Anda di halaman 1dari 36

• Steven Johnson Syndrome

LO 1 Defenisi
• Pertama kali ditemukan pada tahun 1922 oleh
dokter anak A.M. Stevens dan F.C. Johnson
setelah mendiagnosa seorang anak dengan
keterlibatan okular dan oral akibat reaksi obat.
Hampir seluruh obat-obatan dapat
menyebabkan SSJ, seperti ibuprofen. Pada
umumnya obat tersebut adalah obat anti
konvulsan, antibiotik (seperti sulfa, penicillin
dan sefalosporin), dan antiinflamasi.
LO 1 Defenisi
• Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal
toksis (NET) ialah reaksi mukokutan akut yang ditandai
dengan nekrosis dan pengelupasan epidermis luas, disertai
rasa sakit dan dapat menyebabkan kematian. Makula
eritem, terutama pada badan dan tungkai atas,
berkembang progresif menjadi lepuh flaksid dengan akibat
pengelupasan epidermis. Karena kesamaan dalam temuan
klinis dan histopatologis, etiologi obat, dan mekanisme
terjadinya penyakit, SSJ dan NET mewakili keparahan varian
dari proses identik yang berbeda hanya dalam persentasi
luas permukaan tubuh yang terlibat, maka kedua penyakit
dikelompokkan sebagai nekrolisis epidermal (NE).
SJS menurut SKDI
• 3B. Gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik
dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan
gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau
mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada
pasien. Lulusan dokter mampu menentukan
rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien
selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu
menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
LO 2LO 2
Etiologi
Infeksi Drug-induced Keganasan Idiopatik

• Virus : HSV, AIDS, • Antibiotik : penisilin, • Berbagai karsinoma dan • 25 – 50% masih
coxsakie, influenza, sulfa, sefalosporin, limfoma. idiopatik.
hepatitis, mumps, LGV, ciprofloxacin.
riketsia, variola, EBV
(anak). • Antikonvulsan :
oxcarbazepine, fenitoin,
• Bakteri : Strep. Beta CPZ, As.Valproat,
Grup A, difteria, barbiturat
typhoid, M.pneumoniae,
Brucellosis • COX-2 inhibitor :
valdecoxib
• Jamur : dermatofitosis
dan histoplasmosis • Allopurinol

• Protozoa : Malaria dan • Antivirus : Nevirapine,


trikomoniasis indinavir

• Antidepresan :
mirtazapine dan TNF-
alfa antagonis
(infliximab, etanercept
dan adalimumab)
LO 3 Epidemiologi
• Insiden SSJ dan NET jarang dijumpai. Keseluruhan insidensi SSJ dan NET
diperkirakan 2 sampai 7 kasus per 1 juta orang per tahun. SSJ dan NET dapat
terjadi pada semua usia tapi insidensinya bertambah di atas dekade ke-4 dan
sering terjadi pada wanita, menunjukkan rasio jenis kelamin 0,6.3,14
• Penyakit infeksius juga dapat berdampak pada insidensi terjadinya TEN, yaitu pada
pasien HIV dapat meningkat 100 kali lipat dibandingkan populasi umum, dengan
jumlah hampir 1 kasus/seratus orang/tahun pada populasi HIV positif. Perbedaan
regional pada peresepan obat, latar belakang genetik dari pasien (HLA, enzim
metabolism), koeksistensi kanker, atau bersama dengan radioterapi dapat
berdampak pada insidensi SSJ dan NET. Mortalitas penyakit tersebut 10% untuk
SJS, 30% untuk SJS / NET, dan lebih dari 30% untuk NET. Dalam analisa
kelangsungan hidup SJS / NET dengan angka mortalitas secara keseluruhan adalah
23% pada enam minggu, 28% pada tiga bulan dan 34% pada satu tahun
.Bertambahnya usia, komorbiditas yang signifikan, yang luasnya permukaan tubuh
yang terlibat berkaitan dengan prognosis yang buruk. Di Amerika Serikat, evaluasi
dari kematian menunjukkan resiko tujuh kali lebih tinggi pada orang kulit hitam
dibandingkan dengan kulit putih
LO 4 Klasifikasi
• Baik SSJ maupun NET ditandai dengan keterlibatan kulit dan
membran mukosa. Karena kemiripan penemuan klinis dan
histopatologi, etiologi obat, serta mekanisme, SJS dan NET ini
dianggap variasi dan kontinu penyakit yang dibedakan dengan
melihat tingkat keparahan serta persentase permukaan tubuh yang
terlibat lecet dan erosi kulit. Beberapa kepustakaan menggunakan
istilah eritema multiforme mayor untuk SSJ dan NET.

