Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH KELOMPOK KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

“TYPOID”

Dosen Mata Ajar: Brigita Ayu, S.Kep.,Ns.,M.Kep

DISUSUN OLEH:

1. Audee Calida Batividinta 3120203657

2. Dannisa Eka Nur Pratiwi 3120203659

3. Irvan Aji Firmansyah 3120203668

4. Mustofa Saeul Anwar 3120203673

5. Nori Widya Ningrum 3120203674

6. Septiana Erinawati 3120203679

7. Anis Nur Sa'adah 3120203697

8. Juniar Ekaningrum 3120203700

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NOTOKUSUMO YOGYAKARTA TAHUN


AJARAN 2021/2022

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.........................................................................................................................................2
BAB I.....................................................................................................................................................3
LATAR BELAKANG...........................................................................................................................3
BAB II....................................................................................................................................................6
ISI...........................................................................................................................................................6
A. PENEGERTIAN..........................................................................................................................6
B. PENYEBAB DAN FAKTOR RISIKO........................................................................................6
C. TANDA DAN GEJALA...............................................................................................................7
D. PATOFISIOLOGI.......................................................................................................................7
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK DAN PENUNJANG............................................................8
F. CARA PENULARAN...................................................................................................................8
G. PENANGANAN DI RS................................................................................................................9
H. KOMPLIKASI.............................................................................................................................9
I. ASKEP TYPOID.........................................................................................................................10
J. KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI TYPOID...........................................................18
BAB III................................................................................................................................................23
PENUTUP...........................................................................................................................................23
A. KESIMPULAN........................................................................................................................23
B. SARAN.....................................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................25

2
BAB I

LATAR BELAKANG

Demam thypoid (enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai
saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada
pencernaan, dan gangguan kesadaran. Demam typoid merupakan penyakit infeksi akut pada
usus halus dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran
pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Titik Lestari, 2016). Namun masih
banyak pasien yang tidak patuh dalam menjalankan diet typhoid disebabkan karena rendahnya
pengetahuan pasien tentang diet penyakit typhoid yang bisa berdampak pada sajian menu
makanan tidak berdasarkan pada aturan diet yang telah ditetapkan. Kebanyakan penderita
typhoid beranggapan bahwa diet typhoid hanya tentang makanan yang lunak saja, akibatnya
jika diet tersebut dilanggar maka masa penyembuhan akan semakin lama (S Rokayah, 2014).

Berdasarkan WHO terbaru, penyakit menular ini masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat dengan jumlah antara 11 dan 21 juta kasus dan 128.000 hingga 161.000 kematian
terkait tipus terjadi setiap tahun di seluruh dunia. Penyakit serupa tetapi sering kurang parah,
demam paratipoid, disebabkan oleh Salmonella paratyphi A dan B (atau Paratyphi C yang
tidak biasa). Dapat diperkirakan 70% kematian akibat typhoid abdominalis terjadi di Asia.
Jika tidak segera diobati, 10-20% penderita tersebut dapat berakibat fatal. Sekitar 2% dari
penderita menjadi carrier/pembawa (Jurnal Kesehatan, 2018). Diperkirakan 17 juta kasus
demam tifoid dan paratifoid, penyakit terjadi secara global pada tahun 2015, sebagian besar di
Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika sub-Sahara, dengan beban dan insiden terbesar
terjadi di Asia Selatan. Jika tidak diobati, baik demam tifoid dan paratifoid menyebabkan
kefatalan, dengan 178.000 kematian diperkirakan di seluruh dunia pada 2015 (Radhakrishnan
et al, 2018). Penderita demam tifoid di Indonesia mencapai 81% per 100.000.

Demam typoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
salmonella typhi. Faktor pencentus lainnya adalah lingkungan, sistem imun yang rendah,
feses, urin, makanan/minuman yang terkontaminasi, dan formintus (Titik Lestari, 2016).
Demam thypoid pada anak biasanya lebih ringan daripada orang dewasa. Masa tunas 10-20
hari, yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan jika melalui
minuman yang terlama 30 hari. Selama inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal,
perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat, kemudian
menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan yaitu, demam, gangguan pada saluran
pencernaan, gangguan kesadaran, danrelaps (Titik Lestari, 2016). Komplikasi yang muncul
3
pada demam tifoid yaitu a) Komplikasi intestinal: perdarahan usus, perporasi usus, dan ilius
paralitik, b) Komplikasi exstra intestinal terdiri dari : 1) Komplikasi kardiovaskuler yaitu
kegagalan sirkulasi, miokarditis, trombosis, tromboplebitis, 2) Komplikasi darah yaitu anemia
hemolitik, trombositopenia, sydroma uremia hemolitik, 3) Komplikasi paru yaitu pneumonia,
empiema, 4) Komplikasi pada hepar dan kandung empedu yaitu hepatitis dan kolesistitis, 5)
Komplikasi ginjal yaitu glomerulus nefritis, pyelonepritis, perinepritis, 6) Komplikasi pada
tulang yaitu osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis, arthritis, 7) Komplikasi neuropsikiatrik
yaitu delerium, meningiusmus, meningitis, polineuritis perifer, sindroma guillain bare, dan
katatonia (Titik Lestari, 2016).

