Anda di halaman 1dari 28

15

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi

Demam tifoid dikenal juga dengan sebutan Typhus abdominalis, Typhoid

fever, atau enteric fever. Istilah tifoid ini berasal dari bahasa Yunani yaitu typhos

yang berarti kabut, karena umumnya penderita sering disertai gangguan kesadaran

dari yang ringan sampai yang berat. Demam tifoid merupakan infeksi sistemik

yang disebabkan oleh serovar Salmonella enterica termasuk S. typhi dan S.

paratyphi A. Walaupun secara global S. typhi merupakan penyebab utama, infeksi

S. paratyphi A juga terjadi di beberapa bagian dunia dan berhubungan dengan

pengunjung turis. Namun demikian, S. paratyphi B dan C jarang ditemukan.

Salmonella typhi yang menyerang bagian saluran pencernaan. Selama terjadi infeksi,

kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara

berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah (Rahma, 2012).

Demam tifoid termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-

undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini

merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang

sehingga dapat menimbulkan wabah (Sudoyo, 2010). Penularan Salmonella typhi

sebagian besar melalui minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang

berasal dari penderita atau pembawa kuman dan biasanya keluar bersama-sama

dengan tinja. Transmisi juga dapat terjadi secara transplasenta dari seorang ibu

hamil yang berada dalam bakteremia kepada bayinya (Soedarno et al, 2008).
16

Demam tifoid banyak ditemukan di masyarakat perkotaan maupun di

pedesaan. Penyakit ini erat kaitannya dengan kualitas higiene pribadi dan sanitasi

lingkungan yang kurang baik. Insidens penyakit ini sering dijumpai di negara-

negara Asia dan dapat ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi.

Di Indonesia bersifat endemik dan merupakan masalah kesehatan masyarakat.

Dari telaah kasus di rumah sakit besar di Indonesia, tersangka demam tifoid

menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata

kesakitan 500/100.000 penduduk dan angka kematian antara 0.6–5%. Selain

tingkat insiden yang tinggi, demam tifoid terkait dengan berbagai aspek

permasalahan lain, misalnya: akurasi diagnosis, resistensi antibiotik dan masih

rendahnya cakupan vaksinasi demam tifoid (Kementerian Kesehatan RI, 2014).

3.2 Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella

paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, tidak

membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan

rambut getar). S. typhi dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti

di dalam air, es, sampah dan debu (Harahap, 2011). S. typhi mampu bertahan

hidup selama beberapa bulan sampai setahun jika melekat dalam tinja, mentega,

susu, keju dan air beku. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60 0C)

selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi. Kuman ini tahan

terhadap selenit dan natrium deoksikolat yang dapat membunuh bakteri enteric

lain, menghasilkan endotoksin, protein invasion dan MRHA (Mannosa Resistant

Haemaglutinin). S. typhi adalah parasite intraselular fakultatif, yang dapat hidup


17

dalam makrofag dan menyebabkan gejala-gejala gastrointestinal hanya pada akhir

perjalanan penyakit, biasanya sesudah demam yang lama, bacteremia dan

akhirnya lokalisasi infeksi dalam jaringan limfoid submukosa usus kecil (Cita,

2011).

Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu (Harahap, 2011):

1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh

kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau

disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol

tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.

2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau

pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan

tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan

alkohol.

3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat

melindungi kuman terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut


18

di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan

3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.

3.3 Patogenesis

Kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke dalam tubuh

manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman

dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus, dan

selanjuntnya berkembang biak. Di usus terjadi produksi IgA sekretorik sebagai

imunitas humoral lokal yang berfungsi untuk mencegah melekatnya kuman pada

mukosa usus. Sedangkan untuk imunitas humoral sistemik, diproduksi IgM dan

IgG untuk memudahkan fagositosis kuman oleh makrofag. Imunitas seluler

sendiri berfungsi untuk membunuh kuman intraseluler (Sari, 2013).

Kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke

lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-

sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di

dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum distal dan

kemudian ke kelenjar getah bening mesentrika (Sari, 2013).

Melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag ini

masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang

asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama

hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan

kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk

ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dan

disertai dengan tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Di dalam hati,
19

kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan

empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman

dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah

menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah

teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi

pelepasan beberapa mediator inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,

sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi

(Sari, 2013).

Kelainan utama terjadi di ileum terminal dan plaque peyer yang

hiperplasia (minggu pertama), nekrosis (minggu kedua), dan ulserasi (minggu

ketiga) serta bila sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus

berbentuk bulat lonjong sejajar dengan sumbu panjang usus dan ulkus ini dapat

menyebabkan perdarahan bahkan perforasi (Sari, 2013).

3.4 Manifestasi Klinis dan Diagnosis

Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa

diberikan terapi yang tepat. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat

penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu,

dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis yang

berupa pemeriksaan rutin, uji widal, dan kultur darah (Harahap, 2011).

1. Anamensis

Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding

dengan penderita dewasa. Masa inkubasi demam tifoid 3 sampai 60 hari dengan

rata-rata antara 10 sampai 14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi,
20

dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan

berat sehingga harus dirawat. Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala

prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak

bersemangat (Akbar, 2016).

Demam naik secara bertangga pada minggu pertama lalu demam menetap

(kontinyu) atau remiten pada minggu kedua. Demam terutama sore atau malam

hari, sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare.

Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua

penderita demam tifoid. Pada anak, diare sering dijumpai pada awal gejala yang

baru, kemudian dilanjutkan dengan konstipasi. Konstipasi pada permulaan sering

dijumpai pada orang dewasa. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2

hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septicemia oleh karena

streptococcus atau pneumococcus daripada S. thypi. Menggigil tidak bisa

didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis

malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria. Namun demikian,

demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit

kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di

sisi lain S. thypi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan

meningitis. Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu

konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan

dengan apendisitis (Cita, 2011). Pada tahap lanjut dapat muncul gambaran

peritonitis akibat perforasi usus. Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami

komplikasi, terutama pada yang sudah sakit selama lebih dari 2 minggu.
21

Komplikasi yang sering dijumpai adalah reaktif hepatitis, perdarahan

gastrointestinal, perforasi usus, ensefalopati tifosa, serta gangguan pada sistem

tubuh lainnya mengingat penyebaran kuman adalah secara hematogen. Bila tidak

terdapat komplikasi, gejala klinis akan mengalami perbaikan dalam waktu 2-4

minggu (Nelwan, 2012).

2. Pemeriksaan Fisik

Febris, kesadaran berkabut, bradikardia relative (peningkatan suhu 1 0C

tidak diikuti peningkatan denyut nadai 8x/menit). Walaupun tidak selalu

konsisten, bradikardi relatif saat demam tinggi dapat dijadikan indikator demam

tifoid. Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah, serta tremor),

hepatomegaly, nyeri abdomen (Cita, 2011). Roseolae (jarang pada orang

Indonesia), pada sekitar 25% dari kasus, ruam makular atau makulopapular (rose

spots) mulai terlihat pada hari ke 7-10, terutama pada orang berkulit putih, dan

terlihat pada dada bagian bawah dan abdomen pada hari ke 10-15 serta menetap

selama 2-3 hari (Nelwan, 2012).

Tabel 3.1 Skala penilaian klinis demam tifoid menurut Nelwan RHH (Akbar,
2016).
No. Gejala Klinis Skor

1. Demam < 1 minggu 1

2. Sakit kepala 1

3. Lemah 1

4. Mual 1

5. Nyeri perut 1

6. Anoreksia 1

7. Muntah 1
22

8. Gangguan motilitas 1

9. Insomnia 1

10. Hepatomegaly 1

11. Splenomegaly 1

12. Demam > 1 minggu 2

13. Bradikardia relative 2

14. Lidah tifoid 2

15. Melena 2

16. Gangguan kesadaran 2

Skor 1-20, semakin tinggi skor semakin mendukung demam tifoid. Penilaian

klinis suspek demam tifoid bila skor ≥8 (Akbar, 2016).

3. Laboratorium

Ditemukan leukopenia, leukositosis atau leukosit normal, aneosinofilia,

limfopenia, peningkatan LED, anemia ringan, trombositopenia, gangguan fungsi

hati. Kultur darah (biakan empedu) positif. Dalam keadaan normal darah bersifat

steril dan tidak dikenal adanya flora normal dalam darah. Ditemukannya bakteri

dalam darah disebut bacteremia. Pasien dengan gejala klinis demam tiga hari atau

lebih dan konfirmasi hasil biakan darah positif S.thypi parathypi dapat dijadikan

sebagai diagnose pasti demam tifoid (Cita, 2011).

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibody

(agglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella terdapat dalam serum

demam tifoid, juga pada orang yang pernah ketularan Salmonella dan pada orang

yang pernah divaksinasi terhadap demam tifoid. Peningkatan titer uji Widal >4

kali lipat setelah satu minggu memastikan diagnosis. Kultur darah negative tidak
23

menyingkirkan diagnosis. Uji widal tunggal dengan titer O 1/320 atau H 1/640

disertai gambaran klinis khas menyokong diagnosis. Hepatitis tifosa bila

memenuhi 3 atau lebih kriteria khosla (1990): hepatomegaly, ikterik, kelainan

laboratorium (antara lain: bilirubin >30,6 umol/l, peningkatan SGOT/SGPT,

penurunan indeks PT), kelainan histopatologi. Tifoid karier, ditemukannya kuman

salmonella thypi dalam biakan feses atau urin pada seseorang tanpa tanda klinis

infeksi atau pada seseorang setelah 1 tahun pasca-demam tifoid (Cita, 2011).

3.4.1 Penegakan Diagnosis

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri

Salmonella typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan

duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka

bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal

penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil

biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor.

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (Akbar, 2016):

(1) Jumlah darah yang diambil;

(2) Perbandingan volume darah dari media empedu; dan

(3) Waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk dewasa, sedangkan pada anak kecil

dibutuhkan 2-3 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk

kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit

dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat
24

menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila

dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Salmonella typhi adalah media empedu (gall) dari sapi

dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena

hanya Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi yang dapat tumbuh pada media

tersebut (Akbar, 2016).

Pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan

biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama

sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.3,17 Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan

meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang

dipakai.20 Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-

15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif

setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas

karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-

95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang

pada fase penyembuhan (Akbar, 2016).

Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah

mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negative sebelumnya. Prosedur

terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada

keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari

duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan
25

secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian

pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang (Akbar, 2016).

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media

yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat

minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu

pengambilan spesimen yang tidak tepat. Walaupun spesifisitasnya tinggi,

pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala

berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk

dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita (Akbar, 2016).

Identifikasi Kuman Melalui Uji Serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam

tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen Salmonella

typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk

uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa

antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini

meliputi (Akbar, 2016):

(1) uji Widal;

(2) tes Tubex TF;

(3) metode enzyme immunoassay (EIA);

(4) metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA); dan

(5) pemeriksaan dipstik.


26

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai

penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan

adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen

spesifik. Salmonella typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis

spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut,

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu

pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)

(Akbar, 2016).

1. Uji Widal

Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan

sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi

aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda

terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah

yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih

menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum Teknik

aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau

uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan

dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih

rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan (Akbar,

2016).

Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan

spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai

prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%.23
27

Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif,

ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas

sebesar 76-83% (Akbar, 2016).

Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara

lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status

imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi;

gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-

endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan. Kelemahan uji

Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan

interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita

demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan

pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah

digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit

dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi

(cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer

dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis

seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-

anak sehat. Penelitian oleh Darmowandowo di RSU Dr.Soetomo Surabaya (1998)

mendapatkan hasil uji Widal dengan titer >1/200 pada 89% penderita (Akbar,

2016).

2. Tes Tubex TF

Tes Tubex TF merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang

sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
28

berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan

menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada

Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena

hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam

waktu beberapa menit. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas

sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan

yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah

dan sederhana, terutama di Negara berkembang (Akbar, 2016).

Gambar 2. Mekanisme Reaksi Negatif dan Mekanisme Reaksi


Positif Pada Pemeriksaan Tubex TF (Akbar, 2016).

3. Metode Enzyme Immunoassay (EAI) Dot

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibody spesifik

IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD Salmonella typhi. Deteksi terhadap

IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi

terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi.
29

Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang

tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-

M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan

inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan

memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik (Akbar, 2016).

Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid

bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai

prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.23

Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam

tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan

efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79%

dan spesifisitas sebesar 89% (Akbar, 2016).

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-

tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan

dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif

yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa

Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan

kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat

(Akbar, 2016).

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan

spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang

dengan penyakit demam lain, murah karena menggunakan antigen dan membran
30

nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat

digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan

sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah

bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan

diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila

hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien (Akbar,

2016).

4. Metode Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk

melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG

terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi Salmonella

typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen

Salmonella typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA.

Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel

darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada

penderita yang didapatkan Salmonella typhi pada darahnya, uji ELISA pada

sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95%

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk (2004)

terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini

sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi

antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih

memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan,

terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga
31

perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis

(Akbar, 2016).

5. Pemeriksaan Dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda

dimana mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS Salmonella typhi

dengan menggunakan membrane nitroselulosa yang mengandung antigen

Salmonella typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human

immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen

yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan

di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap (Akbar,

2016).

Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar

69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila

dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai

prediksi positif sebesar 94.6%.28 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap

30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan

spesifisitas sebesar 96%.29 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata

sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang

menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid.30 Uji ini terbukti

mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar

manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil

kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak

tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas (Akbar, 2016).


32

Identifikasi Kuman Secara Molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella typhi yang akurat adalah

mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri Salmonella typhi dalam

darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara

polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik

untuk Salmonella typhi. Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan

spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik

daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL

darah.32 Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%)

(Akbar, 2016).

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi

risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila

prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam

spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam

spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya

yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari

spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatasdalam laboratorium penelitian (Akbar, 2016).

3.5 Penatalaksanaan

1. Perawatan umum

Pasien demam tifoid perlu dirawat dirumah sakit untuk isolasi, observasi

dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas
33

demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk

mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi

pasien harus dilakukan secara bertahap,bsesuai dengan pulihnya kekuatan pasien

(Inawati, 2017).

Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah

pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik

dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil harus dperhatikan karena kadang-

kadang terjadi obstipasi dan retensi air kemih. Pengobatan simptomatik diberikan

untuk menekan gejala-gejala simtomatik yang dijumpai seperti demam, diare,

sembelit, mual, muntah, dan meteorismus. Sembelit bila lebih dari 3 hari perlu

dibantu dengan paraffin atau lavase dengan glistering. Obat bentuk laksan ataupun

enema tidak dianjurkan karena dapat memberikan akibat perdarahan maupun

perforasi intestinal (Inawati, 2017).

Pengobatan suportif dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan penderita,

misalnya pemberian cairan, elektrolit, bila terjadi gangguan keseimbangan cairan,

vitamin, dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh dan kortikosteroid untuk demam

tifoid yang berat yaitu ensefalopati tifoid yang ditandai dengan penurunan

kesadaran, koma, syok. Biasanya diberikan di rumah sakit karena butuh

pengawasan ketat. Dapat diberikan deksametason dosis awal 3mg/kgbb, diikuti 1

mg/kgBB setiap 6 jam selama 48 jam (Inawati, 2017).

2. Diet

Di masa lampau, pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur

kasar dan akhirnya diberi nasi. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian
34

makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran

dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid

(Inawati, 2017).

3. Farmakoterapi

Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam

dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang juga tidak

kalah penting adalah eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan

keadaan carrier. Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat

Salmonella typhi setempat. Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten

terhadap banyak antibiotik (kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik

yang akan diberikan. Terdapat 2 kategori resistensi antibiotik yaitu resisten

terhadap antibiotik kelompok chloramphenicol, ampicillin, dan trimethoprim-

sulfamethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap antibiotik

fluoroquinolone (Nelwan, 2012). Terapi antibiotik yang diberikan untuk demam

tifoid tanpa komplikasi berdasarkan WHO tahun 2003 dapat dilihat pada tabel

berikut (Nelwan, 2012):

Tabel 3.2. Antibiotik yang diberikan pada demam tifoid tanpa komplikasi menurut
WHO 2003 (Nelwan, 2012)
35

Tabel 3.3 Antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut WHO 2003
(Nelwan, 2012)

Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, dan

pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan

isolat tidak resisten terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis

sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal

carrier kurang dari 2%. Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang

sangat baik, dapat membunuh S. typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag,


36

serta mencapai kadar yang tinggi dalam kandung empedu dibandingkan antibiotik

lain (Nelwan, 2012).

Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas fluoroquinolone

dan salah satu fuoroquinolone yang saat ini telah diteliti dan memiliki efektivitas

yang baik adalah levofloxacin. Studi komparatif, acak, dan tersamar tunggal telah

dilakukan untuk levofloxacin terhadap obat standar ciprofloxacin untuk terapi

demam tifoid tanpa komplikasi. Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1

kali sehari dan ciprofl oxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 2 kali sehari

masing-masing selama 7 hari. Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa pada saat

ini levofloxacin lebih bermanfaat dibandingkan ciprofloxacin dalam hal waktu

penurunan demam, hasil mikrobiologi dan secara bermakna memiliki efek

samping yang lebih sedikit dibandingkan ciprofloxacin (Nelwan, 2012).

Selain itu, pernah juga dilakukan studi terbuka di lingkungan FKUI

mengenai efi kasi dan keamanan levofloxacin pada terapi demam tifoid tanpa

komplikasi. Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari selama 7

hari. Efi kasi klinis yang dijumpai pada studi ini adalah 100% dengan efek

samping yang minimal. Dari studi ini juga terdapat tabel perbandingan rata-rata

waktu penurunan demam di antara berbagai jenis fluoroquinolone yang beredar di

Indonesia di mana penurunan demam pada levofloxacin paling cepat, yaitu 2,4

hari. Sebuah meta-analisis yang dipublikasikan pada tahun 2009 menyimpulkan

bahwa pada demam enterik dewasa, fluoroquinolone lebih baik dibandingkan

chloramphenicol untuk mencegah kekambuhan. Namun, fluoroquinolone tidak


37

diberikan pada anak-anak karena dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan

dan kerusakan sendi (Nelwan, 2012).

Chloramphenicol sudah sejak lama digunakan dan menjadi terapi standar

pada demam tifoid namun kekurangan dari chloramphenicol adalah angka

kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka terjadinya carrier juga tinggi, dan toksis

pada sumsum tulang. Azithromycin dan cefixime memiliki angka kesembuhan

klinis lebih dari 90% dengan waktu penurunan demam 5-7 hari, durasi

pemberiannya lama (14 hari) dan angka kekambuhan serta fecal carrier terjadi

pada kurang dari 4%. Pasien dengan muntah yang menetap, diare berat, distensi

abdomen, atau kesadaran menurun memerlukan rawat inap dan pasien dengan

gejala klinis tersebut diterapi sebagai pasien demam tifoid yang berat (Nelwan,

2012).

Terapi antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut WHO

tahun 2003 dapat dilihat di tabel diatas. Walaupun di tabel ini tertera cefotaxime

untuk terapi demam tifoid tetapi sayangnya di Indonesia sampai saat ini tidak

terdapat laporan keberhasilan terapi demam tifoid dengan cefotaxime. Selain

pemberian antibiotik, penderita perlu istirahat total serta terapi suportif. Yang

diberikan antara lain cairan untuk mengkoreksi ketidakseimbangan cairan dan

elektrolit dan antipiretik. Nutrisi yang adekuat melalui TPN dilanjutkan dengan

diet makanan yang lembut dan mudah dicerna secepat keadaan mengizinkan

(Nelwan, 2012).
38

3.6 Komplikasi

3.6.1 Perdarahan Usus

Pada plak peyer usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat

terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus.

Bila luka menembus limen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi

perdarahan. Selanjutnya bias tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat

terjadi. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor

yang tidak membutuhkan transfusi darah (Akbar, 2016).

3.6.2 Perforasi Usus

Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada

minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam

tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah

kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut di sertai dengan

tanda-tanda ileus (Akbar, 2016).

Komplikasi Ekstraintestinal

3.6.3 Hepatitis Tifosa

Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid

dengan ditandai peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok. Ikterus

dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar transaminase, maupun kolesistitis akut

juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita setelah

mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan

fenomena pembawa kuman (Akbar, 2016).

3.6.4 Miokarditis
39

Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia,

perubahan gelombang ST dan gelombang T pada pemeriksaan elektrokardiografi

(EKG), syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung (Akbar,

2016).

3.6.5 Neuropsikiatri.

Dilaporkan pada kasus dengan komplikasi neuropsikiatri. Sebagian besar

bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, stupor

bahkan koma. Beberapa penulis mengaitkan manifestasi klinis neuropsikiatri

dengan prognosis buruk (Akbar, 2016).

3.7 Pencegahan Demam Tifoid

Pencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan

penyakit, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier .

3.7.1 Pencegahan Primer

Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang

sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan

primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari

strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin

tifoid, yaitu (Harahap, 2011):

1. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang

diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin

ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang

mengkonsumsi antibiotik. Lama proteksi 5 tahun.


2. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni,

K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol


40

preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan

anak 1 – 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu.

Efek samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada

tempat suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada

pemberian pertama.
3. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan

secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada

hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun.

Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang

yang terpapar dengan penderita laboratorium/mikrobiologi kesehatan.

karier tifoid dan petugas.

Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh,

memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan

sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun,

peningkatan higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara yang

cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal

pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi

lingkungan (Harahap, 2011).

3.7.2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit

secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk

mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium.

Pencegahan sekunder dapat berupa (Harahap, 2011):


41

1) Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha

surveilans demam tifoid.


2) Perawatan umum dan nutrisi Penderita demam tifoid, dengan gambaran

klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan lain

yang ada fasilitas perawatan. Penderita yang dirawat harus tirah baring

dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan

perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit

membaik, maka dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan

pulihnya kekuatan penderita. Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan

pemberian cairan dan diet. Penderita harus mendapat cairan yang cukup,

baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada

penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan kesadaran serta yang sulit

makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.

Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup.

Sebaiknya rendah serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet

untuk penderita tifoid biasanya diklasifikasikan atas : diet cair, bubur

lunak, tim dan nasi biasa.


3) Pemberian anti mikroba (antibiotik) Anti mikroba (antibiotik) segera

diberikan bila diagnosa telah dibuat. Kloramfenikol masih menjadi pilihan

pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka

waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier

dan relaps. Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita hamil,

terutama pada trimester III karena dapat menyebabkan partus prematur,


42

serta janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat yang paling aman

diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau amoksilin.


3.7.3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi

keparahan akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit

demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas

tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada

penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium

pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak (Harahap,

2011).

Anda mungkin juga menyukai