DISUSUN OLEH :
PEMBIMBING
Nilai :
Dokter Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan “Laporan Kasus” ini untuk
memenuhi persyaratan mengikuti Persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan dengan
judul “Gizi Buruk dengan Tuberkulosis Paru”.
Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.
Indra Wahyudi Tanjung, Sp. A atas segala bimbingan dan arahannya dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah
Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan dan dalam pembuatan laporan kasus ini.
Harapan penulis semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat dan menambah
pengetahuan bagi kita semua serta dapat menjadi arahan dalam
mengimplementasikan ilmu kedokteran dalam praktik di masyarakat.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
2.1 Gastroentritis
2.2.7 Komplikasi...........................................................................................21
v
vi
LAMPIRAN
vi
1
BAB I
PENDAHULUAN
Gastroenteritis (GE) adalah peradangan mukosa lambung dan usus halus yang
ditandai dengan buang air besar encer sebanyak > 3 kali dalam waktu 24 jam.
Gastroenteritis yang terjadi dalam waktu kurang dari 14 hari disebut akut dan jika
lebih dari 30 hari disebut kronis. Menurut WHO (World Health Organization)
mendefinisikan diare akut adalah diare yang berlangsung selama 3-7 hari dan bisa
juga berlangsung sampai 14 hari. Diare persisten adalah kejadian diare yang
kemungkinan penyebabnya akibat adanya infeksi dan mula-mula ditandai dengan
diare akut tetapi, berakhir lebih dari 14 hari. Kondisi ini dapat menyebabkan
malnutrisi dan meningkatkan risiko kematian. GE lebih sering terjadi pada anak-
anak akibat daya tahan tubuh yang belum optimal. Diare merupakan salah satu
penyebab angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada anak di bawah umur
lima tahun. GE dapat disebabkan akibat infeksi mikroorganisme patogen dan non-
infeksi seperti malabsorbsi, keracunan atau alergi makanan dan psikologis
penderita (PB IDI, 2017).
Pada tahun 2013 lebih dari setengah juta anak dibawah umur 5 tahun
meninggal dunia akibat diare. Anak-anak yang meninggal akibat diare umumnya
berasal dari negara yang berpenghasilan rendah-menengah (low and middle income
countries) atau yang lebih dikenal sebagai LMIC. Sedangkan, pada negara yang
2
berpengahsilan tinggi (high income countries) atau yang lebih dikenal sebagai HIC
anak yang mengalami diare jarang sekali berakibat fatal. Namun, akibat diare ini
meningkatkan angka jumlah kunjungan ke unit gawat darurat dan rawat inap
(Florez et al., 2020).
Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi
menahun. Gizi buruk merupakan kondisi kurang gizi yang disebabkan rendahnya
konsumsi energi dan protein (KEP) dalam makanan sehari hari (Saputra, 2016).
Hasil utama Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa proporsi status gizi buruk
(severe wasting atau “sangat kurus”) pada balita telah menurun dari 6,2% (2007)
menjadi 5,3% (2013) dan 3,5% (2018); sedangkan status gizi kurang (wasting atau
“kurus”) dari 7,4% (2007) menjadi 6,8% (2013) dan 6,7% (2018) (Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, 2020).
3
Dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 260 juta pada tahun 2017 dan
proporsi balita (0-59 bulan) sekitar 8,8%, maka jumlah balita total sekitar 23 juta.
Perkiraan jumlah balita dengan gizi buruk adalah: 3,5% x 23 juta = 805.000 balita.
Dengan cakupan penanganan balita gizi buruk yang diperkirakan mencapai sekitar
20.000 balita pada tahun 2017, maka cakupan penanganan kasus balita dengan gizi
buruk baru mencapai sekitar 2,5% dari perkiraan jumlah total balita gizi buruk.
Rendahnya cakupan pelayanan gizi buruk pada balita ini merupakan tantangan yang
sangat besar dalam upaya menurunkan prevalensi gizi buruk pada balita
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2020).
Oleh karena itu, kasus gizi buruk dan tuberkulosis paru termasuk ke dalam
kasus dengan kompetensi 4A, dimana seorang dokter mampu membuat diagnosa
klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas,
dan kompetensi ini dicapai pada saat lulus sebagai dokter umum. Berdasarkan latar
belakang tersebut, maka penulis mengangkat kasus ini sebagai bahan pembelajaran
dalam upaya penanganan penyakit ini pada anak.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gastroenteritis
2.2.1 Definisi
Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari,
disertai perubahan konsistensi tinja mejadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah
yang berlangsung kurang dari satu minggu. Pada bayi yang minum ASI sering
frekuensi buang air besarnya lebih dari 3 – 4 kali per hari, keadaan ini tidak dapat
disebut diare, tetapi masih bersifat fisiologis atau normal. Selama berat badan bayi
meningkat normal, hal tersebut tidak tergolong diare, tetapi merupakan intoleransi
laktosa sementara akibat belum sempurnanya perkembangan saluran cerna. Untuk
bayi yang minum ASI secara eksklusif definisi diare yang praktis adalah
meningkatnya frekuensi buang air besar atau konsistensinya menjadi cair yang
menurut ibunya abnormal atau tidak seperti biasanya. Kadang – kadang pada
seorang anak buang air besar kurang dari 3 kali perhari, tetapi konsistensinya cair,
keadaan ini sudah dapat disebut diare (Subagyo & Santoso, 2009).
Diare kronis dan diare persisten seringkali dianggap suatu kondisi yang sama.
Ghishan menyebutkan diare kronis sebagai suatu episode diare lebih dari 2 minggu,
sedangkan kondisi serupa yang disertai berat badan menurun atau sukar naik
didefinisikan penulis lain sebagai diare persisten. Definisi diare kronis menurut
6
Bhutta adalah episode diare > 2 minggu, sebagian besar disebabkan diare akut
berkepanjangan akibat infeksi, sedangkan definisi menurut The American
Gastroenterological Association adalah episode diare lebih dari 4 minggu, dengan
etiologi non-infeksi. Bervariasinya definisi ini disebabkan perbedaan kejadian diare
kronik dan persisten di negara berkembang dan negara maju, dimana infeksi
merupakan latar belakang tertinggi di negara berkembang, sedangkan penyebab
non-infeksi lebih banyak dibicarakan dan dideteksi di negara maju. Di lingkungan
masyarakat gastrohepatologi anak di Indonesia digunakan pengertian bahwa ada 2
jenis diare ≥ 14 hari, yang juga menggunakan istilah diare kronis dan diare persisten
secara berbeda. Untuk kesepakatan bersama definisi diare persisten untuk yang
mempunyai dasar etiologi infeksi, dan diare kronis, untuk yang mempunyai dasar
etiologi non-infeksi.
2.2.2 Etiologi
GE dapat disebabkan akibat infeksi mikroorganisme patogen meliputi infeksi
virus, bakteri, dan parasit. Adapun penyebab dari GE adalah sebagai berikut :
• Virus
o Rotavirus → sering.
o Calicivirus (norovirus).
o Astrovirus.
o Enterik adenovirus (serotip 40 dan 41).
• Bakteri
o Campylobacter jejuni.
o Clostridium difficile.
o Escherichia coli meliputi; Enterophatogenic (EPEC), Enterotoxigenic
(ETEC), Enteroinvasive (EIEC), Enterohemorrhagic (EHEC), dan
Enteroaggregative (EAEC).
o Salmonela.
o Shigella.
o Vibrio cholerae.
o Vibrio parahaemolyticus.
7
o Yersinia enterocolitica.
