OLEH KELOMPOK :
1. ASNIDAR DAMAYANTI
2. PERSADAN KELIAT
3. SERY MEYSARAH
4. MOYNENTI PITTAULI
1
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………….......................................... i
DAFTAR ISI …………………………………........................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................………………... 3
B. Tujuan ........................................... …………………………................. 7
A. Kejadian Diare.............................................………………………... 8
B. Epidomologi Diare.................................................................................. 10
C. Pencegahan Diare.............................................................……………... 8
A. Kesimpulan ………………………………………… 29
B. Saran ……………………………………………………… 30
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………....... 31
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diare merupakan penyakit yang ditandai dengan frekuensi buang air besar
yang lebih dari 4 kali pada bayi dan lebih dari 3 kali pada dewasa, konsistensi
feces encer, dapat berwarna hijau, atau dapat pula bercampur lendir dan darah
atau hanya lendir saja (FK UI,1997). Menurut Suharyono diare adalah defekasi
encer lebih dari 3 kali sehari dengan atau tanpa lendir dan darah dalam tinja
(Suharyono,1999:51). Penyakit diare juga didefinisikan sebagai keadaan dimana
bertambahnya jumlah atau berkurangnya konsistensi feces yang dikeluarkan
(Soepartono Pitono,dkk,1999).
Diare dapat menyerang semua kelompok umur dan berbagai golongan
sosial, baik di negara maju maupun di negara berkembang, dan erat
hubungannya dengan kemiskinan serta lingkungan yang tidak higienis.Banyak
faktor yang menjadi penyebab seseorang mengalami diare, diantaranya yaitu
terinfeksi sejumlah organisme bakteri dan virus. Virus yang sering menyebabkan
diare yaitu rotavirus, sedangkan bakteri pathogen E.coli, Shigella,
Campylobacter, Salmonella dan Vibrio cholera merupakan beberapa contoh
bakteri yang dapat menyebabkan diare pada anak (Sri Suparyati S, 2011: 33-37).
Faktor lain yang dapat menyebabkan seorang anak terinfeksi diare yaitu
malabsorbsi, keracunan dan sebab-sebab lainya.
Pola hidup yang tidak higienis erat kaitannya dengan penyebaran penyakit
diare di masyarakat.Pola hidup yang tidak higienis contohnya penggunaan
sumber air yang sudah tercemar dan tidak memasak air dengan benar. Pencucian
dan pemakaian botol susu yang tidak bersih. Tidak mencuci tangan dengan
bersih dan tidak memakai sabun setelah selesai buang air besar atau
membersihkan feces anak yang terinfeksi sehingga mengontaminasi perabotan
dan alat-alat yang dipegang.Selain pola hidup yang tidak higienis, penularan
diare dapat melalui berbagai media diantaranya makanan dan minuman yang
3
terkontaminasi, baik yang sudah dicemari oleh serangga atau terkontaminasi
oleh tangan yang kotor kemudian masuk ke tubuh penderita.
4
% balita terserang diare (Riskesdas,2013). Jumlah penderita penyakit diare di
Indonesia dapat disajikan dalam Gambar 1.1.
Gambar 1.1. Jumlah Kasus Diare di Indonesia, Tahun 2006 Sampai 2013
diare dapat dikendalikan. Salah satu alat yang dapat digunakan untuk
mempermudah dalam menyelesaikan permasalahan didalam dunia nyata adalah
5
model matematika. Model matematika adalah hasil perumusan yang
menggambarkan masalah dalam dunia nyata yang kemudian dicari solusi. Dari
model matematika tersebut akan terbentuk suatu persamaan diferensial yang
dapat diketahui titik kesetimbangannya dan dianalisis kestabilan di titik
kesetimbangan. Model matematika yang digunakan untuk melihat tingkat
penyebaran suatu penyakit menular disebut dengan model epidemi. Salah satu
model matematika epidemi adalah model epidemi SIS (Susceptibel-Infected-
Susceptibel).
B. Batasan Masalah
6
Berdasarkan latar belakang diatas, pembatasan pada tugas akhir ini yaitu:
1. Analisis penyebaran penyakit diare hanya untuk kasus bebas penyakit yaitu
saat penyakit tidak menyebar dalam populasi.
