BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi
fever, atau enteric fever. Istilah tifoid ini berasal dari bahasa Yunani yaitu typhos
yang berarti kabut, karena umumnya penderita sering disertai gangguan kesadaran
dari yang ringan sampai yang berat. Demam tifoid merupakan infeksi sistemik
Salmonella typhi yang menyerang bagian saluran pencernaan. Selama terjadi infeksi,
undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini
merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang
berasal dari penderita atau pembawa kuman dan biasanya keluar bersama-sama
dengan tinja. Transmisi juga dapat terjadi secara transplasenta dari seorang ibu
hamil yang berada dalam bakteremia kepada bayinya (Soedarno et al, 2008).
16
pedesaan. Penyakit ini erat kaitannya dengan kualitas higiene pribadi dan sanitasi
lingkungan yang kurang baik. Insidens penyakit ini sering dijumpai di negara-
negara Asia dan dapat ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi.
Dari telaah kasus di rumah sakit besar di Indonesia, tersangka demam tifoid
tingkat insiden yang tinggi, demam tifoid terkait dengan berbagai aspek
3.2 Etiologi
paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, tidak
rambut getar). S. typhi dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti
di dalam air, es, sampah dan debu (Harahap, 2011). S. typhi mampu bertahan
hidup selama beberapa bulan sampai setahun jika melekat dalam tinja, mentega,
susu, keju dan air beku. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60 0C)
terhadap selenit dan natrium deoksikolat yang dapat membunuh bakteri enteric
akhirnya lokalisasi infeksi dalam jaringan limfoid submukosa usus kecil (Cita,
2011).
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol
pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan
alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
3.3 Patogenesis
imunitas humoral lokal yang berfungsi untuk mencegah melekatnya kuman pada
mukosa usus. Sedangkan untuk imunitas humoral sistemik, diproduksi IgM dan
lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-
sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di
dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum distal dan
hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk
ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dan
disertai dengan tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Di dalam hati,
19
kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi
(Sari, 2013).
ketiga) serta bila sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus
berbentuk bulat lonjong sejajar dengan sumbu panjang usus dan ulkus ini dapat
diberikan terapi yang tepat. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat
penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu,
berupa pemeriksaan rutin, uji widal, dan kultur darah (Harahap, 2011).
1. Anamensis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding
dengan penderita dewasa. Masa inkubasi demam tifoid 3 sampai 60 hari dengan
rata-rata antara 10 sampai 14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi,
20
dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan
berat sehingga harus dirawat. Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala
prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak
Demam naik secara bertangga pada minggu pertama lalu demam menetap
(kontinyu) atau remiten pada minggu kedua. Demam terutama sore atau malam
hari, sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare.
Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua
penderita demam tifoid. Pada anak, diare sering dijumpai pada awal gejala yang
dijumpai pada orang dewasa. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2
hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septicemia oleh karena
didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis
demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit
kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di
sisi lain S. thypi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan
konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan
dengan apendisitis (Cita, 2011). Pada tahap lanjut dapat muncul gambaran
peritonitis akibat perforasi usus. Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami
komplikasi, terutama pada yang sudah sakit selama lebih dari 2 minggu.
21
tubuh lainnya mengingat penyebaran kuman adalah secara hematogen. Bila tidak
terdapat komplikasi, gejala klinis akan mengalami perbaikan dalam waktu 2-4
2. Pemeriksaan Fisik
konsisten, bradikardi relatif saat demam tinggi dapat dijadikan indikator demam
tifoid. Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah, serta tremor),
Indonesia), pada sekitar 25% dari kasus, ruam makular atau makulopapular (rose
spots) mulai terlihat pada hari ke 7-10, terutama pada orang berkulit putih, dan
terlihat pada dada bagian bawah dan abdomen pada hari ke 10-15 serta menetap
Tabel 3.1 Skala penilaian klinis demam tifoid menurut Nelwan RHH (Akbar,
2016).
