Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

DEMAM TIFOID

Disusun Oleh:
Indita Yuliasari Susilowati
2210221049

Pembimbing: dr. Irena Rosdiana, Sp.A


Moderator: dr. Rachmanto Heryawan Surya Adiputra, Sp.A, MH

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RSPAD GATOT SOEBROTO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
PERIODE 2 JANUARI - 11 MARET 2023
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS

Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas


Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak

Oleh:
Indita Yuliasari Susilowati
2210221049

Jakarta, 23 Januari 2023

Telah dibimbing dan disahkan oleh,


Pembimbing Moderator

dr. Irena Rosdiana, Sp.A dr. Rachmanto Heryawan Surya Adiputra,


Sp.A, MH
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
dengan judul “Demam Tifoid”. Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah
untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik
Departemen Ilmu Kesehatan Anak di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta.
Perkenankan penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Rachmanto Heryawan Surya Adiputra, Sp.A, M.H selaku moderator
2. dr. Irena Rosdiana, Sp. A selaku tutor pembimbing, yang
senantiasa membimbing, memberi masukan dan arahan bagi
penulis
3. Dokter-dokter spesialis anak lainnya di Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSPAD Gatot Soebroto atas arahan dan
bimbingannya
4. Perawat, teman-teman dan semua pihak yang turut terlibat serta
mendukung penulisan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam proses
penyusunan laporan kasus ini serta masih jauh dari kesempurnaan. Penulis
berharap semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat kepada para
pembaca serta perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang
kedokteran.

Jakarta, 23 Januari 2023

Penulis
BAB I
STATUS PASIEN
1.1 Identitas Pasien
Nama : An. C
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir/Usia : 23 Januari 2010 / 13 Tahun
Alamat : Jl. Kesatrian, Matraman
Nomor Rekam Medis : 01137660
Tanggal Masuk Rumah Sakit : 16 Januari 2023
Tanggal Pulang Pasien : 19 Januari 2023
Lama Perawatan : 4 hari
Datang sendiri / Rujukan : Sendiri
Nama Ayah : Tn. D
Pendidikan Ayah : SMK
Pekerjaan Ayah : TNI AD
Nama Ibu : Ny. S
Pendidikan Ibu : SMA
Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Suku bangsa : Aceh
Kewarganegaraan : Indonesia
1.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dan dibuat berdasarkan rekam medis
pasien.
Keluhan Utama : Demam dan muntah

1.2.1 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSPAD Gatot Soebroto dengan keluhan demam dan
muntah sejak 4 hari SMRS. Keluhan demam muncul secara mendadak pada hari Jumat
(13 Januari 2023) sore. Demam naik secara perlahan serta Ibu pasien mengatakan demam
juga dirasa naik turun. Awalnya pasien demam dengan suhu badan 38℃ dan semakin
meningkat dengan suhu badan tertinggi mencapai 40℃. Demam biasanya tinggi ketika
menjelang sore hingga malam hari dan berangsur turun pada pagi hari namun tidak
mencapai suhu badan normal. 1 hari setelah demam muncul, anak sempat berobat ke
Puskesmas dan mendapat obat Paracetamol. Setelah minum Paracetamol demam
menurun namun tetap naik kembali. Selama sakit anak tampak lemas dibandingkan
sebelumnya. Anak juga mengeluh sakit kepala. Sakit kepala dirasa berdenyut tanpa ada
sensasi berputar. Demam tidak disertai dengan kejang, penurunan kesadaran, meracau,
mengigau, batuk, pilek, perdarahan dari hidung maupun mulut serta bintik-bintik merah
di kulit.
Ibu pasien mengatakan pasien juga merasakan nyeri perut sejak hari pertama
demam. Nyeri perut terutama berada di bagian ulu hati dan tidak menjalar ke bagian perut
lain. Anak mengeluh nyeri perut hilang timbul dan rasanya seperti tertusuk-tusuk. Nyeri
perut dirasakan muncul terutama setelah makan, terutama setelah mengonsumsi makan
makanan pedas, gorengan serta bersantan.
3 hari SMRS anak mengalami muntah-muntah dengan frekuensi lebih dari 10 kali
per hari. Pasien selalu merasa mual sebelum muntah. Anak muntah berisi makanan dan
cairan yang dikonsumsi dan tidak ada muntah darah. Saat masuk ke RS pun pasien masih
mengeluh mual namun sudah tidak muntah. 2 hari SMRS pasien dibawa oleh ibunya ke
Puskesmas dekat rumahnya untuk berobat. Berdasarkan keterangan ibunya, di Puskesmas
anak diberi obat Paracetamol, Antasida, Ciprofloxacin serta Vitamin. Anak sempat
mengonsumsi obat-obatan dari Puskesmas namun keluhan tidak kunjung membaik.
Setelah berobat dari Puskesmas, anak mengeluarkan BAB cair sebanyak 4x/hari dengan
perkiraan total sebanyak satu gelas belimbing, warna kuning kecoklatan, tidak ada lendir
dan tidak ada darah. Keesokan harinya keluhan diare sudah berhenti.

Semenjak sakit pasien mengalami penurunan nafsu makan. Anak hanya sanggup
makan 4-5 suap sendok makan atau paling banyak anak mampu menghabiskan setengah
porsi makan. Anak mengaku lidahnya terasa pahit sehingga malas untuk makan. Selama
sakit anak masih dapat minum cukup banyak (kurang lebih dalam sehari bisa minum
sebanyak 1 liter) tetapi ibu pasien mengatakan frekuensi BAK anak berkurang dengan
urin berwarna kuning, tidak berpasir, tidak berbuih dan tidak berdarah. Anak mengaku
memang kerap menahan BAK saat berkegiatan di sekolah maupun saat ekstrakulikuler.
Setiap hari anak menggunakan celanan ketat dan anak termasuk aktif dalam kegiatan
sekolah. Namun anak hanya mengganti pakaian dalamnya sehari 2 kali saja. Anak juga
mengatakan bahwa bila saat cebok ia suka tidak memperhatikan arah cebokan dari depan
ke belakang atau dari belakang ke depan serta tidak dikeringkan dengan tisu setelah BAK
maupun BAB. Pasien menyangkal adanya rasa tidak tuntas saat BAK dan nyeri saat ingin
berkemih.

1.2.2 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Pasien belum
pernah di rawat di rumah sakit. Anak juga tidak pernah didiagnosis demam tifoid maupun
malaria. Anak tidak bepergian ke daerah endemis malaria beberapa waktu ini. Pasien
tidak memiliki riwayat alergi makanan ataupun obat, tidak memiliki penyakit kronis, dan
riwayat operasi sebelumnya.

