Oleh:
I Made Bagus Nugraha 190070200011133
Suryananda
Safira Ika Kasani Putri 190070200011138
Avicenna Hanan Alim 190070200011128
Pembimbing :
dr. Muhammad Irawan, Sp. A, M. Biomed
i
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul .......................................................................................i
Daftar Isi ................................................................................................ii
ii
2.7.8 Prognosis.............................................................................44
2.8 Gastrointestinal Food Allergies........................................................44
2.8.1 Definisi.................................................................................44
2.8.2 Manifestasi Klinis..................................................................45
2.8.3 Diagnosis..............................................................................49
2.8.4 Manajemen Diet...................................................................50
2.8.5 Monitoring & Evaluasi...........................................................51
2.9 Intususepsi / Invaginasi...................................................................51
2.9.1 Definisi.................................................................................51
2.9.2 Epidemiologi.........................................................................51
2.9.3 Etiologi.................................................................................51
2.9.4 Patofisiologi..........................................................................52
2.9.5 Penegakkan Diagnosis.........................................................52
2.9.6 Diagnosis Banding................................................................57
2.9.7 Manajemen...........................................................................59
2.9.8 Prognosis.............................................................................61
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
merupakan suatu keadaan berbahaya dan masih menjadi masalah umum pada
anak-anak. Kondisi ini merupakan suatu keadaan berbahaya dan masih menjadi
masalah umum pada anak-anak.Sangat penting untuk membedakan diare
berdarah dari penyebab lain pendarahan usus. Infeksi bakteri dan infestasi
parasit yang ber-tanggung jawab untuk sebagian besar kasus diare berdarah.
Alergi susu adalah penyebab sering di bayi muda. Penyakit inflamasi usus kronis
(chronic inflammatory bowel disease) menjadi penyebab tersering pada anak-
anak yang lebih tua. Penyebab pasti dapat di-ketahui dengan jelas setelah
dilakukan anamnesis yang menyeluruh dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang/laboratorium.
Secara global terjadi peningkatan kejadian diare berdarah dan kematian
akibat diare berdarah pada balita dari tahun 2015-2017. Berdasarkan data
WHO, pada tahun 2015, diare berdarah menyebabkan sekitar 688 juta orang
sakit dan 499.000 kematian di seluruh dunia terjadi pada anak-anak dibawah 5
tahun. Hampir 1,7 miliar kasus diare berdarah terjadi pada anak dengan angka
kematian sekitar 525.000 pada anak balita tiap tahunnya. Diare berdarah terjadi
pada 10% episode diare pada anak-anak <5 tahun; menyumbang 15% dari
kematian terkait diare di seluruh dunia (WHO, 2005). Penyebab diare berdarah
sebagian besar disebabkan oleh infeksi, namun pada negara maju ditemukan
juga penyebab non infeksi yang meliputi IBD, alergi, dan iskemia (Bawankule et
al., 2019).
Pada makalah referat kali ini akan membahas beberapa gambaran besar
penyebab dari diare berdarah pada anak. Bahasan tersebut meliputi infeksi
intestinal, iskemia intestinal (enterokolitis nekrotikans dan intususepsi), alergi
makanan, dan Inflammatory Bowel Disease (IBD).
1.3 Tujuan
Untuk dapat mengetahui definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi dan
gejala klinis sehingga dapat menegakkan diagnosis dan tatalaksana diare
berdarah pada anak.
1.4 Manfaat
2
Menjadi landasan pembelajaran tentang diagnosis dan tatalaksana diare dan
dehidrasi pada anak bagi tenaga kesehatan khususnya dokter muda di RSUD Dr.
Saiful Anwar, Malang.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi Diare Berdarah
2.2 Epidemiologi
Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
negara berkembang seperti di Indonesia, hal ini terjadi karena morbiditas
dan mortalitasnya yang masih tinggi. Secara global terjadi peningkatan
kejadian diare dan kematian akibat diare pada balita dari tahun 2015-
2017. Berdasarkan data WHO, pada tahun 2015, diare menyebabkan
sekitar 688 juta orang sakit dan 499.000 kematian di seluruh dunia terjadi
4
pada anak-anak dibawah 5 tahun. Hampir 1,7 miliar kasus diare terjadi
pada anak dengan angka kematian sekitar 525.000 pada anak balita tiap
tahunnya.
Berdasarkan Riskesdas tahun 2018, prevalensi diare di Indonesia
mengalami penurunan dari 18,5% menjadi 12,3%. Diare merupakan
penyakit endemis di Indonesia dan juga merupakan penyakit potensial.
Kejadian Luar Biasa (KLB) yang sering disertai dengan kematian.
Menentukan infeksi sebagai penyebab diare berdarah bukanlah hal
sederhana, tetapi etiologinya dapat diperkirakan. Sebuah studi kohort
prospektif di Inggris menemukan bahwa 1:30 orang (dewasa dan anak-
anak) datang ke dokter umum mereka setiap tahun dengan
gastroenteritis. Gastroenteritis bakteri dikonfirmasi dalam sebagian kecil
kasus. Insiden tahunan isolat bakteri spesifik (per 1000 populasi) adalah
Campylobacter 4.14 (95% interval kepercayaan 3,34 hingga 5,13),
Salmonella 1,57 (1,19 hingga 2,06), Yersinia 0,58 (0,42 hingga 0,88),
Shigella 0,27 (0,16 hingga 0,47), dan E coli O157: H7 0,03 (0,01 hingga
0,11). Dengan demikian, insiden tahunan infeksi bakteri ini pada anak-
anak mungkin sekitar 1,5 per 1000.
Diare berdarah adalah gejala yang muncul pada sekitar 75% anak
dengan ulcerative colitis (UC) dan 25% dengan crohn’s disease (CD).
Sebuah studi prospektif penyakit radang usus pediatrik di Inggris dan
Irlandia melaporkan kejadian tahunan 5,2 (4,8 hingga 5,6) per 100.000
000. Dari jumlah tersebut, 27% menderita UC dan 60% penyakit CD. Oleh
karena itu, insiden anak yang mengalami diare berdarah akibat penyakit
radang usus kronik adalah 2-3 per 100.000 penduduk (Murphy, 2008).
5
Prevalensi diare dalam Riskesdas 2007
Prevalensi diare klinis adalah 9,0% (rentang: 4,2% - 18,9%), tertinggi di Provinsi
NAD (18,9%) dan terendah di DI Yogyakarta (4,2%). Beberapa provinsi
mempunyai prevalensi diare klinis >9% (NAD, Sumatera Barat, Riau, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tengara Timur, Kalimantan
Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Papua Barat dan
Papua).
Bila dilihat per kelompok umur diare tersebar di semua kelompok umur dengan
prevalensi tertinggi terdeteksi pada anak balita (1-4 tahun) yaitu 16,7%.