No. Gejala Klinis Skor
2. Sakit kepala 1
3. Lemah 1
4. Mual 1
5. Nyeri perut 1
6. Anoreksia 1
7. Muntah 1
22
8. Gangguan motilitas 1
9. Insomnia 1
10. Hepatomegaly 1
11. Splenomegaly 1
15. Melena 2
Skor 1-20, semakin tinggi skor semakin mendukung demam tifoid. Penilaian
3. Laboratorium
hati. Kultur darah (biakan empedu) positif. Dalam keadaan normal darah bersifat
steril dan tidak dikenal adanya flora normal dalam darah. Ditemukannya bakteri
dalam darah disebut bacteremia. Pasien dengan gejala klinis demam tiga hari atau
lebih dan konfirmasi hasil biakan darah positif S.thypi parathypi dapat dijadikan
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibody
demam tifoid, juga pada orang yang pernah ketularan Salmonella dan pada orang
yang pernah divaksinasi terhadap demam tifoid. Peningkatan titer uji Widal >4
kali lipat setelah satu minggu memastikan diagnosis. Kultur darah negative tidak
23
menyingkirkan diagnosis. Uji widal tunggal dengan titer O 1/320 atau H 1/640
salmonella thypi dalam biakan feses atau urin pada seseorang tanpa tanda klinis
infeksi atau pada seseorang setelah 1 tahun pasca-demam tifoid (Cita, 2011).
Salmonella typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan
duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka
bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal
penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil
biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
dibutuhkan 2-3 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk
kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit
dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat
24
menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
direkomendasikan untuk Salmonella typhi adalah media empedu (gall) dari sapi
dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena
hanya Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi yang dapat tumbuh pada media
biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama
sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.3,17 Sensitivitasnya akan
meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang
dipakai.20 Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-
15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif
setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas
karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-
95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang
terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada
keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari
duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan
25
secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian
pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu
berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk
dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita (Akbar, 2016).
typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk
uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa
antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini
penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan
adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen
spesifik. Salmonella typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis
spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut,
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu
(Akbar, 2016).
1. Uji Widal
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan
sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi
terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah
aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau
uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan
dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih
rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan (Akbar,
2016).
Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan
spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai
prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%.23
27
Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif,
ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara
endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan. Kelemahan uji
demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan
pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah
digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit
dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi
(cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer
dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis
seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-
mendapatkan hasil uji Widal dengan titer >1/200 pada 89% penderita (Akbar,
2016).
2. Tes Tubex TF
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
28
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan
yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibody spesifik
IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD Salmonella typhi. Deteksi terhadap
IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi
terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi.
29
Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang
tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid
bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai
prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.23
Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam
tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan
efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79%
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-
dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif
yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa
Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan
kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat
(Akbar, 2016).
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang
dengan penyakit demam lain, murah karena menggunakan antigen dan membran
30
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah
bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan
diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila
hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien (Akbar,
2016).
melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG
typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen
Salmonella typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA.
Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel
darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada
penderita yang didapatkan Salmonella typhi pada darahnya, uji ELISA pada
sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95%
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk (2004)
terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini
sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi
antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih
terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga
31
perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis
(Akbar, 2016).
5. Pemeriksaan Dipstik
dimana mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS Salmonella typhi
yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan
2016).
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila
dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai
prediksi positif sebesar 94.6%.28 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap
30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan
spesifisitas sebesar 96%.29 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata
sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang
menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid.30 Uji ini terbukti
mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar
manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil
kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak
Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella typhi yang akurat adalah
mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri Salmonella typhi dalam
darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara
spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik
darah.32 Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%)
(Akbar, 2016).
