terutama bekerja dengan cara meningkatkan konsentrasi
intrasel cAMP, cGMP atau Ca++ yang selanjutnya akan mengaktifkan protein
kinase. Pengaktifan protein kinase akan menyebabkan fosforilasi membran protein
sehingga mengakibatkan perubahan saluran ion, akan menyebabkan Cl- di kripta
keluar. Di sisi lain terjadi peningkatan pompa natrium, dan natrium masuk kedalam
lumen usus bersama Cl- . Bahan laksatif dapat menyebabkan bervariasi efek pada
aktivitas NaK-ATPase. Beberapa diantaranya memacu peningkatan kadar cAMP
intraseluler., meningkatkan permeabilitas intestinal dan sebagian menyebabkan
kerusakan sel mukosa. Beberapa obat menyebabkan sekresi intestinal. Penyakit
malabsorpsi seperti reseksi ileum dan penyakit Crohn dapat menyebabkan kelainan
sekresi seperti menyebabkan peningkatan konsentrasi garam empedu, lemak.
10

Blood-Borne Secretagogues : diare sekretorik pada anak-anak di negara


berkembang, umumnya disebabkan enterotoksin E coli atau Cholera. Berbeda
dengan negara berkembang, di negara maju, diare sekretorik jarang ditemukan,
apabila ada kemungkinan disebabkan obat atau tumor seperti ganglioneuroma atau
neuroblastoma yang menghasilkan hormon seperti VIP. Pada orang dewasa, diare
sekretorik berat disebabkan neoplasma pankreas, sel non-beta yang menghasilkan
VIP, Polipeptida pankreas, hormon sekretorik lainnya (sindroma watery diarrhe
hypokalemia achlorhydria (WDHA). Diare yang disebabkan tumor ini termasuk
jarang.5 Semua kelainan mukosa usus, berakibat sekresi air dan mineral berlebihan
pada vilus dan kripta serta semua enterosit terlibat dan dapat terjadi mukosa usus
dalam keadaan normal.

Diare akibat gangguan peristaltik


Meskipun motilitas jarang menjadi penyebab utama malabsorbsi, tetapi
perubahan motilitas mempunyai pengaruh terhadap absorbsi. Baik peningkatan
ataupun penurunan motilitas, keduanya dapat menyebabkan diare. Penurunan
motilitas dapat mengakibatkan bakteri tumbuh lampau yang menyebabkan diare.
Perlambatan transit obat-obatan atau nutrisi akan meningkatkan absorbsi.
Kegagalan motilitas usus yang berat menyebabkan stasis intestinal berakibat
inflamasi, dekonjugasi garam empedu dan malabsorbsi. Diare akibat
hiperperistaltik pada anak jarang terjadi. Watery diare dapat disebabkan karena
hipermotilitas pada kasus kolon iritable pada bayi. Gangguan motilitas mungkin
merupakan penyebab diare pada thyrotoksikosis, malabsorbsi asam empedu dan
berbagai penyakit lain.

Diare inflamasi
Proses inflamasi di usus halus dan kolon menyebabkan diare pada beberapa
keadaan. Akibat kehilangan sel epitel dan kerusakan tight junction, tekanan
hidrostatik dalam pembuluh darah dan limphatic menyebabkan air, elektrolit,
mukus, protein dan seringkali sel darah merah dan sel darah putih menumpuk dalam
lumen. Biasanya diare akibat inflamasi ini berhubungan dengan tipe diare lain
11

seperti diare osmotik dan diare sekretorik. Bakteri enteral patogen akan
mempengaruhi struktur dan fungsi tight junction, menginduksi sekresi cairan dan
elektrolit, dan akan mengaktiflkan kaskade inflamasi. Efek infeksi bakterial pada
tight junction akan mempengaruhi susunan anatomis dan fungsi absorpsi yaitu
cytoskeleton dan perubahan susunan protein. Penelitian oleh Berkes J dkk. 2003
menunjukkan bahwa peranan bakteri enteral patogen pada diare terletak pada
perubahan barrier tight junction oleh toksin atau produk kuman yaitu perubahan
pada cellular cytoskeleton dan spesifik tight junction. Pengaruh itu bisa pada kedua
komponen tersebut atau salah satu komponen saja sehingga akan menyebabkan
hipersekresi chlorida yang akan diikuti natrium dan air. Sebagai contoh C. difficile
akan menginduksi kerusakan cytoskeleton maupun protein,Bacteroides fragilis
menyebabkan degradasi proteolitik protein tight junction, V cholera mempengaruhi
distribusi protein tight junction, sedangkan EPEC menyebabkan akumulasi protein
cytoskeleton.

Diare terkait imunologi


Diare terkait imunologi dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe I,
III dan IV. Reaksi tipe I yaitu terjadi reaksi antara sel mast dengan IgE dan alergen
makanan. Reaksi tipe III misalnya pada penyakit gastroenteropati, sedangkan reaksi
tipe IV terdapat pada Coeliac disease dan protein loss enteropaties. Pada reaksi tipe
I, alergen yang masuk tubuh menimbulkan respon imun dengan dibentuknya IgE
yang selanjutnya akan diikat oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan
basofil. Bila terjadi aktivasi akibat pajanan berulang dengan antigen yang spesifik,
sel mast akan melepaskan mediator seperti histamin, ECF-A, PAF, SRA-A dan
prostaglandin. Pada reaksi tipe III terjadi reaksi komplek antigen-antibodi dalam
jaringan atau pembuluh darah yang mengaktifkan komplemen. Komplemen yang
diaktifkan kemudian melepaskan Macrophage Chemotactic Factor yang akan
merangsang sel mast dan basofil melepas berbagai mediator. Pada reaksi tipe IV
terjadi respon imun seluler, disini tidak terdapat peran antibodi. Antigen dari luar
dipresentasikan sel APC(Antigen Presenting Cell) ke sel Th1 yang MHC-II
dependen. Terjadi pelepasan berbagai sitokin seperti MIF, MAF dan IFN-γ oleh
12

Th1. Sitokin tersebut akan mengaktifasi makrofag dan menimbulkan kerusakan


jaringan.
Berbagai mediator diatas akan menyebabkan luas permukaan mukosa
berkurang akibat kerusakan jaringan, merangsang sekresi klorida diikuti oleh
natrium dan air.

2.2.4 Manifestasi Klinis

Infeksi usus menimbulkan tanda dan gejala gastrointestinal serta gejala


lainnya bila terjadi komplikasi ekstra intestinal termasuk manifestasi neurologik.
Gejala gastrointestinal bisa berupa diare, kram perut dan muntah. Sedangkan
manifestasi sistemik bervariasi tergantung pada penyebabnya. Penderita dengan
diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion natrium, klorida, dan
bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila ada muntah dan
kehilangan air juga meningkat bila ada panas. Hal ini dapat menyebabkan dehidrasi,
asidosis metabolik dan hipokalemia. Dehidrasi merupakan keadaan yang paling
berbahaya karena dapat menyebabkan hipovolemia, kolaps kardiovaskuler dan
kematian bila tidak diobati dengan tepat. Dehidrasi yang terjadi menurut tonisitas
plasma dapat berupa dehidrasi isotonik, dehidrasi hipertonik (hipernatremik) atau
dehidrasi hipotonik. Menurut derajat dehidrasinya bisa tanpa dehidrasi, dehidrasi
ringan, dehidrasi sedang atau dehidrasi berat

Infeksi ekstraintestinal yang berkaitan dengan bakteri enterik patogen antara


lain : vulvovaginitis, infeksi saluran kemih, endokarditis, osteomielitis, meningitis,
pneumonia, hepatitis, peritonitis dan septik trombophlebitis. Gejala neurologik dari
infeksi usus bisa berupa paresthesia (akibat makan ikan, kerang, monosodium
glutamat) hipotoni dan kelemahan otot (C. botulinum).

Bila terdapat panas dimungkinkan karena proses peradangan atau akibat


dehidrasi. Panas badan umum terjadi pada penderita dengan inflammatory diare..
Nyeri perut yang lebih hebat dan tenesmus yang terjadi pada perut bagian bawah
serta rektum menunjukkan terkenanya usus besar.
13

Mual dan muntah adalah simptom yang non spesifik akan tetapi muntah
mungkin disebabkan oleh karena organisme yang menginfeksi saluran cerna bagian
atas seperti: enterik virus, bakteri yang memproduksi enterotoksin, Giardia, dan
Cryptosporidium. Muntah juga sering terjadi pada non inflammatory diare.
Biasanya penderita tidak panas atau hanya subfebris, nyeri perut periumbilikal tidak
berat, watery diare, menunjukkan bahwa saluran cerna bagian atas yang terkena.
Oleh karena pasien immunocompromise memerlukan perhatian khusus, informasi
tentang adanya imunodefisiensi atau penyakit kronis sangat penting.

Anamnesis : Pada anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut: lama


diare, frekuensi, volume, konsistensi tinja, warna, bau, ada / tidak lendir dan darah.
Bila disertai muntah: volume dan frekuensinya. Kencing: biasa, berkurang, jarang
atau tidak kencing dalam 6 – 8 jam terakhir. Makanan dan minuman yang diberikan
selama diare. Adakah panas atau penyakit lain yang menyertai seperti: batuk, pilek,
otitis media, campak. Tindakan yang telah dilakukan ibu selama anak diare:
memberi oralit, membawa berobat ke Puskesmas atau ke Rumah Sakit dan obat-
obatan yang diberikan serta riwayat imunisasinya.

Pemeriksaan fisik : Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu
tubuh, frekuensi denyut jantung dan pernapasan serta tekanan darah. Selanjutnya
perlu dicari tanda-tanda utama dehidrasi: kesadaran, rasa haus dan turgor kulit
abdomen dan tanda-tanda tambahan lainnya : ubun- ubun besar cekung atau tidak,
mata : cowong atau tidak, ada atau tidak adanya air mata, bibir, mukosa mulut dan
lidah kering atau basah. Pernapasan yang cepat dan dalam indikasi adanya asidosis
metabolik. Bising usus yang lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemi.
Pemeriksaan ekstremitas perlu karena perfusi dan capillary refill dapat menentukan
derajat dehidrasi yang terjadi. Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat
ditentukan dengan cara: obyektif yaitu dengan membandingkan berat badan
sebelum dan selama diare. Subyektif dengan menggunakan kriteria WHO, Skor
Maurice King, kriteria MMWR dan lain-lain.
14

2.2.5 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya tidak
diperlukan, hanya pada keadaan tertentu mungkin diperlukan misalnya penyebab
dasarnya tidak diketahui atau ada sebab-sebab lain selain diare akut atau pada
penderita dengan dehidrasi berat. Contoh : pemeriksaan darah lengkap, kultur urine
dan tinja pada sepsis atau infeksi saluran kemih. Pemeriksaan laboratorium yang
kadang-kadang diperlukan pada diare akut : Darah : darah lengkap, serum elektrolit,
analisa gas darah, glukosa darah, kultur dan tes kepekaan terhadap antibiotika.
Urine : urine lengkap, kultur dan test kepekaan terhadap antibiotika. Tinja :
Pemeriksaan makroskopik: Pemeriksaan makroskopik tinja perlu dilakukan pada
semua penderita dengan diare meskipun pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan.
Tinja yang watery dan tanpa mukus atau darah biasanya disebabkan oleh
enterotoksin virus, protozoa atau disebabkan oleh infeksi diluar saluran
gastrointestinal. Tinja yang mengandung darah atau mukus bisa disebabkan infeksi
bakteri yang menghasilkan sitotoksin, bakteri enteroinvasif yang menyebabkan
peradangan mukosa atau parasit usus seperti : E. histolytica, B. coli dan T. trichiura.
Apabila terdapat darah biasanya bercampur dalam tinja kecuali pada infeksi
dengan E. Histolytica darah sering terdapat pada permukaan tinja dan pada infeksi
EHEC terdapat garis-garis darah pada tinja. Tinja yang berbau busuk didapatkan
pada infeksi dengan Salmonella, Giardia, Cryptosporidium dan Strongyloides.
Pemeriksaan mikroskopik untuk mencari adanya lekosit dapat memberikan
informasi tentang penyebab diare, letak anatomis serta adanya proses peradangan
mukosa. Lekosit dalam tinja diproduksi sebagai respon terhadap bakteri yang
menyerang mukosa kolon. Lekosit yang positif pada pemeriksaan tinja
menunjukkan adanya kuman invasif atau kuman yang memproduksi sitotoksin
seperti Shigella, Salmonella, C. jejuni, EIEC, C. difficile, Y. enterocolitica, V.
parahaemolyticus dan kemungkinan Aeromonas atau P. shigelloides. Lekosit yang
ditemukan pada umumnya adalah lekosit PMN, kecuali pada S. typhii lekosit
mononuklear. Tidak semua penderita kolitis terdapat lekosit pada tinjanya, pasien
yang terinfeksi dengan E. histolytica pada umumnya lekosit pada tinja minimal.
Parasit yang menyebabkan diare pada umumnya tidak memproduksi lekosit dalam
15

jumlah banyak. Normalnya tidak diperlukan pemeriksaan untuk mencari telur atau
parasit kecuali terdapat riwayat baru saja bepergian kedaerah resiko tinggi, kultur
tinja negatif untuk enteropatogen, diare lebih dari 1 minggu atau pada pasien
immunocompromised. Pasien yang dicurigai menderita diare yang disebabkan
giardiasis, cryptosporidiosis, isosporiasis dan strongyloidiasis dimana pemeriksaan
tinja negatif, aspirasi atau biopsi duodenum atau yeyunum bagian atas mungkin
diperlukan. Karena organisme ini hidup di saluran cerna bagian atas, prosedur ini
lebih tepat daripada pemeriksaan spesimen tinja. Biopsi duodenum adalah metoda
yang spesifik dan sensitif untuk diagnosis giardiasis, strongylodiasis dan protozoa
yang membentuk spora. E. hystolitica dapat didiagnosis dengan pemeriksaan
mikroskopik tinja segar. Trophozoit biasanya ditemukan pada tinja cair sedangkan
kista ditemukan pada tinja yang berbentuk. Tehnik konsentrasi dapat membantu
untuk menemukan kista amuba. Pemeriksaan serial mungkin diperlukan oleh
karena ekskresi kista sering terjadi intermiten. Sejumlah tes serologis amubiasis
untuk mendeteksi tipe dan konsentrasi antibodi juga tersedia. Serologis test untuk
amuba hampir selalu positif pada disentri amuba akut dan amubiasis hati.
Kultur tinja harus segera dilakukan bila dicurigai terdapat Hemolytic Uremic
Syndrome, diare dengan tinja berdarah, bila terdapat lekosit pada tinja, KLB diare
dan pada penderita immunocompromised.
Oleh karena bakteri tertentu seperti : Y. enterocolitica, V. cholerae, V.
Parahaemolyticus, Aeromonas, C. difficile, E. coli 0157: H7 dan Camphylobacter
membutuhkan prosedur laboratorium khusus untuk identifikasinya, perlu diberi
catatan pada label apabila ada salah satu dicurigai sebagai penyebab diare yang
terjadi. Deteksi toksin C. difficile sangat berguna untuk diagnosis antimikrobial
kolitis. Proctosigmoidoscopy mungkin membantu dalam menegakkan diagnosis
pada penderita dengan simptom kolitis berat atau penyebab inflammatory enteritis
syndrome tidak jelas setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium pendahuluan.