1.2.3 Riwayat Penyakit Keluarga


Pada keluarga pasien, tidak ada yang mengalami gejala serupa. Ayah pasien
memiliki riwayat stroke dan Ibu pasien pernah dilakukan endoskopi tahun 2015 karena
sakit lambung yang kronis.

1.2.4 Riwayat Sosial dan Lingkungan


Pasien merupakan anak ke 3 dari 3 bersaudara. Saat ini pasien duduk di bangku
Sekolah Dasar kelas 6. Pasien tinggal di rusun tentara sejak kecil dan dapat dikatakan
tinggal di lokasi padat penduduk. Pasien memiliki kegiatan rutin yaitu karate sejak kelas
2 SD. Salah satu kebiasaan setelah berlatih karate, pasien sanggup makan hingga 2 piring
dan hampir setiap hari pasien mengonsumsi mie korea. Setelah pulang sekolah, pasien
kerap jajan makanan maupun minuman di depan sekolahnya.

1.2.5 Riwayat Pengobatan


Pada hari kedua sakit, pasien dibawa ke Puskesmas dan diberikan obat sebagai
berikut :
- Antasida 3x1
- Vitamin 1x1
- Paracetamol 3x1
- Ciprofloxacin 2x1

1.2.6 Riwayat Kehamilan Ibu


Pasien merupakan anak dari kehamilan ketiga (G3P3A0). Saat masa kehamilan
tidak ada keluhan apapun dan ibu pasien rutin melakukan pemeriksaan kehamilan.

1.2.7 Riwayat Persalinan


Tempat bersalin : Klinik
Penolong : Bidan
Cara persalinan : Normal
Berat badan lahir : 4000 gr (berat badan di atas rata-rata)
Panjang badan lahir : 51 cm
Masa gestasi : cukup bulan
Kelainan bawaan : tidak ada
Anak ke : 3 dari 3 bersaudara
Keadaan setelah lahir
 Nilai APGAR : Tidak diingat
 Kelainan bawaan : Tidak ada
 Gerak : Aktif
 Tangis : Langsung menangis
 Warna kulit : Kemerahan
 Riwayat rawat : Tidak ada
Kesan : Neonatus cukup bulan sesuai dengan masa
kelahiran Berat badan lahir di atas rata-rata, lahir dengan normal.

1.2.8 Riwayat Alergi


Pada rekam medis pasien tertera bahwa pasien tidak memiliki riwayat alergi.

1.2.9 Riwayat Perkembangan


Motorik Kasar
Menegakkan kepala : 3 bulan
Membalikkan badan : 4 bulan
Duduk : 7 bulan
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 12 bulan

Motorik Halus
Menulis : bisa, lancar
Membaca : bisa, lancar

Bahasa
Berbicara : 12 bulan, 6 kata

Personal Sosial
Sosialisasi : Pasien dapat berinteraksi dengan teman sebaya
Belajar : Pasien dapat mengikuti pembelajaran di sekolah dengan baik

1.2.10 Riwayat Nutrisi

Jenis Usia

Eksklusif selama 6 bulan


ASI
Durasi pemberian ASI 24 bulan
Susu Formula Sejak usia 18 bulan
Bubur Susu Sejak usia 6-7 bulan
Nasi Tim Sejak usia 9-10 bulan
Makanan Dewasa Sejak usia 12 bulan
1.2.11 Riwayat Imunisasi

Jenis Lahi 1 2 3 4 6 9 12 18 24 3 5 7
Imunisas r Bl Bl Bl Bl Bl Bl Bl Bl Bl Th Th Th
i n n n n n n n n n n n n
Hepatitis √ √ √ √
B
Polio √ √ √ √ √ √ √
BCG √
DPT √ √ √ √ √ √
HiB √ √ √ √
Campak √ √ √
Imunisasi √
Lain
(HPV)

Kesimpulan : pasien sudah mendapatkan imunisasi lengkap program pemerintah sesuai


pedoman IDAI tahun 2014.

1.3 Pemeriksaan Fisik


1.3.1 Status Generalis
Kesadaran : compos mentis
Keadaan umum : tampak sakit sedang, kooperatif, tenang
Tanda vital
- Tekanan Darah : 109/74 mmHg
- Nadi : 89x/menit
- Suhu : 38.9℃
- Pernapasan : 20x/menit
- Saturasi oksigen : 99% room air
- Berat badan : 45 kg
- Tinggi badan : 154 cm

Status Generalis
Kepala : normocephal, rambut hitam dan distribusi merata
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor,
reflex cahaya langsung dan tidak langsung normal
Telinga : normotia, secret (-/-)
Hidung : simetris, tidak ada deviasi septum, secret (-/-), perdarahan
(-/-)
Mulut : bibir lembab, lidah kotor
Tenggorokan : faring hiperemis (-), tonsil T1/T1
Leher : tidak ada limfadenopati

Thorax
Inspeksi : normochest, pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : vocal fremitus (+) kanan dan kiri
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : VBS (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/)

Jantung
Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : BJ I-II murni, regular, gallop (-), murmur (-)

Abdomen
Inspeksi : datar, supel, distensi (-), asites (-), venektasi (-), striae (-),
lesi (-)
Auskultasi : bising usus normoperistaltic
Palpasi : tidak teraba pembesaran organ, nyeri tekan pada region
epigastric (+) dengan VAS 1-2
Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 S
Kulit : tidak tampak ptekie, purpura, hematoma, turgor baik

Reflex Fisiologis
Reflex Biceps : (+/+)
Reflex Triceps : (+/+)
Reflex Knee Patella : (+/+)
Reflex Tendon Achilles : (+/+)

Reflex Patologis
Reflex Babinski : (-/-)
Reflex Chaddock : (-/-)
Reflex Gordon : (-/-)
Refleks Schaefer : (-/-)
Refleks Oppenheim : (-/-)
Reflex Hoffman-Trommer : (-/-)

Tanner Stage
Axilla : ditribusi rambut sudah seperti orang dewasa namun jumlah
totalnya masih lebih sedikit
Mammae : payudara mulai menumbuh dan membentuk gundukan sekunder
Pubis : distribusi rambut sudah seperti orang dewasa namun jumlah
totalnya masih lebih sedikit, belum ada yang menyebar sampai permukaan medial
paha
Kesan : A3P3M3 (Kesan pubertas pasien sesuai usia)

