Anda di halaman 1dari 31

TUGAS PERTEMUAN 1

KONSEP DASAR PENYAKIT MENULAR

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT DIARE

OLEH KELOMPOK :
1. ASNIDAR DAMAYANTI
2. PERSADAN KELIAT
3. SERY MEYSARAH
4. MOYNENTI PITTAULI

Mata Kuliah : ELEKTIF 2


KEPERAWATAN NON REGULER

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


UNIVERSITAS IMELDA MEDAN
TAHUN 2020/20

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………….......................................... i

DAFTAR ISI …………………………………........................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................………………... 3

A. Latar Belakang.............................................. …………………………... 3

B. Tujuan ........................................... …………………………................. 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................. ……… 8

A. Kejadian Diare.............................................………………………... 8
B. Epidomologi Diare.................................................................................. 10

C. Pencegahan Diare.............................................................……………... 8

BAB III PEMBAHASAN TOPIK  …………………………………… 25

A. Epidemiologi Penyakit Diare................................................................. 25

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………… 29

A. Kesimpulan ………………………………………… 29

B. Saran ……………………………………………………… 30

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………....... 31

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diare merupakan penyakit yang ditandai dengan frekuensi buang air besar
yang lebih dari 4 kali pada bayi dan lebih dari 3 kali pada dewasa, konsistensi
feces encer, dapat berwarna hijau, atau dapat pula bercampur lendir dan darah
atau hanya lendir saja (FK UI,1997). Menurut Suharyono diare adalah defekasi
encer lebih dari 3 kali sehari dengan atau tanpa lendir dan darah dalam tinja
(Suharyono,1999:51). Penyakit diare juga didefinisikan sebagai keadaan dimana
bertambahnya jumlah atau berkurangnya konsistensi feces yang dikeluarkan
(Soepartono Pitono,dkk,1999).
Diare dapat menyerang semua kelompok umur dan berbagai golongan
sosial, baik di negara maju maupun di negara berkembang, dan erat
hubungannya dengan kemiskinan serta lingkungan yang tidak higienis.Banyak
faktor yang menjadi penyebab seseorang mengalami diare, diantaranya yaitu
terinfeksi sejumlah organisme bakteri dan virus. Virus yang sering menyebabkan
diare yaitu rotavirus, sedangkan bakteri pathogen E.coli, Shigella,
Campylobacter, Salmonella dan Vibrio cholera merupakan beberapa contoh
bakteri yang dapat menyebabkan diare pada anak (Sri Suparyati S, 2011: 33-37).
Faktor lain yang dapat menyebabkan seorang anak terinfeksi diare yaitu
malabsorbsi, keracunan dan sebab-sebab lainya.
Pola hidup yang tidak higienis erat kaitannya dengan penyebaran penyakit
diare di masyarakat.Pola hidup yang tidak higienis contohnya penggunaan
sumber air yang sudah tercemar dan tidak memasak air dengan benar. Pencucian
dan pemakaian botol susu yang tidak bersih. Tidak mencuci tangan dengan
bersih dan tidak memakai sabun setelah selesai buang air besar atau
membersihkan feces anak yang terinfeksi sehingga mengontaminasi perabotan
dan alat-alat yang dipegang.Selain pola hidup yang tidak higienis, penularan
diare dapat melalui berbagai media diantaranya makanan dan minuman yang

3
terkontaminasi, baik yang sudah dicemari oleh serangga atau terkontaminasi
oleh tangan yang kotor kemudian masuk ke tubuh penderita.

Seseorang yang mengalami diare akan mengalami perubahan dalam


kebiasaan BAB yang normal, ditandai dengan seringnya kehilangan cairan dan
feces yang tidak berbentuk (Susan Martin T,1998:8). Diare juga dapat
menyebabkan seseorang mengalami dehidrasi atau kehilangan cairan dalam
tubuh.Keadaan dehidrasi berat pada anak inilah yang seringkali tidak disadari
oleh orang tua dan tiba-tiba mendapati anaknya sudah dalam kondisi kritis.

Diare hingga kini masih menjadi salah satu penyakit penyumbang


kematian balita tertinggi di negara miskin dan berkembang. Menurut WHO
(World Health Organisation) penyakit diare menjadi penyebab kematian kedua
pada anak-anak dibawah lima tahunyang menyebabkan 760.000 anak di bawah
lima tahun di dunia meninggal setiap tahunnya.Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas, 2007) Kementrian Kesehatan Republik Indonesia mengungkapkan
bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi dan balita
(Profil Kesehatan Indonesia, 2013:103).

Di Indonesia, diare merupakan penyakit endemis yang terjadi disepanjang


tahun, dan puncak tertinggi pada peralihan musim penghujan dan kemarau.
Angka prevalensi (jumlah keseluruhan kasus penyakit pada suaru waktu) diare di
Indonesia saat ini masih berfluktuasi. Berdasarkan hasil Riskesdas 2007 yang
dilakukan oleh Kemenkes dan Badan Litbangkes pada tahun 2007, penyakit
diare menjadi penyebab utama kematian anak balita (25,2%).Prevalensi nasional
diare klinis adalah 9,0% sedangkan beberapa provinsi yang mempunyai
prevalensi diare kinis lebih dari 9,0% adalah Jawa tengah, Papua, dan Jawa
Barat.

Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas 2013) insiden diare


balita di Indonesia adalah 6,7 %. Lima provinsi dengan insiden diare tertinggi
adalah Aceh (10,2%), Papua (9,6%), DKI Jakarta (8,9%), Sulawesi Selatan
(8,1%), dan Banten (8,0%). Berdasarkan karakteristik penduduk kelompok umur
balita adalah kelompok yang paling tinggi menderita diare, tercatat sebanyak 5,1

4
% balita terserang diare (Riskesdas,2013). Jumlah penderita penyakit diare di
Indonesia dapat disajikan dalam Gambar 1.1.