2.2.6 Penatalaksanaan
Departemen Kesehatan mulai melakukan sosialisasi Panduan Tata Laksana
Pengobatan Diare pada balita yang baru didukung oleh Ikatan Dokter Anak
16

Indonesia, dengan merujuk pada panduan WHO. Tata laksana ini sudah mulai
diterapkan di rumah sakit-rumah sakit. Rehidrasi bukan satu-satunya strategi dalam
penatalaksanaan diare. Memperbaiki kondisi usus dan menghentikan diare juga
menjadi cara untuk mengobati pasien. Untuk itu, Departemen Kesehatan
menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare bagi semua kasus diare yang diderita
anak balita baik yang dirawat di rumah maupun sedang dirawat di rumah sakit,
yaitu: 1. Rehidrasi dengan menggunakan oralit baru 2. Zinc diberikan selama 10
hari berturut-turut 3. ASI dan makanan tetap diteruskan 4. Antibiotik selektif 5.
Nasihat kepada orang tua.
Rehidrasi dengan oralit baru, dapat mengurangi rasa mual dan muntah.
Berikan segera bila anak diare, untuk mencegah dan mengatasi dehidrasi. Oralit
formula lama dikembangkan dari kejadian luar biasa diare di Asia Selatan yang
terutama disebabkan karena disentri, yang menyebabkan berkurangnya lebih
banyak elektrolit tubuh, terutama natrium. Sedangkan diare yang lebih banyak
terjadi akhir-akhir ini dengan tingkat sanitasi yang lebih banyak terjadi akhir-akhir
ini dengan tingkat sanitasi yang lebih baik adalah disebabkan oleh karena virus.
Diare karena virus tersebut tidak menyebabkan kekurangan elektrolit seberat pada
disentri. Karena itu, para ahli diare mengembangkan formula baru oralit dengan
tingkat osmolarits yang lebih rendah. Osmolaritas larutan baru lebih mendekati
osmolaritas plasma, sehingga kurang menyebabkan risiko terjadinya hipernatremia.
Oralit baru ini adalah oralit dengan osmolaritas yang rendah. Keamanan oralit ini
sama dengan oralit yang selama ini digunakan, namun efektivitasnya lebih baik
daripada oralit formula lama. Oralit baru dengan low osmolaritas ini juga
menurunkan kebutuhan suplementasi intravena dan mampu mengurangi
pengeluaran tinja hingga 20% serta mengurangi kejadian muntah hingga 30%.
Selain itu, oralit baru ini juga telah direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF
untuk diare akut non-kolera pada anak.
Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut. Zinc mengurangi lama dan
beratnya diare. Zinc juga dapat mengembalikan nafsu makan anak. Penggunaan
zinc ini memang popular beberapa tahun terakhir karena memiliki evidence based
yang bagus. Beberapa penelitian telah membuktikannya. Pemberian zinc yang
17

dilakukan di awal masa diare selama 10 hari ke depan secara signifikan menurunkan
morbiditas dan mortalitas pasien. Lebih lanjut, ditemukan bahwa pemberian zinc
pada pasien anak penderita kolera dapat menurunkan durasi dan jumlah tinja/cairan
yang dikeluarkan. Zinc termasuk mironutrien yang mutlak dibutuhkan untuk
memelihara kehidupan yang optimal. Meski dalam jumlah yang sangat kecil, dari
segi fisiologis, zinc berperan untuk pertumbuhan dan pembelahan sel, anti oksidan,
perkembangan seksual, kekebalan seluler, adaptasi gelap, pengecapan, serta nafsu
makan. Zinc juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh dan merupakan mediator
potensial pertahanan tubuh terhadap infeksi. Dasar pemikiran penggunaan zinc
dalam pengobatan diare akut didasarkan pada efeknya terhadap fungsi imun atau
terhadap struktur dan fungsi saluran cerna dan terhadap proses perbaikan epitel
saluran cerna selama diare. Pemberian zinc pada diare dapat meningkatkan aborpsi
air dan elektrolit oleh usus halus, meningkatkan kecepatan regenerasi epitel usus,
meningkatkan jumlah brush border apical, dan meningkatkan respon imun yang
mempercepat pembersihan patogen dari usus. Pengobatan dengan zinc cocok
diterapkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki banyak
masalah terjadinya kekurangan zinc di dalam tubuh karena tingkat kesejahteraan
yang rendah dan daya imunitas yang kurang memadai. Pemberian zinc dapat
menurunkan frekuensi dan volume buang air besar sehingga dapat menurunkan
risiko terjadinya dehidrasi pada anak.
Dosis zinc untuk anak-anak: Anak di bawah umur 6 bulan : 10 mg (1/2 tablet)
per hari Anak di atas umur 6 bulan : 20 mg (1 tablet) per hari Zinc diberikan selama
10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah sembuh dari diare. Untuk bayi, tablet
zinc dapat dilarutkan dengan air matang, ASI, atau oralit. Untuk anak-anak yang
lebih besar, zinc dapat dikunyah atau dilarutkan dalam air matang atau oralit.
ASI dan makanan tetap diteruskan sesuai umur anak dengan menu yang sama
pada waktu anak sehat untuk mencegah kehilangan berat badan serta pengganti
nutrisi yang hilang. Pada diare berdarah nafsu makan akan berkurang. Adanya
perbaikan nafsu makan menandakan fase kesembuhan.
Antibiotik jangan diberikan kecuali ada indikasi misalnya diare berdarah atau
kolera. Pemberian antibiotik yang tidak rasional justru akan memperpanjang
18

lamanya diare karena akan mengganggu keseimbangan flora usus dan Clostridium
difficile yang akan tumbuh dan menyebabkan diare sulit disembuhkan. Selain itu,
pemberian antibiotik yang tidak rasional akan mempercepat resistensi kuman
terhadap antibiotik, serta menambah biaya pengobatan yang tidak perlu. Pada
penelitian multipel ditemukan bahwa telah terjadi peningkatan resistensi terhadap
antibiotik yang sering dipakai seperti ampisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan
trimetoprim sulfametoksazole dalam 15 tahun ini. Resistensi terhadap antibiotik
terjadi melalui mekanisme berikut: inaktivasi obat melalui degradasi enzimatik oleh
bakteri, perubahan struktur bakteri yang menjadi target antibiotik dan perubahan
permeabilitas membrane terhadap antibiotik.
Nasihat pada ibu atau pengasuh: Kembali segera jika demam, tinja
berdarah,berulang, makan atau minum sedikit, sangat haus, diare makin sering, atau
belum membaik dalam 3 hari.
Infeksi usus pada umumnya self limited, tetapi terapi non spesifik dapat
membantu penyembuhan pada sebagian pasien dan terapi spesifik, dapat
memperpendek lamanya sakit dan memberantas organisme penyebabnya. Dalam
merawat penderita dengan diare dan dehidrasi terdapat beberapa pertimbangan
terapi :
1. Terapi cairan dan elektrolit
2. Terapi diit
3. Terapi non spesifik dengan antidiare
4. Terapi spesifik dengan antimikroba
Walaupun demikian, berdasarkan penelitian epidemiologis di Indonesia dan
negara berkembang lainnya, diketahui bahwa sebagian besar penderita diare
biasanya masih dalam keadaan dehidrasi ringan atau belum dehidrasi. Hanya
sebagian kecil dengan dehidrasi lebih berat dan memerlukan perawatan di sarana
kesehatan. Perkiraan secara kasar menunjukkan dari 1000 kasus diare yang ada di
masyarakat, 900 dalam keadaan dehidrasi ringan, 90 dalam keadaan dehidrasi
sedang dan 10 dalam keadaan dehidrasi berat, 1 diantaranya disertai komplikasi
serta penyakit penyerta yang penatalaksanaannya cukup rumit. Berdasarkan data
diatas, sesuai dengan panduan WHO, pengobatan diare akut dapat dilaksanakan
19

secara sederhana yaitu dengan terapi cairan dan elektrolit per-oral serta melanjutkan
pemberian makanan, sedangkan terapi non spesifik dengan anti diare tidak
direkomendasikan dan terapi antibiotika hanya diberikan bila ada indikasi.
Pemberian cairan dan elektrolit secara parenteral hanya untuk kasus dehidrasi berat

Pengobatan diare tanpa dehidrasi


TRO (Terapi Rehidrasi Oral)
Penderita diare tanpa dehidrasi harus segera diberi cairan rumah tangga untuk
mencegah dehidrasi, seperti: air tajin, larutan gula garam, kuah sayur-sayuran dan
sebagainya. Pengobatan dapat dilakukan di rumah oleh keluarga penderita. Jumlah
cairan yang diberikan adalah 10 ml/kgBB atau untuk anak usia < 1 tahun adalah 50
– 100 ml, 1 – 5 tahun adalah 100 – 200 ml, 5 – 12 tahun adalah 200 – 300 ml dan
dewasa adalah 300 – 400 ml setiap BAB. Untuk anak dibawah umur 2 tahun cairan
harus diberikan dengan sendok dengan cara 1 sendok setiap 1 sampai 2 menit.
Pemberian dengan botol tidak boleh dilakukan. Anak yang lebih besar dapat minum
langsung dari cangkir atau gelas dengan tegukan yang sering. Bila terjadi muntah
hentikan dulu selama 10 menit kemudian mulai lagi perlahan-lahan misalnya 1
sendok setiap 2 – 3 menit. Pemberian cairan ini dilanjutkan sampai dengan diare
berhenti. Selain cairan rumah tangga ASI dan makanan yang biasa dimakan tetap
harus diberikan. Makanan diberikan sedikit-sedikit tetapi sering (lebih kurang 6 kali
sehari) serta rendah serat. Buah-buahan diberikan terutama pisang. Makanan yang
merangsang (pedas, asam, terlalu banyak lemak) jangan diberikan dulu karena
dapat menyebabkan diare bertambah berat. Bila dengan cara pengobatan ini diare
tetap berlangsung atau bertambah hebat dan keadaan anak bertambah berat serta
jatuh dalam keadaan dehidrasi ringansedang, obati dengan cara pengobatan
dehidrasi ringan – sedang.

Pengobatan diare dehidrasi ringan – sedang


TRO (Terapi Rehidrasi Oral)
Penderita diare dengan dehidrasi ringan–sedang harus dirawat di sarana
kesehatan dan segera diberikan terapi rehidrasi oral dengan oralit. Jumlah oralit
20

yang diberikan 3 jam pertama 75 cc/kgBB. Bila berat badannya tidak diketahui,
meskipun cara ini kurang tepat, perkiraan kekurangan cairan dapat ditentukan
dengan menggunakan umur penderita, yaitu : untuk umur < 1 tahun adalah 300 ml,
1 – 5 tahun adalah 600 ml, > 5 tahun adalah 1200 ml dan dewasa adalah 2400 ml.
Rentang nilai volume cairan ini adalah perkiraan, volume yang sesungguhnya
diberikan ditentukan dengan menilai rasa haus penderita dan memantau tanda-tanda
dehidrasi. Bila penderita masih haus dan masih ingin minum harus diberi lagi.
Sebaliknya bila dengan volume diatas kelopak mata menjadi bengkak, pemberian
oralit harus dihentikan sementara dan diberikan minum air putih atau air tawar. Bila
oedem kelopak mata sudah hilang dapat diberikan lagi. Apabila oleh karena sesuatu
hal pemberian oralit tidak dapat diberikan secara per-oral, oralit dapat diberikan
melalui nasogastrik dengan volume yang sama dengan kecepatan 20 ml/kgBB/jam.
Setelah 3 jam keadaan penderita dievaluasi, apakah membaik, tetap atau
memburuk. Bila keadaan penderita membaik dan dehidrasi teratasi pengobatan
dapat dilanjutkan dirumah dengan memberikan oralit dan makanan dengan cara
seperti pada pengobatan diare tanpa dehidrasi. Bila memburuk dan penderita jatuh
dalam keadaan dehidrasi berat, penderita tetap dirawat di sarana kesehatan dan
pengobatan yang terbaik adalah pemberian cairan parenteral.

Pengobatan diare dehidrasi berat


TRP (Terapi Rehidrasi Parenteral)
Penderita diare dehidrasi berat harus dirawat di puskesmas atau Rumah Sakit.
Pengobatan yang terbaik adalah dengan terapi rehidrasi parenteral. Pasien yang
masih dapat minum meskipun hanya sedikit harus diberi oralit sampai cairan infus
terpasang. Disamping itu, semua anak harus diberi oralit selama pemberian cairan
intravena ( 5 ml/kgBB/jam), apabila dapat minum dengan baik, biasanya dalam 3
– 4 jam (untuk bayi) atau 1 – 2 jam (untuk anak yang lebih besar). Pemberian
tersebut dilakukan untuk memberi tambahan basa dan kalium yang mungkin tidak
dapat disuplai dengan cukup dengan pemberian cairan intravena. Untuk rehidrasi
parenteral digunakan cairan Ringer Laktat dengan dosis 100 ml/kgBB. Cara
pemberiannya untuk < 1 tahun 1 jam pertama 30 cc/kgBB, diLanjutkan 5 jam
21

berikutnya 70 cc/kgBB. Diatas 1 tahun ½ jam pertama 30 cc/kgBB dilanjutkan 2 ½


jam berikutnya 70 cc/kgBB. Lakukan evaluasi tiap jam. Bila hidrasi tidak membaik,
tetesan I.V. dapat dipercepat. Setelah 6 jam pada bayi atau 3 jam pada anak lebih
besar, lakukan evaluasi, pilih pengobatan selanjutnya yang sesuai yaitu :
pengobatan diare dengan dehidrasi ringan sedang atau pengobatan diare tanpa
dehidrasi.
Antibiotika pada umumnya tidak diperlukan pada semua diare akut oleh

karena sebagian besar diare infeksi adalah rotavirus yang sifatnya self limited dan
tidak dapat dibunuh dengan antibiotika. Hanya sebagian kecil (10 – 20%) yang
disebabkan oleh bakteri patogen seperti V. cholera, Shigella, Enterotoksigenik E.
coli, Salmonella, Camphylobacter dan sebagainya.

