Anda di halaman 1dari 44

Referat

DEMAM TIFOID
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh Rumah
Sakit Umum Daerah Cut Meutia

Oleh :

Ira Arianti, S.Ked


120611030

Preseptor :
dr. Mawaddah Fitria, Sp.PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RSUD CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta

hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dan

lancer. Selawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad

SAW beserta keluarga dan para sahabat hingga akhir zaman.

Penyusunan Referat yang berjudul “Demam Tifoid” ini merupakan salah

satu persyaratan penilaian selama mengikuti kepanitraan klinik senior di bagian di

bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Cut Meutia Aceh Utara

dan juga untuk menambah keilmuan penulis.

Penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar besarnya

kepada dr. Mawaddah Fitria, Sp. PD selaku pembimbing dan pereseptor selama

mengikuti KKS di bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Cut

Meutia Aceh Utara yang telah membimbing penulis dengan tulus dan ikhlas

dengan segenap keilmuannya. Rasa terimakasih juga penulis sampaiakan kepada

pereseptor lainnya yaitu, dr. Suhaemi, Sp. PD, dr. Faisal Sp. PD, dr. Wahyuni,

Sp.PD, dr. Rahmawaty Sp. PD (K) GH, dan dr. Darmadi, Sp. PD (K) GEH yang

telah membimbing penulis dengan segenap keilmuannya. Penulis juga

mengucapkan rasa terimakasih kepada teman-teman seperjuangan yang sedang

mengikuti KKS di bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Cut

Meutia Aceh Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya penyusunan laporan kasus ini masih jauh

dari kesempurnaan dan oleh karena itu penulis sangat berharap kritik dan saran

i
yang bersifat membangun. Semoga laporan kasus ini dapat berguna dan

bermanfaat bagi semua pihak.

Lhokseumawe, Oktober 2016

Penulis

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh

Salmonella enterica serotype typhi, dapat juga disebabkan oleh Salmonella

enterica serotype paratyphi A, B, atau C (demam paratifoid). Demam tifoid

ditandai antara lain dengan demam tinggi yang terus menerus bisa selama 3-4

minggu, toksemia, denyut nadi yang relatif lambat, kadang gangguan kesadaran

seperti mengigau, perut kembung, splenomegali dan leukopenia.

Diseluruh dunia diperkirakan antara 16 – 16, 6 juta kasus baru demam

tifoid ditemukan dan 600.000 diantaranya meninggal dunia. Di Asia diperkirakan

sebanyak 13 juta kasus setiap tahunnya. Di Jawa Barat menurut laporan tahun

2000 ditemukan 38.668 kasus baru yang terdiri atas 18.949 kasus rawat jalan dan

19.719 kasus rawat inap.

Demam tifoid ditemukan di masyarakat Indonesia, yang tinggal di kota

maupun desa. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kualitas perilaku hidup

bersih dan sehat, sanitasi dan lingkungan yang kurang baik. Selain masalah diatas

ada beberapa masalah lain yang akan turut menambah besaran masalah penyakit

demam tifoid di Indonesia diantaranya adalah angka kemiskinan di kota dan desa

Indonesia yang mencapai 11,66 % (Susenas 2012) yaitu sekitar 28.594.060 orang.

Pada orang yang miskin bila sakit tidak berobat ke sarana kesehatan medis hal ini

dikarenakan masalah biaya, sehingga bila mereka menjadi penjamah makanan

maka mereka akan menjadi sumber penularan penyakit

1
2

kepada masyarakat yang menjadi pembeli jajanan tersebut. Risiko penularan

melalui penjual makanan di jalanan yang kebersihannya buruk memperbanyak

jumlah kasus demam tifoid.

Di Indonesia penyakit ini bersifat endemik dan merupakan masalah

kesehatan masyarakat. Data Riskesdas 2007 menunjukkan angka prevalensi tifoid

yang di diagnosa oleh tenaga kesehatan adalah 0,79 %. Angka kesakitan demam

tifoid di Indonesia yang tercatat di buletin WHO 2008 sebesar 81,7 per 100.000

penduduk. Penderita terbanyak terdapat pada usia 2-15 tahun. Penderita demam

tifoid mempunyai potensi untuk menjadi karir atau pembawa menahun setelah

penyakitnya di sembuhkan. Era sebelum antibiotika digunakan diperkirakan

sedikitnya 5% penderita demam tifoid menjadi pembawa menahun. Studi dewasa

ini menemukan angka tersebut hanya menurun sedikit, angka terakhir (2005) di

India menurun menjadi sekitar 3%. Interpretasi hasil pemeriksaan penunjang

demam tifoid tidak mudah. Permasalahannya sebagai negara endemis, Indonesia

masih memiliki angka morbiditas dan mortalitas tinggi. Penemuan kasus belum

optimal karena adanya kendala pada penunjang diagnosis, adanya variasi gejala

klinis, pemeriksaan penunjang standar baku yang sulit dilaksanakan sampai ke lini

terdepan, pelayanan medis dan biaya pengadaan penunjang medis yang sangat

minim.

Salah satu faktor yang memberatkan penyakit demam tifoid apabila terjadi

komplikasi seperti perforasi, yang mungkin disebabkan resistensi antibiotika

(0,8%). Berdasarkan alasan di atas, maka penyakit demam tifoid harus mendapat

perhatian yang serius, dan terpadu dalam pengendaliannya di masyarakat.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Demam Tifoid

2.1.1 Definisi

Demam thypoid ( enteric fever ) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya

mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu,

gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran ( Nursalam dkk, 2005 : 152 ).

