Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Steven-Johnson Syndrome (SJS) merupakan kegawatdaruratan di bidang

dermatologi. Steven-Johnson Syndrome didefinisikan sebagai penyakit lepuh yang

bermula dari makula dan/atau lesi target atipikal.1 Steven-Johnson Syndrome

digolongkan sebagai sindroma hipersensitivitas karena terdapat kelainan

farmakogenik dan imunologik tubuh terhadap obat-obatan yang diberikan.2

Insidensi SJS tergolong jarang, dengan angka 0,05-2 orang per 1 juta populasi

per tahun.2 Steven-Johnson Syndrome (SJS) paling sering terjadi pada laki-laki

dibandingkan perempuan dengan perbandingan rasio 2:1. Steven-Johnson

Syndrome dapat terjadi pada semua umur.3

Etiologi SJS sejauh ini tidak diketahui secara pasti. Tetapi, terdapat beberapa

obat yang dicurigai menjadi etiologi SJS karena banyaknya kejadian SJS saat

mengonsumsi obat tersebut, salah satunya karbamazepin. Steven-Johnson

Syndrome akibat karbamazepin terjadi pada 14/100.000 populasi dewasa.

Sedangkan pada anak-anak, nevirapine dan lamotrigine merupakan obat yang

menyebabkan SJS dengan insidensi 3/1.000 populasi.4

Pada laporan kasus ini akan dibahas SJS yang terjadi pada anak berusia 10

tahun dengan riwayat mengonsumsi karbamazepin di bangsal anak RSUD Ulin

Banjarmasin.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI DAN KLASIFIKASI

Steven-Johnson Syndrome (SJS) yang juga dikenal sebagai eritema

multiformis, merupakan kegawatdaruratan di bidang dermatologi. SJS ditandai oleh

bula di kulit bersifat akut dan erosi membran mukosa. SJS didefinisikan sebagai

penyakit lepuh yang bermula dari makula dan/atau lesi target atipikal. Steven-

Johnson Syndrome digolongkan sebagai sindroma hipersensitivitas karena terdapat

kelainan farmakogenik dan imunologik tubuh terhadap obat-obatan yang

diberikan.1,2

Steven-Johnson Syndrome dan TEN diklasifikasikan sebagai penyakit

Epidermal Necrolysis (EN). Epidermal Necrolysis diklasifikasikan menjadi 3 grup

berdasarkan luas permukaan tubuh yang terlibat: (1) SJS, kurang dari 10%

permukaan tubuh; (2) SJS/TEN yang saling tumpeng tindih, dimana luas

permukaan tubuh yang terkena sebesar 10-30%; (3) TEN, lebih dari 30%

permukaan tubuh. Telapak tangan melambangkan 1% luas permukaan tubuh

(Gambar 2.1).5
Gambar 2.1 Klasifikasi Epidermal Necrolysis6

B. EPIDEMIOLOGI

Insidensi SJS tergolong jarang, dengan angka 0,05-2 orang per 1 juta populasi

per tahun. Steven-Johnson Syndrome (SJS) paling sering terjadi pada laki-laki

dibandingkan perempuan dengan perbandingan rasio 2:1. Steven-Johnson

Syndrome dapat terjadi pada segala usia, walaupun mayoritas kejadian ditemukan

pada populasi decade dua puluh hingga empat puluhan. Hal ini dikarenakan

populasi cenderung mengonsumsi obat-obatan. Walaupun begitu, kejadian SJS

pernah didokumentasikan pada anak usia 3 bulan. Angka kematian SJS dan Toxic

Epidermal Necrolysis (TEN) cukup tinggi, dari data yang ada, angka kematian pada

kasus SSJ sekitar 1-5% dan pada kasus TEN 25-35%.3,7

Penelitian Avinash et al4 menunjukkan, insidensi SJS karena konsumsi

karbamazepin terjadi pada 14/100.000 populasi dewasa. Sedangkan pada anak-

anak, nevirapine dan lamotrigine merupakan obat yang menyebabkan SJS dengan

insidensi 3/1.000 populasi.