2.2.7 Komplikasi
22

Beberapa masalah mungkin terjadi selama pengobatan rehidrasi. Beberapa


diataranya membutuhkan pengobatan khusus.

Hipernatremia
Penderita diare dengan natrium plasma > 150 mmol/L memerlukan
pemantauan berkala yang ketat. Tujuannya adalah menurunkan kadar natrium
secara perlahan-lahan. Penurunan kadar natrium plasma yang cepat sangat
berbahaya oleh karena dapat menimbulkan edema otak. Rehidrasi oral atau
nasogastrik menggunakan oralit adalah cara terbaik dan paling aman. Koreksi
dengan rehidrasi intravena dapat dilakukan menggunakan cairan 0,45% saline – 5%
dextrose selama 8 jam. Hitung kebutuhan cairan menggunakan berat badan tanpa
koreksi. Periksa kadar natrium plasma setelah 8 jam. Bila normal lanjutkan dengan
rumatan, bila sebaliknya lanjutkan 8 jam lagi dan periksa kembali natrium plasma
setelah 8 jam. Untuk rumatan gunakan 0,18% saline - 5% dektrosa, perhitungkan
untuk 24 jam. Tambahkan 10 mmol KCl pada setiap 500 ml cairan infus setelah
pasien dapat kencing. Selanjutnya pemberian diet normal dapat mulai diberikan.
Lanjutkan pemberian oralit 10 ml/kgBB/setiap BAB, sampai diare berhenti.

Hiponatremia
Anak dengan diare yang hanya minum air putih atau cairan yang hanya
mengandung sedikit garam, dapat terjadi hiponatremi (Na< 130 mol/L).
Hiponatremi sering terjadi pada anak dengan Shigellosis dan pada anak malnutrisi
berat dengan oedema. Oralit aman dan efektif untuk terapi dari hampir semua anak
dengan hiponatremi. Bila tidak berhasil, koreksi Na dilakukan bersamaan dengan
koreksi cairan rehidrasi yaitu : memakai Ringer Laktat atau Normal Saline. Kadar
Na koreksi (mEq/L) = 125 – kadar Na serum yang diperiksa dikalikan 0,6 dan
dikalikan berat badan. Separuh diberikan dalam 8 jam, sisanya diberikan dalam 16
jam. Peningkatan serum Na tidak boleh melebihi 2 mEq/L/jam.

Hiperkalemia
23

Disebut hiperkalemia jika K > 5 mEq/L, koreksi dilakukan dengan pemberian


kalsium glukonas 10% 0,5 – 1 ml/kgBB i.v. pelan-pelan dalam 5 – 10 menit dengan
monitor detak jantung.

Hipokalemia
Dikatakan hipokalemia bila K < 3.5 mEq/L, koreksi dilakukan menurut kadar
K : jika kalium 2,5 – 3,5 mEq/L diberikan per-oral 75 mcg/kgBB/hr dibagi 3 dosis.
Bila < 2,5 mEq/L maka diberikan secara intravena drip (tidak boleh bolus)
diberikan dalam 4 jam. Dosisnya: (3,5 – kadar K terukur x BB x 0,4 + 2
mEq/kgBB/24 jam) diberikan dalam 4 jam, kemudian 20 jam berikutnya adalah
(3,5 – kadar K terukur x BB x 0,4 + 1/6 x 2 mEq x BB). Hipokalemi dapat
menyebabkan kelemahan otot, paralitik ileus, gangguan fungsi ginjal dan aritmia
jantung. Hipokalemi dapat dicegah dan kekurangan kalium dapat dikoreksi dengan
menggunakan oralit dan memberikan makanan yang kaya kalium selama diare dan
sesudah diare berhenti.
Kegagalan upaya rehidrasi oral dapat terjadi pada keadaan tertentu misalnya
pengeluaran tinja cair yang sering dengan volume yang banyak, muntah yang
menetap, tidak dapat minum, kembung dan ileus paralitik, serta malabsorbsi
glukosa. Pada keadaan-keadaan tersebut mungkin penderita harus diberikan cairan
intravena.25, 30 Kejang Pada anak yang mengalami dehidrasi, walaupun tidak
selalu, dapat terjadi kejang sebelum atau selama pengobatan rehidrasi. Kejang
tersebut dapat disebabkan oleh karena : hipoglikemi, kebanyakan terjadi pada bayi
atau anak yang gizinya buruk, hiperpireksia, kejang terjadi bila panas tinggi,
misalnya melebihi 400C, hipernatremi atau hiponatremi.
Komplikasi utama gastroenteritis adalah dehidrasi dan syok hipovolemik.
Kejang dapat terjadi dengan demam tinggi, terutama dengan Shigella. Abses usus
dapat terbentuk dengan Shigella dan infeksi Salmonella, terutama demam tifoid,
yang menyebabkan perforasi usus, komplikasi yang mengancam jiwa (Marcdante
& Kliegman, 2015).

2.2.8 Prognosis
24

Dengan penggantian cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan


terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius sangat baik
dengan morbiditas dan mortalitas minimal.

2.2 Gizi Buruk

2.2.1 Defenisi

Gizi buruk adalah status gizi menurut berat badan (BB) dan tinggi badan (TB)
dengan z-score <-3 dan atau dengan tanda-tanda klinis (marasmus, kwasiorkor dan
marasmus-kwasiorkor) (Depkes RI, 2012). Gizi buruk juga diartikan seseorang
yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein
dalam makanan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu (Nurul Hikmah
Alhidayati, 2018).

2.2.2 Penyebab Gizi Buruk


Faktor penyebab gizi buruk dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu penyebab
langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung gizi buruk meliputi
kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi dan menderita penyakit
infeksi, sedangkan penyebab tidak langsung gizi buruk yaitu ketersediaan pangan
rumah tangga, kemiskinan, pola asuh yang kurang memadai dan pendidikan yang
rendah (Oktavia & Laksmi Widajanti, 2019).

Faktor konsumsi makanan merupakan penyebab langsung dari kejadian gizi


buruk pada anak. Hal ini disebabkan karena konsumsi makanan yang tidak
memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat gizi seimbang
yaitu beragam, sesuai kebutuhan, bersih dan aman sehingga akan berakibat secara
langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Faktor penyakit infeksi
berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit menular terutama diare, cacingan dan
penyakit pernapasan akut (ISPA). Faktor kemiskinan sering disebut sebagai akar
dari kekurangan gizi, yang mana faktor ini erat kaitannya terhadap daya beli pangan
di rumah tangga sehingga berdampak terhadap pemenuhan zat gizi (Oktavia &
Laksmi Widajanti, 2019).
25

2.2.3 Patofisiologi

Malnutrisi merupakan suatu sindrom yang terjadi akibat banyak faktor.


Faktor-faktor ini dapat digolongkan atas tiga faktor penting yaitu : tubuh sendiri
(host), agent (kuman penyebab), environment (lingkungan). Dalam keadaan
kekurangan makanan, tubuh selalu berusaha untuk mempertahankan hidup dengan
memenuhi kebutuhan pokok atau energi. Kemampuan tubuh untuk
mempergunakan karbohidrat, protein dan lemak merupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan kehidupan, karbohidrat (glukosa) dapat dipakai
oleh seluruh jaringan tubuh sebagai bahan bakar, tetapi kemampuan tubuh untuk
menyimpan karbohidrat sangat sedikit. Akibatnya katabolisme protein terjadi
setelah beberapa jam dengan menghasilkan asam amino yang segera diubah jadi
karbohidrat di hepar dan di ginjal.
Selama kurangnya intake makanan, jaringan lemak akan dipecah jadi asam
lemak, gliserol dan keton bodies. Setelah lemak tidak dapat mencukupi kebutuhan
energi, maka otot dapat mempergunakan asam lemak dan keton bodies sebagai
sumber energi kalau kekurangan makanan. Pada akhirnya setelah semua tidak dapat
memenuhi kebutuhan akan energi lagi, protein akan dipecah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme basal tubuh. Proses ini merupakan respon adaptasi terhadap
ketidak cukupan asupan energi dan protein.

2.2.4 Klasifikasi Gizi Buruk

Berdasarkan ada/tidaknya komplikasi, gizi buruk dikategorikan sebagai


berikut.

1. Gizi buruk tanpa komplikasi, yang ditandai :


a. lingkar lengan atas (LiLA) < 11,5 cm untuk balita berusia 6-59 bulan;
b. BB/PB (atau BB/TB) kurang dari -3 SD;
c. adanya edema bilateral dengan derajat +1 atau +2
26

2. Gizi buruk dengan komplikasi, yang ditandai oleh hal tersebut di atas dan
adanya satu atau lebih komplikasi berikut (sama dengan tanda bahaya
pada MTBS):
a. anoreksia;
b. dehidrasi berat (muntah terus-menerus, diare);
c. letargi atau penurunan kesadaran;
d. demam tinggi;
e. pneumonia berat (sulit bernafas atau bernafas cepat);
f. anemia berat.

Berdasarkan status antropometri, status gizi dibagi menjadi :

Gizi buruk berdasarkan gejala klinisnya dapat dibagi menjadi 3, yaitu:


1. Marasmus

Marasmus terjadi disebabkan asupan kalori yang tidak cukup. Marasmus


sering sekali terjadi pada bayi di bawah 12 bulan. Pada kasus marasmus, anak
27

terlihat kurus kering sehingga wajah seperti orangtua, kulit keriput, cengeng dan
rewel meskipun setelah makan, perut cekung, rambut tipis, jarang dan kusam,
tulang iga tampak jelas dan pantat kendur dan keriput (baggy pant) (M.Arvin &
Ann, 2000).

2. Kwashiorkor

Kwashiorkor adalah salah satu bentuk malnutrisi protein yang berat


disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi namun asupan protein
yang inadekuat. Beberapa tanda khusus dari kwashiorkor adalah: rambut berubah
menjadi warna kemerahan atau abu-abu, menipis dan mudah rontok, apabila rambut
keriting menjadi lurus, kulit tampak pucat dan biasanya disertai anemia, terjadi
dispigmentasi dikarenakan habisnya cadangan energi atau protein. Pada kulit yang
terdapat dispigmentasi akan tampak pucat, Sering terjadi dermatitis (radang pada
kulit), terjadi pembengkakan, terutama pada kaki dan tungkai bawah sehingga
balita terlihat gemuk. Pembengkakan yang terjadi disebabkan oleh akumulasi
cairan yang berlebihan. Balita memiliki selera yang berubah-ubah dan mudah
terkena gangguan pencernaan (M.Arvin & Ann, 2000)

3. Marasmus-Kwashiorkor

Memperlihatkan gejala campuran antara marasmus dan kwashiorkor.


Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan energi untuk
pertumbuhan normal. Pada penderita berat badan dibawah 60% dari normal
memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor seperti edema, kelainan rambut, kelainan
kulit serta kelainan biokimia (Pudjiadi, 2010).

2.2.5 Diagnosis

Ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran


antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila:
▪ BB/TB < -3 SD atau <70% dari median (marasmus)
▪ Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh
(kwashiorkor: BB/TB >-3SD atau marasmik-kwashiorkor: BB/TB <-
3SD
28

Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis berupa
anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan
lemak bawah kulit terutama pada kedua bahu, lengan, pantat dan paha; tulang iga
terlihat jelas, dengan atau tanpa adanya edema.

2.2.6 Penilaian awal anak gizi buruk


Pada setiap anak gizi buruk lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis.
Anamnesis terdiri dari anamnesis awal dan anamnesis lanjutan.
Anamnesis awal (untuk kedaruratan):
• Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
• Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah
dan diare (encer/darah/lendir)
• Kapan terakhir berkemih
• Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin.
Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami
dehidrasi dan/atau syok, serta harus diatasi segera.
Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana
selanjutnya, dilakukan setelah kedaruratan ditangani):
• Diet (pola makan)/kebiasaan makan sebelum sakit
• Riwayat pemberian ASI
29

• Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir


• Hilangnya nafsu makan
• Kontak dengan pasien campak atau tuberkulosis paru
• Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
• Batuk kronik
• Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung
• Berat badan lahir
• Riwayat tumbuh kembang: duduk, berdiri, bicara dan lain-lain
• Riwayat imunisasi
• Apakah ditimbang setiap bulan
• Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang sosial anak)
• Diketahui atau tersangka infeksi HIV

2.2.7 Pemeriksaan fisis


• Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung
kaki. Tentukan status gizi dengan menggunakan BB/TB-PB
• Tanda dehidrasi: tampak haus, mata cekung, turgor buruk (hati-hati
menentukan status dehidrasi pada gizi buruk).
• Adakah tanda syok (tangan dingin, capillary refill time yang lambat, nadi
lemah dan cepat), kesadaran menurun.
• Demam (suhu aksilar ≥ 37.5° C) atau hipotermi (suhu aksilar < 35.5° C).
• Frekuensi dan tipe pernapasan: pneumonia atau gagal jantung
• Sangat pucat
• Pembesaran hati dan ikterus
• Adakah perut kembung, bising usus melemah/meninggi, tanda asites, atau
adanya suara seperti pukulan pada permukaan air (abdominal splash)
Tanda defisiensi vitamin A pada mata:
▪ Konjungtiva atau kornea yang kering, bercak Bitot
▪ Ulkus kornea
▪ Keratomalasia
30

• Ulkus pada mulut


• Fokus infeksi: telinga, tenggorokan, paru, kulit
• Lesi kulit pada kwashiorkor:
▪ hipo- atau hiper-pigmentasi
▪ deskuamasi
▪ ulserasi (kaki, paha, genital, lipatan paha, belakang telinga)
▪ lesi eksudatif (menyerupai luka bakar), seringkali dengan infeksi
sekunder (termasuk jamur).
• Tampilan tinja (konsistensi, darah, lendir).
• Tanda dan gejala infeksi HIV

2.2.8 Patalaksanaan

Tatalaksana Umum
Penilaian triase anak dengan gizi buruk dengan penilaian tanda bahaya pada
anak dengan gizi buruk.
Penanganan umum meliputi 10 langkah dan terbagi dalam 4 fase yaitu:
▪ Fase stabilisasi
▪ Fase transisi
▪ Fase rehabilitasi
▪ Fase tindak lanjut.
31

Hipoglikemia
Semua anak dengan gizi buruk berisiko hipoglikemia (kadar gula darah < 3
mmol/L atau < 54 mg/dl) sehingga setiap anak gizi buruk harus diberi makan atau
larutan glukosa/gula pasir 10% segera setelah masuk rumah sakit (lihat bawah).
Pemberian makan yang sering sangat penting dilakukan pada anak gizi buruk.
Jika fasilitas setempat tidak memungkinkan untuk memeriksa kadar gula
darah, maka semua anak gizi buruk harus dianggap menderita hipoglikemia dan
segera ditangani sesuai panduan.
Tatalaksana
• Segera beri F-75 pertama atau modifikasinya bila penyediaannya
memungkinkan.
• Bila F-75 pertama tidak dapat disediakan dengan cepat, berikan 50 ml
larutan glukosa atau gula 10% (1 sendok teh munjung gula dalam 50 ml
32

• air) secara oral atau melalui NGT.


