Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH MEDIKAL BEDAH

“PENYAKIT THYPOID”

Disusun Oleh :
Sucipto Moito 22 2100 61
Amanda S Bulamei 22 2100 04
Cleoni V Potaboda 22 2100 12
Dina S Pontoh 22 2100 16
Sumarni Ismail 22 2100 63
Sukma A Abas 22 2100 62
Elitiafani manangkabo 22 2100 18
Cinta Sri A Roboth 22 2100 11
Windy Maharani 22 2100 71

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan medikal
bedah yang dibimbing oleh Ns.Maria. A Mangundap,S.Kep

AKADEMI KEPERAWATAN RUMKIT TK.III MANADO


TAHUN AKADEMIK 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena telah memberikan
kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan
hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Penyakit
Thypoid”.
Makalah penyakit thypoid ini disusun guna memenuhi tugas dosen Ns.Maria A
Mangundap,S.Kep pada mata kuliah keperawatan medikal bedah. Selain itu,
penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca
tentang penyakit thypoid.
Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu
proses penyusunan makalah ini. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis
terima demi kesempurnaan makalah ini. Semakin produktif dan kritis dalam hal
yang kami tempuh. Sekian, terimakasih.

Manado, September 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………….……………i
DAFTAR ISI………………………………………………………….…………..ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………...1
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………….1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………..3
C. Tujuan Penulisan………………………………………………………3
D. Manfaat Penulisan……………………………………………………..3
BAB II KONSEP TEORI PENYAKIT…………………………………...….…4
A. Pengertian Penyakit Thypoid………………………………………….4
B. Manifestasi Klinis……………………………………………………..4
C. Etiologi………………………………………………………………...5
D. Patofisiologi…………………………………………………………...6
E. Pemeriksaan Penunjang……………………………………………….7
F. Penatalaksanaan……………………………………………………….8
G. Komplikasi…………………………………………………………...11
H. Pencegahan…………………………………………………………..11
BAB III PENUTUP……………………………………..………………………12
A. Kesimpulan……………………………………………………………12
B. Saran…………………………………………………………………..12
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...13
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Penyakit demam thypoid termasuk ke dalam penyakit menular yang dapat
dengan mudahnya menyerang orang lain mulai dari anak anak usia balita,
remaja sampai dengan dewasa semua dapat terserang penyakit tersebut.
Demam typhoid adalah salah satu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan
oleh bakteri Salmonella thypi yang masih dijumpai di daerah tropis dan
subtropis, salah satu gejala yang menyertai penyakit tersebut yaitu adanya
peningkatan suhu tubuh atau panas lebih dari 37,5c hal ini dapat disebabkan
akibat gangguan pada hormon, metabolisme serta peningkatan suhu
lingkungan. Demam typhoid dengan hipertermi jika tidak segera diatasi dapat
mengakibatkan syok, kejang demam, dehidrasi dan yang lebih parah kematian
( Lusia, 2015).
Penyakit demam thypoid jika tidak segera ditangani atau diobati akan
memungkinkan munculnya hal yang lebih parah hal tersebut disebabkan oleh
adanya bakteri Salmonella typhi yang merupakan sebuah bakteri gram negatif
dapat menyebabkan spektrum sindrom klinis yang khas termasuk demam
enterik, gastroenteritis, bakteremia, infeksi endovaskular serta infeksi fecal
seperti osteomielitis atau abses (Naveed and Ahmed, 2016).
Berdasarkan World Health Organization (WHO) kurang lebih sekitar 17 juta
kematian terjadi dalam tiap tahunnya yang diakibat oleh penyakit thypoid dan
wilayah negara Asia menempati kasus terbanyak, kasus di Indonesia mencapai
angka antara 800-100.000 selama setahun. Kasus tersebut banyak diderita
anak-anak dengan rentang usia 3-9 tahun sebesar 91% dengan angka kematian
20.000 pertahun (Saputra & Ruslan, 2017). Secara global memperkirakan
bahwa setiap tahunnya kasus terjadinnya demam thypoid ini sekitar 21 juta
dengan angka 222.000 menyebabkan kematian, penyakit demam thypoid
menjadi salah satu penyebab utama kejadian morbiditas serta mortilitas di
negara yang berpenghasilan rendah sampai menengah (WHO, 2016 dalam
Batubaya, 2017). Profil Kesehatan Indonesia pada tahun 2013 menunjukan 10
penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit yaitu demam
Tyhpoid dengan prevalensi kasus sebesar 5,13%. Kasus demam thypoid
tersebar merata menurut umur, namun prevalensi demam thypoid banyak
ditemukan pada umur (5–19 tahun) yaitu pada usia anak-anak sebesar 1,9%
dan paling rendah pada bayi sebesar 0,8%. Prevalensi demam thypoid menurut
tempat tinggal paling banyak di daerah pedesaan. (Depkes, 2012).
Profil Kesehatan DIY pada tahun 2017 didapat dari sistem surveilans terpadu,
demam typhoid masuk dalam 10 besar penyakit di rumah sakit, dengan
mencapai angka kurang lebih 1.566 kasus dan masuk 10 besar penyakit di
puskesmas dengan kasus 5.692. Berdasarkan data prevalensi dinas kabupaten
Bantul tercatat pada tahun 2019 sebanyak 626 orang mengalami penyakit
demam thypoid, dari total jumlah penderita penyakit tersebut tercatat tercatat
sebanyak lebih dari 200 kasus baru yang menyerang pada anak-anak dengan
rentang umur 1bulan sampai dengan umur 18 tahun hal ini menunjukan
sebanyak 31,9% hal tersebut merupakan angka penderita yang terjadi pada
anak-anak yang cukup banyak.
Penyakit demam thypoid yang terjadi pada anak-anak akan mengalami
masalah kesehatan antara lain perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh,
defisit nutrisi serta hipertermi kejadian ini jika tidak segera mendapat
penanganan dapat menyebabkan pasien mengalami dehidrasi yang akan
menganggu keseimbangan elektrolit pada tubuh menyebabkan terjadinya
kejang, jika terjadi berulang akan membuat kerusakan pada otak, selain itu
dehidrasi berat dapat menyebabkan syok dan yang lebih parah menyebabkan
kematian(Wijayahadi 2015).
Penderita demam thypoid yang tidak segera ditangani akan dapat
memperburuk keadaan pasien bahkan dapat berujung kematian, untuk itu
dibutuhkan peran perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan untuk dapat
berkontribusi dalam menurunkan angka kejadian demam thypoid, meliputi
aspek promotif yaitu memberikan penyuluhan atau pendidikan kesehatan
mengenai demam thypoid, selanjunya peran preventif yaitu mencegah atau
mengendalikan agar kejadian demam thypoid menjadi keadaan yang lebih
parah atau menyebabkan trauma dengan cara seperti mengajarkan pasien dan
keluarga untuk menjaga kebersihan hygiene, menjaga pola makan, merubah
pola hidup menjadi hidup bersih dan sehat, selanjutnya peran kuratif yaitu
salah satunya memberikan kompres hangat kepada pasien untuk mengurangi
gejala penyakit dan juga kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain seperti
dokter dalam hal pengobatan atau pemberian terapi obat agar hasil dapat
efektif, kemudian peran rehabilitatif yaitu memberikan pendidikan kepada
keluarga dan pasien untuk istirahat yang cukup, hindari makanan dan
minuman yang kurang sehat seperti makanan pedas serta selalu menjaga
kebersihan diri dan lingkungan sekitar hal tersebut dilakukan agar proses
penyembuhan dapat berjalan dengan efektif (Asnianina 2018).