Demam typoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk

penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang no 6 tahun 1962 tentang

wabah. Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri, yang disebabkan oleh

Salmonella typhi . Penyakit ini ditularkan melalui konsumsi makanan atau minuman

yang terkontaminasi oleh tinja atau urin orang yang terinfeksi. Kelompok penyakit ini

merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang

sehingga dapat menimbulkan wabah.

Penularan salmonella typhi sebagian besar melalui makanan/minuman yang

tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman dan biasanya

keluar bersama-sama dengan tinja. Transmisi juga dapat terjadi secara transplasenta

dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya.

2.1.2 Epidemiologi

Demam typoid disebabkan oleh salmonella tiphy. Bakteri yang terkenal sering

menyebabkan penyakit yang sedikit berat disebabkan oleh kuman salmonella

4
5

serotype parathiphy A. pada beberapa Negara dimana studi dilakukan, kejadian

infeksi s.tiphy dengan s. paratiphy 10:1

Untuk memperkirakan jumlah kasus pasien demam typoid didunia karena

gambaran klinis demam typhoid membingungkan dengan dengan demam febris yang

disebabkan kasus lain, penyakit ini dibawah perkiraan karena kurangnya sumber

laboratorium pada Negara berkembang sehingga tidak terdiagnosis.

Manusia merupakan host alami infeksi kuman ini, penyakit infeksi ini di

transmisikan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi S. thiposa. Masa

inkubasi penyakit ini biasa 8-14 hari, tetapi range 3hari sampai 2 bulan. Orang yang

mengidap aklorhidria dan positif HIV lebih rentan terinfeksi S. typhi, dan 2-5% orang

yang terinfeksi menjadi carier yang menyimpan S.typhi di dalam kandung

empedunya.

World Health Organization (WHO) pada tahun 2003 terdapat 17 juta kasus

demam tifoid per tahun di dunia dengan jumlah kematian mencapai 600.000 kematian

dengan case fatality rate (CFR) = 3,5%. Insiden Rate penyakit demam tifoid di

daerah endemis berkisar antara 45 per 100.000 penduduk per tahun sampai 1.000 per

100.000 penduduk per tahun. Tahun 2003 iniden rate demam tifoid di Bangladesh

2.000 per 100.000 penduduk pertahun. Insidens rate demam tifoid di Negara eropa 3

per 100.000 penduduk, di afrika yaitu 50 per 100.000 penduduk, dan di asia 274 per

100.000 penduduk.

Indonesia merupakan daerah endemic demam tifoid. Berdasarkan data WHO

lebih dari 100/100.000 orang terinfeksi demam thypoid setiap tahun, pada tahun 2007
6

prevalensi demam tifoid di Indonesia mencapai 1,6 %. Di Indonesia terdapat 12

provinsi yang memiliki prevalesi demam tifoid. Prevalensi demam tifoid tertinggi

terjadi pada anak usia sekolah, yaitu 5-14 tahun.

Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di

Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan

frekuensi menjadi 15,4 per 10.00 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di

Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah

penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.

Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan

sanitasi lingkungan. Di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk,

sedangkan di daerah urban ditditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan

insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum

memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang

memenuhi syarat kesehatan lingkungan.

Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari

seluruh kematian di Indonesia. Namun Tangga Departemen Kesehatan RI tahun 1995

demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tinggi.

Model transmisi S. typhi dari manusia ke manusia, biasanya melalui rute fekal

oral. Air minum yang terkontaminasi feses sering di identifikasi sebagai sumber

penularan, S. typhi juga ditemukan di urin dan muntahan serta beberapa situasi, dapat

mengkontaminasi makanan dan minuman. Lalat secara mekanis dapat menjadi


7

transmisi kuman S. thypi ke dalam makanan, kemudian bakteri replikasi untuk

mencapai jumlah infektif.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI, (2006) penularan demam

tifoid melalui mulut bersama makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses

pengidap tifoid. Dimana beberapa hal yang berperan adalah :

a. Hiegene perorangan yang rendah seperti budaya cuci tangan tidak terbiasa

b. Hiegene makanan dan minuman yang rendah diantaranya pencucian makanan

dengan air yang terkontaminasi

c. Sanitasi lingkungan yang kumuh dimana pengelolahan air limbah kotoran dan

sampah yang tidak memenuhi syarat kesehatan.

d. Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadahi

e. Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat

f. Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati sempurna

g. Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid

2.1.3 Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella

paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif tidak

membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut

getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam

air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60◦C) selama

15-20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi. Genus Salmonella terdiri dari dua

species, yaitu Salmonella enterica dan Salmonella


8

bongori (disebut juga subspecies V). Salmonella enterica dibagi ke dalam enam

subspecies yang dibedakan berdasarkan komposisi karbohidrat, flagell, dan struktur

lipopolisakarida. Subspecies dari Salmonella enterica antara lain subsp. Enterica,

subsp. Salamae, subsp. Arizonae, subsp. Diarizonae, subsp. Houtenae, subsp. Indica.

Gambar 2.1. Salmonella

Sumber utama yang terinfeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan

mikroorganisme penyebab penyakit,baik ketika ia sedang sakit atau sedang dalam

masa penyembuhan.Pada masa penyembuhan, penderita masih mengandung

Salmonella spp didalam kandung empedu atau di dalam ginjal. Sebanyak 5%

penderita demam tifoid kelak akan menjadi karier sementara, sedang 2 % yang lain

akan menjadi karier yang menahun.Sebagian besar dari karier tersebut merupakan

karier intestinal (intestinal type) sedang yang lain termasuk urinary type.
9

Kekambuhan yang yang ringan pada karier demam tifoid,terutama pada karier jenis

intestinal,sukar diketahui karena gejala dan keluhannya tidak jelas.

Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, kuman gram 9ononucl.

Isolasi dari mikroorganisme Salmonella pertama sekali dilaporkan pada tahun 1884

oleh Gaffky dengan nama spesies Bacterium thyposum. Kemudian, pada tahun 1886

perkembangan nomenklatur semakin kompleks karena peranan Salmon dan Smith

serta sempat menjadi bahan pembicaraan yang rumit. Bahkan dalam

perkembangannya, Salmonella menjadi bakteri yang paling kompleks dibandingkan

enterobacteriacea lain, oleh karena bakteri ini memiliki lebih dari 2400 serotipe dari

antigen bakteri ini

Kuman yang sangat mirip tetapi sedikit menyebabkan penyakit yang berat

adalah Salmonella Serotype Paratyphi A. Tata penamaan bacteri salmonella masih

diperdebatkan. Le Minor dan Popoff mengatakan ada 2 spesies yang harus ditetapkan

yaitu salmonella bongori dan salmonella enteric. Salmonella enteric terbagi menjadi 6

subspesies, dimana semua subspecies pertama bersifat pathogen terhadap binatang

berdarah panas. S. typhi termasuk dalam subspecies pertama dari salmonella enteric.

Akan tetapi pengajuan nomenclature ini ditolak oleh International Judicial

Commision karena nama tersebuttidak diketahui banyak dokter dan mungkin

digunakan pada kasus yang membahayakan kesehatan atau membahayakan hidup.

Ezaki dkk telah mencatat dalam international journal of systematic and evolutionary

microbiology bahwa nomenclature yang benar penyebab demam tipoid adalah

Salmonella Typhi.
10

Tabel 2.1 klasifikasi Spesies dan Subspesies Salmonella

Spesies Subspesies

Salmonella enterica S. enteric subsp. Enteric (I)


S. enteric subsp. Salamae (II)

S. enteric subsp. Arizonae (IIIa)

. enteric subsp. Diarizonae (IIIb)

S. enteric Subsp. Houtenae (IV)

S. enteric subsp. Indica (VI)

Salmonella bongari (V)

Salmonella merupakan bakteri berbentuk batang bergerak yang khas

memfermentasikan glukosa dan manosa tanpa membentuk gas tetapi tidak

memfermentasikan laktosa dan sukrosa. Salmonella menghasilkan H2S (Jawetz et al.,

2006). Isolat salmonella pada media SSA pada suhu 37°C maka koloni akan tampak

cembung, transparan, bercak hitam dibagian pusat (Nugraha, 2012). Bakteri

salmonella akan mati pada suhu 60o C selama 15 – 20 menit melalui pasteurisasi,

pendidihan dan khlorinasi (Keputusan Menteri Kesehatan RI, 2006).

Klasifikasi Salmonella terbentuk berdasarkan dasar epidemiologi, jenis inang,

reaksi biokimia, dan struktur antigen O, H, V ataupun K. Antigen yang paling umum

digunakan untuk Salmonella adalah antigen O dan H.


11

Antigen O, berasal dari bahasa Jerman (Ohne), merupakan susunan senyawa

lipopolisakarida (LPS). LPS mempunyai tiga region. Region I merupakan antigen O-

spesifik atau antigen dinding sel. Antigen ini terdiri dari unit-unit oligosakarida yang

terdiri dari tiga sampai empat monosakarida. Polimer ini biasanya berbeda antara satu

11ononuc dengan 11ononuc lainnya, itulah sebabnya antigen ini dapat digunakan

untuk menentukan 11ononucl secara serologis. Region II merupakan bagian yang

melekat pada antigen O, merupakan core polysaccharide yang konstan pada genus

tertentu. Region III adalah lipid A yang melekat pada region II dengan ikatan dari 2-

keto-3-deoksioktonat (KDO). Lipid A ini memiliki unit dasar yang merupakan

disakarida yang menempel pada lima atau enam asam lemak. Bisa dikatakan lipid A

melekatkan LPS ke lapisan murein-lipoprotein dinding sel (Dzen, 2003).

Antigen H merupakan antigen yang terdapat pada 11ononucl dari bakteri ini,

yang disebut juga flagelin. Antigen H adalah protein yang dapat dihilangkan dengan

pemanasan atau dengan menggunakan 11ononuc. Antibodi untuk antigen ini

terutamanya adalah IgG yang dapat memunculkan reaksi aglutinasi. Antigen ini

memiliki phase variation, yaitu perubahan fase salam satu serotip tunggal. Saat

serotip mengekspresikan antigen H fase-1, antigen H fase-2 sedang disintesis (Chart,

2002).

Antigen K berasal dari bahasa Jerman, kapsel. Antigen K merupakan antigen

kapsul polisakarida dari bakteri enteric (Dzen, 2003). Antigen ini mempunyai

berbagai bentuk sesuai genus dari bakterinya. Pada salmonella, antigen K dikenal

juga sebagai virulence antigen (antigen Vi).


12

S. typhi yang menginfeksi manusia dan menyebabkan demam 12ononuc,

yakni demam tifoid. Jumlah organisme dalam makanan dan minuman yang

terkontaminasi menentukan infection rate.

Antigen Vi dari serotip S. typhi merupakan bentuk antigen K. Sejumlah

penelitian menunjukkan bahwa Vi mempunyai sifat antiopsonik dan antifagositik,

mengurangi sekresi TNFα terhadap S enterica ser. Thypi oleh makrofag inang,

meningkatkan resistensi bakteri terhadap oxidative killing (Wain, 2005). Antigen Vi

meningkat infektivitas dari S. thypi dan keparahan penyakitnya

Antigen O menurunkan kepekaan bakteri terhadap protein komplemen, host

cationic proteins, dan interaksi dengan makrofag. Antigen O memberikan

perlindungan dari serum normal karena adanya complement-activating A dan LPS

core polysaccharides. Selain itu, antigen O juga mencegah aktivasi dan deposisi

12ononu komplemen (Dzen, 2003).