1.3.2 Status gizi


BB Saat ini : 45 kg
BB 3 bulan lalu : 40 kg
BB Lahir : 4000 gram
BB Ideal : 46 kg
TBI = 157 cm

BBI = 46 kg

BBS = 45 kg

BB 3 bulan lallu
= 40 kg

BB/U : (45/46) x 100% = 97.82 % → Berat Badan Normal


TB/U : (154/157) x100% = 98.08% → Perawakan Normal
BB/TB : (45/48) x 100% = 93.75% → Gizi Baik
Kesan :
Cross-sectional : Pasien dengan berat badan baik, perawakan normal dan gizi baik
Longitudinal : Sejajar garis median
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah Lengkap (16/01/2023)

Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan


Hematologi
Hemoglobin 14 g/dl 13-16 g/dl
Hematokrit 42% 37-49%
Eritrosit 5,3 juta/ul 4,5-5,3 juta/ul
Leukosit 3690 /ul ↓ 4500 – 13,500 /ul
Trombosit 202.000/ul 150.000-400.000/ul
MCV 78 78 - 98 FL
MCH 26 pg 25-33 pg
MCHC 34 g/dl 31-37 g/dl
RDW 12.50 g/dl 11,5-14,5%
Hitung Jenis:
Basofil 0% 0-1 %
Eosinofil 1% 1-3 %
Segmen 54 % 50-70 %
Limfosit 22 % 20-40 %
Monosit 10 % 2-8 %
Kimia Klinik
GDS 82 mg/dl 60-140 mg/dl
Natrium 141 mmol/L 132-145 mmol/L
Kalium 4,1 mmol/L 3,1-5,1 mmol/L
Klorida 102 mmol/L 96-111 mmol/L

Pemeriksaan Urinalisis (16 Januari 2023)


Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan
Urin Lengkap
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
Berat Jenis 1.020 1.000 – 1.030
pH 6.0 5.0 – 8.0
Protein -/Negatif Negatif
Glukosa -/Negatif Negatif
Keton -/Negatif Negatif
Darah -/Negatif Negatif
Bilirubin -/Negatif Negatif
Urobilinogen 1.0 mg/dl 0.1 – 1.0 mg/dl
Nitrit -/Negatif Negatif
Leukosit Esterase -/Negatif Negatif
Sedimen Urin
Leukosit 3 /LPB <=10 /LPB
Eritrosit 0 <3 /LPB
Silinder 0 <= 1
Epitel +/Positif 1 < 15 sel/LPB
Kristal -/Negatif Negatif
Bakteri 45 < 10

1.4 Diagnosis Banding


Febris H4 dd/ Bacterial infection dd/ ISK, demam tifoid

1.5 Diagnosis Kerja

Infeksi Saluran Kencing


Gastritis Akut

1.6 Penatalaksanaan
Medikamentosa
Inf. D5 ½ NS 1500 ml/24 jam
IV Ceftriaxone 1x2 gr Inj
IV Omeprazole 1x40 mg
PO Paracetamol 3x500 mg
PO Sucralfat syr 3x10 ml
PO L-Bio 2x1 sachet

Usulan Pemeriksaan Penunjang


1. Kultur urin
2. Tes cepat immunoserologis Salmonella typhi
3. Kultur darah

Nonmedikamentosa

 Monitor keadaan umum, tanda-tanda vital dan kesadaran pasien.


 Edukasi orang tua tentang pentingnya melengkapi imunisasi booster.
 Edukasi tentang penyakit yang dialami pasien.
 Edukasi mengenai menjaga kebersihan diri dan lingkungan, kebersihan
makanan, juga tentang pemakaian alat makan dan alat mandi yang tidak
boleh bergantian.

 Edukasi untuk sering mengganti celana dalam bila terasa lembab.

 Edukasi mengenai cara cebok yang benar yaitu dari depan ke belakang,
tidak boleh dari belakang ke depan ataupun bolak-balik dan dikeringkan
dengan tisu setelah cebok.

 Edukasi menggunakan celana yang longgar untuk mengurangi


kelembaban.

1.7 Prognosis

Quo ad Vitam : bonam


Quo ad Functionam : bonam
Quo ad Sanationam : bonam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi
masalah dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-negara
subtropis prevalensi demam tifoid masih terbilang cukup tinggi. Terlebih lagi di
negara-negara berkembang. Badan kesehatan dunia (WHO/World Health
Organization) memperkirakan pada tahun 2018 lebih dari 11-20 juta kasus demam
tifoid terjadi di seluruh dunia, dengan angka kematian berada di antara 128.000-
161.000 orang per tahunnya.

Demam tifoid banyak ditemukan dalam kehidupan masyrakat kita, baik di


perkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kualitas
yang mendalam dari higienitas pribadi dan sanitasi lingkungan seperti, higienitas
perorangan dan higienitas penjamah makanan yang rendah, lingkungan yang
kumuh, kebersihan tempat-tempat umum (rumah makan, restoran) yang kurang
serta perilaku masyarakat yang tidak mendukung untuk hidup sehat. Seriring
dengan terjadinya krisis ekonomi yang berkepanjangan akan menimbulkan
peningkatan kasus-kasus seperti penyakit menular, termasuk demam tifoid.
Demam tifoid adalah infeksi yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella Typhi. Bakteri tersebut biasanya menyebar melalui makanan
atau air yang terkontaminasi. Setelah Salmonella Typhi dimakan atau diminum,
bakteri tersebut akan berkembang biak dan menyebar ke dalam aliran darah.

II. PEMBAHASAN
A. Definisi

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang


dikarakterisasi dengan prolonged fever dan bakteremia persisten yang
disebabkan oleh Salmonella enterica serovar typhi (S. Typhi), mengenai sistem
retikuloendotelial, kelenjar limfe, saluran cerna dan kandung empedu serta dapat
menular melalui jalur fekal-oral. Demam tifoid merupakan bagian dari demam
enterik.
B. Etiologi
Penyebab demam tifoid adalah bakteri dari Genus Salmonella. Salmonella
memiliki dua spesies yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori.
Salmonella enterica terbagi dalam 6 subspesies, yaitu: Salmonella enterica subsp.
enterica; Salmonella enterica subsp. salamae; Salmonella enterica subsp. arizonae;
Salmonella enterica subsp. diarizonae; Salmonella enterica subsp. hotenae;
Salmonella enterica subsp. Indica.
Salmonella enterica subsp. enterica memiliki setidaknya 1454 serotipe,
beberapa diantaranya adalah: Salmonella Choleraesuis, Salmonella Dublin,
Salmonella Enteritis, Salmonella Gallinarum, Salmonella Hadar, Salmonella
Heidelberg, Salmonella Infantis, Salmonella Paratyphi, Salmonella Typhi,
Salmonella Typhimurium, dan Salmonella Genrus. Salmonella Typhi dan
Salmonella Paratyphi adalah bakteri penyebab demam tifoid.
Bakteri Salmonella berbentuk batang, Gram-negatif, tidak membentuk
spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagela. Bakteri ini dapat hidup sampai
beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri
ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 66˚C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi,
pendidihan dan klorinasi.

