Anda di halaman 1dari 16

SINDROM STEVEN JOHNSON

1.1 Definisi

Sindrom Stevens-Johnson dan nekrolisis epidermal toksis (NET) adalah bentuk penyakit
mukokutan dengan tanda dan gejala sistemik yang parah berupa lesi target dengan bentuk yang
tidak teratur, disertai macula, vesikel, bula, dan purpura yang tersebar luas terutama pada rangka
tubuh, dan berupa reaksi mukokutan akut yang ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan
epidermis luas, disertai rasa sakit dan dapat menyebabkan kematian.1,2

1.2 Epidemiologi

Insiden SSJ jarang dijumpai. Keseluruhan insidensi SSJ diperkirakan 2 sampai 7 kasus per 1 juta
orang per tahun. SSJ dapat terjadi pada semua usia tapi insidensinya bertambah di atas dekade
ke-4 dan sering terjadi pada wanita, menunjukkan rasio jenis kelamin 0,6.3

Mortalitas penyakit tersebut 10% untuk SSJ, 30% untuk SSJ / NET, dan lebih dari 30%
untuk NET. Dalam analisa kelangsungan hidup SSJ / NET dengan angka mortalitas secara
keseluruhan adalah 23% pada enam minggu, 28% pada tiga bulan dan 34% pada satu tahun.
Bertambahnya usia, komorbiditas yang signifikan, yang luasnya permukaan tubuh yang terlibat
berkaitan dengan prognosis yang buruk. Di Amerika Serikat, evaluasi dari kematian
menunjukkan resiko tujuh kali lebih tinggi pada orang kulit hitam dibandingkan dengan kulit
putih.3
Penyebab : belum jelas, ada beberapa faktor pencetus seperti:
 Infeksi: virus, jamur, bakteri, parasit
 Obat: penisilin, barbiturat, hidantoin
 Faktor fisik: sinar x, sinar matahari, cuaca
 Penyakit kolagen vaskuler
 Neoplasma
 Kehamilan
 Umur: biasanya pada usia dewasa
 Jenis kelamin: frekuensi yang sama pada pria dan wanita
 Musim/iklim: lebih sering pada cuaca dingin
 Lingkungan : faktor fisik seperti sinar matahari, hawa dingin, sinar x dll

1.3 Etiologi dan Faktor Resiko

Etiologi SSJ masih belum diketahui secara pasti, namun sekarang diketahui obat-obatan
adalah etiologi utama yang dapat terjadi pada orang dewasa atau anak-anak. Terdapat lebih dari
100 obat yang dikenal sebagai penyebab SSJ. Sebuah penelitian case control mengevaluasi
resiko SSJ yang berhubungan dengan pengobatan. Antibiotik sulfonamide (khususnya
sulfametoksazol kombinasi dengan trimetoprim), karbamazepin, fenitoin, fenobarbital, obat-obat
antiinflamasi nonsteroid tipe oksikam, allopurinol, klormezanon, aminopenisillin,
sefalosporin,lamotrigin,Nevirapin, kuinolon, dan antibiotik siklik dihubungkan dengan resiko
relatif tertinggi.4

Tabel 1. Obat-obatan yang dapat beresiko menyebabkan SSJ dan NET

Pasien dengan SSJ juga harus dievaluasi kemungkinan penyakit dasarnya yang
memungkinkan sebagai penyebab timbulnya reaksi. Infeksi Mycoplasma pneumonia (Sontheiner
dkk, 1978) dan herpes simplek (Orthon, 1984) merupakan infeksi tersering yang menyebabkan
SSJ. Infeksi adalah penyebab SSJ pada anak-anak yang tersering dimana seringkali
diimplikasikan dengan Mycoplasma pneumonia. Infeksi penyebab lainnya yaitu virus herpes
simpleks, Mycobacterium tuberculosis, streptokokus grup A, virus hepatitis B, dan virus
Eipstein-Barr. Dalam sebuah ulasan sistemik dari literature Jepang yang dipublikasikan, hampir
70% kasus SSJ dianggap disebabkan oleh obat-obatan dan 10% oleh M.pneumoni atau
kombinasi M.pneumonia dan/atau obat-obatan. 4,5

