Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

TATA LAKSANA DIARE BERDARAH PADA ANAK

Oleh:
Seto Wahyu P 180070200011182
Rossa Arianda V 180070200011190
Kusuma Ghaisani S 180070200011199
Yusuf Mannagali 180070200011216

Pembimbing :
dr. Satrio Wibowo, Sp. A (K), M.Si, Med

LABORATORIUM/ SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR MALANG
2019
Daftar Isi
Daftar Isi............................................................................................................... 2

Daftar Gambar......................................................................................................4

Daftar Tabel..........................................................................................................5

BAB I.................................................................................................................... 6

1.1 Latar Belakang...........................................................................................6

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................7

1.3 Tujuan........................................................................................................7

1.4 Manfaat......................................................................................................7

BAB II................................................................................................................... 8

2.1 Definisi.......................................................................................................8

2.2 Epidemiologi..............................................................................................8

2.3 Etiologi.....................................................................................................10

2.4 Patofisiologi..............................................................................................11

2.4.1 Disentri basiler......................................................................................11

2.4.2 Disentri Amoeba...................................................................................12

2.5 Klasifikasi.................................................................................................13

2.6 Manifestasi Klinis.....................................................................................14

2.6.1 Disentri Basiler.....................................................................................14

2.6.2 Disentri Amoeba...................................................................................14

3 Pemeriksaan Penunjang..............................................................................16

2.7.1 Disentri amoeba...................................................................................16


2.7.2 Disentri basiler......................................................................................17

2.8 Diagnosis.................................................................................................18

2.9 Diagnosis Banding...................................................................................19

2.10 Talaksana................................................................................................20

2.10.1 Rehidrasi..............................................................................................20

2.10.2 Zinc.......................................................................................................22

2.10.3 Nutrisi...................................................................................................22

2.10.4 Antibiotik...............................................................................................23

2.10.4.1 Disentri Amoeba...............................................................................23

2.10.4.2 Disentri Basiler..................................................................................24

2.11 Komplikasi................................................................................................26

2.12 Prognosis.................................................................................................27

2.13 KIE dan Pencegahan..................................................................................27


Daftar Gambar

Gambar 1 Klasifikasi Disentri..............................................................................................................

Daftar Tabel

Tabel 2.1 Tatalaksana Disentri Amoeba...................................................................................19

Tabel 2.2 Tatalaksana Disentri Basiler.....................................................................................20


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diare adalah penyakit yang ditandai dengan buang air besar lebih dari tiga

kali dalam sehari baik cair maupun lembek. Diare merupakan salah satu

penyebab tingginya morbiditas dan mortilitas pada balita di seluruh dunia dengan

3 juta kematian tiap tahunnya (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011). Usia balita

adalah usia yang paling mudah terkena diare karena sistem kekebalan tubuh

pada anak masih rendah sehingga mudah diserang oleh bakteri (Kemenkes RI,

2011). Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Riskesdas tahun 2013

prevalensi diare di Indonesia mencapai angka 7%, dan berdasarkan kelompok

usia prevalensi tertinggi adalah pada usia 1-4 tahun yaitu 12,2%. Juga

didapatkan bahwa penyebab kematian bayi (usia 29 hari-11 bulan) yang

terbanyak adalah diare (31,4%) dan pneumonia (23,8%) (Kemenkes RI, 2011).

Disentri merupakan kumpulan gejala penyakit seperti diare berdarah, lendir

dalam tinja, dan nyeri saat mengeluarkan tinja. Praktisnya, diare berdarah dapat

digunakan sebagai petanda kecurigaan terhadap disentri. Penyebab disentri

adalah infeksi bakteri atau amoeba. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri dikenal

sebagai disentri basiler dan merupakan penyebab tersering disentri pada anak.

Shigella dilaporkan sebagai penyebab tersering disentri basiler pada anak.

Sedangkan infeksi yang disebabkan oleh amoeba dikenal sebagai disentri

amoeba. Selain diare berdarah, anak juga mengalami demam, nyeri perut

terutama menjelang buang air besar, pada pemeriksaan tinja rutin didapatkan

jumlah leukosit dan eritrosit yang meningkat, dan pada pemeriksaan biakan tinja

dapat dijumpai kuman penyebab (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2013).


Disentri merupakan tipe diare yang berbahaya dan seringkali menyebabkan

kematian dibandingkan dengan tipe diare akut yang lain. Penyakit ini dapat

disebabkan oleh bakteri (disentri basiler) dan amoeba (disentri amoeba). Di dunia

sekurangnya 200 juta kasus dan 650.000 kematian terjadi akibat disentri basiler

pada anak-anak di bawah umur 5 tahun. Kebanyakan kuman penyebab disentri

basiler ditemukan di negara berkembang dengan kesehatan lingkungan yang

masih kurang. Disentri amoeba tersebar hampir ke seluruh dunia terutama di

negara yang sedang berkembang yang berada di daerah tropis. Hal ini

dikarenakan faktor kepadatan penduduk, higiene individu, sanitasi lingkungan

dan kondisi sosial ekonomi serta kultural yang menunjang. Penyakit ini biasanya

menyerang anak dengan usia lebih dari 5 tahun (Sya’roni, 2006).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi, etiologi, epidemiologi disentri?

2. Bagaimana patofisiologi disentri basiler dan disentri amoba?

3. Bagaimana diagnosis dan tatalaksana disentri pada anak ?

1.3 Tujuan

Untuk dapat mengetahui definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi dan

gejala klinis sehingga dapat menegakkan diagnosis disentri serta

penatalaksanaannya secara tepat.

1.4 Manfaat

Menjadi landasan pembelajaran tentang diagnosis dan tatalaksana disentri

pada anak bagi tenaga kesehatan khususnya dokter muda di RSUD Dr. Saiful

Anwar, Malang
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (gangguan) dan enteron

(usus), yang berarti radang usus yang menimbulkan gejala meluas dengan gejala

buang air besar dengan tinja berdarah, diare encer dengan volume sedikit,

buang air besar dengan tinja bercampur lender (mucus) dan nyeri saat buang air

besar (tenesmus). Disentri merupakan peradangan pada usus besar yang

ditandai dengan sakit perut dan buang air besar yang encer secara terus

menerus (diare) yang bercampur lendir dan darah (Depkes RI, 1999).

Disentri merupakan suatu infeksi yang menimbulkan luka yang menyebabkan

tukak terbatas di colon yang ditandai dengan gejala khas yang disebut sebagai

sindroma disentri, yakni: 1) sakit di perut yang sering disertai dengan tenesmus,

2) berak-berak, dan 3) tinja mengandung darah dan lender (Sya’roni, 2006).