Sedangkan menurut jenis kelamin prevalensi laki-laki dan perempuan hampir
sama, yaitu 8,9% pada laki-laki dan 9,1% pada perempuan. Prevalensi diare
menurut kelompok umur dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
6
Gambar 2. Prevalensi Diare Menurut Kelompok Umur (Riskesdas, 2007)
7
Gambar 4. Prevalensi Diare Menurut Pendidikan (Riskesdas, 2007)
2.3 Etiologi
Penyebab utama tingginya kasus diare, dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Depkes RI (2002) yaitu faktor infeksi,
makanan, psikologis, pendidikan, pekerjaan, umur balita, lingkungan, gizi, sosial
ekonomi masyarakat, makanan dan minuman yang dikonsumsi, laktosa (susu
kaleng) (Notoatmodjo, 2007).
a. Faktor infeksi
1) Infeksi enteral
Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan
penyebab utama diare pada anak. Infeksi enternal ini meliputi:
(a) Infeksi bakteri
Bakteri yang dapat menyebabkan diare akut adalah Salmonella
sp., Shigella sp., Campylobacter jejuni, Yersinia enterocolitica,
Hemorrhagic Escherichia coli (E.coli), Toxigenic E.coli, dan
Clostridium difficile. Kebanyakan mikroorganisme penyebab diare
menular lewat jalur fekal oral melalui makanan, air yang
terkontaminasi, atau antar manusia dengan kontak yang erat
(Wong, 2008).
8
Diare yang disebabkan rotavirus biasanya dapat menyebabkan
dehidrasi berat. Infeksi rotavirus biasanya terdapat pada anak
umur 6 bulan - 2 tahun (Suharyono, 2008). Infeksi pada neonatus
seringkali asimptomatis. Selain Rotavirus, telah ditemukan juga
virus baru yaitu Norwalk virus. Virus ini lebih banyak pada kasus
orang dewasa dibandingkan anak- anak (Suharyono, 2008). Virus
lain yang dapat menyebabkan diare akut diantaranya adenovirus
enterik, norovirus, calicivirus, astrovirus, dan parvovirus (WGO,
2012).
(b) Infestasi parasite : Cacing (Ascaris, Trichiuris, Oxyuris,
Strongyloides), protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia,
Trichomonas hominis), jamur (candida albicans) (Soegijanto,
2008).
2) Infeksi parenteral
Infeksi parenteral yaitu infeksi dibagian tubuh lain diluar alat
pencernaan, seperti Otitis Media akut (OMA), Tonsilofaringitis,
Bronkopneumonia, Ensefalitis dan sebagainya. Keadaan ini terutama
terdapat pada bayi dan anak berumur dibawah 2 tahun (Soegijanto,
2008).
b. Faktor malabsorbsi
1) Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltose dan
sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa).
Pada bayi dan anak yang terpenting dan tersering ialah intoleransi
laktrosa.
2) Malabsorbsi lemak
3) Malabsorbsi protein
c. Faktor makanan: makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.
d. Faktor psikologis: rasa takut dan cemas.
Walaupun jarang dapat menimbulkan diare terutama pada anak yang
lebih besar.
e. Faktor pendidikan
Menurut penelitian ditemukan bahwa kelompok ibu dengan status
pendidikan SLTP ke atas mempunyai kemungkinan 1,25 kali memberikan
cairan rehidrasi oral dengan baik pada balita dibanding dengan kelompok
ibu dengan status pendidikan SD ke bawah. Diketahui juga bahwa
9
pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap morbiditas
anak balita.Semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua, semakin baik
tingkat kesehatan yang anak. (Sulisnadewi, 2012),
f. Faktor lingkungan
Penyakit diare merupakan merupakan salah satu penyakit yang berbasis
lingkungan.Dua faktor yang dominan yaitu sarana air bersih dan
pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi bersama dengan
perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar
kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak
sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman, maka dapat
menimbulkan kejadian penyakit diare (Yulisa, 2008).
g. Faktor gizi
Diare menyebabkan gizi kurang dan memperberat diarenya.Oleh karena
itu, pengobatan dengan makanan baik merupakan komponen utama
penyembuhan diare tersebut.Bayi dan balita yang gizinya kurang
sebagian besar meninggal karena diare.Hal ini disebabkan karena
dehidrasi dan malnutrisi.
Tabel 1. Penyebab Diare Berdarah Pada Bayi dan Anak (WHO, 2005)
Penyebab Diare Berdarah pada Bayi dan Anak
Usia < 1 tahun Usia > 1 tahun
Penyebab Penyebab yang Penyebab yang Penyebab yang
yang sering jarang sering jarang
Infeksi Iskemik Intestinal Infeksi Intestinal Iskemik Intestinal
Intestinal Intususepsi IBD Intususepsi
Infant colitis Necrotizing Crohn’s Mucosal
Non- enterocolitis disease prolapse
spesific IBD Ulcerative syndrome
colitis Crohn’s colitis Systemic
Breast disease Juvenile vasculitis
milk Ulcerative polyp Factitious
colitis colitis illness
Cow’s Systemic
milk vasculitis
colitis Factitious
illness
2.4. Manajemen Umum Diare
10
Pemberian cairan disesuaikan dengan kondisi klinis anak, yang dapat
menunjukkan tanda-tanda dehidrasi. Pertama, riwayat penyakit anak harus
ditanyakan dan mencakup durasi, frekuensi, dan karakteristik feses; apakah
ditemukan darah atau lendir pada feses; adanya muntah, frekuensi, dan
karakteristiknya; adanya gejala lain seperti demam atau batuk; makanan dan
minuman apa yang dikonsumsi anak sebelum dan saat sakit; obat-obatan yang
telah diberikan; dan riwayat imunisasi serta penyakit sebelumnya. Selanjutnya,
anak diperiksa dengan mengamati keadaan umum, mata, keinginan untuk
minum, turgor kulit, tanda malnutrisi seperti kulit yang menggantung atau baggy
pants, darah pada feses (bila memungkinkan), dan tanda-tanda vital (WHO,
2005).
PENILAIAN A B C
LIHAT:
Keadaan Baik, sadar Gelisah, rewel Lesu, lunglai (tidak
Umum Normal Cekung sadar)
Mata Minum biasa, Haus, ingin Sangat cekung/
Rasa Haus tidak haus minum banyak kering
Malas minum/ tidak
bisa minum
PERIKSA:
Turgor Kulit Kembali cepat Kembali lambat Kembali sangat
(<2 detik) lambat (>2 detik)
DERAJAT Tanpa Dehidrasi ringan/ Dehidrasi berat
DEHIDRASI dehidrasi sedang
RENCANA Rencana A Rencana B Rencana C
PENGOBATAN
Catatan: Bila terdapat 2 tanda atau lebih.
