Anda di halaman 1dari 52

REFERAT

PENYAKIT JANTUNG PADA ANAK

Disusun oleh:
Nada Mustika Putri Kopa (31.191.056)
Zahra Nadira (31.191.088)
Zeita Fauziah (31.191.089)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI


KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH TEGAL
PERIODE 16 NOVEMBER – 12 DESEMBER 2020
LEMBAR PENGESAHAN

Tinjauan pustaka dengan judul :

PENYAKIT JANTUNG PADA ANAK

Disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Tegal

Disusun Oleh

Nada Mustika Putri Kopa (31.191.056)


Zahra Nadira (31.191.088)
Zeita Fauziah (31.191.089)

Telah diterima dan disetujui oleh ........... selaku dokter pembimbing Kepaniteraan
Klinik Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Tegal
Jakarta, Desember 2020

Mengetahui,

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang Maha Kuasa,
atas segala nikmat, rahmat, dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Penyakit Jantung Pada Anak” dengan baik
dan tepat waktu.

Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu


Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di Rumah Sakit Umum
Daerah Kardinah Tegal. Di samping itu juga ditujukan untuk menambah
pengetahuan bagi kita semua. Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar–besarnya kepada dr..... selaku pembimbing dalam
penyusunan referat ini.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada rekan–rekan anggota


Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Tegal
serta berbagai pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput
dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya masukan, kritik
maupun saran yang membangun. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih
yang sebesar–besarnya, semoga tugas ini dapat memberikan tambahan informasi
dan manfaat bagi kita semua.

Jakarta, Desember 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................i
KATA PENGANTAR.........................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................2
2.1 Penyakit jantung bawaan......................................................2
2.1.1 Definisi.......................................................................2
2.1.2 Epidemiologi..............................................................3
2.1.3 Etiologi.......................................................................4
2.1.4 Patofisiologi................................................................4
2.1.5 Manifestasi klinis.......................................................8
2.1.6 Diagnosis..................................................................10
2.1.7 Diagnosis banding....................................................16
2.1.8 Tatalaksana...............................................................17
2.1.9 Pencegahan...............................................................20
2.1.10 Komplikasi.............................................................21
2.1.11 Prognosis................................................................21
2.2 Gagal jantung......................................................................21
2.2.1 Definisi.....................................................................21
2.2.2 Epidemiologi............................................................22
2.2.3 Etiologi.....................................................................22
2.2.4 Patofisiologi..............................................................26
2.2.5 Klasifikasi.................................................................26
2.2.6 Diagnosis..................................................................27
2.2.7 Tatalaksana...............................................................30

iii
2.2.8 Komplikasi...............................................................31
2.2.9 Prognosis..................................................................32
2.3 Penyakit kawasaki..............................................................32
2.3.1 Definisi.....................................................................32
2.3.2 Epidemiologi............................................................33
2.3.3 Etiologi.....................................................................33
2.3.4 Patofisiologi..............................................................33
2.3.5 Diagnosis..................................................................34
2.3.6 Tatalaksana...............................................................35
2.3.7 Pencegahan...............................................................35
2.3.8 Prognosis..................................................................35
2.4 Penyakit jantung reumatik..................................................36
2.4.1 Definisi.....................................................................36
2.4.2 Epidemiologi............................................................36
2.4.3 Etiologi.....................................................................36
2.4.4 Patofisiologi..............................................................37
2.4.5 Diagnosis..................................................................37
2.4.6 Tatalaksana...............................................................39
2.4.7 Prognosis..................................................................40
BAB III Kesimpulan..........................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................43

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Tidak hanya orang dewasa, anak-anak pun dapat menderita penyakit jantung.
Penyakit jantung yang diderita anak sejak lahir disebut penyakit jantung bawaan
(kongenital) dan jika tidak diderita anak sejak lahir maka disebut sebagai penyakit
jantung didapat. Anak yang menderita penyakit jantung bawaan cukup banyak di
Indonesia, yaitu sekitar 8-9 per 1000 kelahiran hidup.

Beberapa penyakit jantung didapat yang paling sering ditemukan di Rumah


Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK) antara lain Penyakit
Jantung Rematik “Rheumatic Heart Disease” (RHD) dimana toxin yang
dihasilkan infeksi kuman Group A Streptococcus menyebabkan respon imun yang
abnormal sehingga terjadi peradangan pada jantung secara kronis dengan
manifestasi kebocoran atau kekakuan katup jantung, serta Penyakit Kawasaki
suatu penyakit yang masih misterius dan dapat menyebabkan pelebaran pembuluh
darah arteri koroner sampai kematian.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit jantung bawaan

2.1.1 Definisi

Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah kelainan struktur dan fungsi


jantung  yang didapatkan sejak bayi lahir (kongenital) akibat adanya kegagalan 
pembentukan struktur jantung pada masa awal pembentukan janin di dalam 
kandungan. Sebagian besar PJB terjadi akibat kesalah embriogenesis antara 
minggu ke-3 sampai minggu ke-8 gestasi yang terjadi saat struktur utama jantung 
sudah terbentuk dan mulai berfungsi. 1, 2 

Terdapat dua jenis kelompok  penyakit jantung bawaan berdasarkan kadar


oksigen dalam darah, yaitu PJB  asianotik dan PJB sianotik. Pada PJB asianotik
merupakan PJB yang memiliki  kadar oksigen dalam darah tidak menurun
sehingga penderita PJB asianotik tidak  terlihat biru, selain itu PJB asianotik juga
terdapat kebocoran sekat jantung yang  disertai pirau kiri ke kanan. Pada PJB
sianotik merupakan PJB yang ditandai dengan  penurunan kadar oksigen dalam
darah sehingga pada penderita PJB sianotik akan  terlihat biru, selain itu pada PJB
sianotik didapatkan adanya sianosis sentral akibat  adanya pirau kanan ke kiri. 3,4 

PJB non sianotik terdiri dari stenosis pulmonal, stenosis aorta, koarktasio
aorta, duktus arteriosus  persisten, defek septum atrium, defek septum ventrikel.
Sedangkan PJB sianotik terdiri dari  transposisi arteri besar tanpa VSD, tetralogi
fallot atresia pulmonal.5 

  VSD (ventrikel septal defect)  yang merupakan kelainan jantung bawaan


ditandai dengan tidak terbentuknya  septum antara ventrikel jantung kiri dan kanan
sehingga pada kedua ventrikel  tersebut terdapat lubang yang saling
menghubungkan. ASD (artrial septal defect)  adalah pembukaan abnormalitas

2
pada sekat yang memisahkan atrium kanan dan kiri. PDA (patemt ductus
arteriosus) adalah terbukanya duktus arteriosus secara  normal duktus arteriosus
akan menutup pada 12 jam setelah bayi lahir atau secara lengkap akan menutup
dalam waktu 2 sampai 3 minggu. Stenosis plumonal  merupakan keadaan
terjadinya obstruksi anatomi pada aliran keluar ventrikel kanan  sehingga
menyebabkan terjadinya perbedaan tekanan antara kanan dan kiri.  Stenosis aorta
merupakan penyempitan ventrikel kiri pada katup aorta yang  mengakibatkan
perbedaan tekanan antara ventrikel kiri dan aorta. Coartio aorta  (CoA)
merupakan keadaan obstruksi pada aorta akibat penyempitan aorta sebagian  besar
terletak di distal percabangan arteri a. subklavia sinistra.6 

Sedangkan, kelainan PJB sianotik diantaranya adalah ToF, TGA, dan


atresia  trikuspid. ToF (Tetralogy of Fallot) merupakan kegagalan infudibulum
disertai  sindrom dengan 4 kelainan yaitu ventricular septal defect (VSD), stenosis
stenosis  pulmonal, hipertrofi ventrikel kanan, dan overriding aorta. TGA
(Transposisi  Arteri Besar) adalah kelainan yang ditandai dengan kedua pembuluh
darah arteri  besar mengalami transposisi yaitu aorta keluar dari ventrikel kanan
dan arteri  pulmonalis dari ventrikel kiri. Atresia trikuspid merupakan keadaan
yang ditandai  dengan tidak adanya jalan keluar dari atrium kanan ke ventrikel
kanan dan seluruh  vena kembali masuk ke jantung kiri melalui foramen ovale
atau defek sekat atrium.6 

2.1.2 Epidemiologi7,8

Prevalensi PJB bervariasi tiap negara. Secara umum, insiden yang terjadi 
pada PJB yaitu 8 per 1000 kelahiran hidup bayi. Benua Asia memiliki prevalensi 
tertinggi dibandingkan benua lainnya, yaitu sebesar 9,3 per 1000 kelahiran bayi 
hidup. Sedangkan prevalensi terendah PJB terdapat pada benua Afrika yaitu
sebesar  1,9 per 1000 kelahiran bayi hidup. Jenis PJB paling sering yaitu VSD,
ASD, dan  DAP dengan presentasi prevalensi masing-masing 34%, 13%, dan 10%
per 1000  kelahiran bayi hidup.