Faktor Resiko
Faktor resiko nonmedikasi yang telah dihipotesiskan dapat meningkatkan resiko NET
termasuk HIV, radioterapi, dan lupus eritematosus. Sebagai contoh radioterapi dapat memicu
atau memperburuk NET dimana djumpai lesi kulit yang maksimal pada tempat yang terpapar.
Infeksi herpes yang baru dapat berperan dalam perkembangan SSJ akan tetapi tidak pada kasus
SSJ/NET overlap atau NET. Pada pasien HIV telah dilaporkan memiliki 100x lipat lebih tinggi
terkena SJS /NET. NET telah dilaporkan pada pasien lupus eritematosus sistemik, pasien-pasien
ini dapat mengalami NET walaupun tidak mengkonsumsi obat-obatan resiko tinggi atau telah
menggunakan obat-obat tersebut untuk waktu yang lama. Insufisiensi renal dapat menjadi faktor
resiko efek samping kulit yang serius yang diinduksi allopurinol. Kasus SSJ/NET pernah
dilaporkan terjadi setelah transplantasi sumsum tulang, beberapa dapat berat menjadi graft
versus host disease. Radioterapi bersama terapi anti epilepsi juga pernah dilaporkan
menyebabkan NE pada tempat radiasi tersebut.2

1.4 Patofisiologi dan Patogenesis

Patogenesis NE belum diketahui secara jelas. Penerapan teknik farmakogenomik dan biologi
molekular pada studi sebelumnya lebih lanjut mengungkapkan bahwa disposisi genetik
sebagaimana mediator imun adalah hal yang penting dalam perkembangan SSJ dan NET.
Walaupun interaksi Fas-FasL sudah dipertimbangkan sebagai efektor utama yang menyebabkan
apoptosis keratinosit.5,6
Terdapat beberapa penelitian yang menduga terjadinya reaksi sitotoksik yang diperantarai sel
melawan keratinosit dan menyebabkan apoptosis yang masif. Reaksi ini dicetuskan sel T CD4+
dan CD 8+ yang menghasilkan mediator sitotoksik yang berakibat apoptosis keratinosit.
Penelitian imunopatologis dijumpai adanya CD8+ killer lymphocytes (sel NK) pada epidermis
dan CD4+ pada dermis pada reaksi bulosa yang berat, dijumpai sel CD8+ pada epidermis.
Jumlah sel CD4+ ini dijumpai meninggi pada darah perifer penderita SSJ ataupun NET. Sel
sitotoksik CD8+ mengekspresikan reseptor α, ᵦ yang dapat membunuh melalui perforin dan
granzyme B, tidak melalui Fas atau Trail. Jadi ikatan obat dan protein akan diproses, kemudian
akan dipresentasikan oleh sel penyaji antigen (APC) ke sel naive yang akan menghasilkan reaksi
toleran atau reaksi efektor seperti gejala hipersensitivitas. Ekspansi dari CD8+ ini spesifik
terhadap obat, MHC (major histocompatibility complex - restricted cytotoxic reactions) melawan
keratinosit.5,7
Sekarang telah diterima dengan baik bahwa ekspansi oligoklonal CD 8+ bereaksi terhadap
obat-obatan tertentu, memiliki kecocokan mayor dengan jaringan sitotoksik yang rumit dan
terbatas berlawanan dengan keratinosit. Selanjutnya, regulasi CD4+ CD 25+ sel T telah
menunjukkan pentingnya pencegahan kerusakan epidermal hebat yang diinduksi limfosit T
sitotoksik reaktif. Sitokin penting seperti IL-6, Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α), dan Fas
ligand (Fas-L) juga ada pada lesi kulit SSJ/NET..1,2,5,7

Peran dari FasL pada SSJ dan NET masih kontroversial. Fas dikatakan menyebabkan
kematian sel melalui ikatannya. Tampaknya makin jelas saat ini bahwa peningkatan level FasL
dapat ditemukan pada serum pasien dengan SSJ dan NET, dan levelnya meningkat secara
konsisten ketika sebelumnya terdapat pelepasan kulit.1,7

Viard et al. mengatakan bahwa aktivasi Fas menyebabkan apoptosis keratinosit. Ketika limfosit
T sitotoksik kontak dengan sel target, terjadi aktivasi kaskade enzim intraseluler yang disebut
kaspase yang kemudian menyebabkan kematian sel. Limfosit T sitotoksik dapat menginduksi
kaskade kaspase melalui perforin/granzyme atau jalur Fas-Fas-L. Fas-L akan menginduksi
perubahan pada Fas yang menyebabkan pengambilan FADD (Fassociated Death Domain
Protein). FADD merupakan molekul yang melekat pada Fas dan prokaspase 8, yang fungsinya
membawa bersama-sama cetakan-cetakan prokaspase 8. Cetakan ini kemudian mengalami
autoaktivasi membentuk kaspase 8 yang selanjutnya mengaktifkan kaskade kaspase yang
berujung pada apoptosis keratinosit.1,2,7