• Parasit
o Entamoeba histolytica.
o Giardia lamblia.
bahan yang tidak diserap, menyebabkan bahan intraluminal pada usus halus bagian
proksimal tersebut bersifat hipertonis dan menyebabkan hiperosmolaritas. Akibat
perbedaan tekanan osmose antara lumen usus dan darah maka pada segmen usus
jejenum yang bersifat permeabel, air akan mengalir ke arah lumen jejenum,
sehingga air akan banyak terkumpul air dalam lumen usus. Na akan mengikuti
masuk ke dalam lumen, dengan demikian akan terkumpul cairan intraluminal yang
besar dengan kadar Na yang normal. Sebagian kecil cairan ini akan diabsorpsi
kembali, akan tetapi lainnya akan tetap tinggal di lumen oleh karena ada bahan yang
tidak dapat diserap seperti Mg, glukose, sukrose,laktose, maltose di segmen illeum
dan melebihi kemampuan absorpsi kolon, sehingga terjadi diare. Bahan-bahan
seperti karbohidrat dari jus buah, atau bahan yang mengandung sorbitol dalam
jumlah berlebihan, akan memberikan dampak yang sama.
Malabsoprsi umum
Keadaan seperti short bowel syndrom, celiac, protein, peptida, tepung, asam
amino dan monosakarida mempunyai peran pada gerakan osmotik pada lumen usus.
Kerusakan sel (yang secara normal akan menyerap Na dan air) dapat disebabkan
virus atau kuman, seperti Salmonella, Shigella atau Campylobacter. Sel tersebut
juga dapat rusak karena inflammatory bowel disease idiopatik, akibat toksin atau
obat-obat tertentu. Gambaran karakteristik penyakit yang menyebabkan
malabsorbsi usus halus adalah atropi villi. Lebih lanjut, mikororganisme tertentu
(bakteri tumbuh lampau, giardiasis, dan enteroadheren E. coli) menyebabkan
malabsorbsi nutrien dengan merubah faal membran brush border tanpa merusak
susunan anatomi mukosa. Maldigesti protein lengkap, karbohidrat, dan trigliserid
diakibatkan insuficiensi eksokrin pankreas menyebabkan malabsorbsi yang
signifikan dan mengakibatkan diare osmotik. Gangguan atau kegagalan ekskresi
pankreas menyebabkan kegagalan pemecahan kompleks protein, karbohidrat,
trigliserid, selanjutnya menyebabkan maldigesti, malabsorpsi dan akhirnya
menyebabkan diare osmotik. Steatorrhe berbeda dengan malabsorpsi protein dan
karbohidrat dengan asam lemak rantai panjang intraluminal, tidak hanya
menyebabkan diare osmotik, tetapi juga menyebabkan pacuan sekresi Cl- sehingga
9
Diare inflamasi
Proses inflamasi di usus halus dan kolon menyebabkan diare pada beberapa
keadaan. Akibat kehilangan sel epitel dan kerusakan tight junction, tekanan
hidrostatik dalam pembuluh darah dan limphatic menyebabkan air, elektrolit,
mukus, protein dan seringkali sel darah merah dan sel darah putih menumpuk dalam
lumen. Biasanya diare akibat inflamasi ini berhubungan dengan tipe diare lain
11
seperti diare osmotik dan diare sekretorik. Bakteri enteral patogen akan
mempengaruhi struktur dan fungsi tight junction, menginduksi sekresi cairan dan
elektrolit, dan akan mengaktiflkan kaskade inflamasi. Efek infeksi bakterial pada
tight junction akan mempengaruhi susunan anatomis dan fungsi absorpsi yaitu
cytoskeleton dan perubahan susunan protein. Penelitian oleh Berkes J dkk. 2003
menunjukkan bahwa peranan bakteri enteral patogen pada diare terletak pada
perubahan barrier tight junction oleh toksin atau produk kuman yaitu perubahan
pada cellular cytoskeleton dan spesifik tight junction. Pengaruh itu bisa pada kedua
komponen tersebut atau salah satu komponen saja sehingga akan menyebabkan
hipersekresi chlorida yang akan diikuti natrium dan air. Sebagai contoh C. difficile
akan menginduksi kerusakan cytoskeleton maupun protein,Bacteroides fragilis
menyebabkan degradasi proteolitik protein tight junction, V cholera mempengaruhi
distribusi protein tight junction, sedangkan EPEC menyebabkan akumulasi protein
cytoskeleton.
Mual dan muntah adalah simptom yang non spesifik akan tetapi muntah
mungkin disebabkan oleh karena organisme yang menginfeksi saluran cerna bagian
atas seperti: enterik virus, bakteri yang memproduksi enterotoksin, Giardia, dan
Cryptosporidium. Muntah juga sering terjadi pada non inflammatory diare.
Biasanya penderita tidak panas atau hanya subfebris, nyeri perut periumbilikal tidak
berat, watery diare, menunjukkan bahwa saluran cerna bagian atas yang terkena.
Oleh karena pasien immunocompromise memerlukan perhatian khusus, informasi
tentang adanya imunodefisiensi atau penyakit kronis sangat penting.
Pemeriksaan fisik : Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu
tubuh, frekuensi denyut jantung dan pernapasan serta tekanan darah. Selanjutnya
perlu dicari tanda-tanda utama dehidrasi: kesadaran, rasa haus dan turgor kulit
abdomen dan tanda-tanda tambahan lainnya : ubun- ubun besar cekung atau tidak,
mata : cowong atau tidak, ada atau tidak adanya air mata, bibir, mukosa mulut dan
lidah kering atau basah. Pernapasan yang cepat dan dalam indikasi adanya asidosis
metabolik. Bising usus yang lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemi.
Pemeriksaan ekstremitas perlu karena perfusi dan capillary refill dapat menentukan
derajat dehidrasi yang terjadi. Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat
ditentukan dengan cara: obyektif yaitu dengan membandingkan berat badan
sebelum dan selama diare. Subyektif dengan menggunakan kriteria WHO, Skor
Maurice King, kriteria MMWR dan lain-lain.
14
jumlah banyak. Normalnya tidak diperlukan pemeriksaan untuk mencari telur atau
parasit kecuali terdapat riwayat baru saja bepergian kedaerah resiko tinggi, kultur
tinja negatif untuk enteropatogen, diare lebih dari 1 minggu atau pada pasien
immunocompromised. Pasien yang dicurigai menderita diare yang disebabkan
giardiasis, cryptosporidiosis, isosporiasis dan strongyloidiasis dimana pemeriksaan
tinja negatif, aspirasi atau biopsi duodenum atau yeyunum bagian atas mungkin
diperlukan. Karena organisme ini hidup di saluran cerna bagian atas, prosedur ini
lebih tepat daripada pemeriksaan spesimen tinja. Biopsi duodenum adalah metoda
yang spesifik dan sensitif untuk diagnosis giardiasis, strongylodiasis dan protozoa
yang membentuk spora. E. hystolitica dapat didiagnosis dengan pemeriksaan
mikroskopik tinja segar. Trophozoit biasanya ditemukan pada tinja cair sedangkan
kista ditemukan pada tinja yang berbentuk. Tehnik konsentrasi dapat membantu
untuk menemukan kista amuba. Pemeriksaan serial mungkin diperlukan oleh
karena ekskresi kista sering terjadi intermiten. Sejumlah tes serologis amubiasis
untuk mendeteksi tipe dan konsentrasi antibodi juga tersedia. Serologis test untuk
amuba hampir selalu positif pada disentri amuba akut dan amubiasis hati.
Kultur tinja harus segera dilakukan bila dicurigai terdapat Hemolytic Uremic
Syndrome, diare dengan tinja berdarah, bila terdapat lekosit pada tinja, KLB diare
dan pada penderita immunocompromised.
Oleh karena bakteri tertentu seperti : Y. enterocolitica, V. cholerae, V.