Gambar 1. Salmonella enterica.


Salmonella Typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
1) Antigen O (antigen somatik), terletak pada lapisan luar tubuh kuman. Bagian
ini mempunyai struktur lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen
ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2) Antigen H (antigen flagela), terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3) Antigen Vi, terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat melindungi
kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan
pula pembentukan 3 macam antibodi yang disebut aglutinin.

Gambar 2. Struktur S. tyhpi


Rute fecal-oral menjadi jalur penularan Salmonella Typhi. Bakteri tersebut
dapat muncul dikarenakan kebiasaan hidup yang kurang bersih, misalnya konsumsi
air tidak bersih dan makanan yang terkontaminasi. Usia, jenis kelamin, pendidikan,
status sosial ekonomi, kebiasaan mencuci tangan serta kebiasaan membuang
jamban merupakan faktor resiko penyebab demam tifoid. Selain itu, bakteri
Salmonella Typhi mampu bertahan hidup berhari-hari didalam air.

C. Epidemiologi
Kondisi hidup yang lebih baik mengakibatkan penurunan drastis morbiditas
dan mortalitas demam tifoid di negara-negara maju. Namun, di daerah berkembang
seperti di Afrika, Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat, penyakit ini terus
menjadi masalah kesehatan masyarakat.
WHO memperkirakan angka kejadian penyakit demam tifoid global
mencapai 11-20 juta kasus setiap tahunnya, mengakibatkan sekitar 128.000-
161.000 kematian per tahun. WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara
endemik untuk demam tifoid.
Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka
kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, angka prevalensi demam tifoid secara nasional adalah
1,6%.
Prevalensi 91% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian
meningkat setelah umur 5 tahun. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat
sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya, sehingga untuk memastikan
diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi. Sembilan
puluh enam persen (96%) kasus demam tifoid disebabkan oleh S. Typhi, sisanya
disebabkan oleh S.paratyphi di mana kuman masuk melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi. Dalam tubuh manusia akan mengalami
bacteremia pertama (asimtomatik) dan bacteremia sekunder yang menimbulkan
gejala.
Risiko demam tifoid lebih tinggi pada populasi yang kekurangan
akses ke air bersih dan akses sanitasi yang memadai. Masyarakat miskin dan
kelompok rentan termasuk anak-anak berada pada risiko tertinggi. Demam tifoid
di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga
dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan,
menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya tempat buang
air besar dalam rumah.

D. Patogenesis Demam Tifoid

Demam tifoid dapat ditularkan melalui berbagai cara, biasa dikenal dengan
5F yaitu Food (makanan), Finger (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly
(lalat) dan Feses. Penularan bakteri Salmonella Typhi penyebab demam tifoid
dapat melalui feses dan muntahan dari penderita tifoid. Makanan dan minuman
yang terkontaminasi serta lalat yang hinggap di makanan yang akan kurang
diperhatikan maka bakteri tersebut dapat mudah masuk dan menyebabkan
infeksi.

Inokulum yang dibutuhkan untuk menyebabkan penyakit dalam 50%


orang dewasa adalah 107 organisme, walaupun 103 sudah dapat menyebabkan
penyakit. Lama inkubasi penyakit beragam dari 4-14 hari bergantung terhadap
dosis inokulum bakteria yang hidup.

Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke


dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral
mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel usus
dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri
ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.

Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam


makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia
pertama yang asimptomatik) kemudian menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Dengan periode waktu yang
bervariasi antara 1-3 minggu, kuman bermultiplikasi di organ-organ ini
kemudian meninggalkan makrofag dan kemudian berkembang biak di luar
makrofag dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda dan gejala penyakit infeksi
sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang biak, dan
Bersama cairan empedu diekskresikan kembali ke dalam lumen usus secara
intermiten. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke
dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, oleh

karena makrofag telah teraktivasi sebelumnya maka saat fagositosis kuman


Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi (IL-1, IL-6, IL-8, TNF-
β, INF, GM-CSF, dsb.) yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi
inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.

Di dalam plak Peyeri, makrofag yang telah hiperaktif menimbulkan


reaksi hyperplasia jaringan dan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat.
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar
plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi
sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat
berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan
perforasi usus.
Gambar 3. Patogenesis Demam Tifoid

E. Manifestasi Klinis Demam Tifoid


Masa inkubasi demam tifoid berlangsung biasanya 7-14 hari bergantung
dosis infeksi dan berentang dari 3-30 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul
sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari sakit ringan dengan demam
ringan, malaise, dan batuk ringan hingga berat dengan nyeri perut dan
komplikasi berat. Pada negara endemis, tanda klinis yang tampak pada anak
mungkin hanya demam >38o lebih dari tiga hari. Variasi gejala ditentukan oleh
faktor galur Salmonela, nutrisi, dan imunologi host.

Demam enterik biasanya naik perlahan pada minggu pertama. Sakit


kepala, malaise, penurunan nafsu makan, dan gejala nonspesifik seperti flu dapat
mendahului demam. Sebelum penggunaan antibiotik, demam tifoid bersifat step
ladder dimana timbul insidious kemudian naik bertahap hingga mencapai titik
tertinggi di akhir minggu pertama. Kemudian demam bertahan tinggi dan turun
perlahan pada minggu keempat. Demam juga dilaporkan lebih tinggi pada sore
dan malam hari dibanding pagi hari. Gejala abdomen seperti diare, konstipasi,
meteorismus, dan nyeri abdomen yang tidak terlokalisir dapat meningkatkan
kecurigaan klinis.

Pemeriksaan fisik juga tidak spesifik. Bradikardia relatif atau disosiasi


nadi- temperatur merupakan tanda klasik demam enterik yaitu setiap
peningkatan 1˚C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit, namun
tidak ada definisi yang secara luas diterima dan terdapat bukti rendah hal
tersebut dapat digunakan sebagai prediktor. Dapat pula ditemukan lidah yang
berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung lidah merah serta tremor). Rose spot
yang merupakan ruam makulopapular berwarna merah namun tidak pernah
ditemukan pada anak Indonesia. Hepatomegali dan splenomegaly dapat
ditemukkan dan menunjukkan gejala yang sedang.

