Anda di halaman 1dari 16

Laporan Kasus Internship

Kasus : Steven Johnson Syndrome(Dewasa)


Oleh : Muhammad Rizky Sofyan

A. Identitas Pasien
Nama : Ibu SM
Tanggal Lahir : 22 April 1955
Usia : 75 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Sidowayah Wates
No. RM : 5046xx
Tanggal Masuk : 16 April 2018

B. Anamnesis

 Riwayat Penyakit Sekarang


Keluhan berupa kulit mengelupas sejak 1 minggu yang lalu SMRS,muncul plenting-plenting yang
pecah dan melepuh merata pada seluruh badan, dirasanyakan nyeri perih dan panas, tapi tidak
gatal, pasien juga tidak ada riwayat demam SMRS

 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat Osteoarthritis Genu, dan mengkonsumsi obat Allopurinol

 Riwayat Penyakit Keluarga


Keluhan serupa pada orang tua/saudara kandung (-)

C. Pemeriksaan Fisik
Kesan Umum : CM, sedang
GCS : E4V5M6
Tekanan Darah : 176/82
Nadi : 88 x/m
RR : 20x/m
SpO2 : 99% room air
Suhu :36.3

Kepala : conjunctiva anemis (-) sclera ikterik (-)


Leher : Lnn ttb (-)
Pulmo : SDV +/+, rhonki +/+, wheezing +/+
Cor : S1 reguler S2 split tak konstan, bising (-)
Abdomen : supel, tympani , BU (+), Nyeri tekan (-)
Ekstremitas : nadi kuat angkat (+), akral hangat (+)
Status Dermatologis :
Pada seluruh lapang tubuh terdapat bulla, dengan berbagai macam ukuran, sebagian sudah
pecah dengan squama eksfoliatif generalisata.

D. Pemeriksaan Penunjang
Darah Rutin

Pemeriksaan Hasil
Hb 15.7 MCHC 32.5
Hct 47.9 Neutrofil 58.2%
AL 9.10 Limfosit 32.0%
AT 356 Monosit 6.7%
AE 4.86 Eosinofil 2.1%
MCV 86.4 Basofil 0.6%
MCH 28.3
GDS 112
SGOT 25 SGPT18
Ureum 28 Creatinin 1.29
Natrium 138.8 Kalium 3.6 Chlorida 98

E. Diagnosis Kerja
Obs. Steven Johnson Syndrome

F. Tatalaksana IGD
 IVFD RL

G. Tatalaksana Bangsal
 IVFD RL 20 tpm
 Inj. Methilprednisolon 62.5 mg/12jam
 Inj. Ranitidin 1A/12 jam
 Histapan 2x1
 Betadine 1% kompres 2x15menit
 Jika muncul sariawan atau nyeri telan, baeri betadine gargle
 Terapi Topikal Campuran burnazin krim 40 gr +dexosimetasone 40 gr
 Awasi KU dan TTV

Pembahasan

Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksis (NET) ialah reaksi mukokutan
akut yang ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan epidermis luas, disertai rasa sakit dan
dapat menyebabkan kematian. Makula eritem, terutama pada badan dan tungkai atas,
berkembang progresif menjadi lepuh flaksid dengan akibat pengelupasan epidermis. Karena
kesamaan dalam temuan klinis dan histopatologis, etiologi obat, dan mekanisme terjadinya
penyakit, SSJ dan NET mewakili keparahan varian dari proses identik yang berbeda hanya dalam
persentasi luas permukaan tubuh yang terlibat, maka kedua penyakit dikelompokkan sebagai
nekrolisis epidermal (NE).

Baik SSJ maupun NET ditandai dengan keterlibatan kulit dan membran mukosa. Karena
kemiripan penemuan klinis dan histopatologi, etiologi obat, serta mekanisme, SJS dan NET ini
dianggap variasi dan kontinu penyakit yang dibedakan dengan melihat tingkat keparahan serta
persentase permukaan tubuh yang terlibat lecet dan erosi kulit. Beberapa kepustakaan
menggunakan istilah eritema multiforme mayor untuk SSJ dan NET.