11
Cairan yang dapat diberikan pada anak terbagi menjadi cairan
yang mengandung garam (suitable salted) dan cairan yang tidak
mengandung garam (suitable unsalted). Cairan yang mengandung
garam contohnya adalah oralit, kuah sup yang dibubuhi garam, dan
cairan rumah tangga lainnya seperti air tajin yang diberi garam. Cairan
tanpa garam yang dapat diberikan adalah air matang, air kelapa, air
tajin, kuah yang tidak diberi garam, dan teh yang diencerkan dan tidak
diberi gula. Beberapa cairan tidak boleh diberikan kepada anak karena
dapat memperburuk diare, seperti jus buah, teh manis, kopi, minuman
berkarbonasi, dan beberapa minuman herbal. Anak diberikan cairan
sesuai keinginannya sampai diare berhenti (WHO, 2005).
Panduan umum jumlah cairan yang diberikan setiap anak buang
air besar cair adalah sebagai berikut (WHO, 2005):
Anak di bawah umur 2 tahun diberikan 50-100 mL cairan
(1/4 hingga ½ gelas).
Anak umur 2-10 tahun diberikan 100-200 mL cairan (1/2
hingga 1 gelas).
Anak di atas umur 10 tahun diberikan 200 mL (1 gelas)
atau sesuai keinginan.
b. Pemberian suplemen Zinc
12
diberi susu formula diberikan seperti biasa tanpa diencerkan. Biasanya
anak akan mengalami penurunan nafsu makan saat diare, sehingga
mempersulit pemberian makan. Agar kebutuhan nutrisi anak tetap
terpenuhi, makanan yang diberikan adalah makanan bergizi tinggi yang
mudah didapat, yang telah dimasak hingga matang dan disajikan dalam
bentuk lunak. Makanan diberikan dalam jumlah kecil tetapi sering (setiap
3 atau 4 jam) (WHO, 2005).
d. Edukasi tentang perawatan dan tanda bahaya
13
baik dapat diberikan 75 mL/kgBB oralit dengan selang nasogastrik selama 4 jam
hingga anak dapat minum kembali (WHO, 2005).
Oralit dapat ditambah bila anak menginginkan lebih banyak cairan dan
tidak mengalami kelebihan cairan. Bila sekeliling mata anak bengkak (tanda
kelebihan cairan) saat diberikan oralit sesuai rencana terapi, hentikan pemberian
oralit namun tetap berikan ASI atau air matang serta makanan kepada anak.
Setelah bengkak hilang, anak mengikuti rencana terapi A di rumah. Jika anak
tidak dapat minum oralit dengan baik dan memburuk menjadi dehidrasi berat,
segera pindah ke rencana terapi C (WHO, 2005).
14
Selanjutnya diberikan 70 mL/kgBB cairan dalam waktu 5 jam
untuk bayi dan 2,5 jam untuk anak ≥1 tahun.
Pada pemberian oralit melalui selang nasogastrik atau oral, anak harus
diobservasi paling lambat setiap jam. Apabila setelah tiga jam status hidrasi anak
tidak membaik, anak harus dirujuk ke fasilitas kesehatan yang dapat memberikan
cairan intravena. Anak yang dapat menyelesaikan pemberian cairan selama 6
15
jam dinilai kembali derajat dehidrasinya untuk menentukan terapi selanjutnya
(WHO, 2005).
16
Anak yang mendapat antibiotik sebaiknya dibawa kembali ke fasilitas
kesehatan setelah 2 hari bila awalnya datang dengan dehidrasi, berumur kurang
dari 1 tahun, atau menderita campak 6 minggu sebelumnya. Anak dengan
kriteria tersebut yang tidak membaik setelah 2 hari sebaiknya dirujuk ke rumah
sakit karena risiko komplikasi yang lebih tinggi. Anak-anak lain yang tidak
membaik setelah 2 hari juga sebaiknya dibawa kembali ke fasilitas kesehatan
untuk menerima antibiotik lain yang sesuai untuk Shigella di area tersebut.
Setelah dua hari dengan antibiotik kedua, antibiotik diteruskan hingga 5 hari bila
anak membaik, dan anak yang tidak kunjung membaik dirujuk ke rumah sakit
atau diberikan terapi untuk disenteri amuba bila ditemukan trofozoit dan kista
Entamoeba histolytica pada feses (WHO, 2005). Rujukan diperlukan untuk
mencari tahu apakah anak menderita penyakit lain yang menyebabkan diare
berdarah, seperti penyakit radang usus.
17
oleh norovirus dan Cryptosporidium), atau reservoir lingkungan atau hewan yang
besar (misalnya, Campylobacter). Kemampuan untuk menghindari pengawasan
kekebalan dengan seringnya mengubah antigenik peristiwa rekombinasi
(misalnya, norovirus) atau keragaman serotipe yang besar (misalnya, Shigella)
memelihara populasi inang yang rentan (Kliegman et al., 2019).
TIPE INFEKSI
PARAMETER I II III
Mekanisme Non-inflamasi Inflamasi, Penetrasi
(enterotoxin/ kerusakan epitel
invasi (invasi,
superficial) sitotoksin)
Lokasi Proksimal usus Kolon Distal usus
halus halus
Klinis Diare berair Disentri Demam enteric
Pemeriksaan (-) leukosit, Polimorfonuklear Mononuclear
Feses peningkatan leukosit dengan leukosit
jumlah peningkatan
lactoferrin/ lactoferrin
tanpa lactoferrin
Penyebab Vibrio cholerae Shigella EIEC Yersinia
ETEC STEC NTS Vibrio enterocolitica
Clostridium parahaemolyticu Salmonella
perfringens s Clostridium Typhi, S.
Bacillus cereus difficile Paratyhpi, NTS,
Staphylococcus Campylobacter Campylobacter,
aureus jejuni dan Yersinia
Giardia Entamoeba
intestinalis histolytica
Rotavirus
Noroviruses
Cryptosporidium
spp. EPEC,
EAEC
Cyclospora
cayetanensis
18
2.5.2. Epidemiologi
19
Gambar 5. Insidensi spesifik pathogen penyebab
20
Faktor risiko tambahan untuk AGE termasuk imunodefisiensi, campak,
malnutrisi, dan kurangnya ASI eksklusif atau dominan. Malnutrisi meningkatkan
risiko diare dan kematian terkait, dan sedang hingga berat stunting meningkatkan
kemungkinan kematian terkait diare. Kematian akibat infeksi karena diare yang
disebabkan oleh kekurangan nutrisi bervariasi dengan prevalensi defisiensi;
pecahan yang dapat diatribusikan tertinggi ada di sub- Afrika Sahara, Asia
Selatan, dan Amerika Latin Andes. Risikonya adalah sangat tinggi dengan
malnutrisi, terutama bila dikaitkan dengan defisiensi mikronutrien. Kekurangan
vitamin A menyebabkan 157.000 kematian diare, campak, dan malaria.
