Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

IDENTIFIKASI PENYAKIT TROPIS DALAM KEBIDANAN


“DEMAM TIFOID PADA IBU HAMIL”
DI UPTD PUSKESMAS

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK II

1. Eka Veramudi Yati : 11194862111163


2. Iska Winda : 11194862111168
3. Nolla Riani : 11194862111177
4. Ria Ulfah : 11194862111183
5. Sri Wahyuning Dyas : 11194862111193

PROGRAM STUDI ALIH JENJANG KEBIDANAN FAKULTAS


KESEHATAN UNIVERSITAS SARI MULIA BANJARMASIN
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat dan hidayahnya-Nya kami dapat menyelesaikan Tugas Makalah
Identifikasi Penyakit Tropis dalam Kebidanan “Demam Tifoid pada Ibu Hamil” di
UPTD Puskesmas ” dengan baik dan tepat waktu. Kami sangat berterima kasih
kepada semua pihak yang telah membimbing maupun membantu kami dalam
pembuatan Makalah ini, terutama kepada:
1. Ibu Fitri Yuliana, SST., M. Kes, Ibu Novita Dewi Iswandari, S.Si.T., M.Kes
dan Ibu Meldawati, M.Keb Selaku Dosen Pengampu yang telah memberikan
bimbingan, saran serta dukungan sehingga Makalah ini berjalan dengan baik;
2. Rekan-rekan kelompok 2 yang selalu memberikan bantuan dan semangat,
dukungan dan Kerjasama yang sangat baik sehingga makalah ini selesai tepat
waktu.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam pembuatan Tugas Makalah ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Semoga Makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.
Banjarmasin, Oktober 2022
Penyusun,

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL.........................................................................................................i
KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
DAFTAR TABEL...........................................................................................v
DAFTAR GAMBAR......................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..................................................................................7
1.2 Maksud dan Tujuan...........................................................................7
1.4 Manfaat..............................................................................................9

BAB II URAIAN MATERI

2.1 Definisi..............................................................................................10

2.2 Etiologi .............................................................................................10

2.3 Patofisiologi......................................................................................11

2.4 Klasifikasi..........................................................................................13

2.5 Identifikasi.........................................................................................14

2.6 Komplikasi........................................................................................16

2.7 Pencegahan........................................................................................16

2.8 Penanganan Awal dan Lanjutan........................................................17

2.9 Pathway.............................................................................................19

BAB III TINJAUAN KASUS

3.1 Skenario Kasus..................................................................................20

3.2 Pengkajian Data Subjektif.................................................................20

3.3 Pengkajian Data Objektif .................................................................21

3.4 Assasmen...........................................................................................22

iii
3.5 Penatalaksanaan................................................................................22

BAB IV PEMBAHASAN
4.1 .........................................................................................................23
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan.....................................................................................30
5.2 Saran................................................................................................30
EVALUASI………………………………………………………………..31
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..32

iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1.........................................................................................................19
Tabel 2.1.........................................................................................................19

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1.....................................................................................................11
Gambar 2.2 ....................................................................................................12

vi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini
adalah penyakit menular yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 6
Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini adalah penyakit
yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga
menimbulkan wabah (Setiati et al., 2014). Demam tifoid adalah infeksi akut
pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Manifestasi
klinis demam tifoid tergantung dari virulensi dan daya tahan tubuh. Adapun
manifestasi klinisnya yaitu demam lebih dari tujuh hari yang merupakan
suatu gejala yang paling menonjol. Demam ini bisa diikuti oleh gejala tidak
khas lainnya seperti diare, anoreksia, atau batuk. Pada keadaan yang parah
bisa disertai dengan gangguan kesadaran. Komplikasi yang bisa terjadi
adalah perforasi usus, perdarahan usus, dan koma. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan adanya Salmonella dalam darah melalui kultur. Penularan
penyakit demam tifoid adalah melalui air dan makanan. Kuman Salmonella
dapat bertahan lama dalam makanan. Vektor berupa serangga juga berperan
dalam penularan penyakit (Widoyono, 2005).
Demam tifoid menyerang penduduk disemua negara. Demam tifoid
banyak ditemukan dinegara berkembang yang hygiene pribadi dan sanitasi
lingkungannya kurang baik. Namun pada negara maju prevalensi demam
tifoid stabil dengan angka yang rendah. Prevalensi kasus bervariasi
tergantung dari lokasi, kondisi lingkungan setempat, dan perilakumasyarakat.
Sejak awal abad ke-20, insiden demam tifoid menurun di USA dan Eropa.
Hal ini karena ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik, dan
ini belum dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang. Insiden demam
tifoid yang tergolong tinggi terjadi di wilayah Asia Tengah, Asia Selatan,
Asia enggara, dan kemungkinan Afrika Selatan (Insidens >100 kasus per
100.000
populasi per tahun). Insiden demam tifoid yang tergolong sedang (10-100
kasus per 100.000 populasi per tahun) berada di wilayah Afrika, Amerika