Parahaemolyticus, Aeromonas, C. difficile, E. coli 0157: H7 dan Camphylobacter
membutuhkan prosedur laboratorium khusus untuk identifikasinya, perlu diberi
catatan pada label apabila ada salah satu dicurigai sebagai penyebab diare yang
terjadi. Deteksi toksin C. difficile sangat berguna untuk diagnosis antimikrobial
kolitis. Proctosigmoidoscopy mungkin membantu dalam menegakkan diagnosis
pada penderita dengan simptom kolitis berat atau penyebab inflammatory enteritis
syndrome tidak jelas setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium pendahuluan.
2.2.6 Penatalaksanaan
Departemen Kesehatan mulai melakukan sosialisasi Panduan Tata Laksana
Pengobatan Diare pada balita yang baru didukung oleh Ikatan Dokter Anak
16
Indonesia, dengan merujuk pada panduan WHO. Tata laksana ini sudah mulai
diterapkan di rumah sakit-rumah sakit. Rehidrasi bukan satu-satunya strategi dalam
penatalaksanaan diare. Memperbaiki kondisi usus dan menghentikan diare juga
menjadi cara untuk mengobati pasien. Untuk itu, Departemen Kesehatan
menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare bagi semua kasus diare yang diderita
anak balita baik yang dirawat di rumah maupun sedang dirawat di rumah sakit,
yaitu: 1. Rehidrasi dengan menggunakan oralit baru 2. Zinc diberikan selama 10
hari berturut-turut 3. ASI dan makanan tetap diteruskan 4. Antibiotik selektif 5.
Nasihat kepada orang tua.
Rehidrasi dengan oralit baru, dapat mengurangi rasa mual dan muntah.
Berikan segera bila anak diare, untuk mencegah dan mengatasi dehidrasi. Oralit
formula lama dikembangkan dari kejadian luar biasa diare di Asia Selatan yang
terutama disebabkan karena disentri, yang menyebabkan berkurangnya lebih
banyak elektrolit tubuh, terutama natrium. Sedangkan diare yang lebih banyak
terjadi akhir-akhir ini dengan tingkat sanitasi yang lebih banyak terjadi akhir-akhir
ini dengan tingkat sanitasi yang lebih baik adalah disebabkan oleh karena virus.
Diare karena virus tersebut tidak menyebabkan kekurangan elektrolit seberat pada
disentri. Karena itu, para ahli diare mengembangkan formula baru oralit dengan
tingkat osmolarits yang lebih rendah. Osmolaritas larutan baru lebih mendekati
osmolaritas plasma, sehingga kurang menyebabkan risiko terjadinya hipernatremia.
Oralit baru ini adalah oralit dengan osmolaritas yang rendah. Keamanan oralit ini
sama dengan oralit yang selama ini digunakan, namun efektivitasnya lebih baik
daripada oralit formula lama. Oralit baru dengan low osmolaritas ini juga
menurunkan kebutuhan suplementasi intravena dan mampu mengurangi
pengeluaran tinja hingga 20% serta mengurangi kejadian muntah hingga 30%.
Selain itu, oralit baru ini juga telah direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF
untuk diare akut non-kolera pada anak.
Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut. Zinc mengurangi lama dan
beratnya diare. Zinc juga dapat mengembalikan nafsu makan anak. Penggunaan
zinc ini memang popular beberapa tahun terakhir karena memiliki evidence based
yang bagus. Beberapa penelitian telah membuktikannya. Pemberian zinc yang
17
dilakukan di awal masa diare selama 10 hari ke depan secara signifikan menurunkan
morbiditas dan mortalitas pasien. Lebih lanjut, ditemukan bahwa pemberian zinc
pada pasien anak penderita kolera dapat menurunkan durasi dan jumlah tinja/cairan
yang dikeluarkan. Zinc termasuk mironutrien yang mutlak dibutuhkan untuk
memelihara kehidupan yang optimal. Meski dalam jumlah yang sangat kecil, dari
segi fisiologis, zinc berperan untuk pertumbuhan dan pembelahan sel, anti oksidan,
perkembangan seksual, kekebalan seluler, adaptasi gelap, pengecapan, serta nafsu
makan. Zinc juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh dan merupakan mediator
potensial pertahanan tubuh terhadap infeksi. Dasar pemikiran penggunaan zinc
dalam pengobatan diare akut didasarkan pada efeknya terhadap fungsi imun atau
terhadap struktur dan fungsi saluran cerna dan terhadap proses perbaikan epitel
saluran cerna selama diare. Pemberian zinc pada diare dapat meningkatkan aborpsi
air dan elektrolit oleh usus halus, meningkatkan kecepatan regenerasi epitel usus,
meningkatkan jumlah brush border apical, dan meningkatkan respon imun yang
mempercepat pembersihan patogen dari usus. Pengobatan dengan zinc cocok
diterapkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki banyak
masalah terjadinya kekurangan zinc di dalam tubuh karena tingkat kesejahteraan
yang rendah dan daya imunitas yang kurang memadai. Pemberian zinc dapat
menurunkan frekuensi dan volume buang air besar sehingga dapat menurunkan
risiko terjadinya dehidrasi pada anak.
Dosis zinc untuk anak-anak: Anak di bawah umur 6 bulan : 10 mg (1/2 tablet)
per hari Anak di atas umur 6 bulan : 20 mg (1 tablet) per hari Zinc diberikan selama
10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah sembuh dari diare. Untuk bayi, tablet
zinc dapat dilarutkan dengan air matang, ASI, atau oralit. Untuk anak-anak yang
lebih besar, zinc dapat dikunyah atau dilarutkan dalam air matang atau oralit.
ASI dan makanan tetap diteruskan sesuai umur anak dengan menu yang sama
pada waktu anak sehat untuk mencegah kehilangan berat badan serta pengganti
nutrisi yang hilang. Pada diare berdarah nafsu makan akan berkurang. Adanya
perbaikan nafsu makan menandakan fase kesembuhan.
Antibiotik jangan diberikan kecuali ada indikasi misalnya diare berdarah atau
kolera. Pemberian antibiotik yang tidak rasional justru akan memperpanjang
18
lamanya diare karena akan mengganggu keseimbangan flora usus dan Clostridium
difficile yang akan tumbuh dan menyebabkan diare sulit disembuhkan. Selain itu,
pemberian antibiotik yang tidak rasional akan mempercepat resistensi kuman
terhadap antibiotik, serta menambah biaya pengobatan yang tidak perlu. Pada
penelitian multipel ditemukan bahwa telah terjadi peningkatan resistensi terhadap
antibiotik yang sering dipakai seperti ampisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan
trimetoprim sulfametoksazole dalam 15 tahun ini. Resistensi terhadap antibiotik
terjadi melalui mekanisme berikut: inaktivasi obat melalui degradasi enzimatik oleh
bakteri, perubahan struktur bakteri yang menjadi target antibiotik dan perubahan
permeabilitas membrane terhadap antibiotik.
Nasihat pada ibu atau pengasuh: Kembali segera jika demam, tinja
berdarah,berulang, makan atau minum sedikit, sangat haus, diare makin sering, atau
belum membaik dalam 3 hari.