Plasmid virulensi untuk Salmonella hanya ditemukan pada beberapa serotip

dari 12ononucl I saja, salah satunya S. typhi. Plasmid virulensi ini penting untuk

multiplikasi bakteri di 12ononu retikuloendotelial. Namun, beberapa mengatakan

bahwa plasmid tidak menentukan keparahan dari invasi bakteri karena perannya yang

hanya bekerja di luar sel-sel intestinal. Berdasarkan penelitian, plasmid ini hanya

membantu replikasi bakteri di makrofag (Rotger, 1999).

S. typhi juga diduga memiliki adhesion yang berasal dari Outer Membrane

Protein (OMP) dengan berat molekul sekitar 36kDa, yang kemudian dikenal sebagai
13

Adh036. Adh036 ini bersifat imunogenik dan mampu menginduksi respon imun

mucosal dengan terbentuknya SisA protektif pada mencit (Dzen, 2003).

Seperti halnya semua bakteri basil 13ononuc, S. typhi juga menghasilkan

endotoksin. Endotoksin merupakan senyawa lipopolisakarida (LPS) yang dihasilkan

dari lisisnya sel bakteri. Di peradaran darah, endotoksin ini akan berikatan dengan

protein tertentu kemudian berinteraksi dengan reseptor yang ada pada makrofag dan

monosit serta sel-sel RES, maka akan dihasilkan IL-1, TNF, dan sitokin lainnya.

Selain itu, S. typhi juga menghasilkan sitotoksin, namun hanya sedikit sekali (Dzen,

2003)

S. enterica memiliki region DNA yang berhubungan dengan patogenitasnya

dan dimiliki oleh semua serotipnya. Region ini disebut sebagai Salmonella

Patogenicity Island sering disingkat dengan SPI (Retamal, 2010). SPI berfungsi

dalam menambah fungsi virulensi yang kompleks oleh bakteri terhadap inang yang

diinfeksinya (Saroj, 2008). Hensel (2004), Chiu (2005), Vernikos & Parkhill (2006)

dalam Saroj (2008) mengatakan bahwa adalah sekitar 17 jenis SPI yang sudah

dideteksi.

SPI-1 dan SPI-2 mengatur type III secretion system (T3SS) yang membentuk

organela berbentuk syringe. Organela ini akan mempermudah bakteri untuk

menginjeksi langsung sitosol dari sel inang. SPI-1 dan SPI-2 mempunyai peran yang

berbeda sesuai dengan organ yang dipengaruhi. SPI-1 bekerja pada sel enterosit dan

menginisiasi inflamasi. SPI-2 bekerja dalam pertahanan dan multiplikasi bakteri pada

sel fagositik. SPI-7 merupakan genom terbesar yang mencapai ukuran 134 kb dan
14

pertama kali ditemukan pada S. typhi (Seth, 2008). S. typhi juga memiliki SPI-8 dan

SPI-10 (Saroj, 2008).

Kemampuan 14ononucl pada manusia untuk mempengaruhi siklus Na+

memungkinkan adanya 14ononu virulensi, salah satunya pada S. typhi (Hase, 2011).

2.1.4 Patogenesis

Masuknya kuman salmonella typhi dan salmonella paratyphi ke dalam tubuh

manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman, sebagian kuman

dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya

berkembang biak. Bakteri ini akan dimusnahkan oleh asam lambung, namun yang

lolos akan masuk ke usus halus. Sebagian bakteri yang lolos masuk ke dalam usus

kemudian berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang

baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke

lamina propia. Bakteri ini akan melakukan penetrasi pada mukosa baik usus halus

maupun usus besar dan tinggal secara intraseluler dimana mereka akan berproliferasi.

Ketika bakteri ini mencapai epitel dan IgA tidak 14ono menanganinya, maka akan

terjadi degenerasi brush border. Kemudian, di dalam sel bakteri akan dikelilingi oleh

inverted cytoplasmic membrane mirip dengan vakuola fagositik (Dzen, 2003). Setelah

melewati epitel, bakteri akan memasuki lamina propria. Bakteri dapat juga

melakukan penetrasi melalui intercellular junction. Dapat dimungkinkan munculnya

ulserasi pada folikel limfoid (Singh, 2001). S. typhi dapat menginvasi sel M dan sel

enterosit tanpa ada predileksi terhadap tipe sel tertentu (Santos, 2003). Di dalam

lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama
15

makrofag. Kuman dapat hidup dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag

dan selanjutnya dibawa ke plak peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah

bening mesenterika. Selanjutnya memlalui duktus toraksikus kuaman yang terdapat di

dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (menyebabkan bakterimia

pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruhorgan retikuloendotelial tubuh

terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan

kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke

dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan

disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.

Di dalam hati kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,

dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalamlumen usus.

Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi

setelah menembus usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian

masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang

kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis

kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi sistemik seperti

demam, malaise, 15ononuc, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan

mental, dan koagulasi.

Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia

jaringan (s. typhi intra makrofag menginduksi rreaksi hipersensitifitas tipe lambat,

hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi

akibat erosi pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis
16

dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinidng usus. Proses

patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus,

dan dapat mengakibatkan perforasi.

Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat

timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovasskular, pernafasan,

dan gangguan organ lainnya.