Jalur lainnya yaitu melalui perforin/granzyme. Ketika sel target dikenali, sel T sitotoksik
mengeluarkan perforin yang akan membuat saluran 16 nm pada membran sel target. Kemudian
granzyme B melewati saluran ini dan mengaktifkan kaskade kaspase. Obat-obatan dapat
mengaktifkan sel T dengan bertindak sebagai hapten, prohapten atau dengan interkasi
farmakologi langsung antar obat, molekul MHC dan reseptor sel T.7
Beberapa penelitian baru menunjukkan bahwa alel Human Leukocyte Antigen (HLA-
B*1502) berhubungan kuat pada subyek etnik Cina/Asia dengan SSJ dan NET yang diinduksi
karbamazepin tetapi tidak dengan erupsi eksantematosa diinduksi karbamazepin atau sindroma
hipersensitivitas obat (juga dikenal sebagai reaksi obat dengan eosinofilia dan gejala sistemik
atau DRESS). Satu dari laporan pertama menunjukkan bahwa HLA-B*1502 dijumpai pada
100% pasien SSJ yang diinduksi karbamazepin tetapi hanya sebesar 3% dari pasien yang
mentoleransi karbamazepin dan pada 9% populasi umum. HLA-B*1502 terjadi pada 10-15%
individu dari Cina selatan, Thailand, Malaysia, Indonesia, Filipina, Taiwan, dan mempunyai
angka prevalensi 2-4% lebih tinggi di kelompok Asia selatan lainnya termasuk India.2,7