3
Menurut world health organization (WHO) melaporkan  bahwa insiden
PJB di Bangladesh (6%), India (15%), Burma (6%), dan Srilangka  (10%). Hampir
semua jenis PJB di negara maju dapat dideteksi dalam masa bayi  bahkan pada
usia kurang dari 1 bulan, sedangkan pada negara berkembang banyak yang baru
terdeteksi setelah usia anak lebih besar, sehingga pada kasus PJB yang  berat dapat
meninggal sebelum diagnosis PJB pada anak ditegakkan. Bila diagnosis  PJB tidak
ditegakkan secara dini dan tidak mendaptkan tatalaksana dengan baik,  maka akan
mengalami kematian 50% pada bulan pertama kehidupan.

2.1.3 Etiologi9,10

Penyebab penyakit jantung bawaan masih belum pasti, tetapi studi


epidemiologi awal melaporkan bahwa efek multifaktorial merupakan penyebab
dari 90% kelainan jantung, dengan tingkat kekambuhan 2% sampai 6%. Faktor
lingkungan dan genetik berperan, tetapi tidak ada penyebab yang jelas. 20%
sisanya disebabkan oleh kelainan kromosom, penyakit genetik lain, dan dampak
lingkungan yang nyata. Berbagai jenis obat, penyakit ibu, dan paparan sinar-X
dianggap sebagai penyebab eksternal penyakit jantung bawaan. Rubella
mempengaruhi ibu pada tahap awal kehamilan dan dapat menyebabkan penyakit
jantung koroner pada bayi. Selain faktor eksogen, terdapat juga faktor endogen
yang berhubungan dengan kejadian PJK. Berbagai jenis penyakit genetik dan
sindrom tertentu sangat erat kaitannya dengan kejadian penyakit jantung koroner,
seperti sindroma Down dan sindroma Turner.

2.1.4 Patofisiologi

Atrial Septal Defek 

4
Gambar 1. Atrial Septal Defek

ASD diasosiasikan dengan pirau kiri ke kanan dengan berbagai variasi.


Penentu  utama arah dan besar aliran pirau adalah ukuran defek dan komplians
relatif dari ventrikel  kiri dan ventrikel kanan. Akibat terdapatnya lubang antara
atrium kiri dengan atrium kanan,  darah dari atrium kiri yang seharusnya pergi ke
ventrikel kiri, akan akan masuk ke atrium  kanan. Dari atrium kanan darah akan
mengalir ke ventrikel kanan kemudian mengalir ke  paru. Jika lubangnya cukup
besar, dapat mengakibatkan kelebihan darah di jantung kanan  dan di paru,
sehingga terjadi gagal jantung kanan. Tekanan di arteri pulmonal akan  meningkat
akibat kelebihan darah ini, hal ini disebut dengan hipertensi pulmonal 
hiperkinetik. Jika kelebihan aliran darah ke paru berlangsung lama maka dapat
timbul  hipertensi pulmonal. Peningkatan tahanan paru mula-mula dilakukan
dengan  vasokonstriksi kapiler paru. Kemudian terjadi penebalan tunika intima
dan tunika media  kapiler paru sehingga lumen kapiler paru mengecil. Peningkatan
tahanan paru akibat  vasokonstriksi dikenal dengan hipertensi pulmonal reversibel.
Keadaan ini masih  memberikan respons dengan pemberian vasodilator seperti

5
oksigen. Jika sudah terjadi  penebalan tunika intima dan tunika media, hipertensi
pulmonal sudah ireversibel, inilah  yang disebut dengan penyakit vaskular paru
atau sindrom Eisenmenger.11 

Ventrikular Septal Defek 

Gambar 2. Ventrikular septal defek

Sebagian darah dari ventrikel kiri akan mengalir ke ventrikel kanan lalu ke
paru  dan masuk ke atrium dan ventrikel ini lagi. Akibatnya, terjadi kelebihan
volume darah di  atrium kiri dan ventrikel kiri. Akibat kelebihan volume darah ini
atrium dan ventrikel kiri  akan mengalami hipertrofi dan dilatasi dan akhirnya
timbul gagal jantung kiri. Akibat  aliran darah ke paru meningkat, tekanan di arteri
pulmonal akan tinggi, keadaan ini disebut  hipertensi pulmonal hiperkinetik.
Apabila fase ini dilewati, kapiler paru akan bereaksi  dengan cara meningkatkan
tahanan paru agar pirau lewat VSD berkurang. Mula-mula reaksi ini berupa
vasokonstriksi sehingga terjadi hipertensi pulmonal yang reversibel.  Lama
kelamaan akan terjadi perubahan berupa penebalan tunika intima dan media 
sehingga terjadi hipertensi pulmonal yang ireversibel (sindrom Eisenmenger).12 

Paten Duktus Arteriosus 

6
Gambar 3. Paten duktus arteriosus

Pirau dari aorta ke arteri pulmonalis meningkatkan aliran darah pulmonal


dan  pengembaliannya ke jantung kiri. Ukuran defek dan resistansi relatif vascular
pulmonal  dan sistemik menentukan derajat shunting. Pasien dewasa yang datang
dengan DAP  umumnya memiliki lesi kecil tanpa pirau kiri ke kanan yang besar
atau dengan lesi besar  atau disertai dengan sindrom Eisenmenger. Akibat PDA,
sebagian darah dari aorta akan  masuk ke dalam arteri pulmonalis sehingga terjadi
kelebihan darah pada sirkulasi paru.  Darah dari arteri pulmonalis akan masuk ke
dalam atrium kiri dan ventrikel kiri sehingga  terjadi dilatasi atrium kiri dan
ventrikel kiri, akhirnya timbul gejala gagal jantung kiri.  Akibat adanya kelebihan
darah pada sirkulasi paru, tubuh akan mengkompensasi untuk  mengurangi aliran
darah ke paru dengan meningkatkan tahanan paru sehingga timbul  hipertensi
pulmoner. Peningkatan tekanan paru akibat aliran darah yang berlebihan disebut 
dengan hipertensi pulmoner hiperkinetik. Reaksi tubuh untuk meningkatkan
tahanan di  paru mula-mula dilakukan dengan vasokonstriksi, selanjutnya akan
terjadi penebalan  dinding tunika intima dan media sehingga lumen kapiler paru
mengecil.13 

Tetralogy Of Fallot 

7
Gambar 4. Tetralogy Of Fallot

TOF terjadi akibat gangguan pembentukan jantung janin pada masa


kehamilan.  Faktor lingkungan dan faktor genetika berperan penting. Peran
genetik semakin banyak  diteliti sebagai faktor penyebab terjadinya Tetralogy of
Fallot. Gambaran terjadinyadefek  akibat genetik adalah: 14 

a) Terjadi gangguan pada gen yang berperan meregulasi pembentukan


jantung  (mutasi, delesi, metilasi) atau abnormalitas kromosom (trisomi
18 atau trisomi 21)
b) Aktivitas gen yang meregulasi pembentukan jantung menghilang
c) Terjadi defek tunggal perkembangan jantung yakni perpindahan
bagian  infundibular (saluran keluar/outflow tract) dari septum
intraventrikular ke arah  anterior dan sefalad.
d) Outlet septum mengalami deviasi.

2.1.5 Manifetasi klinis15

Atrium septal Defek 


Manifestasi klinis ASD bergantung pada ukuran pintasan.
Pada kebanyakan anak, ini asimtomatik atau asimtomatik, kecuali
selang shunt cukup besar untuk membuat pasien gugup. Setelah

8
pemeriksaan fisik, anak tersebut mungkin menunjukkan
kekurangan gizi. Bunyi jantung dapat didengar pada auskultasi,
bunyi jantung S2 melebar dan bertahan selama inhalasi dan
pernafasan, dan ada bunyi ejeksi sistolik di paru-paru.
Elektrokardiogram dapat menunjukkan defleksi sumbu QRS ke
kanan, hipertrofi ventrikel kanan, dan adanya RBBB. Foto toraks
dapat menunjukkan pembesaran atrium dan ventrikel kanan,
perforasi arteri pulmonalis, dan peningkatan tonus vaskular paru.
Ventrikular septal defek (VSD) 
Manifestasi klinis VSD tergantung pada ukuran pintasan.
VSD kecil dengan sedikit pintasan biasanya tidak menunjukkan
gejala, tetapi akan mengeluarkan banyak suara. Pada VSD yang
sedang hingga besar mengakibatkan  peningkatan sirkulasi paru
hingga gagal jantung dengan gejala yang  ditimbulkan antara lain
mudah lelah, diaforesis saat menetek atau makan  hingga gangguan
pertumbuhan. Selama pemeriksaan fisik, murmur sistolik terbesar
dapat terdengar di antara 3-4 tulang rusuk parasternal kiri.
Penemuan lain yang bisa ditemukan adalah adanya thrill. Pada
pemeriksaan fisik juga ditemukan bahwa penderita dalam keadaan
sesak, berupa sesak nafas, dan disertai kontraksi otot iga hingga
sianosis.  