Melihat kompleksnya masalah yang timbul dari penderita typhoid ini membutuhkan
peran perawat dalam penanggulangan demam typhoid di rumah sakit. Hal ini di tinjau dari
aspek promotif yaitu, dengan memberikan penyuluhan kesehatan tentang demam typhoid,
kebiasaan-kebiasaan lain yang mesti dilakukan untuk menghindari penularan demam tifoid
adalah mencuci bahan makanan yang akan dimasak dengan baik, membiasakan mencuci
tangan sebelum masak, sebelum makan, atau sebelum menyuapi anak. Aspek preventif,
melakukan pencegahan sejak dini sangat penting dilakukan caranya ialah dengan suntikan
imunisasi tipa (imunisasi untuk mencegah penyakit tifus dan para tifus) yang masih banyak
dipakai hingga sekarang, yang dapat memberikan kekebalan secara aktif selama kurang lebih
3 bulan. Aspek kuratif,pemberian obat-obatan mutlak dilakukan bagi anak yang terinfeksi
demam tifoid, baik dengan cara diminum atau disuntikkan, semuanya tergantung pada kondisi
penyakitnya. Sebab, jika proses penanganan terlambat dan telah terjadi komplikasi, maka
perawatan yang dilakukan harus yang lebih lama, cermat, dan intensif. Aspek rehabilitatif
yaitu, menghindari penyebaran dan penularan demam tifoid, orang tua harus menjaga
kesehatan anak dan lingkungan melalui kebiasaan sehari-hari yang baik. Misalnya,
mengurangi kebiasaan jajan sembarangan. Selain itu, orang tua juga mesti membiasakan
memasak air minum hingga mendidih selama 10-15 menit. Sebab, kuman Salmonella thypi
hanya bisa mati jika dipanaskan pada suhu di atas 50°C selama 15 menit. Orang tua juga harus
memperhatikan bahwa kuman ini mampu bertahan selama beberapa minggu di dalam es (Puri
Mahayu, 2016).

RUMUSAN MASALAH

A. Apa pengertian dari typoid?


B. Bagaimana penyebab dan faktor resiko penyakit typoid?
C. Apa tanda dan gejala penyakit typoid?
D. Bagaimana patofisiologi penyakit typoid?
4
E. Bagaimana pemeriksaan diagnostic dan penunjangnya?
F. Bagaimana cara penularan penyakit typoid?
G. Bagaimana cara penularan penyakit typoid?
H. Apa komplikasi dari penyakit typoid?
I. Bagaimana askep dari penyakit typoid?
J. Bagaimana kebijakan pemerintah mengenai typoid?

TUJUAN

A. Tujuan umum :

Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan demam typoid pada anak.

B. Tujuan khusus :

Untuk mengidentifikasi pengertian, etiologi, manifistasi klinik, patofisiologi,


pemeriksaan penunjang, cara penularan, penanganan di RS, komplikasi, askep
typoid pada anak, dan kebijakan pemerintah mengenai typoid.

5
BAB II

ISI
A. PENEGERTIAN
Penyakit demam tifoid merupakan infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam
lebih dari satu minggu, mengakibatkan gangguan pencernaan dan dapat menurunkan tingkat
kesadaran. Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik yang bersifat akut. Penyakit
ini disebabkan oleh Salmonella typhi. Gejala klinis dari demam tifoid yaitu demam
berkepanjangan, bakterimia, serta invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel-sel fagosit
mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe, usus dan peyer’s patch.
Demam tifoid dapat terjadi pada semua usia, Pada Usia anak 5-11 tahun merupakan
usia sekolah dimana pada kelompok usia tersebut sering melakukan aktifitas di luar rumah,
sehingga beresiko terinfeksi Salomonella typhi seperti jajan disekolah atau diluar rumah yang
kurang terjamin kebersihannya (mengkonsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi).
Adanya faktor higienitas, daya tahan tubuh dan kontaminasi susu atau produk susu oleh carrier
dapat menyebabkan anak-anak lebih banyak terkontaminasi Salmonella typhi.
B. PENYEBAB DAN FAKTOR RISIKO
Penyakit tifoid disebakan oleh Salmonella typhi yaitu bakteri enterik gram negatif
berbentuk basil dan bersifat patogen pada manusia. Penyakit ini mudah berpindah dari satu
orang ke orang lain yang kurang menjaga kebersihan diri dan lingkungannya yaitu penularan
secara langsung jika bakteri ini terdapat pada feses, urine atau muntahan penderita dapat
menularkan kepada orang lain dan secara tidak langsung melalui makanan atau minuman.
Salmonella typhi berperan dalam proses inflamasi lokal pada jaringan tempat bakteri
berkembang biak dan merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen dan leukosit pada
jaringan yang meradang sehingga terjadi demam. Jumlah bakteri yang banyak dalam darah
(bakteremia) menyebabkan demam makin tinggi. Penyakit typoid ini mempunyai hubungan
erat dengan lingkungan terutama pada lingkungan yang penyediaan air minumnya tidak
memenuhi syarat kesehatan dan sanitasi yang buruk pada lingkungan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi penyakit typoid tersebar yaitu polusi udara, sanitasi umum, kualitas air
temperatur, kepadatan penduduk, kemiskinan dan lain-lain. beberapa penelitian di seluruh
dunia menemukan bahwa laki-laki lebih sering terkena demam tifoid, karena laki-laki lebih
sering bekerja dan makan di luar rumah yang tidak terjamin kebersihannya. Tetapi
berdasarkan dari daya tahan tubuh, wanita lebih berpeluang untuk terkena dampak yang lebih
berat atau mendapat komplikasi dari demam tifoid. Salah satu teori yang menunjukkan hal
tersebut adalah ketika Salmonella typhi masuk ke dalam sel-sel hati, maka hormon estrogen
pada wanita akan bekerja lebih berat.
Faktor risiko
1. Usia
Pada usia 3-19 tahun peluang terkena demam tifoid lebih besar, orang pada usia
tersebut cederung memiliki aktivitas fisik yang banyak, kurang memperhatikan higene
dan santitasi makanan. Pada usia-usia tersebut, orang akan cenderung memilih makan
di luar rumah atau jajan di sembarang tempat yang tidak memperhatikan higene dan
sanitasi makanan. Insiden terbesar demam tifoid terjadi pada anak sekolah, berkaitan
dengan faktor higenitas. Kuman Salmonella typhi banyak berkembang biak pada
makanan yang kurang terjaga higenitasnya (Rahmaningrum dkk, 2017).
2. Status Gizi
6
Status gizi yang kurang akan menurunkan daya tahan tubuh, sehingga anak mudah
terserang penyakit, bahkan status gizi yang buruk akan menyebabkan tingginya angka
mortalitas terhadap demam tifoid (Rahmaningrum dkk, 2017).
3. Riwayat Demam tifoid
Riwayat demam tifoid dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendek pada
mereka yang mendapat infeksi ringan dengan demikian kekebalan mereka juga lemah.
Riwayat demam tifoid akan terjadi bila pengobatan sebelumnya tidak adekuat, sepuluh
persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya riwayat
demam tifoid. Riwayat demam tifoid dipengaruhi oleh imunitas, kebersihan, konsumsi
makanan, dan lingkungan (Rahmaningrum dkk, 2017)