Infeksi usus pada umumnya self limited, tetapi terapi non spesifik dapat
membantu penyembuhan pada sebagian pasien dan terapi spesifik, dapat
memperpendek lamanya sakit dan memberantas organisme penyebabnya. Dalam
merawat penderita dengan diare dan dehidrasi terdapat beberapa pertimbangan
terapi :
1. Terapi cairan dan elektrolit
2. Terapi diit
3. Terapi non spesifik dengan antidiare
4. Terapi spesifik dengan antimikroba
Walaupun demikian, berdasarkan penelitian epidemiologis di Indonesia dan
negara berkembang lainnya, diketahui bahwa sebagian besar penderita diare
biasanya masih dalam keadaan dehidrasi ringan atau belum dehidrasi. Hanya
sebagian kecil dengan dehidrasi lebih berat dan memerlukan perawatan di sarana
kesehatan. Perkiraan secara kasar menunjukkan dari 1000 kasus diare yang ada di
masyarakat, 900 dalam keadaan dehidrasi ringan, 90 dalam keadaan dehidrasi
sedang dan 10 dalam keadaan dehidrasi berat, 1 diantaranya disertai komplikasi
serta penyakit penyerta yang penatalaksanaannya cukup rumit. Berdasarkan data
diatas, sesuai dengan panduan WHO, pengobatan diare akut dapat dilaksanakan
19
secara sederhana yaitu dengan terapi cairan dan elektrolit per-oral serta melanjutkan
pemberian makanan, sedangkan terapi non spesifik dengan anti diare tidak
direkomendasikan dan terapi antibiotika hanya diberikan bila ada indikasi.
Pemberian cairan dan elektrolit secara parenteral hanya untuk kasus dehidrasi berat
yang diberikan 3 jam pertama 75 cc/kgBB. Bila berat badannya tidak diketahui,
meskipun cara ini kurang tepat, perkiraan kekurangan cairan dapat ditentukan
dengan menggunakan umur penderita, yaitu : untuk umur < 1 tahun adalah 300 ml,
1 – 5 tahun adalah 600 ml, > 5 tahun adalah 1200 ml dan dewasa adalah 2400 ml.
Rentang nilai volume cairan ini adalah perkiraan, volume yang sesungguhnya
diberikan ditentukan dengan menilai rasa haus penderita dan memantau tanda-tanda
dehidrasi. Bila penderita masih haus dan masih ingin minum harus diberi lagi.
Sebaliknya bila dengan volume diatas kelopak mata menjadi bengkak, pemberian
oralit harus dihentikan sementara dan diberikan minum air putih atau air tawar. Bila
oedem kelopak mata sudah hilang dapat diberikan lagi. Apabila oleh karena sesuatu
hal pemberian oralit tidak dapat diberikan secara per-oral, oralit dapat diberikan
melalui nasogastrik dengan volume yang sama dengan kecepatan 20 ml/kgBB/jam.
Setelah 3 jam keadaan penderita dievaluasi, apakah membaik, tetap atau
memburuk. Bila keadaan penderita membaik dan dehidrasi teratasi pengobatan
dapat dilanjutkan dirumah dengan memberikan oralit dan makanan dengan cara
seperti pada pengobatan diare tanpa dehidrasi. Bila memburuk dan penderita jatuh
dalam keadaan dehidrasi berat, penderita tetap dirawat di sarana kesehatan dan
pengobatan yang terbaik adalah pemberian cairan parenteral.
karena sebagian besar diare infeksi adalah rotavirus yang sifatnya self limited dan
tidak dapat dibunuh dengan antibiotika. Hanya sebagian kecil (10 – 20%) yang
disebabkan oleh bakteri patogen seperti V. cholera, Shigella, Enterotoksigenik E.
coli, Salmonella, Camphylobacter dan sebagainya.
2.2.7 Komplikasi
22
Hipernatremia
Penderita diare dengan natrium plasma > 150 mmol/L memerlukan
pemantauan berkala yang ketat. Tujuannya adalah menurunkan kadar natrium
secara perlahan-lahan. Penurunan kadar natrium plasma yang cepat sangat
berbahaya oleh karena dapat menimbulkan edema otak. Rehidrasi oral atau
nasogastrik menggunakan oralit adalah cara terbaik dan paling aman. Koreksi
dengan rehidrasi intravena dapat dilakukan menggunakan cairan 0,45% saline – 5%
dextrose selama 8 jam. Hitung kebutuhan cairan menggunakan berat badan tanpa
koreksi. Periksa kadar natrium plasma setelah 8 jam. Bila normal lanjutkan dengan
rumatan, bila sebaliknya lanjutkan 8 jam lagi dan periksa kembali natrium plasma
setelah 8 jam. Untuk rumatan gunakan 0,18% saline - 5% dektrosa, perhitungkan
untuk 24 jam. Tambahkan 10 mmol KCl pada setiap 500 ml cairan infus setelah
pasien dapat kencing. Selanjutnya pemberian diet normal dapat mulai diberikan.
Lanjutkan pemberian oralit 10 ml/kgBB/setiap BAB, sampai diare berhenti.
Hiponatremia
Anak dengan diare yang hanya minum air putih atau cairan yang hanya
mengandung sedikit garam, dapat terjadi hiponatremi (Na< 130 mol/L).
Hiponatremi sering terjadi pada anak dengan Shigellosis dan pada anak malnutrisi
berat dengan oedema. Oralit aman dan efektif untuk terapi dari hampir semua anak
dengan hiponatremi. Bila tidak berhasil, koreksi Na dilakukan bersamaan dengan
koreksi cairan rehidrasi yaitu : memakai Ringer Laktat atau Normal Saline. Kadar
Na koreksi (mEq/L) = 125 – kadar Na serum yang diperiksa dikalikan 0,6 dan
dikalikan berat badan. Separuh diberikan dalam 8 jam, sisanya diberikan dalam 16
jam. Peningkatan serum Na tidak boleh melebihi 2 mEq/L/jam.
Hiperkalemia
23
Hipokalemia
Dikatakan hipokalemia bila K < 3.5 mEq/L, koreksi dilakukan menurut kadar
K : jika kalium 2,5 – 3,5 mEq/L diberikan per-oral 75 mcg/kgBB/hr dibagi 3 dosis.
Bila < 2,5 mEq/L maka diberikan secara intravena drip (tidak boleh bolus)
diberikan dalam 4 jam. Dosisnya: (3,5 – kadar K terukur x BB x 0,4 + 2
mEq/kgBB/24 jam) diberikan dalam 4 jam, kemudian 20 jam berikutnya adalah
(3,5 – kadar K terukur x BB x 0,4 + 1/6 x 2 mEq x BB). Hipokalemi dapat
menyebabkan kelemahan otot, paralitik ileus, gangguan fungsi ginjal dan aritmia
jantung. Hipokalemi dapat dicegah dan kekurangan kalium dapat dikoreksi dengan
menggunakan oralit dan memberikan makanan yang kaya kalium selama diare dan
sesudah diare berhenti.
Kegagalan upaya rehidrasi oral dapat terjadi pada keadaan tertentu misalnya
pengeluaran tinja cair yang sering dengan volume yang banyak, muntah yang
menetap, tidak dapat minum, kembung dan ileus paralitik, serta malabsorbsi
glukosa. Pada keadaan-keadaan tersebut mungkin penderita harus diberikan cairan
intravena.25, 30 Kejang Pada anak yang mengalami dehidrasi, walaupun tidak
selalu, dapat terjadi kejang sebelum atau selama pengobatan rehidrasi. Kejang
tersebut dapat disebabkan oleh karena : hipoglikemi, kebanyakan terjadi pada bayi
atau anak yang gizinya buruk, hiperpireksia, kejang terjadi bila panas tinggi,
misalnya melebihi 400C, hipernatremi atau hiponatremi.
Komplikasi utama gastroenteritis adalah dehidrasi dan syok hipovolemik.
Kejang dapat terjadi dengan demam tinggi, terutama dengan Shigella. Abses usus
dapat terbentuk dengan Shigella dan infeksi Salmonella, terutama demam tifoid,
yang menyebabkan perforasi usus, komplikasi yang mengancam jiwa (Marcdante
& Kliegman, 2015).