Paten Duktus Arteriosus 

a) PDA sedang sampai besar 


Nadi terikat dan tekanan nadi melebar karena mengalirkan
diastolik melalui  duktus. S1 normal dan S2 biasanya split secara
menyempit. Pada pirau besar, S2  mungkin ada split paradoksikal
(misal S2 menyempit pada inspirasi dan melebar  pada ekspirasi).
Splitting paradoksikal ini disebabkan volume yang berlebihan pada 
LV dan ejeksi prolongasi darah dari ruang ini. Murmur merupakan
ciri khasnya.  Murmur maksimal kasar pada intercostal kedua kiri.

9
Itu mulai dengan singkat  setelah S1, muncul sampai puncak S2,
dan setelah melewati S2 ke diastol akan  menjadi murmur
decrescendo dan mulai menghilang sebelum S1. Murmur 
cenderung menyebar baik ke anterior lapang paru namun relatif
buruk di posterior  lapang paru. Murmur aliran diastolik sering
terdengar pada apeks. 
b) PDA dengan resistensi vaskular pulmonal meningkat 

Aliran melewati ductus menghilang. S2 muncul tunggal dan


menonjol, dan  tidak ada murmur jantung yang jelas. Nadi normal
daripada terikat. 

Tetralogi of Falot 

Manifestasi klinis dapat memimbulkan sianosis, nafas


cepat, dyspnea  d’effort, Squatting (jongkok) sering terjadi setelah
anak dapat berjalan, yaitu  setelah berjalan beberapa lama, anak
akan berjongkok untuk beberapa waktu sebelum ia berjalan
kembali, riwayat serangan sianotik. Bayi/anak  tampak sianosis
dengan Tampak right ventricular tap sepanjang tepi  sternum,
Getaran bising dapat teraba pada bagian atas dan tengah tepi kiri 
sternum , Terdengar bunyi jantung II tunggal dan mengeras,
disertai bising  ejeksi sistolik di daerah pulmonal, dan jari tabuh. .

2.1.6 Diagnosis

Atrial Septal Defect 

Diagnosis dapat ditegakkan dengan mengidentifikasi gejala,  pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penunjang. ASD seringkali  asimptomatik, sehingga pasien
datang karena gejala klinis yang dirasakan.  Banyak ASD tidak terdiagnosis
sampai dewasa. Oleh karena itu,  pengobatan, terutama pada defek besar, sering
kali tertunda. Cacat besar  yang tidak diobati dapat menyebabkan intoleransi

10
olahraga, disritmia  jantung, palpitasi, peningkatan insiden pneumonia, hipertensi
paru, dan  peningkatan mortalitas. 16 

ASD biasanya ditemukan ketika murmur terdengar pada kunjungan  rutin


bayi berusia 4 hingga 6 bulan. Murmur paling keras di atas regio  pulmonal dan
berhubungan dengan pemisahan S2 yang tetap selama fase  respirasi yang berbeda
dan S1 yang keras. Murmur yang terdengar berasal  dari peningkatan aliran darah
melalui katup paru karena volume darah yang  lebih besar di sisi kanan jantung
(stenosis pulmonal relatif). Murmur  diastolik tambahan dapat terdengar pada
batas sternum kiri bawah dari  aliran berlebih yang melewati katup trikuspid.
Mungkin ada tonjolan  prekordial kiri karena RV yang membesar hadir selama
perkembangan  tulang rawan tulang rawan. Pasien dengan ASD biasanya
asimtomatik tetapi  mungkin mengalami sedikit kelelahan. Mereka ditindaklanjuti
dengan  ekokardiografi Doppler untuk memantau pembesaran atrium kanan dan / 
atau RV, yang, jika ada, menunjukkan signifikansi hemodinamik. (9) Bayi  dengan
ASD yang bermanifestasi dengan gejala CHF (takipnea,  peningkatan kerja
pernapasan, sering jeda dalam makan, gagal tumbuh, berkeringat banyak saat
makan, penurunan tingkat aktivitas) harus diselidiki  untuk lesi tambahan seperti
PDA, VSD dengan stenosis arteri pulmonalis,  atau lesi obstruktif sisi kiri (kor
triatriatum, koarktasio, stenosis aorta atau  mitral). 16,17  

Pemeriksaan penunjang :

 Rontgen thoraks bisa didapatkan gambaran kardiomegali,


pembesaran  atrium kanan, dan didapatkan adanya penonjolan arteri
pulmonalis. Bisa  ditemukan siluet jantung yang membesar dan adanya
edema paru. Pada  pasien dengan defek vena sinus didapatkan adanya
tanda pedang. 18 
 EKG ditemukan adanya deviasi aksis QRS ke kanan dan pembesaran 
ventrikel kanan. Temuan EKG dan foto rontgen thoraks ini 
mencerminkan adanya peningkatan tekanan aliran darah melalui
atrium  kanan, atrium kiri, arteri pulmonalis, dan paru-paru. PR

11
interval yang  memanjang pada AV blok derajat 1, RBBB inkomplit, R
notched  gelombang R pada sadapan inferior, axis deviasi QRS ke kiri
pada  primum DSA pada tingkat katup mitral atau trikuspid, deviasi
aksis QRS  ke kanan (ostium sekundum DSA), dan aksis deviasi ke
kiri gelombang  P (defek vena sinus). 2 
 Ekokardiogram. Tes pilihan untuk diagnosis ekokardiogram 
transthoracic (TTE) dengan color doppler menunjukkan semburan
darah  dari atrium kiri ke kanan. Terdapat beberapa studi menunjukkan
jika  gelembung yang bergerak dari atrium kanan ke kiri menunjukkan
bahwa  tekanan atrium kanan lebih tinggi. Ekokardiogram
transesofageal  diperlukan jika DSA tidak divisualisasikan pada TTE
atau untuk  membantu mengukur dan menentukan kelainan yang
menyertai. 18 

Ventricular Septal Defect

Diagnosis dapat ditegakkan dengan mengidentifikasi gejala, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penunjang. VSD biasanya didiagnosis setelah bayi lahir.
Ukuran defek septum ventrikel akan mempengaruhi gejala apa, dan apakah dokter
mendengar murmur jantung selama pemeriksaan fisik. Tanda-tanda cacat septum
ventrikel mungkin ada saat lahir atau mungkin tidak muncul sampai setelah lahir.
Defek kecil dengan shunt dari kiri ke kanan kecil dan tekanan arteria pulntonalis
normal adalah kejadian yang paling sering. Penderita-penderita ini tidak
bergejala, dan lesi jantung biasanya ditemukan selama pemeriksaan fisik rutin.
Namun, jika lubangnya besar, defek besar dengan aliran darah pulmonal berlebih
dan hipertensi pulmonal menyebabkan gejala, antara lain: Sesak napas, Napas
cepat atau berat, Berkeringat, Kelelahan saat menyusu, atau Berat badan
bertambah buruk. Selama pemeriksaan fisik, dokter mungkin mendengar suara
mendesing yang berbeda, yang disebut murmur jantung. Jika dokter mendengar
murmur jantung atau tanda lain, dokter dapat meminta satu atau lebih tes untuk
memastikan diagnosisnya. Tes yang paling umum adalah ekokardiogram, yaitu

12
USG jantung yang dapat menunjukkan masalah pada struktur jantung,
menunjukkan seberapa besar lubangnya, dan menunjukkan seberapa banyak
darah yang mengalir melalui lubang tersebut. 16,17

Pemeriksaan penunjang :19

• Foto rontgen thoraks dapat menunjukkan kardiomegali. Pembesaran 


ventrikel kiri, adanya peningkatan siluet arteri pulmonal, dan 
peningkatan corakan vaskular paru. Adanya hipertensi pulmonal
karena  peningkatan aliran atau adanya resistensi vaskular pulmonal
dapat  menyebabkan terjadinya pembesaran ventrikel kanan, sehingga
terdapat  gambaran biventricular hipertropi.

Gambar 5. Pada pemeriksaan rontgen VSD terlihat adanya kardiomegali 


dan peningakatan corakan vascular paru dan pembesaran atrium kiri.

• Pemeriksaan EKG didapatkan adanya pembesaran atrium serta 


hipertropi ventrikel kiri karena DSV yang besar ini menyebabkan
beban  volume pada sisi jantung sebelah kiri.

13
Gambar 6. EKG VSD menunjukkan gambaran hipertropi biventricular
• Ekokardiogram didapatkan adanya kemungkinan malalignment
antara  septum, segmen septum yang terlibat, ukuran defek, batas
defek,  hubungan katup-katup terhadap defek, dan hubungan
perlengketan  korda katup.
• CT-Scan dan MRI digunakan untuk mengetahui morfologi
jantung,  tetapi jarang digunakan karena diagnosisnya cukup
ditegakkan dengan  emnggunakan echocardiography.
• Kateterisasi jantung digunakan untuk mendiagnosis dan 
menggambarkan anatomi dan karakteristik hemodinamik dari
lubang  antara ventrikel. Kateterisasi ini sangat berguna pada
pasien dengan  tekanan pulmonal yang tinggi untuk mengukur
resistensi vascular paru.  
• Angiografi juga dapat berguna untuk mengevaluasi adanya
kecacatan.  Tetapi pemeriksaan ini biasanya tidak diperlukan.

