Anda di halaman 1dari 14

MANAJEMEN TERKINI

SINDROM STEVENS-JOHNSON/NEKROSIS
EPIDERMAL TOKSIK

Disusun oleh :
Bernio Yustindra Pratama
Abdul Gayum
Suswardana

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT TNI-AL DR. MINTOHARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
26 MARET – 28 APRIL 2018
MANAJEMEN TERKINI SINDROM STEVENS JOHNSON / NEKROSIS EPIDERMAL
TOKSIK
Bernio Yustindra Pratama, Suswardana, Abdul Gayum
1 Koasisten Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
2 SMF Dermatology and Venerology Navy Hospital dr. Mintohardjo
3 Head Departement of Dermatology and Venerology Navy Hospital dr. Mintohardjo

ABSTRAK
Sindrom Stevens-Johnson dan nekrosis epidermal toksik adalah salah satu kegawatdaruratan
di bidang penyakit kulit dan kelamin. Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan
gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai trias kelainan pada kulit berupa eritema,
vesikel/bula, dan dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium, serta mata.
Sindrom ini dapat bermanifestasi mulai dari gejala ringan hingga gejala berat yang dapat mengancam
nyawa. Sebagian besar etiologinya disebabkan karena efek samping obat. Setelah diagnosis ditegakan
dengan pemeriksaan fisik dan penunjang, klasifikasi dan derajat SCORTEN harus segera dinilai
untuk menentukan prognosis penyakit ini. Penatalaksanaan meliputi terapi kausatif untuk
menghilangkan reaksi hipersensitivitas, terapi suportif untuk life saving dari komplikasi akut
penyakit ini diantaranya dengan pemberian cairan elektrolit, kortikosteroid, dan immunoglobulin
intravena.
Kata kunci : Sindrom Stevens-Johnson, Nekrosis epidermal toksik, SCORTEN, kortikosteroid

PENDAHULUAN Sindrom Stevens-Johnson didefinisikan


Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan sebagai reaksi kumpulan gejala sistemik
nekrosis epidermal toksik (NET) merupakan dengan karakteristik yang mengenai kulit,
suatu kegawatdaruratan kulit yang ditandai mata dan selaput lendir orifisium. Sindrom
dengan adanya nekrosis dan pengelupasan Stevens-Johnson merupakan bentuk berat dari
epidermis yang luas dan dapat menyebabkan eritema multiforme, sehingga SSJ dikenal juga
kematian. Keduanya diawali dengan makula dengan sebutan eritema multiforme mayor.
eritema terutama di batang tubuh dan SSJ dan NET adalah varian dari penyakit yang
ekstremitas superior, kemudian meluas dengan sama dan dibedakan berdasarkan persentase
cepat menjadi bula kendur diikuti luas permukaan tubuh yang terlibat. Kedua
pengelupasan epidermis.(1) penyakit ini dikelompokkan sebagai nekrolisis
epidermal (NE) yang kemudian

1
diklasifikasikan dalam 3 kelompok disebabkan oleh infeksi, imunisasi, keganasan,
berdasarkan luas permukaan kulit tubuh yang paparan bahan kimia dari lingkungan, dan
terlibat, yaitu: 1). Sindrom Stevens-Johnson radiasi. (3)
(SSJ) dengan lesi epidermolisis pada <10% EPIDEMIOLOGI
luas seluruh permukaan kulit tubuh; 2). Angka kejadian SSJ di dunia diperkirakan
SSJ/NET overlap lesi mengenai 10–30 %, 3). sebanyak 1,2–6 kasus/juta penduduk/tahun
nekrosis epidermal toksik (NET) ditandai dan NET 0,4–1,2 kasus/ juta penduduk/tahun.
