Anda di halaman 1dari 33

Responsi Kasus

DIARE AKUT

Oleh:
Astari Rahayu Dewi (1902611164)
Kadek Puja Asmara Miranda (1902611166)

Pembimbing :
dr. Ketut Ngurah Alit, Sp.A
dr. Nyoman Suciawan, Sp.A
dr. Komang Tri Apriastini, M.Biomed, Sp.A

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BULELENG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
anugerahnya maka laporan responsi kasus yang mengambil topik “Diare Akut” ini
dapat selesai pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini. Laporan responsi
kasus ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya
di bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUD
Buleleng.Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada:
1. dr. Ketut Ngurah Alit, Sp.A selaku pembimbing dalam pembuatan
responsi kasus ini.
2. dr. Nyoman Suciawan, Sp.A selaku pembimbing dalam pembuatan
responsi kasus ini.
3. dr. Komang Tri Apriastini, M.Biomed, Sp.A selaku pembimbing dalam
pembuatan responsi kasus ini.
4. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan laporan
praktik belajar lapangan ini.
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan banyak
kekurangan, sehingga saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan untuk kesempurnaan laporan responsi kasus ini. Semoga tulisan
ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Singaraja, Agustus 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 3
2.1 Definisi ................................................................................................ 3
2.2 Epidemiologi ....................................................................................... 3
2.3 Etiologi ................................................................................................ 4
2.4 Faktor Risiko ...................................................................................... 5
2.5 Patofisiologi ........................................................................................ 7
2.6 Manifestasi Klinis ............................................................................... 9
2.7 Diagnosis ............................................................................................. 10
2.8 Diagnosis Banding ............................................................................. 13
2.9 Penatalaksanaan .................................................................................. 14
2.10 Komplikasi ....................................................................................... 17
BAB III LAPORAN KASUS .......................................................................... 20
3.1 Identitas Pasien ................................................................................... 20
3.2 Anamnesis .......................................................................................... 20
3.3 Pemeriksaan Fisik .............................................................................. 22
3.4 Pemeriksaan Penunjang ..................................................................... 24
3.5 Diagnosis ............................................................................................ 25
3.6 Penatalaksanaan ................................................................................. 25
3.7 Pemantauan ......................................................................................... 25
3.8 KIE ...................................................................................................... 25
3.9 Prognosis ............................................................................................. 25
BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................... 26
BAB V SIMPULAN ....................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 49

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Diare merupakan keadaan dimana seseorang mengalami buang air besar


dengan konsistensi feses lebih cair dengan frekuensi lebih dari tiga kali dalam
sehari. Pada neonatus yang mendapatkan ASI, buang air besar dengan frekuensi
lebih sering (5-6 kali sehari) dengan konsistensi baik dianggap normal1.
Konsistensi dari feses tersebut lebih penting dibandingkan frekuensi dari buang
air besar. Penentuan terapi diare dilakukan berdasarkan jenis klinis diare pada
pasien. Jenis klinis diare tersebut yaitu diare akut, diare berair akut, diare berdarah
akut, diare persisten, dan diare dengan malnutrisi parah. Diare biasanya
merupakan gejala dari infeksi saluran pencernaan yang disebabkan oleh virus,
bakteri dan parasit. Rotavirus merupakan penyebab utama diare infeksi pada anak.
Infeksi tersebut dapat menyebar melalui makanan atau minuman yang
terkontaminasi atau dari orang ke orang akibat sanitasi dan higien yang buruk2.
Diare masih menjadi masalah kesehatan di dunia terutama di negara-negara
berkembang. Diare merupakan penyebab utama malnutrisi dan penyebab
kematian kedua pada anak di bawah lima tahun. Secara global, sekitar 1,7 milyar
kasus diare masa kanak terjadi setiap tahunnya. Sekitar 525.000 anak di bawah
lima tahun meninggal setiap tahun akibat diare.2 Di Indonesia, insiden diare
cenderung meningkat pada tahun 2000-2010. Incidence ratio diare pada tahun
2000 sebesar 301/1000 penduduk menjadi 411/1000 penduduk pada tahun 2010.
Selain itu, pada tahun 2010 terjadi kejadian luar biasa diare di 33 kecamatan
dengan jumlah penderita 4204 dengan kematian 73 orang.3 Berdasarkan data
Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016, jumlah kasus diare di fasilitas kesehatan
sekitar 6.897.463 kasus dan jumlah kasus yang ditangani sekitar 2.544.084 kasus
(36,9%) di Indonesia. Di Bali, jumlah kasus diare di fasilitas kesehatan sekitar
112.126 kasus dan jumlah kasus yang ditangani 32.651 kasus (29,1%).4
Ancaman yang paling berat dari diare pada anak adalah dehidrasi. Selama
episode diare, anak mengalami kehilangan air dan elektrolit melalui feses cair,
muntah, keringat, urin dan pernapasan. Dehidrasi terjadi apabila kehilangan
tersebut tidak digantikan dengan adekuat serta terjadi defisit air dan elektrolit.

1
Derajat dehidrasi berkaitan dengan jumlah kehilangan air dan elektrolit terjadi
pada anak. Selama diare, penurunan berat badan dan kegagalan tumbuh dapat
terjadi sebagai akibat dari penurunan asupan makanan, penurunan absorpsi nutrisi
dan peningkatan kebutuhan nutrisi. Hal tersebut menyebabkan status nutrisi anak
menjadi menurun dan adanya malnutrisi sebelumnya dapat memperburuk kondisi
anak. Sebagai gantinya, malnutrisi dapat menyebabkan diare menjadi lebih parah,
lebih lama dan lebih sering terjadi pada anak yang malnutrisi. Hal ini yang
menyebabkan diare masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas
anak di dunia. Akan tetapi, diare juga merupakan penyakit yang dapat
disembuhkan dan dapat dicegah. Terapi yang diberikan berfokus pada rehidrasi
dan pemberian nutrisi yang adekuat sedangkan pencegahan yang dilakukan lebih
berfokus pada peningkatan sanitasi.2 Oleh karena itu, perlu untuk mempelajari
kasus diare yang terjadi pada anak dan kondisi-kondisi yang berkaitan dengan
terjadinya kasus diare pada anak.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Menurut WHO, diare merupakan suatu kondisi berupa perubahan konsistensi
feses menjadi lembek atau cair dan meningkatnya frekuensi buang air besar
(BAB) yang lebih sering dari biasanya yakni ≥ 3 kali dalam 24 jam. Berdasarkan
onsetnya, diare dibagi menjadi diare akut dan diare kronis atau persisten. Diare
akut adalah diare yang berlangsung kurang dari 14 hari, sedangkan diare kronis
atau persisten merupakan diare yang berlangsung lebih dari 14 hari. Diare
persisten dikatakan sebagai kondisi lanjutan dari diare akut yang disebabkan
karena infeksi, sedangkan diare kronis bukan disebabkan karena infeksi.5