2.2 Epidemiologi

Disentri adalah penyebab penting kesakitan dan kematian yang berkaitan

dengan diare. Sekitar 10% episode diare pada balita adalah disentri, tetapi

merupakan penyebab sekitar 15% kematian karena diare. Disentri pada bayi dan

anak yang kurang gizi biasanya berat, memperlihatkan dehidrasi pada waktu

sakit atau pada anak jarang tidak mendapat ASI. Juga mempunyai efek yang

lebih jelek terhadap status gizi daripada diare cair akut. Disentri terjadi dengan

frekuensi lebih sering dan berat pada anak yang sakit campak atau menderita

campak bulan sebelumnya. Episode diare yang dimulai dengan disentri lebih

sering menjadi persisten daripada mulai dengan diare cair (Depkes RI, 1999).
Shigellosis adalah endemik di seluruh dunia di mana dia bertanggung jawab

untuk sekitar 120 juta kasus disentri yang parah dengan darah dan lendir dalam

tinja, mayoritas terjadi di negara berkembang dan melibatkan anak-anak kurang

dari lima tahun. Sekitar 1,1 juta orang diperkirakan meninggal akibat infeksi

Shigella setiap tahun, dengan 60% dari kematian yang terjadi pada anak di

bawah usia 5 tahun (WHO, 2009). Dengan tidak adanya vaksin yang efektif yang

tersedia, peningkatan frekuensi antimikroba-tahan strain Shigella di seluruh dunia

telah menjadi sumber utama keprihatinan. Selama survei dari 600.000 orang dari

segala usia di Bangladesh, Cina, Pakistan, Indonesia, Vietnam dan Thailand,

Shigellas terisolasi di 5% dari episode diare 60 000 terdeteksi antara 2000 dan

2004 dan sebagian besar isolat bakteri resisten terhadap amoksisilin dan

kotrimoksazol3. Temuan serupa dibuat di Jakarta Utara, Indonesia, dimana

sebuah penelitian surveilans yang dilakukan antara Agustus 2001 dan Juli 2003

menemukan bahwa anak usia 1 sampai 2 tahun memiliki insiden tinggi

Shigellosis (32/1000/year) dengan 73% sampai 95% dari isolat resisten terhadap

ampisilin, trimetoprim-sulfametoksazol, kloramfenikol dan tetrasiklin (WHO,

2009).

Di Indonesia, amoebiasis kolon banyak dijumpai dalam keadaan endemi.

Prevalensi Entamoeba histolytica di berbagai daerah di Indonesia berkisar antara

10 – 18 %.Amoebiasis juga tersebar luas diberbagai negara diseluruh dunia.

Pada berbagai survei menunjukkan frekuensi diantara 0,2 – 50 % dan

berhubungan dengan sanitasi lingkungan sehingga penyakit ini akan banyak

dijumpai pada daerah tropik dan subtropik yang sanitasinya jelek.

Infeksi amoeba (amubiasis) menempati urutan ke 3 penyebab kematian

karena infeksi parasit di dunia setelah malaria dan schistosomiasis.Amubiasis

terjadi pada sekitar 12% penduduk dunia atau 50% penduduk di daerah tropis

dan subtropis. Diperkirakan angka kematian 40.000-100.000 terjadi pada 40-50


juta pasien amubiasis tiap tahun. Kejadian itu seperti fenomena gunung es

karena hanya I0-20% pasien amubiasis memberikan gejala klinis. Insidens

amubiasis tinggi di negara berkembang antara lain Meksiko, Afrika Selatan dan

Barat, Amerika Selatan dan Tengah, Bangladesh, Thailand,India serta Vietnam

(Rozaliyani, 2011).

2.3 Etiologi

Disentri didefinisikan sebagai diare yang disertai darah dalam tinja. Penyebab

yang terpenting dan tersering adalah Shigella, khususnya S. flexneri dan S.

dysenteriae tipe 1. Penyebab lain seperti Campylobacter jejuni terutama pada

bayi dan lebih jarang adalah Salmonella; disentri yang disebabkan oleh

Salmonella ini biasanya tidak berat. Escherichia coli enteroinvasif relative lebih

mirip dengan Shigella dan menyebabkan disentri berat. Namun begitu infeksi

dengan kuman ini jarang terjadi. Entamoeba histolytica menyebabkan disentri

pada anak yang lebih besar, tetapi jarang pada balita.

Disentri basiler, disebabkan oleh Shigella,sp. Shigella adalah basil non motil,

gram negatif, famili enterobacteriaceae. Ada 4 spesies Shigella, yaitu

S.dysentriae, S.flexneri, S.bondii dan S.sonnei. Terdapat 43 serotipe O dari

shigella. S.sonnei adalah satu-satunya yang mempunyai serotipe tunggal.

Karena kekebalan tubuh yang didapat bersifat serotipe spesifik, maka seseorang

dapat terinfeksi beberapa kali oleh tipe yang berbeda. Genus ini memiliki

kemampuan menginvasi sel epitel intestinal dan menyebabkan infeksi dalam

jumlah 102-103 organisme. Penyakit ini kadang-kadang bersifat ringan dan

kadang-kadang berat. Suatu keadaan lingkungan yang jelek akan menyebabkan

mudahnya penularan penyakit. Secara klinis mempunyai tanda-tanda berupa

diare, adanya lendir dan darah dalam tinja, perut terasa sakit dan tenesmus.
Amoeba (Disentri amoeba), disebabkan Entamoeba hystolitica. E.histolytica

merupakan protozoa usus, sering hidup sebagai mikroorganisme komensal

(apatogen) di usus besar manusia. Apabila kondisi mengijinkan dapat berubah

menjadi patogen dengan cara membentuk koloni di dinding usus dan menembus

dinding usus sehingga menimbulkan ulserasi.

Siklus hidup amoeba ada 2 bentuk, yaitu bentuk trofozoit yang dapat

bergerak dan bentuk kista. Bentuk trofozoit ada 2 macam, yaitu trofozoit

komensal (berukuran < 10 mm) dan trofozoit patogen (berukuran > 10 mm).

Trofozoit komensal dapat dijumpai di lumen usus tanpa menyebabkan gejala

penyakit. Bila pasien mengalami diare, maka trofozoit akan keluar bersama tinja.