C. TANDA DAN GEJALA


1. Demam berlangsung 3 minggu
2. Bibir kering dan pecah-pecah
3. Napas berbau tidak sedap
4. Lidah kotor
5. Perut kembung
6. Hati dan limfa membesar
7. Apatis ( lesu dan tidak bersemangat)
8. Terdapat bintik-bintik merah pada punggung
9. Epistaksis (mimisan) pada anak besar

D. PATOFISIOLOGI
Bakteri Salmonellatyphi bersama makanan atau minuman masuk kedalam tubuh
melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH<2) banyak bakteri yang
mati. Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan dengan antagonis
reseptor histamin H2, inhibitor pompaproton /antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi
dosis infeksi. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri
melekat pada sel-sel mukosa dan juga kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding
usus, tepatnya di ileum dan jejunum. Sel-selM, selepitel khusus yang melapisi Peyer’s patch,
merupakan tempat internalisasi Salmonellatyphi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus,
mengikuti aliran kekelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik
sampai kejaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami multiplikasi di
dalam sel fagosit mononuklear didalam folikel limfe, kelenjarlimfe mesenterika, hati dan
limfe (Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk. 2012. Buku AjarInfeksi & Pediatri Tropis.
Jakarta: IDAI).
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang lamanya ditentukan
oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka Salmonella yphi akan
keluar dari habitatnya dan melalui ductus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik.
Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akantetapi tempat yang disukai
oleh Salmonellatyphi adalah hati, limpa, sumsum tulang belakang, kandung empedu dan
Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung
dari darah/ penyebaran retrograd dari empedu. Ekskresi organisme diempedu dapat
menginvasi ulang dinding usus /dikeluarkan melalui tinja. Peran endotoksin dalam
pathogenesis demam tifoid tidakjelas, hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya
endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari
Salmonellatyphi menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan
juga kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari
7
makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vascular yang tidak stabil,
demam, depresi sumsum tulang belakang, kelainan pada darah dan jugamenstimulasi sistem
imunologik (Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis.
Jakarta: IDAI).

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK DAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan darah perifer lengkap

Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar leukosit


normal. Leukositosis dapatterjadi walaupun tanpa disertai infeksi
sekunder
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT

SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah
sembuh. Peningkatan SGOT dan juga SGPT ini tidak memerlukan
penanganan khusus
3. Pemeriksaan uji widal

Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap bakteri


salmonella typhi. Ujiwidal dimaksudkan untuk menentukan adanya
agglutinin dalam serum penderita demam tifoid. Akibat adanya infeksi
oleh salmonella typhi maka penderita membuatantibody (agglutinin)
4. Kultur
a) Kulturdarah : bisa positif pada minggu pertama
b) Kultururine : bisa positif pada akhir minggu kedua
c) Kulturfeses : bisa positif dari minggu kedua hingga minggu ketiga
5. Anti salmonella typhi igM

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi secara dini infeksi akut


salmonella typhi, karena antibodyigM muncul pada hari ke3 dan 4
terjadinya demam. (Nurarif & Kusuma, 2015)

F. CARA PENULARAN
Penularan demam tifoid dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu dikenal dengan 5F
yaitu (food, finger, fomitus, fly, feses) Feses dan muntahan dari penderita demam tifoid dapat
menularkan bakteri Salmonella typhi kepada orang lain. Kuman tersebut ditularkan melalui
makanan atau minuman yang terkontaminasi dan melalui perantara lalat, di mana lalat tersebut
akan hinggap di makanan yang akan dikonsumsi oleh orang sehat. Apabila orang tersebut
kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar
oleh bakteri Salmonella typhi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut selanjutnya
orang sehat tersebut akan menjadi sakit (Zulkoni, 2010).
Pathogenesis demam tifoid secara garis besar terdiri 3 proses, yakni
8
1. proses invasi bakteri Salmonella typhi ke dinding sel epitel usus,
2. proses kemampuan hidup dalam makrofaq dan
3. proses berkembang biaknya kuman dalam makrofaq. Bakteri Salmonella typhi masuk
ke dalam tubuh manusia melalui mulut bersamaan dengan makanan atau minuman
yang terkontaminasi.
Setelah bakteri sampai di lambung maka akan timbul usaha pertahanan non-spesifik
yang bersifat kimia dengan adanya suasana asam di lambung dan enzim yang
dihasilkannya (Widoyono, 2011). Secara epidemiologis, penyebaran penyakit berbasis
lingkungan dikalangan anak sekolah di Indonesia tergolong sangat tinggi. Terjadinya
infeksi, seperti diare, demam berdarah dengue, cacingan, demam tifoid serta berbagai
dampak negatif akibat buruknya sanitasi. Demam tifoid dapat menganggu dan menjadi
persoalan utama sekaligus berpotensi mengakibatkan keadaan bahaya jika menganggu
aktivitas sehari-hari sebab dalam interaksi setiap hari banyak terjadi kontak secara
langsung maupun tidak langsung yang dapat menyebabkan terjadinya penularan dan
penyebab penyakit (Rakhman, 2009).