2.2 Epidemiologi
Diare merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia karena kasus
kematian bayi dan balita dengan diare masih sangat tinggi jika dibandingkan
dengan penyakit lainnya. Data menyebutkan angka kejadian diare tiap tahunnya
semakin meningkat di Indonesia. Kasus pada bayi, tahun 2001 mencapai 9% dari
seluruh kasus penyebab kematian lainnya. Sedangkan pada tahun meningkat
sebesar 0,1% dan data tahun 2007 tercatat kasus diare meningkat menjadi 42%.
Pada kasus balita, data tahun 2007, menunjukkan 25,2% anak-anak balita
meninggal karena diare.5
Menurut SDKI 2012, sumber air minum memiliki pengaruh terhadap angka
kejadian diare pada anak. Prevalensi diare pada anak dengan sumber air minum
yang layak lebih rendah jika dibandingkan yang tidak memiliki sumber air minum
yang layak. Selain itu, prevalensi diare pada anak yang tinggal dalam rumah
tangga yang memiliki fasilitas toilet dengan tangki septik jauh lebih rendah
dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki fasilitas toilet dan memiliki
kebiasaan BAB di sungai ataupun halaman. Hal ini membuktikan bahwa diare
terkait dengan sanitasi dan kondisi ekonomi yang buruk.3

3
2.3 Etiologi
Berdasarkan etiologinya, diare pada anak dapat diklasifikasikan menjadi diare
akibat infeksi, diare akibat penurunan daya tahan tubuh, dan diare akibat faktor
lingkungan dan perilaku.Diare akibat dari infeksi dibagi kembali menjadi 3
berdasarkan mikroorganisme yang menyebabkan, yaitu virus, bakteri, dan parasit.
2.3.1 Infeksi
a) Virus
Di negara berkembang seperti di Indonesia, virus merupakan penyebab
utama terjadinya diare akut pada anak-anak, utamanya adalah
Rotavirus.Rotavirus seringkali menyebabkan dehidrasi berat pada anak- anak
dan menyebabkan 500.000 kematian di seluruh dunia. Insiden tertinggi
infeksi virus ini ditemukan pada bayi usia 4-23 bulan. Selain Rotavirus,
beberapa tipe virus yang sering menjadi penyebab diare akut pada anak
adalah Calicivirus, Adenovirus, dan Astrovirus.6,7
b) Bakteri
Bakteri menempati tempat selanjutnya sebagai penyebab terjadinya diare
akut pada anak. Beberapa genus bakteri seperti Campylobacter sering
ditemukan saat pemeriksaan feses terutama pada bayi dan anak- anak di
negara berkembang.Sumber penularan sering kali berasal dari hewan ternak
seperti unggas. Infeksi seringkali muncul berupa diare cair, kadang disertai
dengan darah.Salmonella nontyphoid atau Salmonella gastroenteritis
seringkali menyebabkan mual, muntah, diare yang bersifat cair. Subspesies
Escherichia coli seperti enteroaggregative E.coli (EaggEC) menyebabkan
diare cair pada anak serta diare persisten pada anak dengan infeksi HIV.
enterotoxigenic E.coli (ETEC) dan enteropathogenic E.coli (EPEC) juga
didapati menjadi salah satu penyebab diare akut terutama pada anak dibawah
umur 2 tahun. Beberapa bakteri lain yang berperan menyebabkan terjadinya
diare pada anak- anak adalah Shigella, Yersinia, Clostrium difficile, Vibrio
cholerae.7

4
c) Parasit
Parasit jarang ditemukan sebagai penyebab diare pada anak. Kelompok
protozoa seperti Giardia lamblia dan Cryptosporidium parvum ditemukan
pada beberapa kasus diare meskipun tidak sering.6,7
2.3.2 Penurunan Daya Tahan Tubuh
Terdiri dari tidak memberikan ASI sampai anak berusan 2 tahun (atau
lebih), anak dengan malnutrisi terutama kurang gizi, imunodefisiensi atau
imunosupresi (seperti anak dengan AIDS, campak).
2.3.3 Faktor Lingkungan dan Perilaku
Penyakit diare adalah penyakit yang berbasis lingkungan dimana faktor
utama dapat berasal dari kontaminasi air atau tinja berakumulasi dengan
perilaku manusia yang tidak sehat.8
2.4 Faktor Risiko
Faktor risiko diare pada anak yaitu:
1. Faktor Lingkungan
Faktor ini berkaitan dengan kebersihan lingkungan sekitar anak. Ruang
lingkup lingkungan yang dimaksud seperti perumahan, pembuangan kotoran
dan sampah, penyediaan air bersih, dan pembuangan limbah. Pengelolaan
kebersihan lingkungan ini penting untuk memutuskan rantai transmisi fekal
oral. Faktor lingkungan antar sesama juga menjadi perhatian agar tidak
menularkan satu dengan lainnya.9
2. Faktor Sosiodemografi
Faktor sosiodemografi yang berpengaruh terhadap kejadian diare adalah
pendidikan, pekerjaan orang tua, dan usia anak. Jenjang pendidikan penting
untuk memudahkan seseorang menerima informasi khususnya terkait
penyakit diare. Terdapat hubungan yang signifikan dengan tingkat korelasi
kuat antara tingkat pendidikan ibu dengan perilaku pencegahan diare pada
anak. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka perilaku pencegahan terhadap
penyakit diare akan semakin baik.9
Pendapatan, status sosial, pendidikan, status sosial ekonomi, risiko
cedera, atau masalah kesehatan dalam suatu kelompok populasi dapat
mencerminkan karakteristik pekerjaan seseorang. Kejadian diare lebih sering

5
muncul pada bayi dan balita yang status ekonomi keluarganya rendah.
Tingkat pendapatan yang baik memungkinkan fasilitas kesehatan yang
dimiliki mereka akan baik pula, seperti penyediaan air bersih yang terjamin,
penyediaan jamban sendiri, dan jika mempunyai ternak akan diberikan
kandang yang baik dan terjaga kebersihannya. Faktor sosiodemografi lain
yang dapat memengaruhi kejadian diare adalah umur. Semakin muda usia
anak, semakin tinggi kecenderungan terserang diare. Daya tahan tubuh yang
rendahmembuat tingginya angka kejadian diare.9
3. Faktor Perilaku
Pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif dan kebiasaan mencuci tangan
merupakan faktor perilaku yang berpengaruh dalam penyebaran kuman
enterik dan menurunkan risiko terjadinya diare. Terdapat hubungan antara
pemberian ASI eksklusif dengan diare pada bayi dibawah 3 tahun. Bayi yang
tidak mendapat ASI eksklusif sebagian besar (52.9%) menderita diare,
sedangkan bayi dengan ASI eksklusif hanya 32.31% yang menderita diare.
Selain ASI, terdapat pula personal higiene,yaitu upaya seseorang dalam
memelihara kebersihan dan kesehatan dirinya untuk memeroleh kesehatan
fisik dan psikologis. Kebiasaan tidak mencuci tangan dengan sabun setelah
BAB merupakan kebiasaan yang dapat membahayakan anak, terutama ketika
sang ibu memasak makanan dan menyuapi anaknya, maka makanan tersebut
dapat terkontaminasi oleh kuman sehingga dapat menyebabkan diare.
Perilaku yang dapat mengurangi risiko terjadinya diare adalah mencuci sayur
dan buah sebelum dikonsumsi, karena salah satu penyebaran diare adalah
melalui penyajian makanan yang tidak matang atau mentah.9
Diare adalah ketidakseimbangan antara absorpsi air dan sekresi air atau
elektrolit. Pada keadaan normal, absorpsi air dan elektrolit lebih besar di
bandingkan ekskresi. Pada kedaan normal, usus halus akan mengabsorbsi
Na+, Cl-, HCO3-. Timbulnya penurunan dalam absorpsi dan peningkatan
sekresi mengakibatkan cairan berlebihan melebihi kapasitas kolon dalam
mengabsorpsi. Jika virus sebagai agen penyebab infeksi patofisiologi yang
mendasari terjadinya diare adalah rusaknya vili-vili usus sehinggaluas
permukaan usus halus berkurang dan terjadi gangguan terhadap mekanisme