1. SJS menampilkan kondisi yang kurang parah, yang mana


pelepasan kulit < 10% dari permukaan tubuh
2. NET melibatkan perluasan > 30% dari luas permukaan tubuh
3. SJS/NET menampilkan pasien dengan perluasan kulit 10-30% dari
luas permukaan tubuh
LO 4 Klasifikasi
LO 5 Patofisiologis
• Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh
reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi
akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang
membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas
sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil
yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan
kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ).
Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama
kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi
radang (Djuanda, 2000: 147).
Fase sensitisasi
Hapten (protein tidak lengkap
masuk ke dalam kulit dan
berikatan dean protein karier
membentuk antigen yang
lengkap

Antigen ini ditangkap dan Memicu reaksi limfosit T yang


diproses lebih dahulu oleh belum tersensitisasi di kulit
makrofag dan sel sehingga sensitisasi terjadi
langerhans pada limfosit T
Patofisiologis Tipe 4
Patofisiologis tipe 3
Allopurinol,sulfonami
de (drug 50%),viral
Masuk disirkulasi
Obat berikatan oleh
APC

Terbentuk antigen-antibodi
kompleks
konjungtiva

Mengendam di darah karena


interaksi Fas-FasL

Di selaput orifisium Apoptosis keratinosit


(mulut)
C3/C5 menarik sel efektor mendekati target dan
sel efektor melekat pada Fc receptor

Aktivitas lisozim dan Fagosit memakan sel Ig G bertindak


produksi ROI yang diopsonin sebagai opsonin
Lo 6. Diagnosa
Anamnese :
• Keluhan utama
• Riwayat penyakit penyakit terdahulu
• Riwayat penyakit keluarga
• Riwayat penggunaan obat
• Riwayat ruam kulit
1. Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan meliputi:
• Keluhan utama
• Riwayat penyakit yang sedang dan pernah
diderita
• Riwayat penyakit keluarga
• Riwayat menggunakan obat secara sistemik
• Riwayat timbulnya erupsi kulit.
2. Pemeriksaan Fisik
• Diawali oleh penyakit peradangan akut yang disertai gejala prodormal
berupa:demam, malaise, batuk, sakit kepala, pilek dan nyeri tenggorok.
• Tiga gejala yang khas yaitu kelainan pada mulut berupa stomatitis,
kelainan pada mata berupa konjungtivitis, kelainan pada genital berupa
balanitis dan vulvovaginitis.
• Keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk dan kesadaran
penderita mulai dari sopor bahkan menurun sampai koma.
• Berhubungan dengan reaksi alergi terhadap obat tertentu secara sistemik,
imunologi, atau kombinasinya.
• Manifestasi oral biasanya timbul setelah erupsi kulit, tetapi adakalanya
timbul mendahului erupsi kulit.Pada lesi kulit terdapat makula, vesikel
atau bula, dapat disertai purpura yang tersebar luas pada tubuh.
• Terdapat pengelupasan epidermis seluas kurang dari 10% area permukaan
tubuh
3. Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis
atau eosinofilia. Bila disangka penyebabnya
infeksi dapat dilakukan kultur darah.
• Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel
mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah
merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis
sel epidermal dan spongiosis dan edema intrasel
di epidermis.
• Imunologi : Dijumpai deposit IgM dan C3 di
pembuluh darah dermal superficial serta terdapat
komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA
LO 7 tatalaksana
• PENATALAKSANAAN
• Manajemen pasien harus dikerjakan dengan
cepat dan tepat. Hal penting yang harus
dilakukan mendiagnosis dengan cepat, perawatan
khusus dan multidisiplin tim pada intensive care
unit (ICU) atau unit luka bakar. Perawatan suportif
termasuk menjaga keseimbangan hemodinamik
dan mencegah komplikasi yang mengancam jiwa.
Tujuan pada dasarnya sama dengan tujuan luka
bakar yang luas.1,2
Penatalaksanaan Umum

• Adapun prinsip – prinsip utama perawatan suportif adalah sama seperti


pada luka bakar . Selain menghentikan pemberian obat penyebab,
dilakukan perawatan luka, manajemen cairan dan elektrolit, dukungan
nutrisi, perawatan mata, manajemen suhu, kontrol nyeri dan pemantauan
pengobatan infeksi.15
• Penghentian Obat Penyebab
• Diagnosis dini dengan pengenalan dini dan penghentian segera dari segala
obat-obatan yang diduga menjadi penyebab sangat menentukan hasil
akhir. Morbiditas dan mortalitas meningkat jika obat-obatan yang menjadi
penyebab terlambat dihentikan. Ignacio Garcia dkk melakukan penelitian
untuk menentukan apakah waktu penghentian obat berhubungan dengan
prognosis pasien NET atau SSJ. Hasil penelitian menunujukkan bahwa
angka kematian lebih rendah apabila obat penyebab dengan waktu paruh
eliminasi yang pendek dihentikan tidak lebih dari 1 hari ketika bula atau
erosi muncul. Pasien yang mengkonsumsi obat penyebab dengan waktu
paruh yang panjang, memiliki resiko kematian yang lebih tinggi.2
Menjaga Keseimbangan Cairan,
Termoregulasi dan Nutrisi

• SSJ/NET dihubungkan dengan hilangnya cairan yang signifikan dikarenakan erosi,
yang menyebabkan hipovolemia dan ketidakseimbangan elektrolit. Penggantian
ulang cairan harus dimulai secepat mungkin dan disesuaikan setiap harinya.
Jumlah infus biasanya kurang dari luka bakar pada tingkat keparahan yang sama,
karena interstisial edema tidak dijumpai. Aliran vena perifer lebih disukai jika
dimungkinkan, karena bagian tempat masuk aliran sentral sering melibatkan
pelepasan epidermis dan mudah terinfeksi. Hal lain yang perlu dijaga adalah
temperatur lingkungan, sebaiknya dinaikkan hingga 28˚C hingga 30˚C - 32°C untuk
mencegah pengeluaran kalori yang berlebihan karena kehilangan epidermis.
Penggunaan pelembab udara saat tidur meningkatan rasa nyaman pasien.3,15
• Pasien SSJ dan NET mengalami status katabolik yang tinggi sehingga memerlukan
tambahan nutrisi. Kebutuhan energi dan protein berhubungan dengan luas area
tubuh yang terlibat. Terapi enteral lebih diutamakan daripada parenteral karena
dapat ditoleransi dengan lebih baik dan dapat memberikan pemasukan kalori lebih
banyak. Sedangkan terapi parenteral membutuhkan akses vena sentral dan
meningkatkan resiko sepsis. Dapat juga digunakan nasogastric tube apabila
terdapat lesi mukosa mulut.3
Antibiotik

• Antibiotik profilaksis bukan merupakan indikasi, malah


mungkin dapat menyebabkan resistensi organisme dan
meningkatnya mortalitas. Pasien diberikan antibiotik
apabila terdapat tanda-tanda klinis infeksi. Tanda-tanda
tersebut antara lain perubahan status mental, mengigil,
hipoterimia, menurunnya pengeluaran urin dan penurunan
kondisi klinis. Selain itu juga terdapat peningkatan bakteri
pada kultur kulit. Kultur rutin dari kulit, darah, urin, dan
kanula intravascular sangat disarankan. Penyebab utama
dari sepsis pada pasien SSJ/NET adalah Staphylococus
aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Spesies
Staphylococus yang dikultur dari darah biasanya sama
dengan yang dikultur dari kulit.5,10,15
Perawatan Luka

• Pembersihan luka (debridement) nekrosis epidermis yang


ekstensif dan agresif tidak direkomendasikan pada kasus NE
karena nekrosis permukaan bukanlah halangan untuk
reepitelisasi, dan justru dapat mempercepat proliferasi sel-
sel stem berkenaan dengan sitokin peradangan.3
• Pengobatan topikal diberikan untuk mengurangi kehilangan
cairan, elektrolit, dan mencegah terjadinya infeksi.
Debridement dilakukan dengan pemberian analgetik
dengan derivat morfin sebelumnya. Kulit dibersihkan
dengan antiseptic yang ringan dan solusio antibiotik seperti
sabun povidone iodine, chlorhexidine, silver nitrate untuk
mengurangi pertumbuhan bakteri.Perawatan Mata dan
Mulut
Perawatan vulvovaginal

• Pencegahan pada vulvovaginal dengan memeriksakan


ginekologi dini harus dilakukan pada semua pasien
wanita penderita SJS/NET. Tujuan dari pengobatan ini
untuk mencegah keterlibatan vagina yang membentuk
adhesi dan aglutinasi labial serta mencegah adenosis
vagina ( bila dijumpai keterlibatan metaplastik serviks /
endometrium, epitel kelenjar divulva atau vagina ).
Pencegahan dengan memberikan kortikosteroid
intravaginal diterapkan dua kali sehari pada pasien
dengan lesi ulseratif sampai resolusi fase akut penyakit.
Pemberian kortikosteroid topical ini disertai dengan
krim antijamur topical untuk mencegah kandidiasis
vagina.
Penatalaksanaan Spesifik

• Pemakaian kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Beberapa


studi menemukan bahwa pemberian kortikosteroid dapat
mencegah perluasan penyakit bila diberikan pada fase
awal.Kortikosteroid dapat diberikan dalam 72 jam pertama setelah
onset untuk mencegah penyebaran yang lebih luas, dapat diberikan
selama 3-5 hari diikuti penurunan secara bertahap (tapering off).
Dosis yang dapat diberikan adalah 30-40 mg sehari. Dapat
digunakan deksametason secara intravena dengan dosis permulaan
4-6 x 5 mg sehari. Tapering off hendaknya cepat dilakukan karena
pada umumnya penyebab SSJ/NET adalah eksogen (alergi). Pada
SSJ/NET, kortikosteroid berperan sebagai anti inflamasi,
imunosupresif dan anti apoptosis. Kortikosteroid juga mempunyai
efek anti-apoptosis pada banyak jaringan termasuk kulit dengan
menghambat
• aktivitas Fas-FasL.
Immunoglobulin Intravena (IVIG)

• IVIG mengandung antibodi imun yang mengganggu jalur apoptosis yang


diperantarai oleh FasL dan reseptor. Secara teoritis, yang paling baik
pemberian IVIG pada awal (24-72 jam setelah munculnya bulla pertama),
sebelum Fas-L dan reseptor berikatan, walaupun masih efektif jika bulla
yang baru muncul. Pasien dengan defisiensi Ig A akan terjadi anafilaksis
akibat IVIG. Sangat baik dilakukan pemeriksaan tingkat IgA sebelum
pemberian namun menunggu hasilnya dapat menyebabkan keterlambatan
pengobatan. Hasil studi dari IVIG pada SSJ dan NET masih diperdebatkan,
dan IVIG tidak disarankan sebagai pengobatan rutin. Namun jika
diputuskan untuk menggunakan IVIG dengan penyakit berat diberikan
dosis 1 gr/kgBB perhari selama 3 hari berturut – turut ) pada fase awal
penyakit yaitu dalam waktu 24-48 jam dari onset gejala.13,15 Efek samping
IVIG termasuk ginjal , hematologi dan komplikasi trombotik. Resiko
komplikasi yang serius meningkat pada pasien usia tua yang menerima
dosis tinggi IVIG serta pada penderita gangguan ginjal dan jantung. Telah
dilaporkan hemolysis berat dan nefropati pada pasien SJS/NET yang
diobati dengan IVIG.
Agen TNF-α

• Dalam beberapa laporan kasus dengan


pemberian infus tunggal 5 mg/kgbb TNF- α
menghentikan perluasan dan perkembangan
dari SJS/NET dan memicu epitelisasi.
Pemberian etanercept 50 mg inj subkutan
telah berhasil digunakan dalam sejumlah kecil
pasien.
Algoritma Penatalaksanaan
Riwayat menggunakan obat secara
sistemik atau kontak pada kulit terbuka

Gejala Kelainan kulit: Kelainan Laboratorium:


Prodromal: mukosa: mata,
Eritema, Darah lengkap,
vesikel, papul, orifisium, elektrolit,
1-14 hari mulut,
erosi, albumin, fungsi
anogenital
(demam, ekskoriasi,
hati
malaise, sakit purpura,
kepala)
epidermolisis

BSA (Body Surface Area)

< 10% 10-30% >30%

SSJ SSJ/NET NET

SCORTEN

0 atau 1 >1

Ruang perawatan non intensif Ruang perawatan intensif


Identifikasi & eliminasi Terapi aktif: Langkah suportif:
obat Kulit: erosi ditutup dgn gauze &
penyebab: hentikan Kortikosteroid sistemik, hidrokolid dressing; Mata: lubrikan,
obat yg diduga sbg steroid, antibiotik tetes mata,
IVIG, antibiotik,
melepaskan adhesive
penyebab dan kontrol keseimbangan
lidglobe secara perlahan; Sal. Nafas:
infeksi hemodinamik, protein & postural drainage;
elektrolit Sal.cerna: tinggi kalori, protein,
IVFD
LO 8 komplikasi
1. Selulitis
2. Sepsis
3. Oftalmologi:uveitis anterior, panophtalmitis,
kebutaan
4. Genitourinari: gagal ginjal
LO 9 prognosis
• Pada kasus sjs kematian dilihat dari tingkat
pengelupasan kulit. Ketika permukaan tubuh
mengelupas kurang dari 10% itu menandakan
presentase tingkat kematiannya adalah sekitar 1-5% .
Namun ketika pengelupasan kulit lebih dari 30% maka
tingkat kematiannya 25-35% bahkan 50%
• Bisa dilihat juga dari usia penderita, keganasan
penyakit tersebut, denyut jantung, kadar glukosa,
kadar BUN dan tingkat bikarbonat. Untuk usia biasa
lebih dari 40 tahun, denyut jantung lebih besar dari
120 , kadar glukosa lebih dari 14 mmol/L , kadar bun
lebih dari 10 mmol/l, tingkat bikarbonat kurang dari
20mmol/l
• Sebuah skor prognosis (SCORTEN) telah
disusun untuk SSJ dan NET, dan kegunaannya
sudah dibuktikan pada banyak tim.
SCORTEN
Daftar pustaka
• Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
• Mahadi IDR.Sindroma Stevens
Johnson.Dalam:simposium dan pelatihan “what’s
new in Dermatology”.Banda Aceh,10 juli 2010;1-5
• Knowles S, Shear Nh. Clinical risk management of
stevens johnson syndrome, toxic epidermal
necrolysis.Dalam:spectrum;2009;22:441-451
• Har thomas, French LE.Toxic epidermal nocrolysis
and stevens Johnson syndrome.Dalam:Orphanet
Journal of rare disease 2010:1-11

Anda mungkin juga menyukai