G. PENANGANAN DI RS
1. Perawatan
a. Klien diistirahatkan 7 hari sampai demam tulang atau 14 hari untuk mencegah
komlikasi perdarahan usus.
b. Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya tranfusi bila
ada komplikasi perdarahan.
2. Diet
a. Diet yang sesuai, cukup kalori dan tinggi protein.
b. Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
c. Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.
d. Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7
hari.
3. Obat-obatan
Antibiotika umum digunakan untuk mengatasi penyakit typhoid. Waktu penyembuhan
bisa makan waktu 2 minggu hingga satu bulan. Antibiotika, seperti ampicillin,
kloramfenikol, trimethoprim sufamethoxazole dan ciproloxacin sering digunakan
untuk merawat demam tifoid di Negara-negara barat. Obat-obat antibiotic adalah :
a. Kloramfenikol (50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis per oral atau
intravena) selama 10-14 hari.
b. Jika tidak dapat diberikan kloramfenikol, dipakai amoksislin 100
mg/kgBB/hari peroral atau ampisilin intravena selama 10 hari, atau
kotrimoksazol 48 mg/kgBB/hari (dibagi 2 dosis) peroral selama 10 hari.
c. Bila klinis tidak ada perbaikan digunkan generasi ketiga sefalosporin seperti
seftiakson (80 mg/kg IM atau IV, sekali sehari, selama 5-7 hari) atau sefiksim
oral (20 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 10 hari).

H. KOMPLIKASI
Komplikasi intestinal : perdarahan usus, perporasi usus dan ilius paralitik.

9
1. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis,
thrombosis, tromboplebitis.
2. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndrome uremia hemolitik.
3. Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
4. Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.
5. Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
6. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis, polyneuritis perifer,
sindroma Guillain bare dan sindroma katatonia, tifoid ensefalopati.
7. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis, polyneuritis perifer,
sindroma Guillain bare dan sindroma katatonia, tifoid ensefalopati.

I. ASKEP TYPOID
1. PENGKAJIAN
1.1 Identitas
Pasien adalah seorang anak perempuan bernama An.K usia 13 tahun beragama
Islam, bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa dan Madura. Pasien adalah anak
pertama dari Tn.M 38 tahun dan Ny.N 34 tahun. Pasien tinggal didaerah Sidowayah,
RT 02 RW 01 Kec. Kejayan Kab.Pasuruan orang tua pasien beragama Islam dan
pekerjaan ayah sebagai wiraswasta dan pekerjaan ibu sebagai petani. Pasien MRS pada
tanggal 15 Desember 2019.
1.2 Keluhan utama:
Pada tinjauan kasus diperoleh data bahwa suhu tubuh pasien 39,1°C, tampak
lemas,tidak mau makan, dan mual. Peneliti/penulis berpendapat bahwa keluhan yang
dirasakan oleh pasien disebabkan karena proses inflamasi sehingga pasien mengalami
demam, lemas dan mual. Sesuai dengan teori yang dinyatakan oleh Wijaya (2013)
bahwa anak dengan demam typhoid biasanya demam diatas 37°C dan anak tampak
lemah.
1.3 Riwayat penyakit sekarang:
Pada tinjauan kasus didapatkan data bahwa ibu mengatakan bahwa anaknya
demam selama 1 minggu tidak turun-turun, mual (+), tidak mau makan, lemas, suhu
39,1°C.Peneliti/penulis berpendapat bahwa keluhan yang dirasakan oleh pasien
disebabkan karena terjadinya proses inflamasi yang mengakibatkan terjadinya proses
endotoksin oleh bakteri Salmonella Typhosa sehingga muncul gejala demam, mual,
lemah, dan tidak nafsu makan. Proses inflamasi yang terjadi disebabkan masuknya
bakteri Salmonella Thyposa melalui makanan tidak hiegienis, Karena pasien sering
jajan sembarangan. Hal ini sesuai dengan tinjauan pustaka bahwa riwayat penyakit
sekarang terdapat data pasien terinfeksi bakteri Salmonella Thyposa dan kebiasaan
makan makanan yang tidak hiegienis (Wijaya A,S, 2013).
1.4 Riwayat penyakit dahulu:
Pada tinjauan kasus diperoleh data bahwa pasien demam akan tetapi 3 hari
sudah sembuh. Peneliti/penulis berpendapat bahwa kejadian demam tifoid pada pasien
kemungkinan pasien pernah dirawat dengan penyakit yang sama dan kurangnya
menjaga kebersihan makanan.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penemuan sifat dan keluasan masalah keperawatan yang
ditujukan oleh pasien individual atau keluarga yang menerima asuhan keperawatan
(Wawan, 2012).
a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella typhi
10
b. Defisien volume cairan berhubungan dengan intake cairan tidak adekuat.
c. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera biologis.
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
malabsorbsi nutrient.
e. Keletihan berhubungan dengan proses endotoksin kuman
f. Defisien tingkat pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber
pengetahuan.

Diagnosa keperawatan yang muncul pada tinjauan kasus ada 3 yaitu :


a. Hipertermi b.d proses infeksi
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d malabsorbsi nutrisi
c. Defisien tingkat Pengetahuan b.d kurangnya sumber informasi.

11
3. Perencanaan
Tabel 3.1 Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi Salmonella
Typhi (Kusuma dan Nurarif A.H , 2015).