C. Rumusan Masalah
D. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penulisan tugas akhir ini
adalah :
1. Mendeskripsikan model penyebaran penyakit diare.
E. Manfaat
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Jenis-jenis diare
Diare cair akut memiliki 3 ciri utama, gejalanya dimulai secara tiba-tiba,
tinjanya encer dan cair, pemulihan biasanya terjadi dalam waktu 3-7 hari.
Kadang kala gejalanya bisa berlangsung sampai 14 hari. Lebih dari 37%
orang yang terkena diare mengalami diare cair akut.
8
b. Disentri
Disentri memiliki 2 ciri utama yaitu, adanya darah dalam tinja, mungkin
disertai kram perut, berkurangnya nafsu makan dan penurunan berat badan
yang cepat, sekitar 10- 15% anak-anak dibawah usia 5 tahun (balita)
mengalami disentri.
c. Diare Kronik
Diare yang menetap atau persisten memiliki 3 ciri utama yaitu, pengeluaran
tinja encer disertai darah, gejalanya berlangsung lebih dari 14 hari dan ada
penurunan berat badan.
Derajat dehidrasi akibat diare menurut Widoyono (2008) dibedakan
menjadi 3, yaitu :
1) Tanpa dehidrasi, biasanya anak merasa normal, tidak rewel, masi bisa
bermain seperti biasa. Umumnya karena diarenya tidak berat, anak masi
mau makan dan minum seperti biasa,
2) Dehidrasi ringan atau sedang, menyebabkan anak rewel atau
gelisah. Mata sedikit cekung, turgor masi kembali dengan cepat jika
dicubit.
3) Dehidrasi berat, anak apatis (kesadaran berkabut), mata cekung,
pada cubitan kulit turgor kembali lambat, nafas cepat, anak terlihat
lemah.
Menurut Schowartz (2004) tanda dan gejala diare pada anak antara lain:
a. Gejala umum
1) Berak cair atau lembek dan sering adalah gejala khas diare.
9
b. Gejala spesifik
1) Vibrio Cholera : diare hebat, warna tinja seperti cucian beras dan
berbau amis.
2) Disenterifrom : tinja berlendir dan berdara.
10
5) Infeksi jamur (candidiasis).
Faktor Malabsorbsi
11
antibodi dan zat-zat lain yang terkandung di dalamnya. ASI turut
memberikan perlindungan terhadap diare pada bayi yang baru lahir
pemberian ASI secara penuh mempunyai daya lindung 4x lebih
besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan
susu botol. Pada bayi yang tidak diberikan ASI secara penuh,
pada bulan pertama kehidupan, resiko mendapat diare adalah 30x
lebih besar (Roesli, 2005)
3) Perilaku hidup sehat bersih
dan benar, karena tinja bayi mengandung virus atau bakteri dalam
jumlah besar dan dapat pula menularkan penyakit pada anak-anak
dan orang tuanya. c) Pemberian pemberian imunisasi campak,
diare sering timbul menyertai campak, sehingga pemberian
imunisasi campak juga dapat mencegah diare. d) penimbangan
balita, hal ini dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan dan
perkembangan balita. Apabila ada balita pertanyaan adalah
apakah sudah ditimbang secara teratur ke posyandu minimal 8 kali
setahun. e) menggunakan air bersih yang cukup, masyarakat dapat
mengurangi resiko terhadap serangan diare yaitu dengan
menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari
kontaminasi mulai dari sumbernya sampai penyimpanan dirumah.
12
Faktor lingkungan (environment)
5. Pencegahan diare
B. Status gizi
13
tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Zat
gizi (nutrients) adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk
melakukan fungsinya yaitu menghasilkan energi, membangun dan
memelihara jaringan, serta mengatur proses- proses kehidupan. Status gizi
adalah keadaan seimbang antara asupan (intake) dan kebutuhan
(requirements) zat besi (Soegianto, 2007).
Status gizi balita adalah tingkat kecukupan gizi yang diukur
melalui indeks berat badan menurut umur dan kategorinya ditentukan
dengan menggunakan standar WHO-NCHS yang dibagi berdasarkan Z-
score yaitu gizi lebih (Z-score
≥+2), gizi normal (-2<Z-score<+2), gizi kurang (-3<Z-score<-2), dan gizi
buruk (Z- score≤-3).