Data insidensi kasus SJS dan TEN yakni 2,6-7,1 per 1.000.000 populasi per

tahun di Amerika Serikat. Di Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati

YW dan Indramaya DM di RSUD Dr. Soetomo Surabaya menunjukkan, SJS lebih

banyak terjadi pada pasien perempuan (73%), usia 25-44 tahun (48,6%), penyakit

penyerta epilepsi (27%), etiologi terbanyak penggunaan obat (62,1%), golongan

obat analgesik berada di urutan pertama (38,6%).3

C. ETIOLOGI

Etiologi SJS tidak diketahui pada separuh kasus. Penyebab tersering SJS

adalah obat-obatan. Obat-obatan yang berhubungan dengan SJS antara lain

antikonvulsan, sulfonamid, barbiturat, salisilat, sitostatika, diuretik thiazide,

kokain, allopurinol, penisilin, antiretrovirus, ibuprofen, obat anti inflamasi non

steroid (OAINS) dan obat-obatan golongan sulfa.1-4,7

Obat-obatan antikonvulsan yang berhubungan dengan SJS adalah

karbamazepin, fenitoin, fenobarbital, asam valproate dan lamotrigine. Beberapa

studi menunjukkan, fenitoin merupakan obat antikonvulsan yang paling sering

menyebabkan SJS, disusul dengan karbamazepin (Tabel 2.1).1-4,7

Terdapat beberapa kasus langka dimana penyebab SJS adalah infeksi bakteri

yang lalu dikenali tubuh sebagai antigen. Bakteri yang berhubungan adalah

Streptococcus dan Mycoplasma pneumoniae. Penyebab SJS yang tidak biasa

lainnya seperti infeksi virus Herpes simpleks, agen sistemik, factor fisik (paparan

bahan kimia dari lingkungan, radiasi), keganasan, vaksinasi, dan makanan.2,7

Dengan meningkatnya jumlah pasien human immunodeficiency virus (HIV)

dan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) yang membutuhkan penggunaan


obat anti-retroviral (ART), nevirapin merupakan obat tersering penyebab SJS dan

TEN pada penderita HIV dan AIDS.3 Tabel 2.1 menunjukkan obat-obatan yang

beresiko menyebabkan SJS dan TEN.5,8

Tabel 2.1 Obat-obatan yang Beresiko Menyebabkan SJS/TEN8

D. PATOFISIOLOGI

Pola imunologis SJS menunjukkan reaksi yang dimediasi sitotoksik untuk

menghancurkan keratinosit dan menyebabkan apoptosis. Studi imunopatologik

menunjukkan sel T natural killer, makrofag, granulosit dan limfosit CD8+

merupakan sel-sel yang terlibat. Amplifikasi sel dicurigai, terutama yang

mengaktifkan antitumor necrosis factor (TNF) dan Fas ligand (Fas-L) terlarut

menjadi mekanisme kerusakan epidermis pada SJS dapat meluas hingga ke

membran mukosa. Studi terkini menyebutkan granulysin mampu menyebabkan

kerusakan epidermal luas daripada Fas-L. Granulysin, Fas-L, perforin, dan

granzyme ditemukan dalam cairan bulla SJS tetapi hanya konsentrasi granulysin

yang cukup tinggi untuk mematikan sel keratinosit manusia. 5,9

Hal ini memberi kesimpulan bahwa sel T sitotoksik biasanya akan menyerang

obat yang dikenalinya sebagai antigen, bukan metabolit reaktif dari obat tersebut,

sebuah postulat yang telah diajukan sejak 20 tahun yang lalu. Sel ini membunuh
keratinosit baik secara langsung maupun tidak langsung dengan merekrut sel lain

yang melepaskan mediator granulysin.5

Sejauh ini, mekanisme seseorang memiliki kecenderungan dan respon imun

yang berlebihan terhadap obat-obatan tertentu masih belum dimengerti. Bagaimana

mekanisme tersebut secara spesifik menyerang kulit dan epitel juga belum

dimengerti. Genetik dicurigai mendukung potensi SJS diinduksi obat-obatan.