Kekurangan seng diperkirakan menyebabkan 116.000 kematian akibat diare dan
pneumonia. Beberapa kunci faktor risiko yang terkait dengan diare pada anak
secara global, terutama adanya defisiensi mikronutrien (Kliegman et al., 2019).
2.5.4. Patofisiologi
a. Diare non-inflamasi
21
Gambar 6. Skema pathogenesis diare non inflamasi (Kliegman et al., 2019).
b. Diare inflamasi
22
organisme non-invasif ini biasanya datang dengan diare berair dengan
atau tanpa aliran darah atau lendir, sakit perut, dan demam
ringan. Organisme invasif termasuk Shigella sp., Campylobacter sp.,
Salmonella sp., Yersinia spp., EIEC dan E. histolytica juga menyebabkan
sindrom diare inflamasi yang ditandai dengan diare (dengan atau tanpa
disenteri), nyeri perut, dan demam. Invasi mikroba pada mukosa
menghasilkan reaksi inflamasi akut dengan gangguan barrier epitel,
sehingga menyebabkan adanya lendir, sel darah merah dan leukosit
polimorfonuklear di dalam tinja. Dibandingkan dengan organisme
noninvasif, organisme invasif dapat menyebabkan sakit perut yang lebih
parah, lebih banyak darah dalam tinja, gambaran disenteri, dan demam
yang lebih tinggi (Kliegman et al., 2019).
23
2.5.5. Penegakan Diagnosis
24
mencari telur atau parasit kecuali terdapat riwayat baru saja bepergian kedaerah
resiko tinggi, kultur tinja negatif untuk enteropatogen, diare lebih dari 1 minggu
atau pada pasien immunocompromised. Pasien yang dicurigai menderita diare
yang disebabkan giardiasis, cryptosporidiosis, isosporiasis dan strongyloidiasis
dimana pemeriksaan tinja negatif, aspirasi atau biopsi duodenum atau yeyunum
bagian atas mungkin diperlukan. Karena organisme ini hidup di saluran cerna
bagian atas, prosedur ini lebih tepat daripada pemeriksaan spesimen tinja. Biopsi
duodenum adalah metoda yang spesifik dan sensitif untuk diagnosis giardiasis,
strongylodiasis dan protozoa yang membentuk spora. E. hystolitica dapat
didiagnosis dengan pemeriksaan mikroskopik tinja segar. Trophozoit biasanya
ditemukan pada tinja cair sedangkan kista ditemukan pada tinja yang berbentuk.
Tehnik konsentrasi dapat membantu untuk menemukan kista amuba.
Pemeriksaan serial mungkin diperlukan oleh karena ekskresi kista sering terjadi
intermiten. Sejumlah tes serologis amubiasis untuk mendeteksi tipe dan
konsentrasi antibodi juga tersedia. Serologis test untuk amuba hampir selalu
positif pada disentri amuba akut dan amubiasis hati (Shane et al., 2017).
2.5.6. Tatalaksana
25
sakit dan juga mengurangi pertumbuhan organisme infeksius yang melanjutkan
siklus penularan ke orang lain. Infeksi saluran cerna yang cenderung berespon
terhadap pengobatan antibiotik termasuk kolera, shigellosis, diare E. coli pada
bayi, diare pada wisatawan (traveler’s diarrhea) yang bergejala, diare C. difficile,
giardiasis, cyclosporiasis, dan demam tifoid. Pilihan obat harus didasarkan pada
pola sensitivitas in vitro, yang bervariasi berdasarkan wilayah. Pada saat ini,
antibiotik fluorokuinolon umumnya merupakan pilihan yang baik untuk terapi
empiris, karena agen ini memiliki aktivitas spektrum luas terhadap hampir semua
bakteri patogen yang bertanggung jawab atas diare infeksius akut (kecuali C.
difficile). Namun, resistensi terhadap fluorokuinolon di Asia Selatan dan
Tenggara merupakan masalah yang semakin meningkat. Terapi alternatif
termasuk azitromisin atau generasi ketiga cephalosporin (Shane et al., 2017).
2.5.7. Pencegahan
a. Promosi kesehatan pemberian ASI dan Vitamin A
b. Imunisasi rotavirus
26
Tiga vaksin rotavirus oral hidup dilisensikan: pentavalen 3 dosis
G1, G2,G3, G4, P [8] vaksin manusia-sapi (RotaTeq), vaksin manusia
monovalen 2 dosis Vaksin G1P [8] (ROTARIX), dan monovalen 3-dosis
manusia-sapi 116E Vaksin G6P [11] (Rotavax). Hasilnya adalah
pengurangan substansial rawat inap terkait rotavirus dan semua
penyebab untuk penyakit diare pada keduanya bayi yang divaksinasi
(perlindungan langsung) dan individu yang tidak divaksinasi (tidak
langsung, atau perlindungan kawanan), serta pengurangan kunjungan ke
kantor untuk rotavirus yang tidak terlalu parah diare. Penurunan kematian
karena semua penyebab diare telah dibuktikan di beberapa negara
(Kliegman et al., 2019).
2.6.2. Epidemiologi
Mayoritas kasus EN terjadi pada bayi prematur dan berat badan lahir
rendah (BBLR). Angka kejadian di seluruh dunia berkisar antara 0,3 sampai 2,4
bayi per 1000 kelahiran hidup, dengan hampir 70% kasus terjadi pada bayi
prematur di bawah 36 minggu. Sebanyak 2-5% bayi prematur akan mengalami
EN, biasanya pada minggu kedua hingga ketiga kehidupan. Hampir 8% pasien
yang memerlukan perawatan di neonatal intensive care unit (NICU) merupakan
27
pasien EN (Ginglen & Butki, 2019). Pada neonatus cukup bulan, EN biasanya
terjadi pada beberapa hari pertama kehidupan dan berhubungan dengan
keadaan hipoksia dan kondisi-kondisi tertentu, misalnya penyakit jantung
bawaan, asfiksia, sindrom Down, infeksi rotavirus, gastroskisis, dan penyakit
Hirschsprung (Ginglen & Butki, 2019; Kliegman et al., 2019). Angka kematian EN
adalah sekitar 10-50%, namun mendekati 100% pada kasus berat yang
menimbulkan perforasi, peritonitis, dan sepsis (Ginglen & Butki, 2019).
2.6.3. Etiologi
2.6.5. Patofisiologi
28
sempurna sehingga terjadi kerusakan lanjutan pada usus akibat inflamasi yang
mempermudah bakteri untuk menembus sawar usus dan bertranslokasi ke aliran
darah sistemik, yang memicu systemic inflammatory reaction syndrome (SIRS)
dan syok septik (Kliegman et al., 2019).