6
enzimatik. Rotavirus memiliki komponen yang mirip enterotoksin (NSP4)
sehingga terjadi induksi sekresi cairan dan menyebabkan diare cair.9
Bakteri mengakibatkan diare melalui beberapa mekanisme. Bakteri
invasif mengakibatkan ulserasi mukosa usus dan pembentukan abses yang
diikuti oleh respon inflamasi. Toksin bakteri dapat memengaruhi proses
seluler di dalam maupun di luar usus. Enterotoksin E.coli yang tahan panas
akan mengaktifkan adenilat siklase sedangkan toksin yang tidak tahan panas
akan mengaktifkan guanilat siklase. E.coli enterohemoragik dan Shigella
menghasilkan verotoksin yang menyebabkan kelainan sistemik seperti kejang
dan sindroma hemolitik uremik. Bakteri non invasif dan protozoa lainnya
dapat melekat pada dinding usus dan menyebabkan peradangan.9
Secara konseptual, mekanisme terjadinya diare dibagi menjadi penurunan
absorpsi dan peningkatan sekresi.Biasanya mekanisme diare terjadi karena
peningkatan cairan dalam usus yang melebihi kapasitas absoprsi maksimal
dalam usus. Diare juga bisa diakibatkan oleh peningkatan motilitas usus yang
mengakibatkan pemendekan waktu transit (transit time). Selain itu penurunan
motilitas juga dapat memicu diare akibat pertumbuhan bakteri karena
stasis.Ada 2 prinsip mekanisme terjadinya diare cair, yaitu sekretorik dan
osmotik.9
2.5 Patofisiologi
2.5.1 Diare Sekretorik
Diare sekretorik disebabkan sekresi air dan elektrolit ke dalam usus
halus. Hal ini terjadi bila absropsi natrium oleh vili gagal sedangkan sekresi
klorida di sel epitel berlangsung terus atau meningkat. Hasil akhir adalah
sekresi cairan yang mengakibatkan kehilangan air dan elektrolit dari tubuh
sebagai tinja cair. Hal ini menyebabkan terjadinya dehidrasi. Pada diare yang
terjadi karena infeksi, perubahan yang terjadi akibat adanya rangsangan pada
mukosa usus oleh toksin bakteri seperti Escherichia coli dan Vibrio cholera
atau virus (rotavirus). Diare sekretorik disebabkan sekresi air dan elektrolit ke
dalam usus halus. Hal ini terjadi bila absorpsi natrium oleh vili gagal
sedangkan sekresi klorida di sel epitel berlangsung terus atau meningkat.10,11

7
Terdapat dua bahan yang menstimulasi sekresi lumen yaitu enterotoksin
bakteri dan bahan kimia yang dapat menstimulasi seperti laksansia. Toksin
penyebab diare ini terutama bekerja dengan cara meningkatkan konsentrasi
intrasel cAMP, cGMP, dan Ca dependen yang selanjutnya akan
meningkatkan protein kinase. Pengaktifan protein kinase akan menyebabkan
fosforilasi membran protein sehingga mengakibatkan perubahan saluran ion,
akan menyebabkan Cl di kripta keluar. Di sisi lain terjadi peningkatan pompa
natrium dan natrium masuk ke dalam lumen usus bersama Cl.10,11
Pada diare terjadi kehilangan air dan elektrolit tubuh melalui
tinja.Kehilangan bertambah bila ada muntah. Kehilangan ini menyebabkan
dehidrasi (karena kehilangan air dan natrium klorida), asidosis (karena
kehilangan bikarbonat), dan kekurangan kalium. Dehidrasi adalah keadaan
yang paling berbahaya karena dapat menyebabkan hipovolemi, kolaps
kardiovaskular, dan kematian.
2.5.2 Diare Osmotik
Mukosa usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilewati air dan
elektrolit dengan cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara isi
usus dengan cairan ekstraseluler. Diare akibat gangguan absorpsi yaitu
volume cairan yang berada di kolon lebih besar daripada kapasitas absorpsi.
Diare terjadi akibat kelainan di usus halus, mengakibatkan absorpsi menurun
atau sekresi bertambah. Dalam keadaan ini, diare dapat terjadi apabila suatu
bahan yang secara osmotik aktif dan sulit diserap. Jika bahan semacam itu
berupa larutan isotonik, air dan bahan yang larut didalamnya akan lewat tanpa
diabsorpsi sehingga terjadi diare.12,13 Mukosa usus halus adalah epitel berpori
yang dapat dilewati air dan elektrolit dengan cepat untuk mempertahankan
tekanan osmotik antara isi usus dengan cairan ekstraseluler.12,14
Proses yang sama mungkin terjadi bila bahan terlarut adalah laktosa
(pada anak dengan defisiensi laktase) atau glukosa (pada anak dengan
malabsorpsi glukosa), kedua keadaan kadang-kadang merupakan komplikasi
dari infeksi usus. Bila substansi yang diabsorpsi dengan buruk misalnya
berupa larutan hipertonik, air (dan beberapa elektrolit) akan berpindah dari
ekstraseluler ke dalam lumen usus hingga osmolaritas dari isi usus sama

8
dengan ekstraseluler dan darah. Hal ini menaikkan volume tinja, dan
menyebabkan dehidrasi karena kehilangan cairan.10
2.6 Manifestasi klinis
Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah
ion natrium, klorida dan bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah
bila ada muntah dan kehilangan air juga meningkat bila ada panas. Hal in dapat
menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolik dan hipokalemia. Selain itu, bila tidak
diobati dengan tepat, dehidrasi bias mengakibatkan hypovolemia, kolaps
kardiovaskular dan kematian kerana dihidrasi bukan sesuatu perkara yang ringan.
Dehidrasi yang terjadi menurut tonisitas plasma dapat berupa dehidrasi isotonik,
dehidrasi hipertonik atau dehidrasi hipotonik. Menurut derajat dehidrasinya, bisa
tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi sedang atau dehidrasi berat.12
Bila terdapat panas, dimungkinkan kerana proses peradangan atau akibat
dehidrasi. Panas badan umum terjadi pada penderita dengan inflammatory diare.
Nyeri perut yang lebih hebat dan tenesmus yang terjadi pada perut bagian bawah
serta rectum menunjukkan terkenanya usus besar.12
Muntah sering terjadi pada non inflamatori diare. Jika saluran cerna bagian
atas yang terkena, biasanya penderita tidak panas atau hanya subfebris, nyeri perut
periumbilikal tidak berat atau watery diarrhea.12 Gejala klinis diare akut
berdasarkan etiologi dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Gejala Khas Diare Akut oleh Berbagai Penyebab