7
Latin, dan Oceania (kecuali Australia dan Selandia Baru) serta yang termasuk
rendah (<10 kasus per 100.000 populasi per tahun) dibagian dunia lainnya.
Di Indonesia, kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan
insidensi sekitar 1.100 kasus per 100.000 penduduk per tahunnya dengan
angka kematian 3,1- 10,4% . Sembilan puluh persen kasus demam tifoid di
Indonesia menyerang kelompok usia 3-19 tahun. Menurut Departemen
Kesehatan RI penyakit ini menduduki urutan kedua sebagai penyebab
kematian pada kelompok umur 5-14 tahun di daerah perkotaan (Irawati &
Hanriko, 2016).
Dari telaah kasus dibeberapa rumah sakit besar, kasus tersangka demam
tifoid menunjukkan kecenderungan yang meningkat dari tahun ke tahun
dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan kematian antara
0,6%-5,0% (Rampengan, 2013). Ditjen Bina Upaya Kesehatan Masyarakat
Departemen kesehatan RI tahun 2010, melaporkan demam tifoid menempati
urutan ke-3 dari 10 pola penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah
sakit di Indonesia (41.081 kasus) (Setiatiet al., 2014).
Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid dapat berupa diare,
obstipasi kemudian disusul diare, pada sebagian pasien lidah tampak kotor
dengan putih ditengah sedangkan tepinya kemerahan. Pada saat demam
sudah
tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat,
seperti
kesadaran berkabut atau delirium atau obtundasi, atau penurunan kesadaran
mulai apati sampai koma (Putra, 2015).
Gambaran laboratorium pada demam tifoid yaitu pada pemeriksaan
darah leukosit total terdapat gambaran leukopenia, dapat pula terjadi kadar
leukosit normal atau leukositosis, limfositosis relatif, monositosis,
eosinofilia,
dan trombositopenia ringan. Jumlah leukosit sering rendah dan berkaitan
dengan demam dan toksisitas. Leukosit biasanya tidak kurang dari
2.500/μm3
sering ditemukan setelah seminggu atau dua minggu dari penyakit. Ketika

8
terjadi abses piogenik, leukosit dapat mencapai 20.000-25.000/μm3 (Nelson,
2015).
Leukopenia terjadi akibat depresi sumsung tulang oleh endotoksin dan
mediator endogen yang ada (Rosinta et al., 2014). Leukositosis dapat terjadi
walaupun tanpa disertai infeksi sekunder (Setiati et al., 2014), apabila terjadi
abses piogenik maka jumlah leukosit dapat meningkat mencapai 20.000-
25.000/𝜇3 (Soedarmo et al., 2015). Keterlambatan diagnosis merupakan
salah
satu penyebab kegagalan pemutusan rantai penularan serta pencegahan
terjadinya komplikasi karena tidak jarang ditemui kesulitan menegakkan
diagnosis demam tifoid dengan tepat dan cepat hanya atas dasar gejala klinis
saja. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan darah
(Rusmana et al., 2013
1.2 Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dalam pembuatan Makalah ini Yaitu:
1. Untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah Kegawadaruratan
2. Dapat Menggali dan mengidentifiksi Penyakit Tropis dalam Kebidanan
Terkhususnya pada Demam Tifoid.
1.3 Manfaat
1. Menambah pengetahuan tentang Demam Tifoid

9
BAB II

URAIAN MATERI

2.1 Definisi Demam Tifoid


Penyakit demam tifoid (typhoid fever) atau yang biasanya disebut tifus
merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonellatyphi yang
menyerang bagian saluran pencernaan. Selama terjadi infeksi, bakteri tersebut
bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan
dilepaskan ke aliran darah.
Demam tifoid termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-
undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini
merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang
sehingga dapat menimbulkan wabah (Sudoyo, 2010).
Penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan
yang tercemar oleh bakteri yang berasal dari penderita atau pembawa bakteri
dan biasanya keluar bersama-sama dengan tinja. Transmisi juga dapat terjadi
secara transplasenta dari seorang ibu hamil dalam kondisi bakteremia kepada
bayinya (Soedarno et al., 2008).
Demam tifoid mempunyai gejala klinik yang tidak spesifik. Gejala klinik
demam tifoid yang timbul bervariasi, dari ringan sampai dengan berat. Gejala
klinik demam tifoid pada minggu pertama sakit yaitu berupa keluhan demam,
nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, diare, serta
perasaan tidak enak di perut, dan dapat disertai batuk. Manifestasi klinik
demam tifoid pada minggu kedua akan tampak semakin jelas. Demam tifoid
bila tidak ditangani dengan baik, dapat mengakibatkan komplikasi seperti
perdarahan intestinal, perforasi usus, trombositopenia, koagulasi vaskular

10
diseminata, hepatitis tifosa, miokarditis, pankreatitis tifosa, hingga kematian
(Anwar, 2014).
2.2 Etiologi
Etiologi typhoid yaitu disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi,
Salmonella para typhi A, B, dan C. Termasuk Gesus salmonella yang
tergolong dalam family Enterobacteriaceae. Salmonella bersifat bergerak,
berbentuk spora, tidak berkapsul, gram (-), tahan terhadap berbagai bahan
kimia, tahan dalam beberapa hari/minggu pada suhu kamar, bahan limbah,
bahan makanan kering, bahan farmasi dan tinja. Bakteri Salmonella typhi
mati pada suhu 54,4⁰C, dalam 1 jam atau 60⁰C dalam 15 menit.
Bakteri Salmonella typhi mempunyai antigen O (somatik) adalah
komponen
dinding sel dari lipopolisakarida yang stabil pada panas dan antigen H
(flagelum) adalah protein yang labil terhadap panas. Pada Salmonella typhi,
Salmonella dublin, Salmonella hirschfeldii terhadap antigen Vi yaitu
polisakarida kapsul. Penularan Bakteri Salmonella typhi yaitu pasien dengan
typhoid dan pasien dengan carier, carier yaitu seseorang yang sembuh dari
typhoid dan masih terus mengekresi Salmonella typhi dalam tinja dan air
kemih selama lebih dari 1 tahun (Widagdo 2011).
2.3 Patofisiologi
Salmonella typhi yang menginfeksi ke dalam tubuh hospesakan menembus
sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propia. Salmonella typhi berkembang
biak dilamina propia dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh
makrofag. Salmonella typhi dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaquepeyeri ileum distal dan kemudian
ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus
kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke
seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Bakteri

11
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang
mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda
dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam, sakit kepala dan sakit
perut (Sudoyo, 2010).