14
Tabel 2.1 Status Gizi Berdasarkan Indikator
Antropometri
15
akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala
klinis yang yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat
lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang
spesifik.
4) Penilaian secara Biofisik
3) Faktor ekologi
16
Bengoa mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah
ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, bilogis dan
lingkungan budaya, jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung
dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dll. Pengukuran
faktor ekologi dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab
malnutrisi disuatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan
intervensi gizi (Schrimshaw 1964 dalam supriasa, 2002).
17
Merupakan program untuk menambah nutrisi pada balita, biasanya
diperoleh saat mengikuti posyandu. Adapun pemberian tambahan
makanan tersebut berupa makanan pendamping ASI yang bisa didapat
di puskesmas setempat.
b. Tingkat Pendapatan Keluarga
Pola asuh adalah pola pendidikan yang diberikan orang tua kepada
anak- anaknya. Setiap anak membutuhkan cinta, perhatian, kasih
sayang yang akan berdampak terhadap perkembangan fisik, mental dan
emosional.
1. Pengertian
18
berusia 4-6 bulan sampai bayi berusia 24 bulan, jadi selain makanan
pendamping, ASI harus tetap diberikan kepada bayi paling tidak sampai
berusia 24 bulan. Peranan makanan pendamping ASI sama sekali bukan
untuk menggantikan ASI melainkan untuk melengkapi ASI (Waryana,
2010).
Memasuki usia 4-6 bulan, bayi telah siap menerima makanan
bukan cair, karena gigi telah tumbuh dan lidah tidak lagi menolak
makanan padat serta lambung juga sudah lebih baik mencerna zat tepung.
Jika kemudian bayi disapih pada usia 4 atau 6 bulan, tidak berarti karena
bayi telah siap menerima makanan selain ASI, tetapi juga karena
kebutuhan gizi bayi tidak lagi cukup dipasok hanya oleh ASI. Bayi
merupakan bagian dari keluarga, karena itu sepanjang proses penyapihan,
kepada mereka sebaiknya diberikan makan yang lazim disantap oleh anak
yang lebih besar dan orang dewasa dalam keluarga itu. Sehingga perlu
diingat, bahwa makanan yang diberikan bukan untuk menggantikan,
melainkan mendampingi ASI (Arisman, 2004).
19
memasukan benda ke dalam mulut, hal ini dapat dijadika sebagai indikator
bahwa bayi sudah siap mengkonsumsi makanan padat, selain itu dapat
diacu pada parameter seperti berat badan mencapai 2 kali berat badan
lahir, setelah minum susu formula sebanyak 240 cc dan 4 jam kemudian
bayi merasa lapar atau 964 cc susu formula selama 24 jam namun masi
kurang, dan bayi telah berusia 6 bulan (Arisman, 2004).
20
mengisi kesenjangan nutrient dan energi.
b. Pertumbuhan anak terhenti atau lambat.
Memasuki usia 4-6 bulan bayi telas siap menerima makanan bukan
cair, karena gigi telah tumbuh, lidah tidak lagi menolak makanan
setengah padat, dan lambung juga lebih baik dalam mencerna zat tepung
(Arisman, 2004). Pemberian MP-ASI yang terlalu dini (<4 bulan) maka
asupan gizi yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhannya. Biasanya
bayi yang sudah diberi makanan setengah padat pada umur <4 bulan
akan menyusu lebih sedikit, hal ini disebabkan ukuran perut bayi yang
masih kecil sehingga mudah penuh., sedangkan kebutuhan gizi bayi
terpenuhi, selain itu, sistem pencernaan bayi akan mengalami gangguan
seperti diare, sembelit, dan alergi (Krisnatuti & Yenrina, 2000),
sebaliknya penundaan pemberian makanan dapat menghambat
21
pertumbuhan jika energi dan zat gizi yang dihasilkan oleh ASI tidak
mencukupi lagi kebutuhan bayi (Pudjiadi, 2008).
b. Jenis makanan pendamping ASI
22
diteruskan, dan ASI diberikan terlebih dahulu sebelum MP-ASI.
Bayi mulai diperkenalkan dengan MP-ASI lumat 2 kali sehari.
Sumber zat lemak, yaitu santan atau minyak kelapa/margarin dapat
ditambah sedikit demi sedikit untuk mempertinggi nilai gizi
makanan.