2.2.8 Prognosis
24
2.2.1 Defenisi
Gizi buruk adalah status gizi menurut berat badan (BB) dan tinggi badan (TB)
dengan z-score <-3 dan atau dengan tanda-tanda klinis (marasmus, kwasiorkor dan
marasmus-kwasiorkor) (Depkes RI, 2012). Gizi buruk juga diartikan seseorang
yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein
dalam makanan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu (Nurul Hikmah
Alhidayati, 2018).
2.2.3 Patofisiologi
2. Gizi buruk dengan komplikasi, yang ditandai oleh hal tersebut di atas dan
adanya satu atau lebih komplikasi berikut (sama dengan tanda bahaya
pada MTBS):
a. anoreksia;
b. dehidrasi berat (muntah terus-menerus, diare);
c. letargi atau penurunan kesadaran;
d. demam tinggi;
e. pneumonia berat (sulit bernafas atau bernafas cepat);
f. anemia berat.
terlihat kurus kering sehingga wajah seperti orangtua, kulit keriput, cengeng dan
rewel meskipun setelah makan, perut cekung, rambut tipis, jarang dan kusam,
tulang iga tampak jelas dan pantat kendur dan keriput (baggy pant) (M.Arvin &
Ann, 2000).
2. Kwashiorkor
3. Marasmus-Kwashiorkor
2.2.5 Diagnosis
Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis berupa
anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan
lemak bawah kulit terutama pada kedua bahu, lengan, pantat dan paha; tulang iga
terlihat jelas, dengan atau tanpa adanya edema.
2.2.8 Patalaksanaan
Tatalaksana Umum
Penilaian triase anak dengan gizi buruk dengan penilaian tanda bahaya pada
anak dengan gizi buruk.
Penanganan umum meliputi 10 langkah dan terbagi dalam 4 fase yaitu:
▪ Fase stabilisasi
▪ Fase transisi
▪ Fase rehabilitasi
▪ Fase tindak lanjut.
31
Hipoglikemia
Semua anak dengan gizi buruk berisiko hipoglikemia (kadar gula darah < 3
mmol/L atau < 54 mg/dl) sehingga setiap anak gizi buruk harus diberi makan atau
larutan glukosa/gula pasir 10% segera setelah masuk rumah sakit (lihat bawah).
Pemberian makan yang sering sangat penting dilakukan pada anak gizi buruk.
Jika fasilitas setempat tidak memungkinkan untuk memeriksa kadar gula
darah, maka semua anak gizi buruk harus dianggap menderita hipoglikemia dan
segera ditangani sesuai panduan.
Tatalaksana
• Segera beri F-75 pertama atau modifikasinya bila penyediaannya
memungkinkan.
• Bila F-75 pertama tidak dapat disediakan dengan cepat, berikan 50 ml
larutan glukosa atau gula 10% (1 sendok teh munjung gula dalam 50 ml
32
Hipotermia
Diagnosis
Suhu aksilar < 35.5° C
Tatalaksana
• Segera beri makan F-75 (jika perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu).
• Pastikan bahwa anak berpakaian (termasuk kepalanya). Tutup dengan
selimut hangat dan letakkan pemanas (tidak mengarah langsung kepada
anak) atau lampu di dekatnya, atau letakkan anak langsung pada dada
atau perut ibunya (dari kulit ke kulit: metode kanguru). Bila
33
Dehidrasi
Diagnosis
Cenderung terjadi diagnosis berlebihan dari dehidrasi dan estimasi yang
berlebihan mengenai derajat keparahannya pada anak dengan gizi buruk. Hal ini
disebabkan oleh sulitnya menentukan status dehidrasi secara tepat pada anak
dengan gizi buruk, hanya dengan menggunakan gejala klinis saja. Anak gizi buruk
dengan diare cair, bila gejala dehidrasi tidak jelas, anggap dehidrasi ringan.
Catatan: hipovolemia dapat terjadi bersamaan dengan adanya edema.
Tatalaksana
34
Pemantauan
Pantau kemajuan proses rehidrasi dan perbaikan keadaan klinis setiap
setengah jam selama 2 jam pertama, kemudian tiap jam sampai 10 jam berikutnya.
35
Waspada terhadap gejala kelebihan cairan, yang sangat berbahaya dan bisa
mengakibatkan gagal jantung dan kematian.
Periksalah:
• frekuensi napas
• frekuensi nadi
• frekuensi miksi dan jumlah produksi urin
• frekuensi buang air besar dan muntah
Selama proses rehidrasi, frekuensi napas dan nadi akan berkurang dan mulai
ada diuresis. Kembalinya air mata, mulut basah; cekung mata dan fontanel
berkurang serta turgor kulit membaik merupakan tanda membaiknya hidrasi, tetapi
anak gizi buruk seringkali tidak memperlihatkan tanda tersebut walaupun rehidrasi
penuh telah terjadi, sehingga sangat penting untuk memantau berat badan.
Jika ditemukan tanda kelebihan cairan (frekuensi napas meningkat 5x/menit
dan frekuensi nadi 15x/menit), hentikan pemberian cairan/ReSoMal segera dan
lakukan penilaian ulang setelah 1 jam.
Pencegahan
• Cara mencegah dehidrasi akibat diare yang berkelanjutan sama dengan
pada anak dengan gizi baik kecuali penggunaan cairan ReSoMal sebagai
pengganti larutan oralit standar.
• Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI
• Pemberian F-75 sesegera mungkin
• Beri ReSoMal sebanyak 50-100 ml setiap buang air besar cair.
Gangguan keseimbangan elektrolit
Semua anak dengan gizi buruk mengalami defisiensi kalium dan magnesium
yang mungkin membutuhkan waktu 2 minggu atau lebih untuk memperbaikinya.
Terdapat kelebihan natrium total dalam tubuh, walaupun kadar natrium serum
mungkin rendah. Edema dapat diakibatkan oleh keadaan ini. Jangan obati edema
dengan diuretikum.
Pemberian natrium berlebihan dapat menyebabkan kematian
Tatalaksana
36
Infeksi
Pada gizi buruk, gejala infeksi yang biasa ditemukan seperti demam,
seringkali tidak ada, padahal infeksi ganda merupakan hal yang sering terjadi. Oleh
karena itu, anggaplah semua anak dengan gizi buruk mengalami infeksi saat mereka
datang ke rumah sakit dan segera tangani dengan antibiotik. Hipoglikemia dan
hipotermia merupakan tanda infeksi berat.
Tatalaksana
Berikan pada semua anak dengan gizi buruk:
• Antibiotik spektrum luas
• Vaksin campak jika anak berumur ≥ 6 bulan dan belum pernah
mendapatkannya, atau jika anak berumur > 9 bulan dan sudah pernah
diberi vaksin sebelum berumur 9 bulan. Tunda imunisasi jika anak syok.
Pilihan antibiotik spektrum luas
• Jika tidak ada komplikasi atau tidak ada infeksi nyata, beri
Kotrimoksazol per oral (25 mg SMZ + 5 mg TMP/kgBB setiap 12 jam
selama 5 hari
• Jika ada komplikasi (hipoglikemia, hipotermia, atau anak terlihat
letargis atau tampak sakit berat), atau jelas ada infeksi, beri:
• Ampisilin (50 mg/kgBB IM/IV setiap 6 jam selama 2 hari),
dilanjutkan dengan Amoksisilin oral (15 mg/kgBB setiap 8 jam
selama 5 hari) ATAU, jika tidak tersedia amoksisilin, beri Ampisilin
per oral (50 mg/kgBB setiap 6 jam selama 5 hari) sehingga total
selama 7 hari, DITAMBAH:
• Gentamisin (7.5 mg/kgBB/hari IM/IV) setiap hari selama 7 hari.
