DEMAM TIFOID
Disusun Oleh:
Indita Yuliasari Susilowati
2210221049
Oleh:
Indita Yuliasari Susilowati
2210221049
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
dengan judul “Demam Tifoid”. Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah
untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik
Departemen Ilmu Kesehatan Anak di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta.
Perkenankan penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Rachmanto Heryawan Surya Adiputra, Sp.A, M.H selaku moderator
2. dr. Irena Rosdiana, Sp. A selaku tutor pembimbing, yang
senantiasa membimbing, memberi masukan dan arahan bagi
penulis
3. Dokter-dokter spesialis anak lainnya di Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSPAD Gatot Soebroto atas arahan dan
bimbingannya
4. Perawat, teman-teman dan semua pihak yang turut terlibat serta
mendukung penulisan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam proses
penyusunan laporan kasus ini serta masih jauh dari kesempurnaan. Penulis
berharap semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat kepada para
pembaca serta perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang
kedokteran.
Penulis
BAB I
STATUS PASIEN
1.1 Identitas Pasien
Nama : An. C
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir/Usia : 23 Januari 2010 / 13 Tahun
Alamat : Jl. Kesatrian, Matraman
Nomor Rekam Medis : 01137660
Tanggal Masuk Rumah Sakit : 16 Januari 2023
Tanggal Pulang Pasien : 19 Januari 2023
Lama Perawatan : 4 hari
Datang sendiri / Rujukan : Sendiri
Nama Ayah : Tn. D
Pendidikan Ayah : SMK
Pekerjaan Ayah : TNI AD
Nama Ibu : Ny. S
Pendidikan Ibu : SMA
Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Suku bangsa : Aceh
Kewarganegaraan : Indonesia
1.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dan dibuat berdasarkan rekam medis
pasien.
Keluhan Utama : Demam dan muntah
Semenjak sakit pasien mengalami penurunan nafsu makan. Anak hanya sanggup
makan 4-5 suap sendok makan atau paling banyak anak mampu menghabiskan setengah
porsi makan. Anak mengaku lidahnya terasa pahit sehingga malas untuk makan. Selama
sakit anak masih dapat minum cukup banyak (kurang lebih dalam sehari bisa minum
sebanyak 1 liter) tetapi ibu pasien mengatakan frekuensi BAK anak berkurang dengan
urin berwarna kuning, tidak berpasir, tidak berbuih dan tidak berdarah. Anak mengaku
memang kerap menahan BAK saat berkegiatan di sekolah maupun saat ekstrakulikuler.
Setiap hari anak menggunakan celanan ketat dan anak termasuk aktif dalam kegiatan
sekolah. Namun anak hanya mengganti pakaian dalamnya sehari 2 kali saja. Anak juga
mengatakan bahwa bila saat cebok ia suka tidak memperhatikan arah cebokan dari depan
ke belakang atau dari belakang ke depan serta tidak dikeringkan dengan tisu setelah BAK
maupun BAB. Pasien menyangkal adanya rasa tidak tuntas saat BAK dan nyeri saat ingin
berkemih.
Motorik Halus
Menulis : bisa, lancar
Membaca : bisa, lancar
Bahasa
Berbicara : 12 bulan, 6 kata
Personal Sosial
Sosialisasi : Pasien dapat berinteraksi dengan teman sebaya
Belajar : Pasien dapat mengikuti pembelajaran di sekolah dengan baik
Jenis Usia
Jenis Lahi 1 2 3 4 6 9 12 18 24 3 5 7
Imunisas r Bl Bl Bl Bl Bl Bl Bl Bl Bl Th Th Th
i n n n n n n n n n n n n
Hepatitis √ √ √ √
B
Polio √ √ √ √ √ √ √
BCG √
DPT √ √ √ √ √ √
HiB √ √ √ √
Campak √ √ √
Imunisasi √
Lain
(HPV)
Status Generalis
Kepala : normocephal, rambut hitam dan distribusi merata
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor,
reflex cahaya langsung dan tidak langsung normal
Telinga : normotia, secret (-/-)
Hidung : simetris, tidak ada deviasi septum, secret (-/-), perdarahan
(-/-)
Mulut : bibir lembab, lidah kotor
Tenggorokan : faring hiperemis (-), tonsil T1/T1
Leher : tidak ada limfadenopati
Thorax
Inspeksi : normochest, pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : vocal fremitus (+) kanan dan kiri
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : VBS (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/)
Jantung
Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : BJ I-II murni, regular, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : datar, supel, distensi (-), asites (-), venektasi (-), striae (-),