9
2.7 Diagnosis
2.7.1 Anamnesis
Tujuan ananmnesis adalah menilai beratnya gejala dan risiko
komplikasi seperti dehidrasi. Pada anamnesis perlu ditanyakan lama diare,
frekuensi,volume, konsintesi tinja, warna, bau, ada/tidak lender dan darah.
Bila disertai muntah, berapakah volume dan frekuensinya. Terkait buang air
kecil perlu diperhatikan apakahfrekuensinya berkurang, normal, jarang atau
tidak kencing dalam 6-8 jam terakhir. Makanan dan minuman apakah yang
diberikan selama diare juga perlu ditanyakan. Gejala penyerta sepertidemam
batuk, pilek, otitis media dan campak perlu ditanyakan. Dehidrasi yang
bermakna dapat bermanifestasi sebagai berkurangnya aktifitas, volume urin
dan berat badan.12
Anamnesis anak dengan gejala diare akut perlu dimulai dengan
mengambil informasi yang mungkin mengarahkan apakah diare tersebut
primer atau sekunder.13 Infeksi primer contohnya seperti diare yang
disebabkan oleh rotavirus pada bayi yang dapat menyebabkan penyakit
sedang sampai berat, sedangkan reinfeksi pada remaja menyebabkan penyakit
ringan. Diare dapat terjadi secara sekunder sebagai bagian atau akibat dari
penyakit dasar lain. Gejala respiratorik, seperti batuk atau sesak mengarahkan
pada pneumonia. Frekuensi berkemih meningkat dan nyeri saat berkemih
mengarahkan pada infeksi saluran kencing atau pielonefritis. Adanya sakit
telinga mungkin akibat otitis media akut, adanya demam disertai perubahan
kesadaran mungkin merupakan gejala meningitis, ensefalitis, atau sepsis.15
2.7.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik bertujuan untuk memperkirakan derajat dehidrasi dan
mencari tanda-tanda penyakit penyerta. Gejala dan tanda dehidrasi perlu
ditemukan dan harus ditentukan derajat dehidrasinya. Berat badan sebelum
sakit perlu ditanyakan. Berat badan saat datang harus diukur sebagai
parameter kehilangan cairan dan dapat digunakan sebagai parameter
keberhasilan terapi.Bila ditemukan napas cepat dan dalam menandakan
adanya komplikasi asidosis metabolik. Bila nyeri bertambah pada palpasi atau
ditemukan nyeri tekan, nyeri lepas atau anak menolak diperiksa, waspadai

10
kemungkinan komplikasi atau kemungkinan penyebab non infeksi. Pada
keadaan kembung, auskultasi harus lebih cermat untuk mendeteksi adanya
ileus paralitik. Amati adanya eritema perianal akibat adanya malabsorpsi
karbohidrat sekunder atau akibat malabsorpsi garam empedu sekunder yang
disertai dengan dermatitis atopik.10
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang lebih lengkap hanya dikerjakan jika
diare tidak sembuh dalam 5–7 hari.11 Pemeriksaan laboratorium yang perlu
dikerjakan adalah pemeriksaan tinja baik secara makroskopik maupun
mikroskopik. Selain itu pemeriksaan tambahan pada tinja seperti biakan
kuman, tes resistensi terhadap berbagai antibiotika, ph dan kadar gula dapat
dilakukan apabila diduga ada intoleransi laktosa, uji tinja Rotazim (enzyme-
link immunosorbent assay untuk mengonfirmasi apakah virus merupakan
penyebab diare. Pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan kadar gula darah
pada kasus dengan malnutrisi dan dehidrasi berat dan atau dengan
ensefalopati.10
Pemeriksaan lain yang perlu dikerjakan pada dehidrasi berat dan atau
dengan ensefalopati adalah pemeriksaan elektrolit serum, analisis gas darah,
dan nitrogen urea. Pemeriksaan kadar elektrolit serum perlu dilakukan pada
anak dengan gejala hipernatremia atau hipokalemia. Adapun tanda-tanda
hipernatremia adalah kulit teraba hangat, tanda dehidrasi seolah-olah ringan,
hipertonia, hiperefleksia, letargi, namun terdapat iritabilitas yang nyata bila
dirangsang. Tanda hipokalemia seperti nampak lemah, ileus dengan distensi
abdomen dan aritmia.15 Penilaian derajat dehidrasi dapat dilihat pada Tabel
2.2, Tabel 2.3.
Tabel 2.2. Penilaian Derajat Dehidrasi Berdasarkan MTBS

Dehidrasi Berat Terdapat dua atau lebih dari tanda-tanda berikut :


Letargi atau tidak sadar; mata cekung; tidak bisa minum atau
malas minum; cubitan kulit perut kembalinya sangat lambat.

Dehidrasi Terdapat dua atau lebih dari tanda-tanda berikut :


Ringan/Sedang Gelisah, rewel atau mudah marah; mata cekung; haus, minum

11
dengan lahap; cubitan kulit perut kembalinya lambat.

Tanpa Dehidrasi Tidak cukup tanda-tanda untuk diklasifikasikan sebagai


dehidrasi berat atau ringan/sedang.

Tabel 2.3. Penentuan Derajat Dehidrasi Menurut WHO

Tanda Derajat Dehidrasi

&Gejala Tanpa Ringan/Sedang Berat

Anamnesis

Diare Biasanya 1-3x 3x atau lebih Terus menerus


banyak

Muntah Tidak ada atau Kadang-kadang Kering


sedikit

Rasa haus Tidak ada atau Haus Haus sekali atau


sedikit tidak mau minum

Kencing Normal Sedikit, pekat Tidak kencing (6


jam)

Nafsu makan/ Normal Nafsu makan Nafsu makan tidak


aktifitas berkurang, aktifitas ada, anak sangat
menurun lemas

Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi

KU Baik Mengantuk/ gelisah Gelisah/ tidak sadar

Mata Normal Cekung Sangat cekung

Air Mata Ada Tidak ada Tidak ada

Mulut/Lidah Basah Kering Sangat kering

Nafas Normal Lebih cepat kering Cepat dan dalam

12
b. Palpasi

Turgor Kembali cepat Kembali pelan Kembali sangat pelan


(>2 detik)

Nadi Normal Lebih cepat Sangat cepat/ tidak


teraba

Ubun-ubun Normal Cekung Sangat cekung

c. Kehilangan Sedikit 5-9% >10%


Berat Badan

2 atau lebih 2 atau lebih gejala : 2 atau lebih gejala :


Kesimpulan gejala: Tanpa Dehidrasi ringan Dehidrasi berat
dehidrasi sedang

2.8 Diagnosis Banding


a. Kriptosporidiosis
Merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi apocomplexan
protozoa dari genus kriptosporidium. Penyakit ini sering kali menyerang anak-
anak, menyebabkan self-limited diare dan dapat juga menyebabkan diare
persisten terutama ada orang-orang dengan imunokompromais. Penyakit ini
disebarkan secara fecal-oral yang dapat tersebar melalui makanan dan air.
Pada umumnya pasien dengan infeksi giardia akan memiliki gejala
gastrointestinal seperti diare, perut keram, flatus, muntah, demam, lemas yang
dapat berlangsung selama 3-4 hari. Konsistensi fecal encer dan terlihat seperti
pucat serta berminyak.16
b. Defisiensi Enterokinase Intestinal
Defisiensi dari enterokinase dapat terjadi secara primer maupun
sekunder. Pada kondisi sekunder dapat diakibatkan karena adanya atropi vili
parsial atau komplit. Enterokinase adalah enzim yang berfungsi untuk
memecah protein. Kondisi defisiensi enterokinase dapat menyebabkan
malabsorbsi protein yang berat dengan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan. Umumnya pada pasien baru lahir akan mengeluhkan gejala