dengan adanya epidermolisis lebih dari 30%. SSJ dan NET dapat terjadi pada berbagai usia,
Meskipun tatalaksana dari Sindroma Stevens tetapi lebih sering terjadi pada usia di atas 40
Johnson sudah diketahui, akan tetapi masih tahun. Valeyrie dan Roujeau (2008)
banyak terapi lain yang masih melaporkan bahwa perempuan lebih banyak
dipertimbangkan dan diteliti efektivitasnya. daripada laki-laki dengan perbandingan 5:3.1
Oleh karena itu diperlukan update terutama Angka kematian lebih dari 30% pada kasus
dari sisi tatalaksana penyakit ini.(1,2) NET dan pada SSJ 5–12%. Terdapat 5000
kasus rawat inap di Amerika Serikat dengan
ETIOLOGI diagnosis utama eritema multiforme, sindrom
Obat merupakan penyebab tersering SSJ Stevens-Johnson dan NET, dan 35% dari
dan NET, 77-95% penyebab SJS dan NET kejadian ini berhubungan dengan penggunaan
disebabkan oleh obat. Salah satu yang obat.(3,4,5)
tersering adalah alopurinol. Terdapat beberapa
obat lain yang telah dilaporkan, di antaranya PATOGENESIS
trimetroprimsulfametoksazol, antibiotik Patogenesis SSJ sampai saat ini masih
golongan sulfonamid, aminopenisilin, belum jelas, beberapa di antaranya adalah
sefalosporin, serta quinolon. Pada penggunaan reaksi alergi tipe III dan IV. Reaksi alergi tipe
yang lama fenobarbital, karbamazepin, dan III terjadi akibat terbentuknya kompleks
antiinflamasi non-steroid (NSAID) juga dapat antigen-antibodi yang membentuk
merangsang terjadinya NET. Dengan mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi
meningkatnya jumlah pasien human sistem komplemen. Akibatnya terjadi
immunodeficiency virus (HIV) dan acquired akumulasi neutrofil yang kemudian
immunodeficiency syndrome (AIDS) yang melepaskan lisozim dan menyebabkan
membutuhkan penggunaan obat anti-retroviral kerusakan jaringan pada organ sasaran (target
(ARV), nevirapin merupakan obat tersering organ). Reaksi alergi tipe IV terjadi akibat
penyebab SJS dan TEN pada penderita HIV limfosit T yang tersensitisasi oleh suatu
dan AIDS. Selain obat, SSJ dan NET dapat antigen, berkontak kembali dengan antigen
2
yang sama kemudian limfokin dilepaskan Teori lain adalah karena adanya cell-
sehingga terjadi reaksi radang. mediated cytotoxic reaction terhadap
• Reaksi Hipersensitivitas Tipe III keratinosit, yang mengakibatkan apoptosis
(Reaksi Kompleks Imun) masif melalui perforin-granzyme B atau Fas–
Antibodi yang berikatan dengan FasL. Selanjutnya, ada teori reaksi idiosinkrasi
antigen akan membentuk kompleks dan immune complex mediated
antigen antibodi. Kompleks antigen hypersensitivity. Teori lainnya adalah slow
antibodi ini mengendap pada salah satu acetylation (gangguan metabolisme obat)
tempat dalam jaringan tubuh. Akibat sehingga terjadi peningkatan produksi
endapan kompleks antigen-antibodi metabolit reaktif yang bersifat toksik atau
dalam jaringan atau pembuluh darah dapat memicu respons imun sekunder.
maka kompleks tersebut mengaktifkan Hipotesis terakhir adalah teori kerentanan
komplemen yang kemudian melepas genetik, yang mengatakan adanya asosiasi
berbagai mediator terutama kuat antara HLA-B75 (alel B*1502) dari
macrophage chemotactic factor. HLA-B dan SSJ akibat karbamazepin dan
Makrofag yang dikerahkan ke tempat fenitoin, dan antara HLA-B58 (alel B*5801)
tersebut akan merusak jaringan di dan SSJ akibat alopurinol pada orang Asia.
sekitarnya dan mengakibatkan reaksi
radang. MANIFESTASI KLINIS
• Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV Gejala-gejala sistemik seperti demam,
(Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat) malaise, nyeri seluruh tubuh seringkali
Reaksi ini melibatkan limfosit. merupakan gejala yang pertama muncul dan
Limfosit T yang tersensitasi dapat memburuk bahkan sesudah terjadi erupsi
mengadakan reaksi dengan antigen. lesi kulit. Lesi kulit yang menjadi karakteristik
Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat dari Sindroma Stevens Johnsons adalah
karena baru timbul 12-48 jam setelah eritema pda kulit disertai pembentukan vesikel
terpajan antigen. Dalam hal ini tidak atau bula dengan berbagai ukuran dan bentuk.