Gambar . Patogenesis masuknya bakteriSalmonella typhi


Imunitas humoral pada demam tifoid berperan dalam menegakkan
diagnosis berdasarkan kenaikan titer antibodi terhadap antigen
bakteriSalmonella typhi. Imunitas seluler berperan dalam penyembuhan
penyakit, berdasarkan sifat antigen yang hidup intraselluler. Adanya
rangsangan antigen bakteri akan memicu respon imunitas humoral melalui sel
limfosit B, kemudian berdiderensiasi menjadi sel plasma yang akan
mensintesis immunoglobulin (Ig). Antibodi O IgM akan terbentuk pertama
kali setelah tubuh terinfeksi Salmonella typhi. IgM bersifat sementara,
kemudian akan terjadi peningkatan antibodi terhadap flagela H (IgG). IgM
akan muncul pada hari ke 3-4 demam (Marleni, 2012; Rustandi 2010).

Gambar 3. Respons antibodi terhadap infeksiSalmonella


typhi.

12
(Sumber: Marleni, 2012; Rustandi, 2010)

2.4 Klasifikasi
Masa tunas demam tifoid berlangsung 10 sampai 14 hari. Gejala-gejala
amat bervariasi. Perbedaan ini tidak saja antara berbagai bagian dunia,
tetapi juga daerah yang sama dari waktu ke waktu. Selain itu, gambaran
penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai
gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian. Hal ini
menyebabkan bahwa seorang ahli yang sudah sangat berpengalaman pun
dapat mengalami kesulitan untuk membuat diagnosis klinis demam tifoid
(Juwono, 2004).
Dalam minggu pertama penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan
penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak
di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu
badan meningkat. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas
berupa demam, bradikardi relatif, lidah yang khas (kotor di tengah, tepi dan
ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus,
gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis,
roseolae jarang di temukan pada orang Indonesia (Juwono, 2004).
Menurut WHO (2003), ada 3 macam klasifikasi demam tifoid
dengan perbedaan gejala klinis:
a. Demam tifoid akut non komplikasi
Demam tifoid akut dikarakterisasi dengan adanya demam berkepanjangan
abnormalis fungsi bowel (konstipasi pada pasien dewasa, dan diare pada
anak-anak), sakit kepala, malaise, dan anoksia. Bentuk bronchitis biasa
terjadi pada fase awal penyakit selama periode demam, sampai 25%
penyakit menunjukkan adanya resespot pada dada, abdomen dan
punggung.
b. Demam tifoid dengan komplikasi

13
Pada demam tifoid akut keadaan mungkin dapat berkembang menjadi
komplikasi parah. Bergantung pada kualitas pengobatan dan keadaan
kliniknya, hingga 10% pasien dapat mengalami komplikasi, mulai dari
melena, perforasi, susu dan peningkatan ketidaknyamanan abdomen.

c. Keadaan karier
Keadaan karier tifoid terjadi pada 1-5% pasien, tergantung umur pasien.
Karier tifoid bersifat kronis dalam hal sekresi Salmenella typhi di feses
(WHO, 2003)
2.5 Identifikasi
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau
Salmonellaparatyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang,
gram negatif,tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai
flagela (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai
beberapa minggu di alambebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu.
Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 600C) selama 15 – 20
menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi (Rahayu, 2013).
Pemeriksaan Salmonella typhi menggunakan uji widal memiliki beberapa
komponen antigen sebagai parameter penilaian hasil uji widal, antigen
tersebut meliputi antigen O (dinding sel)merupakan antigen somatik yang
terletak pada lapisan luar dari tubuh bakteri. Bagian ini mempunyai struktur
kimia lipopolisakarida(LPS) atau disebut juga endotoksin. Lipopolisakarida
dari antigenOterdiri dari 3 komponen yaitu lipid A yang melekat pada dinding
sel, oligosakarida inti melekat pada lipid A, antigen O (Polisakarida O)
mengandung antigen O spesifikatau antigen dinding sel (Saraswati, 2010).
Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh bakteri.
Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen initahan terhadap
pemanasan 100°C selama 2–5 jam pada alkohol danasam yang diencerkan.
Dengan serum yang mengandung anti O,antigen ini mengadakan aglutinasi
dengan lambat membentuk gumpalan berpasir (Saraswati, 2010).
Antigen H (Antigen Flagella) merupakan antigen yang terletak di flagela,
fimbriae ataufili Salmonella typhi dan berasal dari protein. Salmonella

14
typhimempunyai antigen H phase-1 tunggal yang juga dimiliki
beberapaSalmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas suhu
60°C dan pada pemberian alkohol atau asam, antigen H tahan terhadap panas
dan alkohol (Wain, 2015).
Antigen Vi (Virulen) ini terdapat pada kapsul K pada bagian pinggir dari
bakteri Salmonella typhi. Strain yang baru diisolasi dengan anti sera yang
mengandung aglutinin anti O dan antigen Vi dirusak olehpemanasan selama
satu jam pada 60ºC dan oleh asam fenol. Biakanyang mempunyai antigen
Vi cenderung lebih virulen. Antibodi terhadap antigen O, H dan Vi lazim
disebut aglutinin. Antibodi Viyang terbentuk menunjukkan individu yang
terinfeksi merupakan pembawa bakteri. Antigen Vi dapat menghambatproses
aglutinasi, melindungi bakteri dari proses fagositosis, danberhubungan
dengan daya invasif bakteri dan efektifitas vaksin(Gupte, 1990).
Aglutinin (O, H, Vi), hanya aglutinin O dan Hyang ditentukan titernya
untuk diagnosis, semakin tinggi titer aglutininO dan H maka semakin besar
pula kemungkinan diagnosisdemam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer
aglutinin akanmeningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang
waktupaling sedikit lima hari.
Salmonella secara serologi dibagi menjadi beberapa kelompok, yaituA, B,
C, dan D. Pembagian ini didasarkan pada perbedaan antigen O
dariSalmonella. Genus Salmonella terdiri dari sekitar 1200 serotipe
yangdidasarkan pada perbedaan dalam antigen H, tetapi tidak semuanya

patogen untuk manusia.