13
diare dan gangguan pertumbuhan yang dapat disertai dengan hypoproteinemia
dan muntah pada sebagian besar pasien. Pada pemeriksaan fisik gejala yang
sering muncul adalah adanya tanda-tanda gangguan pertumbuhan, muscle
wasting, hingga kwashiorkor akibat dari hipoproteinemia. Selain itu juga dapat
terjadi edema, anemia berat dan defisiensi vitamin E.16
c. Carcinoid Tumor
Disebabkan oleh neuroendokrin dan berasal dari stem sel pada dinding
usus, tetapi dapat ditemukan pada organ lain seprti paru, mediastinum, timus,
hepar, pankreas, bronkus, ovarium, prostat, dan ginjal. Tumor ini berkembang
secara perlahan namun memiliki risiko tinggi untuk mengalami metastasis.
Tanda dan gejala yang dapat ditemukan antara lain nyeri perut, kemerahan
pada kepala dan leher, diare dan malabsorbsi, gangguan jantung dan asthma
like syndrome. Diare pada kondisi ini bersifat cair, berbusa, steatorrhea, dan
gejala dapat disertai dengan nyeri dan kram perut.17
d. Crohn Disease
Merupakan suatu infeksi saluran cerna yang dapat terjadi pada anak-anak
dan dewasa. Penyakit ini dapat ditandai adanya gejala diare, nyeri perut dan
gangguan pertumbuhan. Diare pada kondisi ini bersifat mucopurelen dan
bercampur darah. Pada crohn disease akan ditemukan adanya lesi di sepanjang
saluran cerna.16
2.9 Penatalaksanaan
Lima Langkah Tuntaskan Diare/ LINTAS DIARE:12
1. Rehidrasi dengan menggunakan oralit baru
Oralit baru ini adalah oralit dengan osmolaritas yang rendah. Keamanan
oralit ini sama dengan oralit yang selama ini digunakan, namun efektivitasnya
lebih baik daripada oralit formula lama. Oralit baru dengan osmolaritas
rendah ini juga menurunkan kebutuhan suplementasi intravena dan mampu
mengurangi pengeluaran tinja hingga 20% serta mengurangi kejadian muntah
hingga 30%. Selain itu, oralit baru ini juga telah direkomendasikan oleh
WHO dan UNICEF untuk diare akut non-kolera pada anak.12

14
Ketentuan pemberian oralit formula baru:
a. Beri ibu 2 bungkus oralit formula baru
b. Larutkan 1 bungkus oralit formula baru dalam 200ml air matang
c. Berikan larutan oralit pada anak setiap kali BAB, dengan ketentuan
sebagai berikut:
Untuk anak berumur < 2 tahun: berikan 50-100 ml tiap kali BAB
Untuk anak 2 tahun atau lebih: berikan 100-200 ml tiap BAB
Jika dalam waktu 24 jam persediaan larutan oralit masih tersisa, maka
sisa larutan harus dibuang.12
2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut
Zinc mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat
mengembalikan nafsu makan anak. Zinc termasuk mironutrien yang mutlak
dibutuhkan untuk memelihara kehidupan yang optimal. Meski dalam jumlah
yang sangat kecil, dari segi fisiologis, zinc berperan untuk pertumbuhan dan
pembelahan sel, anti oksidan, perkembangan seksual, kekebalan seluler,
adaptasi gelap, pengecapan, serta nafsu makan. Zinc juga berperan dalam
sistem kekebalan tubuh dan merupakan mediator potensial pertahanan tubuh
terhadap infeksi. Dasar pemikiran penggunaan zinc dalam pengobatan diare
akut didasarkan pada efeknya terhadap fungsi imun atau terhadap struktur dan
fungsi saluran cerna dan terhadap proses perbaikan epitel saluran cerna
selama diare. Pemberian zinc pada diare dapat meningkatkan aborpsi air dan
elektrolit oleh usus halus, meningkatkan kecepatan regenerasi epitel usus,
meningkatkan jumlah brush border apical, dan meningkatkan respon imun
yang mempercepat pembersihan patogen dari usus.12
Dosis zinc untuk anak-anak:
 Anak di bawah umur 6 bulan : 10 mg (1/2 tablet) per hari
 Anak di atas umur 6 bulan : 20 mg (1 tablet) per hari
Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah
sembuh dari diare. Untuk bayi, tablet zinc dapat dilarutkan dengan air
matang, ASI, atau oralit. Untuk anak-anak yang lebih besar, zinc dapat
dikunyah atau dilarutkan dalam air matang atau oralit.12

15
3. ASI dan makanan tetap diteruskan
ASI dan makanan tetep diteruskan sesuai umur anak dengan menu yang
sama pada waktu anak sehat untuk mencegah kehilangan berat badan serta
pengganti nutrisi yang hilang. Pada diare berdarah nafsu makan akan
berkurang. Adanya perbaikan nafsu makan menandakan fase kesembuhan.12
4. Antibiotik selektif
Antibiotik jangan diberikan kecuali ada indikasi misalnya diare berdarah
atau kolera. Pemberian antibiotik yang tidak rasional justru akan
memperpanjang lamanya diare karena akan mengganggu keseimbangan flora
usus dan Clostridium difficile yang akan tumbuh dan menyebabkan diare sulit
disembuhkan. Selain itu, pemberian antibiotik yang tidak rasional akan
mempercepat resistensi kuman terhadap antibiotik, serta menambah biaya
pengobatan yang tidak perlu. Pada penelitian multipel ditemukan bahwa telah
terjadi peningkatan resistensi terhadap antibiotik yang sering dipakai seperti
ampisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan trimetoprim sulfametoksazole dalam
15 tahun ini. Resistensi terhadap antibiotik terjadi melalui mekanisme
berikut: inaktivasi obat melalui degradasi enzimatik oleh bakteri, perubahan
struktur bakteri yang menjadi target antibiotik dan perubahan permeabilitas
membrane terhadap antibiotik.12
5. Nasihat kepada orang tua
Kembali segera jika demam, tinja berdarah,berulang, makan atau minum
sedikit, sangat haus, diare makin sering, atau belum membaik dalam 3 hari.12
Infeksi usus pada umumnya self limited, tetapi terapi non spesifik dapat
membantu penyembuhan pada sebagian pasien dan terapi spesifik, dapat
memperpendek lamanya sakit dan memberantas organisme penyebabnya. Dalam
merawat penderita dengan diare dan dehidrasi terdapat beberapa pertimbangan
terapi yaitu terapi cairan dan elektrolit, terapi diit, terapi non spesifik dengan
antidiare, terapi spesifik dengan antimikroba.
Penderita diare dehidrasi berat harus dirawat di puskesmas atau Rumah Sakit.
Pengobatan yang terbaik adalah dengan terapi rehidrasi parenteral. Pasien yang
masih dapat minum meskipun hanya sedikit harus diberi oralit sampai cairan infus
terpasang. Disamping itu, semua anak harus diberi oralit selama pemberian cairan