2) Makanan bayi umur 9-12 bulan, pemberian ASI tetap diteruskan. Pada
umur
23
Tabel 2.2 Jadwal pengaturan makanan anak
BAB III
24
PEMBAHASAN TOPIK
Diare adalah suatu kondisi dimana seorang anak buang air besar dengan
konsistensi lembek atau cair, dan frekuensinya lebih dari 3 kali sehari. Menurut
WHO (2009), penyakit diare adalah gejala yang umum, dimana penderita buang air
besar (defekasi) lebih sering dari biasanya, dan konsistensi tinjanya encer, berat
tinjanya lebih dari 200 gram atau berat tinjanya kurang dari 200 gram tapi buang air
besar lebih dari 3 kali sehari dan tinjanya terlendir, berdarah.
Diare merupakan penyakit yang terjadi ketika terdapat perubahan konsistensi
feses dan frekuensi buang air besar. Seseorang mengalami diare bila feses lebih cair
dari biasanya, diare juga berarti bahwa frekuensi buang air besar tiga kali atau lebih
sering dari biasanya dan buang air besar lebih encer/cair dalam waktu 24 jam
(Depkes, 2009).
Berdasarkan data riset kesehatan dasar tahun 2018, insiden diare pada balita
di Indonesia tahun 2018 adalah 6,8% dengan period prevalence 7,0%. Menurut
karakteristik umur, kejadian diare tertinggi di Indonesia terjadi pada balita (7,0%).
Balita dengan insiden diare tertinggi berada pada kelompok umur 12 sampai 23
bulan (9,7%) (Kemenkes RI, 2018).
Menurut hasil Survei Demografi dan Kesehatan di Indonesia (SDKI) tahun
2018, di Pulau Jawa, kasus diare di Provinsi Jawa Timur menduduki urutan kedua
terbanyak setelah Provinsi Jawa Barat. Diare termasuk dalam 10 kejadian yang
sering menyebabkan KLB. Berdasarkan data dari profil kesehatan Indonesia 2018,
Jawa
25
Timur mempunyai 479.355 kasus perkiraan diare pada balita dan sekitar 59,41%
kasus yang ditangani tenaga kesehatan (Dinkes Jawa Timur, 2019). Berdasarkan
profil Dinas Kesehatan Kota Malang tahun 2018, Penemuan kasus diare di Kota
Malang pada tahun 2018 sebanyak 11.233 kasus atau 48,03% dari kasus yang
telah diperkirakan. Hal ini menandakan bahwa prevalensi diare masih tetap
tinggi di Kota Malang meskipun sudah dilakukan berbagai upaya pencegahan
dan penanggulangan diare (Dinkes Kota Malang, 2018). Juffrie dan Mulyani
(2011), Faktor risiko yang dapat meningkatan penularan enteropatogen antara
lain:
1. Orang tua tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4-6 bulan pertama
kehidupan bayi mempengaruhi kadar Secretory IgA (SIgA) pada anak, hal
ini menjadi faktor proteksi mukosa saluran cerna. SIgA meningkat
mempengaruhi sistem pertahan saluran pencernaan terhadap infeksi kuman
pathogen selain dari mucus yang melapisi permukaan sel epitel saluran
pencernaan. Penelitian membuktikan bahwa SIgA dapat meningkat dengan
pemberian ASI sehingga Penyakit saluran cerna dan saluran nafas dapat
dicegah dengan ASI eksklusif, karena berbagai faktor aktif imunologis
khususnya antibodi (Omar Sazaly Aldy, 2009).
2. Penyediaan air bersih yang tidak memadainya, Laporan Riskesdas 2007,
menunjukkan kejadian diare pada anak dari rumah tangga yang
menggunakan sumur terbuka untuk air minum tercatat 34% lebih tinggi
dibandingkan dengan anak-anak dari rumah tangga yang menggunakan air
ledeng. Selain itu, angka diare lebih tinggi sebesar 66% pada anak-anak dari
keluarga yang melakukan buang air besar di sungai atau selokan
dibandingkan mereka pada rumah tangga dengan fasilitas toilet pribadi dan
septik tank (Unicef Indonesia, 2012).