Gambar 1. Apoptosis keratinosit yang diinduksi sinaps imun dari interaksi obat

1.5 Diagnosis

Tanda dan Gejala


SSJ dan NET biasanya dimulai dalam 8 hari stelah pemberian obat (biasanya setelah 4-30
hari). Hanya beberapa kasus yang memberikan reaksi yang cepat dalam beberapa jam. Biasanya
5,6
terpapar oleh obat yang sama.
Spektrum efek samping kutaneus berat yang dapat menunjukkan varian proses penyakit yang
sama termasuk SSJ dan NET. Eritema multiforme (EM), EM mayor, dan EM mayor atipikal
adalah reaksi kutaneus yang biasanya tampak setelah infeksi daripada setelah pengobatan.
Kasus-kasus berat EM mayor dan EM mayor atipikal dapat dibingungkan dengan SSJ.
Kebanyakan peneliti mempercayai bahwa SSJ dan NET berada dalam satu spektrum keparahan
dan berbeda dengan penyakit-penyakit EM.2,3 Diferensiasi antara SSJ dan NET tergantung pada
riwayat lesi kulit dan luasnya area permukaan tubuh yang terlibat. Secara klinis setiap pola reaksi
tersebut ditandai dengan adanya trias erosi membran mukosa, lesi target, dan nekrosis epidermal
dengan pengelupasan kulit.2
1. Gejala Prodromal
Gejala non spesifik (prodromal) seperti demam, dengan temperature melebihi 39°C
( 102,2°F) sakit kepala, rhinitis, mialgia dapat terjadi 1-3 hari sebelum timbul kelainan pada
kulit. Timbul rasa nyeri menelan, konjungtiva terasa gatal dan panas disertai silau bila terkena
cahaya. Hal ini menandakan gejala awal keterlibatan mukosa..Sepertiga pasien dimulai dengan
adanya gejala non spesifik, sepertiganya dengan gejala terlibatnya mukosa dan sepertiga lainnya
dengan keluhan eksantema. Fase prodromal atauu demam, batuk, dan malaise dapat mendahului
perkembangan lesi kulit selama 2 minggu.1,3,8
2. Lesi Pada Kulit
Lesi kulit yang nyeri sering pertama kali tampak ada badan dan kemudian menyebar
cepat ke muka, leher, dan ekstremitas dengan keterlibatan maksimal setelah 4 hari. Erupsi
biasanya simetris, terdistribusi pada wajah, tubuh bagian atas dan proksimal ekstremitas, namun
bisa sampai seluruh badan. Lesi kulit awal dikarakteristikkan dengan makula eritematosa, merah
kehitaman bentuk ireguler yang bersatu secara progresif. Lesi target atipikal dengan warna gelap
di tengah sering terlihat. Lesi nekrotik yang berkonfluensi menimbulkan eritema yang meluas
dan difus. Epidermis nekrotik mudah terlepas karena trauma gesekan, meninggalkan daerah yang
merah dan erosi. Bula SSJ/NET kendur dan dapat dijumpai Nikolsky’s sign.2,3. Bila terkena
sentuhan lesi ini terasa sakit.
Pasien dapat diklasifikasikan berdasarkan total permukaan tubuh yang terkena, yaitu SSJ
apabila total permukaan tubuh yang terkena adalah < 10%. NET apabila total permukaan tubuh
yang terkena >30% dan SSJ/NET overlapping dengan NET bila mengenai total permukaan tubuh
yang terkena adalah antara 10-30%.1,2,3,5,8
3. Lesi Pada Mukosa
Keterlibatan membran mukosa (hampir selalu sedikitnya 2 tempat) diamati pada 90%
kasus dan mendahului atau diikuti erupsi pada kulit. Dimulai dengan eritema yang diikuti oleh
erosi mukosa bukal, mata, dan genital yang terasa nyeri. Biasanya diikuti dengan gangguan
pencernaan, fotofobia, sinekia konjungtiva dan nyeri saat BAK. Kavitas oral dan batas bibir lebih
banyak terkena dan gambaran erosi hemoragik yang nyeri tertutup grayish white
pseudomembrane dan krusta pada bibir.Stomatitis dan mucositis menyebabkan gangguan asupan
oral sehingga mengakibatkan malnutrisi dan dehidrasi 1,2,3,5,8
Pada 85% pasien terdapat lesi konjungtiva, umumnya bermanifestasi hyperemia, erosi,
edema pada konjungtiva, fotofobia dan lakrimasi. Dapat memungkinkan terjadi shedding of
eyelashes. Bentuk yang berat dapat menyebabkan ulserasi kornea, uveitis anterior, pan
opthalmitis dan konjungtivitis purulen. Sinekia antara eyelid dan konjungtiva sering terjadi.3,8
Keterlibatan membran mukosa dapat mengakibatkan komplikasi jangka pendek maupun jangka
panjang yang disebabkan oleh fibrosis dan striktur. Dalam sebuah analisis retrospektif, 60%
pasien SSJ/NET mengalam manifestasi okular selama stadium akut dari sindroma. Keterlibatan
kornea dapat mengakibatkan ulserasi kornea, perforasi, dan perubahan kornea sklerotik yang
permanen.2 Urogenital sering terlibat pada penderita SJS/NET terutama wanita. Uretritis terjadi
sekitar 2/3 pasien , hal ini dapat menyebabkan retensi urin serta erosi genital. Keterlibatan ini
ditandai dengan ulseratif vaginitis, bula vulva dan sinekia vagina. Dalam jangka panjang dapat
terjadi adhesi vagina dan stenosis, terhambat aliran kemih serta retensi urin, cystitis berulang,
hematocolpos. Adenosis vulvovaginal terkait adanya metaplasti serviks atau kelenjar epitel
endometrium pernah dilaporkan pada penderita SJS/NET.8

4. Gejala Ekstra Kutan


SSJ/NET dapat melibatkan organ visceral terutama komplikasi pada paru-paru dan
gastrointestinal. Komplikasi pada paru dijumpai 25% kasus yang ditandai dengan sesak nafas,
hipersekresi bronkus, hipoksia, hemaptoe dan edema paru. Keterlibatan bronkus pada SSJ/NET
tidak berhubungan dengan beratnya lesi pada kulit. Pada beberapa kasus yang dilaporkan,
apabila terjadi gagal nafas akut segera setelah munculnya kelainan kulit, maka prognosisnya
lebih jelek. Kelainan pada gastro dari SSJintestinal jarang ditemukan. Kelainan gastrointestinal
biasanya berupa nekrosis epithelial esofagus, diare, perdarahan gastrointestinal, melena, dan
perforasi kolon. Kelainan pada ginjal biasanya berupa proteinuria, mikroalbuminuria, hematuria
dan azotemia. Dapat pula ditemukan adanya akut tubular nekrosis, glomerulonefritis.3
1.6 Laboratorium