16
intravena (5 ml/kgBB/jam), apabila dapat minum dengan baik, biasanya dalam 3-
4 jam (untuk bayi) atau 1-2 jam (untuk anak yang lebih besar). Pemberian tersebut
dilakukan untuk memberi tambahan basa dan kalium yang mungkin tidak dapat
disuplai dengan cukup dengan pemberian cairan intravena. Untuk rehidrasi
parenteral digunakan cairan Ringer Laktat dengan dosis 100 ml/kgBB. Cara
pemberiannya untuk < 1 tahun 1 jam pertama 30 ml/kgBB, diLanjutkan 5 jam
berikutnya 70 ml/kgBB. Diatas 1 tahun ½ jam pertama 30 ml/kgBB dilanjutkan
2½ jam berikutnya 70 ml/kgBBb. Lakukan evaluasi tiap jam. Bila hidrasi tidak
membaik, tetesan I.V. dapat dipercepat. Setelah 6 jam pada bayi atau 3 jam pada
anak lebih besar, lakukan evaluasi, pilih pengobatan selanjutnya yang sesuai yaitu
pengobatan diare dengan dehidrasi ringan sedang atau pengobatan diare tanpa
dehidrasi.12
2.10 Komplikasi
Akibat diare, kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak dapat terjadi
berbagai komplikasi sebagai berikut:12
a) Dehidrasi
Dehidrasi terbagi menjadi dehidrasi ringan, sedang dan berat. Pada
dehidrasi ringanbiasanya keadaan umum masih baik, mata terlihat normal,
rasa haus normal, mampu minum seperti biasa dan turgor kulit kembali cepat.
Pada dehidrasi sedang, keadaan umum anak terlihat gelisah dan rewel, mata
terlihat cekung, merasa haus dan ingin banyak minum, dan turgor kulitnya
kembali lambat. Sedangkan pada dehidrasi berat, keadaan umum anak terlihat
lesu, lunglai atau tidak sadar, mata terlihat cekung, dan turgor kulitnya
kembali sangat lambat > 2 detik.12
b) Hipernatremia
Penderita diare dengan natrium plasma > 150 mmol/L memerlukan
pemantauan berkala yang ketat. Tujuannya adalah menurunkan kadar natrium
secara perlahan-lahan. Penurunan kadar natrium plasma yang cepat sangat
berbahaya oleh karena dapat menimbulkan edema otak. Rehidrasi oral atau
nasogastrik menggunakan oralit adalah cara terbaik dan paling aman. Koreksi
dengan rehidrasi intravena dapat dilakukan menggunakan cairan 0,45%
saline–5% dextrose selama 8 jam. Hitung kebutuhan cairan menggunakan

17
berat badan tanpa koreksi. Periksa kadar natrium plasma setelah 8 jam. Bila
normal lanjutkan dengan rumatan, bila sebaliknya lanjutkan 8 jam lagi dan
periksa kembali natrium plasma setelah 8 jam. Untuk rumatan gunakan
0,45% saline-5% dektrosa, perhitungkan untuk 24 jam. Tambahkan 10 mmol
KCl pada setiap 500 ml cairan infus setelah pasien dapat kencing. Selanjutnya
pemberian diet normal dapat mulai diberikan. Lanjutkan pemberian oralit 10
ml/kgBB/setiap BAB, sampai diare berhenti.12
c) Hiponatremia
Anak dengan diare yang hanya minum air putih atau cairan yang hanya
mengandung sedikit garam, dapat terjadi hiponatremia (Na< 130 mol/L).
Hiponatremia sering terjadi pada anak dengan Shigellosis dan pada anak
malnutrisi berat dengan oedema. Oralit aman dan efektif untuk terapi dari
hampir semua anak dengan hiponatremia. Bila tidak berhasil, koreksi Na
dilakukan bersamaan dengan koreksi cairan rehidrasi yaitu : memakai Ringer
Laktat atau Normal Saline. Kadar Na koreksi (mEq/L) = 125 – kadar Na
serum yang diperiksa dikalikan 0,6 dan dikalikan berat badan. Separuh
diberikan dalam 8 jam, sisanya diberikan dalam 16 jam. Peningkatan serum
Na tidak boleh melebihi 2 mEq/L/jam.12
d) Hiperkalemia
Disebut hiperkalemia jika K > 5 mEq/L, koreksi dilakukan dengan
pemberian kalsium glukonas 10% 0,5 – 1 ml/kgBB i.v. pelan-pelan dalam 5 –
10 menit dengan monitor detak jantung.12
e) Hipokalemia
Dikatakan hipokalemia bila K < 3.5 mEq/L, koreksi dilakukan menurut
kadar K: jika kalium 2,5 – 3,5 mEq/L diberikan per-oral 75 mcg/kgBB/hr
dibagi 3 dosis. Bila < 2,5 mEq/L maka diberikan secara intravena drip (tidak
boleh bolus) diberikan dalam 4 jam. Dosisnya: (3,5 – kadar K terukur x BB x
0,4 + 2 mEq/kgBB/24 jam) diberikan dalam 4 jam, kemudian 20 jam
berikutnya adalah (3,5 – kadar K terukur x BB x 0,4 + 1/6 x 2 mEq x BB).
Hipokalemia dapat menyebabkan kelemahan otot, paralitik ileus, gangguan
fungsi ginjal dan aritmia jantung. Hipokalemi dapat dicegah dan kekurangan

18
kalium dapat dikoreksi dengan oralit dan memberikan makanan yang kaya
kalium selama diare dan sesudah diare berhenti.12

19
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Penderita


Nama : GNPU
Tanggal lahir : 18 November 2017
Umur : 1 tahun 6 bulan 11 hari
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat :
Agama : Hindu
No. RM : 619595
Tanggal MRS : 29 Juli 2019
Tanggal pemeriksaan : 29 Juli 2019

3.2 Anamnesis
Heteroanamnesis (Ibu Pasien)
Keluhan utama
BAB cair.
Riwayat penyakit sekarang
Pasien laki-laki usia 1 tahun dibawa oleh orang tuanya ke IGD RSUD
Buleleng dengan keluhan utama BAB cair. Pasien dikeluhkan mengalami
BAB cair sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS) yakni pada
tanggal 28 Juli 2019. BAB cair dikatakan terjadi dengan frekuensi 3 kali pada
hari pertama. BAB dikatakan ada ampas, berwarna kuning tanpa lendir dan
darah dengan volume sekitar setengah gelas. Orangtua pasien kemudian
membawa pasien ke bidan sebanyak 2 kali SMRS dan diberikan obat berupa
sirup yang tidak diketahui kandungannya apa. Obat dari bidan membuat
mencret berhenti sebentar tapi pada hari kedua, mencret timbul lagi. Pada hari
kedua, BAB cair terjadi dengan frekuensi 6 kali dalam sehari dengan volume
dan konsistensi yang sama. BAB terakhir sekitar 2 jam SMRS dengan
konsistensi cair dan berisi ampas, tanpa darah dan lendir.