• Lanjutkan pemberian F-75 setiap 2–3 jam, siang dan malam selama
minimal dua hari.
• Bila masih mendapat ASI teruskan pemberian ASI di luar jadwal
pemberian F-75.
• Jika anak tidak sadar (letargis), berikan larutan glukosa 10% secara
intravena (bolus) sebanyak 5 ml/kg BB, atau larutan glukosa/larutan
gula pasir 50 ml dengan NGT.
• Beri antibiotik.
Pemantauan
• Jika kadar gula darah awal rendah, ulangi pengukuran kadar gula darah
setelah 30 menit.
• Jika kadar gula darah di bawah 3 mmol/L (< 54 mg/dl), ulangi
pemberian larutan glukosa atau gula 10%.
• Jika suhu rektal < 35.5° C atau bila kesadaran memburuk, mungkin
hipoglikemia disebabkan oleh hipotermia, ulangi pengukuran kadar gula
darah dan tangani sesuai keadaan (hipotermia dan hipoglikemia).
Pencegahan
Beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin atau jika
perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu. Pemberian makan harus teratur setiap 2-3 jam
siang malam

Hipotermia
Diagnosis
Suhu aksilar < 35.5° C
Tatalaksana
• Segera beri makan F-75 (jika perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu).
• Pastikan bahwa anak berpakaian (termasuk kepalanya). Tutup dengan
selimut hangat dan letakkan pemanas (tidak mengarah langsung kepada
anak) atau lampu di dekatnya, atau letakkan anak langsung pada dada
atau perut ibunya (dari kulit ke kulit: metode kanguru). Bila
33

menggunakan lampu listrik, letakkan lampu pijar 40 W dengan jarak 50


cm dari tubuh anak.
• Beri antibiotik sesuai pedoman.
Pemantauan
• Ukur suhu aksilar anak setiap 2 jam sampai suhu meningkat menjadi
36.5° C atau lebih. Jika digunakan pemanas, ukur suhu tiap setengah
jam. Hentikan pemanasan bila suhu mencapai 36.5° C
• Pastikan bahwa anak selalu tertutup pakaian atau selimut, terutama pada
malam hari
• Periksa kadar gula darah bila ditemukan hipotermia
Pencegahan
• Letakkan tempat tidur di area yang hangat, di bagian bangsal yang bebas
angin dan pastikan anak selalu tertutup pakaian/selimut
• Ganti pakaian dan seprai yang basah, jaga agar anak dan tempat tidur
tetap kering
• Hindarkan anak dari suasana dingin (misalnya: sewaktu dan setelah
mandi, atau selama pemeriksaan medis)
• Biarkan anak tidur dengan dipeluk orang tuanya agar tetap hangat,
terutama di malam hari
• Beri makan F-75 atau modifikasinya setiap 2 jam, mulai sesegera
mungkin sepanjang hari, siang dan malam.

Dehidrasi
Diagnosis
Cenderung terjadi diagnosis berlebihan dari dehidrasi dan estimasi yang
berlebihan mengenai derajat keparahannya pada anak dengan gizi buruk. Hal ini
disebabkan oleh sulitnya menentukan status dehidrasi secara tepat pada anak
dengan gizi buruk, hanya dengan menggunakan gejala klinis saja. Anak gizi buruk
dengan diare cair, bila gejala dehidrasi tidak jelas, anggap dehidrasi ringan.
Catatan: hipovolemia dapat terjadi bersamaan dengan adanya edema.
Tatalaksana
34

Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dehidrasi


berat dengan syok.
• Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT, lakukan lebih lambat
dibanding jika melakukan rehidrasi pada anak dengan gizi baik.
• Berikan 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama
• setelah 2 jam, berikan ReSoMal 5–10 ml/kgBB/jam berselang-seling
dengan F-75 dengan jumlah yang sama, setiap jam selama 10 jam.
Jumlah yang pasti tergantung seberapa banyak anak mau, volume
tinja yang keluar dan apakah anak muntah. Catatan: Larutan oralit WHO
(WHO-ORS) yang biasa digunakan mempunyai kadar natrium tinggi dan
kadar kalium rendah, cairan yang lebih tepat adalah ReSoMal
• Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam
• Jika masih diare, berikan ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia < 1 th:
50-100 ml setiap buang air besar, usia ≥ 1 th: 100-200 ml setiap buang
air besar.
ReSoMal mengandung 37.5 mmol Na, 40 mmol K, dan 3 mmol Mg
per liter.

Bila larutan mineral-mix tidak tersedia, sebagai pengganti ReSoMal


dapat dibuat larutan sebagai berikut:

Pemantauan
Pantau kemajuan proses rehidrasi dan perbaikan keadaan klinis setiap
setengah jam selama 2 jam pertama, kemudian tiap jam sampai 10 jam berikutnya.
35

Waspada terhadap gejala kelebihan cairan, yang sangat berbahaya dan bisa
mengakibatkan gagal jantung dan kematian.
Periksalah:
• frekuensi napas
• frekuensi nadi
• frekuensi miksi dan jumlah produksi urin
• frekuensi buang air besar dan muntah
Selama proses rehidrasi, frekuensi napas dan nadi akan berkurang dan mulai
ada diuresis. Kembalinya air mata, mulut basah; cekung mata dan fontanel
berkurang serta turgor kulit membaik merupakan tanda membaiknya hidrasi, tetapi
anak gizi buruk seringkali tidak memperlihatkan tanda tersebut walaupun rehidrasi
penuh telah terjadi, sehingga sangat penting untuk memantau berat badan.
Jika ditemukan tanda kelebihan cairan (frekuensi napas meningkat 5x/menit
dan frekuensi nadi 15x/menit), hentikan pemberian cairan/ReSoMal segera dan
lakukan penilaian ulang setelah 1 jam.
Pencegahan
• Cara mencegah dehidrasi akibat diare yang berkelanjutan sama dengan
pada anak dengan gizi baik kecuali penggunaan cairan ReSoMal sebagai
pengganti larutan oralit standar.
• Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI
• Pemberian F-75 sesegera mungkin
• Beri ReSoMal sebanyak 50-100 ml setiap buang air besar cair.
Gangguan keseimbangan elektrolit
Semua anak dengan gizi buruk mengalami defisiensi kalium dan magnesium
yang mungkin membutuhkan waktu 2 minggu atau lebih untuk memperbaikinya.
Terdapat kelebihan natrium total dalam tubuh, walaupun kadar natrium serum
mungkin rendah. Edema dapat diakibatkan oleh keadaan ini. Jangan obati edema
dengan diuretikum.
Pemberian natrium berlebihan dapat menyebabkan kematian
Tatalaksana
36

• Untuk mengatasi gangguan elektrolit diberikan Kalium dan Magnesium,


yang sudah terkandung di dalam larutan Mineral-Mix yang ditambahkan
ke dalam F-75, F-100 atau ReSoMal
• Gunakan larutan ReSoMal untuk rehidrasi
• Siapkan makanan tanpa menambahkan garam (NaCl)

Infeksi
Pada gizi buruk, gejala infeksi yang biasa ditemukan seperti demam,
seringkali tidak ada, padahal infeksi ganda merupakan hal yang sering terjadi. Oleh
karena itu, anggaplah semua anak dengan gizi buruk mengalami infeksi saat mereka
datang ke rumah sakit dan segera tangani dengan antibiotik. Hipoglikemia dan
hipotermia merupakan tanda infeksi berat.
Tatalaksana
Berikan pada semua anak dengan gizi buruk:
• Antibiotik spektrum luas
• Vaksin campak jika anak berumur ≥ 6 bulan dan belum pernah
mendapatkannya, atau jika anak berumur > 9 bulan dan sudah pernah
diberi vaksin sebelum berumur 9 bulan. Tunda imunisasi jika anak syok.
Pilihan antibiotik spektrum luas
• Jika tidak ada komplikasi atau tidak ada infeksi nyata, beri
Kotrimoksazol per oral (25 mg SMZ + 5 mg TMP/kgBB setiap 12 jam
selama 5 hari
• Jika ada komplikasi (hipoglikemia, hipotermia, atau anak terlihat
letargis atau tampak sakit berat), atau jelas ada infeksi, beri:
• Ampisilin (50 mg/kgBB IM/IV setiap 6 jam selama 2 hari),
dilanjutkan dengan Amoksisilin oral (15 mg/kgBB setiap 8 jam
selama 5 hari) ATAU, jika tidak tersedia amoksisilin, beri Ampisilin
per oral (50 mg/kgBB setiap 6 jam selama 5 hari) sehingga total
selama 7 hari, DITAMBAH:
• Gentamisin (7.5 mg/kgBB/hari IM/IV) setiap hari selama 7 hari.
37

Catatan: Jika anak anuria/oliguria, tunda pemberian gentamisin dosis ke-2


sampai ada diuresis untuk mencegah efek samping/toksik gentamisin Jika anak
tidak membaik dalam waktu 48 jam, tambahkan Kloramfenikol (25 mg/kgBB
IM/IV setiap 8 jam) selama 5 hari.
Jika diduga meningitis, lakukan pungsi lumbal untuk memastikan dan obati
dengan Kloramfenikol (25 mg/kg setiap 6 jam) selama 10 hari . Jika ditemukan
infeksi spesifik lainnya (seperti pneumonia, tuberkulosis, malaria, disentri, infeksi
kulit atau jaringan lunak), beri antibiotik yang sesuai. Beri obat antimalaria bila
pada apusan darah tepi ditemukan parasit malaria. Walaupun tuberkulosis
merupakan penyakit yang umum terdapat, obat anti tuberkulosis hanya diberikan
bila anak terbukti atau sangat diduga menderita tuberkulosis.
Pengobatan terhadap parasit cacing
Jika terdapat bukti adanya infestasi cacing, beri mebendazol (100 mg/kgBB)
selama 3 hari atau albendazol (20 mg/kgBB dosis tunggal). Beri mebendazol
setelah 7 hari perawatan, walaupun belum terbukti adanya infestasi cacing.
Pemantauan
Jika terdapat anoreksia setelah pemberian antibiotik di atas, lanjutkan
pengobatan sampai seluruhnya 10 hari penuh. Jika nafsu makan belum membaik,
lakukan penilaian ulang menyeluruh pada anak

Defisiensi zat gizi mikro


Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral.
Meskipun sering ditemukan anemia, jangan beri zat besi pada fase awal, tetapi
tunggu sampai anak mempunyai nafsu makan yang baik dan mulai bertambah berat
badannya (biasanya pada minggu kedua, mulai fase rehabilitasi), karena zat besi
dapat memperparah infeksi.
Tatalaksana
Berikan setiap hari paling sedikit dalam 2 minggu:
• Multivitamin
• Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari)
• Seng (2 mg Zn elemental/kgBB/hari)
38

• Tembaga (0.3 mg Cu/kgBB/hari)


• Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase
rehabilitasi) Vitamin A: diberikan secara oral pada hari ke 1 (kecuali
bila telah diberikan sebelum dirujuk), dengan dosis seperti di bawah ini
:

Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3 bulan
terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2, dan 15.

Pemberian makan awal (Initial refeeding)


Pada fase awal, pemberian makan (formula) harus diberikan secara hati-hati
sebab keadaan fisiologis anak masih rapuh.
Tatalaksana
Sifat utama yang menonjol dari pemberian makan awal adalah:
• Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah osmolaritas
maupun rendah laktosa
• Berikan secara oral atau melalui NGT, hindari penggunaan parenteral
• Energi: 100 kkal/kgBB/hari
• Protein: 1-1.5 g/kgBB/hari
• Cairan: 130 ml/kgBB/hari (bila ada edema berat beri 100 ml/kgBB/hari)
• Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan bahwa jumlah
F-75 yang ditentukan harus dipenuhi
39

Pada anak dengan nafsu makan baik dan tanpa edema, jadwal di atas dapat
dipercepat menjadi 2-3 hari. Formula awal F-75 sesuai resep dan jadwal makan
dibuat untuk mencukupi kebutuhan zat gizi pada fase stabilisasi.
Pada F-75 yang berbahan serealia, sebagian gula diganti dengan tepung beras
atau maizena sehingga lebih menguntungkan karena mempunyai osmolaritas yang
lebih rendah, tetapi perlu dimasak dulu. Formula ini baik bagi anak gizi buruk
dengan diare persisten.
Terdapat 2 macam tabel petunjuk pemberian F-75 yaitu untuk gizi buruk
tanpa edema dan dengan edema berat (+++).
Apabila pemberian makanan per oral pada fase awal tidak mencapai
kebutuhan minimal (80 kkal/kgBB/hari), berikan sisanya melalui NGT. Jangan
melebihi 100 kkal/kgBB/hari pada fase awal ini.
Pada cuaca yang sangat panas dan anak berkeringat banyak maka anak perlu
mendapat ekstra air/cairan.
Pemantauan
Pantau dan catat setiap hari:
• Jumlah makanan yang diberikan dan dihabiskan
• Muntah
• Frekuensi defekasi dan konsistensi feses
• Berat badan.