B. Rumusan Masalah
Menurut latar belakang dari penyakit thypoid ini diambil rumusan masalah
terkait dengan pertanyaan
Apa konsep teori tentang penyakit thypoid?

C. Tujuan Penulisan
 Tujuan Umum
Agar mengetahui dan memahamitentang penyakit thypoid
 Tujuan Khusus
Agar memahami dan bisa mengedukasi masyarakat sekitar tentang
penyakit ini

D. Manfaat Penulisan
 Bagi Institusi
Menambah referensi bagi institusi sendiri untuk sebagai bahan ajar bagi
mahasiswa
 Bagi Mahasiswa
Menambah wawasan bagi mahasiswa dan pengetahuan untuk
meningkatkan referensi dalam pembelajaran perkuliahan
BAB II
KONSEP TEORI PENYAKIT

A. Pengertian Penyakit Thypoid


Typhoid abdominalis merupakan penyakit infeksi akut usus halus dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai dengan gangguan
pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran, disebabkan oleh
Salmonella typhosa dan hanya didapatkan pada manusia (Rampengan, 2007).
Typhoid abdominalis adalah penyakit infeksi akut pada usus halus
yang disebabkan oleh kuman salmonella typhosa (Nugroho, 2011).
Typhoid abdominalis adalah infeksi akut pada saluran pencernaan
yang disebabkan oleh Salmonella typhi dan salmonella paratyphi A, B,
dan C (Widoyono, 2008).
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa typhoid
abdominalis adalah infeksi akut yang menyerang pada saluran pencernaan
yang disebabkan oleh kuman salmonella typhi, yaitu sejenis bakteri gram
negatif yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan dan terkadang
disertai dengan gangguan kesadaran pada klien.

B. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi rata-rata 10-20 hari. Selama masa inkubasi ditemukan gejala
prodmoral (gejala awal tumbuhnya penyakit/gejala yang tidak khas)
sebagai berikut.
1. Perasaan tidak enak badan
2. Lesu
3. Nyeri kepala
4. Pusing
5. Diare
6. Anoreksia
7. Batuk
8. Nyeri otot (Mansjoer, Arif, 1999).
Gejala klinis demam typhoid seringkali tidak spesifik dan sangat bervariasi
sesuai dengan patogenesisnya. Spektrum klinis demam typhoid tidak spesifik
dan komprehensif, dari asimtomatik atau yang ringan (panas dan diare)
sampai dengan gejala klinis berat (demam inggi, septik dan
ensefalopati). Hal tersebut mempersulit penegakan diagnosis
berdasarkan gambaran klinisnya (Anwar, 2014). Di bawah ini gejala klinis
demam typhoid.
1. Demam
Demam muncul secara tiba-tiba dalam kurun waktu 1-2 hari. Gejala
klinis yang biasa ditemukan, seperti demam pada kasus-kasus yang
khas, demam berlangsung selama 3 minggu. Bersifat ferbis remiten,
dan suhu tidak berapa tinggi.
a) Minggu pertama : Demam remiten, biasnya menurun pada pagi
hari dan meningkat pada sore dan malam hari, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau
diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epiksasi.
b) Minggu kedua : Demam, bradikardi relatif, lidah typhoid (kotor di
tengah, tepi dan ujung merah tremor), hepatomegali,
plenomegali, meteorismus, dan gangguan kesadaran seperti
samnolen.
c) Minggu ketiga : Demam mulai turun secara berangsur-angsur.
2. Gangguan pada saluran pencernaan
a) Lidah kotor yaitu ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi
kemerahan, jarang disertai tremor
b) Hati dan limpa membesar sehingga nyeri saat diraba
c) Terjadi konstipasi dan atau diare
3. Gangguan kesadaran
a) Kesadaran yaitu apatis – somnole.
b) Gejala lain roseola (bintik-bintik kemerahankarena emboli
hasil dalam kapiler kulit) (Rahmad Juwono, 1996)

C. Etiologi
Demam typhoid timbul akibat dari infeksi oleh bakteri gololongan salmonella
yang memasuki tubuh penderita melalui saluran pencernaan. Sumber utama
yang terinfeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan mikroorganisme
penyebab penyakit baik ketika sedang sakit atau sedang dalam masa
penyembuhan.
Penyebab dari penyakit tipes atau demam typhoid ini adalah bakteri
Salmonella typhi. Biasanya bakteri ini disebarkan melalui:
1. Feses dan urine penderita yang mengkontaminasi air atau makanan
2. Bakteri Salmonella typhi juga dapat menyebar melalui kontak langsung
dengan orang yang telah terinfeksi (penyajian makanan oleh orang yang
sedang mengalami demam typhoid).

D. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit demam typhoid berawal dari kuman masuk melalui
mulut sebagian kuman akan dimusnahkan dalam lambung oleh asam lambung
dan sebagian lagi masuk ke usus halus, ke jaringan limfoid dan berkembang
biak menyerang vili usus halus kemudian kuman masuk keperedaran darah
(bakterimia primer), dan mencapai sel-sel endoteleal, hati, limpa, dan organ-
organ lainnya. Proses ini terjadi dalam masa tunas dan akan berakhir saat sel-
sel retikulo endoteleal melepaskan kuman ke dalam peredaran darah dan
menimbulkan bakterimia untuk kedua kalinya. Selanjutnya kuman masuk
kebeberapa jaringan organ tubuh, terutama limpa, usus, dan kandung empedu.
Pada minggu pertama sakit, terjadi hyperplasia plaks player. Ini terjadi pada
kelenjar limfoid usus halus. Minggu kedua terjadi nekrosis dan pada minggu
ketiga terjadi ulserasi plaks peyer. Pada minggu keempat terjadi penyembuhan
ulkus yang dapat menimbulkan sikatrik. Ulkus dapat menyebabkan
perdarahan, bahkan sampai perforasi usus. Selain itu hepar, kelenjar
mesentrial dan limpa membesar. Gejala demam disebabkan oleh endotoksil,
sedangkan kelainan pada saluran disebabkan oleh kelainan pada usus halus
(Suriadi & Yuliani, 2010).
Pathway

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaaan Laboratorium
Diagnosis demam tifoid pada garis besarnya dibagi dalam empat
kelompok pemeriksaan laboratorium, yaitu
 Tes biakan untuk deteksi kuman Salmonella typhi dari spesimen
klinik seperti darah, sumsum tulang, urin dan tinja.
 Tes serologis untuk mendeteksi kenaikan kadar antibodi terhadap
antigen Salmonella typhi dan menentukan adanya antigen spesifik
dari Salmonella typhi
 Tes Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk deteksi DNA spesifik
Salmonella typhi
 Tes penunjang dalam menegakkan demam tifoid ;
Peemriksaan darah rutin, pemeriksaan sgot dan sgpt, dan uji
serologi widal.
F. Penatalaksanaan
1. Terapi Antibiotik
Dulu pilihan antibiotik utama untuk terapi demam tifoid adalah
chloramphenicol, ampisilin dan co-trimoxazole. Akan tetapi, saat ini
telah banyak ditemukan strain MDR Salmonella typhi yang resistan
terhadap obat-obatan tersebut.
Saat ini, antibiotik yang paling sering digunakan dan terbukti efektif
sebagai pilihan terapi utama pada demam tifoid adalah golongan
fluorokuinolon, seperti ciprofloxacin. Terapi ini mendapat
pengecualian, yaitu bukti strain yang dihadapi resistan terhadap
fluorokuinolon.
Fluorokuinolon merupakan antibiotik pilihan utama pada demam tifoid
pasien dewasa dengan angka kesembuhan hingga 98%, serta angka
relaps dan karier kronik <2%. Antibiotik fluorokuinolon yang paling
efektif adalah ciprofloxacin dengan dosis 500 mg per oral dua kali
sehari selama 5–7 hari.
Selain fluorokuinolon, amoxicillin 750 mg peroral 4 kali sehari selama
2 minggu, trimethoprim-sulfamethoxazole 160 mg dua kali sehari
selama 2 minggu dan chloramphenicol 500 mg 4 kali sehari selama 2-3
minggu dapat menjadi alternatif terapi pada pasien dewasa yang masih
sensitif terhadap obat-obatan tersebut.
Pilihan Antibiotik Demam Tifoid pada Anak
Saat ini pada pasien anak, pilihan terapi demam tifoid yang umum
digunakan adalah chloramphenicol peroral selama 10–14 hari. Dosis
chloramphenicol untuk anak berusia 1-12 tahun adalah 50–100
mg/kgBB/hari dalam 4 dosis terbagi, sedangkan anak berusia ≥ 13
tahun, dosisnya adalah 4 gram/hari dalam 4 dosis terbagi.
Tetapi berdasarkan studi, penggunaan sefalosporin generasi ketiga
dapat menjadi alternatif pilihan terapi. Hal ini karena, studi
menunjukkan bahwa penggunaan sefalosporin generasi ketiga seperti
ceftriaxone dengan dosis 75 mg/kg sehari sekali terbukti lebih efektif
sebagai terapi demam tifoid dibanding kloramfenikol pada anak.

Pilihan Antibiotik pada Infeksi Tifoid Multidrug-Resistant (MDR)


Pada pasien yang diketahui memiliki multidrug-resistant (MDR) dari
hasil kultur, pilihan terapi antibiotik utamanya adalah sefalosporin
generasi ketiga (seperti ceftriaxone, cefotaxime, dan cefixime 2g sekali
sehari selama 2 minggu) dan azithromycin.
Selain itu, fluorokuinolon seperti ciprofloxacin dapat menjadi alternatif
terapi. Tingkat kegagalan terapi pada kondisi ini adalah 5% hingga
10%, dengan angka relaps hingga 3% sampai 6%.