15
Gambar GambarbakteriSalmonella typhi

2.6 Komplikasi
Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ tubuh dapat
diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi
yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu (Setiati et al., 2015):
a. Komplikasi intestinal : Perdarahan, perforasi, ileus paralitik, dan
pankreatitis
b. Komplikasi ekstra-intestinal
1) Komplikasi kardiovaskular : gagal sirkulasi perifer, miokarditis,
tromboflebitis.
2) Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koagulasi
intravaskuler diseminata (KID), trombosis.
3) Komplikasi paru : pneumonia, empiema, pleuritis.
4) Komplikasi hepatobilier : hepatitis, kolesistitis.
5) Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis.
6) Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondylitis, artritis.
7) Komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik.
2.7 Pencegahan
1. Menjaga kebersihan
Salah satu upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk
mencegah penyakit ini adalah mencuci tangan dengan rutin sebelum dan
sesudah makan, setelah melakukan kegiatan dan saat melakukan
penyajian makanan/memasak. Bersihkan tangan dengan sabun dan air
mengalir. Dalam keadaan darurat, tangan dapat dibersihkan dengan hand
sanitizer yang mengandung setidaknya 70% alkohol. Selain itu, menjaga
kebersihan diri terutama setelah bepergian ke luar rumah apalagi pasar.
Usahakan untuk tidak menyentuh mata, hidung, dan mulut dengan tangan
yang kotor. Pastikan juga untuk mencuci kaki setiap habis keluar rumah.

16
2. Hindari kontak dengan orang sakit
Bakteri sangat mudah menyebar dari satu orang ke orang lainnya.
Untuk itu, hindari kontak terlalu dekat dengan orang yang sedang sakit.
Berciuman dan menggunakan peralatan makan atau mandi yang sama
dengan orang sakit dapat meningkatkan risiko penularan penyakit.
3. Vaksin tifoid
Salah satu cara untuk mencegah penyakit tipes adalah dengan
vaksin tifoid. Vaksin ini dapat dilakukan jika memang diperlukan jika
rentan atau berisiko tinggi tertular penyakit ini dengan terlebih dahulu
mengkonsultasikan dengan dokter .
4. Mengonsumsi makanan dan minuman yang terjamin kebersihannya
Makanan dan minuman menjadi salah satu media penularan yang
paling sering untuk tipes. Maka dari itu, usahakan untuk selalu makan dan
minum yang telah terjaga kebersihannya. Makan makanan yang dimasak
dan disajikan panas jauh lebih baik dibandingkan dengan makanan
mentah atau setengah matang.
5. Tidak menyiapkan/menyajikan makanan ketika masih sakit
Usahakan untuk tidak memasak atau menyiapkan makanan sampai
dokter menyatakan bahwa bakterinya tak akan lagi menular. Agar tidak
menularkan / menginfeksi penyakit tipes kepada orang lain.
2.8 Penanganan Awal dan Lanjutan
2.8.1 Penatalaksanaan Awal pada pasien typhoid yaitu :
a. Non Farmakologi
1) Bed rest
2) Diet : pemberian bubur halus kemudian bubur kasar dan
selanjutnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Diet
berupa makanan yang rendah serat.
b. Farmakologi
1) Kloramfenikol, dosis 50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3-4 kali
pemberian, oral atau IV selama 14 hari.
2) Bila ada kontraindikasi kloramfenikol diberikan ampisilin
dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali.

17
Pemberian, oral/intravena selama 21 hari kontrimoksasol,
dengan dosis (tpm) 8 mg/kgBB/hari terbagi dalam 2-3
pemberian, oral, selama 14 hari.
3) Pada kasus berat dapat diberikan seftriakson dengan dosis 50
mg/kgBB/hari dan diberikan 2 kali sehari 80 mg/kgBB/hari,
sekali sehari, melalui intravena selama 5-7 hari.
4) Pada pasien yang diduga mengalami MRD, maka pilihan
antibiotika adalah meropenem, azithromisin, dan
fluoroquinolon.
2.8.2 Penatalaksanaan Lanjutan dengan Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Sodikin, 2011), pemeriksaan penunjang pada pasien
typhoid adalah:
a. Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap
b. Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar
leukosit normal. Leukosit dapat terjadi walaupun tanpa dosertai
infeksi sekunder.
c. Pemeriksaan SGOPT dan SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal
setelah sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak dapat
memerlukan penanganan khusus.
d. Pemeriksaan Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap
bakteri Salmonella tpyhi. Uji widal dilakukan untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum pasien typhoid. Akibat adanya
infeksi
oleh Salmonella typhi maka pasien membuat antibodi (aglutinin).
1) Kultur
a) Kultur darah : bisa positif pada minggu pertama
b) Kultur urin : bisa positif pada akhir kedua
c) Kultur feses : bisa positif pada minggu kedua hingga
minggu
ketiga

18
2) Anti Salmonella typhi IgM
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi secara dini
infeksi akut Salmonella typhi, karena antibodi IgM muncul
pada hari ke-3 dan ke-4 terjadinya demam.