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi
risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila
spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam
spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya
yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari
spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
3.5 Penatalaksanaan
1. Perawatan umum
Pasien demam tifoid perlu dirawat dirumah sakit untuk isolasi, observasi
dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas
33
demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk
(Inawati, 2017).
dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil harus dperhatikan karena kadang-
kadang terjadi obstipasi dan retensi air kemih. Pengobatan simptomatik diberikan
sembelit, mual, muntah, dan meteorismus. Sembelit bila lebih dari 3 hari perlu
dibantu dengan paraffin atau lavase dengan glistering. Obat bentuk laksan ataupun
vitamin, dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh dan kortikosteroid untuk demam
tifoid yang berat yaitu ensefalopati tifoid yang ditandai dengan penurunan
2. Diet
Di masa lampau, pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur
kasar dan akhirnya diberi nasi. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian
34
makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran
dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid
(Inawati, 2017).
3. Farmakoterapi
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam
dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang juga tidak
kalah penting adalah eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan
tifoid tanpa komplikasi berdasarkan WHO tahun 2003 dapat dilihat pada tabel
Tabel 3.2. Antibiotik yang diberikan pada demam tifoid tanpa komplikasi menurut
WHO 2003 (Nelwan, 2012)
35
Tabel 3.3 Antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut WHO 2003
(Nelwan, 2012)
pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan
sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal
serta mencapai kadar yang tinggi dalam kandung empedu dibandingkan antibiotik
dan salah satu fuoroquinolone yang saat ini telah diteliti dan memiliki efektivitas
yang baik adalah levofloxacin. Studi komparatif, acak, dan tersamar tunggal telah
demam tifoid tanpa komplikasi. Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1
kali sehari dan ciprofl oxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 2 kali sehari
masing-masing selama 7 hari. Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa pada saat
mengenai efi kasi dan keamanan levofloxacin pada terapi demam tifoid tanpa
komplikasi. Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari selama 7
hari. Efi kasi klinis yang dijumpai pada studi ini adalah 100% dengan efek
samping yang minimal. Dari studi ini juga terdapat tabel perbandingan rata-rata
Indonesia di mana penurunan demam pada levofloxacin paling cepat, yaitu 2,4
kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka terjadinya carrier juga tinggi, dan toksis
klinis lebih dari 90% dengan waktu penurunan demam 5-7 hari, durasi
pemberiannya lama (14 hari) dan angka kekambuhan serta fecal carrier terjadi
pada kurang dari 4%. Pasien dengan muntah yang menetap, diare berat, distensi
abdomen, atau kesadaran menurun memerlukan rawat inap dan pasien dengan
gejala klinis tersebut diterapi sebagai pasien demam tifoid yang berat (Nelwan,
2012).
Terapi antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut WHO
tahun 2003 dapat dilihat di tabel diatas. Walaupun di tabel ini tertera cefotaxime
untuk terapi demam tifoid tetapi sayangnya di Indonesia sampai saat ini tidak
pemberian antibiotik, penderita perlu istirahat total serta terapi suportif. Yang
elektrolit dan antipiretik. Nutrisi yang adekuat melalui TPN dilanjutkan dengan
diet makanan yang lembut dan mudah dicerna secepat keadaan mengizinkan
(Nelwan, 2012).
38
3.6 Komplikasi
Pada plak peyer usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat
Bila luka menembus limen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi
perdarahan. Selanjutnya bias tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat
terjadi. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam
tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah
kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut di sertai dengan
Komplikasi Ekstraintestinal
dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar transaminase, maupun kolesistitis akut
juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita setelah
mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan
3.6.4 Miokarditis
39
(EKG), syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung (Akbar,
2016).
3.6.5 Neuropsikiatri.
sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan
primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari
strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin
1. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang
diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin
preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan
Efek samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada
pemberian pertama.
3. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan
sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun,
cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal
secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk
klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan lain
yang ada fasilitas perawatan. Penderita yang dirawat harus tirah baring
perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit
pemberian cairan dan diet. Penderita harus mendapat cairan yang cukup,
penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan kesadaran serta yang sulit
serta janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat yang paling aman
demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas
tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada
pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak (Harahap,
2011).