ada peran antibodi. Akibat sensitisasi Lesi kulit berupa erosi hemoragik dapat
tersebut sel Th1 melepaskan limfokin ditemukan pada mukosa-mukosa seperti
antara lain MIF, MAF. Makrofag yang stomatitis, balanitis, kolpitis, konjungtivitis
diaktifkan melepas berbagai mediator dan blefaritis.(3,4)
(sitokin, enzim, dsb) sehingga dapat
menyebabkan kerusakan jaringan. GAMBARAN HISTOPATOLOGI

3
Sindroma Stevens Johnson merupakan yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang
kelompok dari eritema multiform karena menyeluruh. Kelainan berupa :
gambaran histopatologinya yang khas. • Infiltrat sel mononuklear di sekitar
Gambaran itu adalah nekrosis dari keratinosit pembuluh darah dermis superfisial
atau seluruh lapisan epidermis sampai lapisan • Edema dan ekstravasasi sel darah
basal. Selain nekrosis, juga terdapat merah di dermis papilar
vakuolisasi dari membran basal yang • Degenerasi hidropik lapisan basalis
menyebabkan terbentuknya bula. Dapat sampai terbentuk vesikel subepidermal
ditemukan juga infiltrat limfohistiositik pada • Nekrosis sel epidermal di adneksa
dermis lapisan superfisial. • Spongiosis dan edema intrasel di
epidermis
DIAGNOSIS Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi imunofluoresensi untuk membantu
yang sesuai dengan trias kelainan kulit, membedakan sindrom Steven Johnson dengan
mukosa, mata, serta hubungannya dengan penyakit kulit dengan lepuh subepidermal
faktor penyebab yang secara klinis terdapat lainnya. Menentukan fungsi ginjal dan
lesi berbentuk target, iris atau mata sapi mengevaluasi adanya darah dalam urin.
disertai gejala prodormal. Selain itu didukung Pemeriksaan elektrolit di lakukan untuk
pemeriksaan laboratorium antara lain mengetahui apakah terjadi gangguan
pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan keseimbangan asam basa. Dan fototoraks
imunologik, biakan kuman serta uji resistensi untuk mengetahui adanya komplikasi
dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan pneumonitis.(2,4)
histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat
dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, DIAGNOSIS BANDING
leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi • Eritema multiforme mayor
bila meninggi penyebabnya adalah infeksi Terdistribusi secara akral, peningkatan
sekunder, terdapat peningkatan eosinofil jika lesi target tipikal atau atipikal, lebih
penyebabnya alergi. Kadar IgG dan IgM dapat sering disebabkan karena infeksi,
meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit diantaranya herpes dan mikoplasma.
menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks Keterlibatan mukosa lebih ringan
imun yang beredar. Biopsi kulit direncanakan dengan < 2 daerah terkena. Gejala
bila lesi klasik tak ada. Gambaran sistemik lebih ringan atau sama sekali
histopatologinya sesuai dengan eritema tidak ada. Kekambuhan lebih sering.
multiforme, bervariasi dari perubahan dermal
4
• Staphylococcal scalded skin syndrome deposit linear IgA sepanjang
Terdapat pada bayi dan anak-anak, membrane basalis.
tidak menyerang mukosa dan terdapat • Penyakit graft versus host
pengelupasan epidermal superfisial. Terdapat pada pasien transplantasi
• Pemfigus paraneoplastik sumsum tulang dan sel stem
Adanya erupsi pleomorfik dengan hematopoetik alogenik. Memiliki
vesikel lembek, erosi kulit, lesi mirip kemiripan gejala dengan SJS namun
eritema multiforme dengan dapat dibedakan dari penyebaran lesi
keterlibatan mukosa berat pada pasien dari akral ke proksimal, distribusi
dengan keganasan. folikulosentris, diare, dan ikterik.
• Pemfigus vulgaris • Pustulosis eksantematosa akut
Terdapat lebih sering pada usia generalisata
pertengahan dengan vesikel lembek, Biasanya disebabkan aminopenisilin,
erosi kulit di kepala, badan, lipatan dan secara khas tampak pustul steril dengan
mukosa. dasar eritem dan tanpa lesi mukosa
• Pemfigoid bulosa erosif.
Terdapat lebih sering pada lansia • Sindrom DRESS
dengan lesi urtikaria prodromal dan Terdapat gejala ruam seperti morbili
penyebaran vesikel solid. Keterlibatan dan lesi bula menyerupai SJS tetapi
mukosa jarang. biasanya muncul bersamaan dengan
• Generalized bullous fixed drug edema wajah, pengerasan bibir ringan,
eruption tanpa pelepasan lapisan epidermal dan
Adanya demarkasi kulit yang tampak mukosa yang jelas.