2.9 Pathway

19
BAB III

TINJAUAN KASUS

3.1 Skenario Kasus


Faktor Presipitasi dari demam typhoid adalah disebebkan oleh makanan yang
tercemar oleh salmonella typhoid dan salmonella paratyphoid A, B dan C

20
yang ditularkan melalui makanan, jari tangan, lalat dan feses, serta muntah
diperberat bila klien makan tidak teratur.

Faktor Presposisinya adalah minum air mentah, makan – makanan yang tidak
bersih dan pedas, tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah makan dari WC
dan menyiapkan makanan.

3.2 Pengkajian Data Subjektif


Tanggal Masuk : 20-10-2022 Jam Masuk : 08.00 Wita
Tanggal Pengkajian : 20-10-2022 Jam Pengkajian : 09.00 Wita
No. CM : 02xxxx Bangsal : Mawar
Diagnosa Masuk : Demam Typhoid

1. Identitas Pasien
Nama : Ny. A Nama : Tn. A
Umur : 32 Thn Umur : 39 Thn
Jenis Kelamin : Perempuan Jenis Kelamin : Laki – Laki
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SD Pendidikan : SD
Alamat : Banjarmasin

2. Keluhan Utama
Demam dan Lemas 4 hari yang lalu

3. Riwayat Keluhan Saat Ini


Demam dan Lemas 4 hari yang lalu, lemas semakin memberat sejak pagi
hari. Demam tidak terlalu tinggi, suhu meningkat terutama saat sore dan
malam hari, tidak ada menggigil dan berkeringat banyak.

Pasien juga mengeluhkan mual, tidak nafsu makan, namun tidak


mengalami muntah. Pasien belum mengkonsumsi obat-obatan karena takut
berpengaruh terhadap kehamilannya.

4. Riwayat Kesehatan Masa Lalu


Pasien sedang hamil 12 minggu. Saat ini kehamilan kedua, sudah
melahirkan satu orang anak dan tidak pernah keguguran (G2P1A0). Pada
kehamilan sebelumnya, pasien tidak pernah mengalami keluhan yang
sama.

21
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga dan tinggal bersama
suaminya yang berusia 39 tahun. Suami bekerja sebagai buruh tani,
penghasilan didapatkan setiap kali panen yaitu setahun sekali. Suami
pasien merupakan perokok aktif, kurang lebih dua bungkus sehari dan
sering merokok di rumah.

3.3 Pengkajian Data Objektif


Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan
a. keadaaan umum pasien tampak sakit sedang
b. suhu 37,80C
c. Tekanan darah 90/60 mmHg
d. frekuensi nadi 76x/menit
e. frekuensi nafas 20x/menit
f. berat badan 55 kg
g. tinggi badan 160 cm
h. IMT 21.48
i. Status generalis pasien kesan dalam batas normal.

Pada pemeriksaan abdomen terdapat nyeri epigastrium. Berdasarkan


pemeriksaan obstetri diperoleh pada pemeriksaan luar tinggi fundus uteri 2
jari atas simfisis pubis, dan terdapat ballotement.

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil darah rutin yaitu leukosit


11.400 / uL dan hitung jenis: 0-0-0-65-29-6, serta pemeriksaan uji Widal
diperoleh hasil typhi O 1/640, typhi H 1/320, paratyphi O 1/160, dan
paratyphi H 1/80.

3.4 Assasmen
Pasien ditatalaksana dengan medikamentosan dan nonmedikamentosa.
Adapun tatalaksana nonmedikamentosa adalah:
1) Memberikan penjelasan mengenai penyakit pasien dan komplikasinya.
2) Konseling pasien untuk tirah baring sementara waktu
3) Konseling diet selama sakit, yaitu diet lunak rendah serat
4) Memberikan penjelasan mengenai pengaruh penyakit dengan
kehamilannya, dan keamanan penggunaan obat-obatan yang diberikan dari
Puskesmas
5) Mengingatkan agar selalu mengontrolkan kesehatan diri dan kehamilannya
minimal satu kali dalalam trimester I, satu kali dalam trimester II, dan dua
kali dalam trimester III.
6) Konseling kepada keluarga pasien tentang pentingnya memberi dukungan
pada pasien terkait penyakit dan kehamilannya

22
7) Konseling pasien untuk menjaga hieginitas dan sanitasi terutama di
lingkungan rumah.

3.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medikamentosa dilakukan dengan perawatan pasien di rawat
inap Puskesmas Gedong Tataan selama tiga hari dengan terapi:
1. IVFD RL XX gtt
2. Ceftriaxon inj 1 mg/ 12 jam
3. Ranitidin inj 1 amp/12 jam
4. Paracetamol tab 3 x 500 mg
5. Vitamin B complex 1 x 1 tab

Pasien pulang dengan terapi antibiotik peroral amoksisilin kapsul 3 x 500 mg,
ranitidin tab 3 x 150 mg, dan vitamin B complex tablet 1 x 1. Pasien diminta
kontrol ulang tujuh hari kemudian.

Peran dokter keluarga pada penatalaksanaan demam tifoid pada wanita hamil
adalah untuk mengubah perilaku hiegienitas dan sanitasi diri dan lingkungan
baik pasien ataupun keluarga pasien sebagai upaya pencegahan penularan dan
kejadian berulang. Dokter keluarga melakukan intervensi kepada pasien
mengenai pengenalan penyakit demam tifoid serta perilaku hidup bersih dan
sehat dengan cara kunjungan rumah sebanyak tiga kali.

BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

23
Masalah kesehatan yang dibahas pada kasus ini adalah seorang wanita hamil
berusia 32 tahun yang terdiagnosa dengan demam tifoid.