 SJS menampilkan kondisi yang kurang parah, yang mana pelepasan kulit < 10% dari
permukaan tubuh.
 NET melibatkan perluasan > 30% dari luas permukaan tubuh.
 SJS/NET menampilkan pasien dengan perluasan kulit 10-30% dari luas permukaan tubuh.
Epidemiology

Insiden SSJ dan NET jarang dijumpai. Keseluruhan insidensi SSJ dan NET diperkirakan 2
sampai 7 kasus per 1 juta orang per tahun. SSJ dan NET dapat terjadi pada semua usia tapi
insidensinya bertambah di atas dekade ke-4 dan sering terjadi pada wanita, menunjukkan rasio
jenis kelamin 0,6.

Penyakit infeksius juga dapat berdampak pada insidensi terjadinya TEN, yaitu pada pasien HIV
dapat meningkat 100 kali lipat dibandingkan populasi umum, dengan jumlah hampir 1 kasus/
seratus orang/tahun pada populasi HIV positif. Perbedaan regional pada peresepan obat, latar
belakang genetik dari pasien (HLA, enzim metabolism), koeksistensi kanker, atau bersama
dengan radioterapi dapat berdampak pada insidensi SSJ dan NET. Mortalitas penyakit tersebut
10% untuk SJS, 30% untuk SJS / NET, dan lebih dari 30% untuk NET.

Dalam analisa kelangsungan hidup SJS / NET dengan angka mortalitas secara keseluruhan
adalah 23% pada minggu, 28% pada tiga bulan dan 34% pada satu tahun .Bertambahnya usia,
komorbiditas yang signifikan, yang luasnya permukaan tubuh yang terlibat berkaitan dengan
prognosis yang buruk.

Sebuah skor prognosis (SCORTEN) telah disusun untuk SSJ dan NET, dan kegunaannya sudah
dibuktikan pada banyak kasus.
Etiologi

Etiologi SSJ/NET masih belum diketahui secara pasti, namun sekarang diketahui obat-obatan
adalah etiologi utama yang dapat terjadi pada orang dewasa atau anak-anak. Terdapat lebih
dari
100 obat yang dikenal sebagai penyebab SSJ/NET. Sebuah penelitian case control mengevaluasi
resiko SSJ dan NET yang berhubungan dengan pengobatan.

Antibiotik sulfonamide (khususnya sulfametoksazol kombinasi dengan trimetoprim),


karbamazepin, fenitoin, fenobarbital, obat-obat antiinflamasi nonsteroid tipe oksikam,
allopurinol, klormezanon, aminopenisillin, sefalosporin, lamotrigin, Nevirapin, kuinolon, dan
antibiotik siklik dihubungkan dengan resiko relative tertinggi.
Pasien dengan SSJ dan NET juga harus dievaluasi kemungkinan penyakit dasarnya yang
memungkinkan sebagai penyebab timbulnya reaksi. Infeksi Mycoplasma pneumonia
dan herpes simplek merupakan infeksi tersering yang menyebabkan SSJ dan NET. Infeksi
penyebab SSJ pada anak-anak yang tersering dimana seringkali diimplikasikan dengan
Mycoplasma pneumonia.

Infeksi penyebab lainnya yaitu virus herpes simpleks, Mycobacterium tuberculosis,


streptokokus grup A, virus hepatitis B, dan virus Eipstein-Barr. Dalam sebuah ulasan sistemik
dari literature Jepang yang dipublikasikan, hamper 70% kasus SSJ dianggap disebabkan oleh
obat-obatan dan 10% oleh M.pneumoni atau kombinasi M.pneumonia dan/atau obat-obatan.
Seluruh kasus NET dicurigai disebabkan terutama obat-obatan.
Faktor Resiko

Faktor resiko nonmedikasi yang telah dihipotesiskan dapat meningkatkan resiko NET termasuk
HIV, radioterapi, dan lupus eritematosus. Sebagai contoh radioterapi dapat memicu atau
memperburuk NET dimana djumpai lesi kulit yang maksimal pada tempat yang terpapar.
Infeksi herpes yang baru dapat berperan dalam perkembangan SSJ akan tetapi tidak pada kasus
SSJ/NET overlap atau NET.