jelas berupa plakat atau makula
bulat/oval eritematosa agak kehitaman TATALAKSANA
yang dapat tebentuk bula di tengah lesi. Saat pasien yang dicurigai menderita
• Drug-induced linear IgA bullous sindroma Steven Johnson datang, hal pertama
dermatosis yang harus dilakukan adalah menghentikan
Biasanya disebabkan vankomisin. semua obat-obatan yang sedang dikonsumsi
Terdapat bula yang tersusun anuler, oleh pasien. Lakukan penilaian mengenai
keterlibatan mukosa jarang, dan pada seberapa luas erosi epidermis yang terjadi pada
imunufluorens langsung menunjukkan pasien untuk menentukan diagnosis, terapi
yang tepat dan juga prognosis Kemudian

5
segera lakukan penilaian prognostik dengan deteriorasi umum dalam bentuk hipotermia,
menggunakan tujuh kriteria dari SCORTEN. demam atau menggigil setelah hari ke-4,
Sistem penilaian SCORTEN dapat penurunan tingkat kesadaran, status mental
memprediksi persentase kemungkinan yang membingungkan, kecemasan /
terjadinya kematian, tapi tidak bisa kegembiraan, penurunan output urin,
memprediksi parameter prognosis lainnya. penurunan status pernapasan / kontrol
Kematian pada sindroma Stevens Johnson diabetes, kegagalan pengosongan lambung dan
paling sering disebabkan oleh sepsis akibat perubahan mendadak pada kondisi tersebut.
kolonisasi kuman S. aureus pada lapisan Staphylococcus aureus adalah bakteri utama
dermis, oleh karena itu sangat penting yang muncul selama beberapa hari pertama;
dilakukan penanganan yang tepat pada kulit bakteri Gram negatif muncul kemudian. Harus
penderita. Prinsip dasar penanganan penderita diingat bahwa steroid sistemik dapat menutupi
sindroma Stevens Johnson tetap sama pada tanda-tanda sepsis. Antibiotik yang dapat
semua setting klinis. (i) Jaga kebersihan dari digunakan berupa klindamisin intravena 8-16
tenaga kesehatan yang menangani pasien, mg/kg/hari IV, diberikan 2 kali/hari. Selain itu
usahakan dalam keadaan steril. (ii) Tingkatkan obat lain juga dapat digunakan misalnya
kehati-hatian dalam menyentuh atau siprofloksasin 2 x 400 mg IV dan seftriakson 2
melakukan manipulasi terhadap kulit pasien, g/hari IV.(6)
usahakan tidak terjadi perluasan dari luas Antibiotik profilaksis dapat
pemisahan epidermis. (iii) Hindari dipertimbangkan untuk keterlibatan kulit luas
penggunaan alat-alat yang dapat merusak dan kecurigaan klinis sekecil apapun dari
lapisan kulit seperti cuff spyghmomanometer, sepsis. Cakupan empiris harus mencakup satu
lead EKG yang lengket atau gelang antibiotik yang masing-masing memiliki
identifikasi. (iv) Lakukan swab untuk aktivitas anti-staphylococcal (amoxicillin +
mengambil sampel kultur jamur atau bakteri clavulanic acid / tetracyclines / vancomycin /
pada tempat terjadinya lesi atau krusta. (v) clindamycin / teicoplanin / linezolid), aktivitas
Berikan antibiotik sistemik bila didapati tanda- Gram-negatif (amikacin / piperacillin +
tanda infeksi sistemik. tazobactam / cefoperazone + sulbactam /
imipenem) dan aktivitas anaerobik
PEMBERIAN ANTIBIOTIK (metronidazole/ tinidazole). Jika ada sedikit
Antibiotik dapat dimulai baik ketika bukti kecurigaan bahwa SJS / TEN disebabkan oleh
langsung dari sepsis ada, yaitu ketika kultur antibiotik tertentu, penting untuk menghindari
darah positif atau segera setelah tanda-tanda kelompok antibiotik tersebut.(6,7)
tidak langsung dari sepsis terjadi, yaitu
6
Selama 24 jam pertama, setengah dari
KESEIMBANGAN CAIRAN DAN cairan yang dihitung diberikan dalam 8 jam
ELEKTROLIT pertama dan setengah lainnya dalam 16 jam
Pasien dapat kehilangan sejumlah besar berikutnya. Kebutuhan cairan di luar 24 jam
cairan sebagai cairan blister dan kehilangan pertama harus dikelola sesuai dengan kondisi
cairan yang tidak terpikirkan dan harus pasien. Pemetaan input dan output berguna
diasumsikan sebagai hipovolemik. Pasien untuk memandu administrasi cairan. Cairan
dewasa yang mengalami inolvement 50% dari perawatan dititrasi sehingga mempertahankan
luas permukaan tubuh kehilangan sekitar 3–4 output urin antara 1000 dan 1500 ml. Harus
L cairan setiap hari. Ini biasanya disertai dicatat bahwa overcorrection hipovolemia
dengan hilangnya elektrolit seperti natrium, juga dapat menyebabkan edema paru.