20
Selain BAB cair, terdapat pula keluhan lain berupa muntah sejak 1 hari
SMRS (28 Juli 2019) dimana muntah diawali dengan mual kemudian terjadi
sebanyak 3 kali. Keluhan mual dan muntah dikatakan membuat pasien
kesulitan makan dan kehilangan nafsu makan sehingga pasien tampak lemas.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien dikatakan pernah mengalami kejadian serupa 6 bulan yang lalu.
Riwayat penyakit seperti asma, penyakit jantung bawaan, kencing manis, dan
tekanan darah tinggi pada pasien disangkal oleh ibu pasien.
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Riwayat penyakit serupa di keluarga pasien di sangkal. Riwayat kejang
demam, epilepsi di dalam keluarga di sangkal. Riwayat penyakit sistemik lain
seperti penyakit jantung dan kencing manis disangkal oleh orangtua pasien.
Riwayat Lingkungan dan Sosial
Pasien merupakan anak tunggal. Pasien tinggal bersama dengan kedua
orang tuanya beserta kakek dan neneknya. Pasien tidur bersama kedua orang
tuanya dalam satu kamar. Rumah pasien dikatakan cukup bersih, namun
terdapat kandang ayam di halaman.
Riwayat Pengobatan
Orang tua pasien sempat membawa pasien berobat ke bidan terdekat. Di
bidan pasien diberikan obat berupa sirup yang tidak diketahui kandungannya.
Keluhan BAB cair masih terjadi sehingga ibu Pasien membawa pasien ke
RSUD Buleleng.
Riwayat Persalinan
Pasien lahir secara normal dibantu oleh dokter di rumah sakit, cukup
bulan, dan segera menangis. Berat badan lahir 3400 gram, panjang badan 51
cm, lingkar kepala saat lahir dikatakan lupa. Pasien lahir tanpa kelainan
bawaan.
Riwayat Imunisasi
Orang tua pasien mengatakan pasien sudah dilakukan pemberian
imunisasi lengkap di puskesmas, yaitu imunisasi BCG sebanyak 1 kali, Polio
sebanyak 3 kali, Hepatitis B sebanyak 4 kali, Hib sebanyak 4 kali, DPT
sebanyak 4 kali, dan campak sebanyak 1 kali .

21
Riwayat Nutrisi
1. ASI : sejak lahir – usia 18 bulan frekuensi on demand
2. Susu formula : sejak usia 6 bulan frekuensi on demand
3. Bubur susu : sejak usia 6 bulan frekuensi 2-3 kali/hari
4. Nasi tim : sejak usia 9 bulan frekuensi 2-3 kali/hari
5. Makanan dewasa : sejak usia 12 bulan frekuensi 2-3 kali/hari
Riwayat Alergi
Riwayat alergi obat maupun makanan disangkal oleh orangtua pasien.
Pasien belum pernah dilakukan tes alergi sebelumnya. Riwayat operasi
maupun transfusi disangkal.
Riwayat Tumbuh Kembang
Menegakkan Kepala : 3 bulan
Membalikkan Badan : 4 bulan
Duduk : 6 bulan
Merangkak : 12 bulan
Berdiri : 11 bulan
Berjalan : 12 bulan
Bicara : 12 bulan
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Present (4 Juni 2019)
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis (E4V5M6)
Nadi : 105 kali/ menit, reguler, isi cukup
Respirasi rate : 25 kali/ menit, reguler
Tempt axilla : 36,5 C
Saturasi : 99% pada udara ruangan
Status Generalis
Kepala : normocephali
Mata : anemis -/-, ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor, edema -/-, mata
cowong -/-
THT :
Telinga : sekret -/-, liang telinga lapang, tidak ada kemerahan

22
Hidung : sekret (-), deviasi septum (-), konka hiperemis (-),
konka pucat (-), nafas cuping hidung (-)
Tenggorok : faring hiperemi (-), tonsil T1/T1 hiperemi (-)
Lidah : sianosis (-), benjolan (-), lidah kotor (-)
Bibir : sianosis (-), mukosa bibir kering (+)
Leher : pembesaran kelenjar (-)
Thoraks : simetris (+), retraksi (-)
Jantung :
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
Palpasi : iktus cordis teraba di MCL S ICS V
Perkusi : batas kiri : MCL sinistra ICS V
batas kanan : PSL dextra ICS V
Auskultasi : S1S2 normal, regular, murmur (-)
Paru-paru :
Inspeksi : bentuk normal, simetris
Palpasi : gerakan simetris, vokal fremitus N/N
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : bronkovesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen :
Inspeksi : distensi (+)
Auskultasi : bising usus (+) meningkat
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : timpani, ascites (-)
Kulit : sianosis (-), ikterus (-), turgor kembali cepat
Genitalia : laki-laki
Ekstremitas : hangat + + , edema - - CRT < 2 detik
+ + - -
Anus : hiperemi (-)
Status Antropometri
Berat badan : 8,2 kg
Berat badan ideal : 10,5 kg
Tinggi badan : 80 cm

23
Lingkar lengan atas : 16 cm
Lingkar kepala : 50 cm
BB/U : Z-scores -3 SD
TB/U : Z-scores (-2) - 0 SD
BB/TB : Z-scores di bawah -3 SD
Status Gizi (Waterlow) : 78% (Gizi kurang)
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Tabel 3.1 Pemeriksaan Darah Lengkap (RSUD Buleleng, 29 Juli 2019)
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan
WBC 12.4 103/ uL 3.70 – 10.1
NEU 6.99 % 1.63 – 6.96
LYM 4.39 % 1.09 – 2.99
MONO .937 % .240 - .790
EOS .037 % .030 - .440
BASO .086 % 0.00 - .080
RBC 5.06 106 / Ul 3.60 – 4.69
HGB 10.4 g/dl 10.8 – 14.2
HCT 33.0 % 37.7 – 53.7
MCV 65.2 Fl 81.1- 96.0
MCH 20.5 pg 27.0 – 31.2
MCHC 31.4 g/dl 31.8 – 35.4
RDW 16.8 % 11.5 – 14.5
PLT 544. 103/ uL 155. – 366.
MPV 4.18 fl 6.90 – 10.6

Tabel 3.2 Pemeriksaan Elektrolit (RSUD Buleleng, 29 Juli 2019)


Parameter Hasil Satuan Nilai Normal
Natrium 135 mmol/L 136 – 145
Kalium 4.1 mmol/L 3.5 – 5.1
Clorida 102 mmol/L 98 – 111

24
3.5 Diagnosis
Diare akut dehidrasi ringan sedang, gizi kurang
3.6 Penatalaksanaan
- IVFD Ka-en 3B 12 tpm
- Zinc 1 x 20 mg PO
- L.Bio 1 x 1 sac
3.7 Pemantauan
- Keluhan dan tanda vital
- Tanda dehidrasi dan kesadaran
3.8 KIE
- Menjelaskan kepada orang tua pasien mengenai penyakit yang dialami oleh
pasien, perjalanan penyakit, diagnosis, tindakan, rencana tatalaksana pasien,
serta prognosis.
- Menyarankan keluarga pasien untuk menghindari faktor pencetus.
- Memberikan pengetahuan tentang penting kebersihan diri dan lingkungan.
3.9 Prognosis
Ad vitam : dubius ad bonam.
Ad fungsionam : dubius ad bonam.
Ad sanationam : dubius ad bonam.