lesi (-)
Auskultasi : bising usus normoperistaltic
Palpasi : tidak teraba pembesaran organ, nyeri tekan pada region
epigastric (+) dengan VAS 1-2
Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 S
Kulit : tidak tampak ptekie, purpura, hematoma, turgor baik
Reflex Fisiologis
Reflex Biceps : (+/+)
Reflex Triceps : (+/+)
Reflex Knee Patella : (+/+)
Reflex Tendon Achilles : (+/+)
Reflex Patologis
Reflex Babinski : (-/-)
Reflex Chaddock : (-/-)
Reflex Gordon : (-/-)
Refleks Schaefer : (-/-)
Refleks Oppenheim : (-/-)
Reflex Hoffman-Trommer : (-/-)
Tanner Stage
Axilla : ditribusi rambut sudah seperti orang dewasa namun jumlah
totalnya masih lebih sedikit
Mammae : payudara mulai menumbuh dan membentuk gundukan sekunder
Pubis : distribusi rambut sudah seperti orang dewasa namun jumlah
totalnya masih lebih sedikit, belum ada yang menyebar sampai permukaan medial
paha
Kesan : A3P3M3 (Kesan pubertas pasien sesuai usia)
BBI = 46 kg
BBS = 45 kg
BB 3 bulan lallu
= 40 kg
1.6 Penatalaksanaan
Medikamentosa
Inf. D5 ½ NS 1500 ml/24 jam
IV Ceftriaxone 1x2 gr Inj
IV Omeprazole 1x40 mg
PO Paracetamol 3x500 mg
PO Sucralfat syr 3x10 ml
PO L-Bio 2x1 sachet
Nonmedikamentosa
Edukasi mengenai cara cebok yang benar yaitu dari depan ke belakang,
tidak boleh dari belakang ke depan ataupun bolak-balik dan dikeringkan
dengan tisu setelah cebok.
1.7 Prognosis
TINJAUAN PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi
masalah dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-negara
subtropis prevalensi demam tifoid masih terbilang cukup tinggi. Terlebih lagi di
negara-negara berkembang. Badan kesehatan dunia (WHO/World Health
Organization) memperkirakan pada tahun 2018 lebih dari 11-20 juta kasus demam
tifoid terjadi di seluruh dunia, dengan angka kematian berada di antara 128.000-
161.000 orang per tahunnya.
II. PEMBAHASAN
A. Definisi
C. Epidemiologi
Kondisi hidup yang lebih baik mengakibatkan penurunan drastis morbiditas
dan mortalitas demam tifoid di negara-negara maju. Namun, di daerah berkembang
seperti di Afrika, Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat, penyakit ini terus
menjadi masalah kesehatan masyarakat.
WHO memperkirakan angka kejadian penyakit demam tifoid global
mencapai 11-20 juta kasus setiap tahunnya, mengakibatkan sekitar 128.000-
161.000 kematian per tahun. WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara
endemik untuk demam tifoid.
Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka
kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, angka prevalensi demam tifoid secara nasional adalah
1,6%.
Prevalensi 91% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian
meningkat setelah umur 5 tahun. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat
sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya, sehingga untuk memastikan
diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi. Sembilan
puluh enam persen (96%) kasus demam tifoid disebabkan oleh S. Typhi, sisanya
disebabkan oleh S.paratyphi di mana kuman masuk melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi. Dalam tubuh manusia akan mengalami
bacteremia pertama (asimtomatik) dan bacteremia sekunder yang menimbulkan
gejala.
Risiko demam tifoid lebih tinggi pada populasi yang kekurangan
akses ke air bersih dan akses sanitasi yang memadai. Masyarakat miskin dan
kelompok rentan termasuk anak-anak berada pada risiko tertinggi. Demam tifoid
di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga
dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan,
menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya tempat buang
air besar dalam rumah.
Demam tifoid dapat ditularkan melalui berbagai cara, biasa dikenal dengan
5F yaitu Food (makanan), Finger (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly
(lalat) dan Feses. Penularan bakteri Salmonella Typhi penyebab demam tifoid
dapat melalui feses dan muntahan dari penderita tifoid. Makanan dan minuman
yang terkontaminasi serta lalat yang hinggap di makanan yang akan kurang
diperhatikan maka bakteri tersebut dapat mudah masuk dan menyebabkan
infeksi.