1. Kunjungan Pertama
Hasil yang diperoleh dari kunjungan pertama, sesuai konsep mandala of health,
yaitu pasien memiliki pengetahuan yang kurang tentang penyakit-penyakitnya.
Pada lingkungan psikososial, pasien tidak sulit menjangkau pusat pelayanan
kesehatan karena memiliki kendaraan dan jarak tempuh cukup dekat. Di
lingkungan rumah, pasien rutin mengikuti pengajian desa yang diadakan satu
minggu sekali. Gaya hidup, kesadaran dalam perilaku kebersihan pasien dan
sanitasi lingkungan rumah masih kurang, terutama dalam mengolah dan
menyajikan makanan dan minuman. Pekerjaan pasien sebagai ibu rumah
tangga.

Penegakan diagnosis klinik demam tifoid, ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis
diketahui keluhan demam empat hari dan terdapat gejala sistem pencernaan
yaitu mual serta tidak nafsu makan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu
37,8 C dan bradikardi relatif. Gejala klinis dalam menegakkan diagnosis
demam tifoid adalah demam lebih dari tujuh hari, terdapat gangguan sistem
pencernaan, dengan atau tanpa gangguan kesadaran.

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan bahwa terdapat penurunan Hb 11,8


mg/dl, peningkatan leukosit 11.400 / uL, hitung jenis: 0-0-0-65-29-6, serta hasil
uji Widal positif yaitu: typhi O 1/640, thyphi H 1/320, paratyphi O 1/160,
paratyphi H 1/80. Interpretasi hasil uji widal adalah: (1) titer O yang tinggi atau
meningkat (≥ 1/160) menandakan adanya infeksi aktif, (2) titer H yang tinggi
(≥ 1/160) menunjukkan adanya riwayat imusisasi atau infeksi di masa lampau,
(3) terdapat peningkatan titer 4 kali lipat pada pemeriksaan kedua dapat
didiagnosis dengan demam tifoid.

24
2. Kunjungan Kedua
Kunjungan kedua yaitu melakukan intervensi terhadap pasien dengan
menggunakan media poster bergambar tentang demam tifoid, dan
pencegahannya berupa sepuluh perilaku hidup bersih dan sehat di rumah
tangga. Keluarga juga turut mendampingi dan mendengarkan apa yang
disampaikan pada pasien saat intervensi dilakukan. Intervensi bertujuan untuk
mengubah pola hidup pasien dan keluarga yang kurang memperhatikan
hiegiene dan sanitasi lingkungan rumah agar dapat terhindar dari infeksi
mikroorganisme.

Demam tifoid adalah infeksi saluran cerna oleh bakteri Salmonella typhi.
Faktor resiko terinfeksinya bakteri ini adalah faktor pejamu, agen, dan
lingkungan. Faktor pejamu yaitu penularan Salmonella typhi sebagian besar
melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari
penderita atau karier yang biasanya keluar bersama tinja atau urin. Kebiasaan
jajan mempunyai resiko lebih tinggi terkena penyakit demam tifoid
dibandingkan dengan kebiasaan tidak jajan, serta kebiasaan tidak mencuci
tangan sebelum makan lebih beresiko terkena penyakit demam tifoid.

Faktor agen, bahwa demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi.
Jumlah kuman yang dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105-109
kuman yang tertelan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
sehingga semakin banyak jumlah kuman yang masuk maka masa inkubasi akan
semakin pendek dan pejamu akan lebih cepat sakit dan menimbulkan gejala.

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang banyak dijumpai di daerah


tropis, terutama daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan
standar higiene dan sanitasi yang rendah. Berikut merupakan faktor lingkungan
yang mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi,
kepadatan penduduk, sumber air minum dan standard higiene industri
pengolahan makanan yang rendah.

25
Tujuan penatalaksanaan wanita hamil dengan demam tifoid adalah
menyembuhkan penyakit tanpa komplikasi baik bagi ibu ataupun bagi janin,
serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya kebesihan agar tidak terinfeksi
kembali. Penatalaksanaan demam tifoid terdiri dari terapi nonmedikamentosa
(edukasi, tirah baring, diet rendah serat, perilaku hidup bersih dan sehat), dan
terapi medikamentosa. Terapi farmakologis untuk demam tifoid adalah terapi
antibiotik, glukokotikosteroid, dan simptomatis. Tidak semua pasien demam
tifoid perlu dirawat di pelayanan kesehatan.

Indikasi dilakukan rawat inap adalah demam tifoid dengan kedaruratan, demam
tifoid dengan komplikasi, demam tifoid klinis, demam tifoid dengan konfirmasi
(telah ada hasil biakan). Pada pasien ini, dilakukan rawat inap atas indikasi
kedaruratan yaitu pasien tidak dapat mengonsumsi peroral akibat rasa mualnya,
serta klinis yang khas demam tifoid.

Antibiotik lini pertama untuk demam tifoid adalah kloramfenikol, ampisilin


atau amoksisilin (aman untuk penderita yang sedang hamil), atau
trimetroprimsulfametoxazole (kotrimoksazol). Bila pemberian salah satu
antibiotik lini pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti dengan antibiotik lain
atau dipilih antibiotik lini kedua yaitu ceftriaxone, cefotaxime (diberikan untuk
dewasa dan anak), kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak < 18 tahun karena
dinilai mengganggu pertumbuhan tulang).

Menurut Harrison, pilihan antibiotik untuk demam tifoid adalah lini pertama
ciprofloxasin 500 mg per oral dua kali sehari selama sepuluh hari, ceftriaxon 1-
2 gr IV/IM selama 10-14 hari. Lini alternatif yaitu azitromicin 1 gr peroral
sekali sehari selama 5 hari dan ciprofloxasin 10 mg/kg peroral 2 kali sehari
selama sepuluh hari.