N Tujuan/Kriteria Intervensi Rasional


o hasil

1 Tujuan : setelah 1. Jelaskan pada 1. Untuk


dilakukan keluarga pasien meningkatkan
tindakan tentang penyebab pengetahuan
keperawatan demam
selama 1×24 jam 2. Ajarakan cara
diharapkan suhu kompres yang benar 2. Vasodilatasi dapat
tubuh pasien dipembuluh darah meningkatkan
normal. besar penguapan yang
KH: mempercepat
3. Anjurkan keluarga penurunan suhu
1. Keluarga pasien untuk 3. Untuk membantu
mampu
menjelaskan meningkatkan
kembali tentang
penyebab
Demam

12
2. Keluarga mampu memakaikan penguapan
mendemonstrasikan pakaian tipis pada
ulang cara mengompres pasien
yang benar 4. Anjurkan keluaraga
3. Keluarga mampu pasien untuk tetap
mempertahankan dalam memberikan cairan 4. Mencegah
pemberian cairan yang sebanyak
dibutuhkan (2,5L/hari)/sesuai dehidrasi
5. TTV Tanda-tanda vital 5. Observasi
dalam batas normal, TTV,akral, warna
suhu: 36,6ºC- 37,2ºC, kulit
nadi: (bayi : 120-130
x/menit, anak:
80-90x/menit), RR:
(bayi : 30-40x/menit, 6. Kolaborasi dalam 5. Untuk mengetahui
anak: 20-30x/menit) pemberian obat perubahan
6. Akral teraba hangat antipiretik TTV,akral, kulit
pasien
7. Kulit kemerahan (-) 6. Untuk membantu
dalam menurunkan
panas

13
Tabel 3.2 Defisien volume cairan berhubungan dengan intake cairan tidak
adekuat (Kusuma dan Nurarif A.H , 2015)

N Tujuan/Kriteria hasil Intervensi Rasional


o

2 Tujuan : setelah 1. Berikan informasi 1. Untuk menambah


dilakukan tindakan tentang kebutuhan pengetahuan pasien
keperawatan 1× 24 volume cairan tentang kebutuhan
jam diharapkan volume cairan
volume cairan 2. Untuk membantu
terpenuhi. 2. Anjurkan pasien memelihara kebutuhan
KH: banyak minum (2,5 cairan dan menurunkan
liter/hari ) resiko dehidrasi
1. Keluarga mampu 3. Untuk mengontrol
menjelaskan kembali keseimbangan cairan
tentang kebutuhan 4. Untuk mengetahui
cairan 3. Observasi intake dan derajat status dehidrasi
2. Keluarga mau output cairan 5. Untuk mengetahui
mempertahankan respon pasien terhadap
pemberian cairan penambahan cairan
peroral 4. Observasi status
3. Intake dan ouput cairan dehidrasi
normal
4. Tidak terdapat tanda-
tanda dehidrasi 5. Kolaborasi pemberian
5. Turgor kulit elastic cairan iv

14
Tabel 3.3 Defisien tingkat pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber
pengetahuan (Kusuma dan Nurarif A.H , 2015)

N Tujuan/kriteria Intervensi Rasional


o hasil

15
6 Tujuan : Setelah 1. Jelaskan tentang 1. Meningkatkan
dilakukan definisi penyakit pengetahuan dan
tindakan demam tifoid, mengurangi cemas.
keperawatan proses
selama 1x30 jam penyakit,
diharapkan klien
dan keluarga tanda gejala,
mengerti identifikasi
proses kemungkinan
penyakitnya penyebab,
dan dan
program jelaskan
perawatan serta kondisi
therapy yang tentang pasien
diberikan. 2. Jelaskan tentang
KH : program pengobatan
dan 2. Mempermudah
1. Menjelaskan alternative intervensi
kembali tentang pencegahan
penyakitnya 3. Tanyakan kembali
2. keluarga pengetahuan
pasien mampu keluarga klien dank
menyebutkan lien tentang
kembali tentang 3. Mereview kembali
penyebab apa yang sudah
penyakitnya diinformasikan.
3. keluarga pasien

mampu

16
6. TTV Tanda-tanda
vital dalam batas
normal, suhu:
36,6ºC-37,2ºC, nadi:
(bayi : 120- 130
x/menit, anak: 80-
90x/menit), RR:
(bayi : 30-
40x/menit, anak: 20-
30x/menit)
7. Membrane mukosa
lembab
8. Kulit lembab

9. Hematokrit normal

10. BB tidak menurun


secara tiba-tiba
11. Tidak ada haus
12. Tidak ada kelemahan

Pada perumusan tujuan antara tinjauan pustaka dan tinjauan kasus


tidak ada kesenjangan. Pada tinjauan pustaka perencanaan menggunakan
criteria hasil yang mengacu pada pencapaian tujuan.
Hipetermi berhubungan dengan proses infeksi, Setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 3x24 jam suhu kembali normal, dengan
kriteria hasil : suhu tubuh dalam rentan normal 36,5-37°C, Nadi 80-
100x/menit, Warna kulit tidak kemerahan, Akral hangat, Pasien tidak
lemah.
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan malabsorbsi nutrisi, Setelah dilakukan keperawatan
selama 3x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi, dengan
kriteria hasil : sedikit makan tapi sering, membrane mukosa lembab,BB
tidak mengalami penurunan, nafsu makan bertambah, porsi makan habis,
dan tidak ada kram abdomen, mual (- ), muntah (-).

17
Defisien tingkat pengetahuan berhubungan dengan kurangnya
sumber informasi, Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
1x30menit diharapkan klien dan keluarga mengerti proses penyakitnya dan
program perawatan serta therapy yang diberikan dengan kriteria hasil :
Menjelaskan kembali tentang penyakitnya, Ibu pasien mampu
menyebutkan kembali tentang penyebab penyakitnya, Ibu pasien mampu
menyebutkan kembali tanda dan gejala, Ibu pasien mampu menyebutkan
kembali pencegahan Demam tifoid, Ibu pasien mampu menyebutkan
kembali penatalaksanaan Demam tifoid.
4. Implementasi
Implementasi merupakan fase ketika perawat
mengimplementasikan intervensi keperawatan (Kozier, 2011).
Implementasi merupakan langkah keempat dari proses keperawatan yang
telah direncanakan oleh perawat untuk dikerjakan dalam rangka membantu
klien untuk mencegah, mengurangi, dan menghilangkan dampak atau
respons yang ditimbulkan oleh masalah keperawatan dan kesehatan
(Zaidin Ali, 2014).
Dalam melaksanakan pelaksanaan ada beberapa faktor penunjang
yang menyebabkan semua rencana tindakan dapat dilaksanakan dengan
baik. Hal-hal yang menunjang dalam pelaksanaan asuhan keperawatan
yaitu antara lain : adanya kerjasama yang baik dari perawat maupun dokter
ruangan dan tim kesehatan lainnya, tersedianya sarana dan prasarana
diruangan yang menunjang dalam pelaksanaan asuhan keperawatan dan
penerimaan yang baik oleh kepala ruangan dan tim perawatan di ruang
Asoka.
Pada diagnosa Hipetermi berhubungan dengan proses infeksi,
semua perencanaan tindakan keperawatan telah dilakukan seperti
menjelaskan pada keluarga tentang demam, mengajarkan mengompres
pada lipatan paha dan aksila, menganjurkan untuk meningkatkan asupan
cairan kepada pasien.
Pada diagnosa Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan malabsorbsi nutrisi, semua perencanaan tindakan
keperawatan telah dilakukan seperti menjelaskan pada keluarga tentang
kebutuhan nutrisi adekuat, menganjurkan keluarga untuk memberikan
makan sedikit tapi sering, menganjurkan keluarga untuk mempertahankan
ritual makan pada anak, dan memonitoring intake dan output cairan.
Pada diagnosa Defisien tingkat pengetahuan berhubungan dengan
kurangnya sumber informasi, semua perencanaan tindakan keperawatan
telah dilakukan seperti melakukan penyuluhan pada keluarga pasien
mengenai penyakit Demam tifoid.

18
5. Evaluasi
Pada tinjauan pustaka evaluasi belum dapat dilaksanakan karena
merupakan kasus semu sedangkan pada tinjauan kasus evaluasi dapat
dilakukan karena dapat diketahui keadaan pasien dan masalahnya secara
langsung.
Pada waktu dilaksanakan evaluasi Hipetermi berhubungan dengan
proses infeksi. Peningkatan suhu tubuh sudah normal dalam 3x24 jam dan
pada akhir catatan perkembangan masalah sudah teratasi pada tanggal 18
Desember 2019.
Pada waktu dilaksanakan evaluasi Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan malabsorbsi nutrisi.
Kebutuhan klien sudah terpenuhi selama 3x24 jam karena tindakan yang
tepat dan berhasil dilaksanakan dan masalah teratasi pada tanggal 18
Desember 2019.
Pada waktu dilaksanakan evaluasi Defisien tingkat Pengetahuan
berhubungan dengan Kurangnya Sumber Informasi sudah tercapai selama
30 menit pada tanggal 17 Desember 2019.
Pada akhir evaluasi semua tujuan dicapai karena hasil pengecekan
darah lengkap sudah normal. Hasil evaluasi pada An. K sudah dicapai dan
pasien saat ini sudah pulang.

J. KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI TYPOID

Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah merekomendasikan penggunaan


vaksin tifoid dalam program pengendalian tifoid di daerah endemis sejak tahun
1998. Beberapa negara, seperti Vietnam, Cina, dan India telah melaksanakan
kegiatan vaksinasi secara rutin. Di Indonesia, peran pemerintah pusat dan daerah
merupakan peluang sekaligus kekuatan untuk meningkatkan dan memperkuat
program pengendalian tifoid dalam mencegah dan menurunkan angka kesakitan
dan kematian tifoid, yaitu diterbitkannya Permenkes tentang Struktur Organisasi,
pedoman manajemen pengendalian tifoid, rencana aksi kegiatan pengendalian
tifoid, tersedianya sarana dan prasarana KIE, adanya kerjasama lintas program
mencakup PHBS, air bersih, jamban dan sanitasi darurat, serta kegiatan

19
penyuluhan (KIE) tentang pencegahan tifoid. Dalam upaya tata laksana, adanya
Kepmenkes tentang Pedoman Pengendalian Tifoid, dan tersedianya pedoman dan
petunjuk teknis program pengendalian dan tata laksana tifoid, obat program,
dukungan Komite Ahli (Komli) dalam tata laksana tifoid. Dalam hal surveilans
epidemiologi, adanya Kepmenkes tentang Penyelenggaraan Sistem Surveilans
Epidemiologi Kesehatan, dan sistem pelaporan, monitoring dan evaluasi kegiatan
pengendalian tifoid. Dalam upaya manejemen, adanya struktur organisasi di pusat
dalam pengendalian tifoid, dan penanggungjawab program di tingkat provinsi,
kabupaten/ kota, puskesmas, dan masyarakat/ kader dalam pengendalian tifoid.
Melalui studi yang mendalam, vaksin dianggap alat pencegah yang paling cost
effective, disusul oleh pengadaan air bersih. Pemberian vaksin untuk pencegahan
tifoid dianjurkan untuk wisatawan, anak sekolah, dan petugas laboratorium yang
bekerja dengan kuman. Membuat tubuh kebal merupakan upaya penting agar
masyarakat khususnya kelompok berisiko tinggi terhindar dari penularan tifoid.
Badan Kesehatan Dunia (WHO)/ Strategic Advisory Group of Experts (SAGE)
merekomendasikan penggunaan vaksin tifoid, yaitu perlunya negara
mencanangkan program penggunaan vaksin tifoid untuk kontrol endemic. Pada
banyak negara, vaksinasi dilakukan pada populasi berisiko tinggi, dan
diintegrasikan dengan program imunisasi rutin. Imunisasi pada anak usia pra
sekolah dan sekolah direkomendasikan untuk daerah dimana tifoid merupakan
masalah kesehatan masyarakat khususnya pada kelompok umur ini. Program
vaksinasi tifoid juga diimplementasikan bersamaan dengan upaya pengendalian
lain, seperti promosi kesehatan, pelatihan petugas medis untuk diagnosis dan
pengobatan serta peningkatan kualitas air dan sanitasi. Dalam periode 2009–2015,
sebanyak 9 dari 48 negara di Asia Tenggara dan Pasifik Barat telah
mengimplementasikan penggunaan vaksin tifoid. Target program vaksinasi tifoid
pada banyak negara tersebut ditujukan pada kelompok berisiko tinggi dan
pengelola makanan. Sebelas Negara (Australia, Kamboja, Fiji, India, Indonesia,
Nepal, Selandia Baru, Filipina, Singapura, Sri Lanka, dan Thailand) melaporkan
pemanfaatan vaksin tifoid pada sektor swasta. Cina, India dan Vietnam telah
melakukan program vaksinasi publik sebelum 2008, dengan target anak usia pra

20
sekolah dan sekolah. Di Guilin, Propinsi Guangxi, Tiongkok, program vaksinasi
tifoid telah dimulai sejak tahun 1995 pada anak sekolah semua usia, penjamah
makanan dan masyarakat yang tinggal di dan sekitar daerah kejadian luar biasa.
Revaksinasi dilakukan setiap tiga tahun. Dari tahun 1995 hingga 2006, lebih dari
1,4 juta dosis telah diberikan, dengan rerata cakupan 60–70% pada anak sekolah
dan 80–85 % pada target lain. Insidensi sebelum program dimulai dilaporkan
47/100,000 pada seluruh populasi dan 61/100,000 pada anak sekolah. Setelah
program dilakukan, dari tahun 1995–2006 insidensi pada seluruh populasi dan
anak sekolah turun menjadi 0.2– 4.5/100,000. Perbaikan kualitas air dan sanitasi
juga dilakukan pada periode ini. Nepal menerapkan program inisiasi vaksinasi
ViPS di sekolah di Kathmandu pada tahun 2011 dan mengembangkan program
vaksinasi anak sekolah dan penjamah makanan. Thailand menerapkan program
vaksinasi tifoid nasional pada tahun 1977 untuk anak usia 7–12 tahun. Rasio
kasus infeksi Salmonella typhi dan S. paratyphi A menurun dari 4:1 (sebelum
epidemik 1970–1973) menjadi 0.9:1 (setelah epidemik 1984–1985) dan proporsi
kasus turun dari 30% menjadi 10%. Di Indonesia saat ini telah tersedia 2 jenis
vaksin tifoid, yaitu: 1) Vaksin Vi kapsuler polisakarida. Vaksin ini mengandung
polisakarida Vi dari kapsul bakteri Salmonella. Vaksin dapat mencapai level
protektif setelah 2–3 minggu pemberian, dan dapat diberikan pada usia ≥2 tahun.
Vaksin tersedia dalam syringe siap pakai (suntikan) 0,5ml yang berisi 25
mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara
intramuskular (IM) di deltoid. Vaksinasi ulangan dilakukan setiap 3 tahun. Kontra
indikasi vaksin, yaitu pada keadaan hipersensitif terhadap vaksin, ibu hamil, dan
<2 anak. Bila keadaan sedang demam, pemberian vaksin sebaiknya ditunda, dan
untuk ibu menyusui perlu dikonsultasikan lebih lanjut ke dokter; 2) Vaksin
kombinasi Vi kapsuler polisakarida dan hepatitis A inaktif, Vaksin kombinasi Vi
kapsuler polisakarida dan hepatitis A inaktif (double). Kelebihan vaksin ini lebih
praktis dalam pemberian vaksin tifoid dan hepatitis A. Tidak ada perbedaan
efektivitas pemberian vaksin secara bersamaan dengan pemberian vaksin tifoid
dan hepatitis A secara terpisah. Vaksin dapat mencapai level protektif setelah 2–3
minggu pemberian. Vaksin ini dapat diberikan pada usia 16 tahun ke atas. Vaksin

21
tersedia dalam bentuk dual-chamber syringe (suntikan) siap pakai dengan volume
1 ml, masing-masing 0,5 ml untuk setiap vaksin. Vaksin diberikan secara
intramuskular di deltoid dan vaksinasi ulangan diberikan setiap 3 tahun. Kontra
indikasi vaksin, yaitu pada keadaan hipersensitif terhadap komponen vaksin, ibu
hamil, dan ibu menyusui. Pemberian vaksin untuk pencegahan tifoid dianjurkan
untuk wisatawan, terutama bila bepergian ke daerah/ negara endemis tifoid.
Center for Disease Control, USA merekomendasikan vaksinasi tifoid untuk
wistawan yang melakukan perjalanan ke daerah endemis tifoid, khususnya ke
daerah rural atau dengan makanan atau suplai air yang tidak aman. Public Health
Agency Kanada merekomendasikan vaksinasi pada wisatawan yang melakukan
perjalanan ke daerah endemik: kota kecil, perkampungan atau rural lebih dari 4
minggu. Juga merekomdasikan untuk individu dengan sekresi asam lambung yang
berkurang atau tidak ada. Health Protection Agency, United Kingdom
merekomendasikan vaksinasi tifoid untuk wisatawan yang melakukan perjalanan
ke daerah endemis, khususnya dengan higiene makanan dan sanitasi yang buruk.
Department of Health and Ageing, Australia merekomendasikan untuk wisatawan
mulai usia >2 tahun ke daerah endemik, termasuk subkontinen India,
negaranegara Asia Tenggara, kebanyakan negara-negara di Pasifik Selatan dan
Papua New Guinea. Di Indonesia, agen perjalanan dapat berperan dalam
menyediakan informasi tentang tifoid dan memfasilitasi pemberian vaksinasi
tifoid. Untuk mencegah kasus baru tifoid, dapat dilakukan dengan memperkuat
aspek legal (law enforcement) tentang ketentuan bebas karier tifoid pada
penjamah makanan dan pemberian vaksinasi. Bila memungkinkan vaksinasi tifoid
pada anak dijadikan sebagai salah satu persyaratan untuk bisa diterima di sekolah
dasar seperti yang telah diterapkan di beberapa negara di dunia. Dalam
melaksanakan upaya pengendalian tifoid, dapat melibatkan berbagai sektor,
kelompok masyarakat, dan lembaga pemerintah untuk bekerjasama berdasarkan
atas kesepakatan, prinsip dan peranan masing-masing mitra dalam pengendalian
tifoid. Upaya tersebut diwujudkan dengan membentuk jejaring, baik lokal,
nasional, regional, maupun internasional. Tujuan dari jejaring kerja ini adalah:

22
1) Meningkatnya komitmen pemerintah dan mitra terkait di masyarakat dalam
upaya pengendalian tifoid, dan
2) Adanya harmonisasi dan sinergi dalam berbagai kegiatan. Selain itu perlu
dilakukan koordinasi pengendalian tifoid, yaitu upaya untuk menyelaraskan
kegiatan dari berbagai jenjang administratif dan pihak terkait lainnya.
Untuk meningkatkan partisipasi dan kemandirian masyarakat dalam pencegahan
dan penanggulangan tifoid, maka dapat dikembangkan kegiatan pencegahan dan
penanggulangan tifoid berbasis masyarakat yang dilaksanakan secara terintegrasi
pada wadah milik masyarakat yang ada di masing-masing daerah. Salah satu
simpul pengendalian penyakit tifoid adalah pengendalian pada sumbernya. Oleh
karena itu kemampuan manajemen kasus sesuai dengan Standard Operating
Procedure (SOP) mulai dari diagnosis hingga sembuh sangat penting untuk
diterapkan. Dengan adanya akreditasi rumah sakit yang dilaksanakan oleh
Kementerian Kesehatan bekerjasama dengan Komisi Akreditasi Rumah Sakit
(KARS) maupun Joint Commission Internasional (JCI) secara berkala, maka
secara tidak langsung mengurangi kemungkinan terjadinya karier tifoid, relaps,
dan resistensi. Bila penderita tifoid tidak berobat misalnya karena keterbatasan
biaya, maka penderita tersebut berisiko menjadi karier dan sebagai sumber
penularan penyakit, atau relaps dan resistensi. Dengan adanya pembiayaan dari
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), maka meningkatnya kesempatan
memperoleh pengobatan khususnya pada penderita yang kurang mampu.

23
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penyakit demam tifoid merupakan infeksi akut pada usus halus
dengan gejala demam lebih dari satu minggu, mengakibatkan gangguan
pencernaan dan dapat menurunkan tingkat kesadaran. Demam tifoid
adalah suatu penyakit infeksi sistemik yang bersifat akut. Penyakit ini
disebabkan oleh Salmonella typhi. Gejala klinis dari demam tifoid yaitu
demam berkepanjangan, bakterimia, serta invasi bakteri sekaligus
multiplikasi ke dalam sel-sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar
limfe, usus dan peyer’s patch. Demam tifoid dapat terjadi pada semua
usia, Pada Usia anak 5-11 tahun merupakan usia sekolah dimana pada
kelompok usia tersebut sering melakukan aktifitas di luar rumah, sehingga
beresiko terinfeksi Salomonella typhi seperti jajan disekolah atau diluar
rumah yang kurang terjamin kebersihannya (mengkonsumsi makanan dan
minuman yang terkontaminasi). Penyakit tifoid disebakan oleh Salmonella
typhi yaitu bakteri enterik gram negatif berbentuk basil dan bersifat
patogen pada manusia. Penyakit ini mudah berpindah dari satu orang ke
orang lain yang kurang menjaga kebersihan diri dan lingkungannya yaitu
penularan secara langsung jika bakteri ini terdapat pada feses, urine atau
muntahan penderita dapat menularkan kepada orang lain dan secara tidak
langsung melalui makanan atau minuman. Faktor risiko pada usia, status
gizi, dan riwayat demam tifoid.

24
B. SARAN
1. Akademis, disarankan dalam memberikan ilmu tentang asuhan
keperawatan kepada pasien dengan demam tifoid mahasiswa faham dan
mampu mendapatkan data yang akurat sehingga tidak melakukan
kesalahan dalam mengambil diagnose yang terjadi pada pasien dan
mahasiswa mampu melakukan penatalaksanaan untuk mencapai rasional.
2. Bagi pelayanan keperawatan disarankan untuk tenaga medis agar dapat
melakukan penyuluhan dimasyarakat untuk mengenali gejala, penyebab
dari demam tifoid, seperti demam terjadi 7-14 hari, demam suhu diatas
37,5 – 39 derajat celcius, makan sembarangan dan tidak melakukan cuci
tangan, sehingga pasien bisa mendapatkan pengobatan yang cepat.
3. Bagi profesi kesehatan sebaiknya profesi keperawatan/calon perawat lebih
memahami dan meningkatkan kompetensi dirinya agar dalam memberikan
asuhan keperawatan pada pasien mampu mencapai rasional dengan baik
dan mampu menyesuaikan kebutuhan pasien.

25
DAFTAR PUSTAKA

AZIZAH, NUR. 2020. "ASUHAN KEPERAWATAN PADA An K


DENGAN DIAGNOSA MEDIS DEMAM TYPHOID DI RUANG
ASOKA RSUD BANGIL PASURUAN". 62-106.

Ardiaria, Martha. 2019. EPIDEMIOLOGI, MANIFESTASI KLINIS,


DAN PENATALAKSANAAN DEMAM TIFOID. 7(2):32-34 .

Ivan Elisabeth Purba , Toni Wandra, Naning Nugrahini , Stephen Nawawi,


dan Nyoman Kandun. 2016. PROGRAM PENGENDALIAN
DEMAM TIFOID DI INDONESIA. 99-108.

NARUZAMAN, HILDA. 2016. ANALISIS RISIKO KEJADIAN


DEMAM TIFOID BERDASARKAN KEBERSIHAN DIRI DAN
KEBIASAAN JAJAN DI RUMAH. 4(1): 74-86.

26

Anda mungkin juga menyukai