Pada kasus berat, pasien dapat tampak sakit berat/toksik yang biasanya
telah demam lebih dari satu minggu. Kesadaran pasien dapat delirium, apatis,
hingga koma. Komplikasi yang dapat ditemukan pada pemeriksaan ada antara
lain perdarahan saluran cerna dan perforasi, enselofati, kejang, miokarditis, dan
kejang.
lebih 10 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif;
(3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam
darah pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah dapat
negatif; dan (4) Waktu pengambilan darah yang dilakukan setelah minggu
pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat. Volume 10-15 mL dianjurkan
untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL.17 Media
pembiakan yang direkomendasikan untuk Salmonella Typhi adalah media empedu
dari sapi. Media ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya Salmonella
Typhi dan Salmonella Paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 70- 90% dari
penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.
Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika
dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang
dipakai.
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga
minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu
pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode yang mempunyai sensitivitas paling
tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama
perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama
bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur
darah negatif sebelumnya. Namun prosedur ini sangat invasif sehingga tidak dipakai
dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada specimen
empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi
tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak.
3) Uji
Serologis
a. Uji Widal
Dasar reaksi uji Widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen kuman
Salmonella Typhi dengan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap
Salmonella Typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, orang yang
pernah tertular Salmonella Typhi, dan orang yang pernah mendapatkan vaksin
demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi
Salmonella Typhi yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan uji
Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang
diduga menderita demam tifoid.
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H
yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Secara umum, aglutinin O mulai muncul
pada hari ke 6-8 dan aglutinin H mulai muncul pada hari ke 10-12 dihitung sejak
hari timbulnya demam. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula
kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif,
titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan pada
selang waktu minimal 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2
sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut:
Titer aglutinin O yang tinggi (>160) menunjukkan adanya infeksi akut.
Titer aglutinin H yang tinggi (>160) menunjukkan sudah pernah mendapat
imunisasi atau pernah menderita infeksi.
Titer aglutinin yang tinggi terhadap antigen Vi terdapat pada carrier.
d. Uji Tubex®
Tubex® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi oleh IDL
Biotech, Broma, Sweden.27 Tes ini sangat cepat, hanya membutuhkan waktu 5-10
menit, sederhana dan akurat. Tes ini mendeteksi serum antibodi IgM terhadap
antigen O9 LPS yang sangat spesifik terhadap bakteri Salmonella Typhi. Pada
orang yang sehat normalnya tidak memiliki IgM anti-O9 LPS.
Tes Tubex® merupakan tes yang subjektif dan semikuantitatif dengan cara
membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi dengan Tubex® color scale
yang tersedia. Range dari color scale adalah dari nilai 0 (warna paling merah)
hingga nilai 10 (warna paling biru).
Cara membaca hasil tes Tubex® adalah sebagai berikut menurut IDL
Biotech 2008:
Nilai < 2 menunjukan nilai negatif (tidak ada indikasi demam tifoid).
Nilai 3 menunjukkan inconclusive score dan memerlukan pemeriksaan ulang.
Nilai 4-5 menunjukan positif lemah.
Nilai > 6 menunjukan nilai positif (indikasi kuat demam tifoid).
Nilai Tubex® yang menunjukan nilai positif disertai dengan tanda dan gejala klinis yang
sesuai dengan gejala demam tifoid, merupakan indikasi demam tifoid yang sangat kuat.
Gambar 4. Prinsip Pemeriksaan Tubex.
a. Uji Typhidot®
Uji Typhidot® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi oleh
Biodiagnostic Research, Bangi, Malaysia. Hasil uji Typhidot® dinilai positif apabila
didapatkan reaksi dengan intensitas yang sama dengan atau lebih besar dari reaksi
kontrol, terlihat pada kertas saring komersial yang telah disiapkan. Tes ini
memperingatkan, jika hasil yang diperoleh tak tentu, tes harus diulang setelah 48 jam.
Anak perempuan usia 13 tahun dengan berat badan 45 kg, tinggi badan 154 cm
datang ke IGD RSPAD Gatot Soebroto pada 16 Januari 2023 dengan dengan keluhan
utama demam dan muntah. Dari anamnesis, demam dirasakan sudah 4 hari SMRS.