Pada pasien HIV telah dilaporkan memiliki 100x lipat lebih tinggi terkena SJS /NET. NET telah
dilaporkan pada pasien lupus eritematosus sistemik, pasien-pasien ini dapat mengalami NET
walaupun tidak mengkonsumsi obat-obatan resiko tinggi atau telah menggunakan obat-obat
tersebut untuk waktu yang lama. Insufisiensi renal dapat menjadi factor resiko efek samping
kulit yang serius yang diinduksi allopurinol. Kasus SSJ/NET pernah dilaporkan terjadi setelah
transplantasi sumsum tulang, beberapa dapat berat menjadi graft versus host disease.
Radioterapi bersama terapi anti epilepsi juga pernah dilaporkan menyebabkan NE pada tempat
radiasi tersebut.

Patofisiologi

Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh


kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan
keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan
sindroma ini.Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat
diidentifikasi.
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin dihubungkan erat dengan
(alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa menemukan bahwa petanda gen hanya relevan
untuk Asia Timur. Berdasarkan dari temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61%
SJS/TEN yang diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801 – frekuensi fenotif di Eropa
umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar suku/etnik, lokus HLA-B
berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV.Reaksi
tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi
sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang
kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target
organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak
kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi
radang.
Reaksi Hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap
didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir.Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan
tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya.Pada beberapa kasus antigen asing
dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat
tersebut.Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi
kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut.Neutrofil tertarik ke daerah
tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim
sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut.
Reaksi Hipersensitif Tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau
sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi
yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27
jam untuk terbentuknya.
Diagnosis
Tanda dan Gejala
SSJ dan NET biasanya dimulai dalam 8 hari stelah pemberian obat (biasanya setelah 4-30
hari).Hanya beberapa kasus yang memberikan reaksi yang cepat dalam beberapa jam. Biasanya
terpapar oleh obat yang sama.

Gejala Prodromal
Gejala non spesifik (prodromal) seperti demam, dengan temperature melebihi 39°C ( 102,2°F)
sakit kepala, rhinitis, mialgia dapat terjadi 1-3 hari sebelum timbul kelainan pada kulit. Timbul
rasa nyeri menelan, konjungtiva terasa gatal dan panas disertai silau bila terkena cahaya. Hal ini
menandakan gejala awal keterlibatan mukosa. Sepertiga pasien dimulai dengan adanya gejala
non spesifik, sepertiganya dengan gejala terlibatnya mukosa dan sepertiga lainnya dengan
keluhan eksantema. Fase prodromal atauu demam, batuk, dan malaise dapat mendahului
perkembangan lesi kulit selama 2 minggu.

Lesi Pada Kulit


Lesi kulit yang nyeri sering pertama kali tampak ada badan dan kemudian menyebar cepat ke
muka, leher, dan ekstremitas dengan keterlibatan maksimal setelah 4 hari. Erupsi biasanya
simetris, terdistribusi pada wajah, tubuh bagian atas dan proksimal ekstremitas, namun bisa
sampai seluruh badan. Lesi kulit awal dikarakteristikkan dengan makula eritematosa, merah
kehitaman bentuk ireguler yang bersatu secara progresif. Lesi target atipikal dengan warna
gelap di tengah sering terlihat. Lesi nekrotik yang berkonfluensi menimbulkan eritema yang
meluasdan difus. Epidermis nekrotik mudah terlepas karena trauma gesekan, meninggalkan
daerah yangmerah dan erosi.

Bula SSJ/NET kendur dan dapat dijumpai Nikolsky’s sign. Bila terkena sentuhan lesi ini terasa
sakit. Pasien dapat diklasifikasikan berdasarkan total permukaan tubuh yang terkena, yaitu SSJ
apabila total permukaan tubuh yang terkena adalah < 10%. NET apabila total permukaan tubuh
yang terkena >30% dan SSJ/NET overlapping dengan NET bila mengenai total permukaan tubuh
yang terkena adalah antara 10-30%.
Lesi Pada Mukosa
Keterlibatan membran mukosa (hampir selalu sedikitnya 2 tempat) diamati pada 90% kasus dan
mendahului atau diikuti erupsi pada kulit. Dimulai dengan eritema yang diikuti oleh erosi
mukosa bukal, mata, dan genital yang terasa nyeri. Biasanya diikuti dengan gangguan
pencernaan, fotofobia, sinekia konjungtiva dan nyeri saat BAK.

Kavitas oral dan batas bibir lebih banyak terkena dan gambaran erosi hemoragik yang nyeri
tertutup grayish white pseudomembrane dan krusta pada bibir. Stomatitis dan mucositis
menyebabkan gangguan asupan oral sehingga mengakibatkan malnutrisi dan dehidrasi .