GASTROINTESTINAL SYSTEMIC
Abdominal distention Lethargy
Abdominal tenderness Apnea/respiratory distress
29
Feeding intolerance Temperature instability
Delayed gastric emptying “Not right”
Vomiting Acidosis (metabolic and/or
Occult/gross blood in stool respiratory)
Change in stool Glucose instability
pattern/diarrhea Poor perfusion/shock
Abdominal mass Disseminated intravascular
Erythema of abdominal wall coagulopathy
Positive results of blood
cultures
b. Pemeriksaan penunjang
Gambar. 9 Film ginjal-ureter-kandung kemih menunjukkan distensi abdomen, gas vena portal
hepatik (panah), dan tampilan berbuih pneumatosis intestinalis (mata panah; kuadran kanan
bawah). 2 tanda terakhir adalah dianggap patognomonik untuk NEC neonatal. (Tam et al., 2017).
30
Gambar. 10 Perforasi usus. Radiografi perut meja silang pada pasien Dengan NEC neonatal
menunjukkan distensi yang nyata dan pneumoperitoneum masif, seperti dibuktikan dengan udara
bebas di bawah dinding anterior abdomen. (Tam et al., 2017).
Gambar. 11 Necrotizing enterocolitis (NEC). Film foto polos abdomen bayi dengan NEC perforasi
31
Klasifikasi derajat keparahan EN menggunakan Stadium Bell yang telah
mengalami modifikasi oleh Walsh dan Kliegman:
32
Inisiasi terapi yang cepat juga diperlukan untuk bayi dengan kecurigaan
terbukti NEC. Tidak ada pengobatan yang pasti untuk NEC yang sudah ada, jadi
terapinya diarahkan untuk memberikan perawatan suportif dan mencegah cedera
lebih lanjut dengan penghentian pemberian makan, dekompresi nasogastrik, dan
pemberian cairan IV. Cermat perhatian terhadap status pernafasan, profil
koagulasi, dan asam basa dan elektrolit keseimbangan itu penting. Setelah darah
diambil untuk kultur, sistemik antibiotik (dengan cakupan luas berdasarkan pola
sensitivitas antibiotik organisme gram positif, gram negatif, dan anaerobik pada
khususnya neonatal ICU) harus segera dimulai. Jika ada, kateter umbilikalis
harus dihapus, tetapi akses IV yang baik perlu dipertahankan. Ventilasi harus
dibantu jika ada apnea atau jika perut kembung berkontribusi pada hipoksia dan
hiperkapnia. Penggantian volume intravaskular dengan kristaloid atau produk
darah, dukungan kardiovaskular dengan bolus cairan dan / atau inotropik, dan
koreksi hematologi, metabolik, dan elektrolit kelainan penting untuk menstabilkan
bayi dengan NEC (Kliegman et al., 2019).
2.6.9. Prognosis
2.6.10. Pencegahan
Pencegahan terbaik dari EN adalah mencegah prematuritas.
Maturasi paru dan usus dengan pemberian steroid sebelum kelahiran
prematur dapat mengurangi kejadian EN.
Pada bayi prematur maupun matur, pemberian ASI mengurangi risko
EN.
Pemberian probiotik diteliti dapat mencegah EN, namun belum ada
panduan tentang formulasi yang efektif dan aman, serta durasi dan
33
interval pemberian. Jenis bakteri yang paling sering digunakan adalah
Bifidobacterium dan Lactobacillus, yang keduanya merupakan bagian
dari flora normal usus (Kliegman et al., 2019).
2.7.1. Definisi
2.7.2. Epidemiologi
34
penyakit kekebalan kronis termasuk IBD. Hipotesis lain menunjukkan bahwa
peningkatan kejadian IBD di negara berkembang terkait dengan perubahan gaya
hidup dan pola makan Barat. (Wyllie, et al., 2016)
Tabel 6. Insiden tahunan tertinggi dan prevalensi IBD (Yosy & Salwan, 2014)
2.7.3. Etiologi
2.7.4. Patogenesis
35
IBD diduga terjadi akibat adanya aktivasi yang berlebihan dari sistem
imun mukosa usus yang menyebabkan inflamasi pada usus tanpa adanya
penyebab yang jelas. Beberapa faktor lainnya diduga berpengaruh, diantaranya
faktor genetik dan lingkungan. Sistem imun pada penderita IBD bekerja secara
abnormal dan berlangsung kronis yang menyebabkan inflamasi dan ulserasi
saluran cerna. (Yosy & Salwan, 2014)
36
Diagnosis akurat untuk IBD harus didasarkan pada kombinasi anamnesis
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, esofagogastroduodenoskopi (EGD)
dan ileokolonoskopi dengan bukti histologis, dan pemeriksaan radiologi usus
halus. Hal ini penting untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi enterik. (Levine
et al., 2014)
a. Manifestasi Klinis
• Amenore primer
37
Gejala ekstraintestinal IBD dapat mengenai organ seperti mata,
kulit, sendi, ginjal, dan hati. Hal ini bisa menjadi sumber morbiditas
yang dominan pada beberapa penderita. Manifestasi ekstraintestinal
pada IBD diperkirakan terjadi pada sekitar 25-35% penderita.
(Rabizadeh et al., 2008)
b. Anamnesis
c. Pemeriksaan Fisik
38
pertumbuhan tampak lebih muda dibandingkan umur sebenarnya.
Demam dapat terjadi pada IBD. Takikardia dapat menjadi petunjuk
adanya anemia, demam, hipoproteinemia atau dehidrasi. Inspeksi
perianal dan pemeriksaan colok dubur merupakan pemeriksaan
penting pada penderita yang dicurigai IBD. Massa inflamasi yang
nyeri dapat menunjukkan adanya inflamasi aktif atau abses. Skin tags
yang besar (≥ 0,5 cm) pada tempat selain jam 12 dicurigai sebagai
CD. Fisura anal yang dalam yang dicurigai sebagai fistula perianal
merupakan tanda patognomonis CD.
d. Pemeriksaan Laboratorium
e. Pemeriksaan histopatologi
f. Pemeriksaan Endoskopi
g. Pencitraan
39
a. Crohn’s Disease
Temuan makroskopik dan mikroskopik CD pada luminal pediatri
(Lev ine et al., 2014)
40
Gambar 14. CDAI (Tamboli et al, 2006)
b. Ulcerative Colitis
41
Fitur diagnosis UC adalah inflamasi mukosa usus yang
continuous, dimulai dari rektum, tanpa keterlibatan usus halus, dan
tanpa granuloma pada biopsi. Fitur makroskopik tipikal berupa eritema,
granularity, friability, eksudat purulen, dan ulserasi yang tampak kecil
dan superfisial. Inflamasi dapat berakhir pada zona transisi dimanapun
pada kolon atau melibatkan keseluruhan kolon.