Huckstep (1962) dalam Singh (2001) membagi keadaan patologi di Payer

patch akibat S. typhi menjadi 4 fase sebagai berikut.

1. Fase 1 : 16ononuclear dari folikel limfoid.

2. Fase 2 : nekrosis dari folikel limfoid pada minggu kedua yang mempengaruhi

mukosa dan submukosa.

3. Fase 3 : ulserasi sepanjang usus yang memungkinkan terjadinya perforasi dan

perdarahan.

4. Fase 4 : penyembuhan mungkin terjadi pada minggu keempat dan tidak

terbentuk striktur.

Ileum memiliki jumlah dan ukuran Payer’s patch yang lebih banyak dan

besar. Meskipun kebanyak infeksi berada di ileum, namun jejunum dan usus besar

juga mungkin mengalami kelainan dari folikel limfoid.

Egglestone (1979) dalam Singh (2001) mengatakan bahwa perforasi pada

demam tifoid biasanya sederhana dan mempengaruhi pinggiran antimesentrik dari

usus dimana lubang muncul. Ditemukan pembesaran dan kongesti dari limpa dan

kelenjar mesentrik pada 16ononu retikuloendotelial. Pada 16ononu, kemungkinan


17

ditemukan nekrosis fokal hati yang berhubungan dengan infiltrasi 17ononuclear

(nodul tifoid) dilatasi dan kongesti sinusoidal dan infiltrasi sel 17ononuclear pada

area portal.

Gambaran yang penting untuk infeksi S. typhi adalah adanya 17ononuclea

17ononuclea dan pada hewan coba ditemukan dominasi dari leukosit 17ononuclear

(Santos, 2003).

Gambar 2.2 Patogenesis Demam Tifoid


18

2.1.5 Gambaran klinis

Gambaran klinis demam tifoid bervariasi dari sakit ringan dengan demam

ringan, malaise, dan batuk kering sampai gejala klinis berat yang ditandai dengan

nyeri abdomen dan komplikasi yang multiple. Banyak faktor yang memperberat

penyakit dan beberapa gambaran klinis dari infeksi, faktor-faktor tersebut termasuk

lamanya penyakit sebelum inisiasi terapi pemberian antibiotic, pilihan antibiotik yang

digunakan, usia, riwayat terinfeksi sebelumnya dan riwayat vaksin, virulensi strain

bakterinya, jumlah inokulum bakteri yang masuk ke dalam saluran pencernaan, factor

host ( tipe HLA, AIDS dan keadaan imunosupressan lainnya yang dialami penderita)

dan apakah pasien menggunakan obat seperti H2 blocker atau antasida untuk

menurunkan asam lambung. Pasien yang terinfeksi HIV berisiko terinfeksi S. typhi

dan s. paratyphi. Pasien yang terinfeksi helicobacter pylori risiko terinfeksi demam

tifoid meningkat.

 Penyakit akut tanpa komplikasi : demam tifoid akut ditandai oleh demam

tinggi, gangguan fungsiusus (konstipasi pada orang dewasa, diare pada anak-

anak), sakit kepala, malaise dan anoreksia. Batuk sering terjadi pada stadium

awal penyakit. Selama priode demam, lebih dari 25% pasien menunjukkan

exantema (rose spot) di dada, abdomen, dan punggung.

 Komplikasi penyakit : demam tifoid mungkin berat. Tergantung dari klinis

dan kualitan pelayanan medis, lebih dari 10% pasien tifoid dapat terjadi

komplikasi yang serius. Perdarahan samar pada feses sering terjadi pada 10-
19

20% pasien, dan lebih dari 3% terdapat melena. Perforasi usus juga pernah

dilaporkan mencapai 3% kasus di rumah sakit. Gangguan abdomen

berkembang dan meningkat. Tanda dan gejala perforasi usus dan peritonitis,

dapat disertai peningkatan denyut nadi secara tiba-tiba, hipotensi, ditandai

dengan nyeri tekan abdomen, nyeri lepas dan defans muscular. Peningkatan

jumlah leukosit (shift to left) dan udara bebas (free air) pada foto polos

abdomen biasanya juga terlihat.

Gangguan status mental pada pendrita demam tifoid berhubungan dengan

angka kematian yang tinggi. Beberapa pasien biasanya mengalami delirium tetapi

jarang yang mencapai coma. Meningitis tifoid, encefalomielitis, gualin bare

syndrome, neuritis periferatau neuritis canialis, dan gejala psikosis, jarang terjadi

tetapi pernah dilaporkan. Komplikasi serius lain yang sering terjadi pada demam

tifoid adalah perdarahan, hepatitis, miokarditis, pneumonia, DIC, trombositopenia

dan syndrome hemolisis uremic.

 Carier : 1-5% pasien, tergantung usia, pada pasien karier menyimpan s. typhi

pada kandung empedunya

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis

yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimptomatik sampai

gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala

serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala,
20

pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak

di perut, batuk, dan epitaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan

meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore

dan malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa

demam, bradikardi relative (bradikardia relative adalah peningkatan suhu 1 derajat

Celsius tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput

(kotor di tengah, tepid dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali,

meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor , koma, delirium atau

psikosis. Roseola jarang ditemukan pada orang Indonesia.

2.1.6 Pemeriksaan penunjang

Sampai saat ini, baku emas diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan

biakan empedu walaupun hanya 40%-60% kasus biakan positif, terutama pada awal

perjalanan penyakit. Biakan spesimen tinja dan urin menjadi positif setelah akhir

minggu pertama infeksi, namun sensitivitasnya lebih rendah. Di negara berkembang,

ketersediaan dan penggunaan antibiotik secara luas, menyebabkan sensitivitas biakan

darah menjadi rendah. Biakan sumsum tulang lebih sensitif, namun sulit dilakukan

dalam praktek, invasif, dan kurang digunakan untuk kesehatan masyarakat.

A. Pemeriksaan hematologi

Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Hitung leukosit

yang rendah sering berhubungan dengan demam dan toksisitas penyakit, namun

kisaran jumlah leukosit bisa lebar. Pada anak yang lebih muda leukositosis bisa

mencapai 20.000-25.000/mm3. Trombositopenia dapat merupakan marker penyakit


21

berat dan disertai dengan koagulasi intravascular diseminata. Pemeriksaan fungsi hati

dapat berubah, namun gangguan hati yang bermakna jarang ditemukan.

B. Pemeriksaan Widal

Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H S.

typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan Widal memiliki

sensitivitas dan spesifisitas yang rendah dan penggunaannya sebagai satusatunya

pemeriksaan penunjang di daerah endemis dapat mengakibatkan overdiagnosis.

Kadar aglutinin tersebut diukur dengan menggunakan pengenceran serum berulang.

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum

penderita tersangka demam tifoid yaitu;

1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2. Aglutinin H (flagel kuman)

3. Aglutinin Vi (simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk

diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan

terinfeksi kuman ini.

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O.

Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa

tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh,

aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap

lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya

menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi
22

cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis

infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.

Interpretasi pemeriksaan Widal harus dilakukan secara hati-hati karena

beberapa faktor mempengaruhi hasilnya, antara lain stadium penyakit, pemberian

antibiotik, teknik laboratorium, endemisitas penyakit tifoid, gambaran imunologi

masyarakat setempat, dan riwayat imunisasi demam tifoid. Sensitivitas dan

spesifisitas rendah tergantung kualitas antigen yang digunakan bahkan dapat

memberikan hasil negatif pada 30% sampel biakan positif demam tifoid.

Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan

dengan penderita dan faktor teknis.

a) Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu

1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.

2. Gangguan pembentukan antibodi.

3. Saat pengambilan darah.

4. Daerah endemik atau non endemik.

5. Riwayat vaksinasi.

6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan

demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.

b) Faktor teknik, yaitu

1) Akibat aglutinin silang.

2) Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.

3) Teknik pemeriksaan antar laboratorium.


23

Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:



Negatif Palsu

Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian paling sering

di negara kita, demam –> kasih antibiotika –> nggak sembuh dalam 5 hari –> tes

Widal) menghalangi respon antibodi. Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan

kultur darah.

Positif Palsu

Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B, C)

memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang dengan jenis

bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive). Padahal

sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).

Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas 91,4%, dan nilai

prediksi positif 80%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat terjadi oleh karena

reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella, enterobacteriaceae, pemeriksaan

dilakukan di daerah endemis infeksi dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid, dan

preparat antigen komersial yang bervariasi serta standardisasi yang kurang baik.

Pemeriksaan Widal seharusnya dilakukan 1-2 minggu kemudian sehingga kenaikan 4

kali, terutama agglutinin O memiliki nilai diagnostik yang penting untuk demam

tifoid. Titer aglutinin O yang positif dapat berbeda dari >1/806 sampai >1/320 antar

laboratorium tergantung endemisitas demam tifoid di masyarakat setempat dengan

catatan 8 bulan terakhir tidak mendapat vaksinasi atau baru sembuh dari demam

tifoid.
24

Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak mempunyai arti

penting dan sebaiknya dihindari oleh karena beberapa alasan, yaitu variablitas alat

pemeriksaan, kesulitan memperoleh titer dasar dengan kondisi stabil, paparan

berulang S.typhi di daerah endemis, reaksi silang terhadap non- Salmonella lain, dan

kurangnya kemampuan reprodusibilitas hasil pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan

serologi untuk aglutinin Salmonella seperti pemeriksaan Widal bahkan tidak

dianjurkan.

C. Pemeriksaan Serologi Terhadap Spesimen Darah

Pemeriksaan diagnostik baru saat ini tersedia, seperti Typhidot atau Tubex

yang mendeteksi antibodi IgM antigen spesifik O9 lipopolisakarida S. typhi. Dalam

dua dekade ini, pemeriksaan antibodi IgM dan IgG spesifik terhadap antigen S. typhi

berdasarkan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) berkembang. Antigen

dipisahkan dari berbagai struktur subselular organisme antara lain: liposakarida

(LPS), outer membrane protein (OMP), flagella (d-H), dan kapsul (virulence [Vi]

antigen). Telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa pemeriksaan ini

memiliki sensitivitas dan spesifisitas hampir 100% pada pasien demam tifoid dengan

biakan darah positif S. typhi. Pemeriksaan antibodi IgM terhadap antigen O9

lipopolisakarida S.typhi (Tubex)R dan IgM terhadap S.typhi (Typhidot)R memiliki

sensitivitas dan spesifitas berkisar 70% dan 80%. Tabel 2 memperlihatkan

perbandingan beberapa pemeriksaan penunjang untuk demam tifoid.

Pemeriksaan serologi tersebut dapat dibaca secara visual dalam waktu 10

menit dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna dan nilai > 6
25

dianggap sebagai positif kuat. Namun interpretasi hasil serologi yang positif harus dilakukan secara

hati-hati pada kasus tersangka demam tifoid di daerah endemis karena IgM dapat bertahan sampai 3

bulan, sedangkan IgG sampai 6 bulan. Tabel 2.2 Interpretasi skor pemeriksaan Tubex

Skor Interpretasi
<2 Negatif Tidak menunjukkan
infeksi demam tifoid.
3 Borderline Sebaiknya dilakukan
pemeriksaan ulang 3-5
hari kemudian
4-5 Positif. Menunjukkan infeksi aktif
demam tifoid

6 Positif. Indikasi kuat infeksi
demam tifoid

Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:

1) Immunodominan yang kuat

2) Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi dan H

kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap sel B.

3) Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga respon

antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.

4) Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat

melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.

5) Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang ditemukan

baik di alam maupun diantara mikroorganisme.


26

Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :

1. Mendeteksi infeksi akut Salmonella

2. Muncul pada hari ke 3 demam

3. Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella

4. Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit

5. Hasil dapat diperoleh lebih cepat

Gambar 2.3 Uji Diagnostik Pemeriksaan Mikrobiologi


27

D. Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM

dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan

fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG

menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis

dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi

peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus

®
akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan

®
modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen

terhadap Ig M spesifik.

Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid

bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai

16
prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.

Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid

mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi

uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas

sebesar 89%.

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid

bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji

Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna

®
tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat
28

menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan

diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan

spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang

dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran

nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan

secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum

tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran

lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6

bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam

6
setelah penerimaan serum pasien.

E. Pemeriksaan PCR

Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. typhi hanya membutuhkan

waktu kurang dari 8 jam dan memiliki sensitivitas yang tinggi sehingga lebih unggul

dibanding pemeriksaan biakan darah biasa yang membutuhkan waktu 5-7 hari.12 In-

flagelin PCR terhadap S. typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%.

Pemeriksaan nested polymerase chain reaction (PCR) menggunakan primer H1-d

dapat digunakan untuk mengamplifikasi gen spesifik S. typhi dari darah pasien dan

merupakan pemeriksaan diagnostik cepat yang menjanjikan. Pemeriksaan nested

PCR terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi dapat dideteksi dari spesimen urin

21/22 (95.5%), dikuti dari specimen darah 20/22 (90%), dan tinja 15/22 (68.1%).
29

F. Pemeriksaan Serologi Dari Spesimen Urin

Pemeriksaan ELISA terhadap antibodi monoklonal spesifik antigen 9 grup D

Salmonella dari spesimen urin pada satu kali pemeriksaan memiliki sensitivitas 65%,

namun pemeriksaan urin secara serial menunjukkan sensitivitas 95%. Pemeriksaan

ELISA menggunakan antibodi monoklonal terhadap antigen 9 somatik (O9),antigen d

flagella (d-H), dan antigen virulensi kapsul (Vi) pada spesimen urin memiliki

sensitivitas tertinggi pada akhir minggu pertama, yaitu terhadap ketiga antigen Vi

terdeteksi pada 9 kasus (100%), O9 pada 4 kasus (44%) dan d-H pada 4kasus (44%).

Spesifisitas untuk Vi lebih dari 90%sehingga deteksi antigen Vi pada urin menjanjkan

untuk menunjang diagnosis demam tifoid, terutama dalam minggu pertama sejak

timbulnya demam.

G. Pemeriksaan Antibodi IgA dari specimen saliva

Pemeriksaan diagnostik yang mendeteksi antibodi IgA dari lipopolisakarida S.

typhi dari spesimen saliva memberikan hasil positif pada 33/37 (89,2%) kasus demam

tifoid. Pemeriksaan ELISA ini menunjukkan sensitivitas 71,4%, 100%, 100%, 9,1%

dan 0% pada minggu pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima perjalanan

penyakit demam tifoid.

A. Non Medika Mentosa

1) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien


5
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.
30

2) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat

adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak

memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk

mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya

diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa

3) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun

parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi,

penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan

kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan

cairan rumatannya.

4) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu

tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan

sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka

terhadap panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang

memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah

diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah

pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya

vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit

meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga


31

mencapai keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang

dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu

(thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat pengaturan

suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya.

B. Medika Mentosa

1) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila

mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah

Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk menghindari

aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan

keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya

sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral,

obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain

atau Novalgin.

2) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah :

 Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid

fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100

mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup

50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam

turun. Pemberian Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester
32

ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus

malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai

21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps

atau kambuh, dan carier.

 Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan

sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari

dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian

secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari

diberi 2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika

golongan ini adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia

megaloblastik, Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara

antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.

 Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah

dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk

anak- anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis

yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama

2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi

chloramphenicol.

 Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan

pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari

Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella


33

typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari

IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat

diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu

untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10

hari.

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai

syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit

untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang

diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera

dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.

2.1.8 Komplikasi
4
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :

1. Komplikasi pada usus halus

a) Perdarahan usus

Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan

benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan

tanda – tanda renjatan.

b) Perforasi usus

Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian

distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila

terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara
34

diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan

tegak.

c) Peritonitis

Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.

Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang, dan

nyeri tekan.

2. Komplikasi diluar usus halus

a) Bronkitis dan bronkopneumonia

Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan

oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul pada

awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru, efusi,

dan empiema.

b) Kolesistitis

Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua

dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka penderita

cenderung untuk menjadi seorang karier.

c) Typhoid ensefalopati

Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran

menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam batas

normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya jelek dan bila

sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
35

d) Meningitis

Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan pada

neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas sehingga

diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella havana dan

Salmonella oranemburg.

e) Miokarditis

Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis

tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering

terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain :

sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I,

aritmia, supraventrikular takikardi.

f) Infeksi saluran kemih

Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui

urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat juga

merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan

glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sidrom

nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.

g) Karier kronik

Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam

tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier temporer-

ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10% pasien

konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah demam
36

mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama

seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin

perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan traktus

urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin memgeluarkan bakteri

pada urinya dalam waktu yang lama.

2.1.9 Pencegahan
2
Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:

1) Cuci tangan.

Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan

demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan

air mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau

setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak

tersedia air.

2) Hindari minum air yang tidak dimasak.

Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik

tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar

botol atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di

dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak

menelan air di pancuran kamar mandi.


37

3) Pilih makanan yang masih panas.

Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang.

Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu 57°C

beberapa menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella typhi.

Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari

membeli makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.

4) Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi

Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan

mencegah dan mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman, perbaikan

sanitasi, dan perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk dicapai. Untuk alasan

itu, beberapa ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi

1,2
merupakan cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid.

Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:

a) Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)

Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral

tiga kali dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan pada

wanita hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam, sedang minum

antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas

2 tahun. Lama proteksi dilaporkan 6 tahun.

b) Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)

Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang

mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa
38

0,5 mL; anak 6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis

dengan interval 4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan. Efek samping

yang dilaporkan adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada

tempat suntikan. Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan

riwayat demam pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi,

mengingat efek samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek.

c) Vaksin polisakarida

Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella.

Mempunyai daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun

selama 3 tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25

mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara

intramuskular dan diperlukan pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini

dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam, dan

anak kecil 2 tahun.

2.1.10 Prognosis

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan

kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi

antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka

mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan

pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan

hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan

mortalitas yang tinggi.


39

Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi

≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada

anak – anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari

seluruh pasien demam tifoid.


BAB III
PENUTUP

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi yang

ditularkan melalui jalur fecal-oral yang mana pada nantinya akan masuk ke

saluran cerna dan melakukan replikasi dapal ileum terminal.

Demam tifoid memiliki gejala yang cukup spesifik berupa demam,

gangguan gastro intestinal, dan gangguan saraf pusat. Demam yang terjadi lebih

dari 7 hari terutama pada sore menjelang malam dan turun pada pagi hari. Gejala

gastrointestinal bisa terjadi diare yang diselingi konstipasi. Pada cavum oris bisa

didapatkan Tifoid Tongue yaitu lidah kotor dengan tepi hiperemi yang mungkin

disertai tremor. Gangguan Susunan Saraf Pusat berupa Sindroma Otak Organik,

biasanya anak sering ngelindur waktu tidur. Dalam keadaan yang berat dapat

terjadi penurunan kesadaran seperti delirium, supor sampai koma.

Diagnosis cukup ditegakkan secara klinis. Pemeriksaan penunjang yang

dapat menunjang infeksi Demam Tifoid ini adalah Darah Lengkap, Uji Widal,

atau pemeriksaan serologi khusus yaitu IgM dan IgG antiSalmonella.

Penatalaksanaan penyakit ini meliputi 3 pokok utama yaitu: istirahat

dengan tirah baring yang cukup, Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein Rendah Serat,

dan Antibiotika yang memiliki efektivitas yang cukup tinggi terhadap kuman

Salmonella typhi.

40
41

DAFTAR PUSTAKA

1. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam


Pediatrics Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta : 2003. h. 2-20.
th
2. Antony S.Fauci t al. Harrison’s Manual of Medicine 17 Edition. 2008.
McGraw Hill
3. Baker et al. Searching For The Elusive Typhoid Diagnostic. BMC
Infectious Diseases 2010, 10:45
4. Begum Zohra, et al. Evaluation of Typhidot (IgM) for Early Diagnosis of
Typhoid Fever. Bangladesh J Med Microbiol 2009; 03 (01): 10-13
5. Darmowandowo W. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak :
Infeksi & Penyakit Tropis, edisi 1. 2002. Jakarta : BP FKUI.
6. Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The
diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. World Health
Organization, 2003;7-18
7. Frankie, et al. The TUBEX test detects not only typhoid-specific
antibodies but also soluble antigens and whole bacteria. Journal of Medical
Microbiology (2008), 57, 316–323
8. Gasem MH, Smits HL, Goris MGA, Dolmans WMV. Evaluation of a
simple and rapid dipstick assay for the diagnosis of typhoid fever in
Indonesia. J Med Microbiol 2002;51:173-7
9. Lifshitz, Edward I. Travel trouble: Typhoid fever--a case presentation and
review. Journal of American College Health, 07448481, Vol. 45, Issue 3
10. Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. 2000.
Jakarta : Media Aesculapius FKUI
11. MK Bhan,et al. Typhoid and paratyphoid fever . All India Institute of
Medical Sciences, New Delhi 110029, India. Lancet 2005; 366: 749–62
12. Mohamad, Fatmawati. Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan
demam pada pasien Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2 RSUD Prof.
Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo. 2012. Diunduh dari
42

http://journal.ung.ac.id/filejurnal/JHSVol05No01_08_2012/7_Fatwaty_JH
SVol05No01_08_2012.pdf. 22 Januari 2012
13. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002 ; 347(22): 1770-82
14. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :
Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan,
edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.
15. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid
pada anak. Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.
16. Rezeki, Sri. Demam tifoid. 2008. Diunduh dari
http://medicastore.com/artikel/238/Demam_Tifoid_pada_Anak_Apa_yang
_Perlu_Diketahui.html. 22 Januari 2012.
17. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa
Indonesia: A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta:
EGC ; 2000.
18. Sastroasmoro, Sudigdo, dkk. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu
Penyakit Dalam RSCM. 2007 . Jakarta : RSUP.Nasional Dr.Cipto
Mangunkusumo
19. Setiabudy, R dkk. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5. 2007. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI
20. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi &
pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
21. Widodo, Djoko. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
FKUI Jilid III. 2006. Jakarta : IPD FKUI

Anda mungkin juga menyukai