Urogenital sering terlibat pada penderita SJS/NET terutama wanita. Uretritis terjadi sekitar 2/3
pasien , hal ini dapat menyebabkan retensi urin serta erosi genital. Keterlibatan ini ditandai
dengan ulseratif vaginitis, bula vulva dan sinekia vagina.

Gejala Ekstra Kutan


SSJ/NET dapat melibatkan organ visceral terutama komplikasi pada paru-paru dan
gastrointestinal. Komplikasi pada paru dijumpai 25% kasus yang ditandai dengan sesak nafas,
hipersekresi bronkus, hipoksia, hemaptoe dan edema paru. Keterlibatan bronkus pada SSJ/NET
tidak berhubungan dengan beratnya lesi pada kulit. Pada beberapa kasus yang dilaporkan,
apabila terjadi gagal nafas akut segera setelah munculnya kelainan kulit, maka prognosisnya
lebih jelek.

Kelainan pada gastrointestinal dari SSJ jarang ditemukan. Kelainan gastrointestinal


biasanya berupa nekrosis epithelial esofagus, diare, perdarahan gastrointestinal, melena, dan
perforasi kolon. Kelainan pada ginjal biasanya berupa proteinuria, mikroalbuminuria, hematuria
dan azotemia. Dapat pula ditemukan adanya akut tubular nekrosis, glomerulonefritis.

Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik kecuali biopsi yang dapat menegakkan
diagnose SSJ. Pada pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan anemia, limfopenia dan
jumlah leukosit yang normal atau leukositosis nonspesifik, eosinophilia jarang dan neutropenia
dapat terjadi pada 1/3 pasien. Peningkatan leukositosis yang berat mengindikasikan adanya
infeksi bakteri yang lainnya. Kultur darah dan kulit sangat dianjurkan karena adanya insidensi
infeksi bakteri yang serius dan sepsis yang berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas.
Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium yang ditemukan pada SSJ/NET adalah gangguan
keseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia, hipoproteinemia, insufisiensi ginjal, azotemia
prerenal, leukositosis ringan, anemia, neutropenia, sedikit peningkatan enzim hepar dan
amilase, hiperglikemia. Serum urea nitrogen > 10mmol/L dan glukosa > 14mmol/L dianggap
penanda keparahan penyakit.
Pemeriksaan Penunjang

Seluruh kasus yang disangkakan SSJ dan NET harus dikonfirmasi melalui pemeriksaan biopsi
kulit untuk histopatologi dan pemeriksaan immunofluoresence. Lesi awal menunjukkan
apoptosis keratinosit pada lapisan suprabasal. Lesi akhirnya akan memperlihatkan nekrosis
epidermal yang tebal dan pelepasan epidermis dari dermis. Infiltrasi sel mononuclear dengan
kepadatan sedang pada papilla dermis dapat terlihat, sebagian besar diwakili oleh limfosit dan
makrofag.

Diagnosis Banding

Tidak adanya lesi pada membran mukosa atau hanya terbatas pada satu bagian harus selalu
meningkatkan kecurigaan terhadap diagnosis alternatif : staphylococcal scalded skin syndrome
pada bayi, purpura fulminans pada anak-anak dan dewasa muda, acute generalized,
exanthematous pusstulosis, thermal burns, phototoxicity,atau tekanan bula pada orang dewasa.

Penatalaksanaan

Manajemen pasien harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Hal penting yang harus dilakukan
mendiagnosis dengan cepat, perawatan khusus dan multidisiplin tim pada intensive care unit
(ICU) atau unit luka bakar. Perawatan suportif termasuk menjaga keseimbangan hemodinamik
dan mencegah komplikasi yang mengancam jiwa. Tujuan pada dasarnya sama dengan tujuan
luka bakar yang luas.

Penatalaksanaan Umum

Adapun prinsip – prinsip utama perawatan suportif adalah sama seperti pada luka bakar. Selain
menghentikan pemberian obat penyebab, dilakukan perawatan luka, manajemen cairan dan
elektrolit, dukungan nutrisi, perawatan mata, manajemen suhu, kontrol nyeri dan pemantauan
pengobatan infeksi.