Pada kasus berat, pasien dapat tampak sakit berat/toksik yang biasanya
telah demam lebih dari satu minggu. Kesadaran pasien dapat delirium, apatis,
hingga koma. Komplikasi yang dapat ditemukan pada pemeriksaan ada antara
lain perdarahan saluran cerna dan perforasi, enselofati, kejang, miokarditis, dan
kejang.

F. Diagnosis Demam Tifoid


Pada minggu kedua, gejala klinis menjadi semakin berkembang jelas,
berupa demam, bradikardia relatif dimana setiap peningkatan 1˚C tidak diikuti
peningkatan denyut nadi 8 kali per menit, kemudian didapatkan pula lidah yang
berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung lidah merah serta tremor), hepatomegali
splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma,
delirium, atau psikosis. Beberapa penderita dapat menjadi karier asimptomatik dan
memiliki potensi untuk menyebarkan kuman untuk jangka waktu yang tidak
terbatas.

Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis


yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih
dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik
untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita
demam tifoid secara menyeluruh. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu
menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu: (1)
pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan
kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler.

1) Pemeriksaan darah tepi


Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit
normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan
hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan
aneosinofilia dan limfositosis. Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan
bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai
nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai prediksi yang cukup tinggi untuk dipakai
dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya
leukopenia dan limfositosis menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.

2) Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman


Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri
Salmonella Typhi dalam biakan dari darah, urine, feses dan sumsum tulang.
Bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal
penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil
biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor,
seperti: (1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur
darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan
terhambat dan hasil mungkin negatif; (2) Jumlah darah yang diambil terlalu
sedikit (diperlukan kurang

lebih 10 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif;
(3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam
darah pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah dapat
negatif; dan (4) Waktu pengambilan darah yang dilakukan setelah minggu
pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat. Volume 10-15 mL dianjurkan
untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL.17 Media
pembiakan yang direkomendasikan untuk Salmonella Typhi adalah media empedu
dari sapi. Media ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya Salmonella
Typhi dan Salmonella Paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 70- 90% dari
penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.
Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika
dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang
dipakai.

Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga
minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu
pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode yang mempunyai sensitivitas paling
tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama
perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama
bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur
darah negatif sebelumnya. Namun prosedur ini sangat invasif sehingga tidak dipakai
dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada specimen
empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi
tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak.

3) Uji
Serologis
a. Uji Widal
Dasar reaksi uji Widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen kuman
Salmonella Typhi dengan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap
Salmonella Typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, orang yang
pernah tertular Salmonella Typhi, dan orang yang pernah mendapatkan vaksin
demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi
Salmonella Typhi yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan uji
Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang
diduga menderita demam tifoid.
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H
yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Secara umum, aglutinin O mulai muncul
pada hari ke 6-8 dan aglutinin H mulai muncul pada hari ke 10-12 dihitung sejak
hari timbulnya demam. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula
kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif,
titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan pada
selang waktu minimal 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2
sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut:
 Titer aglutinin O yang tinggi (>160) menunjukkan adanya infeksi akut.
 Titer aglutinin H yang tinggi (>160) menunjukkan sudah pernah mendapat
imunisasi atau pernah menderita infeksi.
 Titer aglutinin yang tinggi terhadap antigen Vi terdapat pada carrier.

b. Uji Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)


Prinsip dasar uji ELISA adalah reaksi antigen-antibodi. Uji ini sering
dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen O9 LPS,
antibodi IgG terhadap antigen flagela d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi
Salmonella Typhi.
c. Pemeriksaan Dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda
dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS Salmonella
Typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen
Salmonella Typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human
immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen
yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan
ditempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.

d. Uji Tubex®
Tubex® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi oleh IDL
Biotech, Broma, Sweden.27 Tes ini sangat cepat, hanya membutuhkan waktu 5-10
menit, sederhana dan akurat. Tes ini mendeteksi serum antibodi IgM terhadap
antigen O9 LPS yang sangat spesifik terhadap bakteri Salmonella Typhi. Pada
orang yang sehat normalnya tidak memiliki IgM anti-O9 LPS.
Tes Tubex® merupakan tes yang subjektif dan semikuantitatif dengan cara
membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi dengan Tubex® color scale
yang tersedia. Range dari color scale adalah dari nilai 0 (warna paling merah)
hingga nilai 10 (warna paling biru).
Cara membaca hasil tes Tubex® adalah sebagai berikut menurut IDL
Biotech 2008:
 Nilai < 2 menunjukan nilai negatif (tidak ada indikasi demam tifoid).
 Nilai 3 menunjukkan inconclusive score dan memerlukan pemeriksaan ulang.
 Nilai 4-5 menunjukan positif lemah.
 Nilai > 6 menunjukan nilai positif (indikasi kuat demam tifoid).
Nilai Tubex® yang menunjukan nilai positif disertai dengan tanda dan gejala klinis yang
sesuai dengan gejala demam tifoid, merupakan indikasi demam tifoid yang sangat kuat.
Gambar 4. Prinsip Pemeriksaan Tubex.

a. Uji Typhidot®
Uji Typhidot® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi oleh
Biodiagnostic Research, Bangi, Malaysia. Hasil uji Typhidot® dinilai positif apabila
didapatkan reaksi dengan intensitas yang sama dengan atau lebih besar dari reaksi
kontrol, terlihat pada kertas saring komersial yang telah disiapkan. Tes ini
memperingatkan, jika hasil yang diperoleh tak tentu, tes harus diulang setelah 48 jam.

1) Identifikasi Bakteri Secara Molekuler


Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella Typhi yang akurat
adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri Salmonella Typhi
dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA.

G. Terapi Demam Tifoid

Pemberian terapi antibiotik yang tepat dan cepat, mencegah komplikasi


demam tifoid yang berat dan mengurangi kasus fatal menjadi < 1%. Terapi
antibiotik inisial bergantung terhadap kerentanan dari S. Typhi dan S. Paratyphi
pada tiap-tiap daerah. Terapi demam tifoid yang paling efektif adalah agen
fluorokuinolon, dengan angka kesembuhan 98% dan angka relaps dan karier fekal
<2%. Pemberian terapi singkat degan ofloxacin memiliki angka kesuksesan yang
sama dengan pemberian agen kuinolon terhadap salmonela yang sensitif. Di Asia,
penggunaan luas agen fluorokuinolon secara bebas, menyebabkan kenaikan angka
kejadian DCS (decreased ciprofloxacin susceptibility). Oleh karena itu
penggunaan agen fluorokuinolon sebainya dibatasi dan tidak menjadi terapi
empiris. Pasien yang terinfeksi dengan golongan S.typhi DCS sebaiknya diterapi
menggunakan ceftriaxone, azithromycin atau ciprofloksasin dalam dosis besar.
Penggunaan fluorokuinolon dosis besar dalam 7 hari sebagai terapi demam
typhoid DCS, menyebabkan keterlambatan resolusi dan meningkatkan angka
karier fecal. Oleh karena itu, terapi demam typhoid DCS dengan menggunakan
ciprofloxacin dosis besar diberikan dalam waktu 14 hari.
Ceftriaxone, cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif untuk
demam tifoid MDR (multi drug resistant), termasuk DCS dan salmonella yang
resisten dengan fluorokuinolon. Agen ini menurunkan panas dalam waktu ± 1
minggu, dengan angka kegagalan 5-10%, angka karier fekal <3% dan angka
relaps 3-6%. Pemberian azithromycin oral, menurunkan demam dalam 4-6 hari,
dengan angka relaps dan karier fekal <3%. Pada demam tifoid DCS, pemberian
azithromycin berhubungan dengan angka kegagalan terapi yang rendah, dan
durasi hospitalisasi yang pendek dibandingkan pemberian fluorokuinolon.
Sefalosporin generasi satu, generasi kedua dan aminoglikosida tidak efektif pada
terapi demam tifoid.
Pada pasien dengan demam tifoid tanpa komplikasi, dapat diterapi di rumah dengan
antibiotik oral dan antipiretik. Pasien dengan muntah menetap, diare menetap atau
distensi abdomen sebaiknya dirawat di rumah sakit dan diberikan terapi suportif (tirah
baring dan dukungan nutrisi) disertai pemberian antibiotik parenteral sefalosporin
generasi ketiga atau fluorokuinolon, tergantung dari tingkat sensitivitas bakteri. Terapi
sebaiknya diberikan selama 10 hari atau selama 5 hari setelah resolusi demam.
Gambar 5. Tabel Pilihan Antibiotik berdasarkan KMK no 364 tahun 2006
tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.
Pada 1-5% pasein yang menderita karies Salmonella kronis dapat diterapi dengan
pemberian antibiotik oral yang tepat selama 4 sampai 6 minggu. Terapi menggunakan amoxicillin
oral, TMP-SMX, ciprofloxacin atau norfloxacin efektif dalam mengeradikasi karier kronis (80%
efektif). Siprofloksasin 750 mg, 2 kali sehari selama 28 hari terbukti efektif. Bila tidak ada
siprofloksasin dan galur tersebut peka, 2 tablet ko-trimoksaszol 2 kali sehari selama 3 bulan, atau
100 mg/kg/hari amoksisilin dikombinasi dengan probenesid 30 mg/kg/hari, keduanya diberikan
selama 3 bulan juga efektif. Karier dengan batu empedu hanya memperlihatkan respons
sementara terhadap kemoterapi, dan diperlukan kolesistektomi untuk mengakhiri keadaan karier
pada kasus tersebut.

H. Komplikasi Demam Tifoid


Demam typhoid dapat menjadi penyakit yang semakin berat dan
mengancam nyawa, tergantung dari faktor inang (terapi imunosupresi, terapi
antasida, Riwayat vaksinasi), virulensi dari bakteri dan pemilihan terapi antibiotik.
Pendarahan gastrointestinal (10-20%) dan perforasi intestinal (1-3%), hal ini biasa
terjadi minggu ke-3 dan minggu ke-4. Pendarahan gastrointestinal dan perforasi
intestinal terjadi akibat hiperplasia, ulserasi dan nekrosis dari plak peyeri
ileocecal. Keuda komplikasi ini dapat mengancam nyawa dan membutuhkan
resusistasi
cairan segera dan intervensi bedah dengan pemberian antibiotik spektrum luas
untuk periotinitis polimikrobial. Manifestasi neurologikal dapat ditemukan pada 2
-40% berupa, meningitis, guillain-barre syndrome, neuritits dan gejala
neuropsikiatrik.
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa disseminated intravascular coagulation,
hematophagotic syndrome, pankreatitis, hepatitis, miokarditis, orkitis, glomerulonefritis,
pieloneftitis, pneumonia berat, arthritis, osteomielitis. Namun komplikasi ini sudah jarang
terjadi akibat pemberian antibiotik yang tepat.
BAB III
ANALISIS KASUS

Anak perempuan usia 13 tahun dengan berat badan 45 kg, tinggi badan 154 cm
datang ke IGD RSPAD Gatot Soebroto pada 16 Januari 2023 dengan dengan keluhan
utama demam dan muntah. Dari anamnesis, demam dirasakan sudah 4 hari SMRS.
Demam pada pasien ini memiliki pola demam yang naik secara perlahan-lahan dan tinggi
terutama menjelang sore hingga malam hari dan menurun di pagi hari. Ciri demam ini
merupakan karakteristik yang sering ditemukan pada pasien dengan demam tifoid di
mana demam paling rendah pada pagi hari dengan puncak demam di sore atau malam
hari. Pola demam ini sering disebut sebagai step ladder fever. Demam juga meningkat
setiap harinya dengan mencapai 38-40℃. Selain tifoid, keluhan demam juga perlu
dipikirkan penyebab lain yang dapat terbagi menjadi infeksius dan noninfeksius.
Penyebab demam yang infeksius antara lain demam tifoid, demam berdarah dengue,
malaria, hepatitis A, infeksi saluran kemih. Sedangkan penyebab demam yang
noninfeksius yaitu autoimun dan keganasan. Dalam anamnesis, kemungkinan-
kemungkinan tersebut sudah banyak tereksklusikan. Demam juga tidak diikuti dengan
penurunan kesadaran sehingga bisa dieksklusikan adanya komplikasi dari neuropsikiatri
demam tifoid.

Pada pasien terdapat keluhan sistem gastrointestinal seperti nyeri perut, mual
muntah, BAB cair dan nafsu makan berkurang. Nyeri perut merupakan gejala abdomen
yang dapat ditemui pada pasien demam tifoid. Hal ini disebabkan karena adanya
proliferasi Salmonella typhi di submukosa sehingga terjadi hipertrofi dan inflamasi dari
plak pyeri. Pada pasien ini, nyeri perut dirasakan bersamaan sejak keluhan demam
muncul. Namun anak mengaku nyeri perut berada di area ulu hati, tidak menjalar ke
tempat lain dan rasanya seperti sensasi tertusuk-tusuk. Anak merasa keluhan nyeri perut
terutama dirasakan setelah makan dan diperparah bila mengonsumsi makan makanan
berlemak, pedas dan bersantan. Oleh karena itu perlu dipikirkan penyebab nyeri perut
lain yang berhubungan dengan makanan seperti gastritis.
An. C didapati mengalami mual muntah. Muntah selalu disertai dengan rasa mual.
Dalam sehari pasien dapat muntah hingga >10x. Muntah berisi makanan dan cairan yang
dikonsumi dan tidak ada darah. Hingga masuk ke RS pun anak masih merasa mual
namun muntah sudah berhenti. Keluhan mual muntah dapat disebabkan karena bakteri
Salmonella typhi yang menyerang usus. Tetapi mual muntah juga dapat disebabkan
karena gastritis. Dilihat dari anamnesis, pasien kerap mengonsumsi mie pedas korea
sehingga kemungkinan mual muntah karena masalah lambung belum dapat disingkirkan.
2 hari SMRS anak mengeluarkan BAB cair sebanyak 4x/hari dengan warna
kuning kecoklatan, tidak ada lendir dan tidak ada darah. Frekuensi BAB cair dengan lebih
dari 4 kali menunjukkan pasien juga mengalami diare. Pada anak-anak dengan demam
tifoid, diare dapat terjadi pada fase awal penyakit dan diikuti dengan konstipasi.
Komplikasi yang terjadi pada demam tifoid sudah dapat dieksklusikan dengan tidak
adanya BAB berdarah/hitam yang dapat menjadi penanda adanya perdarahan saluran
cerna.
Pasien telah diobati dengan Paracetamol, Antasida, Ciprofloxacin dan vitamin
dari Puskesmas namun keluhan menetap. Hal ini menunjukkan tidak adekuatnya
pengobatan terhadap pasien. Pada pengobatan tifoid, Ciprofloxacine dapat diberikan
dengan catatan pasien telah resisten terhadap Ceftriaxone. Salah satu efek samping dari
Ciprofloxacine adalah mual muntah. Sehingga perlu dipertimbangkan apakah mual
muntah yang dialami pasien merupakan salah satu tanda gejala dari demam tifoid atau
efek samping obat.
Anak tidak pernah didiagnosis demam tifoid sebelumnya sehingga hasil
immunoserologis kemungkinan tidak menggambarkan infeksi lama. Pasien juga tidak
pernah didiagnosis malaria, hal ini untuk mengeksklusikan kemungkinan malaria yang
relaps. Anak juga tidak berkunjung ke daerah endemis malaria beberapa waktu
kebelakang sehingga kemungkinan pasien terkena malaria dapat disingkirkan. Pada
keluarga pasien tidak ada yang mengalami demam tifoid. Anak tinggal di rusun tentara
dengan lingkungan yang padat sehingga penularan penyakit infeksi menjadi lebih mudah.
Pasien belum pernah diimunisasi tifoid, hal ini selain menunjukkan belum adanya
imunitas dalam infeksi tifoid sehingga pasien lebih rentan terinfeksi tifoid. Anak
mengaku sering jajan setelah berkegiatan di sekolah baik makanan maupun minuman.
Salah satu pintu masuknya bakteri Salmonella typhi ke dalam tubuh manusia yaitu
melalui makanan/minuman yang tidak bersih. Sedangkan untuk jajanan tersebut sulit
dinilai higinietasnya bahkan sering tidak higienis.
Pada pemeriksaan fisik, tanda vital dalam batas normal namun didapatkan
peningkatan suhu yaitu 38.9℃ yang menunjukkan pasien dalam keadaan demam. Hal ini
diakbiatkan oleh pelepasan mediator inflamasi seperti IL-1, IL-6, IL-1β, dan TNF-α.
Mediator inflamasi tersebut memicu hipotalamus untuk menaikkan set point
termoregulator sehingga terjadi pembentukan panas dan penyimpanan panas yang
menyebabkan demam.
Pemeriksaan status gizi anak memberikan hasil kesan berat badan baik,
perawakan normal dan gizi baik. Hal tersebut disimpulkan dari interpretasi status
antropometro pada kurva CDC-NCHS 2000 dengan BB/U, TB/U dan BB/TB.
Saat pemeriksaan head to toe ditemukannya adanya lidah kotor atau coated
tongue. Lidah kotor dengan putih di tengah dengan bagian tepi dan ujungnya kemerahan.
Hal ini dapat ditemukan pada 76% pasien dengan demam tifoid. Pada pemeriksaan
abdomen, ditemukan nyeri tekan epigastrium. Hal ini dikaitkan dengan keluhan nyeri
perut, mual serta muntah yang dialami oleh pasien. Pada pasien tidak ditemukan adanya
tanda-tanda peritonitis seperti muscular defense dan rebound tenderness yang dapat
merupakan komplikasi dari demam tifoid yaitu perforasi usus. Pada pemeriksaan fisik
lainnya dalam batas normal.
Pemeriksaan urinalisis merupakan pemeriksaan penunjang untuk eksklusi
penyebab demam lain yaitu infeksi saluran kemih. Hal ini dikarenakan demam dapat
menjadi sebuah gejala dan tanda klinis satu-satunya pada anak. Sehingga ketiadaan gejala
yang merngarah ke infeksi saluran kemih seperti gangguan mengontrol kandung kemih,
anyang-anyangan, nyeri ketika berkemih tidak sepenuhnya membuat infeksi saluran
kemih dapat disingkirkan sebagai kemungkinan penyebab demam. Pada pasien ini dari
hasil pemeriksaan urinalisis ditemukannya adanya bakteri di urin dengan nilai 45. Hal ini
juga didukung oleh kebiasaan anak yang aktif namun jarang mengganti pakaian dalamnya
yang lembab, hampir setiap hari menggunakan celana ketat yang semakin menabah
kelembaban, kurang memperhatikan arah cebok saat BAK. Anak juga tidak
mengeringkan daerah kemaluannya dengan tisu setelah BAK. Untuk mengetahui bakteri
yang menginfeksi pasien dapat diusulkan pemeriksaan kultur urin.
Walaupun pasien ini telah didiagnosis dengan ISK, namun untuk kemungkinan
pasien mengalami demam tifoid masih bisa dipertimbangkan. Sehingga dapat diusulkan
untuk pemeriksaan uji cepat imunoserologi (IgM Salmonella) untuk memastikan apakah
pasien terkena demam tifoid atau bukan. Pemeriksaan uji cepat immunoserologi (IgM
Salmonella) dipilih karena tes ini memakan waktu yang singkat sekitar 5-10 menit,
sederhana dan akurat. Tes ini mendeteksi serum antibody terhadap antigen 09 LPS yang
sangat spesifik terhadap bakteri Salmonella. Edukasi yang diberikan meliputi kebutuhan
imunisasi tifoid yang dimulai dari umur 2 tahun dan dapat diulang setiap 3 tahun.
Pemberian vaksin tifoid setidaknya empat minggu setelah penyembuhan penuh dari
penyakit. Selain itu, anak dan keluarga juga diedukasi tentang pentingnya menjaga
kebersihan diri dan lingkungan, mencuci tangan yang baik dan kebersihan makanan
dikarenakan penyakit ini disebarkan melalui fekal-oral maka pemutusan rantai infeksi
akan menurunkan angka infeksi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Who.int. 2018. Typhoid. [online] Available at: <https://www.who.int/news-