Patent Ductus Arteriosus

Pemeriksaan pasien PDA bervariasi sesuai usianya. Pada bayi baru lahir
dengan resistensi dan tekanan paru yang lebih tinggi, PDA mungkin tidak
mengeluarkan banyak darah dan mungkin tidak terdengar. Pada bayi yang lebih
tua, seseorang dapat mendeteksi murmur sistolik yang keras atau terus menerus
dari pirau darah dari kiri ke kanan selama seluruh siklus jantung, yang paling
keras di atas prekordium kiri. Pada pasien yang lebih tua dengan PDA yang

14
bermakna secara hemodinamik, seseorang mungkin dapat mendeteksi diastolic
rumble aliran transmitral ke ventrikel kiri yang membesar (LV). Pirau kiri-ke-
kanan yang disebabkan oleh PDA juga dapat menyebabkan gejala CHF.
Radiografi dada menggambarkan gambaran sirkulasi berlebih paru dan
pembesaran jantung, EKG dapat menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri dan
perubahan segmen ST dari iskemia (waspadai temuan ini pada bayi baru lahir,
karena hal ini menunjukkan adanya pirau yang sangat besar), dan ekokardiogram
Doppler dapat menunjukkan atrium kiri dan ventrikel kiri. pembesaran,
karakteristik aliran, dan anatomi PDA. 16,17

Pemerksaan penunjang :16

• Rontgen Thoraks didapatkan siluet arteri pulmonal yang penuh


dan  menonjol adanya peningkatan corakan vaskular paru, dan
kardiomegali. 
• EKG didapatkan hasil yang bervariasi, mulai dari normal hingga
adanya  tanda pembesaran ventrikel kiri. Jika pada pasien
ditemukan hipertensi  pulmonal, bisa ditemukan adanya hipertropi
ventrikel kanan.  Ditemukan adanya perubahan segmen ST.
• Ekokardiografi Dopler dapat menggambarkan adanya
pembesaran  atrium kiri, pembesaran ventrikel kiri, karakteristik
aliran, dan anatomi  dari PDA.
• Biomarker serum; BNP dan N-Terminal pro BNP (NTpBNP). 
Konsentrasi kedua biomarker ini akan meningkat dengan
munculnya  PDA yang bermakna secara hemodinamik dan akan
menurun dengan  penutupan PDA jika berhasil.

Tetralogi of Fallot

Pasien dengan tetralogi Fallot memiliki murmur sistolik ejeksi yang keras
yang terdengar di area pulmonal, yang menandakan stenosis pulmonal, selama
satu detik. Saturasi yang lebih tinggi menunjukkan lebih sedikit RV outflow

15
obstruction. Pasien yang tidak menerima diagnosis sebelum lahir mungkin datang
untuk pertama kalinya sebagai anak-anak yang mengalami hypercyanotic spell
dalam periode agitasi, demam, atau penyakit lain yang terjadi bersamaan. Agitasi
dan tangisan meningkatkan resistensi pembuluh darah paru, sekaligus
meningkatkan heart rates. Karena periode diastolik yang kemudian lebih pendek,
pengisian ventrikel berkurang, yang menambah obstruksi RV outflow dari bundel
otot hipertrofiknya. “Tet spell” dapat menjadi lingkaran setan dan membutuhkan
kombinasi dari kontrol detak jantung dan manipulasi resistensi vaskular. Murmur
selama hypercyanotic spell or “Tet spell” menjadi lebih lembut karena aliran
paru-paru berkurang. Anemia defisiensi besi akan mempercepat timbulnya
serangan-serangan ini.16,17

 Pemeriksaan penunjang :20

• EKG menunjukkan adanya deviasi aksis ke kanan dan hipertropi 


ventrikel kanan.
• Foto thoraks terdapat temuan klasik pada foto thoraks adalah
jantung  berbentuk seperti sepatu both (boot shape) hal ini terjadi
karena arteri  pulmonal yang kecil dan terangkatnya apeks ke
superior akibat  hipertropi ventrikel kanan.
• Ekokardiogradi memperlihatkan gambaran anatomi, termasuk
derajat  stenosis. Anomaly coroner yang tersering adalah arteri
coroner kiri  desenden anterior yang melintang di permukaan
tractus anterior yang  merupakan jalan keluar dari ventrikel kanan
(right ventricular outflow  tract), kasusnya ditemukan pada 5%
pasien. Merupakan gold standard  untuk evaluasi dari anatomi
jantung.

2.1.7 Diagnosis banding

Penyakit jantung bawaan dapat didiagnosis banding antara sianotik,


asianotik, dan penyakit  jantung lainnya, diantaranya adalah : 

16
1. Penyakit jantung bawaan Asianotik 
a) VSD 
b) ASD 
c) PDA 
d) Stenosis Pulmonal 
e) Stenosis Aorta 
f) Coartio Aorta
2. Penyakit jantung bawaan sianotik 
a) ToF 
b) TGA 
c) Atresia Tricuspid 
3. Penyakit jantung lainnya 
a) Penyakit Kawasaki 
b) Penyakit jantung rematik 
c) Gagal jantung

2.1.8 Tatalaksana

 Atrial Septal Defek 

Pasien biasanya toleransi ASD dengan baik pada dua dekade pertama
kehidupan  dan defek sering tidak terlihat sampai pertengahan atau akhir masa
dewasa. Hipertensi  pulmonal dan reversal dari pirau merupakan komplikasi akhir
yang jarang terjadi.  Endokarditis infektif juga tidak umum. Penutupan secara
spontan terjadi, paling sering  pada anak-anak dengan defek berdiameter <4 mm,
oleh karena itu pasien rawat jalan  direkomendasikan untuk dilakukan follow-up.
Toleransi olahraga dan konsumsi oksigen  pada pembedahan anak dikoreksi
hasilnya normal dan pembatasan aktivitas fisik tidak  diperlukan.21 Gagal jantung
kongestif mungkin dapat terjadi setelah berusia 40 tahun  Pasien yang dilakukan
perbaikan dengan prosedur risiko rendah, mortalitasnya yaitu di  bawah 1%. 

Ventrikular Septal Defek 

17
Anak dengan VSD kecil biasanya asimptomatik dan tidak memerlukan
obat atau  tindakan bedah saat awal. Tindakan penutupan dapat dilakukan pada
usia 2-4 tahun. Jika  anak dengan VSD sedang atau besar mengalami gagal
jantung simtomatik perlu diberikan  obat anti gagal jantung (antidiuretik,
vasodilator (ACE inhibitor). Jika pengobatan medis  gagal maka perlu dilakukan
tindakan penutupan pada usia beberapa pun. 

Indikasi penutupan VSD pada masa bayi adalah22 

1. Gagal jantung yang tidak terkontrol 


2. Gagal tumbuh
3. Infeksi saluran pernapasan berulang 
4. Pirau kiri ke kanan yang signifikan dengan rasio aliran darah paru
dibanding  sistemik lebih besar dari 2:1 

Paten Duktus Arteriosus 

Penutupan spontan PDA mungkin terjadi sampai satu tahun, terutama pada
bayi  prematur. Setelah berusia satu tahun, penutupan spontan jarang terjadi.
Karena  endocarditis merupakan komplikasi berpotensi, beberapa ahli jantung
merekomendasikan  penutupan jika defek persisten melebihi usia 1 tahun, bahkan
jika defek itu kecil. Sebagian  besar pasien menjalani oklusi perkutaneus
berlawanan dengan ligasi pembedahan.23 

18
Gambar 7. Alogaritma tatalaksana PDA

Tetralogy Of Fallot 

Pada bayi atau anak dengan riwayat hipoksia harus diberikan Propranolol
peroral  sampai dilakukan operasi. Selain itu keadaan umum pasien harus
diperbaiki, misalnya  koreksi anemia, dehidrasi atau infeksi yang semuanya akan
meningkatkan frekuensi spel.  Bila hipoksia tak teratasi dengan pemberian
propranolol dan keadaan umumnya  memburuk, maka harus secepatnya dilakukan
operasi paliatif Blalock-Taussig Shunt  (BTS), yaitu memasang saluran pirau
antara arteri sistemik (arteri subklavia atau arteri  inominata) dengan arteri
pulmonalis kiri atau kanan. Tujuannya untuk menambah aliran  darah ke paru
sehingga saturasi oksigen perifer meningkat, sementara menunggu bayi
lebih  besar atau keadaan umumnya lebih baik untuk operasi definitif (koreksi
total).24

19
Gambar 8. Alogaritma tatalaksana TOF

2.1.9 Pencegahan

Penyakit Jantung Bawaan (PJB) dapat dideteksi sejak dini, bahkan sejak
masih  berada dalam kandungan. Kunci pencegahan PJB adalah pemeriksaan
sebelum kehamilan  (prenatal) dan selama kehamilan (antenatal) yang baik.
Kehamilan risiko tinggi seperti  pada wanita di atas usia 35 tahun, pernikahan
sedarah (konsanguitas) atau dengan kondisi  medis tertentu seperti tekanan darah
tinggi atau diabetes, sebaiknya melakukan  pemeriksaan antenatal di dokter
spesialis kandungan secara teratur. Kontrol gula darah  yang baik sebelum
kehamilan dapat menurunkan risiko terjadinya PJB akibat diabetes pada  ibu.
Beberapa suplementasi juga diperkirakan dapat menurunkan risiko PJB pada
wanita  dengan diabetes, misalnya suplementasi asam folat. Imunisasi rubella
dapat dengan efektif  mencegah terjadinya rubella sehingga PJB yang berkaitan
dengan rubella dapat dihindari.  Ibu juga sebaiknya berhati-hati dalam penggunaan
obat, baik itu obat luar (seperti obat  jerawat karena dapat mengandung asam
retinoat) maupun obat minum (seperti obat  antikejang dan obat antihipertensi).25 

