Pembimbing :
dr. Hendra Tarigan S., M. Kes., Sp.KK
Disusun Oleh:
Jarmiati
1018011068
Rizni fitriana
1018011097
Vira weldimira
1018011128
KATA PENGANTAR
1
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul Steven Johnson
Syndrome ini. Keberhasilan dalam pembuatan referat ini juga tak lepas dari bimbingan dari
Dosen pembimbing kami dr. Hendra Tarigan S, M.Kes, Sp.KK, dr. M. SyafeI Hamzah, Sp.
KK, dr. Arif Efendi Sp.KK, dr. Yulisna Sp.KK dan juga teman-teman semua yang telah ikut
berperan serta dalam pembuatan laporan kasus ini.
Disini penulis berharap semoga dengan adanya case report ini dapat berguna bagi
penulis khususnya dan pembaca umumnya. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan
laporan kasus ini belum sempurna,untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
bersifat membangun dari para pembaca demi kesempurnaan pada pembuatan makalahmakalah yang selanjutnya.
Bandar Lampung, Maret 2015
Penulis
DAFTAR ISI
2
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
ABSTRAK
I. PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.
E.
Definisi
Epidemiologi
Latar Belakang
Tujuan
Status Pasien
ABSTRAK
STEVENS-JOHNSON SYNDROME OVERLAP TEN
Oleh
Jarmiati
Rizni Fitriana
Vira Weldimira
Latar Belakang : Sindroma Stevens-Johnson (SJS) dan Toksik Epidermal Nekrolisis (TEN)
adalah reaksi mukokutaneus akut yang berat dan sering diperburuk oleh obat-obatan dan
terkadang diperburuk oleh adanya infeksi.1-4 Etio-patogenesisnya hingga saat ini belum dapat
dijelaskan secara pasti. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami mengenai definisi,
etiologi, patogenesis, manifestasi klinik, terapi, dan pencegahan komplikasi.
Kasus : Seorang pria, 19 tahun, mengeluhkan lepuhan pada kulit yang muncul sejak 10 hari
sebelum masuk rumah sakit. Penyebarannya dari bibir, anggota gerak, punggung, dan leher.
Pasien juga mengeluhkan sulit menelan dan nyeri pada mata. Status dermatologi: Pada regio
coli, regio thorakolumbal, regio brachii dan ante brachii sinistra & dekstra, sebagian regio
genita dan regio cruris, terdapat bula, multiple, ukuran lentikular s.d plakat, sebagian telah
mengalami erosi, krusta (+), tersebar diskret beberapa konfluen. Pada regio oris, terdapat
krusta hiperpigmentasi. Body surface area 10-30%. Pasie diterapi dengan antihistamin AH-1
Cetirizin, terapi cairan, antibiotik topikal asam fusidat, dan kortikosteroid sistemik metil
prednisolon. Terdapat perbaikan pada pasien selama perawatan.
Diskusi : Sindroma Steven Johnson overlap TEN adalah kasus emergensi pada kulit.
Penilaian klinis dan terapi yang cepat dapat memberikan prognosis yang lebih baik. Selain itu
diperlukan tata cara penegakan diagnosis yang tepat sehingga dapat menyingkirkan berbagai
diagnosis banding.
Kata kunci : Dermatologi, Emergensi, Kortikosteroid, Steven Johnson, TEN
ABSTRACT
STEVENS-JOHNSON SYNDROME OVERLAP TEN
By
4
Jarmiati
Rizni Fitriana
Vira Weldimira
Background : Stevens-Johnson syndrome (SJS) and toxic epidermal necrolysis (TEN) are
mucocutaneous drug-induced or idiopathic reaction patterns that became worst by drugs or
infections.1-4 The etio-pathogenesis itself is not clearly explained. This studys purpose is to
know better about definition, etiology, pathogenesis, clinical manifestations, treatment, and
how to prevent the complications.