Sementara trofozoit patogen yang dapat dijumpai di lumen dan dinding usus

(intraintestinal) maupun luar usus (ekstraintestinal) dapat mengakibatkan gejala

disentri. Diameternya lebih besar dari trofozoit komensal (dapat sampai 50 mm)

dan mengandung beberapa eritrosit di dalamnya. Hal ini dikarenakan trofozoit

patogen sering menelan eritrosit (haematophagous trophozoite). Bentuk trofozoit

ini bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala penyakit namun cepat mati

apabila berada di luar tubuh manusia. Bentuk kista juga ada 2 macam, yaitu kista

muda dan kista dewasa.

Bentuk kista hanya dijumpai di lumen usus. Bentuk kista bertanggung jawab

terhadap terjadinya penularan penyakit dan dapat hidup lama di luar tubuh

manusia serta tahan terhadap asam lambung dan kadar klor standard di dalam

sistem air minum. Diduga kekeringan akibat penyerapan air di sepanjang usus

besar menyebabkan trofozoit berubah menjadi kista (Sya’roni, 2006).


2.4 Patofisiologi

2.4.1 Disentri basiler

Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu keadaan

yang ditandai dengan diare, dengan konsistensi tinja biasanya lunak, disertai

eksudat inflamasi yang mengandung leukosit polymorfonuclear (PMN) dan

darah. Kuman Shigella secara genetik bertahan terhadap pH yang rendah, maka

dapat melewati barrier asam lambung. Ditularkan secara oral melalui air,

makanan, dan lalat yang tercemar oleh ekskreta pasien. Setelah melewati

lambung dan usus halus, kuman ini menginvasi sel epitel mukosa kolon dan

berkembang biak didalamnya.

Kolon merupakan tempat utama yang diserang Shigella namun ileum

terminalis dapat juga terserang. Kelainan yang terberat biasanya di daerah

sigmoid, sedang pada ilium hanya hiperemik saja. Pada keadaan akut dan fatal

ditemukan mukosa usus hiperemik, lebam dan tebal, nekrosis superfisial, tapi

biasanya tanpa ulkus. Pada keadaan subakut terbentuk ulkus pada daerah folikel

limfoid, dan pada selaput lendir lipatan transversum didapatkan ulkus yang

dangkal dan kecil, tepi ulkus menebal dan infiltrat tetapi tidak berbentuk ulkus

bergaung.

S.dysentriae, S.flexeneri, dan S.sonei menghasilkan eksotoksin antara

lain ShET1, ShET2, dan toksin Shiga, yang mempunyai sifat enterotoksik,

sitotoksik, dan neurotoksik. Enterotoksin tersebut merupakan salah satu faktor

virulen sehingga kuman lebih mampu menginvasi sel eptitel mukosa kolon dan

menyebabkan kelainan pada selaput lendir yang mempunyai warna hijau yang

khas. Pada infeksi yang menahun akan terbentuk selaput yang tebalnya sampai

1,5 cm sehingga dinding usus menjadi kaku, tidak rata dan lumen usus mengecil.

Dapat terjadi perlekatan dengan peritoneum.


2.4.2 Disentri Amoeba

Trofozoit yang mula-mula hidup sebagai komensal di lumen usus besar

dapat berubah menjadi patogen sehingga dapat menembus mukosa usus dan

menimbulkan ulkus. Akan tetapi faktor yang menyebabkan perubahan ini sampai

saat ini belum diketahui secara pasti. Diduga baik faktor kerentanan tubuh

pasien, sifat keganasan (virulensi) amoeba, maupun lingkungannya mempunyai

peran. Amoeba yang ganas dapat memproduksi enzim fosfoglukomutase dan

lisozim yang dapat mengakibatkan kerusakan dan nekrosis jaringan dinding

usus. Bentuk ulkus amoeba sangat khas yaitu di lapisan mukosa berbentuk kecil,

tetapi di lapisan submukosa dan muskularis melebar (menggaung). Akibatnya

terjadi ulkus di permukaan mukosa usus menonjol dan hanya terjadi reaksi

radang yang minimal. Mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak normal. Ulkus

dapat terjadi di semua bagian usus besar, tetapi berdasarkan frekuensi dan urut-

urutan tempatnya adalah sekum, kolon asenden, rektum, sigmoid, apendiks dan

ileum terminalis (Sya’roni, 2006).


2.5 Klasifikasi

Gambar Klasifikasi Diare

2.6 Manifestasi Klinis

2.6.1 Disentri Basiler

Masa inkubasi berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Lama gejala rerata 7 hari

sampai 4 minggu. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri perut bawah,

diare disertai demam yang mencapai 40°C. Selanjutnya diare berkurang tetapi
tinja masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan menurun

(Davis, 2007).

Bentuk klinis dapat bermacam-macam dari yang ringan, sedang sampai yang

berat. Sakit perut terutama di bagian sebelah kiri, terasa melilit diikuti

pengeluaran tinja sehingga mengakibatkan perut menjadi cekung. Bentuk yang

berat (fulminating cases) biasanya disebabkan oleh S. dysentriae. Gejalanya

timbul mendadak dan berat, onsetnya cepat, berak seperti air dengan lendir dan

darah, muntah-muntah, suhu badan subnormal, cepat terjadi dehidrasi, dapat

terjadi sepsis dan dapat meninggal bila tidak cepat ditolong. Akibatnya timbul

rasa haus, kulit kering dan dingin, turgor kulit berkurang karena dehidrasi. Muka

menjadi berwarna kebiruan, ekstremitas dingin dan viskositas darah meningkat

(hemokonsentrasi). Kadang-kadang gejalanya tidak khas, dapat berupa seperti

gejala kolera atau keracunan makanan.

Pada kasus yang sedang keluhan dan gejalanya bervariasi, tinja biasanya

lebih berbentuk, mungkin dapat mengandung sedikit darah/lendir.

Sedangkan pada kasus yang ringan, keluhan/gejala tersebut di atas lebih ringan.

Berbeda dengan kasus yang menahun, terdapat serangan seperti kasus

akut secara menahun. Kejadian ini jarang sekali bila mendapat pengobatan

yang baik (Sya’roni, 2006)

2.6.2 Disentri Amoeba

Carrier (Cyst Passer)

Pasien ini tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Hal ini disebabkan

karena amoeba yang berada dalam lumen usus besar tidak menginvasi ke

dinding usus.