20
2.1.10 Komplikasi

Atrial Septal Defect 

• Aritmia (Atrial Fibrilasi) 


• Hipertensi pulmonal  
• Paradoxical embolisasi 
• Stroke 

Ventricular Septal Defect 

• Gagal tumbuh
• Infeksi saluran pernapasan atas 
• Hipertensi pulmonal 
• Gagal jantung 

Tetralogy of Fallot 

• Trombosis cerebrovascular 
• Anemia Defisiensi besi 
• Endokarditis bakterial 
• Gagal Tumbuh kembang

2.1.11 Prognosis26

Prognosis PJB bergantung pada berat ringannya defek yang ada dan usia
saat  penyakit pertama dideteksi. Semakin awal deteksi dilakukan, semakin cepat
bisa diberikan  tatalaksana korektif, maka semakin baik prognosis dan semakin
minim komplikasi yang  muncul.

2.2 Gagal jantung

2.2.1 Definisi

21
Gagal jantung pada bayi dan anak kecil merupakan sindrom klinis yang
ditandai dengan ketidakmampuan miokardium untuk memompa darah ke seluruh
tubuh, serta tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh manusia,
termasuk kebutuhan untuk tumbuh kembang. Gagal jantung dapat disebabkan oleh
penyakit jantung bawaan atau didapat yang disebabkan oleh beban volume yang
berlebihan (preload) atau tekanan (setelah beban) atau penurunan kontraktilitas
miokard. Jalur yang mengarah ke kinerja jantung abnormal. Sindrom klinis
tampaknya merupakan manifestasi patofisiologis gagal jantung, termasuk interaksi
kompleks antara sistem peredaran darah, neurohormon, dan kelainan molekuler.27

2.2.2 Epidemiologi

Karena tidak ada metode klasifikasi umum untuk gagal jantung pada anak-
anak, prevalensi dan kejadian gagal jantung pada anak-anak belum dapat
ditentukan di seluruh dunia. Kebanyakan gagal jantung di masa kanak-kanak
berasal dari kelainan bawaan. Diperkirakan bahwa 15% sampai 25% anak dengan
penyakit jantung struktural akan mengalami gagal jantung di kemudian hari.
Institusi tersier di Eropa telah melaporkan dua studi tentang gagal jantung pada
setiap anak berusia 10 tahun. Lebih dari separuh kasus gagal jantung masa kanak-
kanak yang dilaporkan dalam dua penelitian tersebut disebabkan oleh penyakit
jantung bawaan. Ini mencerminkan fakta bahwa penyakit jantung bawaan lebih
umum daripada penyebab gagal jantung lainnya. Penyebab utama gagal jantung
yang dilaporkan di negara berkembang adalah kardiomiopati primer. Menurut
laporan, di negara berkembang, kejadian kardiomiopati primer berkisar antara 0,8
hingga 1,3 per 100.000 anak dalam kelompok usia 0-18 tahun.28

2.2.3 Etiologi

HF pada anak dapat dibagi menjadi dua kelompok, kegagalan sirkulasi


berlebih dan  kegagalan pompa. Sirkulasi berlebih termasuk kondisi yang
menyebabkan kelebihan  volume ruang jantung. Pada kegagalan sirkulasi bisa
didapatkan fungsi ventrikel kiri yang  normal atau ventrikel kiri yang

22
hiperkontraktil. Vena pulmonalis atau hipertensi arteri  dapat terjadi dalam derajat
yang bervariasi. Penyebab kegagalan pompa termasuk kondisi  bawaan dan yang
didapat. Fungsi ventrikel atau sistemik tidak normal dan kebanyakan  pasien
mengalami hipertensi vena paru pada kelompok tersebut.29

Dalam hubungan yang luas ada dua faktor penyebab gagal jantung:30-32

1. Faktor mekanik (kelainan struktur jantung); kondisi miokardium normal,


akan tetapi gangguan dari beban kerja yang berlebihan, biasanya kelebihan
beban volume (preload) atau tekanan (afterload) akibat PJB atau didapat.

2. Faktor miokardium yaitu kelainan otot jantung sendiri atau insufisiensi


miokardium, misalnya:

a) Radang atau intoksikasi otot jantung pada penderita demam reumatik


atau difteri

b) Otot jantung kurang nutrisi, seperti pada anemia berat.

c) Perubahan – perubahan patologis dalam struktur jantung,  misal


kardiomiopati.

Pada masa perinatal dan bayi, gagal jantung lebih sering disebabkan oleh cacat
struktural, sedang pada anak yang lebih tua penyakit struktural atau miokardum
dapat ditemukan.

23
Gambar 9. Etiologi gagal jantung pada anak

Kelompo Etiologi Gagal Jantung


k Umur
Masa  Anemia Berat (Hemolisis, Transfusi Fetal-
Janin Maternal,  Anemia Hipoplastik)
 Takikardia Supraventikular
 Takikardia Ventrikular
 Blok Jantung Komplet
 Insufiesiensi Katup Atrioventikular

Neonatus  Kelebihan cairan


Prematur
 DAP (duktus arterious persisten)

24
 DSV
 Kor Pulmonale (BPD)
Neonatus  Kardiomiopati akibat asfiksia
Cukup Bulan
 Malformasi arteri vena (vena galenia, hepatic)
 Lesi obstruksi dibagian jantung kiri (koarktasio
aorta, jantung kiri hipoplastik, stenosis aorta kritis)
 Transposisi arteri besar
 Miokarditis Viral
 Anemia
 Takikardi supraventikular
 Blok Jantung Total

Anak usia  Pirau kiri ke kanan di jantung (DSV)


1-3 tahun
 Hemangioma (malformasi arteriovenal)
 Anomali arteri coroner kiri
 Kardiomiopati metabolic
 Hipertensi akut
 Takikardia supraventikular
 Penyakit Kawasaki
 Koreksi pascaoperatif penyakit jantung bawaan
Anak  Demam Reumatik
 Hipertensi Akut (glomerulonephritis)
 Miokarditis Viral
 Tirotoksikosis
 Hemokromatosis / Hemosiderosis
 Endokarditis
 Kor Pulmonale (fibrosis kistik)
 Aritmia
 Penyakit jantung bawaan 
 Kardiomiopati

25
Tabel 1. Etiologi gagal jantung menurut usia

2.2.4 Patifisiologi

Gambar 10. Patofisiologi gagal jantung

2.2.5 Klasifikasi33

Klasifikasi untuk anak tidak mudah dibuat karena luasnya kelompok umur
dengan  variasi  angka  normal  untuk  laju  nafas  dan  laju  jantung,  rentang
kemampuan  kapasitas  latihan  yang  lebar  (mulai  dari kemampuan  minum  ASI
sampai kemampuan mengendarai sepeda), dan variasi etiologi yang berbeda pula.
Ross  dkk  tahun  1922  mempublikasikan  sistem  skor  untuk  mengklasifikasikan

26
gagal jantung secara klinis pada bayi. Skor Ross ini disejajarkan dengan
klasifikasi  New  York  Heart  Association  (NYHA)  dan dapat  memberikan
gambaran yang lebih rinci oleh karena peningkatan derajat beratnya gagal jantung
sesuai dengan peningkatan kadar norepinefrin plasma dan kadar ini akan menurun
setelah dilakukan koreksi ataupun setelah pemberian obat anti gagal jantung.

Tabel 2. Klasifikasi Ross untuk gagal jantung pada bayi sesuai NYHA

Table 5. Sistem skor Ross untuk gagal jantung pada bayi

2.2.6 Diagnosis

a) Anamnesis34 

Dari anamnesis dapat ditanya apakah adanya sesak napas, kesulitan


makan/  minum, bengkak pada eklopak mata dan tungkai, gangguan

27
pertumbuhan dan  perkembangan, penurunan toleransi Latihan atau
keringat yang berlebihan

b) Pemeriksaan fisik35

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan: Takikardi, Irama galop, 


Peninmgkatan rangsangan simpatis, keringat dan kulit dingin atau lembab,
Gagal  tumbuh, Takipnea, ortopnea, Wheezing atau ronki pada auskultasi
paru,  Peningkatan jvp, Edema perifer, dan Hepatomegaly. 

c) Pemeriksaan Penunjang36

• Foto thoraks: hamper selalu ada kardiomegali 


• EKG: hasil tergantung penyebab, terutama melihat adanya
Hipertrofi atrium / ventrikel dan gangguan irama misalnya
takikardi supra ventrikular 
• Ekokardiografi: melihat kelainan anatomis dan kontraktilitas
jantung, bermanfaat untuk melihat penyebab 
• Darah rutin 
• Elektrolit 
• Analisis gas darah

28
Gambar 11. Pemeriksaan laboratorium gagal jantung pada anak36

Gambar 12. Diagnosis dan tatalaksana gagal jantung pada anak37

29
2.2.7 Tatalaksana38

Umum 

• Istirahat: tirah baring, sebaiknya dengan posisi setengah duduk. 