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik kecuali biopsi yang dapat menegakkan
diagnose SSJ. Pada pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan anemia, limfopenia dan
jumlah leukosit yang normal atau leukositosis nonspesifik, eosinophilia jarang dan neutropenia
dapat terjadi pada 1/3 pasien. Peningkatan leukositosis yang berat mengindikasikan adanya
infeksi bakteri yang lainnya. Kultur darah dan kulit sangat dianjurkan karena adanya insidensi
infeksi bakteri yang serius dan sepsis yang berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas.4,8
Evaluasi terhadap frekuensi pernafasan dan oksigenasi darah adalah langkah pertama untuk
dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Segala perubahan harus diperiksa secara
menyeluruh melalui pengukuran level gas darah arteri. Tingkat serum bikarbonat dibawah 20 µm
mengindikasikan prognosis yang buruk. Pada umumnya disebabkan oleh alkalosis pernafasan
yang terkait dengan keterlibatan spesifik bronkus serta sedikit pengaruh asidosis metabolik.3
Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium yang ditemukan pada SSJ/NET adalah gangguan
keseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia, hipoproteinemia, insufisiensi ginjal, azotemia
prerenal, leukositosis ringan, anemia, neutropenia, sedikit peningkatan enzim hepar dan amilase,
hiperglikemia.Serum urea nitrogen > 10mmol/L dan glukosa > 14mmol/L dianggap penanda
keparahan penyakit.3,8

1.7 Pemeriksaan Penunjang

Seluruh kasus yang disangkakan SSJ dan NET harus dikonfirmasi melalui pemeriksaan
biopsi kulit untuk histopatologi dan pemeriksaan immunofluoresence. Lesi awal menunjukkan
apoptosis keratinosit pada lapisan suprabasal. Lesi akhirnya akan memperlihatkan nekrosis
epidermal yang tebal dan pelepasan epidermis dari dermis. Infiltrasi sel mononuclear dengan
kepadatan sedang pada papilla dermis dapat terlihat, sebagian besar diwakili oleh limfosit dan
makrofag.8

1.8 Diagnosis Banding

Tidak adanya lesi pada membran mukosa atau hanya terbatas pada satu bagian harus selalu
meningkatkan kecurigaan terhadap diagnosis alternatif : staphylococcal scalded skin syndrome
pada bayi, purpura fulminans pada anak-anak dan dewasa muda, acute generalized,
exanthematous pusstulosis, thermal burns, phototoxicity,atau tekanan bula pada orang dewasa.
Penyakit bullous Linear immunoglobulin A dan pemphigus paraneoplastik muncul dengan hanya
sedikit perkembangan akut. Penemuan patologis dan hasil positif pada tes direct
immunofluorescence penting diagnosis ini.8

Tabel 3. Diagnosis banding SSJ dan NET

1.9 Penatalaksanaan

Manajemen pasien harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Hal penting yang harus
dilakukan mendiagnosis dengan cepat, perawatan khusus dan multidisiplin tim pada intensive
care unit (ICU) atau unit luka bakar. Perawatan suportif termasuk menjaga keseimbangan
hemodinamik dan mencegah komplikasi yang mengancam jiwa. Tujuan pada dasarnya sama
dengan tujuan luka bakar yang luas.1,2

Penatalaksanaan Umum
Adapun prinsip – prinsip utama perawatan suportif adalah sama seperti pada luka bakar .
Selain menghentikan pemberian obat penyebab, dilakukan perawatan luka, manajemen cairan
dan elektrolit, dukungan nutrisi, perawatan mata, manajemen suhu, kontrol nyeri dan
pemantauan pengobatan infeksi.9
1) Penghentian Obat Penyebab
Diagnosis dini dengan pengenalan dini dan penghentian segera dari segala obat-obatan
yang diduga menjadi penyebab sangat menentukan hasil akhir. Morbiditas dan mortalitas
meningkat jika obat-obatan yang menjadi penyebab terlambat dihentikan. Ignacio Garcia
dkk melakukan penelitian untuk menentukan apakah waktu penghentian obat
berhubungan dengan prognosis pasien NET atau SSJ. Hasil penelitian menunujukkan
bahwa angka kematian lebih rendah apabila obat penyebab dengan waktu paruh eliminasi
yang pendek dihentikan tidak lebih dari 1 hari ketika bula atau erosi muncul. Pasien yang
mengkonsumsi obat penyebab dengan waktu paruh yang panjang, memiliki resiko
kematian yang lebih tinggi.2
2) Menjaga Keseimbangan Cairan, Termoregulasi dan Nutrisi
SSJ/NET dihubungkan dengan hilangnya cairan yang signifikan dikarenakan erosi, yang
menyebabkan hipovolemia dan ketidakseimbangan elektrolit. Penggantian ulang cairan
harus dimulai secepat mungkin dan disesuaikan setiap harinya. Jumlah infus biasanya
kurang dari luka bakar pada tingkat keparahan yang sama, karena interstisial edema tidak
dijumpai. Aliran vena perifer lebih disukai jika dimungkinkan, karena bagian tempat
masuk aliran sentral sering melibatkan pelepasan epidermis dan mudah terinfeksi. Hal
lain yang perlu dijaga adalah temperatur lingkungan, sebaiknya dinaikkan hingga 28˚C
hingga 30˚C - 32°C untuk mencegah pengeluaran kalori yang berlebihan karena
kehilangan epidermis. Penggunaan pelembab udara saat tidur meningkatan rasa nyaman
pasien.3,9 Pasien SSJ dan NET mengalami status katabolik yang tinggi sehingga
memerlukan tambahan nutrisi. Kebutuhan energi dan protein berhubungan dengan luas
area tubuh yang terlibat. Terapi enteral lebih diutamakan daripada parenteral karena dapat
ditoleransi dengan lebih baik dan dapat memberikan pemasukan kalori lebih banyak.
Sedangkan terapi parenteral membutuhkan akses vena sentral dan meningkatkan resiko
sepsis. Dapat juga digunakan nasogastric tube apabila terdapat lesi mukosa mulut.3