25
BAB IV
PEMBAHASAN

Diare merupakan suatu kondisi berupa perubahan konsistensi feses


menjadi lembek atau cair dan meningkatnya frekuensi BAB ≥ 3 kali dalam 24
jam. Diare berdasarkan onsetnya dapat dikategrikan menjadi tiga jenis yakni
diare akut dengan onset kurang dari 14 hari dan diare kronis atau persisten
dengan onset lebih dari 14 hari.
Terdapat pasien perempuan berusia 1 tahun 8 bulan ini dibawa ke UGD
RSUD Buleleng dengan keluhan utama BAB cair dan keluhan tambahan
berupa muntah. BAB cair muncul sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit
yakni pada tanggal 28 Juli 2019. Pada tanggal 28 Juli 2019 pasien mengalami
BAB cair dengan frekuensi 3 kali. BAB dikatakan ada ampas, tanpa lendir
dan darah. Pada hari kedua pasien mengalami hal serupa dengan frekuensi 6
kali dan konsistensi BAB sama seperti hari sebelumnya. Selain BAB cair
pasien juga dikeluhakan mual muntah sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit yakni pada tanggal 28 Juli 2019. Akibat keluhan mual muntah yang
dialami pasien membuat pasien kesulitan untuk makan dan terlihat lemas.
Pada pemeriksaan fisis ditemukan mukosa bibir pasien tampak kering. Pada
pemeriksaan abdomen terdapat adanya distensi dan peningkatan bising usus
namun turgor kulit kembali cepat. Dari pemeriksaan fisis dan anamnesis
dengan ibu pasien, pasien dapat dikategorikan mengalami keluhan diare akut
dengan dehidrasi ringan sedang. Manifestasi klinis dari diare akut yang
ditemukan pada pasien adalah BAB cair dengan frekuensi lebih dari 3 kali
dengan onset kurang dari 14 hari. Manifestasi klinis dari dehidrasi ringan
sedang yang terdapat pada pasien adalah penurunan nafsu makan, pasien
tampak lemas dan tidak aktif seperti sebelumnya, dan terdapat mukosa bibir
yang tampak kering. Selain anamnesis dan pemeriksaan fisis, dilakukan juga
pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis dan penentuan
penatalaksanaan pada pasien ini. Dilakukan dua pemeriksaan penunjang pada
pasien yakni pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan elektrolit.
Peemriksaan darah lengkap dilakukan untuk mengetahui penyebab dari diare
pada pasien. Pemriksaan elektrolit dilakukan untuk mengetahui komposisi

26
elektrolit mana yang mengalami peningkatan atau penuruan, hal ini dilakukan
agar jenis cairan yang diberikan dapat sesuai dengan kebutuhan pasien.
Penatalaksanaan pasien dengan diare dilakukan dengan LINTAS DIARE
(lima langkah tuntaskan diare). Lintas diare terdiri atas rehidrasi dengan
oralit, pemberian zinc selama 10 hari berturut-turut, ASI dan makanan tetap
diteruskan, pemberian antibiotik yang selektif dan bila ada indikasi, serta
pemberian nasihat atau kie pada orang tua. Pada kasus pasien diberikan IVFD
Ka-en 3B 12 tpm yang berfungsi untuk mengannti elektrolit natrium dari
tubuh pasien. Selain itu pasien juga diberikan zinc dengan dosis 1 x 20 mg
per oral. Tujuan dari diberikannya zinc adalah untuk mengurangi lama dan
beratnya diare. Selain itu pemberian zinc juga dapat mengembalikan nafsu
makan yang berkurang akibat diare. Pemberian zinc pada diare dapat
meningkatkan aborpsi air dan elektrolit oleh usus halus, meningkatkan
kecepatan regenerasi epitel usus, meningkatkan jumlah brush border apical,
dan meningkatkan respon imun yang mempercepat pembersihan patogen dari
usus. Pasien juga diberikan L.Bio yang berguna untuk memelihara keadaan
usus saat pasien mengalami diare dan untuk mejaga keadaan flora normal
pada usus pasien. Selain itu keluarga pasien juga diedukasi mengenai keluhan
pada pasien dan pemberian ASI dan makanan harus dilanjutkan selama diare
dan ditingkatkan setelah diare sembuh.
.

27
BAB V
SIMPULAN

Diare adalah buang air besar dengan konsistensi feses lebih cair dengan
frekuensi lebih dari tiga kali sehari. Diare dapat disebabkan oleh virus, bakteri
maupun parasit dan disebarkan melalui makanan atau minuman yang
terkontaminasi serta sanitasi yang buruk. Manifestasi diare pada anak bervariasi
tergantung onset dan agen penyebab diare. Dehidrasi dan malnutrisi adalah
ancaman paling berat dari diare pada anak bahkan dapat menyebabkan kematian
pada anak. Hingga saat ini, diare masih penyebab utama morbiditas dan mortalitas
pada anak di dunia bahkan di Indonesia.
Diagnosis diare akut dengan dehidrasi ringan sedang pada pasien ini
ditegakkan dengan heteroanamnesis didapatkan hasil bahwa pasien mengalami
BAB cair dengan frekuensi 6 kali sehari dengan onset kurang dari 14 hari. BAB
cair pada pasien ini juga menyebabkan pasien kehilangan cairan yang
menyebabkan pasien jatuh dalam keadaan dehidrasi ringan sedang dengan gejala
nafsu makan pasien berkurang, pasien tampak lemas dan mukosa bibir pasien
kering. Serta pada abdomen pasien ditemukan distensi dan peningkatan bising
usus. Penatalaksaan pasien dengan diare bertujuan untuk mengurangi lama diare
pasien dan juga untuk mencegah pasien untuk jatuh dalam kondisi dehidrasi yang
lebih parah. Penatalaksanaan diare dilakukan dengan LINTAS DIARE.
Penatalaksanaan diare yang sedang dilakukan pada pasien ini adalah pemberian
cairan Ka-en 3B intravena, pemberian zinc 1 x 20 mg secara oral, serta pemberian
L.Bio. Selain itu keluarga pasien juga diedukasi mengenai keluhan pada pasien
dan pemberian ASI dan makanan harus dilanjutkan selama diare dan ditingkatkan
setelah diare sembuh.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar :


Riskesdas 2018. 2019. Denpasar.
2. World Health Organization. The Treatment of diarrhoea : a manual for
physicians and other senior health workers. 4th edn. Geneva: WHO Press.
2005.
3. Kemenkes RI ‘Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan Situasi Diare
di Indonesia’, Jurnal Buletin Jendela Data & Informasi Kesehatan.
2011;2:1–44.
4. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2017.
5. Departemen Kesehatan RI. Buku Saku Petugas Kesehatan LINTAS Diare.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. 2011.
6. World Gastroenterology Organisation. Acute diarrhea in adults and
children: a global perspective. 2012.
7. Agtini MD, Soenarto S. Situasi Diare di Indonesia. Buletin Jendela Data
dan Informasi Kesehatan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
2011;2(2).
8. Departemen Kesehatan RI. Buku Saku Petugas Kesehatan LINTAS Diare.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. 2011.
9. Utami, N., dan Luthfiana, N. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kejadian
Diare pada Anak. Majority. Lampung. 2016;5(4).
10. Walker A, Durie PR, Hamilton JR, Walker-Smith JA, Watkins JB.
Pediatric Gastrointestinal Disease. Edisi Ke-Tiga.Canada:BC Decker.
2008:28-36.
11. Juffrie M, Soenarto SY, Oswari H, dkk. Buku Ajar Gastroenterologi-
Hepatologi. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010:87-120.
12. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta.
2009:58.

29
13. Craven L, Editor. Pediatric Gastrointestinal Disease. Edisi Ke-Dua Jilid 1.
Missouri: Mosby. 2009:251-260.
14. Soenarto, Sri Suparyati.Vaksin Rotavirus untuk Pencegahan Diare. Buletin
Jendela Data dan Informasi Kesehatan. 2011; 2(2).
15. SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah. Pedoman Pelayanan Medis.
Denpasar; 2010.
16. Brandt KG, Antunes MMC, Slva GAP. Acute diarrhea: Evidance-based
management. J Pediatri. 2015;91:36-43.

17. Tebbi CK MD. Carcinoid Tumor. Medscape. 2017.

30

Anda mungkin juga menyukai