Disentri amoeba ringan

Timbulnya penyakit (onset penyakit) perlahan-lahan. Penderita biasanya

mengeluh perut kembung, kadang nyeri perut ringan yang bersifat kejang. Dapat
timbul diare ringan, 4-5 kali sehari, dengan tinja berbau busuk. Kadang juga tinja

bercampur darah dan lendir. Terdapat sedikit nyeri tekan di daerah

sigmoid, jarang nyeri di daerah epigastrium. Keadaan tersebut bergantung

pada lokasi ulkusnya. Keadaan umum pasien biasanya baik, tanpa atau sedikit

demam ringan (subfebris). Kadang dijumpai hepatomegali yang tidak atau sedikit

nyeri tekan.

Disentri amoeba sedang

Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berta dibanding disentri ringan, tetapi

pasien masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari. Tinja biasanya disertai

lendir dan darah. Pasien mengeluh perut kram, demam dan lemah badan disertai

hepatomegali yang nyeri ringan.

Disentri amoeba berat

Keluhan dan gejala klinis lebih berta lagi. Penderita mengalami diare disertai

darah yang banyak, lebih dari 15 kali sehari. Demam tinggi (40°C-40,5°C)

disertai mual dan anemia.

Disentri amoeba kronik

Gejalanya menyerupai disentri amoeba ringan, serangan-serangan diare

diselingi dengan periode normal atau tanpa gejala. Keadaan ini dapat berjalan

berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Pasien biasanya menunjukkan gejala

neurastenia. Serangan diare yang terjadi biasanya dikarenakan kelelahan,

demam atau makanan yang sulit dicerna (Davis, 2007)

2.7 Pemeriksaan Penunjang

2.7.1 Disentri amoeba

1. Pemeriksaan tinja

Pemeriksaan tinja ini merupakan pemeriksaan laboratorium yang sangat

penting. Biasanya tinja berbau busuk, bercampur darah dan lendir. Untuk
pemeriksaan mikroskopik diperlukan tinja yang segar. Kadang diperlukan

pemeriksaan berulang-ulang, minimal 3 kali seminggu dan sebaiknya dilakukan

sebelum pasien mendapat pengobatan.

Pada pemeriksaan tinja yang berbentuk (pasien tidak diare), perlu dicari

bentuk kista karena bentuk trofozoit tidak akan dapat ditemukan. Dengan

sediaan langsung tampak kista berbentuk bulat dan berkilau seperti mutiara. Di

dalamnya terdapat badan-badan kromatoid yang berbentuk batang dengan

ujung tumpul, sedangkan inti tidak tampak. Untuk dapat melihat intinya, dapat

digunakan larutan lugol. Akan tetapi dengan larutan lugol ini badan-badan

kromatoid tidak tampak. Bila jumlah kista sedikit, dapat dilakukan pemeriksaan

menggunakan metode konsentrasi dengan larutan seng sulfat dan eterformalin.

Dengan larutan seng sulfat kista akan terapung di permukaan sedangkan

dengan larutan eterformalin kista akan mengendap.

Dalam tinja pasien juga dapat ditemukan trofozoit. Untuk itu diperlukan tinja

yang masih segar dan sebaiknya diambil bahan dari bagian tinja yang

mengandung darah dan lendir. Pada sediaan langsung dapat dilihat trofozoit

yang masih bergerak aktif seperti keong dengan menggunakan pseudopodinya

yang seperti kaca. Jika tinja berdarah, akan tampak amoeba dengan

eritrosit di dalamnya. Bentik inti akan nampak jelas bila dibuat sediaan dengan

larutan eosin (Sya’roni, 2006).

2. Pemeriksaan sigmoidoskopi dan kolonoskopi

Pemeriksaan ini berguna untuk membantu diagnosis penderita dengan

gejala disentri, terutama apabila pada pemeriksaan tinja tidak ditemukan

amoeba. Akan tetapi pemeriksaan ini tidak berguna untuk carrier. Pada

pemeriksaan ini akan didapatkan ulkus yang khas dengan tepi menonjol,

tertutup eksudat kekuningan, mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak normal

(Sya’roni, 2006).
3. Foto rontgen kolon

Pemeriksaan rontgen kolon tidak banyak membantu karena seringkali

ulkus tidak tampak. Kadang pada kasus amoebiasis kronis, foto rontgen kolon

dengan barium enema tampak ulkus disertai spasme otot. Pada ameboma

nampak filling defect yang mirip karsinoma (Sya’roni, 2006).

4. Pemeriksaan uji serologi

Uji serologi banyak digunakan sebagai uji bantu diagnosis abses hati amebik

dan epidemiologis. Uji serologis positif bila amoeba menembus jaringan

(invasif). Oleh karena itu uji ini akan positif pada pasien abses hati dan disentri

amoeba dan negatif pada carrier. Hasil uji serologis positif belum tentu

menderita amebiasis aktif, tetapi bila negatif pasti bukan amebiasis (Sya’roni,

2006)

2.7.2 Disentri basiler

1. Pemeriksaan tinja.

Pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman penyebab serta biakan

hapusan (rectal swab). Untuk menemukan carrier diperlukan pemeriksaan biakan

tinja yang seksama dan teliti karena basil shigela mudah mati . Untuk itu

diperlukan tinja yang baru.

Polymerase Chain Reaction (PCR). Pemeriksaan ini spesifik dan sensitif,

tetapi belum dipakai secara luas.

2. Enzim immunoassay.

Hal ini dapat mendeteksi toksin di tinja pada sebagian besar penderita yang

terinfeksi S.dysentriae tipe 1 atau toksin yang dihasilkan E.coli.

3. Sigmoidoskopi.
Sebelum pemeriksaan sitologi ini, dilakukan pengerokan daerah sigmoid.

Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada stadium lanjut.

4. Aglutinasi.

Hal ini terjadi karena aglutinin terbentuk pada hari kedua, maksimum pada

hari keenam. Pada S.dysentriae aglutinasi dinyatakan positif pada pengenceran

1/50 dan pada S.flexneri aglutinasi antibodi sangat kompleks, dan oleh karena

adanya banyak strain maka jarang dipakai.

Gambaran endoskopi memperlihatkan mukosa hemoragik yang terlepas dan

ulserasi. Kadang-kadang tertutup dengan eksudat. Sebagian besar lesi berada di

bagian distal kolon dan secara progresif berkurang di segmen proksimal usus

besar (Sya’roni, 2006).

2.8 Diagnosis

Disentri basiler

Perlu dicurigai adanya Shigellosis pada pasien yang datang dengan

keluhan nyeri abdomen bawah, dan diare. Pemeriksaan mikroskopik tinja

menunjukkan adanya eritrosit dan leukosit PMN. Untuk memastikan diagnosis

dilakukan kultur dari bahan tinja segar atau hapus rektal. Pada fase akut infeksi

Shigella, tes serologi tidak bermanfaat.