kalium dan klorida dalam cairan blister. Transfusi darah mungkin berguna dalam
Hypophosphatemia adalah komplikasi umum beberapa kasus dan mungkin bekerja dengan
pada pasien-pasien ini yang memperparah pengenceran metabolit obat, sitokin, sel T
resistensi insulin dan mengubah status sitotoksik dan autoantibodi, menyediakan
neurologis dan fungsi diafragma. Jika imunoglobulin dan nutrisi, selain memperbaiki
penggantian tidak diberikan segera, pasien anemia dan hipovolemia.
dapat mengalami dehidrasi yang dapat Penanganan khusus pada kulit penderita
berdampak buruk pada hasil. Urin menjadi sindroma Stevens Johnson adalah sebagai
hiperosmolar dan output urin menurun. berikut (i) Lakukan irigasi pada daerah lesi
Perlahan, konsentrasi serum urea dan kreatinin kulit dengan menggunakan aquades steril atau
meningkat dan kegagalan pra-ginjal bisa larutan NaCl fisiologis secara reguler. (ii)
terjadi.(7) Aplikasikan pelembab contohnya yang
Kebutuhan cairan awal pasien adalah mengandung 50% parafin dan 50% parafin
dua pertiga hingga tiga perempat dari pasien cair pada seluruh epidermis yang mengalami
luka bakar dengan tingkat keterlibatan kulit lesi. (iii) Berikan antibiotik topikal pada
yang sama dan harus dipenuhi oleh tempat yang mengalami lesi, antibiotik yang
makromolekul (Ringer laktat) atau larutan digunakan biasanya yang mengandung silver
garam. Kebutuhan cairan pasien luka bakar seperti nitrat perak atau chlorhexidine untuk
dihitung dengan rumus Parkland, sebagai mencegah kehilangan panas dan cairan. (iv)
berikut: Epidermis yang terpisah harus tetap dibiarkan
Kebutuhan cairan = 4 ml / kg berat badan × pada tempatnya sebagai dressing alami, jika
persentase luas permukaan tubuh yang terlibat. ada bula lakukan dekompresi dengan menusuk
bula menggunakan jarum steril sampai cairan
7
di dalam bula tersebut habis, agar epidermis diikuti oleh prednisolon oral pada 0,8-1
dapat menutupi lapisan dermis dengan mg/kg/hari pada dosis tapering pada delapan
sempurna. (v) aplikasikan dressing yang tidak pasien tanpa kematian. Kardaun dan Jonkman
lengket, biasanya terdiri dari silikon yang baru-baru ini mengusulkan terapi pulsa
halus. Observasi harus dilakukan secara ketat deksametason (1,5 mg/kg intravena selama 30-
terhadap perburukan klinis, perluasan 60 menit pada 3 hari berturut-turut) untuk
kerusakan epidermis, pus subepidermal, tanda- menghindari penggunaan jangka panjang
tanda sepsis. Bila perburukan-perburukan kortikosteroid sistemik. Para penulis
tersebut terjadi, pertimbangkan untuk menggambarkan efek pleomorfik
melakukan tindakan debridement secara dexamethasone pada sistem kekebalan
bedah. termasuk penghambatan apoptosis epidermal
oleh beberapa mekanisme. Mekanisme ini
PEMBERIAN KORTIKOSTEROID termasuk penekanan berbagai sitokin, seperti
Pemberian dosis, durasi dan rute tumor necrosis factor-α, interferon-γ,
pemberian yang paling efektif pada pasien SJS interlekuin-6 dan interlekuin-10;
/ TEN masih terbuka untuk diperdebatkan. penghambatan apoptosis interferon-γ yang
Tappering kortikosteroid selama 7-10 hari diinduksi dan penghambatan apoptosis
sampai 4 minggu juga telah dilaporkan. keratinosit Fas-mediated. Rai dan Srinivas
Kortikosteroid dosis tinggi sebagai terapi telah berhasil menggunakan dosis
konvensional atau denyut nadi atau kombinasi deksametason deksametason bersama dengan
keduanya telah dinjurkan. Das et al. siklosporin pada pasien mereka.
memberikan deksametason dengan dosis 1 Berdasarkan rekomendasi Indian
mg/kgBB untuk 18 pasien dengan nekrolisis Association of Dermatologists, Venereologists
epidermal toksik yang telah mengalami erupsi and Leprologists (IADVL) penggunaan
selama 7 hari atau kurang. Kortikosteroid di- kortikosteroid sistemik (sebaiknya parenteral)
tappering off dan dihentikan dalam waktu 5 direkomendasikan sebagai pengobatan pilihan
hari setelah penurunan eritema dan tidak ada penyakit-modifikasi (tingkat rekomendasi B).