Penghentian Obat Penyebab


Diagnosis dini dengan pengenalan dini dan penghentian segera dari segala obat-obatan yang
diduga menjadi penyebab sangat menentukan hasil akhir. Morbiditas dan mortalitas meningkat
jika obat-obatan yang menjadi penyebab terlambat dihentikan.

Menjaga Keseimbangan Cairan, Termoregulasi dan Nutrisi


SSJ/NET dihubungkan dengan hilangnya cairan yang signifikan dikarenakan erosi, yang
menyebabkan hipovolemia dan ketidakseimbangan elektrolit. Penggantian ulang cairan harus
dimulai secepat mungkin dan disesuaikan setiap harinya. Jumlah infus biasanya kurang dari luka
bakar pada tingkat keparahan yang sama, karena interstisial edema tidak dijumpai. Hal lain
yang perlu dijaga adalah temperatur lingkungan, sebaiknya dinaikkan hingga 28°C hingga 30°C -
32°C untuk mencegah pengeluaran kalori yang berlebihan karena kehilangan epidermis. Dapat
juga digunakan nasogastric tube apabila terdapat lesi mukosa mulut.

Antibiotik
Antibiotik profilaksis bukan merupakan indikasi, malah mungkin dapat menyebabkan resistensi
organisme dan meningkatnya mortalitas. Pasien diberikan antibiotik apabila terdapat tanda
tanda klinis infeksi. Tanda-tanda tersebut antara lain perubahan status mental, mengigil,
hipoterimia, menurunnya pengeluaran urin dan penurunan kondisi klinis.

Perawatan Luka
Pembersihan luka (debridement) nekrosis epidermis yang ekstensif dan agresif tidak
direkomendasikan pada kasus NE karena nekrosis permukaan bukanlah halangan untuk
reepitelisasi, dan justru dapat mempercepat proliferasi sel-sel stem berkenaan dengan sitokin
peradangan. Pengobatan topikal diberikan untuk mengurangi kehilangan cairan, elektrolit, dan
mencegah terjadinya infeksi. Debridement dilakukan dengan pemberian analgetik dengan
derivat morfin sebelumnya. Kulit dibersihkan dengan antiseptic yang ringan dan solusio
antibiotik seperti sabun povidone iodine, chlorhexidine, silver nitrate untuk mengurangi
pertumbuhan bakteri.

Perawatan Mata dan Mulut


Komplikasi oftalmik adalah satu dari permasalahan tersering terhadap SSJ/NET. Sekitar 80%
pasien yang dihospitalisasi mengalami komplikasi ocular akut yang sama pada SSJ maupun NET
dengan keterlibatan berat sebesar 25%. Gejala sisa kronis terja di pada sekitar 35% pasien,
biasanya disebabkan oleh skar konjungtiva. Permasalahan residual pada mata yang paling
sering dilaporkan adalah fotosensitivitas kronis dan mata kering. Perawatan mata meliputi
pembersihan kelopak mata dan memberi pelumas setiap hari dengan
obat tetes atau salep mata.
Mulut harus dibersihkan beberapa kali dalam sehari untuk menjaga kebersihan rongga mulut,
berulang-ulang kumur-kumur dengan antiseptik dan mengoleskan topikal anestesi seperti
xylocaine, lignocaine sebelum makan sehingga dapat mengurangi sakit waktu menelan.

Penatalaksanaan Spesifik

Kortikosteroid Sistemik
Pemakaian kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Beberapa studi menemukan bahwa
pemberian kortikosteroid dapat mencegah perluasan penyakit bila diberikan pada fase awal.
Studi lain menyebutkan bahwa steroid tidak menghentikan perkembangan penyakit dan
bahkan dihubungkan dengan kenaikan mortalitas dan efek samping, khususnya sepsis.
Selanjutnya, banyak kasus telah dilaporkan yang telah diobati dengan kortikosteroid, akan
meningkatkan resiko SSJ/NET. Jadi, kortikosteroid sistemik tidak dapat direkomendasikan
sebagai pedoman utama pengobatan SSJ/NET.
Kortikosteroid dapat diberikan dalam 72 jam pertama setelah onset untuk mencegah
penyebaran yang lebih luas, dapat diberikan selama 3-5 hari diikuti penurunan secara bertahap
(tapering off). Dosis yang dapat diberikan adalah 30-40 mg sehari. Dapat digunakan
deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Tapering off
hendaknya cepat dilakukan karena pada umumnya penyebab SSJ/NET adalah eksogen (alergi).
Pada SSJ/NET, kortikosteroid berperan sebagai anti inflamasi, imunosupresif dan anti apoptosis.