room/fact-sheets/detail/typhoid> [Accessed 8 February 2023].
2. Ochiai RL, Acosta CJ, Danovaro-Holliday MC, Baiging D, Bhattacharya SK,
Agtini MD, et al. WHO | A study of typhoid fever in five Asian countries:
disease burden and implications for controls. http://www.who.int/
bulletin/volumes/86/4/06039818/en/#content. [31 Mei 2013].
3. Eng, S., Pusparajah, P., Ab Mutalib, N., Ser, H., Chan, K. and Lee, L., 2015.
Salmonella: A review on pathogenesis, epidemiology and antibiotic
resistance. Frontiers in Life Science, 8(3), pp.284-293. Doi:
https://doi.org/10.1080/21553769.2015.1051243
4. Jajere, S., 2019. A review of Salmonella enterica with particular focus on the
pathogenicity and virulence factors, host specificity and antimicrobial resistance
including multidrug resistance. Veterinary World, 12(4), pp.504-521.
doi: 10.14202/vetworld.2019.504-521
5. Ashurst, J., Truong, J. and Woodbury, B., 2021. Salmonella Typhi. [online]
Ncbi.nlm.nih.gov. Available at:
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519002/> [Accessed 8 February
2022].
6. [DEPKES] Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008.
http://www.litbang.depkes. go.id/bl_riskesdas2007
7. Marchello, C., Hong, C. and Crump, J., 2019. Global Typhoid Fever Incidence:
A Systematic Review and Meta-analysis. Clinical Infectious Diseases,
68(Supplement_2), pp.S105-S116. doi: 10.1093/cid/ciy1094
8. Baumler, A., Raffatellu, M., Wilson, R. and Winter, S., 2008. Clinical
pathogenesis of typhoid fever. The Journal of Infection in Developing Countries,
2(04). Doi: 10.3855/jidc.219
9. Gibani, M., Britto, C. and Pollard, A., 2018. Typhoid and paratyphoid
fever. Current Opinion in Infectious Diseases, 31(5), pp.440-448. Doi:
10.1097/QCO.0000000000000479
10. Ashurst, J., Truong, J. and Woodbury, B., 2021. Salmonella Typhi. [online]
Ncbi.nlm.nih.gov. Available at:
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519002/> [Accessed 8 February
2022]. Doi: 10.1136/bmj.333.7558.78
11. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam:
Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak: Diagnosa dan Penatalaksanaan, Edisi 1.
Jakarta: Salemba Medika, 2002:1-43.
12. Bundalian, R., Valenzuela, M. and Tiongco, R., 2019. Achieving accurate
laboratory diagnosis of typhoid fever: a review and meta-analysis of TUBEX®
TF clinical performance. Pathogens and Global Health, 113(7), pp.297-308.
Doi: 10.1080/20477724.2019.1695081
13. Mawazo, A., Bwire, G. and Matee, M., 2019. Performance of Widal test and
stool culture in the diagnosis of typhoid fever among suspected patients in Dar
es Salaam, Tanzania. BMC Research Notes, 12(1). Doi: 10.1186/s13104-019-
4340- y
14. House, D., Wain, J., Ho, V., Diep, T., Chinh, N., Bay, P., Vinh, H., Duc, M.,
Parry, C., Dougan, G., White, N., Hien, T. and Farrar, J., 2001. Serology of
Typhoid Fever in an Area of Endemicity and Its Relevance to Diagnosis.
Journal of Clinical Microbiology, 39(3), pp.1002-1007. Doi:
10.1128/JCM.39.3.1002- 1007.2001
15. Naheed, A., Ram, P., Brooks, W., Mintz, E., Hossain, M., Parsons, M., Luby, S.
and Breiman, R., 2008. Clinical value of Tubex™ and Typhidot® rapid
diagnostic tests for typhoid fever in an urban community clinic in Bangladesh.
Diagnostic Microbiology and Infectious Disease, 61(4), pp.381-386. doi:
10.1016/j.diagmicrobio.2008.03.018
16. Thriemer, K., Ley, B., Menten, J., Jacobs, J. and van den Ende, J., 2013. A
Systematic Review and Meta-Analysis of the Performance of Two Point of Care
Typhoid Fever Tests, Tubex TF and Typhidot, in Endemic Countries. PLoS
ONE, 8(12), p.e81263. Doi: 10.1371/journal.pone.0081263
17. Kapil, A., Dahiya, S., Malik, R., Sharma, P., Sashi, A., Lodha, R., Kabra, S.,
Sood, S., Das, B., Walia, K. and Ohri, V., 2019. Current antibiotic use in the
treatment of enteric fever in children. Indian Journal of Medical Research,
149(2), p.263. Doi: 10.4103/ijmr.IJMR_199_18
18. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/Menkes/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid
19. Cruz Espinoza, L., McCreedy, E., Holm, M., Im, J., Mogeni, O., Parajulee, P.,
Panzner, U., Park, S., Toy, T., Haselbeck, A., Seo, H., Jeon, H., Kim, J., Kwon,
S., Kim, J., Parry, C. and Marks, F., 2019. Occurrence of Typhoid Fever
Complications and Their Relation to Duration of Illness Preceding
Hospitalization: A Systematic Literature Review and Meta-analysis. Clinical
Infectious Diseases, 69(Supplement_6), pp.S435-S448. Doi: 10.1093/cid/ciz477

Anda mungkin juga menyukai