3) Antibiotik
Antibiotik profilaksis bukan merupakan indikasi, malah mungkin dapat menyebabkan
resistensi organisme dan meningkatnya mortalitas. Pasien diberikan antibiotik apabila
terdapat tanda-tanda klinis infeksi. Tanda-tanda tersebut antara lain perubahan status
mental, mengigil, hipoterimia, menurunnya pengeluaran urin dan penurunan kondisi
klinis. Selain itu juga terdapat peningkatan bakteri pada kultur kulit. Kultur rutin dari
kulit, darah, urin, dan kanula intravascular sangat disarankan. Penyebab utama dari sepsis
pada pasien SSJ/NET adalah Staphylococus aureus dan Pseudomonas aeruginosa.
Spesies Staphylococus yang dikultur dari darah biasanya sama dengan yang dikultur dari
kulit.5, 9
4) Perawatan Luka
Pembersihan luka (debridement) nekrosis epidermis yang ekstensif dan agresif tidak
direkomendasikan pada kasus NE karena nekrosis permukaan bukanlah halangan untuk
reepitelisasi, dan justru dapat mempercepat proliferasi sel-sel stem berkenaan dengan
sitokin peradangan.3 Pengobatan topikal diberikan untuk mengurangi kehilangan cairan,
elektrolit, dan mencegah terjadinya infeksi. Debridement dilakukan dengan pemberian
analgetik dengan derivat morfin sebelumnya. Kulit dibersihkan dengan antiseptic yang
ringan dan solusio antibiotik seperti sabun povidone iodine, chlorhexidine, silver nitrate
untuk mengurangi pertumbuhan bakteri.3,9
5) Perawatan Mata dan Mulut
Komplikasi oftalmik adalah satu dari permasalahan tersering terhadap SSJ/NET. Sekitar
80% pasien yang dihospitalisasi mengalami komplikasi ocular akut yang sama pada SSJ
maupun NET dengan keterlibatan berat sebesar 25%. Gejala sisa kronis terjadi pada
sekitar 35% pasien, biasanya disebabkan oleh skar konjungtiva. Permasalahan residual
pada mata yang paling sering dilaporkan adalah fotosensitivitas kronis dan mata kering.
Namun pada beberapa pasien penyakit ocular kronis bermanifestasi sebagai kegagalan
permukaan mata, inflamasi episodik rekuren, skleritis, atau sikatriks konjungtiva
progresif yang menyerupai pemfigoid membran mukosa. Perawatan mata meliputi
pembersihan kelopak mata dan memberi pelumas setiap hari dengan obat tetes atau salep
mata.2,9 Mulut harus dibersihkan beberapa kali dalam sehari untuk menjaga kebersihan
rongga mulut, berulang-ulang kumur-kumur dengan antiseptik dan mengoleskan topikal
anestesi seperti xylocaine, lignocaine sebelum makan sehingga dapat mengurangi sakit
waktu menelan. Tindakan ini hanya direkomendasikan bila penderita tidak mengalami
pharyngealdysphagia. Hindari makanan yang terlalu panas atau dingin, makanan yang
asam dan kasar. Sebaiknya makanan yang halus dan basah sehingga tidak mengiritasi lesi
pada mulut. Kadang-kadang diberikan obat anti fungal seperti mikostatin, obat kumur-
kumur soda bikarbonat, hydrogen peroksida dengan konsentrasi ringan. Pemberian
topikal pada bibir seperti vaselin, lanolin.5
6) Perawatan vulvovaginal
Pencegahan pada vulvovaginal dengan memeriksakan ginekologi dini harus dilakukan
pada semua pasien wanita penderita SJS/NET. Tujuan dari pengobatan ini untuk
mencegah keterlibatan vagina yang membentuk adhesi dan aglutinasi labial serta
mencegah adenosis vagina ( bila dijumpai keterlibatan metaplastik serviks /
endometrium, epitel kelenjar divulva atau vagina ). Pencegahan dengan memberikan
kortikosteroid intravaginal diterapkan dua kali sehari pada pasien dengan lesi ulseratif
sampai resolusi fase akut penyakit. Pemberian kortikosteroid topical ini disertai dengan
krim antijamur topical untuk mencegah kandidiasis vagina.9
Penatalaksanaan Spesifik
1) Kortikosteroid Sistemik
Pemakaian kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Beberapa studi menemukan
bahwa pemberian kortikosteroid dapat mencegah perluasan penyakit bila diberikan pada
fase awal. Studi lain menyebutkan bahwa steroid tidak menghentikan perkembangan
penyakit dan bahkan dihubungkan dengan kenaikan mortalitas dan efek samping,
khususnya sepsis. Selanjutnya, banyak kasus telah dilaporkan yang telah diobati dengan