Pada disentri subakut gejala klinisnya serupa dengan kolitis ulserosa.

Perbedaan utama adalah kultur Shigella yang positif dan perbaikan klinis

yang bermakna setelah pengobatan dengan antibiotik yang adekuat (Davis,

2007).

Disentri amoeba

Pemeriksaan tinja sangat penting di mana tinja penderita amebiasis tidak

banyak mengandung leukosit tetapi banyak mengandung bakteri. Diagnosis pasti

baru dapat ditegakkan bila ditemukan amoeba (trofozoit). Akan tetapi


ditemukannya amoeba bukan berarti meyingkirkan kemungkinan penyakit lain

karena amebiasis dapat terjadi bersamaan dengan penyakit lain. Oleh karena itu,

apabila penderita amebiasis yang telah menjalani pengobatan spesifik masih

tetap mengeluh nyeri perut, perlu dilakukan pemeriksaan lain, misalnya

endoskopi, foto kolon dengan barium enema atau biakan tinja.

Abses hati amoeba sulit dibedakan dengan abses piogenik dan

neoplasma. Pemeriksaan ultrasonografi dapat membedakannya dengan

neoplasma, sedang ditemukannya echinococcus dapat membedakannya dengan

abses piogenik. Salah satu caranya yaitu dengan dilakukannya pungsi abses

(Sya’roni, 2006).

2.9 Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk diare darah adalah :

Disentri amoeba: Timbulnya penyakit biasanya perlahan-lahan, diare awal tidak

ada/jarang. Toksemia ringan dapat terjadi, tenesmus jarang dan sakit berbatas.

Tinja biasanya besar, terus menerus, asam, berdarah, bila berbentuk biasanya

tercampur lendir. Lokasi tersering daerah sekum dan kolon asendens, jarang

mengenai ileum. Ulkus yang ditimbulkan khas seperti botol.

Disentri basiler: Penyakit ini biasanya timbul secara akut, sering disertai adanya

toksemia, tenesmus akan tetapi sakit biasanya sifatnya umum. Tinja biasanya

kecil-kecil, banyak, tak berbau, alkalis, berlendir, nanah dan berdarah, bila tinja

berbentuk dilapisi lendir. Daerah yang terserang biasanya sigmoid dan dapat

juga menyerang ileum. Biasanya daerah yang terserang akan mengalami

hiperemia superfisial ulseratif dan selaput lendir akan menebal.

Eschericiae coli

Escherichia coli Enteroinvasive (EIEC): Patogenesisnya seperti Shigelosis yaitu

melekat dan menginvasi epitel usus sehingga menyebabkan kematian sel


dan respon radang cepat (secara klinis dikenal sebagai kolitis). Serogroup ini

menyebabkan lesi seperti disentri basiller, ulserasi atau perdarahan dan

infiltrasi leukosit polimorfonuklear dengan khas edem mukosa dan submukosa.

Manifestasi klinis berupa demam, toksisitas sistemik, nyeri kejang abdomen,

tenesmus, dan diare cair atau darah.

Escherichia coli Enterohemoragik (EHEC)

Manifestasi klinis dari EHEC dapat menyebabkan penyakit diare sendiri atau

dengan nyeri abdomen. Diare pada mulanya cair tapi beberapa hari menjadi

berdarah (kolitis hemoragik). Meskipun gambarannya sama dengan Shigelosis

yang membedakan adalah terjadinya demam yang merupakan manifestasi yang

tidak lazim. Beberapa infeksi disertai dengan sindrom hemolitik uremik.

Alergi Susu Sapi

Intoleransi Laktosa Berat

Infeksi Rotavirus

Invaginasi

Inflammatory Bowel Disease (IBD)

2.10 Talaksana

Pada seluruh anak dengan diare berdarah harus dilakukan assessmen dan

terapi sesuai dengan tatalaksana diare akut, yaitu rehidrasi, pemberian zinc,

serta pemberian nutrisi yang cukup. Namun, sebagai tambahan, seluruh bayi dan

anak-anak dengan diare berdarah harus diberikan terapi antibiotik yang efektif

terhadap shigella karena diare berdarah pada kelompok usia ini lebih sering

disebabkan oleh shigella dibandingkan dengan organisme patogen lainnya.

Selain itu, apabila tidak ditangani dengan cepat, diare berdarah yang disebabkan

oleh shigella dapat menyebabkan komplikasi berat.


2.10.1 Rehidrasi

Anak dengan disentri bisa mengalami dehidrasi, terlebih bila tidak

diimbangi dengan asupan cairan yang cukup. Dehidrasi terjadi karena banyaknya

cairan yang keluar melalui diare. Anak dengan disentri sebaiknya diberi minum

yang cukup, terutama bila mereka mengalami demam. Infus diberikan bila anak

mengalami dehidrasi berat atau sulit mendapat asupan makan karena hilang

nafsu makan. Selama anak masih mau minum dan makan dalam jumlah cukup,

infus tidak perlu diberikan.

Pasien dengan diare akut dengan dehidrasi ringan sedang juga diterapi

dengan prinsip yang sama, namun terdapat target pemberian cairan dalam 4 jam

pertama. Pemberian cairan adalah 75ml/kgBB dalam 4 jam. Namun pemberian

cairan sesungguhnya diberikan sesuai kebutuhan cairan masing masing anak,

Apabila anak menginginkan cairan lebih dari target pemberian cairan tanpa

adanya tanda tanda kelebihan cairan seperti edema pada mata, maka pemberian

cairan harus dilanjutkan. Diusahakan pemberian cairan peroral, namun apabila

gagal maka pemberian cairan pada anak dapat dilanjutkan dengan pemasangan

NGT dan secara intravena dengan menggunakan ringer laktat dengan jumlah

kebutuhan tetap 75ml/kgBB dalam 4 jam (WHO, 2009).

Pada anak diare dengan dehidrasi berat, pemberian cairan dilakukan

melalui intravena. Jumlah cairan yang diberikan sebanyak 100 ml/KgBB dapat

berupa cairan ringer laktat ataupun cairan normal saline. Pada anak usia

dibawah 12 bulan, pemberian cairan dilakukan dengan cara pemberian 30

mg/KgBB selama 1 jam pertama terlebih dahulu kemudian dilakukan pemberian

cairan sebanyak 70 ml/kgBB selama 5 jam. Pada anak usia diatas 12 bulan,

pemberian cairan dilakukan dengan cara memberikan 30 mg/KgBB cairan

selama 30 menit pertama kemudian dilakukan pemberian cairan sebanyak 70


ml/kgBB selama 2,5 jam setelahnya. Selain pemberian cairan intravena,

pemberian oralit secara peroral harus diberikan apabila anak telah dapat

meminum cairan secara peroral. Oralit diberikan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.