• Berikan Oksigen 30-50 % dengan kelembaban tinggi 
• Sedasi ringan. 
• Batasi cairan dan garam. 
• Cairan sekitar 80% dari kebutuhan normal sehari 
• Puasa bila sangat sesak untuk mencegah regurgitasi & aspirasi 
• Garam dibatasi 0,5 gram/hari pada anak yang lebih besar 
• Hindari predisposisi: demam, anemia, infeksi, hipoglikemia, hipo-Ca +

• Atasi penyebab dasar: hipertensi, aritmia, tirotoksikosis dsb. 
• Pantau: berat badan, kesadaran, nadi, TD pernafasan, keseimbangan
cairan dan asam basa. 
• Ventilasi mekanik: bila gagal nafas pada gagal jantung yang berat.

Khusus 
Medika mentosa 
• Digitalis 
• Digoksinoral : 0,01 mg/kgBB/hari 
• Digoksin IV: digitalisasi cepat (dosis awal 0,015 mg/kgBB.
Enam jam kemudian 0,005 mg/kgBB dan selanjutnya 2 x 0,005
mg/kgBB/hari 

Inotropik lain 
 Isoproterenol IV : 0,05- 0,1 ug/kgBB/ menit 
 Dopamin IV : 3-10 ug/kgBB/menit 
 Dobutamin IV : 5-10 ug/kgBB/menit 
 Adrenalin IV : 0,1-1 ug/kgBB/menit (larutan 1 :50.000) 

30
Diuretika 
 Furosemide IV : 1 mg/kgBB/kali; oral : 1-2 mg/kgBB/hari 
 Spironolakton oral : 2 - 3 mg/kgBB/ hari 
 Hidroklorotiasid oral : 2 - 4mg/kgBB/ hari 

Vasodilator 
 Nitroprusid IV : 0,5 - 2 ug/kgBB/hari 
 Isosorbid Dinitrat oral : 5 mg/ 6 jam 
 Nitrogliserin IV : 0,5 - 20 ug/kgBB/hari 
 Kaptopril oral : 0,5 - 1 mg/kgBB/ 8 jam 
 Hidralasin IV : 1,5 ug/kgBB/menit; oral: 0,5 mg/kgBB/hari 

Intervensi 

 Umumnya dilakukan setelah kondisi pasien tenang dan stabil 


 Intervensi emergensi bila medika mentosa tak memuaskan
 Bedah 
 Paliatif: Pulmonary Arterial Banding (PAB) pada bayi dengan
pirau/shunt trans septum ventrikel besar. 
 Korektif: penutupan VSD/AVSD, ligasi PDA, arterial switch pada
TGA, reparasi koarktasio aorta atau aorta stenosis. 

Non-Bedah 

 Embolisasi kolateral (MAPCA) atau fistula arteriovenous 


 Balloon atrial septostomy. 
 Balloon angioplasti/ valvuloplasty

2.2.8 Komplikasi2

1. Gangguan pertumbuhan.
2. Dispneu. Pada gagal jantung kiri dengan gangguan pemompaan pada
ventrikel kiri dapat mengakibatkan bendungan paru dan selanjutnya

31
dapat menyebabkan ventrikel kanan berkompensasi dengan mengalami
hipertrofi dan menimbulkan dispnea dan gangguan pada sistem
pernapasan lainnya.
3. Gagal ginjal. Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah pada ginjal,
sehingga akan dapat menyebabkan gagal ginjal jika tidak ditangani.
4. Hepatomegali, ascites, bendungan pada vena perifer dan gangguan
gastrointestinal pada gagal jantung kanan.
5. Serangan jantung dan stroke.
6. Syok kardiogenik. Akibat ketidakmampuan jantung mengalirkan cukup
darah ke jaringan

2.2.9 Prognosis

Penurunan kadar natrium dan kalium pada pasien dengan gagal jantung
ditemukan  prognosis yang lebih buruk tetapi hal ini bukan menjadi faktor
independen untuk  menentukan prognosis. Kadar natrium yang rendah, serta
ureum dan kreatinin yang  meningkat memberikan prognosis buruk pada gagal
jantung. Tata laksana secara medis dapat dilakukan sesuai kaidah yang berlaku
dan fasilitas yang ada. Untuk mencari etiologi  dan terapi kausal, diperlukan
rujukan ke kardiolog anak yang selanjutnya menentukan jenis  tindakan yang
diperlukan. Pasien perlu mendapatkan terapi terbaik yang mungkin  dilakukan
sehingga tercapai kualitas hidup dan tumbuh kembang yang optimal. 

2.3 Penyakit kawasaki

2.3.1 Definisi

Penyakit  Kawasaki didefinisikan sebagai suatu penyakit inflamasi


sistemik pada anak yang menyebabkan  aneurisma arteri koroner, infark
miokardium, dan kematian mendadak. Definisi lain menyebutkan  penyakit
Kawasaki adalah vaskulitis akut yang dapat sembuh sendiri, tetapi yang belum
diketahui  penyebabnya dengan predileksi pada arteri koroner bayi dan anak.39

32
2.3.2 Epidemiologi

Penyakit Kawasaki adalah penyakit akibat vaskulitis akut menyeluruh.


Sampai saat ini penyebabnya secara pasti belum diketahui, diduga karena infeksi,
toksin atau kelainan imunoregulator. Penyakit ini tersebar luas di seluruh dunia,
80% menyerang anak di bawah usia 5 tahun.40

2.3.3 Etiologi

Etiologi penyakit Kawasaki masih belum diketahui dan mungkin terkait


dengan  patogen yang terbawa angin atau air. Namun, dalam beberapa tahun
terakhir telah ada  penelitian yang menunjukkan penanda genetik tertentu (seperti
serotipe HLA-B51 dan  HLA-Bw22j2, cluster gen reseptor kemokin CCR2-CCR5
haplotipe dan polimorfisme  FCGR3A dari reseptor IgG IIIa) menunjukkan
predisposisi penyakit.41

2.3.4 Patofisiologi42

33
Gambar 13. Patogenesis penyakit kawasaki

2.3.5 Diagnosis43

Diagnosis membutuhkan demam yang tidak jelas selama lebih sama


dengan 5 hari  disertai adanya lebih sama dengan 4 gejala sebagai berikut; 

a. Perubahan mukosa oral, termasuk bibir merah atau retak, raing


kemerahan atau  lidah strawberry 
b. Bilateral nonexudative konjungtivitis 
c. Limfadenopati servikal, b iasanya unilateral dengan 1 node 1,5cm
d) Ruam polymorphous
d. Perubahan ekstremitas (eritema pada telapak tangan dan kaki,
pembengkaan  tangan dan kaki) 

Gambar 14. Alogaritma diagnosis penyakit kawasaki

34
2.3.6 Tatalaksana44

Tujuan pengobatan medikamentosa adalah untuk mengurangi inflamasi


dan  mencegah trombosis arteri koronaria. Diberikan aspirin dosis rendah 3-5
mg/kgBB sampai  dengan tanda-tanda klinis inflamasi menghilang. 

• Stadium Akut  

Aspirin 80-100 mg/kgBB sampai 14 hari dan Gamma-globulin 2000 mg/kgBB


IV,  dosis tunggal diberikan dalam waktu lebih dari 12 jam 

• Stadium Konvalesen 

Aspirin 3-5 mg dosis tunggal diberikan 6-8 minggu setelah onset penyakit ∙
Pengobatan Kronis untuk pasien dengan kelainan arteri koronaria Aspirin 3-5
mg dalam dosis tunggal dapat ditambah dipiridamol pada pasien resiko  tinggi,
Heparin dengan pengobatan anti platelet di anjurkan pada pasien dengan 
kelainan koroner berat.

2.3.7 Pencegahan45

Tidak dikenal cara pencegahan untuk penyakit Kawasaki. Pencegahan


dilakukan  untuk menghindari perburukan kerusakan koroner. Orangtua anak
penderita penyakit  Kawasaki dengan kelainan koroner, ditekankan tentang
perlunya tindak lanjut, yaitu  minum obat secara teratur dan pemantauan kondisi
jantung. Pengamatan penderita paska  penyakit Kawasaki, terutama dengan
riwayat aneurisma koroner berat, dilakukan jangka  panjang bahkan mungkin
seumur hidup. Aneurisme koroner yang ringan pada umumnya  akan mengalami
resolusi dalam beberapa bulan.

2.3.8 Prognosis45

IGIV mengurangi prevalens penyakit arteri koroner dari 20 - 25% pada


anak yang  diobati dengan aspirin saja hingga 2 - 4% pada anak yang

35
mendapatkan IGIV dan aspirin.  Selain risiko terjadinya aneurisma arteri koroner
persisten, penyakit kawasaki memiliki  prognosis yang sangat baik. 