Hubungan ini diteliti di Han Chinese, Taiwan. Penelitian ini menghubungkan

antigen leukosit HLA-B*1502 dengan karbamazepin dan HLA-B*5801 dengan

allopurinol. Hasilnya, karbamazepin terbukti berhubungan dengan HLA-B*1502

pada populasi Asia, kecuali Jepang dan Korea. Hubungan HLA-B*1502 dan

karbamazepin tidak ditemukan pada populasi Eropa yang tidak memiliki keturunan

Asia.4,5

E. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi awal SJS dapat berupa gejala demam nonspesifik (flu-like

syndrome) berupa malaise, demam, nyeri kepala, batuk, atau pilek dengan lesi

polimorfik yang muncul di kulit. Lesi ini khas dengan karakteristik terbentuknya

vesikel dan bulla akut yang disertai erosi. SJS juga bermanifestasi di membran

mukosa. Lesi yang terlihat di daerah ini biasanya berupa erosi (pada bibir, khas

bernama krusta hemoragik) daripada berbentuk vesikel dan bulla.4


Gambar 2.2 A) Erupsi awal; B) vesikel dan bulla berwarna keabu-abuan yang
menunjukkan nekrosis epidermis; C) Erupsi lanjut, dimana bulla menyatu dan
membentuk erosi yang lebih besar; D) Nekrosis epidermis total5

Gambar 2.3 A) Erosi dan nekrosis pada bibir dan mulut; B) Krusta hemoragik
pada bibir dan tumpukan sekret pada mata.5
F. DIAGNOSIS

Diagnosis SJS ditegakkan cukup dengan anamnesis, dan pemeriksaan fisik.

Pemeriksaan penunjang digunakan untuk menentukan respon terapi dan komplikasi

yang mungkin terjadi pada pasien. Gambar 2.4 menunjukkan alur diagnosis SJS.5

Gambar 2.4 Alur Diagnosis Epidermal Necrolysis5


BSA: Body Surface Area (luas permukaan tubuh); mM: millimolar

Seluruh kasus SJS dan TEN harus dikonfirmasi dengan biopsi kulit untuk

pemeriksaan histologi dan immunufluorosensi. Lesi awal menunjukkan apoptosis

keratinosit pada lapisan suprabasal. Sedangkan lesi lama menunjukkan nekrosis

epidermal dan gambaran epidermis dan dermis yang terpisah.8

a. Anamnesis

SJS biasanya terjadi dalam 8 minggu (biasanya 4-30 hari) setelah paparan

obat pertama. Gejala yang timbul tidak spesifik, seperti demam, nyeri kepala,
pilek, batuk atau malaise yang diikuti dengan lesi mukokutan dalam 1-3 hari

berikutnya. Nyeri menelan dan rasa terbakar pada mata dapat muncul

perlahan. Hal ini menandakan lesi sudah terjadi pada membran mukosa.5

b. Pemeriksaan Fisik

Erupsi biasanya terjadi secara simetris pada wajah, dada, dan bagian

proksimal ekstremitas. Lesi dapat meluas hingga ke seluruh tubuh dalam

beberapa hari dan bahkan dalam beberapa jam. Lesi berupa makula

eritematosa dengan tepi irregular yang secara progressif menjadi bulla. Lesi

target atipik dengan tepi hiperpigmentosa juga dapat terjadi. Lesi nekrotik

dapat meluas menjadi eritema diffusa. Nikolsky’s sign, suatu fenomena

menyatunya dua bulla yang berdekatan bila ditekan, menandakan kerusakan

jaringan kulit yang lebih parah. Nikolsky’s sign positif pada Toxic epidermal

necrolysis (TEN) dan negatif pada SJS.5

Membran mukosa terlibat pada 90% kasus, dan dapat diikuti dengan

erupsi kulit. Lesi berawal dengan eritema yang berlanjut menjadi erosi pada

mukosa bibir, mata, dan genital. Hal ini dapat menyebabkan fotofobia,

konjungtivitis, dan nyeri saat berkemih. Krusta hemoragik biasanya terjadi

pada bibir yang ditutupi pseudomembran berwarna keabu-abuan.