Tumbuh kejar
Tanda yang menunjukkan bahwa anak telah mencapai fase ini adalah:
• Kembalinya nafsu makan
• Edema minimal atau hilang.
Tatalaksana
Lakukan transisi secara bertahap dari formula awal (F-75) ke formula
tumbuh-kejar (F-100) (fase transisi):
• Ganti F 75 dengan F 100. Beri F-100 sejumlah yang sama dengan F-75
selama 2 hari berturutan.
40

• Selanjutnya naikkan jumlah F-100 sebanyak 10 ml setiap kali pemberian


sampai anak tidak mampu menghabiskan atau tersisa sedikit. Biasanya
hal ini terjadi ketika pemberian formula mencapai 200 ml/kgBB/hari.
• Dapat pula digunakan bubur atau makanan pendamping ASI yang
dimodifikasi sehingga kandungan energi dan proteinnya sebanding
dengan F-100.
• Setelah transisi bertahap, beri anak:
o pemberian makan yang sering dengan jumlah tidak terbatas (sesuai
kemampuan anak)
o energi: 150-220 kkal/kgBB/hari
o protein: 4-6 g/kgBB/hari.
Bila anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI tetapi pastikan anak
sudah mendapat F-100 sesuai kebutuhan karena ASI tidak mengandung cukup
energi untuk menunjang tumbuh-kejar. Makanan-terapeutik-siap-saji (ready to use
therapeutic food = RUTF) yang mengandung energi sebanyak 500 kkal/sachet 92 g
dapat digunakan pada fase rehabilitasi.

Pemantauan
Hindari terjadinya gagal jantung. Amati gejala dini gagal jantung (nadi cepat
dan napas cepat). Jika nadi maupun frekuensi napas meningkat (pernapasan naik
5x/menit dan nadi naik 25x/menit), dan kenaikan ini menetap selama 2 kali
pemeriksaan dengan jarak 4 jam berturut-turut, maka hal ini merupakan tanda
bahaya (cari penyebabnya).
Lakukan segera:
• kurangi volume makanan menjadi 100 ml/kgBB/hari selama 24 jam
• kemudian, tingkatkan perlahan-lahan sebagai berikut:
o 115 ml/kgBB/hari selama 24 jam berikutnya
41

o 130 ml/kgBB/hari selama 48 jam berikutnya


o selanjutnya, tingkatkan setiap kali makan dengan 10 ml
sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
o atasi penyebab.
Penilaian kemajuan
Kemajuan terapi dinilai dari kecepatan kenaikan berat badan setelah tahap
transisi dan mendapat F-100:
Timbang dan catat berat badan setiap pagi sebelum diberi makan
Hitung dan catat kenaikan berat badan setiap 3 hari dalam gram/kgBB/hari.
Jika kenaikan berat badan:
• kurang (< 5 g/kgBB/hari), anak membutuhkan penilaian ulang lengkap
• sedang (5-10 g/kgBB/hari), periksa apakah target asupan terpenuhi, atau
mungkin ada infeksi yang tidak terdeteksi.
• baik (> 10 g/kgBB/hari).

Stimulasi sensorik dan emosional


Lakukan:
• ungkapan kasih sayang
• lingkungan yang ceria
• terapi bermain terstruktur selama 15–30 menit per hari
• aktivitas fisik segera setelah anak cukup sehat
• keterlibatan ibu sesering mungkin (misalnya menghibur, memberi
makan, memandikan, bermain)
• Sediakan mainan yang sesuai dengan umur anak
42

Bila anak sudah mencapai persentil 90% BB/TB (setara -1SD) maka anak
sudah pulih dari keadaan malnutrisi, walaupun mungkin BB/U masih rendah karena
umumnya anak pendek (TB/U rendah). Pola makan yang baik dan stimulasi fisik
dan sensorik dapat dilanjutkan di rumah.

Persiapan tindak lanjut setelah perawatan


Tunjukkan kepada orang tua atau pengasuh bagaimana:
• Pemberian makan secara sering dengan kandungan energi dan nutrient
memadai
• Berikan terapi bermain yang terstruktur
Saran untuk orang tua atau pengasuh:
• Membawa anak kontrol secara teratur
• Memberikan imunisasi booster
• Memberikan vitamin A setiap 6 bulan

2.2.9 Tatalaksana Kondisi Penyerta


Masalah pada mata
Jika anak mempunyai gejala defisiensi vitamin A, lakukan hal seperti di
bawah ini.

• Jangan menggunakan sediaan yang berbentuk salep


• Gunakan kasa penutup mata yang dibasahi larutan garam normal
• Gantilah kasa setiap hari.
• Beri vitamin A
43

Anemia berat
Transfusi darah diperlukan jika:
• Hb < 4 g/dl
• Hb 4–6 g/dl dan anak mengalami gangguan pernapasan atau tanda gagal
jantung.
Pada anak gizi buruk, transfusi harus diberikan secara lebih lambat dan dalam
volume lebih kecil dibanding anak sehat. Berikan:
• Darah utuh (Whole Blood), 10 ml/kgBB secara lambat selama 3 jam,
• Furosemid, 1 mg/kg IV pada saat transfusi dimulai
Bila terdapat gejala gagal jantung, berikan komponen sel darah merah
(packed red cells) 10 ml/kgBB. Anak dengan kwashiorkor mengalami redistribusi
cairan sehingga terjadi penurunan Hb yang nyata dan tidak membutuhkan transfusi.
Hentikan semua pemberian cairan lewat oral/NGT selama anak ditransfusi.
Monitor frekuensi nadi dan pernapasan setiap 15 menit selama transfusi. Jika terjadi
peningkatan (frekuensi napas meningkat 5x/menit atau nadi 25x/menit), perlambat
transfusi.
Catatan: Jika Hb tetap rendah setelah transfusi, jangan ulangi transfusi dalam
4 hari.

Lesi kulit pada kwashiorkor


Defisiensi seng (Zn); sering terjadi pada anak dengan kwashiorkor dan
kulitnya akan membaik secara cepat dengan pemberian suplementasi seng.
Sebagai tambahan:
• Kompres daerah luka dengan larutan Kalium permanganat (PK;
KMnO4) 0.01% selama 10 menit/hari.
• Bubuhi salep/krim (seng dengan minyak kastor, tulle gras) pada daerah
yang kasar, dan bubuhi gentian violet (atau jika tersedia, salep nistatin)
pada lesi kulit yang pecah-pecah.
• Hindari penggunaan popok-sekali-pakai agar daerah perineum tetap
kering.
44

Diare persisten
Tatalaksana
• Giardiasis dan kerusakan mukosa usus
o Jika mungkin, lakukan pemeriksaan mikroskopis atas spesimen
feses.
o Jika ditemukan kista atau trofozoit dari Giardia lamblia, beri
Metronidazol 7.5 mg/kg setiap 8 jam selama 7 hari).
• Intoleransi laktosa
Diare jarang disebabkan oleh intoleransi laktosa saja. Tatalaksana
intoleransi laktosa hanya diberikan jika diare terus menerus ini
menghambat perbaikan secara umum. Perlu diingat bahwa F-75 sudah
merupakan formula rendah laktosa.
Pada kasus tertentu:
o ganti formula dengan yoghurt atau susu formula bebas laktosa
o pada fase rehabilitasi, formula yang mengandung susu diberikan
kembali secara bertahap.
• Diare osmotik
Diare osmotik perlu diduga jika diare makin memburuk pada pemberian
F-75 yang hiperosmolar dan akan berhenti jika kandungan gula dan
osmolaritasnya dikurangi.
Pada kasus seperti ini gunakan F-75 berbahan dasar serealia dengan
osmolaritas yang lebih rendah.
Berikan F-100 untuk tumbuh kejar secara bertahap.

2.2.10 Kriteria Pulang


Persiapan untuk tindak Ianjut di rumah dapat dilakukan sejak anak dalam
perawatan, misalnya melibatkan ibu dalam kegiatan merawat anaknya. Kriteria
sembuh bila BB/TB atau BB/PB -2 SD dan tidak ada gelala klinis. dapat
dipulangkan bila memenuhi kriteria pulang sebagai berikut :
• Edema sudah berkurang atau hilang, anak sadar dan aktif
45

• BB/PB atau BUTB -3 SD


• Komplikasi sudah teratasi
• Ibu telah mendapat konseling gizi
• Ada kenaikan BB sekitar 50 g/kg BWminggu selama 2 minuu berturut-
turut
• Selera makan sudah baik, makanan yang diberikan dapat dihabiskan.

2.3 Tuberkulosis Paru

2.3.1 Definisi

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan bakteri


berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberkulosis.
Penularan penyakit ini melalui perantaraan ludah atau dahak (droplet) dari
penderita TB kepada individu yang rentan (daya tahan tubuh rendah). Pada
umumnya TB menyerang jaringan paru, tetapi dapat juga menyerang organ lainnya
(Safithri, 2017).

2.3.2 Etiologi
Penyakit TB Paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mikobakterium tuberkulosa yang berbentuk batang berukuran ± 0,3-0,6 dan
panjang ± 1-4µ dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang
Tahan Asam (BTA). Dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok,
bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal
yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Dapat bertahan terhadap pencucian
warna dengan asam dan alkohol, sehingga disebut basil tahan asam (BTA), tahan
terhadap zat kimia dan fisik, serta tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat
dorman (dapat tertidur lama) dan aerob (Azzahra., 2017).
Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100ºC selama 5-10 menit atau
pada pemanasan 60ºC selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30
detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara, di tempat yang lembab dan gelap
bisa berbulan-bulan namun tidak tahan terhadap sinar matahari atau aliran udara.
46

Data pada tahun 1993 melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara bersih
dari kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali pertukaran udara per jam (Azzahra.,
2017).
Ada beberapa jenis Mikrobakterium seperti Mycrobacterium bovis,
Mycobacterium kansassi, Mycobacterium aviumdan Mycobacterium nenopi.
Namun yang paling penting adalah Mycobacterium tuberculosis yang
menyebabkan penyakit tuberkulosis dan menyerang paru (Azzahra., 2017).

2.2.3 Patologi dan Patogenesis


47

(Kemenkes RI, 2016)

2.3.4 Manifestasi Klinis


48

a. Gejala sistemik/ umum

Gejala sistemik/ umum yang biasanya dialami oleh pasien anak‐anak penderita TB
adalah sebagai berikut

1) Gejala –gejala dari saluran nafas misalnya batuk lama lebih dari 30 hari (setelah
disingkirkan sebab lain dari batuk) tanda cairan didada dan nyeri dada.

2) Produksi sputum.

3) Nafsu makan tidak ada (anorexia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak
naik (failure to thrive) dengan adekuat.

4) Berat badan turun selama 3 bulan berturutturut tanpa sebab yang jelas dan tidak
naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik (failure to
thrive).

5) Demam lama/berulang >2 minggu tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria
atau infeksi saluran nafas akut) dapat disertai keringat malam.

6) Keringat malam

7) Gejala‐gejala dari saluran cerna misalnya diare berulang yang tidak sembuh
dengan pengobatan diare benjolan (masa) di abdomen dan tanda‐tanda cairan dalam
abdomenPembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit biasanya multipel
paling sering didaerah leher ketiak dan lipatan paha (inguinal).

8) Rasa kurang enak badan (malaise)

9) Sesak nafas dan nyeri dada

Batuk merupakan gejala yang paling sering ditemukan dan terjadi pada pasien TB
anak karena adanya iritasi bronkus. Sifat batuk dimulai dari batuk kering
(nonproduktif) kemudian setelah adanya peradangan batuk menjadi disertai dengan
sputum (produktif)

b. Gejala spesifik terkait organ


49

Kuman penyakit TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit


sehingga tidak terlalu sering menimbulkan gejala spesifik. Gejala‐gejala spesifik
ini tidak ditemukan pada bayi dibawah umur 1 tahun. Gejala‐gejala ini hanya akan
muncul setelah anak belajar berjalan atau melompat. Organ yang biasanya dituju
adalah organ yang memiliki vaskularisasi baik, misalnya otak, ginjal, tulang, dan
paru terutama apeks paru atau lobus atas paru. Sedangkan pada bagian tulang
belakang, yang paling sering terserang adalah peridiskal dengan penyebaran
melalui ligamentum longitudinal. Selain itu juga biasanya dikeluhkan adanya
benjolan pada tulang belakang yang disertai oleh nyeri (spondiliti tuberkulosis).
Sebanyak 50% penderita spondilitis tuberkulosis mempunyai masalah penyerta
berupa defisit neurologis yang akan memperberat morbiditas pada 10‐45% di
antaranya. Sedangkan pada anak‐anak di bawah usia 10 tahun spondilitis
tuberkulosis akan menyebabkan destruksi vertebra yang lebih ekstensif sehingga
memperbesar terjadinya risiko deformitas tulang belakang yang lebih luas (Frida,
2016). Sebagai contoh jika infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis mengenai
korpus vertebra dan menyebabkan terjadinya kompresi pada medula spinalis, maka
dapat terjadi deformitas dan kelumpuhan. Kelumpuhan yang permanen akan
mengganggu dan membebani tidak saja penderita itu sendiri, tetapi juga keluarga
dan masyarakat. Selain itu gejala spesifik yang sering timbul pada anak adalah
sebagai berikut:

1) TBC kulit/ skrofuloderma

2) TBC tulang dan sendi :

‐ Tulang punggung (spondilitis) : gibbus

‐ Tulang panggul (koksitis) : pincang pembengkakan dipinggul

‐ Tulang lutut : pincang dan / atau bengkak

‐ Tulang kaki dan tangan

3) TBC Otak dan Saraf : Meningitis dengan gejala iritabel kaku kuduk
muntah‐muntah dan kesadaran menurun
50

4) Gejala mata : Konjungtivitis fliktenularis, Tuberkel koroid (hanya terlihat


dengan funduskopi).

(Marlinae et al., 2019).

2.3.5 Pemeriksaan Diagnosis TB Paru Anak

1. Pemeriksaan Bakteriologis

Beberapa pemeriksaan bakteriologis untuk TB (Kemenkes RI, 2016):


a. Pemerlksaan mikroskopis BTA sputum atau spesimen lain (cairan tubuh atau
jaringan biopsl)
Pemeriksaan BTA sputum sebaiknya dilakukan minimal 2 kali yaitu sewaktu dan
pagi hari.
b. Tes cepat molekuler (TCM) TB
1) Saat ini beberapa teknologi baru telah dikembangkan untuk dapat
mengidentifikasi kuman Mycobacterium tuberculosis dalam waktu yang cepat
(kurang lebih 2 jam), antara lain pemeriksaan lLine Probe Assay (misalnya Hain
GenoType) dan NAAT-Nucleic Acid Amplification Test) (misalnya Xpert
MTB/RIF).

2) Pemeriksaan TCM dapat digunakan untuk mendeteksi kuman Mycobacterium


menentukan ada tidaknya resistensi terhadap Rifampicin. Pemeriksaan TCM
mempunyai nilal diagnostik yang lebih baik dari pada pemeriksaan mikroskopis
sputum, tetapi masih di bawah uji biakan. Hasil negatif TCM tidak menyingkirkan
tuberculosis secara molecular sekaligus diagnosis TB.

c. Pemeriksaan biakan

Baku emas dingnosis TB adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu


kuman Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung,
cairan serebrospinal, Pemeriksaan biakan sputum dan uji obat dilakukan jika
fasilitas tersedlia, Jenis media untuk pemeriksaan biakan yaitu:
1) Media padat hasil biakan dapat diketahui 4-8 minggu
51

2) Media cair: hasil biakan bisa diketahui lebih cepat (1-2 minggu), tetapi lebih
mahal.
2. Pemerlksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk membantu memastikan
diagnosis TB pada anak:
a. Uji tuberkulin
Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat
antigenik yang kuat. Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu
menegakkan diagnosis TB terutama pada anak-anak.Satu satunya uji tuberkulin
yang sebaiknya digunakan pada praktek sehari-hari adalah uji 5-TU (uji mantoux).
Uji intradermal dengan injeksi 0,1 ml PPD secara intradermal di bagian
volar/permukaan belakang pada lengan bawah.Injeksi tuberculin menggunakan
jarum gauge 27 dan spuid tuberculin, dan saat melakukan injeksi tuberculin ini
harus membentuk sudut 30° antara kulit dan jarum. Penyuntikan ini dianggap
berhasil apabila didapatkan adanya indurasi berdiameter 6-10 mm. Uji ini didapat
atau sudah dapat di lihat pada waktu 48-72 jam setelah dilakukan penyuntikan.
Hasil uji tuberculin dicatat sebagai diameter dari indurasi tersebut dengan cara di
palpasi bukan dari adanya kemerahan.
Hasil tes Mauntox ini dibagi dalam:

1. Indurasi 0-5 mm : Mantoux positif = golongan no sensititivity

2. Indurasi 6-9 mm : hasil meragukan = golongan low grade sensitivity

3. Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif = golongan normal sensitivity

4. Indurasi lebih dari 15 mm : Mantoux positif kuat = golongan


hypersensitivity.(Dita Anisa Diara Nasution, 2019)

b. Foto torak

Foto torak merupakan pemeriksaan penunjang untuk menegakkun diagnosis


TB padn anak. Namun gambaran foto torak pada TB tidak khas kecuali gambaran
TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang mendukung TB adalah sebagai
berikut:
52

1) Pembesaran kelenjar hilus infiltrat (visualisannya selain foto toraks AP,


harus discrtai foto toraks lateral)

2)konsolidasi segmental/lobar

3) Efusi pleura

4) Milier

5) Atelektasis

6) Kavitan

7) Kalsifikasi dengan infiltrat

8) Tuberkuloma atau paratrakeal dengan/tanpa

2.3.6 Sistem Skoring TB Anak


53

Catatan :
• Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter
• Berat badan dinilai saat datang.
• Demam dan batuk tidak ada respon terhadap terapi
• Foto rontgen toraks bukan alat utama pada TB Anak
• Diagnosis TB Anak bila jumlah skor ≥6 (skor maksimal 13)
• Pasien yang mendapat skor 5, dengan usia balita atau dengan kecurigaan TB yang
kuat, rujuk ke RS untuk di evaluasi lebih lanjut
• Profilaksis bila ada anak yang kontak dengan pasien TB dewasa sputum BTA (+)
namum evaluasi dengan sistem skoring nilainya ≤5
(Nasution, 2019).

2.3.7 Penatalaksanaan

Pada sebagian besar kasus TB pada anak, pengobatan selama 6 bulan cukup
adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun
pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter
terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang
nyata walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti,
OAT tetap dihentikan. Berikut adalah alur tatalaksana pasien TB anak untuk di unit
pelayanan kesehatan dasar.

Berdasarkan panduan pengobatan standar yang direkomendasiakan oleh


WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease),
TB anak termasuk dalam kategori 3 yaitu 2RHZ/4RH. Tatalaksana medikamentosa
TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan profilaksis (pencegahan). Terapi TB
diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak
yang kontak TB (profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB
(profilaksis sekunder). Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah:

a. Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai


monoterapi.
54

b. Pemberian gizi yang adekuat.

c. Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.

Isoniazid (H)

1) Identitas. Sediaan dasarnya adalah tablet dengan nama generik Isoniazida 100
mg dan 300 mg /tablet Nama lain Isoniazida : Asam Nicotinathidrazida;
Isonikotinilhidrazida; INH.

2) Dosis. Untuk pencegahan, anak anak 10 mg per berat badan sampai 300 mg, satu
kali sehari. Untuk anak dengan dosis 10 20 mg per kg berat badan. Atau 20 – 40
mg per kg berat badan sampai 900 mg, 2 atau 3 kali seminggu.

3) Indikasi. Obat ini diindikasikan untuk terapi semua bentuk tuberkulosis aktif,
disebabkan kuman yang peka dan untuk profilaksis orang berisiko tinggi
mendapatkan infeksi. Dapat digunakan tunggal atau bersama‐sama dengan
antituberkulosis lain.

4) Kontraindikasi. Kontra indikasinya adalah riwayat hipersensistifitas atau reaksi


adversus, termasuk demam, artritis, cedera hati, kerusakan hati akut, tiap etiologi :
kehamilan(kecuali risiko terjamin).

5) Kerja Obat. Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam
beberapa hari pertama pengobatan. Efektif terhadap kuman dalam keadaan
metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Mekanisme kerja
berdasarkan terganggunya sintesa mycolic acid, yang diperlukan untuk
membangun dinding bakteri.

Rifampisin (R)

1) Identitas. Sediaan dasar yang ada adalah tablet dan kapsul 300 mg, 450 mg, 600
mg

2) Dosis. Untuk dewasa dan anak yang beranjak dewasa 600 mg satu kali sehari,
atau 600 mg 2 – 3 kali seminggu. Rifampisin harus diberikan bersama dengan obat
anti tuberkulosis lain. Bayi dan anak anak, dosis diberikan dokter / tenaga kesehatan
55

lain berdasarkan atas berat badan yang diberikan satu kali sehari maupun 2‐3 kali
seminggu. Biasanya diberikan 7,5 – 15 mg per kg berat badan. Anjuran Ikatan
Dokter Anak Indonesia adalah 75 mg untuk anak < 10 kg, 150 mg untuk 10 – 20
kg, dan 300 mg untuk 20 ‐33 kg.

3) Indikasi. Di Indikasikan untuk obat antituberkulosis yang dikombinasikan


dengan antituberkulosis lain untuk terapi awal maupun ulang.

4) Kerja Obat. Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi‐dormant yang


tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Mekanisme kerja, Berdasarkan perintangan
spesifik dari suatu enzim bakteri Ribose Nukleotida Acid (RNA)‐polimerase
sehingga sintesis RNA terganggu.

Pirazinamid (Z)

1) Identitas. Sediaan dasar Pirazinamid adalah Tablet 500 mg/tablet.

2) Dosis. Dewasa dan anak sebanyak 15 – 30 mg per kg berat badan, satu kali sehari.
Atau 50 – 70 mg per kg berat badan 2 – 3 kali seminggu. Obat ini dipakai bersamaan
dengan obat anti tuberkulosis lainnya.

3) Indikasi. Digunakan untuk terapi tuberkulosis dalam kombinasi dengan anti


tuberkulosis lain.

4) Kontraindikasi. terhadap gangguan fungsi hati parah, porfiria, hipersensitivitas.

5) Kerja Obat. Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel
dengan suasana asam. Mekanisme kerja, berdasarkan pengubahannya menjadi
asam pyrazinamidase yang berasal dari basil tuberkulosa.

Kombinasi Dosis

Tepat Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan


diberikan dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada
tahap intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat
badan anak. Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R) dan
56

Pirazinamid (Z) selama 2 bulan diberikan setiap hari (2HRZ). Tahap lanjutan terdiri
dari Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) selama 4 bulan diberikan setiap hari (4HR).

Waktu pengobatan TB pada anak 6‐12 bulan. pemberian obat jangka panjang
selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
kekambuhan. Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap: Yaitu tahap intensif,
selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal 3 macam obat,
tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
Selanjutnya, tahap Lanjutan, selama 4‐10 bulan selanjutnya, tergantung hasil
pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit. Selama tahap intensif dan
lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk mengurangi ketidakteraturan
minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari.

Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun
ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain‐ lain dirujuk
ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier,
efusi pleura TB, perikarditis kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1‐2 mg/kg
BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama
pemberian kortikosteroid adalah 2‐4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan
tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini untuk
mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.

Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional


Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah: Kategori Anak dengan 3 macam
obat: 2HRZ/4HR dan Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4‐10HR.

(Marlinae et al., 2019).

2.3.8 Prognosis dan komplikasi TB Paru Anak


Prognosis penderita TB umumnya baik. Kecuali penderita yang telah
mengalami relaps (kekambuhan), atau diikuti oleh penyakit penyerta lainnya.
Apabila terbentuk kaverne yang cukup besar, kemungkinan untuk batuk berdarah
hebat sangat mungkin terjadi dan dapat juga menimbulkan kematian secara tidak
57

langsung. Penyakit yang parah dapat menyebabkan sepsis yang hebat, gagal napas,
dan kematian. TB yang resisten terhadap obat dapat saja terjadi (Nasution, 2019).

2.4 Diaper Dermatitis

2.4.1 Definisi

Diaper dermatitis (juga dikenal sebagai ruam popok, nappy rash atau
dermatitis iritan karena popok) adalah istilah umum untuk meggambarkan inflamasi
akut pada area terkena popok; kondisi ini umumnya terjadi pada bayi.4Kata
“popok” digunakan bukan karena popok menyebabkan dermatitis, melainkan
secara garis besar akibat faktor- faktor dalam area popok seperti urin, feses,
kelembapan atau gesekan.
Diaper dermatitis atau disebut juga diaper rash atau ruam popok, merupakan
erupsi inflamasi di daerah yang tertutupi oleh popok, yaitu daerah paha, bokong,
dan anal. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit kulit tersering pada bayi dan
anak-anak yang popoknya selalu basah dan jarang diganti, dapat pula terjadi pada
pasien-pasien inkontinen yang memerlukan popok untuk menampung urin atau
feses.
Diaper dermatitis secara umum terbagi dua, yaitu diaper dermatitis iritan dan diaper
dermatitis kandida yang secara umum mengenai area yang menggunakan popok
pada individu berbagai usia.

2.4.2 Etiologi
Etiologi dermatitis popok adalah multifaktorial. Kerusakan kulit area diaper
merupakan akibat beberapa faktor yang berlangsung lama, sehingga meningkatkan
kelembapan kulit. Hal tersebut meningkatkan risiko kerusakan kulit karena
gesekan, penurunan fungsi barier kulit, dan meningkatkan reaktivitas iritan. Faktor
etiologi lain adalah kontak dengan urin, tinja, enzim pencernaan pemecah protein
dan lemak pada tinja, peningkatan pH kulit dan superinfeksi kandida, lebih jarang
superinfeksi bakteri. Kulit yang memakai popok mempunyai pH lebih tinggi
daripada kulit tidak menggunakan popok baik pada bayi maupun anak yang lebih
58

tua. Peningkatan pH juga terkait dengan efek oklusi popok dan peningkatan
permeabilitas kulit.
Penyebab diaper dermatitis iritan adalah amoniak dalam urin ataupun tinja
yang dapat menyebabkan maserasi kulit. Penyebab lain yaitu peningkatan hidrasi
kulit, kulit lembap lebih mudah terluka karena gesekan popok saat anak bergerak
dan lebih mudah teriritasi. Kulit basah juga memungkinkan pertumbuhan bakteri
dan ragi yang dapat meningkatkan pH kulit lokal, meningkatkan aktvitas lipase dan
protease tinja. Diaper dermatitis juga dapat disebabkan oleh Candida albicans yang
merupakan parasit sekunder. Penggunaan antibiotik juga meningkatkan kolonisasi
Candida albicans.
Faktor-faktor lain adalah kontak dengan iritan kulit (urin, feses, garam
empedu), gesekan mekanis (kulit ke kulit, popok ke kulit), pH kulit, status gizi atau
diet (komposisi feses), diare, dan kondisi medis tertentu.

2.4.3 Patogenesis
Diaper dermatitis secara umum disebabkan reaksi iritan pada lingkungan
popok seperti friksi, oklusi, kelembapan, maserasi, urin, feses atau kimia; juga
berhubungan dengan kebiasaan minum susu lewat botol dan adanya Candida
albicans dalam saluran pencernaan .
Sel-sel stratum korneum saling terhubung melalui desmosom; terdapat
struktur lapisan lemak yang dapat melindungi kulit dari paparan air. Iritan lebih
mudah menembus barier rusak. Lingkungan yang berubah karena pemakaian popok
dapat mempengaruhi struktur, fungsi, dan respons penghalang kulit. Lingkungan
lembap dapat menyebabkan hidrasi berlebih stratum korneum dan gangguan
struktur lapisan lemak. Rusaknya integritas stratum korneum dapat menyebabkan
iritasi, mudah ditembus mikroorganisme dan mengaktifkan sel Langerhans
epidermis. Enzim lipase dan protease pada tinja dapat mengganggu integritas
stratum korneum dan mendegradasi protein, sehingga dapat menembus sawar.
Penetran atau iritan yang berinteraksi dengan keratinosit, menstimulasi pengeluaran
sitokin yang kemudian berpengaruh pada pembuluh darah dermis dan menimbulkan
peradangan. Iritan tersebut juga dapat meningkatkan proliferasi, metabolisme, dan
59

diferensiasi, akibatnya epidermis mengatur ulang susunan stratum korneum dan


menghasilkan struktur yang rusak, pengaturan air tidak normal, serta deskuamasi
yang tidak memadai
Lesi kulit yang tertutup popok dapat terjadi apabila enzim pankreas tidak
dinetralisir di usus besar dan apabila enzim pankreas bercampur garam empedu
akan meningkatkan oklusi, eritema, aliran darah, pH kulit, dan Trans Epidermal
Water Loss (TEWL). Kulit dengan pH tinggi berhubungan dengan tingginya hidrasi
kulit (kulit menjadi lebih basah). Pada pasien gangguan metabolik terjadi
peningkatan enzim pencernaan, sehingga berisiko mengalami kerusakan kulit
karena enzim yang tidak diserap diekskresikan lewat feses dan dapat memecah
protein stratum korneum. Pada bayi dan anak-anak yang menjalani operasi usus
atau dengan diare, waktu proses dan pencernaan makanan dipercepat, menghasilkan
aktivitas protease dan lipase yang meningkat dan membuat kulit lebih rentan
terhadap dermatitis popok.
60

2.4.4 Gejala Klinis


Gejala klinis diaper dermatitis dapat berupa diaper dermatitis iritan atau
diaper dermatitis kandida. Evaluasi keparahan gejala klinis dan keberhasilan terapi
secara garis besar dapat dilihat dari evaluasi eritema, ruam, dan kulit kering. Diaper
dermatitis dapat memengaruhi perut bagian bawah, daerah lumbal bawah, gluteal,
genitalia, paha bagian dalam, dan kulit cembung yang paling dekat popok.
61

a. Diaper Dermatitis Iritan Merupakan dermatitis eritematosa terbatas pada


permukaan yang tertutup popok; bentuk diaper dermatitis paling umum,
dan mengenai berbagai usia. Gambaran klinis diaper dermatitis iritan
adalah patch eritematosa, lembap, dan terkadang skuama di area yang
cembung di genitalia dan bokong, dimulai dari area paling dekat popok.
Erosi dangkal terkadang ditemukan pada permukaan konveks yang dapat
asimtomatis. Pada kasus parah didapatkan erosi dangkal bahkan ulserasi,
ujung penis dapat teriritasi disertai krusta, sehingga bayi sering miksi dan
didapatkan bercak darah di popok.

Diaper dermatitis iritan, melibatkan konveksitas kulit genitoanal

b. Diaper dermatitis kandida adalah dermatitis area popok yang disebabkan


oleh jamur Kandida. Gejala klinisnya adalah tampak papul, patch, dan
plak merah cerah pada lipatan tubuh dan pada permukaan cembung. Lesi
tersebut awalnya muncul perianal kemudian menyebar ke perineum dan
terkadang sampai bagian paha atas.Diaper dermatitis kandida terkadang
disertai sariawan mulut yang harus segera diobati sehingga mulut bayi
harus selalu diperiksa. Lesi satelit adalah tanda khas diaper dermatitis
kandida. Kandida yang berasal dari flora usus sering menyebabkan
dermatitis popok lebih dari 3 hari dan jumlahnya meningkat sesuai tingkat
keparahan klinis. Infeksi Candida albicans jarang terjadi pada bayi yang
tidak menggunakan popok tetapi ditemukan sekitar 41% sampai 77%
pada bayi yang menggunakan popok.
62

Diaper dermatitis kandida dengan pustul satelit dan papul


yang mencerminkan infeksi Candida albicans.

2.4.5 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang terutama untuk identifikasi infeksi Kandida. Infeksi


ini sering terjadi setelah diare atau penggunaan antibiotik oral.Diagnosis diaper
dermatitis kandida berdasarkan karakteristik morfologi klinis kandida yang pada
kerokan Kalium Hidroksida (KOH) menunjukkan adanya pseudohifa. Pemeriksaan
bakteri diperlukan untuk mengetahui adanya infeksi bakteri pada lesi. Pada kasus
berat dapat dilakukan kultur terhadap kuman Staphylococcus aureus.

2.4.6 Diagnosis Banding


1. Dermatitis Seboroik Infantil
Dermatitis seboroik pada bayi biasanya menyerang kulit kepala, telinga,
alis, leher, dan aksila, tetapi juga dapat mempengaruhi area popok.
Gambaran klinis dapat berupa area kemerahan berbatas tegas dan terdapat
skuama; muncul biasanya antara minggu kedua dan keenam pertama setelah
lahir, biasanya hilang dalam beberapa minggu dan tidak kambuh. Dermatitis
seboroik infantil dapat menyerang semua area.
63

2. Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik mempunyai kecenderungan kulit kering dengan riwayat
keluarga atopik dan lesi dapat mempengaruhi area kulit yang lain.
Dermatitis atopik dapat tidak mengenai area popok karena popok
memberikan kelembapan lingkungan yang menghidrasi kulit. Gambaran
klinis dermatitis atopik yaitu dapat ditemukan bekas garukan kronik,
peningkatan garis kulit, dan ekskoriasi.

2.4.7 Tatalaksana :
Diaper dermatitis dapat dicegah dengan menggunakan popok daya serap
tinggi; cara kerjanya adalah menyerap air dari kulit yang basah dan melindungi pH
tetap terjaga. Popok superabsorben lebih baik dibandingkan popok kain atau popok
sekali pakai.Penggunaan popok sekali pakai dengan gel penyerap (mengandung
natrium poliakrilat) dapat mengurangi dermatitis popok bayi .
Pada lesi di daerah tertutup popok dapat diperiksa adakah infeksi kandida;
dapat dipertimbangkan penggunaan mikonazol krim 0,25%. Pilihan agen antijamur
topikal adalah nistatin, mikonazol, klotrimazol, dan siklopiroks; nistatin paling
sering digunakan. Nistatin topikal sudah digunakan selama 50 tahun untuk
mengobati infeksi kandida; aman dan efektif untuk terapi kandidiasis kutaneus pada
bayi. Penggunaan nistatin pada diaper dermatitis menunjukkan hasil memuaskan.
Klotrimazol juga efektif untuk dermatitis popok karena Candida albicans dan pada
dermatomikosis resisten terhadap nistatin dan terapi anti-jamur lainnya.
Jika tidak ditemukan infeksi kandida, dapat diperiksa apakah ada infeksi
bakteri. Infeksi dapat diberi antibakteri topikal (pilihan utama polimiksin B sulfat
dan zink basitrasin, mupirosin krim 2%, atau asam fusidat krim 2%).
64

Terapi paling utama diaper dermatitis adalah menjaga kulit tetap kering
dengan mengganti popok sesering mungkin setelah terkena urin atau tinja
(Irfanti et al., 2020).
65

LAPORAN KASUS

I. Anamnesa Pribadi O.S


Nama : NA
Umur : 7 Tahun 6 Bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 24.04.2014
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Minang/Indonesia
Alamat : Jl. Amaliun GG Arjuna No. 4, Kota Medan
Nama Ayah : Syaiful Usman
Nama Ibu : Kemala Dewi
Tanggal Masuk : 21.10.2021
No. RM : 01.17.33.47
Berat Badan : 10,5 Kg
Panjang Badan : 94 Cm
Lingkar Kepala : 45,6 Cm
Status Gizi : Buruk

II. Anamnesa mengenai orang tua os

Identitas Ayah Ibu

Nama SU KD
Umur 50 Tahun 43 Tahun
Suku/Bangsa Minang/Indonesia Minang/Indonesia
Agama Islam Islam
Pendidikan SMA SMP
Pekerjaan Wiraswasta Ibu Rumah Tangga

I. Riwayat Kelahiran Os
Bayi lahir pada tanggal 24 April 2014 secara normal ditolong
oleh dokter dengan berat badan lahir 3500 gram, panjang
66

badan lahir 40 cm, bayi segera menangis saat dilahirkan dan


tidak ada kelainan kongenital.

II. Anamnesa Makanan


Asi Ekslusif : Dari Lahir sampai Usia 6 bulan
Susu Formula : Setelah Usia 6 bulan, dalam 2 tahun terkhir hanya
sesekali mengonsumsi susu formula.
Bubur Susu :-
Nasi Tim : Sejak 7 bulan , 3x/hari
Makanan Dewasa : Usia 12 bulan. Komsumsi Makanan sejak 2 tahun
terakhir ini, tidak mencukupi kebutuhan tubuh, mulai dari protein,
karbohidrat, lemak, serat, dan vitamin. Makanan sehari-hari yang
dikonsumsi dengan porsi yang sedikit. Dimana lebih sering mengonsumsi
nasi dengan telur saja/ tempe saja/ sayur saja, atau jagung.

III. Imunisasi
- BCG : 1 Kali
- Polio : 3 Kali
- Hepatitis B : 3 Kali
- DPT : 3 Kali
- Campak : 3 Kali

IV. Anamnesa mengenai penyakit os


(Keterangan di dapat dari keluarga pasien/Aloanamnesa)
Keluhan Utama:Mencret sudah 3 hari, frekuensi 3-4 kali dalam sehari,
muntah(+), demam(+), nafsu makan menurun.
Telaah: Seorang anak perempuan usia 7 tahun datang dibawa keluarganya
ke RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan keluhan mencret selama 3 hari
dengan frekuensi >3x (3-4 kali) dalam 1 hari, darah (-), lendir (-)
dengan konsistensi cair. Os juga mengalami,demam, mual, muntah,
nafsu makan menurun dan penurunan berat badan.Os juga
mengalami gatal-gatal didaerah genitalia warna kemerahan akibat
67

dari penggunaan popok yang jarang diganti.

Riwayat Penyakit Terdahulu : Pada bulan Oktober Tahun 2020 Os


pernah dirawat di Rs Muhammadiya dengan
diagnosis Gizi Buruk. Berat badan tidak diingat
ibu os tetapi lebih berat dari kondisi yang
sekarang.
Riwayat Penggunaan Obat :-
Riwayat Penyakit Keluarga. : Di keluarga os ada yang mengalami penyakit
yang sama yaitu adik kandung os
VII. Pemeriksaan Jasmani
Pemeriksaan Umum
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah :-
Frekuensi Nadi :110x/i
Frekuensi Nafas :22x/i
Suhu :37,50C
BB :9kg
PB :94 cm
Lingkar Kepala :45,4
Status Gizi :Buruk

Status Lokalis

a) Kepala :Mikrosefali (45,5 cm), bentuk wajah seperti orang


tua,rambut warna kemerahan,kusam
Mata :Refleks pupil (+/+), cekung
(+/+), konjungtiva palpebra
anemis (+/+), Ikterik (-/-)
Hidung :Deviasi septum nasi (-),
pernafasan cuping hidung (-)
Telinga :Discharge (-), hiperemis (-)
68

Mulut :Mukosa bibir kering (+), lidah kotor (-)


b) Leher :Trakea intak medial, pembesaran KGB (-)
c) Thorax
Jantung :
Inspeksi :Iktus Kordis tidak tampak
,Palpasi :Iktus kordis teraba
Perkusi :Dalam batas normal
Auskultasi :Bunyi jantung 1, bunyi jantung 2, bising jantung (-)
Paru-Paru :
Inspeksi :Retraksi dada (-), Iga Gambang (+)
,Palpasi :Stem fremitus kanan kiri sama
Perkusi :Sonor Kedua lapang paru
Auskultasi :Suara napas tambahan Ronki Basah (+)
d) Abdomen:
Inspeksi :Simetris(+), Perut cekung (+)
Palpasi :Nyeri tekan(-), Turgor kembali lambat
Perkusi :Timpani
Auskultasi :peristaltic usus(+) 15 kali/menit
e) Ekstremitas
Atas :Teraba hangat(+/+), Sianosis (-), CRT <5 detik
Bawah :Teraba hangat(+/+), Sianosis (-), CRT <5 detik
f) Genitalia :Terdapat kemerahan pada bokong, lipatan paha, kelamin
dan rasa gatal.
g) Status Neurologi
a. System Motorik :
-Pertumbuhan otot :Atropi otot
-kekuatan Otot :Melemah
69

Pemeriksaan darah rutin tanggal (21 Oktober 2021)

DARAH Nilai Normal

WBC 16.30 4.0-11.0


[10^6/uL]
RBC 3.42 4.00-5.40
[10^6/uL]
HGB 6,3 12-16
[g/dL]
HCT 23.1 [%] 36.0-48.0

MCV 67.5 fL 80,0-97.0

MCH 18.4 pg 27.0-33.7

MCHC 27.3[g/dL] 31.5-35.0

PLT 1041 150-400


[10^3/uL]
RDW-CV 21.7 [%] 10.0-15.0

Pemeriksaan darah rutin tanggal (27 Oktober 2021)

DARAH Nilai Normal

MCV 73.0 fL 80.0-100.0

MCH 19.4 pg 27.0-34.0

P-LCR 17.1 % 11.0-16.0

PLT 806 100 – 300


[10^3/uL]
WBC 12.48 4.0-11.0
[10^3/uL]
HGB 5.4 g/dL 12.0-16.0
70

Pemeriksaan kimia klinik tanggal (21 Oktober 2021)


Elektrolit Darah Nilai Rujukan

Natrium 131,00 mmol/L 136,00- 155,00

Kalium 5,40 mmol/L 3,50 – 5,50

Chlorida 83,00 mmol/L 95,00-103,00

Pemeriksaan Faeces Rutin (29 Oktober 2021)


Faeces Rutin Hasil Nilai Rujukan
Makroskopis – Warna Kuning 0,00 – 0.00
Makroskopis – Konsistensi Lembek 0,00 – 0.00
Makroskopis – Lendir Negatif 0,00 – 0.00
Makroskopis – Darah Negatif 0,00 – 0,00
Makroskopis – Amuba Negatif Negatif
Makroskopis – Kista Negatif Negatif
Makroskopis – Telur Negatif Negatif
Makroskopis – Telur Ascaris Negatif Negatif
Makroskopis – Telur Hookworm Negatif Negatif
Makroskopis – Telur Oxyuris Negatif Negatif
Makroskopis – Telur Trichuris 2-3/Lpb Negatif
Makroskopis – Protein Negatif 0,00 – 0,00