kortikosteroid, akan meningkatkan resiko SSJ/NET. Jadi, kortikosteroid sistemik tidak
dapat direkomendasikan sebagai pedoman utama pengobatan SSJ/NET. Kortikosteroid
dapat diberikan dalam 72 jam pertama setelah onset untuk mencegah penyebaran yang
lebih luas, dapat diberikan selama 3-5 hari diikuti penurunan secara bertahap (tapering
off). Dosis yang dapat diberikan adalah 30-40 mg sehari. Dapat digunakan deksametason
secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Tapering off hendaknya
cepat dilakukan karena pada umumnya penyebab SSJ/NET adalah eksogen (alergi). Pada
SSJ/NET, kortikosteroid berperan sebagai anti inflamasi, imunosupresif dan anti
apoptosis. Kortikosteroid juga mempunyai efek anti-apoptosis pada banyak jaringan
termasuk kulit dengan menghambat aktivitas Fas-FasL.5,9
2) Immunoglobulin Intravena (IVIG)
Anjuran pemakaian immunoglobulin intravena dosis tinggi didasarkan pada demonstrasi
bahwa kematian sel yang diperantarai Fas dapat dibatalkan oleh aktivitas anti-Fas yang
ada dalam sejumlah immunoglobulin manusia normal. Keuntungan telah ditegaskan oleh
beberapa studi dan laporan kasus tetapi disangkal oleh beberapa yang lainnya. 9 IVIG
mengandung antibodi imun yang mengganggu jalur apoptosis yang diperantarai oleh Fas-
L dan reseptor. Secara teoritis, yang paling baik pemberian IVIG pada awal (24-72 jam
setelah munculnya bulla pertama), sebelum Fas-L dan reseptor berikatan, walaupun
masih efektif jika bulla yang baru muncul. Pasien dengan defisiensi Ig A akan terjadi
anafilaksis akibat IVIG. Sangat baik dilakukan pemeriksaan tingkat IgA sebelum
pemberian namun menunggu hasilnya dapat menyebabkan keterlambatan pengobatan.
Hasil studi dari IVIG pada SSJ dan NET masih diperdebatkan, dan IVIG tidak disarankan
sebagai pengobatan rutin. Namun jika diputuskan untuk menggunakan IVIG dengan
penyakit berat diberikan dosis 1 gr/kgBB perhari selama 3 hari berturut – turut ) pada fase
awal penyakit yaitu dalam waktu 24-48 jam dari onset gejala. 9 Efek samping IVIG
termasuk ginjal , hematologi dan komplikasi trombotik. Resiko komplikasi yang serius
meningkat pada pasien usia tua yang menerima dosis tinggi IVIG serta pada penderita
gangguan ginjal dan jantung. Telah dilaporkan hemolysis berat dan nefropati pada pasien
SJS/NET yang diobati dengan IVIG.9
3) Siklosporin A
Siklosporin merupakan suatu agen imunosupresif yang penuh kekuatan dihubungkan
dengan efek biologik yang secara teoritis berguna dalam pengobatan SSJ/NET. Dalam
sebuah serial kasus retrospektif, 11 pasien NET diterapi dengan siklosporin A (3
mg/kg/hari), terapi siklosporin A menyebabkan reepitelisasi yang cepat dan angka
mortalitas yang rendah bila dibandingkan dengan siklofosfamid dan kortikosteroid (0%
vs 50%). Berbagai laporan kasus individual yang menggunakan dosis 3 hingga 5
mg/kg/hari secara intravena atau oral juga telah dipublikasikan memperlambat
perkembangan SJS/NET tanpa toksisitas yang signifikan. Durasi pengobatan bervariasi
mulai dari 8 hingga 24 hari, biasanya hingga pasien mengalami reepitelisasi. Efek
samping termasuk peningkatan ringan dari serum kreatinin, hipertensi dan infeksi.
Siklofosfamid sebagai bahan tunggal telah digunakan meskipun saat ini tidak digunakan
di kebanyakan sentra.2,9
4) Agen TNF-α
Dalam beberapa laporan kasus dengan pemberian infus tunggal 5 mg/kgbb TNF- α
menghentikan perluasan dan perkembangan dari SJS/NET dan memicu epitelisasi.
Pemberian etanercept 50 mg inj subkutan telah berhasil digunakan dalam sejumlah kecil
pasien.9
5) Plasmafaresis atau Hemodialisis
Dasar pemikiran untuk memakai plasmafaresis atau hemodialisis adalah mendorong
perpindahan obat yang salah, metabolitnya, atau mediator peradangan seperti sitokin.
Sebuah laporan kasus kecil melaporkan efikasi dan keamanannya dalam penatalaksanaan
SSJ/NET. Bagaimanapun, mempertimbangkan tidak adanya dasar dan adanya resiko
yang dihubungkan dengan pemasangan kateter intravaskular, penatalaksanaan ini tidak
direkomendasikan.9
Algoritma Penatalaksanaan10