Konjungtivitis yang ditandai dengan fotofobia, nyeri, inflamasi, lakrimasi dan

sekret pada mata terjadi pada 80% kasus.5

c. Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menunjang

diagnosis SJS. Saturasi oksigen dan Analisa gas darah dapat dilakukan untuk
memantau resiko kerusakan system respirasi. Serum bikarbonat < 20 Mm

mengindikasikan alkalosis respiratorik akibat keterlibatan bronkus dengan

prognosis yang lebih buruk.5

Kehilangan cairan akibat kerusakan barrier kulit dapat menyebabkan

ketidakseimbangan elektrolit, hypoalbuminemia, hypoproteinemia, bahkan

azotemia renal dan gagal ginjal. Peningkatan blood urea nitrogen (BUN)

merupakan salah satu marker derajat keparahan. Anemia, leukositosis dan

trombositopenia dapat terjadi. Beberapa sumber mengatakan neutropenia

mengindikasikan prognosis yang lebih buruk.5

d. Diagnosis Banding

SJS pada stadium akut biasanya salah diagnosis dengan varisela. Oleh

karena itu, pengawasan lebih lanjut diperlukan, karena SJS berkembang

secara cepat dan melibatkan membran mukosa. Tabel 2.25 dan 2.38

menjabarkan diagnosis banding SJS.


Tabel 2.2 Diagnosis Banding SJS5

Tabel 2.3 Penyakit yang Mirip SJS8

Diagnosis banding terdekat SJS adalah Toxic Epidermal Necrolysis (TEN).

Insidensi TEN lebih jarang daripada SJS.6 Tabel 2.4 menjabarkan perbedaan TEN

dan SJS.
Tabel 2.4 Karakteristik yang Membedakan TEN dan SJS6

G. TATALAKSANA

a. Simptomatis

Prinsip tatalaksana suportif yang diberikan sama dengan terapi pada luka

bakar, yaitu menjaga keseimbangan hemodinamik dan mencegah

komplikasi. Penggantian cairan harus dilakukan secepatnya karena

kerusakan epitel kulit yang luas menyebabkan kehilangan cairan dari kulit

yang berakibat hipovolemia dan ketidakseimbangan elektrolit.5

Terapi simptomatik lain yang dapat diberikan adalah antihistamin.

Antihistamin yang diberikan adalah difenhidramin hiperklorida IV atau IM

dengan dosis 1-2 mg/kgBB dengan maksimal dosis 50 mg/hari yang

diberikan dalam 6-8 jam.5,10

Nutrisi sebaiknya diberikan via NGT untuk mencegah translokasi

bakteri dari traktus gastrointenstinal dan mempercepat proses

penyembuhan. Debridement eksesif dan agresif tidak direkomendasikan

karena nekrosis superfisial yang terjadi tidak menghalangi proses

reepitelialisasi. Pasien SJS harus dirawat pula oleh spesialis mata.5


b. Pengobatan Fase Akut

Pengobatan fase akut yang dapat diberikan dan telah terbukti secara klinis

adalah kortikosteroid sistemik intravena atau peroral. Dosis kortikosteroid

intravena 0,1-0,25 mg/kgBB IV atau per oral yang diberikan per 6 jam.5,10

Gambar 2.4 Alur Tatalaksana SJS8

H. KOMPLIKASI DAN SEKUELE

Komplikasi yang paling sering terjadi pada masa akut adalah sepsis, yang

menjadi penyebab mortalitas utama SJS. Staphylococcus aureus dan

Pseudomonas menjadi patogen tersering. Gagal organ multisystem dan

komplikasi system pernapasan terjadi pada 30% dan 15% kasus.5

Menurut penelitian Magina et at, skuele yang dapat terjadi berupa: hiper

dan hipopigmentasi kulit (62,5%), distrofi kuku (37,5%), dan komplikasi okular.