37
Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3 bulan
terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2, dan 15.
Pada anak dengan nafsu makan baik dan tanpa edema, jadwal di atas dapat
dipercepat menjadi 2-3 hari. Formula awal F-75 sesuai resep dan jadwal makan
dibuat untuk mencukupi kebutuhan zat gizi pada fase stabilisasi.
Pada F-75 yang berbahan serealia, sebagian gula diganti dengan tepung beras
atau maizena sehingga lebih menguntungkan karena mempunyai osmolaritas yang
lebih rendah, tetapi perlu dimasak dulu. Formula ini baik bagi anak gizi buruk
dengan diare persisten.
Terdapat 2 macam tabel petunjuk pemberian F-75 yaitu untuk gizi buruk
tanpa edema dan dengan edema berat (+++).
Apabila pemberian makanan per oral pada fase awal tidak mencapai
kebutuhan minimal (80 kkal/kgBB/hari), berikan sisanya melalui NGT. Jangan
melebihi 100 kkal/kgBB/hari pada fase awal ini.
Pada cuaca yang sangat panas dan anak berkeringat banyak maka anak perlu
mendapat ekstra air/cairan.
Pemantauan
Pantau dan catat setiap hari:
• Jumlah makanan yang diberikan dan dihabiskan
• Muntah
• Frekuensi defekasi dan konsistensi feses
• Berat badan.
Tumbuh kejar
Tanda yang menunjukkan bahwa anak telah mencapai fase ini adalah:
• Kembalinya nafsu makan
• Edema minimal atau hilang.
Tatalaksana
Lakukan transisi secara bertahap dari formula awal (F-75) ke formula
tumbuh-kejar (F-100) (fase transisi):
• Ganti F 75 dengan F 100. Beri F-100 sejumlah yang sama dengan F-75
selama 2 hari berturutan.
40
Pemantauan
Hindari terjadinya gagal jantung. Amati gejala dini gagal jantung (nadi cepat
dan napas cepat). Jika nadi maupun frekuensi napas meningkat (pernapasan naik
5x/menit dan nadi naik 25x/menit), dan kenaikan ini menetap selama 2 kali
pemeriksaan dengan jarak 4 jam berturut-turut, maka hal ini merupakan tanda
bahaya (cari penyebabnya).
Lakukan segera:
• kurangi volume makanan menjadi 100 ml/kgBB/hari selama 24 jam
• kemudian, tingkatkan perlahan-lahan sebagai berikut:
o 115 ml/kgBB/hari selama 24 jam berikutnya
41
Bila anak sudah mencapai persentil 90% BB/TB (setara -1SD) maka anak
sudah pulih dari keadaan malnutrisi, walaupun mungkin BB/U masih rendah karena
umumnya anak pendek (TB/U rendah). Pola makan yang baik dan stimulasi fisik
dan sensorik dapat dilanjutkan di rumah.
Anemia berat
Transfusi darah diperlukan jika:
• Hb < 4 g/dl
• Hb 4–6 g/dl dan anak mengalami gangguan pernapasan atau tanda gagal
jantung.
Pada anak gizi buruk, transfusi harus diberikan secara lebih lambat dan dalam
volume lebih kecil dibanding anak sehat. Berikan:
• Darah utuh (Whole Blood), 10 ml/kgBB secara lambat selama 3 jam,
• Furosemid, 1 mg/kg IV pada saat transfusi dimulai
Bila terdapat gejala gagal jantung, berikan komponen sel darah merah
(packed red cells) 10 ml/kgBB. Anak dengan kwashiorkor mengalami redistribusi
cairan sehingga terjadi penurunan Hb yang nyata dan tidak membutuhkan transfusi.
Hentikan semua pemberian cairan lewat oral/NGT selama anak ditransfusi.
Monitor frekuensi nadi dan pernapasan setiap 15 menit selama transfusi. Jika terjadi
peningkatan (frekuensi napas meningkat 5x/menit atau nadi 25x/menit), perlambat
transfusi.
Catatan: Jika Hb tetap rendah setelah transfusi, jangan ulangi transfusi dalam
4 hari.
Diare persisten
Tatalaksana
• Giardiasis dan kerusakan mukosa usus
o Jika mungkin, lakukan pemeriksaan mikroskopis atas spesimen
feses.
o Jika ditemukan kista atau trofozoit dari Giardia lamblia, beri
Metronidazol 7.5 mg/kg setiap 8 jam selama 7 hari).
• Intoleransi laktosa
Diare jarang disebabkan oleh intoleransi laktosa saja. Tatalaksana
intoleransi laktosa hanya diberikan jika diare terus menerus ini
menghambat perbaikan secara umum. Perlu diingat bahwa F-75 sudah
merupakan formula rendah laktosa.
Pada kasus tertentu:
o ganti formula dengan yoghurt atau susu formula bebas laktosa
o pada fase rehabilitasi, formula yang mengandung susu diberikan
kembali secara bertahap.
• Diare osmotik
Diare osmotik perlu diduga jika diare makin memburuk pada pemberian
F-75 yang hiperosmolar dan akan berhenti jika kandungan gula dan
osmolaritasnya dikurangi.
Pada kasus seperti ini gunakan F-75 berbahan dasar serealia dengan
osmolaritas yang lebih rendah.
Berikan F-100 untuk tumbuh kejar secara bertahap.
2.3.1 Definisi
2.3.2 Etiologi
Penyakit TB Paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mikobakterium tuberkulosa yang berbentuk batang berukuran ± 0,3-0,6 dan
panjang ± 1-4µ dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang
Tahan Asam (BTA). Dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok,
bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal
yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Dapat bertahan terhadap pencucian
warna dengan asam dan alkohol, sehingga disebut basil tahan asam (BTA), tahan
terhadap zat kimia dan fisik, serta tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat
dorman (dapat tertidur lama) dan aerob (Azzahra., 2017).
Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100ºC selama 5-10 menit atau
pada pemanasan 60ºC selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30
detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara, di tempat yang lembab dan gelap
bisa berbulan-bulan namun tidak tahan terhadap sinar matahari atau aliran udara.
46
Data pada tahun 1993 melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara bersih
dari kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali pertukaran udara per jam (Azzahra.,
2017).
Ada beberapa jenis Mikrobakterium seperti Mycrobacterium bovis,
Mycobacterium kansassi, Mycobacterium aviumdan Mycobacterium nenopi.
Namun yang paling penting adalah Mycobacterium tuberculosis yang
menyebabkan penyakit tuberkulosis dan menyerang paru (Azzahra., 2017).
Gejala sistemik/ umum yang biasanya dialami oleh pasien anak‐anak penderita TB
adalah sebagai berikut
1) Gejala –gejala dari saluran nafas misalnya batuk lama lebih dari 30 hari (setelah
disingkirkan sebab lain dari batuk) tanda cairan didada dan nyeri dada.
2) Produksi sputum.
3) Nafsu makan tidak ada (anorexia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak
naik (failure to thrive) dengan adekuat.
4) Berat badan turun selama 3 bulan berturutturut tanpa sebab yang jelas dan tidak
naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik (failure to
thrive).
5) Demam lama/berulang >2 minggu tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria
atau infeksi saluran nafas akut) dapat disertai keringat malam.
6) Keringat malam
7) Gejala‐gejala dari saluran cerna misalnya diare berulang yang tidak sembuh
dengan pengobatan diare benjolan (masa) di abdomen dan tanda‐tanda cairan dalam
abdomenPembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit biasanya multipel
paling sering didaerah leher ketiak dan lipatan paha (inguinal).