Terminal ileum dapat juga terlibat pada UC, disebut backwash
ileitis. Terjadi pada 6-20% pasien UC dengan pankolitis. Temuan
histologis terseringnya berupa patchy area dengan kriptitis neutrofilik
tanpa ulserasi permukaan.
UC dibedakan menurut lokasi dan perluasan inflamasi serta
beratnya penyakit.
1. Proktitis ulseratif adalah inflamasi yang terbatas pada
rektum.
2. Proktosigmoiditis adalah inflamasi pada rektum dan kolon
sigmoid.
3. Kolitis sisi kiri adalah inflamasi yang dimulai dari rektum
dan meluas ke atas mengenai kolon sigmoid dan kolon
desendens.
4. Pankolitis adalah inflamasi yang mengenai seluruh kolon.
5. Kolitis fulminan adalah bentuk berat pankolitis. Jenis ini
jarang terjadi.
Berdasarkan gambaran klinis, UC dapat dikelompokkan
berdasarkan ringan beratnya penyakit, yaitu:
1. UC ringan; diare kurang dari 4 kali sehari, tidak ada atau
sedikit perdarahan rektal, dan tidak terdapat gejala
42
sistemik seperti demam, takikardi, peningkatan LED, dan
anemia.
2. UC sedang; diare 4-6 kali sehari, perdarahan rektal
sedang, terdapat beberapa gejala sistemik, atau penyakit
derajat ringan yang tidak berespon terhadap pengobatan.
3. UC berat; diare lebih dari 6 kali sehari (sering pada malam
hari), perdarahan rektal berat, gejala sistemik, malnutrisi
dengan hipoalbuminemia, dan penurunan berat badan
lebih dari 10% dibandingkan sebelum sakit.
2.7.7. Manajemen
Medikamentosa:
• Antibiotika
• Kortikosteroid.
UC: Prednison dengan dosis 40-60 mg/hari peroral dan diturunkan secara
bertahap (5 mg per minggu) setelah gejala terkontrol.
43
• Obat-obatan simptomatik. Obat-obatan simptomatik yang diberikan
adalah antagonis histamine 2 reseptor, anti diare, dan antispasmodik.
2.7.8. Prognosis
2.8.1. Definisi
44
kulit dan / atau pernapasan dalam waktu 1 jam setelah makan makanan yang
relevan. Pasien yang mengalami gejala gastrointestinal (seperti muntah, diare,
dan darah di tinja) dalam beberapa jam setelah menelan makanan patogen
diklasifikasikan sebagai alergi makanan yang tidak dimediasi oleh IgE. Alergi
makanan gastrointestinal terjadi di awal kehidupan dan memiliki berbagai gejala.
Susu, susu kedelai, dan gandum adalah alergen yang paling umum. Alergi
makanan gastrointestinal tergolong reaksi alergi yang tidak dimediasi oleh IgE.
Gejala gastrointestinal muncul setidaknya 1-2 jam setelah makan makanan yang
menyebabkan alergi. Patofisiologi penyakit alergi yang dimediasi non-IgE ini
belum sepenuhnya dipahami. Tes tusuk kulit atau kadar IgE serum khusus
makanan biasanya negatif. (Biermé & Caubet, 2017)
45
muncul pada usia 3 hingga 6 minggu, tetapi terkadang terlihat pada
bayi yang lebih tua. (Heine, 2015)
• Etiologi: Proctocolitis infantil terjadi pada bayi yang diberi ASI dan
susu formula. (Heine, 2015)
46
dapat menyebabkan reaksi FPIES pada bayi. Reaksi FPIES terhadap
alergen makanan tertentu relatif umum. (Biermé & Caubet, 2017)
47
Tabel 9. Kriteria Diagnostik FPIES dan kriteria interpretasi OFC pada pasien FPIES (Biermé &
Caubet, 2017)
• Manifestasi Klinis: Pada bayi dan anak kecil, diare kronis, muntah,
penurunan berat badan, anemia ringan sampai sedang, dan defisiensi
mikronutrien terkait (seperti defisiensi zat besi atau penyakit)
ditemukan. Manifestasi yang parah juga dapat terjadi, termasuk
penyakit usus kehilangan protein yang disebabkan oleh albuminemia
dengan edema perifer. Jika pengobatan ditunda, bayi dapat
mengalami malnutrisi energi dan masalah pertumbuhan (Failure To
Thrive). Akibat penurunan ekspresi tepi sikat laktase di vili usus, bayi
dengan enteropati susu sering menderita malabsorpsi laktosa
sekunder. Laktosa harus dihilangkan dari makanan bayi ini sampai
struktur vili pulih.Meskipun formula susu sapi bebas laktosa
48
mengurangi keparahan diare pada enteropati susu sapi, formula susu
sapi ini tidak cocok sebagai pengobatan karena kandungan protein
susu sapi yang memperpanjang peradangan usus. (Heine, 2015)
2.8.3. Diagnosis
Pada FPIAP, FPE, dan FPIES, tes challenge makanan oral (Oral Food
Challenge, OFC) menunjukkan reproduksibilitas gejala yang sangat tinggi yang
ditemukan pada presentasi awal, meskipun OFC dilakukan beberapa bulan
setelah onset gejala. Pengamatan ini menunjukkan bahwa bahkan setelah
berbulan-bulan remisi, reaksi hipersensitivitas spesifik di saluran pencernaan
bagian atas atau bawah dan kemungkinan sel kekebalan yang bertanggung
jawab tetap berada di bagian yang sama dari saluran pencernaan. (Biermé &
Caubet, 2017)
49
minggu setelah eliminasi alergen makanan. Fase OFC biasanya ditunda sampai
pemulihan nutrisi selesai. Tes tusuk kulit dan antibodi IgE serum khusus
makanan biasanya tidak didiagnosis karena alergi makanan gastrointestinal tidak
dimediasi IgE. Endoskopi saluran cerna bagian atas mungkin bermanfaat bagi
pasien yang sering mengalami refluks atau muntah. (Biermé & Caubet, 2017)
Pada bayi dengan muntah bilious, studi barium enema harus dilakukan
untuk menyingkirkan adanya kelainan anatomi, khususnya malrotasi
intraintestinal. Peningkatan jumlah eosinofil pada biopsi lambung atau duodenum
mungkin merupakan penanda yang berguna untuk alergi susu sapi
gastrointestinal pada bayi. Biopsi usus halus penting dalam penilaian
kemungkinan Chron’s disease atau enteropati lain. Pada bayi dengan diare
persisten, pengukuran kadar duodenal disaccharidase (laktase, sukrase dan
maltase / isomaltase) berguna untuk menguji malabsorpsi karbohidrat akibat
defisiensi disaccharidarase. Hydrogen breath testing setelah konsumsi gula
tertentu (laktosa, fruktosa, dan sukrosa) juga dapat membantu dalam menilai
kemungkinan malabsorpsi karbohidrat, mis. Intoleransi laktosa atau fruktosa.