Distribusi Frekuensi Penderita Diare di Indonesia


jumlah penedrita
6,000,000
4,844,230 5,090,212
5,000,000 4,182,416
4,261,493 4,128,256
4,000,000 4,422,427
Th
3,000,0003,456,123 Th Th Th Th Th Th Th
2,000,000 200 200 200 200 201 201 2,843,801
201 201
1,000,000 6 7 8 9 0 1 2 3
Jumlah 0 4,261 3,456, 4,844, 4,422, 5,090, 4,182, 2,843, 4,128,
Penderita ,

Gambar 1.1. Jumlah Kasus Diare di Indonesia, Tahun 2006 Sampai 2013

Berdasarkan Gambar 1.1, kasus diare di Indonesia masih relatif tinggi.


Jumlah penderita dari tahun ke tahun selalu mengalami perubahan. Seperti
terlihat pada Gambar 1.1 pada tahun 2007 jumlah penderita mengalami
penurunan, kemudian meningkat pada tahun 2008. Penurunan signifikan terjadi
pada peralihan tahun 2010 ke tahun 2012. Namun, kembali mengalami lonjakan
pada tahun 2013. Kasus terbanyak terjadi pada tahun 2010 yaitu sebanyak
5.090.212 penderita. Penyakit diare saat ini masih dianggap remeh oleh
masyarakat. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk selalu menjaga kebersihan
diri dan lingkungan serta kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai penyakit
diare menyebabkan penyakit diare dari tahun ke tahun selalu ada dan tak jarang
memakan korban jiwa.

Mengingat kasus diare masih sering terjadi, dan dapat menimbulkan


kerugian yang cukup besar. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode untuk
mengetahui karakteristik penyebaran penyakit diare agar penyebaran penyakit

diare dapat dikendalikan. Salah satu alat yang dapat digunakan untuk
mempermudah dalam menyelesaikan permasalahan didalam dunia nyata adalah

5
model matematika. Model matematika adalah hasil perumusan yang
menggambarkan masalah dalam dunia nyata yang kemudian dicari solusi. Dari
model matematika tersebut akan terbentuk suatu persamaan diferensial yang
dapat diketahui titik kesetimbangannya dan dianalisis kestabilan di titik
kesetimbangan. Model matematika yang digunakan untuk melihat tingkat
penyebaran suatu penyakit menular disebut dengan model epidemi. Salah satu
model matematika epidemi adalah model epidemi SIS (Susceptibel-Infected-
Susceptibel).

Penelitian mengenai model penyebaran penyakit menular telah banyak


dilakukan. Adapun penelitian yang berkaitan dengan pemodelan penyebaran
penyakit diare yaitu penelitian yang dilakukan Ojaswita Chaturvedi dan kawan-
kawan pada tahun 2014 yang berjudul “A Continuous Mathematical Modle for
Shigella Outbreaks” dalam penelitian tersebut dibentuk model matematika SIR
dengan studi kasus penyakit diare dengan satu populasi. Didapatkan model
untuk ketiga kelas yaitu Susceptible (S) merupakan kelompok individu rentan
terhadap penyakit, Infected (I) yaitu kelompok individu terinfeksi penyakit, dan
Recovered
(R) yaitu kelompok individu yang sembuh dari penyakit diare dan tidak memiliki
kekebalan permanen sehingga dapat tertular penyakit yang sama.

Berdasarkan kajian dari penelitian-penelitian sebelumnya mengenai


penyakit diare serta masih banyaknya kasus penderita penyakit diare. Tugas
akhir skripi mengambil topik tentang menganalisis pemodelan penyebaran
penyakit diare dengan dua populasi untuk mengetahui model penyebaran
penyakit diare serta dapat menganalisa mengenai karakteristik penyebaran
penyakit diare. Dengan demikian interpretasi tersebut dapat dijadikan suatu
pertimbangan untuk dilakukan tindakan yang tepat untuk menangani masalah
yang ditimbulkan oleh penyebaran penyakit tersebut.

B. Batasan Masalah

6
Berdasarkan latar belakang diatas, pembatasan pada tugas akhir ini yaitu:
1. Analisis penyebaran penyakit diare hanya untuk kasus bebas penyakit yaitu
saat penyakit tidak menyebar dalam populasi.
C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat diperoleh rumusan


masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana model penyebaran penyakit diare?

2. Bagaimana karakteristik penyebaran penyakit diare?

D. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penulisan tugas akhir ini
adalah :
1. Mendeskripsikan model penyebaran penyakit diare.

2. Mendeskripsikan karakteristik penyebaran penyakit diare.

E. Manfaat

Manfaat dari penulisan tugas akhir ini yaitu :

1. Memberikan kesadaran masyarakat untuk lebih menjaga kebersihan diri dan


lingkungan guna mencegah penyebaran penyakit diare.
2. Memberikan masukan bagi institusi pelayanan kesehatan agar tetap
mempertahankan usaha-usaha yang diperlukan seperti penyuluhan-
penyuluhan tentang diare sehingga terciptanya masyarakat yang sehat secara
optimal, dan sebagai upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kejadian Diare

1. Pengertian kejadian diare

Kejadian diare merupakan Suatu kejadian dimana terjadi buang


air besar cair atau mencret dengan frekuensi lebih dari 3 kali sehari
(Wardhani, 2012). Diare dapat disebabkan oleh berbagai infeksi, selain
penyebab lain seperti malabsorbsi. Diare sebenarnya merupakan salah satu
gejala dari penyakit pada sistem gastrintestinal atau penyakit lain diluar
sistem pencernaan. Tetapi sekarang lebih dikenal dengan penyakit diare,
karena dengan sebutan diare akan mempercepat tindakan
penanggulangannya. Diare ialah keadaan frekuensi buang air besar lebih
dari 4 kali pada bayi dan lebih dari 3 kali pada anak, konsistensi feses
encer, dapat berwarna hijau atau dapat pula bercampur lendir dan darah
atau lendir saja (Ngastiyah, 2005). Diare adalah kehilangan cairan dan
elektrolit berlebihan yang terjadi karena frekuensi satu kali atau lebih
buang air besar dengan bentuk tinja yang encer atau cair (Suriadi, 2006).
Gangguan terjadinya diare sangat beragam dapat disebabkan oleh
pengaruh oleh pengaruh salah satu atau gabungan dari 3 mekanisme yang
terdiri dari proses osmotis, gangguan transport air elektrolit dan perubahan
mortilitas usus.