26
Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena
menyebabkan partus prematur, kematian fetus intrauterin, dan grey syndrome
pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena
memiliki efek teratogenik. Antibiotik yang dianjurkan adalah ampisilin,
amoksisilin, dan ceftriakson.

Sehingga pada kasus ini, dipilih ceftriakson sebagai obat injeksi dan
amoksisilin sebagai obat peroral saat rawat jalan.

Ceftriakson merupakan antibiotik spektrum luas, antibiotik ini memiliki efek


terhadap kuman gram positif maupun negatif, termasuk Salmonella typhi.
Ceftriakson dapat diberikan dengan dosis dewasa 2- 4gr/hari selama 3 -5 hari,
dan pada anak 80 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 5 hari secara intravena.
Obat ini cepat menurunkan suhu, lama pemberian tunggal dan dapat dosis
tunggal serta cukup aman untuk anak.

Menurut Food and Drug Administration (FDA), berdasarkan indeks keamanan


obat pada kehamilan, ceftriakson dan amoksisilin termasuk kategori B, yaitu
pada studi reproduksi hewan tidak dapat menunjukan resiko pada fetus, pada
studi kontrol wanita hamil/studi reproduksi hewan tidak menunjukan efek
samping (selain dari penurunan fertilitas) yang tidak dikonfimasikan pada studi
control wanita hamil pada trimester pertama (tidak ada bukti pada trimester
berikutnya). Sehingga, dengan mempertimbangkan efek baik dan buruknya,
maka antibiotik ini dapat diberikan pada pasien.

Adapun terapi non-farmakologis yang harus dilakukan pada pasien demam


tifoid adalah tirah baring untuk mencegah komplikasi perforasi usus atau
perdarahan usus. Tirah baring dilakukan sampai minimal 7 hari bebas demam
atau kurang lebih sampai 14 hari. Mobilisasi harus dilakukan secara bertahap
sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.

27
Jenis makanan yang harus dijaga adalah diet lunak rendah serat karena pada
demam tifoid terjadi gangguan pada sistem pencernaan. Makanan haruslah
cukup cairan, kalori, protein, dan vitamin. Makanan rendah serat bertujuan
untuk memberikan makanan sesuai kebutuhan gizi yang sedikit mungkin
meninggalkan sisa sehingga dapat membatasi volume feses dan tidak
merangsang saluran cerna. Pemberian bubur saring, juga ditujukan untuk
menghindari terjadinya komplikasi pedarahan saluran cerna atau perforasi usus.
Asupan serat maksimal 8 gram/hari, menghindari susu, daging berserat kasar,
lemak, terlalu manis, asam, berbumbu tajam. Makanan juga sering diberikan
dalam porsi kecil.

Upaya pencegahan demam tifoid dilakukan dengan menerapkan pola hidup


bersih dan sehat, serta pemberian vaksin tifoid. Namun vaksin tidak dapat
dilakukan pada wanita hamil karena kontraindikasi, selain itu juga masih sulit
dijangkau baik dari segi harga maupun ketersediaan di Indonesia. 9 Sehingga
hal yang paling dapat dilakukan pada pasien wanita hamil dengan demam tifoid
adalah perubahan perilaku hidup yaitu hidup bersih dan sehat.

Terdapat sepuluh perilaku hidup bersih dan sehat di rumah tangga menurut
Depkes RI, dan perilaku yang berhubungan dengan kasus ini adalah:
a. Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, adalah persalinan yang
ditolong oleh tenaga kesehatan seperti bidan, dokter, dan tenaga para medis
lainnya.
b. Cuci tangan dengan sabun. Air yang tidak bersih banyak mengandung
kuman dan bakteri penyebab penyakit.
c. Tersedia air bersih. Air bersih secara fisik dapat dibedakan melalui indera
kita, antara lain:
Air tidak berwarna, harus bening/jernih.
Air tidak keruh, harus bebas dari pasir, debu, lumpur, sampah, busa dan
kotoran lainnya.
Air tidak berasa, tidak berasa asin, tidak berasa asam, tidak payau, dan
tidak pahit, harus bebas dari bahan kimia beracun.

28
Air tidak berbau seperti bau amis, anyir, busuk atau bau belerang.
d. Tersedia jamban. Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas
pembuangan kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat
duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang
dilengkap dengan unit penampungan kotoran dan air untuk
membersihkannya.
e. Makanlah dengan gizi seimbang. Setiap anggota rumah tangga
mengkonsumsi minimal 3 porsi buah dan 2 porsi sayuran atau sebaliknya
setiap hari.
f. Aktivitas fisik setiap hari, adalah anggota keluarga melakukan aktivitas
fisik 30 menit setiap hari agar tetap sehat dan bugar sepanjang hari.
g. Tidak merokok. Rokok ibarat pabrik bahan kimia. Dalam satu batang rokok
yang diisap akan dikeluarkan sekitar 4.000 bahan kimia berbahaya, di
antaranya yang paling berbahaya adalah Nikotin, Tar, dan Carbon
Monoksida (CO).

3. Kunjungan Ketiga
Kunjungan ketiga dilakukan anamnesis lanjut dan didapatkan kondisi pasien
membaik, tidak ada keluhan demam, mual sudah berkurang dan ada
peningkatan nafsu makan dari sebelumnya. Pengukuran tekanan darah pasien
didapatkan 110/70 mmHg, pasien memahami bahwa perlu untuk berisitirahat
di rumah dan mengurangi kegiatan yang berat terlebih dahulu. Pasien juga
sudah memahami bahwa penyakit demam tifoid sangat dipengaruhi oleh
higienitas dan sanitasi diri dan lingkungan.