Monitoring status dehidrasi penting dilakukan setiap 15 – 30 menit dan setelah 3

jam apabila anak menunjukan perbaikan. Apabila dehidrasi berat telah teratasi,

maka dilanjutkan dengan tatalaksana dehidrasi ringan-sedang. (Juffrie dkk.,

2009; WHO, 2009)

2.10.2 Zinc

Suplemen zinc dapat menurunkan keparahan dan durasi infeksi akut

serta menurunkan insiden diare tiga bulan setelah terjadinya infeksi. Dosis yang

diberikan, yaitu 20 mg satu kali sehari untuk usia 0 – 6 bulan atau 10 mg satu kali

sehari untuk usia diatas 6 bulan, diberikan selama 10 – 14 hari. Selain itu, dapat

juga diberikan suplementasi vitamin A. Pemberian suplementasi vitamin A saat

infeksi akut tidak menurunkan keparahan ataupun durasi, namun vitamin A

mungkin dapat diberikan pada anak malnutrisi yang tidak mendapat vitamin A

dalam enam bulan terakhir (Bennish, 2013).

2.10.3 Nutrisi

Memang, memberi makan cukup sulit karena hilangnya nafsu makan.

Makanan yang diberikan hendaknya dalam porsi sedikit namun sering. Upayakan

anak agar mau makan. Pilih makanan kaya energi dan zat gizi yang disukai

anak. Berikan pula satu kali makanan tambahan setiap hari dengan menu yang

sama setidaknya selama 1 minggu setelah diare berhenti. Pemberian ASI sangat

dianjurkan pada bayi yang mengalami disentri.

Secara umum terdapat juga sedikit perubahan hidup pada pengelolaan

makanan dan minuman sebelum di konsumsi oleh penderita diare, dan berikut

hal-hal yang perlu diperhatikan :


1. Hindari makanan dan minuman yang tidak bersih

2. Cuci tangan pakai sabun dan air bersih sebelum makan dan sesudah buang air

besar

3. Rebus air minum terlebih dahulu

4. Gunakan air bersih untuk memasak

5. Buang air besar di jamban

2.10.4 Antibiotik

2.10.4.1 Disentri Amoeba

Infeksi asimtomatik dapat di terapi dengan intestinal luminal agent dengan

dasar mencegah terjadinya progresifitas penyakit menjadi aktif. Contoh obat

yang efektif infeksi lumen yaitu, paromomycin, iodoquinol, dan diloxanide furoate.

Amebiasis invasif dapat diterapi dengan metronidazole atau tinidazole disertai

dengan luminal agent. Pada >50% kasus, Metronidazole tidak dapat

menyembukan pasien dengan amebiasis invasif apabila diberikan dalam jangka

waktu kurang dari 10 hari. Pemberian jangka pendek berkaitan dengan terjadinya

relaps infeksi beberapa bulan setelah pengobatan (Nelson, 2018).

Pemberian metronidazole diberikan apabila ditemukan tropozoit E.

histolytica pada pemeriksaan feses di laboratorium yang memadai, atau ketika

dua antibiotic yang efektif terhadap shigella sudah diberikan namun tidak

memberikan perbaikan klinis.

Tabel 2.1 Tatalaksana Infeksi Disentri Amoeba

Amebiasis asimtomatik
Luminal Agent
Paromomycin PO 25 – 35 mg/kgBB/hari dibagi
menjadi 3 dosis selama 7 hari
Diloxanide furoate PO 20 mg/kgBB/hari dibagi menjadi 3
dosis untuk 10 hari (maksimal 1,5 gram)
Iodoquinol PO 30 – 40 mg/kgBB/hari dibagi
menjadi 3 dosis selama 20 hari
(maksimal 2 gram)
Disentri Amoba
Metronidazole PO 10 mg/kgBB tiga kali sehari selama
Atau 10 hari (maksimal 750 gram)
Tinidazole (≥3 tahun) PO 50 mg/kgBB satu kali sehari selama
5 hari (maksimal 2 gram)

2.10.4.2 Disentri Basiler

Obat antimikroba merupakan terapi definitif untuk Shigellosis dan seluruh

pasien dengan gejala disentri harus menerima terapi antimikroba. Obat yang

efektif untuk pengobatan memiliki kriteria antara lain, efektif secara in vitro

terhadap Shigella, mencapai konsentrasi Kadar Hambat Bakteri Minimum

(KHBM) strain shigella yang menginfeksi, efektif diberikan per oral, tersedia

dalam bentuk sirup (untuk anak), dan dengan harga yang tidak mahal.

Berbagai jenis obat terbukti efektif terhadap shigellosis. Namun sudah

terjadi resistensi secara luas terhadap terapi yang digunakan sebelumnya, yaitu

ampicillin, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan nalidixic acid sehingga sudah

ditinggalkan. Meski dengan konsenterasi serum dan aktivitas in vitro yang baik,

amoxicillin dan cephalosporins tidak efektif digunakan untuk tatalaksana disentri.

Pemilihan antibiotic sebenarnya berdasarkan data resistensi lokal daerah, namun

informasi sering kali sulit didapatkan. Saat ini, antibiotic pilihan yang digunakan

adalah fluoroquinolones dan azithromycin. Pasien dengan infeksi Shigella namun

tanpa gejala sistemik atau disentri tidak memerlukan terapi antibiotic.

Sebagian besar kasus tidak memerlukan rawat inap, namun bayi dengan

usia kurang dari dua bulan, anak-anak dengan sakit berat, yaitu terlihat letargi,

terdapat distensi abdomen, adanya nyeri tekan pada abdomen ataupun kejang,

anak-anak dengan kondisi lain yang memerlukan tatalaksana lebih lanjut perlu di

rawat di rumah sakit (WHO , 2013)


Tabel .2 Tatalaksana Disentri Basiler

Terapi Dosis

Ciprofloxacin PO 15 mg/kgBB dua kali sehari selama 3 hari (dosis


maksimal 500 mg)
Cefixime PO 8 mg/kgBB
Ceftriaxone
Second-line or severely ill IV atau IM 50 – 80 mg/kgBB satu kali sehari selama 3 hari
(dosis maksimal 1,5 gram)

Suspected sepsis IM atau IV 100 mg/kgBB satu kali sehari selama 5 hari

Evaluasi terhadap pengobatan dilakukan setelah 2 hari. Dapat dilihat

tanda-tanda perbaikan, seperti tidak adanya demam, feses dengan jumlah darah

lebih sedikit, dan peningkatan nafsu makan. Apabila tidak ada perbaikan setelah

pengobatan rutin selama 2 hari pertimbangkan adanya kondisi lain, hentikan

antibiotik dan ganti dengan antibiotik second-line atau antibiotik lain yang

diketahui efektif terhadap shigella di daerah tersebut. Apabila setelah kedua

antibiotic diberikan tetap tidak ada perbaikan pertimbangkan kondisi lain atau

kemungkinan adanya amoebiasis (WHO, 2013).