Dengan terapi awal, gejala akut dapat diatasi dan risiko aneurisma arteri
koroner  sangat berkurang. Meskipun tidak diobati, sebenarnya gejala penyakit
Kawasaki yang akut  juga membaik, tetapi risiko terjadinya aneurisma arteri
koroner jauh lebih besar. Secara  keseluruhan, sekitar 2% pasien akan meninggal
karena komplikasi nodular koroner. Secara  keseluruhan, komplikasi yang
mematikan pada pasien yang telah mendapatkan terapi dini  sangat langka,
dibandingkan dengan yang tidak. Pasien dengan penyakit Kawasaki  seharusnya
diperiksa EKG pada tahap awal, setiap beberapa minggu, dan kemudian setiap  1
atau 2 tahun, untuk pemantauan komplikasi pada jantung.

2.4 Penyakit jantung reumatik

2.4.1 Definisi

Penyakit jantung reumatik merupakan kelainan katup jantung yang


menetap akibat demam  reumatik akut sebelumnya. Penyakit ini terutama
mengenai katup mitral (75%), aorta (25%),  jarang mengenai katup trikuspid dan
tidak pernah menyerang katup pulmonal.40

2.4.2 Epidemiologi

Setiap tahunnya rata-rata ditemukan 55 kasus dengan demam reumatik


akut (DRA) dan PJR. Diperkirakan prevalensi PJR di Indonesia sebesar 0,3-0,8
anak sekolah 5-15 tahun.39

2.4.3 Etiologi

Penyakit jantung rematik adalah proses imun secara sistemik yang


merupakan  gejala sisa dari infeksi streptokokus beta-hemolitik pada faring.
Penyakit jantung rematik  disebabkan oleh serangan demam rematik yang tunggal

36
atau berulang yang mengakibatkan  kekakuan dan deformitas katup katup, fusi
komisura, atau pemendekan dan fusi korda  tendina.46 

2.4.4 Patofisiologi47

Gambar 15. Patofisiologi penyakit jantung reumatik

2.4.5 Diagnosis48-52

Untuk menegakan diagnosis demam rematik dapat juga ditanya apakah


sebelunya  ada sakit tenggorokan? Kapan? Dan apakah pernah diobati? Lalu dapat
di lihat dari kriteria  diagnosis demam rematik akut revisi kriteria jones tahun
2015.

37
Menurut kriteria Jones yang telah direvisi, diagnosis demam rematik dapat
dibuat ketika dua kriteria mayor, atau satu kriteria mayor ditambah dua kriteria
minor, hadir bersama dengan bukti infeksi streptokokus: titer antistreptolysin O
atau DNAase yang meningkat atau meningkat. Pengecualiannya adalah chorea dan
carditis malas, yang masing-masing dengan itu sendiri dapat mengindikasikan
demam rematik.

Kriteria utama

 Poliartritis: Peradangan yang bermigrasi sementara pada persendian


besar, biasanya dimulai di kaki dan bermigrasi ke atas.
 Carditis: Radang otot jantung (miokarditis) yang dapat bermanifestasi
sebagai gagal jantung kongestif dengan sesak napas, perikarditis dengan
gesekan, atau murmur jantung baru.
 Nodul subkutan: Kumpulan serat kolagen yang kuat dan tidak nyeri di
atas tulang atau tendon. Mereka biasanya muncul di bagian belakang
pergelangan tangan, siku luar, dan bagian depan lutut.
 Erythema marginatum: Ruam kemerahan yang berlangsung lama yang
dimulai di batang atau lengan sebagai makula, yang menyebar ke luar dan
bening di tengah membentuk cincin, yang terus menyebar dan menyatu
dengan cincin lain, yang pada akhirnya tampak seperti ular. Ruam ini
biasanya melemahkan wajah dan menjadi lebih buruk karena panas.

38
Sydenham's chorea (tarian St. Vitus): Serangkaian karakteristik gerakan cepat
tanpa tujuan dari wajah dan lengan. Hal ini dapat terjadi sangat terlambat dalam
penyakit selama setidaknya tiga bulan sejak permulaan infeksi.

Kriteria minor

 Demam sebesar 38,2–38,9 ° C (101–102 ° F)


 Arthralgia: Nyeri sendi tanpa pembengkakan (Tidak dapat disertakan jika
poliartritis hadir sebagai gejala utama)
 Peningkatan laju sedimentasi eritrosit atau protein C reaktif
 Leukositosis
 EKG menunjukkan ciri-ciri penyumbatan jantung, seperti interval PR
berkepanjangan (Tidak dapat dimasukkan jika karditis hadir sebagai gejala
utama)
 Episode sebelumnya dari demam rematik atau penyakit jantung tidak aktif

Tanda dan gejala lainnya

 Sakit perut
 Hidung berdarah
 Infeksi streptokokus sebelumnya: demam berdarah baru-baru ini,
peningkatan antistreptolysin O atau titer antibodi streptokokus lainnya,
atau kultur tenggorokan positif.

2.4.6 Tatalaksana53

1. Tirah baring 
2. Rekomendasi pencegaham streptokokus dari tonsil dan faring sama
dengan  rekomendasi yang di anjurkan untuk pengobatan faringitis, yaitu :
Benzatin Penicilin G  dosis 0,6-1,2 juta . Jika alergi terhadap penicilin
dapat di beri Eritromisin 40 mg/kgbb/hari  dibagi 2-4 dosis selama 10 hari 
3. Pengobatan anti nyeri dan anti radang asetosal diberikan oada karditis
ringan  dan sedang, prednison diberikan pada karditis berat 

39
4. Beberapa pasien mengembangkan karditis signifikan yang bermanifestasi
sebagai gagal jantung kongestif. Ini memerlukan pengobatan yang biasa
untuk gagal jantung: ACE Inhibitors, diuretics, beta blocker, dan
digoxin. Tidak seperti gagal jantung normal, gagal jantung rematik
merespon dengan baik terhadap kortikosteroid.

2.4.7 Prognosis

Prognosis demam rematik akut tergantung pada beratnya kerusakan


jantung yang  permanen. Karditis dapat sembuh spontan, terutama pada episode
pertama dan jika  pemberian profilaksis dipatuhi. Tingkat keparahan kelainan
jantung bertambah setiap kali  ada serangan ulang demam rematik.53

40
BAB III

KESIMPULAN

Penyakit jantung yang diderita anak sejak lahir disebut penyakit jantung
bawaan  (kongenital) dan jika tidak diderita anak sejak lahir maka disebut sebagai
penyakit jantung didapat.  Anak yang menderita penyakit jantung bawaan cukup
banyak di Indonesia, yaitu sekitar 8-9 per  1000 kelahiran hidup. Penyakit jantung
bawaan terdiri dari yang biru (cyanotic) dan tidak biru  (acyanotic). Penyakit
jantung bawaan yang tidak biru dapat merupakan defek pada sekat jantung  seperti
ASD, VSD, dan PDA. Pada penyakit jantung tidak biru umumnya aliran darah ke
pembuluh  darah paru menjadi sangat deras, selain hal ini menyebabkan pasien
tidak menjadi biru karena  kadar oksigen sangat cukup namun juga menyebabkan
tekanan di pembuluh darah paru menjadi  tinggi yang disebut pulmonary
hypertension. Kondisi tersebut menyebabkan anak menjadi cepat  lelah, sesak
napas, batuk-panas berulang, minum ASI/susu formula terputus-putus, bahkan
sampai  terganggunya tumbuh kembang anak. Penyakit jantung biru dapat
dikelompokkan berdasarkan  mekanisme yang menyebabkan anak biru yaitu,
antara lain obstruksi pembuluh darah paru disertai  defek pada sekat jantung
seperti Tetralogy of Fallot. 

Sementara itu, penyakit jantung didapat merupakan penyakit jantung yang


tidak didapat  sejak lahir melainkan didapat ketika masa kanak-kanak dan meliputi
berbagai penyakit yang  heterogen. Beberapa penyakit jantung didapat yang paling
sering ditemukan antara lain Penyakit  Jantung Rematik akibat toxin yang
dihasilkan infeksi kuman Group A Streptococcus dengan  manifestasi kebocoran
atau kekakuan katup jantung, Infective Endocarditis dengan salah satu 
manifestasinya kebocoran katup jantung bila kuman melekat pada katup jantung,
Myocarditis yang  menyebabkan penderita sesak napas dan cepat lelah hingga
kematian, Pericarditis yang seringkali  diikuti dengan Pericardial Effusion dan

41
berpotensi untuk terjadi tamponade jantung, Penyakit  Kawasaki yang dapat
menyebabkan pelebaran pembuluh darah arteri koroner sampai kematian  serta
Gagal Jantung.