Case : A man, 19 years old, came with burn-like lesions that occured from 10 days ago. The
distribution started from lips, limbs, back, and neck. He also felt sore when swallowing, and
eyes discomfort. Dermatology status: On colli, thorax posterior, both brachii, both ante
brachii, genital, and both cruris regions, there are bullae multiple, it size from lenticular until
plaque, half-erotion, crust (+), discrete and some confluens. On oris region there are
hiperpigmented crusts. Body surface area 10-30%. Patient treated by antihistamin AH-1
Cetirizine, fluid therapy, topical antibiotic Fusidate acid, and systemic corticosteroid Metil
Prednisolone. The patient was getting better during treatment.
Discussion : Stevens-Johnson Syndrome overlap TEN is a life-threatening condition in
dermatology. Early clinical assesment and treatment will lead into better prognosis. Also,
correct diagnosis procedure so can rule out differential diagnosis.
Keywords : Corticosteroid, Dermatology, Emergency, Stevens-Johnson, TEN
I. PENDAHULUAN
A. Definisi
Sindroma Stevens-Johnson (SJS) dan Toksik Epidermal Nekrolisis (TEN) adalah reaksi
mukokutaneus akut yang berat dan sering diperburuk oleh obat-obatan dan terkadang
diperburuk oleh adanya infeksi.1-4 Mereka sangat berhubungan dengan atau identik
dengan, hanya berbeda dengan luasnya permukaan tubuh yang terlibat. Keduanya
dicirikan oleh adanya perluasan yang cepat, berupa makula yang ireguler (lesi-lesi target
5
atipikal) dan melibatkan lebih dari satu bagian mukosa (oral, konjungtiva dan anogenital). 1
Gejala konstitusional dan keterlibatan organ bagian dalam dapat terjadi dan bisa menjadi
berat. Prinsipnya, SJS dan TEN bisa sembuh sendirinya; tingkat kematian dalam TEN
adalah bermakana, bagaimanapun, dan sisa gejala bisa terjadi, karena skar dari mukosa. 1-4
B. Epidemiologi
Sindrom Stevens-Johnson adalah suatu kondisi yang jarang terjadi, di Amerika Serikat,
terdapat 300 kejadian melaporkan sekitar 2,6 menjadi 6,1 kasus per juta orang per tahun.
[5]
Kondisi ini sering terjadi pada orang dewasa dibandingkan pada anak-anak. [5] Kasus ini
telah dilaporkan terjadi pada anak-anak berumur 3 bulan. [5] Perempuan lebih sering
terkena daripada pria dengan rasio 2:3.[4] SSJ juga telah dilaporkan lebih sering terjadi
pada ras Kaukasia.[5]
Di Indonesia jarang terjadi, hanya sekitar 1-6 per juta orang. Dengan kata lain, rata-rata
jumlah kasus sindrom ini hanya sekitar 0,03%.[6] Penelitian menunjukkan bahwa SSJ
adalah kasus yang langka. Hanya 1 dari 2000 orang yang mengkonsumsi antibiotik
penisilin yang terkena SSJ.[6]
C. Latar Belakang
Sindrom Stevens-Johnson merupakan kelainan pada kulit yang serius, di mana kulit dan
selaput lendir bereaksi keras terhadap obat atau infeksi. [1] Seringkali, Stevens-Johnson
sindrom diawali dengan gejala mirip flu, diikuti dengan ruam merah atau keunguan yang
menyakitkan yang menyebar dan lecet, akhirnya menyebabkan lapisan atas kulit mati. [7]
Penyebab pasti dari SSJ saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang
memicu timbulnya SSJ seperti obat-obatan atau infeksi virus.[7] Mekanisme terjadinya
sindrom pada SSJ adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang memicunya. [7]
Sindrom Stevens-Johnson adalah suatu kondisi medis
darurat yang
biasanya
Tujuan penulisan ini adalah untuk memahami mengenai definisi, etiologi, patogenesis,
manifestasi SJS, tatalaksananya dan prognosisnya.
E. Status Pasien
I.
IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien
: Tn. D Y
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 14 tahun
Pekerjaan
: Pelajar
Alamat
: Teluk Betung Barat
Status
: Single
Agama
: Islam
II.
ANAMNESA (autoanamnesis)
Keluhan Utama
: Timbul lepuh di beberapa bagian tubuh
Riwayat Penyakit sekarang :
Pasien datang mengeluh terdapat lepuh tidak beraturan dan dengan ukuran yang
bervariasi disertai rasa gatal yang timbul di bagian bibir, punggung, leher, tangan dan
kedua tungkai sejak 10 hari SMRS.