kematian pada kelompok. Dosis pulsasi metil Prednisolon, dexamethasone atau
prednisolon intravena (3 infus harian berturut- methylprednisolone harus diberikan lebih awal
turut 20-30 mg / kg hingga maksimal 500 mg (sebaiknya dalam 72 jam) dalam dosis tinggi
diberikan lebih dari 2-3 jam) juga telah (1-2 mg / kg / hari prednisolon atau 8–16 mg /
berhasil diberikan. Selain itu, Hirahara dkk. hari dexamethasone intravena atau
memberikan infus methylprednisolone pada intramuskular). Penilaian harian aktivitas
1000 mg / hari selama 3 hari berturut-turut, penyakit (seperti munculnya lesi baru, eritema
8
peri-lesional dan nyeri kulit) harus dilakukan Dalam sebuah penelitian di India, 11
dan steroid harus dipertahankan pada dosis pasien yang diobati dengan siklosporin dengan
yang sama sampai aktivitas penyakit berhenti. dosis 3 mg / kg / hari selama 7 hari (dan
Setelah itu, dosis harus dikurangi dengan cepat diturunkan selama 7 hari) secara retrospektif
sehingga total durasi terapi steroid adalah dibandingkan dengan sembilan pasien yang
sekitar 7-10 hari. Steroid juga dapat diberikan diobati dengan kortikosteroid. Siklosporin
dalam bentuk pulsa menggunakan infus secara signifikan mengurangi waktu untuk
intravena lambat methylprednisolone (500- penangkapan perkembangan SJS / TEN, total
1000 mg / hari) atau deksametason (100 mg) waktu re-epitelisasi dan rawat inap di rumah
selama 3 hari. sakit dibandingkan dengan kortikosteroid.
Siklosporin dalam kombinasi dengan dosis
SIKLOSPORIN deksametason intrakarmakologis telah berhasil
Dalam beberapa tahun terakhir, digunakan dalam pengobatan SJS / TEN.
siklosporin telah mendapatkan popularitas Dalam laporan lain India, siklosporin
dalam pengobatan SJS / TEN. Penggunaan digunakan untuk berhasil mengobati nekrolisis
siklosporin dalam SJS / TEN disarankan epidermal toksik yang disebabkan oleh
berdasarkan peran T-limfosit dalam siklofosfamid.
patogenesis nekrolisis epidermal toksik dan Dalam penelitian komparatif baru-baru ini
kesamaan klinis dan histologis mencolok dari antara siklosporin dan imunoglobulin
penyakit ini pada beberapa kasus graft akut intravena pada SJS / TEN, tingkat mortalitas
versus penyakit inang. Siklosporin (CsA) yang diharapkan berdasarkan SCORTEN pada
menghambat aktivasi CD4 + dan CD8 + 17 pasien yang diobati dengan siklosporin
(sitotoksik) T-sel di epidermis dengan adalah 14,1%; Namun, tingkat kematian yang
menekan produksi interlekuin-2 dari sel T diamati adalah 5,9%. [67] Angka serupa untuk
helper yang diaktifkan. Banyak laporan kasus, 37 pasien yang diobati dengan imunoglobulin
kasus serial, uji coba terbuka dan penelitian intravena adalah 20,8% (tingkat kematian
retrospektif telah mendokumentasikan yang diharapkan) dan 29,7% (tingkat kematian
efektivitas siklosporin pada SJS / TEN. yang diamati). Perhitungan rasio mortalitas
Bahkan, beberapa dari laporan ini standar juga menunjukkan manfaat
menunjukkan keunggulan dari siklosporin atas kelangsungan hidup untuk penggunaan
terapi lain termasuk imunoglobulin intravena, siklosporin.
kortikosteroid, siklofosfamid dan perawatan Siklosporin (tingkat rekomendasi B) dapat
suportif saja. digunakan sendiri (3-5 mg / kg / hari selama
10-14 hari), terutama pada pasien dengan
9
kontraindikasi relatif terhadap penggunaan imunoglobulin intravena tidak mengalami
kortikosteroid (misalnya, pasien dengan peningkatan mortalitas dibandingkan dengan
tuberkulosis dan hiperglikemia berat). kelompok yang menerima terapi suportif saja.