Batuk merupakan gejala yang paling sering ditemukan dan terjadi pada pasien TB
anak karena adanya iritasi bronkus. Sifat batuk dimulai dari batuk kering
(nonproduktif) kemudian setelah adanya peradangan batuk menjadi disertai dengan
sputum (produktif)
3) TBC Otak dan Saraf : Meningitis dengan gejala iritabel kaku kuduk
muntah‐muntah dan kesadaran menurun
50
1. Pemeriksaan Bakteriologis
c. Pemeriksaan biakan
2) Media cair: hasil biakan bisa diketahui lebih cepat (1-2 minggu), tetapi lebih
mahal.
2. Pemerlksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk membantu memastikan
diagnosis TB pada anak:
a. Uji tuberkulin
Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat
antigenik yang kuat. Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu
menegakkan diagnosis TB terutama pada anak-anak.Satu satunya uji tuberkulin
yang sebaiknya digunakan pada praktek sehari-hari adalah uji 5-TU (uji mantoux).
Uji intradermal dengan injeksi 0,1 ml PPD secara intradermal di bagian
volar/permukaan belakang pada lengan bawah.Injeksi tuberculin menggunakan
jarum gauge 27 dan spuid tuberculin, dan saat melakukan injeksi tuberculin ini
harus membentuk sudut 30° antara kulit dan jarum. Penyuntikan ini dianggap
berhasil apabila didapatkan adanya indurasi berdiameter 6-10 mm. Uji ini didapat
atau sudah dapat di lihat pada waktu 48-72 jam setelah dilakukan penyuntikan.
Hasil uji tuberculin dicatat sebagai diameter dari indurasi tersebut dengan cara di
palpasi bukan dari adanya kemerahan.
Hasil tes Mauntox ini dibagi dalam:
b. Foto torak
2)konsolidasi segmental/lobar
3) Efusi pleura
4) Milier
5) Atelektasis
6) Kavitan
Catatan :
• Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter
• Berat badan dinilai saat datang.
• Demam dan batuk tidak ada respon terhadap terapi
• Foto rontgen toraks bukan alat utama pada TB Anak
• Diagnosis TB Anak bila jumlah skor ≥6 (skor maksimal 13)
• Pasien yang mendapat skor 5, dengan usia balita atau dengan kecurigaan TB yang
kuat, rujuk ke RS untuk di evaluasi lebih lanjut
• Profilaksis bila ada anak yang kontak dengan pasien TB dewasa sputum BTA (+)
namum evaluasi dengan sistem skoring nilainya ≤5
(Nasution, 2019).
2.3.7 Penatalaksanaan
Pada sebagian besar kasus TB pada anak, pengobatan selama 6 bulan cukup
adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun
pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter
terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang
nyata walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti,
OAT tetap dihentikan. Berikut adalah alur tatalaksana pasien TB anak untuk di unit
pelayanan kesehatan dasar.
Isoniazid (H)
1) Identitas. Sediaan dasarnya adalah tablet dengan nama generik Isoniazida 100
mg dan 300 mg /tablet Nama lain Isoniazida : Asam Nicotinathidrazida;
Isonikotinilhidrazida; INH.
2) Dosis. Untuk pencegahan, anak anak 10 mg per berat badan sampai 300 mg, satu
kali sehari. Untuk anak dengan dosis 10 20 mg per kg berat badan. Atau 20 – 40
mg per kg berat badan sampai 900 mg, 2 atau 3 kali seminggu.
3) Indikasi. Obat ini diindikasikan untuk terapi semua bentuk tuberkulosis aktif,
disebabkan kuman yang peka dan untuk profilaksis orang berisiko tinggi
mendapatkan infeksi. Dapat digunakan tunggal atau bersama‐sama dengan
antituberkulosis lain.
5) Kerja Obat. Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam
beberapa hari pertama pengobatan. Efektif terhadap kuman dalam keadaan
metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Mekanisme kerja
berdasarkan terganggunya sintesa mycolic acid, yang diperlukan untuk
membangun dinding bakteri.
Rifampisin (R)
1) Identitas. Sediaan dasar yang ada adalah tablet dan kapsul 300 mg, 450 mg, 600
mg
2) Dosis. Untuk dewasa dan anak yang beranjak dewasa 600 mg satu kali sehari,
atau 600 mg 2 – 3 kali seminggu. Rifampisin harus diberikan bersama dengan obat
anti tuberkulosis lain. Bayi dan anak anak, dosis diberikan dokter / tenaga kesehatan
55
lain berdasarkan atas berat badan yang diberikan satu kali sehari maupun 2‐3 kali
seminggu. Biasanya diberikan 7,5 – 15 mg per kg berat badan. Anjuran Ikatan
Dokter Anak Indonesia adalah 75 mg untuk anak < 10 kg, 150 mg untuk 10 – 20
kg, dan 300 mg untuk 20 ‐33 kg.
Pirazinamid (Z)
2) Dosis. Dewasa dan anak sebanyak 15 – 30 mg per kg berat badan, satu kali sehari.
Atau 50 – 70 mg per kg berat badan 2 – 3 kali seminggu. Obat ini dipakai bersamaan
dengan obat anti tuberkulosis lainnya.
5) Kerja Obat. Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel
dengan suasana asam. Mekanisme kerja, berdasarkan pengubahannya menjadi
asam pyrazinamidase yang berasal dari basil tuberkulosa.
Kombinasi Dosis
Pirazinamid (Z) selama 2 bulan diberikan setiap hari (2HRZ). Tahap lanjutan terdiri
dari Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) selama 4 bulan diberikan setiap hari (4HR).
Waktu pengobatan TB pada anak 6‐12 bulan. pemberian obat jangka panjang
selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
kekambuhan. Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap: Yaitu tahap intensif,
selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal 3 macam obat,
tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
Selanjutnya, tahap Lanjutan, selama 4‐10 bulan selanjutnya, tergantung hasil
pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit. Selama tahap intensif dan
lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk mengurangi ketidakteraturan
minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari.
Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun
ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain‐ lain dirujuk
ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier,
efusi pleura TB, perikarditis kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1‐2 mg/kg
BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama
pemberian kortikosteroid adalah 2‐4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan
tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini untuk
mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.
langsung. Penyakit yang parah dapat menyebabkan sepsis yang hebat, gagal napas,
dan kematian. TB yang resisten terhadap obat dapat saja terjadi (Nasution, 2019).
2.4.1 Definisi
Diaper dermatitis (juga dikenal sebagai ruam popok, nappy rash atau
dermatitis iritan karena popok) adalah istilah umum untuk meggambarkan inflamasi
akut pada area terkena popok; kondisi ini umumnya terjadi pada bayi.4Kata
“popok” digunakan bukan karena popok menyebabkan dermatitis, melainkan
secara garis besar akibat faktor- faktor dalam area popok seperti urin, feses,
kelembapan atau gesekan.
Diaper dermatitis atau disebut juga diaper rash atau ruam popok, merupakan
erupsi inflamasi di daerah yang tertutupi oleh popok, yaitu daerah paha, bokong,
dan anal. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit kulit tersering pada bayi dan
anak-anak yang popoknya selalu basah dan jarang diganti, dapat pula terjadi pada
pasien-pasien inkontinen yang memerlukan popok untuk menampung urin atau
feses.
Diaper dermatitis secara umum terbagi dua, yaitu diaper dermatitis iritan dan diaper
dermatitis kandida yang secara umum mengenai area yang menggunakan popok
pada individu berbagai usia.