Antibiotik yang tidak dianjurkan untuk terapi antara lain, ampicillin,

chloramphenicol, co-trimoxazole, tetracycline, nalidixic acid, karena telah terjadi

resistensi, serta nitrofurans (nitrofurantoin, furazolidone), Aminoglycoside oral

(gentamicin, kanamycin), cephalosporins generasi 1 dan 2 (cefazolin, cephalotin,

cefaclor, cefoxitin), dan amoxicillin yang memiliki kemampuan penetrasi mukosa

intestinal yang buruk.

2.11 Komplikasi

 Dehidrasi: Dehidrasi merupakan komplikasi dari seluruh bentuk diare akut dan

merupakan komplikasi paling sering pada disentri. Pada anak dengan disentri

harus dilakukan penilaian serta tatalaksana rehidrasi sesuai dengan kondisi

anak.
 Deplesi Potassium: Deplesi Potassium dapat dicegah dengan pemberian cairan

ORS (apabila terdapat indikasi) atau makanan dengan kandungan potassium

tinggi seperti pisang, air kelapa, dan sayuran berwarna hijau.

 Demam tinggi: Apabila anak mengalami demam tinggi (≥39°C) yang

menyebabkan terjadinya distress dapat diberikan paracetamol dan

pertimbangkan infeksi bakteri berat.

 Kejang: Kejang tunggal merupakan komplikasi yang umum terjadi. Apabila

kejang bertambah lama atau berulang, berikan diazepam. Hindari pemberian

diazepam melalui rectum dan selalu cek hipoglikemi.

 Haemolytic Uraemic Syndrome (HUS): Berhubungan dengan produksi toksin

Shiga. Toksin akan diabsorbsi dan menyebabkan kerusakan pada sel endotel di

kapiler glomerulus. Apabila tes laboratorium tidak dapat dilakukan, lihat tanda-

tanda pada pasien, seperti mudah lebam, pallor, kesadaran menurun, dan output

urin rendah ataupun tidak ada output.

 Prolaps Rektum: Prolaps rectum dapat terjadi karena adanya peningkatan

tekanan intra abdomen, sering terjadi pada infant dikarenakan belum otot-otot

yang belum berkembang sempurna. Apabila terjadi prolapse rectum dorong

kembali secara perlahan dengan menggunakan sarung tangan steril. Alternatif

lain, dapat juga dengan melakukan kompres menggunakan solusi saturated

magnesium sulfat hangat, hal ini dapat mengurangi prolaps dengan mengurangi

edema.

 Toxic Megacolon: Toxic Megacolon terjadi karena adanya inflamasi transmural

pada kolon, peningkatan produksi nitric oxide, dan terjadi inhibisi mortilitas otot

pada kolon. Biasanya disertai dengan demam, distensi abdomen, nyeri tekan

dengan adanya penurunan bising usus, takikardi, dan dehidrasi. Untuk


tatalaksana, berikan cairan intravena untuk rehidrasi, pasang NGT, berikan

antibiotik, dan tidak boleh intake oral.

 Perforasi intestinal: Perforasi atau ulcus transmural disebabkan karena terjadinya

inflamasi berat pada dinding kolon. Apabila memungkinkan, dapat dikaukan

perbaikan surgical dan antimikroba broad-spectrum untuk terapi sepsis.

2.12 Prognosis

Secara umum, apabila terapi dilakukan dengan baik dan tidak terlambat,

disentri memiliki prognosis baik. Infeksi intestinal dikarenakan amoba berespon

baik terhadap terapi yang sesuai, meski infeksi dan terapi yang diberikan tidak

memberikan proteksi terhadap terjadinya kolonisaasi serta infeksi invasid di

masa mendatang. Mortalitas berkisar antara 1.9% sampai denan 9.1%, namun

pada kasus dimana terdapat rupture kolon atau necrotizing colitis mortalitas

dapat meningkat hingga 40% hingga 50%.

Pada disentri basiler, nyeri perut dan diare mungkin dapat tetap terjadi

hingga beberapa hari atau minggu setelah dilakukan terapi. Morbiditas dan

mortalitas dikaitkan dengan ada tidaknya komplikasi yang terjadi, baik itu ekstra

gastro intestinal, intra gastrointestinal, maupun sistemik.

2.13 KIE dan Pencegahan

Pencegahan disentri dapat dilakukan dengan cara yang sangat

sederhana, melalui kebersihan diri dan lingkungan. Kebersihan diri dimulai

dengan mencuci tangan atau sebelum menyiapkan makanan. Tak hanya tangan

anak tetapi juga orangtua serta pengasuh. Kuman yang terdapat pada tangan

yang sudah menjamah keberbagai tempat dapat dicegah melalui cuci tangan

dengan sabun. Menurut Adam Felman (2007) ada beberapa langkah yang baik

sebelum mengkonsumsi air agar terhindar dari factor risiko dysentria :


1. Pastikan sumber air minum, adalah sumber air yang terpercaya atau dapat

dipastikan bersih, seperti air botolan

2. Pastikan apa sudah terbuka atau tidak tutup botol atau tempat minum yang ingin

kita minum, dan bersihkan dahulu bagian lubang botol atau tempat minuman

3. Pastikan semua makanan dan air telah matang dengan baik

Anak dengan disentri bisa mengalami dehidrasi, terlebih bila tidak

diimbangi dengan asupan cairan yang cukup. Dehidrasi terjadi karena banyaknya

cairan yang keluar melalui diare. Anak dengan disentri sebaiknya diberi minum

yang cukup, terutama bila mereka mengalami demam. Infus diberikan bila anak

mengalami dehidrasi berat atau sulit mendapat asupan makan karena hilang

nafsu makan. Selama anak masih mau minum dan makan dalam jumlah cukup,

infus tidak perlu diberikan.