Jika kedua steroid dan siklosporin digunakan, Ada beberapa penelitian di India tentang
steroid dapat diturunkan lebih cepat (2-3 hari) imunoglobulin intravena, digunakan sendiri
dan siklosporin (3-5 mg / kg / hari) dapat atau dalam kombinasi, di SJS / TEN. Dua dari
dilanjutkan selama 7-10 hari. studi ini menggunakan dosis imunoglobulin
Efek samping yang paling umum yang intravena yang sangat rendah (dosis kumulatif
terkait dengan pengobatan siklosporin jangka <0,5 g / kg) dan memiliki hasil yang
panjang seperti hipertensi dan toksisitas ginjal menguntungkan. Ini mungkin merupakan
tidak terlihat pada pengobatan dengan durasi pilihan yang lebih layak di negara miskin
pengobatan yang singkat. Namun, komplikasi sumber daya seperti negara kita di mana biaya
septik dan leukopenia berat (<1000 sel / mm terapi intravena imunoglobulin yang sangat
[3]) harus diwaspadai. mahal merupakan kendala penting. Telah
disarankan bahwa penambahan kortikosteroid
IMUNOGLOBULIN INTRAVENA ke imunoglobulin intravena dosis rendah dapat
Imunomodulator yang digunakan meningkatkan kemanjuran dengan efek
adalah Intravenous Imunoglobulin (IVIG). sinergis yang mungkin.
Dipertimbangkannya IVIG sebagai terapi Sebagaimana diuraikan di atas, ada
dimulai saat ditemukan adanya antibodi anti kurangnya konsistensi yang signifikan dalam
Fas pada tubuh manusia. IVIG sudah banyak kemanjuran imunoglobulin intravena dalam
dicoba terutama pada nekrosis epidermal berbagai laporan. Setiap kesimpulan yang
toksik.6 Dosis yang pernah dilakukan uji coba menentukan dipersulit oleh kurangnya
dan berhasil pada salah satu kasus adalah 1 homogenitas di banyak bidang klinis utama
gram/kgBB selama 5 hari akan tetapi belum seperti keparahan penyakit, komorbiditas
diketahui secara pasti apakah keberhasilan pasien, dosis, durasi dan waktu pemberian
tersebut disebabkan karena terapi imunoglobulin intravena. Ketidakkonsistenan
kortikosteroid atau IVIG. Kekurangan dari juga dapat dikaitkan dengan variabilitas
IVIG adalah harganya yg mahal dan efek potensial untuk menghambat kematian sel
samping yang cukup banyak. yang diperantarai Fas di antara kelompok
Penelitian terbesar hingga saat ini imunoglobulin intravena. Pengetahuan tentang
(EuroSCAR) pada pengobatan SJS / TEN kemungkinan efek / komplikasi dari terapi
menemukan bahwa 75 pasien diobati dengan imunoglobulin intravena sangat penting
dosis total rata-rata 1,5-1,9 g / kg sebelum memulai pengobatan. Ini termasuk
10
risiko anafilaksis pada pasien dengan nyawa. Tingkat mortalitas adalah 5%, jika
defisiensi IgA dan gagal ginjal akut pada ditangani dengan cepat dan tepat, maka
pasien dengan cryoglobulinemia. Terapi prognosis cukup memuaskan.
dengan imunoglobulin intravena dosis tinggi Lesi biasanya akan sembuh dalam 1-2
harus digunakan dengan hati-hati pada pasien minggu, kecuali bila terjadi infeksi sekunder.
dengan insufisiensi ginjal atau gangguan Sebagian besar pasien sembuh tanpa gejala
fungsi jantung karena kelebihan cairan dapat sisa.
terjadi.(7) Bila terdapat purpura yang luas dan
leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada
SIMPTOMATIK LAIN keadaan umum yang buruk dan terdapat
Antihistamin dapat digunakan bila perlu. bronkopneumonia, dapat menyebabkan
Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin kematian. Pengembangan gejala sisa yang
hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan serius, seperti kegagalan pernafasan, gagal
dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk ginjal, dan kebutaan, menentukan prognosis.
usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 Sampai dengan 15% dari semua pasien dengan
kali/hari. Sedangkan untuk cetirizin dapat sindrom Stevens-Johnson (SSJ) meninggal
diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 akibat kondisi ini. Bakteremia dan sepsis
mg/dosis,1 kali/hari, > 6 tahun : 5-10 meningkatkan resiko kematian.
mg/dosis, 1 kali/hari. Nilai SCORTEN merupakan sejumlah
Lesi mulut diberi kenalog in orabase, variable yang digunakan untuk meramalkan
betadine gargle, dan untuk bibir yang faktor risiko terjadinya kematian pada SSJ dan
kelainannya berupa krusta tebal kehitaman dan juga pada TEN.