Pilihan Antibiotik pada Infeksi Tifoid Extremely Drug-Resistant


(XDR) Strains
Pasien dengan infeksi salmonella extremely drug-resistant (XDR)
strains umumnya resistan terhadap ampisilin, ceftriaxone,
chloramphenicol, ciprofloxacin, and trimethoprim-sulfamethoxazole.
Akan tetapi, kelompok XDR ini sensitif terhadap azithromycin dan
karbapenem.
Pada kasus berat atau dengan komplikasi, antibiotik yang menjadi
pilihan utama adalah golongan karbapenem, seperti meropenem. Bila
pasien belum membaik dengan pemberian carbapenem, antibiotik
dapat diberikan dalam bentuk kombinasi dua obat dengan azitromisin.
2. Terapi Tambahan
Selain pemberian antibiotik, terapi simptomatik dan terapi suportif
juga sangat penting diberikan. Terapi meliputi hidrasi adekuat pada
pasien dengan gejala diare, mempertahankan oksigenasi dan ventilasi
adekuat pada pasien dengan komplikasi pulmonal, serta pemberian
analgesik dan antipiretik sesuai kebutuhan. Bila terjadi komplikasi
berupa ensefalitis, pemberian kortikosteroid dapat dipertimbangkan.
Dosis kortikosteroid (dexamethasone) yang diberikan adalah 3
mg/kgBB dan kemudian 1 mg/kgBB setiap 6 jam yang diberikan
selama 2 hari. Bila terjadi komplikasi berupa peritonitis maupun
perforasi ileum, Tindakan pembedahan dapat diindikasikan.

G. Komplikasi
Perdarahan di saluran pencernaan sehingga memerlukan transfusi darah.
Robekan di saluran pencernaan, yang dapat berkembang menjadi peritonitis
dan berakibat fatal.

H. Pencegahan
Penjegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan
penyakit yaitu penjegahan primer, pencegahan sekunder, dan
pencegahan tersier.
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang
yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin
yang dibuat dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia
telah ada 3 jenis vaksin typhoid, yaitu vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna,
vaksin parental sel utuh dan vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis
Pasteur Merrieux. Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan
daya tahan tubuh, memberikan pendidikan kesehatan untuk
menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat dengan cara budaya cuci
tangan yang benar dengan memakai sabun, peningkatan kebersihan
makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara yang cermat
dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal
pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan
sanitasi lingkungan.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa
penyakit secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan
tepat. Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Ada 3 metode untuk mendiagnosis penyakit
demam tifoid, yaitu diagnosis klinik, diagnosis
mikrrobiologik/pembiakan kuman dan diagnosis serologik.
Pencegahan sekunder dapat berupa diantaranya sebagai berikut.
a) Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan
usaha surveilans demam typhoid.
b) Perawatan umum dan nutrisi pada penderita typhoid dengan
pemberian cairan dan diet.
c) Pemberian anti mikroba (antibiotik) Kloramfenikol dan untuk ibu
hamil berupa ampisilin atau amoksilin
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi
keparahan akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh
dari penyakit demam typhoid sebaiknya tetap menerapkan pola
hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat
terhindar dari infeksi ulang demam typhoid. Pada penderita demam
typhoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca
penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, penulis mengambil
kesimpulan sebagai berikut.
1. Typhoid abdominalis adalah infeksi akut yang menyerang pada saluran
pencernaan yang disebabkan oleh kuman salmonella typhi,
yaitu sejenis bakteri gram negatif yang dapat menyebabkan
gangguan pencernaan dan terkadang disertai dengan gangguan
kesadaran pada klien.
2. Peyebab penyakit thypoid yaitu dari Feses dan urine penderita yang
mengkontaminasi air atau makanan dan Bakteri Salmonella typhi.
3. Pengobatan penyakit thypoid bisa dilakukan dengan cara minum obat
antibiotic, banyak minum, makan makanan yang mudah dicerna dan
istirahat yang cukup

B. Saran
Agar terhindar dari penyakit thypoid maka peyusun menyarankan hal-
hal sebagai berikut.
1. Lebih memperhatikan lagi cara pencegahan penyakit typhoid tersebut.
2. Kebersihan yang buruk merupakan sumber dari penyakit typhoid ini,
oleh karena itu kita senantiasa harus bisa menjaga kebersihan.
3. Dengan adanya makalah ini semoga bisa menjadi acuan pemahaman
mengenai penyakit typhoid, dan dapat melakukan cara pencegahan
penyakit typhoid dengan benar.
DAFTAR PUSTAKA

Nasri, A. (2018). Typhoid Fever. Universitas Muhammadiyah Semarang :


Semarang

Patofisiologi Typhoid. Makalah patofisiologi. Akademi Keperawatan


Muhammadiyah: Kendal

Yuniawati, R., & Wulandari, T. S. (2020). Literature Review Penerapan Metode


Water Tepid Sponge untuk Mengatasi Masalah Keperawatan Hipertermi pada
Pasien Typhoid. Jurnal Ilmiah Keperawatan dan Kesehatan Alkautsar
(JIKKA), 1(1)

Anda mungkin juga menyukai