Pola hidup bersih dan sehat juga beberapa sudah diterapkan oleh pasien.
Pasien sudah menerapkan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan. Hal
ini diketahui dari riwayat persalinan anak pertamanya, yaitu di bidan. Anak
pasien juga diberikan ASI eksklusif hingga 6 bulan dan dilanjutkan hingga
usia 2 tahun. Setiap bulan anak dibawa ke puskesmas untuk ditimbang dan
dicatat perkembangannya.

29
Pasien selalu mencuci tangan tanpa sabun sebelum dan setelah makan,
sebelum masak, dan jika tangannya terasa kotor. Setelah dilakukan intervensi,
bahwa banyak kuman bersumber dari tangan, pasien dan keluarganya mulai
mencuci tangan menggunakan sabun.

Sumber air di rumah pasien adalah dari PAM, air tersebut jernih, bersih, dan
tidak berbau. Setiap masak selalu menggunakan air untuk mencuci bahan
makanan dan sayuran.

Setelah dilakukan intervensi, terlihat bahwa pasien cukup memahami pola


hidup bersih dan sehat. Pada beberapa hal, pasien mulai memperbaiki sikap
dalam melaksanakan pola hidup bersih dan sehat, namun suami pasien masih
belum dapat menghindari merokok di dalam rumah, ataupun mengurangi
jumlah rokok yang dikonsumsi.

30
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Penyakit demam tifoid (typhoid fever) atau yang biasanya disebut tifus
merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonellatyphi yang
menyerang bagian saluran pencernaan. Selama terjadi infeksi, bakteri tersebut
bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan
dilepaskan ke aliran darah. Penularan Salmonella typhi sebagian besar
melalui minuman/makanan yang tercemar oleh bakteri yang berasal dari
penderita atau pembawa bakteri dan biasanya keluar bersama-sama dengan
tinja.
Masa tunas demam tifoid berlangsung 10 sampai 14 hari, Salah satu upaya
pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit ini adalah
menjaga kebersihan, mengonsumsi makanan dan minuman yang terjamin
kebersihannya

5.2 Saran
1. Bagi Mahasiswa
Mampu menerapkan teori yang didapat selama perkuliahan Ilmu Penyakit
Tropis dan mengaplikasikannya di lapangan.
2. Bagi Pendidikan
Sebagai tambahan materi , dapat meningkatkan mutu pendidikan dimasa
yang akan datang.
3. Bagi Puskesmas
Mampu mengajak masyarakat agar dapat menerapkan hidup bersih dan
sehat.

31
EVALUASI

Kasus 1
Ny B umur 34 Tahun datang ke Puskesmas mengeluh demam, pusing, mual dan
tidak berselera makan, dan mengatakan salah satu keluarganya ada yang
mengalami penyakit tifoid dan beberapa minggu kemudin ny B terkena penyakit
yang sama dengan salah satu keluarganya itu.
Berdasarkan kasus diatas penyakit tifoid dapat menular melalui ?
j. Oral – Kotoran
k. Udara
l. Sentuhan
m. Keringat

32
DAFTAR PUSTAKA

Akmal, M. Dkk. (2010). Ensiklopedia kesehatan untuk umum.


Jogjakarta: Ar-ruzz Media.

Apriyadi dan Sarwili. (2018). Perilaku Higiene Perseorangan


dengan Kejadian Demam Tyfoid. Jurnal Ilmiah Ilmu
Keperawatan Indonesia Vol. 8 No. 1.

Bahar, dkk. (2015). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan


Kesembuhan Paien Penderita Demam Typoid Di Ruang
Perawatan Interna RSUD Kota Makassar. Jurnal Ilmiah
Kesehatan Diagnosis Volume 5 Nomor 6.

Cahyaningsih, Sulistyo Dwi. (2011). Pertumbuhan


Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta : Tim.

Depkes RI. (2013). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013.


http:www.depkes.go.id/Downloads/profil-kesehatan-
indonesia-2013.pdf. Tanggal 17 Desember 2018.

Hidayat, Alimul Aziz A. (2009). Pengantar Ilmu Keperawatan


Anak. Jakarta: Salemba Medika.

Hutahaean Serri. (2010). Konsep dan Dokumentasi Proses


Keperawatan. Jakarta:
Tim.

Kallo, dkk. (2015). Hubungan Personal Hygiene Dengan


Kejadian Demam Typoid Di Wilayah Kerja Puskesmas
Tumaratas ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3.
Nomor 2.

Lestari Titik. (2016). Asuhan Keperawatan Anak. Yogjakarta:


Nuha Medika.

33
Mutiarasari dan Handayani. (2017). Karakteristik Usia, Jenis
Kelamin, Tingkat Demam, Kadar Hemoglobin, Leukosit
dan Trombosit Penderita Demam tipoid Pada Pasien
Anak Di RSU Anutapura Tahun 2013. Jurnal Ilmiah
Kedokteran, Vol. 4 No. 2.

Nurarif dan Kusuma. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis


Berdasarkan Penerapan Diagnosa Nanda Nic Noc Dalam
Berbagai Kasus Ed. Revisi Jilid 1. Yogjakarta:
Mediaction.

Nursalam, dkk. (2008). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak


(untuk perawat dan
bidan). Jakarta: Salemba Medika.

Pramitasari, Okky P. 2013. “Faktor Risiko Kejadian Penyakit


Demam Tifoid Pada Penderita Yang Dirawat Di Rumah
Sakit Umum Daerah Ungaran:. Jurnal
Kesehatan Masyarakat 2013. Volume 2, Nomor 1.

34

Anda mungkin juga menyukai