3. Pencegahan pencemaran air oleh tinja, UU No 23 Tahun 1997, menjelaskan
definisi pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makluk
hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan
26
manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya. Dari
definisi tersebut tersirat bahwa pencemaran air dapat terjadi secara sengaja
maupun tidak sengaja dari kegiatan manusia pada suatu perairan yang
peruntukkannya sudah jelas.
4. Mencuci tangan sebelum mengolah, menyentuh, menyajikan, dan
memegang makanan, merupakan langkah mutlak dan penting dalam
mencegah diare. Dengan mencuci tangan, jumlah kuman yang ada di
permukaan tangan diharapkan berkurang secara bermakna. Mencuci tangan
secara ideal adalah mencuci dengan air mengalir, misalnya dari air keran.
Mencuci tangan yang paling ideal adalah mencuci dengan air mengalir dan
menggunakan sabun. Dalam hal ini sabun berfungsi sebagai "desinfektan"
atau pembunuh kuman. Dengan demikian, jumlah kuman yang tersisa di
permukaan tangan dapat diminimalisir, sehingga kemungkinan terjadinya
diare juga menjadi kecil. Mencuci tangan dengan air mengalir dan
menggunakan sabun adalah salah satu langkah sederhana tapi sangat berarti
dalam mencegah terjadinya diare. Penatalaksanaan diare pada anak dapat
dilakukan dengan Lintas Diare:
27
menghambat enzim INOS (Inducible Nitric Oxide Synthase), dimana
ekskresi enzim ini selama diare dan mengakibatkan hipersekresi epitel
usus. Zinc juga berperan meningkat dalam epitelisasi dinding usus yang
mengalami kerusakan morfologi dan fungsi selama kejadian diare.
3. berat badan. Anak yang masih minum ASI harus lebih sering diberi ASI.
Anak yang minum susu formula juga diberikan lebih sering dari biasanya.
Anak usia 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang telah mendapatkan
makanan padat harus diberikan makanan yang mudah dicerna dan
diberikan sedikit lebih sedikit dan lebih sering. Setelah diare berhenti,
pemberian makanan ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk membantu
pemulihan berat badan.
4. Pemberian antibiotika hanya atas indikasi, antibiotika tidak boleh
digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian diare pada balita yang
disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat pada penderita
diare dengan darah (sebagian besar karena shigellosis), suspek kolera.
5. Pemberian nasehat, ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan
balita harus diberi nasehat tentang:
1. Cara memberikan cairan dan obat di rumah
28
BAB IV
3.1. Kesimpulan
1. Diare adalah perubahan frekuensi dan konsistensi tinja.
2. Penyebab diare akut terbesar adalah infeksi virus dari golongan rotavirus.
3. Pengobatan diare berdasarkan derajat dehidrasinya dibedakan menjadi 5
macam, yaitu pengobatan tanpa dehidrasi (dengan terapi A), pengobatan
dehidrasi ringan atau sedang (dengan terapi B), pendobatan dehidrasi berat
(dengan terapi C), teruskan pemberian makan dan pemberian antibiotik
bila perlu.
4. Pencegahan diare dapat dilakukan melalui promosi kesehatan.
5. Prevalensi diare pada anak di Indonesia Tahun 2018 adalah 6,8% dengan
insiden tertinggi pada kelompok usia 12-23 bulan.
6. Pencegahan diare pada anak dapat dilakukan dengan pemberian ASI,
penyediaan air bersih, pencegahan pencemaran air dan pembiasaan cuci
tangan.
7. Penatalaksanaan diare pada anak meliputi pemberian oralit bagi anak
penderita diare, Pemberian zink, Memberikan antibiotik secara selektif dan
tidak memberikan antidiare, Memberikan makan dan melanjutkan ASI
(Air Susu Ibu), Serta memberikan nasehat kepada orang tua tentang kapan
anak harus dibawa ke rumah sakit
3.2. Saran
30
DAFTAR PUSTAKA
Suharyono, 2008, Diare Akut Klinik dan Laboratorik, Rineka Cipta, Jakarta.
WHO, 1995, Penatalaksanaan dan Pencegahan Diare Akut Petunjuk Praktis,
diterjemahkan oleh Petrus Andrianto, EGC, Jakarta
Widjaja, M.C., 2003, Mengatasi diare dan keracunan pada balita, Kawan Pustaka,
Jakarta.
31