Rapid Tes Antigen SARS Cov-2 tgl 10/09/2021

Imunologi Hasil

Rapid Tes Antigen SARS Cov- Negatif


2

Foto thoraks tgl 21/09/2021


71

Rontgen Thoraks
Jantung ukurannya dalam batas normal
Sinus Costofrenikus kanan dan kiri lancip
Diafragma kanan dan kiri licin
Tampak peribronchial infiltrat diparacardial kiri

Kesan Bronkopneumonia kiri

Sistem Skoring(Scoring Sytem)TB


Parameter 0 1 2 3 Skor
Kontak TB BTA 3
positif
Uji Tuberkulin
Status gizi Gizi buruk 2
tampak sangat
kurus(BB/TB<-
3SD) dan atau
edema pada
kedua
punggung kaki
sampai
Demam tanpa sebab >2minggu 1
Jelas
Batuk >3minggu 1
Pembesaran kelenjar
limfe,koli,aksial,inguinal
Pembengkakan tulang
atau
sendi,panggul,lutu,falang
Foto Thoraks
Jumlah 7

Diagnosa Awal : Gastroenteritis + Gizi Buruk

Terapi :Terapi IGD


- IVFD. RL 125gtt/i Mikro
- Inj. Cefotaxim 250mg/12jam/IV
- Inj. Ondansetron 2mg/12jam/IV
72

- Amroxol 3 x 1cc
- Paracetamol 4 x 5cc
- Formula 75 125ml/3jam/oral

Diagnosis Kerja : Gastroenritis + Gizi Buruk Tipe Marasmus +

Mikrosefali+ TB Paru + Diaper Dermatitis + Trichuriasis

Follow Up Pasien
Tanggal Folllow Up Terapi
22-10-2021 S : Mencret (4x) , Pucat (+), Batuk • IVFD. RL 42gtt/i Mikro
(+), Ruam Merah Pada Kemaluan • Inj. Cefotaxim
O: Sens: Compos mentis 250mg/12jam/IV
HR : 100x/menit • Inj.Ondansentron
RR : 20x/menit 2mg/12jam.IV
0
Suhu : 37,7 C • Ambroxol syr 3x1,5 cc
BB : 9 kg • Asam Folat 1x1 mg
A: Gastroentritis +Gizi Buruk Tipe • Paracetamol syr 3x5 cc
Marasmus + Mikrosefali+ TB Paru +
• Zinc 1x20 mg
Diaper Dermatitis.
• Vit A1x100.000 iu (merah)
• Formula 75 125ml/3jam/oral
• Ketokonazol Zlf 3x 1

23-10-2021 S : Batuk(+), Demam (+), Mencret • Inj. Cefotaxim


(2x) (+), Ruam Merah Pada 250mg/12jam/IV
Kemaluan • Inj.Ondansentron
O: Sens: Compos mentis 2mg/12jam.IV
HR : 105x/menit • Ambroxol syr 3x1,5 cc
RR : 21x/menit • Asam Folat 1x1 mg
0
Suhu : 37,0 C • Paracetamol syr 3x5 cc
BB : 9 kg • Zinc 1x20 mg
73

A: Gastroentritis +Gizi Buruk Tipe • Vit A1x100.000 iu (merah)


Marasmus + Mikrosefali+ TB Paru + • Formula 75 125ml/3jam/oral
Diaper Dermatitis. • Ketokonazol Zlf 3x 1
• Ripamficin 1x100 mg
• INH 1x100 mg
• Pirazinamid 1x200 mg
25-10-2021 S : Keluar Cacing Dari Mulut (+), • Inj. Cefotaxim 450
Mual (+),Batuk(+), Merah Pada mg/8jam/IV
Kemaluan • Inj.Ondansentron
O: Sens: Compos mentis 2mg/12jam.IV
HR : 102 x/menit • Ambroxol syr 3x1,5 cc
RR : 20x/menit • Asam Folat 1x1 mg
0
Suhu : 36,6 C • Paracetamol syr 3x5 cc
BB : 9 kg • Zinc 1x20 mg
A: Gastroentritis +Gizi Buruk Tipe
• Vit A1x100.000 iu (merah)
Marasmus + Mikrosefali+ TB Paru +
• Formula 75 125ml/3jam/oral
Diaper Dermatitis.
• Ketokonazol Zlf 3x 1
• Ripamficin 1x100 mg
• INH 1x100 mg
• Pirazinamid 1x200 mg
• Pirantel Pamoad 1x100mg
26-10-2021 S : Demam(-), Mencret(-) • Inj. Cefotaxim 450
,Muntah(+), Merah Pada Kemaluan mg/8jam/IV
O: Sens: Compos mentis • Inj.Ondansentron
HR : 110 x/menit 2mg/12jam.IV
RR : 24x/menit • Ambroxol syr 3x1,5 cc
Suhu : 36,50C • Asam Folat 1x1 mg
BB : 9 Kg • Paracetamol syr 4 cc
• Zinc 1x20 mg
74

A: Gastroentritis +Gizi Buruk Tipe • Vit A1x200.000 iu


Marasmus + Mikrosefali+ TB Paru + • Formula 75 125ml/3jam/oral
Diaper Dermatitis. • Ketokonazol Zlf 3x 1
• Ripamficin 1x100 mg
• INH 1x100 mg
• Pirazinamid 1x200 mg
• Pirantel Pamoad 1x100mg
• Formula 75 125ml/3jam/oral
• Antacid 3x2,5 cc
27-10-2021 S : Demam(-), Mencret(2x), Merah • Inj. Cefotaxim 450
Pada Kemaluan mg/8jam/IV
O: Sens: Compos mentis • Antacid 3x2,5 cc
HR : 102 x/menit • Ambroxol syr 3x1,5 cc
RR : 24x/menit • Asam Folat 1x1 mg
0
Suhu : 36,5 C • Paracetamol syr 4 cc
BB : 9 kg • Zinc 1x20 mg
A: Gastroentritis +Gizi Buruk Tipe
• Vit A1x200.000 iu
Marasmus + Mikrosefali+ TB Paru +
• Ketokonazol Zlf 3x 1
Diaper Dermatitis.
• Ripamficin 1x100 mg
• INH 1x100 mg
• Pirazinamid 1x200 mg
• Pirantel Pamoad 1x100mg
• Formula 75 125ml/3jam/oral
• Curcuma 1x1 tab
28-10-2021 S : Demam(-),mencret (2x)
O: Sens: Compos mentis • Inj. Cefotaxim 450
HR : 100 x/menit mg/8jam/IV
RR : 22x/menit • Antacid 3x2,5 cc
Suhu : 36,00C • Ambroxol syr 3x1,5 cc
BB : 9 kg
75

A: Gastroentritis +Gizi Buruk Tipe • Asam Folat 1x1 mg


Marasmus + Mikrosefali+ TB Paru + • Paracetamol syr 4 cc
Diaper Dermatitis. • Zinc 1x20 mg
• Vit A1x200.000 iu
• Ketokonazol Zlf 3x 1
• Ripamficin 1x100 mg
• INH 1x100 mg
• Pirazinamid 1x200 mg
• Formula 100 195ml/3 jam/oral
• Curcuma 1x1
29-10-2021 S : Demam(-),mencret (3x), keluar
cacing (-) • Formula 100 195ml/3jam/oral
O: Sens: Compos mentis • Cucuma 1x1 tab
HR : 105 x/menit • Ripamficin 1x100 mg
RR : 21x/menit • INH 1x100 mg
Suhu : 36,00C • Pirazinamid 1x200 mg
BB : 9 kg • Antacid 3x2,5 cc
A: Gastroentritis +Gizi Buruk Tipe
• Ambroxol syr 3x1,5 cc
Marasmus + Mikrosefali+ TB Paru +
• Asam Folat 1x5 mg
Diaper Dermatitis.+ Trichuriasis
• Paracetamol syr 4 cc
• Zinc 1x20 mg
• Vit A1x200.000 iu
• Ketokonazol Zlf 3x 1
30-10-2021 S : Mencret (1x) • Asam folat 1x 1 mg
O: Sens: Compos mentis • Zinc 1x20 mg
HR : 100 x/menit • Ripamficin 1x100 mg
RR : 23x/menit • INH 1x100 mg
0
Suhu : 35,60 C • Pirazinamid 1x200 mg
BB : 10 Kg • Formula 100 195ml/3jam/oral
76

A: Gastroentritis +Gizi Buruk Tipe • Cucuma 1x1 tab


Marasmus + Mikrosefali+ TB Paru + • Vit A1x200.000 iu
Diaper Dermatitis.+ Trichuriasis • Antacid 3 x 2,5 cc
01-10-2021 S : Mencret (2x) • Asam Folat 1x1 mg
O: Sens: Compos mentis • Cucuma 1x1 tab
HR : 98 x/menit • Ripamficin 1x100 mg
RR : 20x/menit • INH 1x100 mg
Suhu : 36,00C • Pirazinamid 1x200 mg
BB : 10kg • Zinc 1x1 mg
A: Gastroentritis +Gizi Buruk Tipe
• Formula 100 200ml/4jam/oral
Marasmus + Mikrosefali+ TB Paru +
Diaper Dermatitis.+ Trichuriasis
02-10-2021 S : Mencret (1x) • Asam Folat 1x1 mg
O: Sens: Compos mentis • Zinc 1x1 mg
HR : 100 x/menit • Cucuma 1x1 tab
RR : 20x/menit • INH 1x100 mg
0
Suhu : 37,0 C • Pirazinamid 1x200 mg
BB : 10,5 kg • Ripamficin 1x100 mg
A: Gastroentritis +Gizi Buruk Tipe
• Metrodinazol 3 x 1 cth
Marasmus + Mikrosefali+ TB Paru +
• Formula 100 200ml/4jam/oral
Diaper Dermatitis + Trichuriasis
77

BAB III

PENUTUP

Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, dapat


disimpulkan bahwa pasien atas nama Nurul Aini, berusia 7 tahun, berjenis kelamin
perempuan di diagnose Gizi Buruk Tipe Marasmus + TB Paru. Awalnya pasien
menderita mencret dan demam sebelum dirawat di ruangan rawat inap. Pasien ini
sudah diberikan terapi cairan, antibiotic,antipiretik dan zinc.
Prognosis penyakit ini adalah dubia ad bonam untuk quo ad vitam quo ad
sanationam quo functionam karena pasien sudah diberikan perawatan dan terapi
yang adekuat dan memberikan kesan perbaikan kesehatan yang baik,
78

DAFTAR PUSTAKA

Alhidayati, N. H. (2018). Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Gizi Buruk


Dan Gizi Kurang pada Balita di Wilayah Kerja Uptd Puskesmas Kebong
Kabupaten Sintang.

Alhidayati, Nurul Hikmah. (2018). Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian


Gizi Buruk Dan Gizi Kurang pada Balita di Wilayah Kerja Uptd Puskesmas
Kebong Kabupaten Sintang.

Azzahra., Z. (2017). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit


Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Mulyorejo Kecamatan
Sunggal Kabupaten Deli Serdang Tahun 2017. Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.

Ekasari, N. M. (2016). Faktor-faktor Risiko Yang Berhubungan dengan Kejadian


TB Paru Balita Di BKPM Wilayah Semarang, Kesehatan Masyarakat.
https://lib.unnes.ac.id/28316/1/6411412045.pdf.

Florez, I. D., Niño-Serna, L. F., & Beltrán-Arroyave, C. P. (2020). Acute


Infectious Diarrhea and Gastroenteritis in Children. Current Infectious
Disease Reports, 22(2). https://doi.org/10.1007/s11908-020-0713-6

Irfanti, R. T., Betaubun, A. I., Arrochman, F., Fiqri, A., Rinandari, U., Anggraeni,
R., & Ellistasari, E. Y. (2020). Cdk Edisi Khusus Cme-2. 47, 50–55.
http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/download/362/162

Kemenkes RI. (2016a). Petunjuk Teknis Manajemen dan tatalaksana TB Anak. In


Ministry of Health of the Republic of Indonesia (p. 3).

Kemenkes RI. (2016b). Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB Anak.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2020). Pedoman Pencegahan Dan


Tatalaksana Gizi Buruk Pada Balita. In Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.

M.Arvin, & Ann. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Nelson. (15th edn).
79

Marcdante, K. J., & Kliegman, R. M. (2015). Nelson Essentials of Pediatrics (7th


ed.). Elsevier Inc.

Marlinae, L., Arifin, D. dr. H. S., Noor, I. H., Rahayu, A., Zubaidah, D. T., &
Waskito, A. (2019). DESAIN KEMANDIRIAN POLA PERILAKU
KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PENDERITA TB ANAK BERBASIS
ANDROID.

Nasution, D. A. D. (2019). Gambaran Karakteristik Anak Pnederita TB Paru


Usia 0-17 Tahun Di Rumah Sakit Umum Haji Medan.

Nasution, Dita Anisa Diara. (2019). Gambaran Karakteristik Anak Pnederita TB


Paru Usia 0-17 Tahun Di Rumah Sakit Umum Haji Medan (Issue 2).

Oktavia, S., & Laksmi Widajanti, R. A. (2019). Faktor-Faktor Yang Berhubungan


Dengan Status Gizi Buruk Pada Balita Di Kota Semarang Tahun 2017.
53(9), 1689–1699. Journal of Chemical Information and Modeling

PB IDI. (2017). Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan


Kesehatan Primer (Edisi I). Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.

Pudjiadi, S. (2010). Tumbuh Kembang Anak.

Rakhmawati, F. J., Yulianti, A. B., & Widayanti, W. (2020). Angka Kejadian


Tuberkulosis Paru pada Anak dengan Imunisasi BCG di RSUD Al-Ihsan
Bandung Bulan Januari–Juni 2019. Jurnal Integrasi Kesehatan & Sains,
2(2), 114–117. https://doi.org/10.29313/jiks.v2i2.5651

Safithri, F. (2017). Diagnosis TB Dewasa dan Anak Berdasarkan ISTC


(International Srandard for TB Care). Saintika Medika, 7(2).
https://doi.org/10.22219/sm.v7i2.4078

Saputra, M. (2016). Analisis Status Gizi Buruk dan Gizi Kurang Pada Balita Di
Kota Bengkulu.

Subagyo, B., & Santoso, N. B. (2009). Buku Ajar Gastroenternologi-Hepatologi


IDAI: Vol. Jilid 1 (pp. 90–125).
LAMPIRAN
2
3
4
5

Anda mungkin juga menyukai