dapat diberikan emolien misalnya krim urea Faktor prognosis pada SCORTEN :
10%. Pemberian obat tetes mata baik antibiotik • Umur > 40 tahun
maupun yang bersifat garam fisiologis setiap 2 • Keganasan
jam, untuk mencegah timbulnya infeksi • Denyut jantung > 120 x/menit
sekunder dan terjadinya kekeringan pada bola • Persentase detasemen epidermis > 10%
mata. Pemberian obat salep dapat diberikan • BUN level >10 mmol/L
pada malam hari untuk mencegah terjadinya • Kadar glukosa serum > 14 mmol / L
perlekatan konjungtiva • Kadar bikarbonat < 20 mmol / L
Skor mortalitas :
PROGNOSIS • SCORTEN 0-1 > 3.2%
SSJ adalah penyakit dengan morbiditas • SCORTEN 2 > 12.1%
yang tinggi, yang berpotensi mengancam • SCORTEN 3 > 35,3%
11
• SCORTEN 4 > 58.3% tingkat mortalitas dapat ditentukan dengan nilai
• SCORTEN 5 atau lebih > 90% SCORTEN.

KESIMPULAN
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) DAFTAR PUSTAKA
merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi 1. Wong, A., Malvestiti, A. A., & Hafner, M.
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan D. F. S. Stevens-Johnson syndrome and
pada kulit, mukosa orifisium serta mata disertai toxic epidermal necrolysis: a review.
gejala umum yang bervariasi dari ringan Revista da Associação Médica Brasileira,
sampai berat. Etiologi SSJ sukar ditentukan 62(5), 2016; 468-73.
dengan pasti, pada umumnya sering berkaitan 2. Eginli, A., Shah, K., Watkins, C., &
dengan respon imun terhadap obat. Patogenesis Krishnaswamy, G. Stevens-Johnson
SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun syndrome and toxic epidermal necrolysis.
sering dihubungkan dengan reaksi Annals of Allergy, Asthma & Immunology,
hipersensitivitas tipe III dan reaksi 118(2), 2017; 143-47.
hipersensitivitas tipe IV. 3. Hazin, R., Ibrahimi, O. A., Hazin, M. I., &
SSJ menyebabkan pengelupasan kulit kurang Kimyai‐Asadi, A. Stevens‐Johnson
dari 10% permukaan tubuh, pada selaput lendir syndrome: Pathogenesis, diagnosis, and
dapat menimbulkan krusta kehitaman, dan pada management. Annals of medicine, 40(2),
mata menyebabkan konjungtivitis purulenta. 2008; 129-38.
Tatalaksana Sindrom Steven Johnson 4. Allanore LV, Roujeau JC. Epidermal
dilakukan dengan menghentikan obat necrolysis (Stevens-Johnson syndrome and
penyebab, memberi terapi cairan dan elektrolit, toxic epidermal necrolysis). In: Wolff K,
pada penderita dengan keadaan umum berat. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Penggunaan steroid sistemik masih Paller AS, Leffel DJ, editors. Fittzpatrick’s
kontroversi. IVIG dan siklosporin dapat Dermatology in General Medicine. 7th ed.
diberikan untuk mencegah kerusakan kulit New York: McGraw-Hill Companies Inc;
yang lebih lanjut dan antibiotik spektrum luas 2008. pp. 347-54.
untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. 5. Ghislain PD, Roujeau JC. Steven-Johnson
SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang syndrome and toxic epidermal necrolisis.
tinggi, yang berpotensi mengancam nyawa. In: William H, Bigby M, Diepgen T,
Jika ditangani dengan cepat dan tepat, maka Herxheimer A, Naldi L, Rzany B. eds.
prognosis cukup memuaskan. Pada kasus ini Evidence-based Dermatology. 2nd ed.
London; BMJ; 2008. pp. 613-9.
12
6. Rahmawati, Y. W., & Indramaya, D. M. A
Retrospective Study: Stevens-Johnson
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis.
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin,
28(2), 2016; 146-54.
7. Gupta LK, Martin AM, Agarwal N,
D’Souza P, Das S, Kumar R, Pande S, Das
NK, Kumaresan M, Kumar P, Garg A,
Singh S. Guidelines for the management of
Stevens–Johnson syndrome/toxic
epidermal necrolysis: An Indian
perspective. Indian J Dermatol Venereol
Leprol 2016; 82 :603-25

13

Anda mungkin juga menyukai