2.4.2 Etiologi
Etiologi dermatitis popok adalah multifaktorial. Kerusakan kulit area diaper
merupakan akibat beberapa faktor yang berlangsung lama, sehingga meningkatkan
kelembapan kulit. Hal tersebut meningkatkan risiko kerusakan kulit karena
gesekan, penurunan fungsi barier kulit, dan meningkatkan reaktivitas iritan. Faktor
etiologi lain adalah kontak dengan urin, tinja, enzim pencernaan pemecah protein
dan lemak pada tinja, peningkatan pH kulit dan superinfeksi kandida, lebih jarang
superinfeksi bakteri. Kulit yang memakai popok mempunyai pH lebih tinggi
daripada kulit tidak menggunakan popok baik pada bayi maupun anak yang lebih
58
tua. Peningkatan pH juga terkait dengan efek oklusi popok dan peningkatan
permeabilitas kulit.
Penyebab diaper dermatitis iritan adalah amoniak dalam urin ataupun tinja
yang dapat menyebabkan maserasi kulit. Penyebab lain yaitu peningkatan hidrasi
kulit, kulit lembap lebih mudah terluka karena gesekan popok saat anak bergerak
dan lebih mudah teriritasi. Kulit basah juga memungkinkan pertumbuhan bakteri
dan ragi yang dapat meningkatkan pH kulit lokal, meningkatkan aktvitas lipase dan
protease tinja. Diaper dermatitis juga dapat disebabkan oleh Candida albicans yang
merupakan parasit sekunder. Penggunaan antibiotik juga meningkatkan kolonisasi
Candida albicans.
Faktor-faktor lain adalah kontak dengan iritan kulit (urin, feses, garam
empedu), gesekan mekanis (kulit ke kulit, popok ke kulit), pH kulit, status gizi atau
diet (komposisi feses), diare, dan kondisi medis tertentu.
2.4.3 Patogenesis
Diaper dermatitis secara umum disebabkan reaksi iritan pada lingkungan
popok seperti friksi, oklusi, kelembapan, maserasi, urin, feses atau kimia; juga
berhubungan dengan kebiasaan minum susu lewat botol dan adanya Candida
albicans dalam saluran pencernaan .
Sel-sel stratum korneum saling terhubung melalui desmosom; terdapat
struktur lapisan lemak yang dapat melindungi kulit dari paparan air. Iritan lebih
mudah menembus barier rusak. Lingkungan yang berubah karena pemakaian popok
dapat mempengaruhi struktur, fungsi, dan respons penghalang kulit. Lingkungan
lembap dapat menyebabkan hidrasi berlebih stratum korneum dan gangguan
struktur lapisan lemak. Rusaknya integritas stratum korneum dapat menyebabkan
iritasi, mudah ditembus mikroorganisme dan mengaktifkan sel Langerhans
epidermis. Enzim lipase dan protease pada tinja dapat mengganggu integritas
stratum korneum dan mendegradasi protein, sehingga dapat menembus sawar.
Penetran atau iritan yang berinteraksi dengan keratinosit, menstimulasi pengeluaran
sitokin yang kemudian berpengaruh pada pembuluh darah dermis dan menimbulkan
peradangan. Iritan tersebut juga dapat meningkatkan proliferasi, metabolisme, dan
59
2. Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik mempunyai kecenderungan kulit kering dengan riwayat
keluarga atopik dan lesi dapat mempengaruhi area kulit yang lain.
Dermatitis atopik dapat tidak mengenai area popok karena popok
memberikan kelembapan lingkungan yang menghidrasi kulit. Gambaran
klinis dermatitis atopik yaitu dapat ditemukan bekas garukan kronik,
peningkatan garis kulit, dan ekskoriasi.
2.4.7 Tatalaksana :
Diaper dermatitis dapat dicegah dengan menggunakan popok daya serap
tinggi; cara kerjanya adalah menyerap air dari kulit yang basah dan melindungi pH
tetap terjaga. Popok superabsorben lebih baik dibandingkan popok kain atau popok
sekali pakai.Penggunaan popok sekali pakai dengan gel penyerap (mengandung
natrium poliakrilat) dapat mengurangi dermatitis popok bayi .
Pada lesi di daerah tertutup popok dapat diperiksa adakah infeksi kandida;
dapat dipertimbangkan penggunaan mikonazol krim 0,25%. Pilihan agen antijamur
topikal adalah nistatin, mikonazol, klotrimazol, dan siklopiroks; nistatin paling
sering digunakan. Nistatin topikal sudah digunakan selama 50 tahun untuk
mengobati infeksi kandida; aman dan efektif untuk terapi kandidiasis kutaneus pada
bayi. Penggunaan nistatin pada diaper dermatitis menunjukkan hasil memuaskan.
Klotrimazol juga efektif untuk dermatitis popok karena Candida albicans dan pada
dermatomikosis resisten terhadap nistatin dan terapi anti-jamur lainnya.
Jika tidak ditemukan infeksi kandida, dapat diperiksa apakah ada infeksi
bakteri. Infeksi dapat diberi antibakteri topikal (pilihan utama polimiksin B sulfat
dan zink basitrasin, mupirosin krim 2%, atau asam fusidat krim 2%).
64
Terapi paling utama diaper dermatitis adalah menjaga kulit tetap kering
dengan mengganti popok sesering mungkin setelah terkena urin atau tinja
(Irfanti et al., 2020).
65
LAPORAN KASUS
Nama SU KD
Umur 50 Tahun 43 Tahun
Suku/Bangsa Minang/Indonesia Minang/Indonesia
Agama Islam Islam
Pendidikan SMA SMP
Pekerjaan Wiraswasta Ibu Rumah Tangga
I. Riwayat Kelahiran Os
Bayi lahir pada tanggal 24 April 2014 secara normal ditolong
oleh dokter dengan berat badan lahir 3500 gram, panjang
66
III. Imunisasi
- BCG : 1 Kali
- Polio : 3 Kali
- Hepatitis B : 3 Kali
- DPT : 3 Kali
- Campak : 3 Kali
Status Lokalis
Imunologi Hasil
Rontgen Thoraks
Jantung ukurannya dalam batas normal
Sinus Costofrenikus kanan dan kiri lancip
Diafragma kanan dan kiri licin
Tampak peribronchial infiltrat diparacardial kiri
- Amroxol 3 x 1cc
- Paracetamol 4 x 5cc
- Formula 75 125ml/3jam/oral
Follow Up Pasien
Tanggal Folllow Up Terapi
22-10-2021 S : Mencret (4x) , Pucat (+), Batuk • IVFD. RL 42gtt/i Mikro
(+), Ruam Merah Pada Kemaluan • Inj. Cefotaxim
O: Sens: Compos mentis 250mg/12jam/IV
HR : 100x/menit • Inj.Ondansentron
RR : 20x/menit 2mg/12jam.IV
0
Suhu : 37,7 C • Ambroxol syr 3x1,5 cc
BB : 9 kg • Asam Folat 1x1 mg
A: Gastroentritis +Gizi Buruk Tipe • Paracetamol syr 3x5 cc
Marasmus + Mikrosefali+ TB Paru +
• Zinc 1x20 mg
Diaper Dermatitis.
• Vit A1x100.000 iu (merah)
• Formula 75 125ml/3jam/oral
• Ketokonazol Zlf 3x 1
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Irfanti, R. T., Betaubun, A. I., Arrochman, F., Fiqri, A., Rinandari, U., Anggraeni,
R., & Ellistasari, E. Y. (2020). Cdk Edisi Khusus Cme-2. 47, 50–55.
http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/download/362/162
M.Arvin, & Ann. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Nelson. (15th edn).
79
Marlinae, L., Arifin, D. dr. H. S., Noor, I. H., Rahayu, A., Zubaidah, D. T., &
Waskito, A. (2019). DESAIN KEMANDIRIAN POLA PERILAKU
KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PENDERITA TB ANAK BERBASIS
ANDROID.
Saputra, M. (2016). Analisis Status Gizi Buruk dan Gizi Kurang Pada Balita Di
Kota Bengkulu.