42
Daftar pustaka

1. Kumala K, Yantie NPVK, Hartawan INB. Karakteristik penyakit jantung


bawaan asianotik tipe isolated dan manifestasi klinis dini pada pasien anak
di rumah sakit umum pusat Sanglah. E-Jurnal Medika. 2018;7(10)
2. Marcdante KJ, Kliegman RM. Nelson essentials of pediatrics. Ed 8th.
International Edition, 2019

3. Kalalo ND. Gambaran pertumbuhan pada anak dengan penyakit jantung


bawaan di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal e-Clinic (eCl).
2016;4(2)
4. Hermawan BJ, Hariyanto D, Aprilia D. Profil penyakit jantung bawaan di
instalasi rawat inap anak RSUP DR. M. Djamil Padang periode Januari
2013 – Desember 2015. Jurnal Kesehatan Andalas. 2018;7(1):142-8
5. Trihono PP. Windiastuti E. Pardede SO. Endyarni B. Alatas SA. Pelayanan
Kesehatan Anak Terpadu. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-
RSCM. 2013
6. Hay WW, Deterding RR, Levin MJ, et al. Current diagnosis & treatment: 
Pediatrics. Ed 24 . McGraw-Hill. 2018
th

7. Van der Linde D, Konings EEM, Slager MA, Wistenburg M, Helbing


WA,  Takkenber JJM, et al. Birth prevalence of congenital heart disease 
worldwide. Journal of the American College of Cadiology. 
2011;58(21):2241-7
8. Finariawan, Mahmud S. The characteristics and distribution of congenital
heart disease in outpatient clinic and inpatient ward of RSUD Dr. Soedono
Madiun East Java in Year 2015. Acta Cardiolgia Indonesia. 2018;4(1):9-14

43
9. Allen HD, Driscoll DJ, Shaddy RE, et al. eds. Moss and Adams’ heart
disease in infants, children, and adolescents. Baltimore, MD: Lippincott
Williams & Wilkins. 2016
10. Ain N, Hariyanto D, Rusdan S. Karakteristik penderita penyakit jantung
bawaan pada anak di RSUP Dr. M. Djamil Padang periode Januari 2010 –
Mei 2012. Jurnal Kesehatan Andalas. 2015;4(3):928-935

11. McMahon CJ, Feltes TF, Fraley JK, Bricker JT, Grifka RG, Tortoriello
TA, dkk. Natural history of growth of secundum atrial septal defects and
its implication for trans catheter closure. Heart. 2002;87:256-9.

12. Djer Mulyadi. Penanganan penyakit jantung bawaan tanpa operasi


(kardiologi intervensi). Jakarta: Sagung seto. 2014.
13. Moore P, Brook MM. Patent ductus arteriosus and aortopulmonary
window. Dalam: Allen HD, Driscoll DJ, Shaddy RE, Feltes TF,
penyunting. Moss and Adams’ heart disease in infants, children, and
adolescents: including the fetus and young adult. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2008. h. 683-701.
14. Sheng W, Qian Y, Wang H, Ma X, Zhang P, Diao L, et al. DNA
methylation status of NKX2- 5, GATA4 and HAND1in patients with
tetralogy of fallot. BMC Med Genomics.  2013;6(1):46. Available from:
http://dx.doi.org/10.1186/1755-8794-6-46
15. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,
Harmoniati ED. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia. 2009
16. Puri K, Allen HD, Qureshi AM. Congenital Heart Disease. American
Academy of Pediatrics. Pediatrics in Review 2017;38 (10);471-486
17. Kliegman, Robert., Stanton B, St. Geme J W, Schor N F, Behrman R E.
Nelson Textbook of Pediatrics. Edition 20. Phialdelphia, PA: Elsevier,
2016.
18. Thompson, Erin. Atrial Septal Defect. Journal of the American academy
of  Pas. 2013;26(6):53-54. doi: 10.1097/01.JAA.0000430348.81563

44
19. Spicer et al. Ventricular Septal Defect.. Orphanet Journal of Rare Diseases.
2014: 9(144);1-16.DOI 10.1186/s13023-014-0144-2
20.  Twite MD, et al. Tetralogy of fallot: perioperative Anesthetic
Management  of Children and Adults. Seminars in Cardiothoracic and
Vascular  Anesthesia.2013;16(2):98-105
21. Walker BR, Colledge NR, Ralston SH, Penman ID. Davidson’s Principles
&Practice of  Medicine. Ed 22nd. Elsevier. 2014: 629-35
22. Park MK. Pediatric Cardiology for practicioners. Edisi ke
5.Philadelphia.2008;166-72
23. Hay WW, Deterding RR, Levin MJ, et al. Current Diagnosis & Treatment :
Pediatrics. Ed 24th. McGraw-Hill. 2018
24. Ruslie HR, Darmadi. Diagnosis dan Tatalaksana Tetralogy of Fallot.
Lampung: 2013
25. Djer MM, Madiyono B. Tatalaksana penyakit jantung bawaan. Sari
perdiatri. 2000;2(3);155- 162.
26.  Flyer DC. Rheumatic fever. Dalam: Keane JF, Lock JE, Flyer DC. Nadas’
pediatric  cardiology. Edisi ke-2. 1. Philadelphia: Elsevier; 2006. h. 387-
400.
27. Supriyatno, Bambang. 2009. Management of Pediatric Heart Disease for
practitioner: From Early Detection to Intervention. Jakarta: Departemen
IKA FKUI-RSCM.

28. Anthonius AAM, Kaunang ED, Runtunuwu AL.Gambaran karakteristik


gagaljantung  pada anak di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal
e-Clinic (eCl). 2016;4(2) 13. Djer MM, Madiyono B. Tatalaksana Penyakit
Jantung Bawaan. Sari Pediatri.  2000;2(3): 155 – 162
29. Jayaprasad N. Heart Failure in children. Heart Views. 2016 Jul-Sep; 17(3):
92–99.

30. Pusponegoro, H. D dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak


edisi I. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

45
31. Fred, M, D. 1996. Gagal Jantung Kongestif dalam Kardiologi Anak
Nadas.Yogyakarta: Gajah Mada University press.

32. Wahab, Samik. 2003. Penyakit Jantung Anak Edisi 3. Jakarta: EGC.
33. Guyton A. Textbook of Medical Physiology. Philadelphia: Elsevier Ltd;
2006.

34. Pusponegoro, H. D dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak edisiI.


Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2004
35. Supriyatno, Bambang. Management of Pediatric Heart Disease for
practitioner: From Early Detection to Intervention. Jakarta: Departemen
IKA FKUI-RSCM. 2009

36. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009.

37. Masarone D, Valente F, Rubino M, Vastarella R, Gravino R, Rea A, et al.


Pediatric Heart Failure: A Practical Guide to Diagnosis and Management.
Pediatrics and Neonatology. 2017;58:303–12.
38. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2016. Panduan
Praktik Klinis & Clinical Pathway Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah.
2016.

39. Setiabudiawan B, Ghrahani R, Sapartini G, Anggara MY, Garna H.


Laporan Kasus  Penyakit Kawasaki Atipikal. MKB. 2011; 43( 3)
40. Julius WD. Penyakit Jantung Reumatik. J Medula Unila. 2016;4(3)
41. Modesti AM, Plewa MC. Kawasaki disease. Statpearls. 2020
42. Kawasaki Disease : Pathogenesis and Complication. Nissi Wei. Calgary
Guide. October 2014
43. Janelle R cox, recognition of Kawasaki disease, the permanente
journal/winter 2009/volume13 no.1
44. Kardana M, Winaya BA. Penyakit Kawasaki.FK UNUD.2001;19-23

46
45. Allen HD, Driscoll DJ, Shaddy RE, et al., eds. Moss and Adams’ heart
disease in infants,  children, and adolescents. Baltimore, MD: Lippincott
Williams & Wilkins; 2016.
46. Dass C, Kanmanthareddy A. Rheumatic heart disease. Statpearls.2020
47. Abbas, Abul K.; Lichtman, Andrew H.; Baker, David L.; et al (2004).
Basic immunology: functions and disorders of the immune system (2 ed.).
Philadelphia, Pennsylvania: Elsevier Saunders. ISBN 978-1-4160-2403-3.
48. Parrillo, Steven J. "Rheumatic Fever". eMedicine. DO, FACOEP, FACEP.
Retrieved 2007-07-14.
49. "Guidelines for the diagnosis of rheumatic fever. Jones Criteria, 1992
update". JAMA (Special Writing Group of the Committee on Rheumatic
Fever, Endocarditis, and Kawasaki Disease of the Council on
Cardiovascular Disease in the Young of the American Heart Association)
268 (15): 2069–73. 1992. doi:10.1001/jama.268.15.2069. PMID 1404745.
50. Saxena, Anita . "Diagnosis of rheumatic fever: Current status of Jones
criteria and role of echocardiography". Indian Journal of Pediatrics 67 (4):
283–6. 2000. doi:10.1007/BF02758174. PMID 11129913.
51. Aly, Ashraf . "Rheumatic Fever". Core Concepts of Pediatrics. University
of Texas. Retrieved 2008.
52. Ed Boon, Davidson's General Practice of Medicine, 20th edition. P. 617.
53. Flyer DC. Rheumatic fever. Dalam: Keane JF, Lock JE, Flyer DC. Nadas’
pediatric cardiology. Edisi ke-2. 1. Philadelphia: Elsevier; 2006. h. 387-
400.

47

Anda mungkin juga menyukai