Lepuhan timbul kurang lebih 10 hari SMRS setelah pasien mengkonsumsi minuman
lasegar dan adem sari. Gelembung pertama kali timbul di daerah bibir, semakin lama
semakin besar dan terasa gatal. Lama-kelamaan lepuhan tersebut semakin banyak dan
menyebar ke daerah tungkai kanan dan kiri, punggung, leher, dan tangan. Jika
ditekan, cairan di dalam gelembung/lepuhan akan menjauhi tekanan dan seperti
bergerak. Selain keluhan tersebut, pasien merasakan nyeri saat menelan, dan
mengeluh matanya terasa pedih seperti ada yang mengganjal.
Pasien berobat ke puskesmas sebanyak tiga kali, diberi 6 macam obat diantaranya
salep berwarna biru, tablet warna kuning yang diminum 3x sehari, tablet putih, dan
tiga obat lain yang dijelaskan bahwa obat tersebut merupakan vitamin dan obat anti
alergi. Namun setelah mengkonsumsi obat tersebut selama satu minggu lebih tidak
ada perubahan sehingga pasien dirujuk ke RSAM.
Menurut pasien, sebelumnya pernah mengkonsumsi lasegar dan adem sari namun
tidak pernah mengalami keluhan seperti saat ini. Riwayat menkonsumsi obat-obatan
maupun jamu-jamuan 2 bulan terakhir disangkal. Di keluarga pasien juga tidak ada
yang memiliki riwayat yang sama. Pasien memiliki riwayat alergi makanan yakni
udang.
Riwayat penyakit dahulu:
III.
PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS
Keadaan Umum
: Baik
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda Vital
Nadi
: 84 kali per menit
Pernapasan : 20 kali per menit
Suhu
: Afebris
BB
: 50 kg
TB
: 155 cm
Thoraks
: Dalam Batas Normal
Abdomen
: Dalam Batas Normal
KGB
: Dalam Batas Normal
STATUS DERMATOLOGIS
1. Pada regio coli, regio thorakolumbal, regio brachii dan ante brachii sinistra &
dekstra, sebagian regio genita dan regio cruris, terdapat bula, multiple, ukuran
8
lentikular s.d plakat, sebagian telah mengalami erosi, krusta (+), tersebar
diskret beberapa konfluen.
2. Pada regio oris, terdapat krusta hiperpigmentasi.
IV. RESUME
Pasien seorang laki-laki berusia 14 tahun mengeluh terdapat lepuh-lepuh di beberapa
bagian tubuh dengan bentuk tidak beraturan dan dengan ukuran yang bervariasi
disertai rasa gatal yang timbul di bagian bibir, punggung, leher, tangan, dan kedua
tungkai sejak 10 hari SMRS. Keluhan tersebut timbul setelah pasien mengkonsumsi
lasegar dan adem sari. Kemudian pasien berobat tiga kali ke puskes dan telah diberi 6
macam obat namun tidak ada perubahan. Pasien juga mengeluh nyeri saat menelan
9
dan nyeri pada mata. Pada regio coli, regio thorakolumbal, regio brachii dan ante
brachii sinistra & dekstra, sebagian regio genita dan regio cruris, terdapat bula yang
telah pecah serta meninggalkan daerah erosif yang tertutup pseudomembran ukuran
lentikuler s/d plakat, diskret beberapa konfluen dan tidak teratur.
V. DIAGNOSIS BANDING
VIII. PENATALAKSANAAN
Umum :
Non medikamentosa
Khusus :
Medikamentosa
Topikal :
Sistemik:
Cetirizin 1x 10 mg p.o
IVFD NaCl : D5 : RL = 1 : 1 : 1 20 tts/m
Ranitidin 2 x 50 mg IV/ hr
Metil Prednisolon inj. 125 mg/ hari dengan tapering off
10
Rencana:
konsul ahli THT, Mata, Penyakit Dalam, Cek Lab DL, SGOT, SGPT,
UC, elektrolit.
Prognosa
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanationam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam
Follow Up
Sabtu, 28 Februari 2015 (Perawatan hari ke 1)
S
Timbul lepuh di beberapa bagian tubuh yang muncul 10 hari yang
lalu.