(Biermé & Caubet, 2017)
Pada bayi yang disusui, cobalah diet yang menghilangkan ASI dari ibunya
(terkadang dikombinasikan dengan kedelai atau gandum). Ahli gizi harus menilai
apakah pola makan ibu sesuai dan harus meresepkan suplemen kalsium (1,2 gram
per hari dalam dosis terbagi). Pada bayi yang diberi susu formula, uji coba
50
ekstensif harus dicoba pada formula terhidrolisis atau formula berbasis kedelai
(bayi berusia lebih dari 6 bulan). Bayi yang mengalami gejala saat menggunakan
banyak formula hidolisat dapat beralih ke AAF . (Biermé & Caubet, 2017)
2.9.1. Definisi
2.9.2. Epidemiologi
2.9.3. Etiologi
51
setelah infeksi virus pada saluran pencernaan atau pernapasan. Diduga bahwa
infeksi saluran cerna atau protein makanan baru yang tidak diketahui akan
memicu perkembangbiakan bintik Peyer di ileum terminal dan membentuk titik
timah. Intususepsi titik awal lebih sering terjadi pada anak-anak yang lebih tua
(lebih dari 2 tahun), dan kemungkinan intususepsi meningkat seiring
bertambahnya usia. (Kliegman et al., 2019; Wyllie et al., 2016).
2.9.4. Patofisiologi
a. Anamnesis
Ada trias klasik dalam intususepsi, dan bervariasi dari literatur ke literatur.
Beberapa literatur mengidentifikasi trias intususepsi sebagai sakit perut, muntah
(yang mungkin tampak hijau), dan perdarahan dari setiap rektum. Literatur lain
menunjukkan bahwa trias klasik intususepsi adalah sakit perut, massa yang
terlihat di perut dan darah di tinja. Ada juga dokumen yang menyebutkan sakit
52
perut mendadak, muntah, dan massa perut yang terlihat jelas. Ketika ketiga
gejala muncul, nilai prediksi positif dari triad lebih dari 90%, dan jika ditemukan
setiap perdarahan rektal, nilai prediksi positif dari triad ditingkatkan menjadi
100%. Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai definisi trias
intususepsi, namun trias hanya muncul pada sebagian kecil pasien (25-30%)
(Kliegman et al., 2019; Marsicovetere et al., 2017; Wyllie et al., 2016).
b. Pemeriksaan Fisik
c. Pemeriksaan Penunjang
53
gambaran menyerupai ginjal (pseudokidney sign). Pada kasus tertentu lead point
dapat tampak jelas pada ultrasonografi, dan mode Doppler berfungsi untuk
mendeteksi adanya nekrosis (IDAI, 2011).
Gambar 15. Donut sign (kanan) dan gambaran pseudokidney sign (kiri) (Riera et al.,
2012)
54
Gambar 16. Massa jaringan lunak (panah putih) (Mehdizadeh et al., 2017).
55
Gambar 17. Coiled spring sign (Ongom & Kijjambu, 2013).
2.9.7. Manajemen
56
atau pneumatik (menggunakan udara). Teknik yang paling lama
digunakan adalah enema hidrostatik, yaitu memasukkan larutan barium
atau kontras larut air ke dalam rektum dari sebuah kolom dengan tinggi
cairan 100 cm untuk menghasilkan tekanan sebesar 100-120 mmHg dan
dipertahankan selama 3-5 menit. Selama cairan ditahan di dalam usus,
dilakukan pemantauan dengan fluoroskopi untuk melihat terjadinya
reduksi. Setelah reduksi berhasil dilakukan, beberapa literatur
menyarankan pasien dipuaskan dan diobservasi selama 12-24 jam
sebelum pulang. Namun, bila pasien stabil dan tanpa gejala setelah
reduksi, pasien dapat langsung pulang dengan follow up dini.
Keberhasilan reduksi dengan enema kontras mencapai 55-70%. Cairan
saline juga dapat digunakan untuk reduksi hidrostatik dengan panduan
ultrasonogradi, dan tingkat keberhasilannya 70-90% dengan risiko
perforasi yang lebih rendah (Wyllie, et al., 2016).
Sekarang reduksi pneumatik lebih dipilih karena dapat
mengurangi atau bahkan menghilangkan paparan radiasi (karena durasi
yang lebih singkat dan dapat digunakan dengan pemantauan
ultrasonografi), lebih aman karena risiko perforasi lebih rendah, dan
tingkat keberhasilan yang lebih tinggi. Keberhasilan reduksi pneumatik
adalah 80-90% dengan fluoroskopi dan 92-95% dengan ultrasonografi.
Semua pasien yang stabil diberikan reduksi pneumatik sebagai terapi
awal sebelum pembedahan. Bila reduksi pneumatik pertama gagal, dapat
dicoba beberapa kali pada pasien yang stabil dan tidak menunjukkan
tanda-tanda peritonitis, dan idealnya sudah terjadi reduksi parsial yang
terlihat dengan jelas. Kelemahan reduksi pneumatik adalah risiko
terjadinya tension pneumoperitoneum, sebuah kondisi yang terjadi saat
perforasi menyebabkan udara masuk ke cavum peritoneum dan tidak
dapat keluar. Hal ini jarang sekali terjadi (angka kejadian perforasi pada
reduksi pneumatik adalah 2%) namun berbahaya karena akan
mengakibatkan kompresi vena cava inferior, penurunan preload jantung,
dan terganggunya penurunan diafragma. Dekompresi abdomen dengan
angiokateter kecil dan pembedahan segera harus dilakukan saat tension
pneumoperitoneum terjadi (Wyllie, et al., 2016).
Pembedahan diperlukan bila reduksi tidak bisa sempurna
meskipun telah dilakukan beberapa kali reduksi pneumatik, terjadi
57
perforasi saat reduksi, peritonitis, atau adanya lead point patologis.
Persiapan praoperasi diperlukan untuk menjamin kesuksesan
pembedahan, seperti pemberian antibiotik spektrum luas, resusitasi
cairan, stabilisasi suhu, dan pemasangan selang nasogastrik
direkomendasikan untuk mencegah aspirasi dan dekompresi lambung.