Immunoglobulin Intravena (IVIG)


Anjuran pemakaian immunoglobulin intravena dosis tinggi didasarkan pada demonstrasi bahwa
kematian sel yang diperantarai Fas dapat dibatalkan oleh aktivitas anti-Fas yang ada dalam
sejumlah immunoglobulin manusia normal. Keuntungan telah ditegaskan oleh beberapa studi
dan laporan kasus tetapi disangkal oleh beberapa yang lainnya.
Efek samping IVIG termasuk ginjal , hematologi dan komplikasi trombotik. Resiko komplikasi
yang serius meningkat pada pasien usia tua yang menerima dosis tinggi IVIG serta pada
penderita gangguan ginjal dan jantung. Telah dilaporkan hemolysis berat dan nefropati pada
pasien SJS/NET yang diobati dengan IVIG.

Siklosporin A
Siklosporin merupakan suatu agen imunosupresif yang penuh kekuatan dihubungkan dengan
efek biologik yang secara teoritis berguna dalam pengobatan SSJ/NET. Dalam sebuah serial
kasus retrospektif, 11 pasien NET diterapi dengan siklosporin A (3 mg/kg/hari), terapi
siklosporin A menyebabkan reepitelisasi yang cepat dan angka mortalitas yang rendah bila
dibandingkan dengan siklofosfamid dan kortikosteroid (0% vs 50%). Berbagai laporan kasus
individual yang menggunakan dosis 3 hingga 5 mg/kg/hari secara intravena atau oral juga telah
dipublikasikan memperlambat perkembangan SJS/NET tanpa toksisitas yang signifikan. Durasi
pengobatan bervariasi mulai dari 8 hingga 24 hari, biasanya hingga pasien mengalami
reepitelisasi. Efek samping termasuk peningkatan ringan dari serum kreatinin, hipertensi dan
infeksi.

Agen TNF-a
Dalam beberapa laporan kasus dengan pemberian infus tunggal 5 mg/kgbb TNF- a
menghentikan perluasan dan perkembangan dari SJS/NET dan memicu epitelisasi. Pemberian
etanercept 50 mg inj subkutan telah berhasil digunakan dalam sejumlah kecil pasien.

Plasmafaresis atau Hemodialisis


Dasar pemikiran untuk memakai plasmafaresis atau hemodialisis adalah mendorong
perpindahan obat yang salah, metabolitnya, atau mediator peradangan seperti sitokin. Sebuah
laporan kasus kecil melaporkan efikasi dan keamanannya dalam penatalaksanaan SSJ/NET.
Bagaimanapun, dengan mempertimbangkan tidak adanya dasar dan adanya resiko yang
dihubungkan dengan pemasangan kateter intravaskular, penatalaksanaan ini tidak
direkomendasikan.
Algoritma Steven Johnson Syndrome
References

1. Kaur-Knudsen, D., Zachariae, C., & Thomsen, S. F. (2013). [Stevens-Johnson syndrome


and toxic epidermal necrolysis.]. Ugeskrift for Laeger, 175(50), 3096–3099. Retrieved
from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24629532
2. Creamer, D., Walsh, S. A., Dziewulski, P., Exton, L. S., Lee, H. Y., Dart, J. K. G., …
Smith, C. H. (2016). BJD U . K . guidelines for the management of Stevens – Johnson
syndrome / toxic epidermal necrolysis in adults 2016. British Association of
Dermatologists, 174(May 2010), 1194–1227. http://doi.org/10.1111/bjd.14530
3. Steven, S., & Dan, J. (1922). Sindroma steven johnson dan nekrolisis epidermal toksik,
1–20.
4. A., O., & M., S. (2011). Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. Acta
Medica Portuguesa, 24(SUPPL.4), 995–1002. http://doi.org/10.1590/1806-
9282.62.05.468
5. Zubir, Z., & Fahila, R. (2017). Sindroma steven johnson dan nekrolisis epidermal toksik,
1–20.
6. Galetto, A. (2002). Stevens-Johnson syndrome, 42(5), 644.

Anda mungkin juga menyukai