Demam pada pasien ini memiliki pola demam yang naik secara perlahan-lahan dan tinggi
terutama menjelang sore hingga malam hari dan menurun di pagi hari. Ciri demam ini
merupakan karakteristik yang sering ditemukan pada pasien dengan demam tifoid di
mana demam paling rendah pada pagi hari dengan puncak demam di sore atau malam
hari. Pola demam ini sering disebut sebagai step ladder fever. Demam juga meningkat
setiap harinya dengan mencapai 38-40℃. Selain tifoid, keluhan demam juga perlu
dipikirkan penyebab lain yang dapat terbagi menjadi infeksius dan noninfeksius.
Penyebab demam yang infeksius antara lain demam tifoid, demam berdarah dengue,
malaria, hepatitis A, infeksi saluran kemih. Sedangkan penyebab demam yang
noninfeksius yaitu autoimun dan keganasan. Dalam anamnesis, kemungkinan-
kemungkinan tersebut sudah banyak tereksklusikan. Demam juga tidak diikuti dengan
penurunan kesadaran sehingga bisa dieksklusikan adanya komplikasi dari neuropsikiatri
demam tifoid.
Pada pasien terdapat keluhan sistem gastrointestinal seperti nyeri perut, mual
muntah, BAB cair dan nafsu makan berkurang. Nyeri perut merupakan gejala abdomen
yang dapat ditemui pada pasien demam tifoid. Hal ini disebabkan karena adanya
proliferasi Salmonella typhi di submukosa sehingga terjadi hipertrofi dan inflamasi dari
plak pyeri. Pada pasien ini, nyeri perut dirasakan bersamaan sejak keluhan demam
muncul. Namun anak mengaku nyeri perut berada di area ulu hati, tidak menjalar ke
tempat lain dan rasanya seperti sensasi tertusuk-tusuk. Anak merasa keluhan nyeri perut
terutama dirasakan setelah makan dan diperparah bila mengonsumsi makan makanan
berlemak, pedas dan bersantan. Oleh karena itu perlu dipikirkan penyebab nyeri perut
lain yang berhubungan dengan makanan seperti gastritis.
An. C didapati mengalami mual muntah. Muntah selalu disertai dengan rasa mual.
Dalam sehari pasien dapat muntah hingga >10x. Muntah berisi makanan dan cairan yang
dikonsumi dan tidak ada darah. Hingga masuk ke RS pun anak masih merasa mual
namun muntah sudah berhenti. Keluhan mual muntah dapat disebabkan karena bakteri
Salmonella typhi yang menyerang usus. Tetapi mual muntah juga dapat disebabkan
karena gastritis. Dilihat dari anamnesis, pasien kerap mengonsumsi mie pedas korea
sehingga kemungkinan mual muntah karena masalah lambung belum dapat disingkirkan.
2 hari SMRS anak mengeluarkan BAB cair sebanyak 4x/hari dengan warna
kuning kecoklatan, tidak ada lendir dan tidak ada darah. Frekuensi BAB cair dengan lebih
dari 4 kali menunjukkan pasien juga mengalami diare. Pada anak-anak dengan demam
tifoid, diare dapat terjadi pada fase awal penyakit dan diikuti dengan konstipasi.
Komplikasi yang terjadi pada demam tifoid sudah dapat dieksklusikan dengan tidak
adanya BAB berdarah/hitam yang dapat menjadi penanda adanya perdarahan saluran
cerna.
Pasien telah diobati dengan Paracetamol, Antasida, Ciprofloxacin dan vitamin
dari Puskesmas namun keluhan menetap. Hal ini menunjukkan tidak adekuatnya
pengobatan terhadap pasien. Pada pengobatan tifoid, Ciprofloxacine dapat diberikan
dengan catatan pasien telah resisten terhadap Ceftriaxone. Salah satu efek samping dari
Ciprofloxacine adalah mual muntah. Sehingga perlu dipertimbangkan apakah mual
muntah yang dialami pasien merupakan salah satu tanda gejala dari demam tifoid atau
efek samping obat.
Anak tidak pernah didiagnosis demam tifoid sebelumnya sehingga hasil
immunoserologis kemungkinan tidak menggambarkan infeksi lama. Pasien juga tidak
pernah didiagnosis malaria, hal ini untuk mengeksklusikan kemungkinan malaria yang
relaps. Anak juga tidak berkunjung ke daerah endemis malaria beberapa waktu
kebelakang sehingga kemungkinan pasien terkena malaria dapat disingkirkan. Pada
keluarga pasien tidak ada yang mengalami demam tifoid. Anak tinggal di rusun tentara
dengan lingkungan yang padat sehingga penularan penyakit infeksi menjadi lebih mudah.
Pasien belum pernah diimunisasi tifoid, hal ini selain menunjukkan belum adanya
imunitas dalam infeksi tifoid sehingga pasien lebih rentan terinfeksi tifoid. Anak
mengaku sering jajan setelah berkegiatan di sekolah baik makanan maupun minuman.
Salah satu pintu masuknya bakteri Salmonella typhi ke dalam tubuh manusia yaitu
melalui makanan/minuman yang tidak bersih. Sedangkan untuk jajanan tersebut sulit
dinilai higinietasnya bahkan sering tidak higienis.
Pada pemeriksaan fisik, tanda vital dalam batas normal namun didapatkan
peningkatan suhu yaitu 38.9℃ yang menunjukkan pasien dalam keadaan demam. Hal ini
diakbiatkan oleh pelepasan mediator inflamasi seperti IL-1, IL-6, IL-1β, dan TNF-α.
Mediator inflamasi tersebut memicu hipotalamus untuk menaikkan set point
termoregulator sehingga terjadi pembentukan panas dan penyimpanan panas yang
menyebabkan demam.
Pemeriksaan status gizi anak memberikan hasil kesan berat badan baik,
perawakan normal dan gizi baik. Hal tersebut disimpulkan dari interpretasi status
antropometro pada kurva CDC-NCHS 2000 dengan BB/U, TB/U dan BB/TB.
Saat pemeriksaan head to toe ditemukannya adanya lidah kotor atau coated
tongue. Lidah kotor dengan putih di tengah dengan bagian tepi dan ujungnya kemerahan.
Hal ini dapat ditemukan pada 76% pasien dengan demam tifoid. Pada pemeriksaan
abdomen, ditemukan nyeri tekan epigastrium. Hal ini dikaitkan dengan keluhan nyeri
perut, mual serta muntah yang dialami oleh pasien. Pada pasien tidak ditemukan adanya
tanda-tanda peritonitis seperti muscular defense dan rebound tenderness yang dapat
merupakan komplikasi dari demam tifoid yaitu perforasi usus. Pada pemeriksaan fisik
lainnya dalam batas normal.
Pemeriksaan urinalisis merupakan pemeriksaan penunjang untuk eksklusi
penyebab demam lain yaitu infeksi saluran kemih. Hal ini dikarenakan demam dapat
menjadi sebuah gejala dan tanda klinis satu-satunya pada anak. Sehingga ketiadaan gejala
yang merngarah ke infeksi saluran kemih seperti gangguan mengontrol kandung kemih,
anyang-anyangan, nyeri ketika berkemih tidak sepenuhnya membuat infeksi saluran
kemih dapat disingkirkan sebagai kemungkinan penyebab demam. Pada pasien ini dari
hasil pemeriksaan urinalisis ditemukannya adanya bakteri di urin dengan nilai 45. Hal ini
juga didukung oleh kebiasaan anak yang aktif namun jarang mengganti pakaian dalamnya
yang lembab, hampir setiap hari menggunakan celana ketat yang semakin menabah
kelembaban, kurang memperhatikan arah cebok saat BAK. Anak juga tidak
mengeringkan daerah kemaluannya dengan tisu setelah BAK. Untuk mengetahui bakteri
yang menginfeksi pasien dapat diusulkan pemeriksaan kultur urin.
Walaupun pasien ini telah didiagnosis dengan ISK, namun untuk kemungkinan
pasien mengalami demam tifoid masih bisa dipertimbangkan. Sehingga dapat diusulkan
untuk pemeriksaan uji cepat imunoserologi (IgM Salmonella) untuk memastikan apakah
pasien terkena demam tifoid atau bukan. Pemeriksaan uji cepat immunoserologi (IgM
Salmonella) dipilih karena tes ini memakan waktu yang singkat sekitar 5-10 menit,
sederhana dan akurat. Tes ini mendeteksi serum antibody terhadap antigen 09 LPS yang
sangat spesifik terhadap bakteri Salmonella. Edukasi yang diberikan meliputi kebutuhan
imunisasi tifoid yang dimulai dari umur 2 tahun dan dapat diulang setiap 3 tahun.
Pemberian vaksin tifoid setidaknya empat minggu setelah penyembuhan penuh dari
penyakit. Selain itu, anak dan keluarga juga diedukasi tentang pentingnya menjaga
kebersihan diri dan lingkungan, mencuci tangan yang baik dan kebersihan makanan
dikarenakan penyakit ini disebarkan melalui fekal-oral maka pemutusan rantai infeksi
akan menurunkan angka infeksi.
DAFTAR PUSTAKA