2. Jenis-jenis diare

Menurut Hidayat (2008) ada 3 jenis diare :

a. Diare cair akut

Diare cair akut memiliki 3 ciri utama, gejalanya dimulai secara tiba-tiba,
tinjanya encer dan cair, pemulihan biasanya terjadi dalam waktu 3-7 hari.
Kadang kala gejalanya bisa berlangsung sampai 14 hari. Lebih dari 37%
orang yang terkena diare mengalami diare cair akut.

8
b. Disentri
Disentri memiliki 2 ciri utama yaitu, adanya darah dalam tinja, mungkin
disertai kram perut, berkurangnya nafsu makan dan penurunan berat badan
yang cepat, sekitar 10- 15% anak-anak dibawah usia 5 tahun (balita)
mengalami disentri.
c. Diare Kronik

Diare yang menetap atau persisten memiliki 3 ciri utama yaitu, pengeluaran
tinja encer disertai darah, gejalanya berlangsung lebih dari 14 hari dan ada
penurunan berat badan.
Derajat dehidrasi akibat diare menurut Widoyono (2008) dibedakan
menjadi 3, yaitu :
1) Tanpa dehidrasi, biasanya anak merasa normal, tidak rewel, masi bisa
bermain seperti biasa. Umumnya karena diarenya tidak berat, anak masi
mau makan dan minum seperti biasa,
2) Dehidrasi ringan atau sedang, menyebabkan anak rewel atau
gelisah. Mata sedikit cekung, turgor masi kembali dengan cepat jika
dicubit.
3) Dehidrasi berat, anak apatis (kesadaran berkabut), mata cekung,
pada cubitan kulit turgor kembali lambat, nafas cepat, anak terlihat
lemah.

3. Tanda dan gejala diare

Menurut Schowartz (2004) tanda dan gejala diare pada anak antara lain:

a. Gejala umum

1) Berak cair atau lembek dan sering adalah gejala khas diare.

2) Muntah, biasanya menyertai diare pada gastroenteritis akut.

3) Demam, dapat mendahului atau tidak mendahului gejala diare.

4) Gejala dehidrasi, yaitu mata cekung, ketegangan kulitmenurun,


apatis bahkan gelisah.

9
b. Gejala spesifik

1) Vibrio Cholera : diare hebat, warna tinja seperti cucian beras dan
berbau amis.
2) Disenterifrom : tinja berlendir dan berdara.

4. Epidemiologi Diare pada Balita

Segitiga epidemiologi merupakan konsep dasar epidemiologi yang


memebrikan gambaran tentang hubungan antara tiga faktor utama yang
berperan dalam terjadinya penyakit dan masalah kesehatan lainnya.
Segitiga ini merupakan interaksi anatara tiga faktor yakni host (tuan
rumah), agent (faktor penyebab) dan environmet (lingkungan). Interaksi
host, agent dan environment merupakan suatu sistem dinamis yang berada
dalam keseimbangan (equilibrium) pada seseorang (individu) yang sehat
(Bustan, 2002).
a. Host

kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui faecal oral antara


lain melalui makanan/minuman yang tercemar tinja atau kontak
langsung dengan tinja penderita.
Faktor infeksi

Infeksi pada saluran pencernaan merupakan penyebab utama diare pada


anak. Jenis-jenis infeksi yang umumnya meneyrang sebagai berikut
(Widjaja, 2004).
1) Infeksi bakteri oleh kuman E. Coli Salmonella, Vibrio Cholerae
(kolera), dan serangan bakteri lain yang jumlahnya berlebihan dan
patogenik (memanfaatkan kesempatan ketika kondisi tubuh lemah)
seperti pseudomonas.
2) Infeksi basil (disentri)

3) Infeksi virus enterovirus dan adenovirus.

4) Infeksi parasit oleh cacing (askari)

10
5) Infeksi jamur (candidiasis).

6) Infeksi akibat organ lain, seperti radang tonsil, bronkhitis, dan


radang tenggorokan
7) Keracunan makanan

Faktor Malabsorbsi

1) Malabsorbsi karbohidrat. Pada bayi kepekaan terhadap


lactoglobulis dalam susu formula menyebabkan diare. Gejalanya
berupa diare berat, tinja berbau sangat khas asam, sakit daerah
perut. Jika sering tertekan diare ini pertumbuhan anak terganggu.
2) Malabsorbsi lemak. Dalam makanan terdapat lemak yang disebut
dengan triglyserida. Triglyserida denga bantuan kelenjar lipase,
mengubah lemak menjadi micelles yang siap diabsorbsi usus. Jika
tidak ada lipase dan terjadi kerusakan mukosa usus, diare terjadi
karena lemak tidak terserap dengan baik, gejalanya adalah tinja
mengandung lemak.

Agent (faktor penjamu yang meningkatkan kerentetan terhadap diare).

Beberapa faktor pada penjamu dapat meningkatkan insiden,


beberpa penyakit dan lamanya diare.
1) Status gizi

Beratnya penyakit, lama dan resiko kematian karena diare


meningkat pada anak-anak yang mnederita gangguan gizi, terutama
gizi buruk. Pada penderita kurang gizi serangan diare terjadi lebih
sering terjadi, semakin buruk keadaan gizi anak, semakin sering
dan berat diare yang diderita.

2) Pemberian ASI eksklusif

Bayi harus disusui secara penuh sampai 6 berumur 6 bulan. ASI


mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya

11
antibodi dan zat-zat lain yang terkandung di dalamnya. ASI turut
memberikan perlindungan terhadap diare pada bayi yang baru lahir
pemberian ASI secara penuh mempunyai daya lindung 4x lebih
besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan
susu botol. Pada bayi yang tidak diberikan ASI secara penuh,
pada bulan pertama kehidupan, resiko mendapat diare adalah 30x
lebih besar (Roesli, 2005)
3) Perilaku hidup sehat bersih

Masyarakat dapat menurangi resiko terhadap serangan diare dengan


cara : a) kebiasaan mencuci tangan dengan menggunakan sabun,
teruatama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak,
sebelum menyuapi anak, dan sesuda makan. Hal ini memepunyai
dampak dalam kejadian diare. b) Kebiasaan membuang tinja,
membuang tinja harus dilakukan secara bersih

dan benar, karena tinja bayi mengandung virus atau bakteri dalam
jumlah besar dan dapat pula menularkan penyakit pada anak-anak
dan orang tuanya. c) Pemberian pemberian imunisasi campak,
diare sering timbul menyertai campak, sehingga pemberian
imunisasi campak juga dapat mencegah diare. d) penimbangan
balita, hal ini dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan dan
perkembangan balita. Apabila ada balita pertanyaan adalah
apakah sudah ditimbang secara teratur ke posyandu minimal 8 kali
setahun. e) menggunakan air bersih yang cukup, masyarakat dapat
mengurangi resiko terhadap serangan diare yaitu dengan
menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari
kontaminasi mulai dari sumbernya sampai penyimpanan dirumah.

12
Faktor lingkungan (environment)

Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis


lingkungan. Dua faktor yan dominan yaitu sarana air bersih dan
pembuangan tinja. Kedua faktor ini berinteraksi bersama dengan
perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena
tercemar kuman diare serta beakumulasi dengan perilaku manusia yang
tidak sehat pula yaitu melalui makanan dan minuman, maka dapat
menimbulkan kejadian penyakit diare.

5. Pencegahan diare

Menurut Widoyono (2008) penyakit diare dapat dicegah melalui


promosi kesehatan, anata lain :
a. Menggunakan air bersih. Tanda-tanda air bersih ada 3 yaitu, tidak
berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa.
b. Memasak air mendidih sebelum diminum untuk mematikan sebagian
besar kuman penyakit.
c. Mencuci tangan dengan sabun pada waktu sebelum makan,
sesudah makan, dan sesudah buang air besar (BAB).
d. Memberikan ASI pada anak sampai berusia dua tahun

e. Menggunakan jamban yang sehat.

f. Membuang tinja bayi dan anak dengan benar.

B. Status gizi

1. Pengertian Status Gizi

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang


dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,
penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan
untuk mempertahankan kehidupan pertumbuhan dan fungsi normal dari
organ-organ, serta menghasilkan energi (Suparisa, 2001).
Almatsier (2002) menyatakan bahwa status gizi adalah keadaan

13
tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Zat
gizi (nutrients) adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk
melakukan fungsinya yaitu menghasilkan energi, membangun dan
memelihara jaringan, serta mengatur proses- proses kehidupan. Status gizi
adalah keadaan seimbang antara asupan (intake) dan kebutuhan
(requirements) zat besi (Soegianto, 2007).
Status gizi balita adalah tingkat kecukupan gizi yang diukur
melalui indeks berat badan menurut umur dan kategorinya ditentukan
dengan menggunakan standar WHO-NCHS yang dibagi berdasarkan Z-
score yaitu gizi lebih (Z-score
≥+2), gizi normal (-2<Z-score<+2), gizi kurang (-3<Z-score<-2), dan gizi
buruk (Z- score≤-3).

2. Penilaian status gizi

Menurut Suparisa (2001), Penilaian status gizi di bagi menjadi dua


yaitu penilaian secara langsung dan tidak langsung.
a. Penilaian secara langsung

1) Penilaian secara Antropometri

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau


dari sudu pandang manusia, maka antropometri berhubungan dengan
berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari
berbagai tingkat umur dan gizi. Antropometri secara umum di gunakan
untuk untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi.
Proporsi ini terlihat pada pola

pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot


dan jumlah air dalam tubuh.
Indeks antropometri yang biasanaya digunakan dalam menilai status
gizi adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut
umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).

14
Tabel 2.1 Status Gizi Berdasarkan Indikator
Antropometri

Satus Gizi Indek


s
BB/U TB/U BB/TB
Gizi Baik >80% >90% >90%
Gizi Sedang 71- 81- 81-90%
80% 90%
Gizi Kurang 61- 71- 71-80%
70% 80%
Gizi Buruk >60% <70% <70%

Sumber : Supriasa 2002

2) Penilaian secara Klinis

Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai


status gizi masyarakat. Metode ini di dasarkan pada atas perubahan-
perubahan yang terjadi dan dihubungkan dengan ketidakcukupan zat
gizi. Penggunaan metode ini umumnyauntuk survei klinis secara cepat
(rapid clinical surveys). Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara
cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat
gizi. Disamping itu digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi
seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan
kejala (symptom) atau riwayat penyakit.
3) Penilaian secara Biokimia

Penilaia status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen


yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam
jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain, darah,
urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot.
Metode ini di lakukan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan

15
akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala
klinis yang yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat
lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang
spesifik.
4) Penilaian secara Biofisik

penetuan sattus gizi secara biofisik adalah metode penentuan status


gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan
melihat perubahan struktur jaringan. Umumnya dapat digunakan
dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik (epidemic
of night blindnes), cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap.
b. Penilaian secara tidak langsung.

Penilaian secra tidak langsung dapat dibagi menjadi 3 yaitu survei


konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi.
1) Survei konsumsi makanan

Survei konsumsi makanan adalah metode penetuan status gizi secara


tidak langsung dengan melihatjumlah dan jenis zat gizi yang
dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan
gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat,
keluarga dan individu. Survei ini mengidentifikasi kelebihan dan
kekurangan zat gizi.
2) Statistik vital

Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan


menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian
berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab
tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi.
Penggunaannya dipertimbangkan sebagai bagaian dari indikator
tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat.

3) Faktor ekologi

16
Bengoa mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah
ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, bilogis dan
lingkungan budaya, jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung
dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dll. Pengukuran
faktor ekologi dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab
malnutrisi disuatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan
intervensi gizi (Schrimshaw 1964 dalam supriasa, 2002).

Di masayarakt cara pengukuran status gizi yang paling sering


digunakan adalah cara antropometri (Supriasa, 2002). Pengukuran
antropometri dapat dilakukan dengan dengan berbagai macam
pengukuran, yaitu pengukuran berat badan, tinggi badan, lingkar lengan
atas dan sebagainya. Dari beberapa pengukuran tersebut, pengukuran berat
badan dan lingkar lengan atas sesuai umur adalah pengukuran yang sering
dilakukan dalam survei gizi (Soekirman, 2000).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi

Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi pada balita terbagi


menjadi 2 meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal
merupakan faktor yang ada dalam diri anak itu sendiri, yang meliputi
status kesehatan, umur, jenis kelamin, dan ukuran rubuh. Status
kesehatan berkaitan dengan adanya hambatan reaksi imunologis dan
berhubungan dengan terjadinya prevalensi dan beratnya penyakit infeksi,
seperti marasmus, sering dijumpai pada taraf yang yang sangat berat.
Infeksi sendiri mengakibatkan penderita kehilangan bahan makanan
melalui muntah-muntah dan diare (Santosa, 2004). Sedangkan faktor-
faktor datang yang atau ada dari luar anak itu sendiri, meliputi faktor-
faktor pendidikan, pengetahuan, infeksi dan pendapatan (Radiansyah,
2007).

Berdasarkan Almatsier (2002) faktor-faktor yang mempengaruhi


status gizi meliputi :
a. Program Pemberian Makanan

17
Merupakan program untuk menambah nutrisi pada balita, biasanya
diperoleh saat mengikuti posyandu. Adapun pemberian tambahan
makanan tersebut berupa makanan pendamping ASI yang bisa didapat
di puskesmas setempat.
b. Tingkat Pendapatan Keluarga

Dinegara Indonesia yang jumlah penduduk sebagian besar adalah


golongan rendah atau menengah, hal ini akan berdampak pada
pemenuhan bahan makanan terutama makanan yang bergizi.
c. Pemeliharaan Kesehatan

Perilaku sehubungan denga peningkatan dan pemeliharaan kesehatan,


misalnya makanan yang bergizi, olah raga dan sebagainya termasuk
juga perilaku pencegahan penyakit yang merupakan respon untuk
melakukan pencegahan penyakit.
d. Pola Asuh Keluarga

Pola asuh adalah pola pendidikan yang diberikan orang tua kepada
anak- anaknya. Setiap anak membutuhkan cinta, perhatian, kasih
sayang yang akan berdampak terhadap perkembangan fisik, mental dan
emosional.

C. Makanan Pendamping ASI

1. Pengertian

Makanan pendampnig ASI (MP-ASI) adalah makanan yang


secara berangsur diberikan kepada bayi untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi menjelang dan sesudah disapih sebelum bayi diberikan makanan
anak (Kristiyanasari, 2010). Makanan pendamping Air susu ibu adalah
makanan dan minuman yang mengandung zat gizi, yang diberikan
kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi
selain dari ASI (Depkes RI, 2006).
Makanan pendamping ASI merupakan makanan tambahan bagi
bayi yang menjadi makanan pelengkap dan dapat memenuhi kebutuhan
bayi. Makanan pendamping ASI diberikan kepada bayi setelah bayi

18
berusia 4-6 bulan sampai bayi berusia 24 bulan, jadi selain makanan
pendamping, ASI harus tetap diberikan kepada bayi paling tidak sampai
berusia 24 bulan. Peranan makanan pendamping ASI sama sekali bukan
untuk menggantikan ASI melainkan untuk melengkapi ASI (Waryana,
2010).
Memasuki usia 4-6 bulan, bayi telah siap menerima makanan
bukan cair, karena gigi telah tumbuh dan lidah tidak lagi menolak
makanan padat serta lambung juga sudah lebih baik mencerna zat tepung.
Jika kemudian bayi disapih pada usia 4 atau 6 bulan, tidak berarti karena
bayi telah siap menerima makanan selain ASI, tetapi juga karena
kebutuhan gizi bayi tidak lagi cukup dipasok hanya oleh ASI. Bayi
merupakan bagian dari keluarga, karena itu sepanjang proses penyapihan,
kepada mereka sebaiknya diberikan makan yang lazim disantap oleh anak
yang lebih besar dan orang dewasa dalam keluarga itu. Sehingga perlu
diingat, bahwa makanan yang diberikan bukan untuk menggantikan,
melainkan mendampingi ASI (Arisman, 2004).

2. Manfaat dan Tujuan Makanan Pendamping ASI

Manfaat maknan pendamping ASI adalah untuk menambah energi


dan zat gizi yang dibutuhkan oleh bayi karena ASI tidak dapat mencukupi
kebutuhan bayi secara terus-menerus. Pertumbuhan dan perkembangan
anak yang normal dapat diketahui denga cara melihat dan memantau
kondisi berat badan seorang anak, jika anak tidak mengalami peningkatan
maka menunjukan bahwa kebutuhan energi bayi tidak terpenuhi (Diah,
2001).
Tujuan pemberian makanan pendamping ASI adalah melengkapi
nutrien yang kurang pada ASI, mengembangkan kemampuan bayi untuk
menerima makanan dengan berbagai tekstur, mengembangkan
kemampuan bayi, mengembangkan kemampuan bayi untuk mengunyah
dan menelan, dan melatih anak melakukan adaptasi terhadap makanan
mengandung energi tinggi (Kristiyanasari, 2010).
Menjelag usia 9 bulan bayi telah pandai menggunakan tangan untuk

19
memasukan benda ke dalam mulut, hal ini dapat dijadika sebagai indikator
bahwa bayi sudah siap mengkonsumsi makanan padat, selain itu dapat
diacu pada parameter seperti berat badan mencapai 2 kali berat badan
lahir, setelah minum susu formula sebanyak 240 cc dan 4 jam kemudian
bayi merasa lapar atau 964 cc susu formula selama 24 jam namun masi
kurang, dan bayi telah berusia 6 bulan (Arisman, 2004).

3. Waktu Pemberian MP-ASI

ASI sebagai makanan tunggal untuk memenuhi kebutuhan


pertumbuhan sampai anak berusia 6 bulan, antara umur 6-24 bulan anak
tumbuh dengan cepat sehingga kebutuhan energi, vitamin dan mineralnya
meningkat (Waryana, 2010) Memasuki usia 4-6 bulan, bayi telah siap
menerima makanan bukan cair, karena gigi sudah mulai tumbuh dan lidah
tidak lagi menolak makanan padat, dan lambung juga telah lebih baik
mencerna zat tepung (Arisman, 2004).

Waktu yang baik untuk memberikan makanan tambahan pada bayi


adalah umur 6 bulan, pemberian makanan bayi sebelum umur tersebut akan
menimbulkan resiko sebagai berikut (Ariani, 2008) :
a. Seorang anak belum memerlukan makanan tambahn pada umur
kurang dari 6 bulan, makanan ini dapat dijadikan sebagai pengganti
ASI, sehingga apabila makanan diberikan, maka anak akan minum
ASI lebih sedikit dan ibu akan memproduksi ASI lebih sedkit
sehingga akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
b. Anak mendapat faktor pelindung ASI lebih sedikit sehingga resiko
infeksi meningkat.
c. Resiko diare juga meningkat karena makanan tambahan tidak sebersih ASI.

d. Makanan yang diberikan sebagai pengganti ASI sering encer sehingga


mudah dicerna bayi, makanan ini memang membuat lambung penuh
tetapi memberikan nutrient sedikit.
Akibat tidak diberikan makanan pendamping ASI yang tepat adalah :

a. Anak tidak mendapat makanan tambahan yang dibutuhkan untuk

20
mengisi kesenjangan nutrient dan energi.
b. Pertumbuhan anak terhenti atau lambat.

c. Resiko malnutrisi dan defisiensi mikro nutrient meningkat pada anak.

4. Syarat-syarat pemberian makanan pendamping ASI

Makanan pendamping ASI sebaiknya memenuhu persyaratan sebagai berikut :

a. Memiliki nilai energi dan kandungan protein yang tinggi.

b. Memilki nilai suplementasi yang baik serta mengandung vitamin


dan mineral dalam jumlah yang cukup.
c. Dapat diterima oleh alat pencernaan bayi dengan baik

d. Harganya relatif murah

e. Sebaiknya dapat diproduksi dari bahan-bahan yang tersedia secara lokal.

f. Bersifat padat gizi.

5. Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI

a. Umur Pemberian MP-ASI

Memasuki usia 4-6 bulan bayi telas siap menerima makanan bukan
cair, karena gigi telah tumbuh, lidah tidak lagi menolak makanan
setengah padat, dan lambung juga lebih baik dalam mencerna zat tepung
(Arisman, 2004). Pemberian MP-ASI yang terlalu dini (<4 bulan) maka
asupan gizi yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhannya. Biasanya
bayi yang sudah diberi makanan setengah padat pada umur <4 bulan
akan menyusu lebih sedikit, hal ini disebabkan ukuran perut bayi yang
masih kecil sehingga mudah penuh., sedangkan kebutuhan gizi bayi
terpenuhi, selain itu, sistem pencernaan bayi akan mengalami gangguan
seperti diare, sembelit, dan alergi (Krisnatuti & Yenrina, 2000),
sebaliknya penundaan pemberian makanan dapat menghambat

21
pertumbuhan jika energi dan zat gizi yang dihasilkan oleh ASI tidak
mencukupi lagi kebutuhan bayi (Pudjiadi, 2008).
b. Jenis makanan pendamping ASI

Cara memberikan makanan tambahan bagi bayi adalah proses dari


makanan berbentuk cair ke kental lalu bertahap menjadi keras seiring
dengan proses dan umur juga perkembangan bayi, sehingga usus bayi
terlatih dengan sendirinya terhadap makanan yang diterimanya (Chintia,
2008). Menurut Arisman (2004) makanan pendamping yang ideal harus
mengandung 1) makanan pokok, 2) kacang- kacangan, sayuran berdaun
hijau atau kuning, 3) buah, 4) daging, dan 5) minyak atau lemak.
Kemudian bahan ini dibuat menjadi bubur untuk disuapkan kepada bayi
sebagai makanan tambahn selain ASI.
Jenis-jenis makanan tambahan menurut Chintia (2008) :

1) Makanan lunak yaitu semua makanan yang termasuk yang disajikan


dalam bentuk halus dan diberika pada bayi yang pertama kali,
misalnya bubur susu dan sari buah.
2) Makanan lembek yaitu makanan peralihan dari maknan lunak ke
makanan biasa seperti nasi tim.
3) Makanan biasa yaitu termasuk makanan orang dewasa yang
disajikan seperti nasi.

Makanan padat pertama yang diberikan pada anak harus mudah


dicerna dan bukan makanan yang mempunyai resiko alergi yang tinggi.
Makanan yang diberikan kepada bayi sebaiknya tidak diberikan tambahan
apapun seperti garam dan gula karena garam dapat merusak ginjal bayi,
sedangkan gula dapat membuat bayi menyukai makanan manis yang dapat
merusak gigi (Luluk, 2005).
c. Frekuensi pemberian makanan pendamping ASI

Sesuai dengan bertambahnya umur anak, perkembangan dan


kemampuan dalam menerima makanan, maka pola pemberian
makanan pada anak yaitu :
1) Makanan pendamping bayi 6-9 bulan, pemberian ASI tetap

22
diteruskan, dan ASI diberikan terlebih dahulu sebelum MP-ASI.
Bayi mulai diperkenalkan dengan MP-ASI lumat 2 kali sehari.
Sumber zat lemak, yaitu santan atau minyak kelapa/margarin dapat
ditambah sedikit demi sedikit untuk mempertinggi nilai gizi
makanan.
2) Makanan bayi umur 9-12 bulan, pemberian ASI tetap diteruskan. Pada
umur

10 bulan bayi mulai diperkenalkan dengan makanan keluarga


secara bertahap. Bentuk makanan adalah lunak dan diberikan 3
kali sehari. Makanan selingan yang bernilai gizi tinggi seperti
bubur kacang ijo dan buah berikan 1 kali sehari.
3) Makanan anak umur 12-24 bulan, pemberian ASI juga tetap
diteruskan, dan pemberian MP-ASI dengan bentuk makanan
seperti makanan keluarga diberikan 3 kali sehari dan pemberian
makanan selingan 2 kali sehari (Depkes & Kesos RI, 2000)

23
Tabel 2.2 Jadwal pengaturan makanan anak

Umur Jenis Frekue Jam


(bulan) Makan nsi
an Seha
ri
0-4 ASI Sesuka bayi
4-6 ASI Sesuka
Sari Buah bayi 2x 10.00 dan 15.00
Bubur susu 2x 08.00 dan 18.00
6-9 ASI Sesuka
Sari Buah bayi 2x
10.00 dan 15.00
Bubur susu 1
08.00
Tim Saring x
13.00 dan 18.00
2
x
9-12 ASI Sesuka
Buah bayi 2x 10.00 dan 15.00
Nasi 2x 13.00 dan 18.00
Tim 1x 08.00
Bubur susu
Sumber : waryana (2010)
6. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian MP-ASI

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Faturahman (2007) faktor-faktor


yang berhubungan pemberian MP-ASI antara lain sikap ibu, pendidikan dan jumlah
anak. Sedangkan penelitiann yang dilakukan oleh Indrawati (2010) faktor-faktor
yang mempengaruhi pemberian MP-ASI antara lain, pengetahuan gizi ibu dan
pendidikan ibu

BAB III

24
PEMBAHASAN TOPIK

3.1 Epidemiologi Penyakit Diare

Diare adalah suatu kondisi dimana seorang anak buang air besar dengan
konsistensi lembek atau cair, dan frekuensinya lebih dari 3 kali sehari. Menurut
WHO (2009), penyakit diare adalah gejala yang umum, dimana penderita buang air
besar (defekasi) lebih sering dari biasanya, dan konsistensi tinjanya encer, berat
tinjanya lebih dari 200 gram atau berat tinjanya kurang dari 200 gram tapi buang air
besar lebih dari 3 kali sehari dan tinjanya terlendir, berdarah.
Diare merupakan penyakit yang terjadi ketika terdapat perubahan konsistensi
feses dan frekuensi buang air besar. Seseorang mengalami diare bila feses lebih cair
dari biasanya, diare juga berarti bahwa frekuensi buang air besar tiga kali atau lebih
sering dari biasanya dan buang air besar lebih encer/cair dalam waktu 24 jam
(Depkes, 2009).
Berdasarkan data riset kesehatan dasar tahun 2018, insiden diare pada balita
di Indonesia tahun 2018 adalah 6,8% dengan period prevalence 7,0%. Menurut
karakteristik umur, kejadian diare tertinggi di Indonesia terjadi pada balita (7,0%).
Balita dengan insiden diare tertinggi berada pada kelompok umur 12 sampai 23
bulan (9,7%) (Kemenkes RI, 2018).
Menurut hasil Survei Demografi dan Kesehatan di Indonesia (SDKI) tahun
2018, di Pulau Jawa, kasus diare di Provinsi Jawa Timur menduduki urutan kedua
terbanyak setelah Provinsi Jawa Barat. Diare termasuk dalam 10 kejadian yang
sering menyebabkan KLB. Berdasarkan data dari profil kesehatan Indonesia 2018,
Jawa

25
Timur mempunyai 479.355 kasus perkiraan diare pada balita dan sekitar 59,41%
kasus yang ditangani tenaga kesehatan (Dinkes Jawa Timur, 2019). Berdasarkan
profil Dinas Kesehatan Kota Malang tahun 2018, Penemuan kasus diare di Kota
Malang pada tahun 2018 sebanyak 11.233 kasus atau 48,03% dari kasus yang
telah diperkirakan. Hal ini menandakan bahwa prevalensi diare masih tetap
tinggi di Kota Malang meskipun sudah dilakukan berbagai upaya pencegahan
dan penanggulangan diare (Dinkes Kota Malang, 2018). Juffrie dan Mulyani
(2011), Faktor risiko yang dapat meningkatan penularan enteropatogen antara
lain:

1. Orang tua tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4-6 bulan pertama
kehidupan bayi mempengaruhi kadar Secretory IgA (SIgA) pada anak, hal
ini menjadi faktor proteksi mukosa saluran cerna. SIgA meningkat
mempengaruhi sistem pertahan saluran pencernaan terhadap infeksi kuman
pathogen selain dari mucus yang melapisi permukaan sel epitel saluran
pencernaan. Penelitian membuktikan bahwa SIgA dapat meningkat dengan
pemberian ASI sehingga Penyakit saluran cerna dan saluran nafas dapat
dicegah dengan ASI eksklusif, karena berbagai faktor aktif imunologis
khususnya antibodi (Omar Sazaly Aldy, 2009).
2. Penyediaan air bersih yang tidak memadainya, Laporan Riskesdas 2007,
menunjukkan kejadian diare pada anak dari rumah tangga yang
menggunakan sumur terbuka untuk air minum tercatat 34% lebih tinggi
dibandingkan dengan anak-anak dari rumah tangga yang menggunakan air
ledeng. Selain itu, angka diare lebih tinggi sebesar 66% pada anak-anak dari
keluarga yang melakukan buang air besar di sungai atau selokan
dibandingkan mereka pada rumah tangga dengan fasilitas toilet pribadi dan
septik tank (Unicef Indonesia, 2012).
3. Pencegahan pencemaran air oleh tinja, UU No 23 Tahun 1997, menjelaskan
definisi pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makluk
hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan
26
manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya. Dari
definisi tersebut tersirat bahwa pencemaran air dapat terjadi secara sengaja
maupun tidak sengaja dari kegiatan manusia pada suatu perairan yang
peruntukkannya sudah jelas.
4. Mencuci tangan sebelum mengolah, menyentuh, menyajikan, dan
memegang makanan, merupakan langkah mutlak dan penting dalam
mencegah diare. Dengan mencuci tangan, jumlah kuman yang ada di
permukaan tangan diharapkan berkurang secara bermakna. Mencuci tangan
secara ideal adalah mencuci dengan air mengalir, misalnya dari air keran.
Mencuci tangan yang paling ideal adalah mencuci dengan air mengalir dan
menggunakan sabun. Dalam hal ini sabun berfungsi sebagai "desinfektan"
atau pembunuh kuman. Dengan demikian, jumlah kuman yang tersisa di
permukaan tangan dapat diminimalisir, sehingga kemungkinan terjadinya
diare juga menjadi kecil. Mencuci tangan dengan air mengalir dan
menggunakan sabun adalah salah satu langkah sederhana tapi sangat berarti
dalam mencegah terjadinya diare. Penatalaksanaan diare pada anak dapat
dilakukan dengan Lintas Diare:

1. Berikan oralit, untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan


mulai dari rumah tangga dengan memberikan oralit osmolaritas rendah,
dan bila tidak tersedia berikan cairan rumah tangga seperti air tajin, kuah
sayur, air matang. Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi penderita
diare untuk mengganti cairan yang hilang. Bila penderita tidak bisa
minum harus segera dibawa ke sarana kesehatan untuk mendapat
pertolongan cairan melalui infus.
2. Pemberian ASI/makanan, pemberian makanan selama diare bertujuan
untuk memberikan gizi pada penderita terutama pada anak agar tetap kuat
dan tumbuh serta mencegah berkurangnya Berikan obat zinc, zinc
merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam tubuh. Zinc dapat

27
menghambat enzim INOS (Inducible Nitric Oxide Synthase), dimana
ekskresi enzim ini selama diare dan mengakibatkan hipersekresi epitel
usus. Zinc juga berperan meningkat dalam epitelisasi dinding usus yang
mengalami kerusakan morfologi dan fungsi selama kejadian diare.
3. berat badan. Anak yang masih minum ASI harus lebih sering diberi ASI.
Anak yang minum susu formula juga diberikan lebih sering dari biasanya.
Anak usia 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang telah mendapatkan
makanan padat harus diberikan makanan yang mudah dicerna dan
diberikan sedikit lebih sedikit dan lebih sering. Setelah diare berhenti,
pemberian makanan ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk membantu
pemulihan berat badan.
4. Pemberian antibiotika hanya atas indikasi, antibiotika tidak boleh
digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian diare pada balita yang
disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat pada penderita
diare dengan darah (sebagian besar karena shigellosis), suspek kolera.
5. Pemberian nasehat, ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan
balita harus diberi nasehat tentang:
1. Cara memberikan cairan dan obat di rumah

2. Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila:

28
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan
1. Diare adalah perubahan frekuensi dan konsistensi tinja.
2. Penyebab diare akut terbesar adalah infeksi virus dari golongan rotavirus.
3. Pengobatan diare berdasarkan derajat dehidrasinya dibedakan menjadi 5
macam, yaitu pengobatan tanpa dehidrasi (dengan terapi A), pengobatan
dehidrasi ringan atau sedang (dengan terapi B), pendobatan dehidrasi berat
(dengan terapi C), teruskan pemberian makan dan pemberian antibiotik
bila perlu.
4. Pencegahan diare dapat dilakukan melalui promosi kesehatan.
5. Prevalensi diare pada anak di Indonesia Tahun 2018 adalah 6,8% dengan
insiden tertinggi pada kelompok usia 12-23 bulan.
6. Pencegahan diare pada anak dapat dilakukan dengan pemberian ASI,
penyediaan air bersih, pencegahan pencemaran air dan pembiasaan cuci
tangan.
7. Penatalaksanaan diare pada anak meliputi pemberian oralit bagi anak
penderita diare, Pemberian zink, Memberikan antibiotik secara selektif dan
tidak memberikan antidiare, Memberikan makan dan melanjutkan ASI
(Air Susu Ibu), Serta memberikan nasehat kepada orang tua tentang kapan
anak harus dibawa ke rumah sakit
3.2. Saran

1. Untuk kajian pustaka selanjutnya, diharapkan dapat memperluas topik


penelitian untuk mengetahui konsep diare serta strategi penatalaksanaan
yang tepat terhadap diare.
29
2. Diharapkan tenaga kesehatan memberikan promosi kesehatan
sehingga masyarakat mengerti serta mampu mencegah dan
menanggulangi kejadian diare.

3. Diharapkan masyarakat dapat memiliki pengatahuan yang baik tentang


diare sehingga dapat memberikan pertolongan awal yang tepat pada
keluarga yang menderita diare.

30
DAFTAR PUSTAKA

Widoyono. Penyakit Tropis. Erlangga. Jakarta. 2011.


www.anneahira.com

Suharyono, 2008, Diare Akut Klinik dan Laboratorik, Rineka Cipta, Jakarta.
WHO, 1995, Penatalaksanaan dan Pencegahan Diare Akut Petunjuk Praktis,
diterjemahkan oleh Petrus Andrianto, EGC, Jakarta

Widjaja, M.C., 2003, Mengatasi diare dan keracunan pada balita, Kawan Pustaka,
Jakarta.

Widoyono, 2008, Penyakit Tropis (Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan


Pemberantasan), Erlangga, Jakarta

31

Anda mungkin juga menyukai