Memang, memberi makan cukup sulit karena hilangnya nafsu makan.

Makanan yang diberikan hendaknya dalam porsi sedikit namun sering. Upayakan

anak agar mau makan. Pilih makanan kaya energi dan zat gizi yang disukai

anak. Berikan pula satu kali makanan tambahan setiap hari dengan menu yang

sama setidaknya selama 1 minggu setelah diare berhenti. Pemberian ASI sangat

dianjurkan pada bayi yang mengalami disentri.

Pencegahan Dysentri telah di jelaskan secara umum pada paragraph-

paragraf diatas, namun ada beberapa sumber lain yang memberikan informasi

perihal pencegahan dysentri basiller dan dysentri amoeba secara khusus.

Berikut cara mecegah dysentri basiller menurut Centre for Food Safety

Hongkong Government yang di rilis 18 agustus 2019 :


1. Usahakan membeli makanan bersih yang telah memiliki reputasi sumber

makanan dan minuman yang baik

2. Cuci tangan yang baik dengan sabun dan air sebelum makan atau

menyiapkan makanan, dan setelah menggunakan toilet

3. Masak makanan dengan baik sebelum dikonsumsi

4. Hindarkan kontaminasi silang dengan menyiapkan makanan yang sudah

di masak dan mentah secara terpisah, gunakan alat dapur yang berbeda untuk

mengelola makanan mentah dan makanan matang

5. Simpan makanan di bawah suhu 4 celcius atau pada suhu 60 celcius jika

tidak dikonsumsi satu kali

6. Buang sisa makanan atau simpan pada lemari es dengan benar,

panaskan kembali sisa makana sebelum di konumsi.

7. Batasi siapapun yang sedang terjangkit diare, dari menangani makanan

apapun untuk menghindari kontaminasi

Dan dilanjut kan dengan cara mecegah dysentri amoeba menurut Centre for

Health Protection, department of healt, the government of the Hong Kong Spesial

administrative region yang di rilis 22 Juli 2019 yang membagi mempertahankan

kesehatan pada dua hal, yaitu kebersihan diri dan kebersihan makanan

Mempertahankan kebersihan diri :

1. Melakukan cuci tangan dengan baik secara teratur, terutama saat

sebelum mengelola makanan atau sebelum makan, dan sesudah

menggunakan toilet.

2. Cuci tangan menggunakan sabun cair dan air, dan gosok selama 20

detik. Kemudian bilas dengan air dan keringkan dengan handuk kertas sekali
pakai atau pengering tangan. Jika fasilitas mencuci tangan tidak tersedia, atau

ketika tangan tidak terlihat kotor, kebersihan tangan dengan handrub dapat

membantu 70-80% dengan menggunakan alcohol.

3. Mencoba berhenti sementara dari pekerjaan atau sekolah, dan mencari

nasihat medis ketika menderita gejala gastrointestinal seperti diare.

Mempertahankan kebersihan makanan :

1. Mengadopsi 5 unci keamanan pangan dalam menangani makanan,

yaitu pilih (pilih bahan baku yang aman), bersikan (jaga kebersihan tangan dan

peralatan), pisahkan (pisahkan makanan mentah dan matang), pertahankan

suhu (simpan makanan pada suhu yang aman

2. Minum hanya dari air yang sudah matang atau minum dari air yang

sudah terpercaya sumber airnya, seperti air botol yang terdapat di supermarket

3. Hindari minuman dengan es yang tidak di ketahui dari mana sumber es-

nya

4. Beli makanan segar yang bersih pada tempat dan sumber yang baik

5. Makan hanya makanan yang sudah benar-benar matang

6. Cuci dan bersihkan buah dan hindari makan makanan sayur yang

mentah

7. Exclude infected persons and asymptomatic carriers from handling food

and from providing care to children, elderly and immunocompromised people.

Menghindari seseorang yang terinfeksi diare atau pun terkena penyakit

immunocompromised.
Daftar Pustaka

Bennish, M. L., & Khan, W. A. (2013). Shigellosis. Hunter’s Tropical Medicine and


Emerging Infectious Disease, 454–461. doi:10.1016/b978-1-4160-4390-4.00044-

Centre for Food Safety (2017) Prevention of Bacillary Dysentriae. Available at :

https://www.cfs.gov.hk/english/whatsnew/whatsnew_fsf/whatsnew_fsf_dysentery.html.
{Accessed 06 Jul 2019}

Centre for Health Protection (2019) Amoebic Dysentery. Available at :


http://www.chp.gov.hk/en/healthtopics/content/24/11.html {Accessed 06 Jul
2019}

Ikatan Dokter Anak Indonesia., 2011. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jilid 2 cetakan pertama. Jakarta. Badan Penerbit IDAI.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2013. Disenteri (Online). Diakses dari


http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/disentri pada 10 Oktober
2019

Juffrie, M. and Mulyani, N.S., 2009. Modul pelatihan diare. UKK Gastro-hepatologi IDAI,

22 Edisi pertama. Jakarta.

Kementrian Kesehatan RI. 2011. Situasi Diare di Indonesia. Jakarta

Medscape (2019) Amebiasis Clinical Presentation. Availablet at :


https://emedicine.medscape.com/article/212029-clinical {Accessed 06 Jul 2019}

Nelson, J., & Singh, U. (2018). Entamoeba histolytica (Amebiasis). Principles and
Practice of Pediatric Infectious Diseases, 1310–1316.e2. doi:10.1016/b978-0-
323-40181-4.00263-2 

Rozaliyani,Anna. et.al. 2011. Diagnosis dan Penatalaksanaan Epiema Amoeba ,


indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/download/928/926
,diunduh tanggal 10 Oktober 2019.

Davis K., 2007. Amebiasis. Diakses dari http://www.emedicine.com/


med/topic116.htm.

Sya’roni A., Hoesadha Y., 2006. Disentri Basiler. Buku Ajar Penyakit Dalam.
FKUI:Jakarta.

World Gastroenterology Organisation Global Guidelines: Acute diarrhea in adults and


children: a global perspective, February 2012

WHO. Diarrhoeal Diseases (Updated February 2009),


http://www.who.int/vaccine_research/diseases/diarrhoeal/en/index6.html ,
diakses tanggal 8 Oktober 2019
WHO. 2013. Dysentery. Pocket book of hospital care for children: guidelines for the
management of common childhood illnesses – 2nd ed, 143 – 146.

World Health Organization, 2009. Buku Saku: Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit. WHO Indonesia : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai