DEMAM TIFOID
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh Rumah
Sakit Umum Daerah Cut Meutia
Oleh :
Preseptor :
dr. Mawaddah Fitria, Sp.PD
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta
hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dan
lancer. Selawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad
bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Cut Meutia Aceh Utara
kepada dr. Mawaddah Fitria, Sp. PD selaku pembimbing dan pereseptor selama
mengikuti KKS di bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Cut
Meutia Aceh Utara yang telah membimbing penulis dengan tulus dan ikhlas
pereseptor lainnya yaitu, dr. Suhaemi, Sp. PD, dr. Faisal Sp. PD, dr. Wahyuni,
Sp.PD, dr. Rahmawaty Sp. PD (K) GH, dan dr. Darmadi, Sp. PD (K) GEH yang
mengikuti KKS di bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Cut
dari kesempurnaan dan oleh karena itu penulis sangat berharap kritik dan saran
i
yang bersifat membangun. Semoga laporan kasus ini dapat berguna dan
Penulis
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh
ditandai antara lain dengan demam tinggi yang terus menerus bisa selama 3-4
minggu, toksemia, denyut nadi yang relatif lambat, kadang gangguan kesadaran
sebanyak 13 juta kasus setiap tahunnya. Di Jawa Barat menurut laporan tahun
2000 ditemukan 38.668 kasus baru yang terdiri atas 18.949 kasus rawat jalan dan
maupun desa. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kualitas perilaku hidup
bersih dan sehat, sanitasi dan lingkungan yang kurang baik. Selain masalah diatas
ada beberapa masalah lain yang akan turut menambah besaran masalah penyakit
demam tifoid di Indonesia diantaranya adalah angka kemiskinan di kota dan desa
Indonesia yang mencapai 11,66 % (Susenas 2012) yaitu sekitar 28.594.060 orang.
Pada orang yang miskin bila sakit tidak berobat ke sarana kesehatan medis hal ini
1
2
yang di diagnosa oleh tenaga kesehatan adalah 0,79 %. Angka kesakitan demam
tifoid di Indonesia yang tercatat di buletin WHO 2008 sebesar 81,7 per 100.000
penduduk. Penderita terbanyak terdapat pada usia 2-15 tahun. Penderita demam
tifoid mempunyai potensi untuk menjadi karir atau pembawa menahun setelah
ini menemukan angka tersebut hanya menurun sedikit, angka terakhir (2005) di
masih memiliki angka morbiditas dan mortalitas tinggi. Penemuan kasus belum
optimal karena adanya kendala pada penunjang diagnosis, adanya variasi gejala
klinis, pemeriksaan penunjang standar baku yang sulit dilaksanakan sampai ke lini
terdepan, pelayanan medis dan biaya pengadaan penunjang medis yang sangat
minim.
Salah satu faktor yang memberatkan penyakit demam tifoid apabila terjadi
(0,8%). Berdasarkan alasan di atas, maka penyakit demam tifoid harus mendapat
2.1.1 Definisi
Demam thypoid ( enteric fever ) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya
mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu,
gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran ( Nursalam dkk, 2005 : 152 ).
wabah. Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri, yang disebabkan oleh
Salmonella typhi . Penyakit ini ditularkan melalui konsumsi makanan atau minuman
yang terkontaminasi oleh tinja atau urin orang yang terinfeksi. Kelompok penyakit ini
merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang
tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman dan biasanya
keluar bersama-sama dengan tinja. Transmisi juga dapat terjadi secara transplasenta
dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya.
2.1.2 Epidemiologi
Demam typoid disebabkan oleh salmonella tiphy. Bakteri yang terkenal sering
4
5
gambaran klinis demam typhoid membingungkan dengan dengan demam febris yang
disebabkan kasus lain, penyakit ini dibawah perkiraan karena kurangnya sumber
Manusia merupakan host alami infeksi kuman ini, penyakit infeksi ini di
inkubasi penyakit ini biasa 8-14 hari, tetapi range 3hari sampai 2 bulan. Orang yang
mengidap aklorhidria dan positif HIV lebih rentan terinfeksi S. typhi, dan 2-5% orang
empedunya.
World Health Organization (WHO) pada tahun 2003 terdapat 17 juta kasus
demam tifoid per tahun di dunia dengan jumlah kematian mencapai 600.000 kematian
dengan case fatality rate (CFR) = 3,5%. Insiden Rate penyakit demam tifoid di
daerah endemis berkisar antara 45 per 100.000 penduduk per tahun sampai 1.000 per
100.000 penduduk per tahun. Tahun 2003 iniden rate demam tifoid di Bangladesh
2.000 per 100.000 penduduk pertahun. Insidens rate demam tifoid di Negara eropa 3
per 100.000 penduduk, di afrika yaitu 50 per 100.000 penduduk, dan di asia 274 per
100.000 penduduk.
lebih dari 100/100.000 orang terinfeksi demam thypoid setiap tahun, pada tahun 2007
6
provinsi yang memiliki prevalesi demam tifoid. Prevalensi demam tifoid tertinggi
Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan
frekuensi menjadi 15,4 per 10.00 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di
Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah
Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan
sanitasi lingkungan. Di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk,
insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari
Model transmisi S. typhi dari manusia ke manusia, biasanya melalui rute fekal
oral. Air minum yang terkontaminasi feses sering di identifikasi sebagai sumber
penularan, S. typhi juga ditemukan di urin dan muntahan serta beberapa situasi, dapat
tifoid melalui mulut bersama makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses
a. Hiegene perorangan yang rendah seperti budaya cuci tangan tidak terbiasa
c. Sanitasi lingkungan yang kumuh dimana pengelolahan air limbah kotoran dan
2.1.3 Etiologi
paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif tidak
membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut
getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam
air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60◦C) selama
15-20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi. Genus Salmonella terdiri dari dua
bongori (disebut juga subspecies V). Salmonella enterica dibagi ke dalam enam
subsp. Salamae, subsp. Arizonae, subsp. Diarizonae, subsp. Houtenae, subsp. Indica.
penderita demam tifoid kelak akan menjadi karier sementara, sedang 2 % yang lain
akan menjadi karier yang menahun.Sebagian besar dari karier tersebut merupakan
karier intestinal (intestinal type) sedang yang lain termasuk urinary type.
9
Kekambuhan yang yang ringan pada karier demam tifoid,terutama pada karier jenis
Isolasi dari mikroorganisme Salmonella pertama sekali dilaporkan pada tahun 1884
oleh Gaffky dengan nama spesies Bacterium thyposum. Kemudian, pada tahun 1886
enterobacteriacea lain, oleh karena bakteri ini memiliki lebih dari 2400 serotipe dari
Kuman yang sangat mirip tetapi sedikit menyebabkan penyakit yang berat
diperdebatkan. Le Minor dan Popoff mengatakan ada 2 spesies yang harus ditetapkan
yaitu salmonella bongori dan salmonella enteric. Salmonella enteric terbagi menjadi 6
berdarah panas. S. typhi termasuk dalam subspecies pertama dari salmonella enteric.
Ezaki dkk telah mencatat dalam international journal of systematic and evolutionary
Salmonella Typhi.
10
Spesies Subspesies
2006). Isolat salmonella pada media SSA pada suhu 37°C maka koloni akan tampak
salmonella akan mati pada suhu 60o C selama 15 – 20 menit melalui pasteurisasi,
reaksi biokimia, dan struktur antigen O, H, V ataupun K. Antigen yang paling umum
spesifik atau antigen dinding sel. Antigen ini terdiri dari unit-unit oligosakarida yang
terdiri dari tiga sampai empat monosakarida. Polimer ini biasanya berbeda antara satu
11ononuc dengan 11ononuc lainnya, itulah sebabnya antigen ini dapat digunakan
melekat pada antigen O, merupakan core polysaccharide yang konstan pada genus
tertentu. Region III adalah lipid A yang melekat pada region II dengan ikatan dari 2-
disakarida yang menempel pada lima atau enam asam lemak. Bisa dikatakan lipid A
Antigen H merupakan antigen yang terdapat pada 11ononucl dari bakteri ini,
yang disebut juga flagelin. Antigen H adalah protein yang dapat dihilangkan dengan
terutamanya adalah IgG yang dapat memunculkan reaksi aglutinasi. Antigen ini
memiliki phase variation, yaitu perubahan fase salam satu serotip tunggal. Saat
2002).
kapsul polisakarida dari bakteri enteric (Dzen, 2003). Antigen ini mempunyai
berbagai bentuk sesuai genus dari bakterinya. Pada salmonella, antigen K dikenal
yakni demam tifoid. Jumlah organisme dalam makanan dan minuman yang
mengurangi sekresi TNFα terhadap S enterica ser. Thypi oleh makrofag inang,
core polysaccharides. Selain itu, antigen O juga mencegah aktivasi dan deposisi
dari 12ononucl I saja, salah satunya S. typhi. Plasmid virulensi ini penting untuk
bahwa plasmid tidak menentukan keparahan dari invasi bakteri karena perannya yang
hanya bekerja di luar sel-sel intestinal. Berdasarkan penelitian, plasmid ini hanya
S. typhi juga diduga memiliki adhesion yang berasal dari Outer Membrane
Protein (OMP) dengan berat molekul sekitar 36kDa, yang kemudian dikenal sebagai
13
Adh036. Adh036 ini bersifat imunogenik dan mampu menginduksi respon imun
dari lisisnya sel bakteri. Di peradaran darah, endotoksin ini akan berikatan dengan
protein tertentu kemudian berinteraksi dengan reseptor yang ada pada makrofag dan
monosit serta sel-sel RES, maka akan dihasilkan IL-1, TNF, dan sitokin lainnya.
Selain itu, S. typhi juga menghasilkan sitotoksin, namun hanya sedikit sekali (Dzen,
2003)
dan dimiliki oleh semua serotipnya. Region ini disebut sebagai Salmonella
Patogenicity Island sering disingkat dengan SPI (Retamal, 2010). SPI berfungsi
dalam menambah fungsi virulensi yang kompleks oleh bakteri terhadap inang yang
diinfeksinya (Saroj, 2008). Hensel (2004), Chiu (2005), Vernikos & Parkhill (2006)
dalam Saroj (2008) mengatakan bahwa adalah sekitar 17 jenis SPI yang sudah
dideteksi.
SPI-1 dan SPI-2 mengatur type III secretion system (T3SS) yang membentuk
menginjeksi langsung sitosol dari sel inang. SPI-1 dan SPI-2 mempunyai peran yang
berbeda sesuai dengan organ yang dipengaruhi. SPI-1 bekerja pada sel enterosit dan
menginisiasi inflamasi. SPI-2 bekerja dalam pertahanan dan multiplikasi bakteri pada
sel fagositik. SPI-7 merupakan genom terbesar yang mencapai ukuran 134 kb dan
14
pertama kali ditemukan pada S. typhi (Seth, 2008). S. typhi juga memiliki SPI-8 dan
memungkinkan adanya 14ononu virulensi, salah satunya pada S. typhi (Hase, 2011).
2.1.4 Patogenesis
dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya
berkembang biak. Bakteri ini akan dimusnahkan oleh asam lambung, namun yang
lolos akan masuk ke usus halus. Sebagian bakteri yang lolos masuk ke dalam usus
kemudian berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang
baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke
lamina propia. Bakteri ini akan melakukan penetrasi pada mukosa baik usus halus
maupun usus besar dan tinggal secara intraseluler dimana mereka akan berproliferasi.
Ketika bakteri ini mencapai epitel dan IgA tidak 14ono menanganinya, maka akan
terjadi degenerasi brush border. Kemudian, di dalam sel bakteri akan dikelilingi oleh
inverted cytoplasmic membrane mirip dengan vakuola fagositik (Dzen, 2003). Setelah
melewati epitel, bakteri akan memasuki lamina propria. Bakteri dapat juga
ulserasi pada folikel limfoid (Singh, 2001). S. typhi dapat menginvasi sel M dan sel
enterosit tanpa ada predileksi terhadap tipe sel tertentu (Santos, 2003). Di dalam
lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama
15
makrofag. Kuman dapat hidup dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag
dan selanjutnya dibawa ke plak peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah
terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke
dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi
setelah menembus usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian
masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang
kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis
demam, malaise, 15ononuc, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan
jaringan (s. typhi intra makrofag menginduksi rreaksi hipersensitifitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis
16
patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus,
2. Fase 2 : nekrosis dari folikel limfoid pada minggu kedua yang mempengaruhi
perdarahan.
terbentuk striktur.
Ileum memiliki jumlah dan ukuran Payer’s patch yang lebih banyak dan
besar. Meskipun kebanyak infeksi berada di ileum, namun jejunum dan usus besar
usus dimana lubang muncul. Ditemukan pembesaran dan kongesti dari limpa dan
(nodul tifoid) dilatasi dan kongesti sinusoidal dan infiltrasi sel 17ononuclear pada
area portal.
17ononuclea dan pada hewan coba ditemukan dominasi dari leukosit 17ononuclear
(Santos, 2003).
Gambaran klinis demam tifoid bervariasi dari sakit ringan dengan demam
ringan, malaise, dan batuk kering sampai gejala klinis berat yang ditandai dengan
nyeri abdomen dan komplikasi yang multiple. Banyak faktor yang memperberat
penyakit dan beberapa gambaran klinis dari infeksi, faktor-faktor tersebut termasuk
lamanya penyakit sebelum inisiasi terapi pemberian antibiotic, pilihan antibiotik yang
digunakan, usia, riwayat terinfeksi sebelumnya dan riwayat vaksin, virulensi strain
bakterinya, jumlah inokulum bakteri yang masuk ke dalam saluran pencernaan, factor
host ( tipe HLA, AIDS dan keadaan imunosupressan lainnya yang dialami penderita)
dan apakah pasien menggunakan obat seperti H2 blocker atau antasida untuk
menurunkan asam lambung. Pasien yang terinfeksi HIV berisiko terinfeksi S. typhi
dan s. paratyphi. Pasien yang terinfeksi helicobacter pylori risiko terinfeksi demam
tifoid meningkat.
Penyakit akut tanpa komplikasi : demam tifoid akut ditandai oleh demam
tinggi, gangguan fungsiusus (konstipasi pada orang dewasa, diare pada anak-
anak), sakit kepala, malaise dan anoreksia. Batuk sering terjadi pada stadium
awal penyakit. Selama priode demam, lebih dari 25% pasien menunjukkan
dan kualitan pelayanan medis, lebih dari 10% pasien tifoid dapat terjadi
komplikasi yang serius. Perdarahan samar pada feses sering terjadi pada 10-
19
20% pasien, dan lebih dari 3% terdapat melena. Perforasi usus juga pernah
berkembang dan meningkat. Tanda dan gejala perforasi usus dan peritonitis,
dengan nyeri tekan abdomen, nyeri lepas dan defans muscular. Peningkatan
jumlah leukosit (shift to left) dan udara bebas (free air) pada foto polos
angka kematian yang tinggi. Beberapa pasien biasanya mengalami delirium tetapi
syndrome, neuritis periferatau neuritis canialis, dan gejala psikosis, jarang terjadi
tetapi pernah dilaporkan. Komplikasi serius lain yang sering terjadi pada demam
Carier : 1-5% pasien, tergantung usia, pada pasien karier menyimpan s. typhi
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis
yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimptomatik sampai
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala,
20
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak
di perut, batuk, dan epitaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan
meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore
dan malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa
Celsius tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput
(kotor di tengah, tepid dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali,
Sampai saat ini, baku emas diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan
biakan empedu walaupun hanya 40%-60% kasus biakan positif, terutama pada awal
perjalanan penyakit. Biakan spesimen tinja dan urin menjadi positif setelah akhir
darah menjadi rendah. Biakan sumsum tulang lebih sensitif, namun sulit dilakukan
A. Pemeriksaan hematologi
yang rendah sering berhubungan dengan demam dan toksisitas penyakit, namun
kisaran jumlah leukosit bisa lebar. Pada anak yang lebih muda leukositosis bisa
berat dan disertai dengan koagulasi intravascular diseminata. Pemeriksaan fungsi hati
B. Pemeriksaan Widal
typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan Widal memiliki
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa
tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh,
aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap
lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya
menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi
22
memberikan hasil negatif pada 30% sampel biakan positif demam tifoid.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan
5. Riwayat vaksinasi.
di negara kita, demam –> kasih antibiotika –> nggak sembuh dalam 5 hari –> tes
Widal) menghalangi respon antibodi. Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan
kultur darah.
Positif Palsu
memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang dengan jenis
bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive). Padahal
prediksi positif 80%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat terjadi oleh karena
dilakukan di daerah endemis infeksi dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid, dan
preparat antigen komersial yang bervariasi serta standardisasi yang kurang baik.
kali, terutama agglutinin O memiliki nilai diagnostik yang penting untuk demam
tifoid. Titer aglutinin O yang positif dapat berbeda dari >1/806 sampai >1/320 antar
catatan 8 bulan terakhir tidak mendapat vaksinasi atau baru sembuh dari demam
tifoid.
24
Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak mempunyai arti
penting dan sebaiknya dihindari oleh karena beberapa alasan, yaitu variablitas alat
berulang S.typhi di daerah endemis, reaksi silang terhadap non- Salmonella lain, dan
dianjurkan.
Pemeriksaan diagnostik baru saat ini tersedia, seperti Typhidot atau Tubex
dua dekade ini, pemeriksaan antibodi IgM dan IgG spesifik terhadap antigen S. typhi
(LPS), outer membrane protein (OMP), flagella (d-H), dan kapsul (virulence [Vi]
memiliki sensitivitas dan spesifisitas hampir 100% pada pasien demam tifoid dengan
menit dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna dan nilai > 6
25
dianggap sebagai positif kuat. Namun interpretasi hasil serologi yang positif harus dilakukan secara
hati-hati pada kasus tersangka demam tifoid di daerah endemis karena IgM dapat bertahan sampai 3
bulan, sedangkan IgG sampai 6 bulan. Tabel 2.2 Interpretasi skor pemeriksaan Tubex
Skor Interpretasi
<2 Negatif Tidak menunjukkan
infeksi demam tifoid.
3 Borderline Sebaiknya dilakukan
pemeriksaan ulang 3-5
hari kemudian
4-5 Positif. Menunjukkan infeksi aktif
demam tifoid
6 Positif. Indikasi kuat infeksi
demam tifoid
kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap sel B.
melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM
dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan
fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG
menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis
dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi
peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus
®
akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan
®
modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
terhadap Ig M spesifik.
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid
bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai
16
prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.
Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi
uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas
sebesar 89%.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid
bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji
Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna
®
tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat
28
menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang
dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran
nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan
secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum
tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran
lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6
bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam
6
setelah penerimaan serum pasien.
E. Pemeriksaan PCR
waktu kurang dari 8 jam dan memiliki sensitivitas yang tinggi sehingga lebih unggul
dibanding pemeriksaan biakan darah biasa yang membutuhkan waktu 5-7 hari.12 In-
flagelin PCR terhadap S. typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%.
dapat digunakan untuk mengamplifikasi gen spesifik S. typhi dari darah pasien dan
PCR terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi dapat dideteksi dari spesimen urin
21/22 (95.5%), dikuti dari specimen darah 20/22 (90%), dan tinja 15/22 (68.1%).
29
Salmonella dari spesimen urin pada satu kali pemeriksaan memiliki sensitivitas 65%,
flagella (d-H), dan antigen virulensi kapsul (Vi) pada spesimen urin memiliki
sensitivitas tertinggi pada akhir minggu pertama, yaitu terhadap ketiga antigen Vi
terdeteksi pada 9 kasus (100%), O9 pada 4 kasus (44%) dan d-H pada 4kasus (44%).
Spesifisitas untuk Vi lebih dari 90%sehingga deteksi antigen Vi pada urin menjanjkan
untuk menunjang diagnosis demam tifoid, terutama dalam minggu pertama sejak
timbulnya demam.
typhi dari spesimen saliva memberikan hasil positif pada 33/37 (89,2%) kasus demam
tifoid. Pemeriksaan ELISA ini menunjukkan sensitivitas 71,4%, 100%, 100%, 9,1%
dan 0% pada minggu pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima perjalanan
1) Tirah baring
2) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat
adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak
mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya
diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa
3) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi,
penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan
kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan
cairan rumatannya.
tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan
sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka
diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah
mencapai keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang
dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu
B. Medika Mentosa
1) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila
mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah
aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan
keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya
sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral,
obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain
atau Novalgin.
2) Antibiotik
fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100
50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam
turun. Pemberian Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester
32
ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus
21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps
secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari
anak- anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis
yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama
chloramphenicol.
IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat
diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu
untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10
hari.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai
diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera
2.1.8 Komplikasi
4
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :
a) Perdarahan usus
benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian
distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara
34
diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan
tegak.
c) Peritonitis
Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang, dan
nyeri tekan.
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan
oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul pada
awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru, efusi,
dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua
dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka penderita
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran
menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam batas
normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya jelek dan bila
sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
35
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan pada
neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas sehingga
Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis
tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering
terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain :
urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat juga
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam
ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10% pasien
konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah demam
36
mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama
seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin
perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan traktus
2.1.9 Pencegahan
2
Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:
1) Cuci tangan.
demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan
air mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau
setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak
tersedia air.
tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar
dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak
Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang.
Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu 57°C
beberapa menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella typhi.
Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari
mencegah dan mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman, perbaikan
sanitasi, dan perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk dicapai. Untuk alasan
itu, beberapa ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi
1,2
merupakan cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid.
Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral
tiga kali dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan pada
antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas
Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang
mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa
38
0,5 mL; anak 6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis
dengan interval 4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan. Efek samping
yang dilaporkan adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada
tempat suntikan. Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan
riwayat demam pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi,
mengingat efek samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek.
c) Vaksin polisakarida
Mempunyai daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun
selama 3 tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25
2.1.10 Prognosis
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi
≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada
anak – anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi yang
ditularkan melalui jalur fecal-oral yang mana pada nantinya akan masuk ke
gangguan gastro intestinal, dan gangguan saraf pusat. Demam yang terjadi lebih
dari 7 hari terutama pada sore menjelang malam dan turun pada pagi hari. Gejala
gastrointestinal bisa terjadi diare yang diselingi konstipasi. Pada cavum oris bisa
didapatkan Tifoid Tongue yaitu lidah kotor dengan tepi hiperemi yang mungkin
disertai tremor. Gangguan Susunan Saraf Pusat berupa Sindroma Otak Organik,
biasanya anak sering ngelindur waktu tidur. Dalam keadaan yang berat dapat
dapat menunjang infeksi Demam Tifoid ini adalah Darah Lengkap, Uji Widal,
dengan tirah baring yang cukup, Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein Rendah Serat,
dan Antibiotika yang memiliki efektivitas yang cukup tinggi terhadap kuman
Salmonella typhi.
40
41
DAFTAR PUSTAKA
http://journal.ung.ac.id/filejurnal/JHSVol05No01_08_2012/7_Fatwaty_JH
SVol05No01_08_2012.pdf. 22 Januari 2012
13. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002 ; 347(22): 1770-82
14. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :
Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan,
edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.
15. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid
pada anak. Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.
16. Rezeki, Sri. Demam tifoid. 2008. Diunduh dari
http://medicastore.com/artikel/238/Demam_Tifoid_pada_Anak_Apa_yang
_Perlu_Diketahui.html. 22 Januari 2012.
17. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa
Indonesia: A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta:
EGC ; 2000.
18. Sastroasmoro, Sudigdo, dkk. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu
Penyakit Dalam RSCM. 2007 . Jakarta : RSUP.Nasional Dr.Cipto
Mangunkusumo
19. Setiabudy, R dkk. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5. 2007. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI
20. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi &
pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
21. Widodo, Djoko. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
FKUI Jilid III. 2006. Jakarta : IPD FKUI