Insisi biasa dilakukan pada kuadran kanan atas dan berbentuk
transversal, namun metode insisi bervariasi antar operator. Bagian usus
yang mengalami intususepsi (biasanya sekum dan ileum terminalis)
dikeluarkan dan dilihat sepenuhnya. Intususepsi yang melibatkan kolon
sigmoid diakses dengan insisi pada sebelah kiri yang memotong garis
tengah tubuh. Ujung dari intususeptum diidentifikasi dan dimanipulasi
secara hati-hati agar keluar dari intususipien tanpa ditarik
(countertraction) untuk mencegah perforasi. Setelah reduksi,
intususeptum dibungkus dengan kasa yang direndam cairan isotonik
hangat dan ditunggu beberapa saat untuk melihat apakah daerah iskemik
tersebut dapat kembali normal. Kemudian segmen usus dapat diamati
untuk melihat peristalsis, aliran Doppler, atau evaluasi dengan fluorescein
dan lampu Wood. Bila intususepsi tidak bisa direduksi manual, reseksi
diperlukan karena intususeptum telah mengalami nekrosis. Setelah
reseksi, segmen usus dapat dianastomosis langsung pada pasien stabil
atau bila pasien tidak stabil, digunakan teknik clip and drop dan
penyambungan kembali atau dibuat enterostomi sementara (Wyllie, et al.,
2016).
2.9.8. Prognosis
58
Intususepsi yang tidak diobati biasanya menyebabkan kematian.
Setelah tindakan reduksi dalam waktu 24 jam, hampir semua bayi bisa
sembuh, namun bila tidak ada reduksi setelah 24 jam, apalagi setelah 2
hari, angka kematian akan meningkat pesat. Tingkat kekambuhan
pengurangan intususepsi non-bedah adalah 10-20%, dan setelah
pengurangan intraoperatif turun menjadi 2-5%, dan tidak ada
kekambuhan setelah reseksi. Sebagian besar kekambuhan terjadi dalam
72 jam setelah reset (Kliegman et al., 2019, Wyllie, et al., 2016).
59
BAB III
Kesimpulan
Diara merupakan salah satu keluhan yang paling sering muncul pada
anak di praktek sehari – hari. Diare berdarah pun pada khususnya memiliki
beberapa macam penyebab. Diare berdarah bukan diagnosis, melainkan gejala
dari suatu penyakit. Terdapat banyak penyakit yang dapat muncul dengan
keluhan diare berdarah. Bayi atau anak yang belum dapat mengkomunikasikan
keluhan diare berdarah juga merupakan tantangan dalam mendiagnosis dan
menangani penyebab terjadinya diare berdarah pada anak. Masing-masing
penyebab memiliki penanganan sendiri perlu disesuaikan dengan kondisi unik
dari setiap anak. Kemungkinan penyebab diare berdarah pada anak sangat
beragam dan gejala yang muncul bisa menimbulkan kegawatdaruratan bedah
yang mengancam jiwa. Penyebab diare berdarah pada anak dapat diketahui
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti
laboratorium dan radiologi. Pendekatan algoritmik untuk anak dengan diare
berdarah harus segera dilakukan.
Diagnosis banding dari diare berdarah sangat banyak, antara lain diare
infeksi dengan mekanisme non-inflamasi yang disebabkan oleh pathogen yang
mempengaruhi usus kecil dan mengganggu proses penyerapan dan/atau sekresi
enterosit tanpa menyebabkan peradangan akut yang hebat atau kerusakan
mukosa, diare infeksi dengan mekanisme inflamasi dengan mengeluarkan
sitotoksin dengan menginvasi epitel usus sehingga menghasilkan reaksi
inflamasi akut, IBD yaitu sekelompok peradangan idiopatik kronis pada sistem
usus, Gastrointestinal Food Allergies, intususepsi yaitu bentuk obstruksi usus
yang terjadi karena masuknya satu segmen usus ke segmen sebelahnya.
Masing-masing penyakit tersebut memiliki gejala yang berbeda, penyebab yang
berbeda dan penanganan yang berbeda.
60
Daftar Pustaka
Bawankule, R., Shetye, S., Singh, Ashish, Singh, Abhishek, Kumar, K., 2019.
Epidemiological investigation and management of bloody diarrhea among
children in India. PLoS ONE 14, e0222208.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0222208
Bradley, J.S., Nelson, J.D., Kimberlin, D.W., Leake, J.A.D., Palumbo, P.E.,
Sanchez, P.J., Sauberan, J., Steinbach, W.J. 2014. Nelson’s Pediatric
Antimicrobial Therapy, 20 Ed. American Academy of Pediatrics.
th
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Buku Saku Lintas Diare untuk
Petugas Kesehatan. Departemen Kesehatan RI.
Ginglen, J.G, Butki, N. Necrotizing Enterocolitis. [Updated 2019 Jul 18]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513357/.
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jilid 2 cetakan pertama. Jakarta. Badan Penerbit IDAI.
61
Kliegman, R.M., St Geme, J.W., Blum, N.J., Shah, S.S., Tasker, R.C., Wilson,
K.M., Behrman, R.E. 2019. Nelson Textbook of Pediatrics, 21st Ed.
Philadelphia: Elsevier.
Levine, A., Koletzko, S., Turner, D., Escher, J. C., Cucchiara, S., De Ridder, L.,&
Buderus, S. 2014. ESPGHAN revised porto criteria for the diagnosis of
inflammatory bowel disease in children and adolescents. Journal of
pediatric gastroenterology and nutrition, 58(6), 795-806.
Mehdizadeh, M., Memarian, S., Khosravi, R., Motamed, F., Mohsenipour, R.,
Saidi, M., Rahmani, P., Alimadadi, H., Gharib, B. A 13.5- Year Old Boy
with Abdominal Pain and Weight Loss and Chronic Intussusception.
International Journal of Pediatrics. 2017, 5: 6041-6046.
10.22038/ijp.2017.24155.2048.
Morita, H., Nomura, I., Matsuda, A., Saito, H., & Matsumoto, K. 2013.
Gastrointestinal food allergy in infants. Allergology International, 62(3),
297-307.
62
Ongom, P.A., Kijjambu, S.C. Adult intussusception: a continuously unveiling
clinical complex illustrating both acute (emergency) and chronic disease
management. OA Emergency Medicine. 2013 Aug 01; 1 (1): 3.
Riera A, Hsiao AL, Langhan ML, Goodman TR, Chen L. 2012. Diagnosis of
intussusception by physician novice sonographers in the emergency
department. Ann Emerg Med. 2012;60(3):264-8. PMID: 22424652
Tam PKH, Chung PHY, St Peter SD, et al: Kemajuan dalam gastroenterologi
pediatrik. Lancet 390: 1072–1082, 2017
Wyllie, R., Hyams, J.S., Kay, M. 2016. Pediatric Gastrointestinal and Liver
Disease, 5 Ed. Philadelphia: Elsevier.
th
63