Lepuhan pertama kali timbul di bibir.
Lepuhan terasa gatal
Lepuhan timbul 2 hari setelah mengkonsumsi lasegar dan
mengoleskan adem sari di bibir.
Sulit menelan, mata terasa nyeri.
O
TD= 110/70
Keadaan Spesifik =
Hasil laboratorium -
SSS
-
Cetirizine 2x1 mg
Ranitidine 2x 50 mg
Pada
regio
coli,
thorakolumbal,
brachii
&
Hasil laboratorium : -
SJS
TEN
P
SSS
-
Cetirizine 2x1 mg
- Ranitidine 2x 50 mg
Selasa, 3 maret 2015 (Perawatan hari ke 4)
S
Pada bibir terdapat keropeng berwarna hitam. Beberapa lepuhan
telah pecah dan meninggalkan daerah kemerahan.
O
Pada
regio,
coli,
thorakolumbal,
brachii
&
Hasil laboratorium : -
SSS
-
Cetirizine 2x1 mg
Ranitidine 2x 50 mg
Laboratorium: -
A
P
protein
Pemberian makanan TKTP
Hindari menggaruk lesi
Khusus :
Medikamentosa
Topikal : Kompres terbuka dengan larutan NaCl 0,9% 3 x jam/ hr
Asam fusidat 2% cr 2 x sehari
Kenalog in Orabase 2 x sehari di oles di bibir
Sistemik:
Cetirizin 1x 10 mg p.o
IVFD NaCl : D5 : RL = 1 : 1 : 1 20 tts/m
Ranitidin 2 x 50 mg IV/ hr
Metil Prednisolon inj. 125 mg/ hari dengan tapp off
Rencana:
S
O
Laboratorium: -
Umum :
Non medikamentosa
protein
Pemberian makanan TKTP
Hindari menggaruk lesi
Khusus :
Medikamentosa
Topikal :Kompres terbuka dengan larutan NaCl 0,9% 3 x jam/hr
Asam fusidat 2% cr 2 x sehari
Kenalog in Orabase 2 x sehari di oles di bibir
Sistemik:
Cetirizin 1x 10 mg p.o
IVFD NaCl : D5 : RL = 1 : 1 : 1 20 tts/m
Ranitidin 2 x 50 mg IV/ hr
15
Laboratorium: -
A
P
protein
Pemberian makanan TKTP
Hindari menggaruk lesi
Khusus :
Medikamentosa
Topikal :Kompres terbuka dengan larutan NaCl 0,9% 3 x jam/hr
Asam fusidat 2% cr 2 x sehari
Kenalog in Orabase 2 x sehari di oles di bibir
Sistemik:
Cetirizin 1x 10 mg p.o
IVFD NaCl : D5 : RL = 1 : 1 : 1 20 tts/m
Ranitidin 2 x 50 mg IV/ hr
16
17
A. Definisi
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan penyakit kulit dan mukosa yang akut dan
berat, yang diakibatkan oleh reaksi intolerans terhadap obat dan beberapa infeksi.
Sindrom Stevens-Johnson ditandai dengan cepatnya perluasan ruam makula, sering
disertai dengan lesi target atipikal (datar, irreguler), dan keterlibatan lebih dari satu
mukosa (rongga mulut, konjungtiva, dan genital). Keterlibatan yang signifikan pada
1
mulut, hidung, mata, vagina, uretra, saluran pencernaan, dan membran mukosa pada
saluran pernapasan bawah dapat berkembang seiiring perjalanan penyakit. Kerusakan
yang terjadi pada saluran pencernaan dan pernafasan dapat berlanjut menjadi nekrosis.
Sindrom Stevens-Johnson adalah gangguan sistemik serius dengan potensi morbiditas
yang parah dan bahkan kematian.8
B. Etiologi
Banyak reaksi etiologi yang diduga berperan, namun obat-obatan yang diduga menjadi
penyebab utama sindrom ini. 80 % kasus TEN memiliki hubungan yang kuat dengan
pengobatan yang spesifik, kurang dari 5% yang dilaporkan tanpa penggunaan obat
sebelumnya. Selain itu juga bahan-bahan kimia, Mycoplasma pneumonia, infeksi virus dan
immunisasi juga diaporkan berperan. 50% kasus SJS berhubungan dengan paparan obat;
penyebab belum sepenuhnya jelas.
Terdapat empat kategori etiologi yaitu (1) infeksi, (2) drug-induced, (3) keganasan, dan
(4) idiopatik.5
Pada anak-anak lebih sering disebabkan karena infeksi daripada keganasan atau reaksi
terlibat.
Infeksi virus yang telah dilaporkan menyebabkan SSJ adalah herpes simplex virus
(HSV), AIDS, infeksi virus coxsackie, influenza, hepatitis, gondok, venereum
lymphogranuloma (LGV), infeksi rickettsia, dan variola.
18
Sumber: Wolff, K., Johnson R.A Suurmond, D. Stevens Johnson Syndrom. Fitzpatrick Dermatology Atlas. 5 th
Edition. 2007. The McGraw-Hill.
C. Patogenesis
Penyebab SJS sesungguhnya cukup banyak, namun disebutkan bahwa obat merupakan
penyebab utama. Disamping obat, infeksi, vaksinasi, graft-versus-host-disease, terkadang
juga dapat menyebabkan SJS. Adanya kelainan metabolism obat dapat menyebabkan
terjadinya SJS, meskipun patohenesisnya belum jelas, diduga reaksi imun sitotoksik yang
merusak keratinosit yang permukaanya mengandung antigen (obat) berperan pada
19
pathogenesis SJS. Reaksi imun sitotoksik ini akhirnya merusak epidermis. Diduga deposit
kompleks imun juga berperan pada pathogenesis SJS. Hal ini dibuktikan dengan adanya
peningkatan circulating immune complex, dan juga didapatkan adanya vaskulitis
kompleks imun. [10]
Hanya sebagian kecil diketahui tentang pathogenesis SJS dan TEN. Patogenesis tersebut
digambarkan sebagai reaksi imun sitotoksik yang menyebabkan kerusakan keratinosit
oleh antigen asing (drug-related). Kerusakan epidermal didasari oleh proses apoptosis.
Aktivasi obat-obatan spesifik dari sel T telah dijelaskan secara invitro pada sekitar sel
mononuclear darah dari pasien dengan ledakan obat. Obat-obatan atau metabolitnya
bekerja sebagai hapten (molekul organic kecil yang bersifat antigen) dan membuat
antigenik keratinosit dengan mengikat permukaanya. Erupsi kutaneus obat telah
dihubungkan dengan penurunan system detoksifikasi dari hepar dan kulit, berakibat pada
toksisitas langsung atau perubahan dari komponen keratinosit. Sitokin diproduksi oleh
mononuclear sel yang teraktivasi dan keratinosit mungkin berperan pada kerusakan sel
setempat, demam, dan malaise. [11]
D. Gejala klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena imunitas belum begitu
berkembang. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat
kesadarannya menurun, pasien dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut
dapat disertai gejala prodormal berkisar antara 1-14 hari berupa demam tinggi, malese,
nyeri kepala, batuk, pilek, nyeri tenggorokan, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal
otot, dan atralgia yang sangat bervariasi.[10]
Pada SSJ ini terlihat trias kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan selaput lendir di
orifisium, dan kelainan mata.[6]
a. Kelainan kulit
Lesi dimulai sebagai makula yang berkembang menjadi papula, vesikula, bullae, dan
plak urtikaria. Pusat lesi ini mungkin vesikel, purpura, atau nekrotik. Lesi memiliki
gambaran yang khas, dianggap patognomonik. Namun, berbeda dengan erythema
multiforme, lesi ini hanya memiliki dua zona warna. Inti lesi dapat berupa vesikel,
purpura, atau nekrotik, dikelilingi oleh eritema macular. Lesi ini di sebut lesi targetoid.
20
Lesi mungkin menjadi bulosa dan kemudian pecah menyebabkan erosi yang luas,
meninggalkan kulit yang gundul sehingga terjadi peluruhan yang ekstensif. Sehingga
kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder.
Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. Kulit lepuh sangat longgar dan mudah
lepas bila digosok. Pada sindrom Stevens-Johnson, kurang dari 10% dari permukaan
tubuh yang mengelupas. Sedangkan pada necrolysis epidermis toksik, 30% atau lebih dari
permukaan tubuh yang mengelupas. Daerah kulit yang terkena akan terasa sakit. Pada
beberapa orang, rambut dan kuku rontok.[6]
b. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering adalah mukosa mulut (100%), kemudian disusul
oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di lubang hidung (8%), dan anus
(4%).[6] Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi
dan ekskoriasi dan krusta
kehitaman.[11] Di mukosa
mulut
dapat terbentuk
pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta hitam yang tebal.
Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama. Kerusakan pada
lapisan mulut biasanya sangat menyakitkan dan mengurangi kemampuan pasien untuk
makan atau minum dan sulit menutup mulut sehingga air liurnya menetes. Lesi di
mukosa mulut dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas, dan
esofagus. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
Kelainan pada lubang alat genital akan menyebabkan sulit buang air kecil disertai rasa
sakit. Kadang-kadang selaput lendir saluran pencernaan dan pernapasan juga terlibat,
menyebabkan diare dan sesak napas.[10]
c. Kelainan mata
Kelainan mata, merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah konjungtivitis
kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, blefarokonjungtivitis,
perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema, penuh
dengan nanah sehingga sulit dibuka, dan disertai rasa sakit. [11] Pada kasus berat terjadi
erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. [11] Cedera mukosa okuler
merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid,
merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu
21
yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi
mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.[11]
E. Diagnosa
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa,
mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi
berbentuk target, iris atau mata sapi disertai gejala prodormal. Selain itu didukung
pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik,
biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan
histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan,
leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi bila meninggi penyebabnya adalah infeksi
sekunder, terdapat peningkatan eosinofil jika penyebabnya alergi. Kadar IgG dan IgM
dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya
kompleks imun yang beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. [11]
Gambaran histopatologinya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari perubahan
dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh. Kelainan berupa :
Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis superfisial
Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar
Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal
Nekrosis sel epidermal di adneksa
Spongiosis dan edema intrasel di epidermis
Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan imunofluoresensi untuk membantu membedakan
sindrom Steven Johnson dengan penyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.
Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin. Pemeriksaan
elektrolit di lakukan untuk mengetahui apakah terjadi gangguan keseimbangan asam basa.
Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi
dapat dilakukan. Dan fototoraks untuk mengetahui adanya komplikasi pneumonitis.[10]
F. Diagnosis banding
22
NET
SSJ
Staphylococcus aureus,
Obat
Obat, infeksi,
keganasan, post
vaksinasi, radiasi,
Pasien
makanan.
Dewasa, anak > 3
tahun
Gejala
klinis
kendur.
Epidermolisis
Nikolsky sign +
Mukosa jarang
PA : celah pada sratum
granulosum
Akut
Gejala prodormal
KU buruk
Eritem generalisata,
vesikel, bula,
Gejala prodormal
Trias :
Kulit: eritem,
vesikel, bula dan
purpura,
purpura
Kulit, mukosa bibir-
Mukosa:orifisium
mulut, orifisium
mulut, faring,
genital
Epidermolisis +
Nikolsky sign +
PA : celah pada
subepidermal
traktus
respiratorius,
esophagus
(pseudomembran)
Mata
Epidermolisis
Nikolsky sign
PA : kelainan
dermis sedikit
sampai nekrolisis
epidermal
23
Komplikasi
Selulitis, pneumonia,
Bronkopneumonia
septikemia
G. Komplikasi
Komplikasi tersering ialah bronkopneumonia, sekitar 16%. Komplikasi lain ialah
kehilangan cairan/ darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok, pada mata dapat
terjadi ulserasi kornea, uveitis anterior, kebutaan karena gangguan lakrimasi. Pada
gastroenterologi teriadi esofageal striktur, pada genitourinari dapat terjadi nekrosis
tubular ginjal, gagal ginjal, jaringan parut pada penis, vagina stenosis, dan pada kutaneus
terdapat
karena
24
nyawa.
Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi
kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Antibiotika yang diberikan jarang
menimbulkan alergi,
mg/dosis, 1 kali/hari.
Pada SSJ yang berat diiberikan terapi cairan dan elektrolit, serta diet tinggi kalori dan
protein secara parenteral. Dapat diberikan infus, misalnya dekstrose 5%, Nacl 9%,
Pada kasus purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000
mg iv sehari.
Lesi mulut diberi kenalog in orabase, betadine gargle, dan untuk bibir yang
kelainannya berupa krusta tebal kehitaman dapat diberikan emolien misalnya krim
urea 10%.
Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis
setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan
perlekatan konjungtiva.
Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dengan dosis 0,2-0,75 g / kg berat badan per hari
selama empat hari berturut-turut. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS
dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS.
25
Transfusi darah 300 cc selama 2 hari jika tidak ada perbaikan dalam 2 hari.
Efek transfusi darah (whole blood) ialah imunorestorasi. Bila terdapat leukopenia
prognosisnya menjadi buruk, setelah pemberian transfusi leukosit cepat menjadi
normal. Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit, jadi
meningkatkan daya tahan tubuh.
Indikasi pemberian transfusi darah pada SSJ dan NET ialah
-
Bila telah diobati dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum ada perbaikan.
Setelah sembuh dari SSJ tidak boleh menggunakan kembali agen atau senyawa yang
penyebab. Obat dari kelas farmakologis yang sama dapat digunakan asalkan obat
tersebut secara struktural berbeda dengan obat penyebabnya. [13] Karena faktor genetik
diduga berperan dalam kerusakan kulit dan timbulnya lepuh akibat obat, sehingga
obat yang dicurigai tidak boleh digunakan dalam darah pasien. Tidak ada statistik
khusus tentang risiko penggunaan ulang obat yang salah atau kemungkinan
desensitisasi pada pasien dengan SSJ.[13]
I. Prognosis
SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang berpotensi mengancam nyawa.
Tingkat mortalitas adalah 5%, jika ditangani dengan cepat dan tepat, maka prognosis
cukup memuaskan.[10] Lesi biasanya akan sembuh dalam 1-2 minggu, kecuali bila terjadi
infeksi sekunder. Sebagian besar pasien sembuh tanpa gejala sisa.[13]
Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada keadaan
umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia, dapat menyebabkan kematian. [6]
Pengembangan gejala sisa yang serius, seperti kegagalan pernafasan, gagal ginjal, dan
kebutaan, menentukan prognosis.[10] Sampai dengan 15% dari semua pasien dengan
sindrom Stevens-Johnson (SSJ) meninggal akibat kondisi ini. Bakteremia dan sepsis
meningkatkan resiko kematian.[5]
26
III. PEMBAHASAN
A. Permasalahan
1. Apakah diagnosis pada kasus ini sudah tepat?
2. Bagaimana cara menyingkirkan diagnosis banding
3. Apakah tata laksana pada kasus ini sudah tepat?
1.
erosif ukuran lentikuler s/d plakat, diskret beberapa konfluen dan tidak teratur.
Pada pemeriksaan dermatologi manual didapatkan Nikolsky sign (+) pada bula yang
masih ada.
SSJ dapat ditegakkan jika trias SSJ terpenuhi yaitu adanya manifestasi pada kulit,
mukosa, dan mata. Pada pasien ini trias SSJ terpenuhi.
2.
3.
Terapi cairan
Terapi cairan bertujuan untuk mencegah pasien jatuh dalam keadaan dehidrasi
karena terdapat diskontinuitas kulit, sehingga cairan tubuh lebih mudah hilang
melalui proses evaporasi. Cairan yang diberikan berupa:
o NaCl fisiologis dan RL dosis maintanance untuk mencegah hilangnya
elektrolit tubuh.
o D5 dosis maintanance untuk memenuhi kebutuhan kalori pasien, karena
pada SSJ terdapat manifestasi pada mukosa termasuk mukosa sistem
gastrointestinal yang menyebabkan pasien sulit untuk makan.
Antihistamin
Antihistamin diberikan untuk mengurangi reaksi hipersensitivitas yang
berlangsung. Antihistamin yang digunakan adalah Cetirizine (Antihistamin I
generasi II)
response.
Rujuk ke pelayanan kesehatan sekunder
29
Tappering off dilakukan apabila lesi lama telah involusi serta tidak terbentuk lesi baru.
Penurunan dosis berkisar antara 20-40% atau dari dosis awal, sehingga jika ingin
diturunkan dosisnya, maka pasien dapat diberikan metil prednisolon injeksi 30-60
mg/hari.
IV. KESIMPULAN
Sindrom
Steven-Johnson
(SSJ) merupakan
suatu
kumpulan
gejala
klinis
erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit, mukosa orifisium serta mata
disertai gejala umum yang bervariasi dari ringan sampai berat. Etiologi SSJ sukar ditentukan
dengan pasti, pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat yang paling
sering adalah oxicam NSAID, sulfonamide, fenitoin, dan penisilin. Patogenesis SSJ sampai
saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III dan
reaksi hipersensitivitas tipe IV.
SSJ menyebabkan pengelupasan kulit kurang dari 10% permukaan tubuh, pada selaput lendir
dapat menimbulkan krusta kehitaman, dan pada mata menyebabkan konjungtivitis purulenta.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk mendiagnosis SSJ kecuali pemeriksaan
histopatologis. Diagnosis banding dari Sindrom Steven Johnson yaitu Nekrolisis Epidermal
Toksik, Staphylococcal Scalded Skin Syndrom, dan Eritema Multiforme. Dan komplikasi
pada SSJ yang paling sering terjadi adalah bronkopneumonia.
Penanganan Sindrom Steven Johnson dilakukan dengan menghentikan obat penyebab,
memberi terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral pada penderita
dengan keadaan umum berat. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi. IVIG dapat
diberikan untuk mencegah kerusakan kulit yang lebih lanjut dan antibiotik spektrum luas
untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.
30
SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang berpotensi mengancam nyawa. Jika
ditangani dengan cepat dan tepat, maka prognosis cukup memuaskan.
DAFTAR PUSTAKA
1. L. Valeyrie-Allanore, Jean-Claude Roujeau. Epidermal necrolysis (Steven-Johnson
Syndrome and toxic epidermal necrolysis. In: Fitzpatricks Dermatology In General
Medicine, 7th Ed, Vol.1, 2008;p.349-355.
2. S. M. Breathnach. Erythema multiforme, Steven-Johnson Syndrome and toxic
epidermal necrolysis. In: Rooks Textbook of dermatology, 8th Ed,2010; Chapter 76.122
3. Maja Mockenhaupt. Steven-Johnson Syndrome and toxic epidermal necrolysis. In:
Life threatening dermatoses and emergencies in dermatology, 2008; p.87-96.
4. Steven J. P. Parrillo, Catherine V. Parrillo.. In: Steven-Johnson Syndrome, available
at: http://www.emedicine.com
5. Djuanda, A. Hamzah, M. Sindrom Stevens Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi 5. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
2007 : 163-166.
6. Mansjoer, A. Suprohaita. Wardhani, WI. Setiowulan, W. Erupsi Alergi Obat. Kapita
Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Media Aesculapius. Jakarta 2002
7. Pierre-Dominique Ghislain MD, Jean-Claude Roujeau MD : Pengobatan reaksi obat
yang parah: Stevens-Johnson Syndrome, Toxic epidermal dan sindrom hipersensitif
Necrolysis. Dermatology Online Journal 8(1): 5. 2002.
8. Siregar, R.S. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta. EGC.
9. Steven J. P. Parrillo, Catherine V. Parrillo.. In: Steven-Johnson Syndrome, available
at: http://www.emedicine.com
10. Wolff, K., Johnson R.A Suurmond, D. Stevens Johnson Syndrom. Fitzpatrick
Dermatology Atlas. 5th Edition. 2007. The McGraw-Hill.
11. Sindrom steven johnson.
http://emedicine.medscape.com/article/1197450.overview#a0101 (diakses 5 Maret
31
2015)
12. S. M. Breathnach. Erythema multiforme, Steven-Johnson Syndrome and toxic
epidermal necrolysis. In: Rooks Textbook of dermatology, 8th Ed,2010; Chapter 76.122
13. Pohan, S.S. dkk. 2005. Sindroma Steven Johnson dalam Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Penyakit Kulit. Surabaya: FK UNAIR
32