Riwayat menggunakan obat secara


sistemik atau kontak pada kulit terbuka

Gejala Kelainan kulit: Kelainan Laboratorium:


Prodromal: Eritema, mukosa: mata, Darah lengkap,
vesikel, papul, orifisium, elektrolit,
1-14 hari erosi, mulut, albumin, fungsi
(demam, malaise, ekskoriasi, anogenital hati
sakit kepala) purpura,

BSA (Body Surface Area)

< 10% 10-30% >30%

SSJ SSJ/NET NET

SCORTEN

0 atau 1 >1

Ruang perawatan non intensif Ruang perawatan intensif


Identifikasi & Terapi aktif: Langkah suportif:
eliminasi obat Kulit: erosi ditutup dgn gauze &
penyebab: hentikan Kortikosteroid sistemik, hidrokolid dressing; Mata:
obat yg diduga sbg IVIG, antibiotik, lubrikan, steroid, antibiotik tetes
penyebab dan kontrol Keseimbangan mata, melepaskan adhesive
hemodinamik, protein & lidglobe secara perlahan; Sal.
Elektroli
infeksi t
Nafas: postural drainage;
Sal.cerna: tinggi kalori, protein,
IVFD
DAFTAR PUSTAKA

1 Harr Thomas, French LE. Toxic epidermal necrolysis and stevens Johnson syndrome.
Dalam: Orphanet Journal of rare disease 2010:1-11
2 Knowles S, Shear NH. Clinical risk management of stevens Johnson syndrome, toxic
epidermal necrolysis. Dalam: Spectrum; 2009;22:441-451
3 Valeyrie Allanore L, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Steven Johnsosns Syndrome
and Toxic Epidermal Necrolysis). Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS,
4 Tyagi S, Kumar S, Kumar A, Singla M, Singh A. Stevens Johnson Syndrome-A life
threatening disorder: A review. Dalam: J Chem Pharm Res 2010,2(2):618-26
5 Mahadi IDR. Sindroma Stevens Johnson. Dalam: Simposium dan Pelatihan “What’s new
in Dermatology”. Banda Aceh, 10 Juli 2010; 1-5
6 Torres MJ, Mayorga C, Blanca M. Nonimmediate Allergic Reactions Induced by Drugs:
Pathogenesis and Diagnostic Test. Dalam: J Investing Allergol Clind Immunol
2009;19:80-90
7 Chung WH, Hung SI. Genetic markers and danger signals in stevens Johnson syndrome
and toxic epidermal necrolysis. Dalam: Allergology International, 2010;59:325-32
8 Milton H. Nirken et all. Steven-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis :
Pathogenesis, Clinical manifestations and diagnosis, MD Employee of UpToDate Inc ,
Feb 2015
9 Whitney A High, MD et all. Steven Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis :
Management, Prognosis and Long term sequelae. MD Employee of UpToDate Inc,
March 2015
10 Perdoski. Kedaruratan Kulit. Dalam: Panduan pelayanan medis dokter spesialis kulit dan
kelamin, Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UI/RSCM:2011:263-7

Anda mungkin juga menyukai