Komplikasi membran mukosa menetap pada 73% kasus, yang mayoritas terjadi

pada mukosa oral dan esofagus, lalu diikuti mukosa paru-paru dan genital. Studi

pada pasien pasca SJS/TEN menunjukkan terjadi xeroftalmia dan/atau

keratokonjungtivitis pada 7 dari 9 pasien, menyerupai Sjorgen-like syndrome.6


I. PROGNOSIS

Pengelupasan epidermis terjadi selama 5-7 hari. Lalu, pasien mengalami fase

plateau, dimana fase reepitelialisasi terjadi. Proses ini dapat terjadi dalam

beberapa hari hingga beberapa minggu, tergantung keparahan penyakit dan

kondisi klinis pasien. Pada fase ini, pasien sangat rentan terhadap sepsis atau

komplikasi lainnya. Prognosis SJS dapat ditentukan dengan SCORTEN (Tabel

2.5)5,6

Table 2.5 SCORTEN5,6


BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS

A. Identitas Penderita

Nama : An. MAL

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat & Tanggal Lahir : Pelaihari, 29 Mei 2007

Umur : 10 tahun 7 bulan

B. Identitas Orang tua

Ayah Ibu

Nama : Tn. GI Nama : Ny. RF

Umur : 41 tahun Umur : 42 tahun

Pendidikan : S1 Pendidikan : S1

Pekerjaan : PNS Pekerjaan : IRT

Agama : Islam Agama : Islam

Alamat : Jl. Pondok Kelapa I, No. 2, Banjarbaru

II. ANAMNESIS

Heteroanamnesis dengan ibu kandung penderita dan keluarga penderita

tanggal 13 Desember 2017 pukul 15.30 WITA.

a. Keluhan Utama

Lepuh pada seluruh tubuh


b. Riwayat Penyakit Sekarang

Seluruh badan pasien melepuh sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit.

Keluhan terjadi tiba-tiba dan semakin lama semakin parah. Awalnya, pasien

mengeluh tidak enak badan dengan panas tinggi. Lalu, muncul bintik-bintik

kemerahan pada kedua pipi pasien. Bintik-bintik ini lalu menyebar ke seluruh

wajah, leher, dada, perut, lalu ke kedua tangan dan kaki. Bintik-bintik ini semakin

lama semakin membesar dan berubah menjadi gelembung berisi air, warnanya juga

berubah menjadi kehitaman. Pasien mengeluh perih saat gelembung pecah.

Sepuluh hari sebelum keluhan muncul, pasien dibawa ke RS Boejasin

Pelaihari karena sering kejang. Keluhan kejang telah diderita pasien sejak 3 bulan

sebelum masuk rumah sakit. Orang tua pasien mengaku pasien memiliki riwayat

terjatuh dan kepalanya terbentur 3 bulan sebelum masuk rumah sakit. Sejak saat itu,

pasien sering kejang saat merasa stress. Di RS Boejasin pasien diberi obat

Karbamazepin yang diminum 2 kali sehari dan 1 obat lagi yang orang tua lupa

namanya. Obat dikonsumsi selama 10 hari.

Sekarang, pasien mengeluh sulit membuka mata dan mulut. Pasien juga tidak

mau makan. Buang air kecil (BAK) pasien lancar berwarna kekuningan. Pasien

BAB 1 hari yang lalu, buang air besar (BAB) berwarna kekuningan dengan

konsistensi seperti bubur, lendir dan darah di sangkal.

c. Riwayat Penyakit Dahulu

Tiga bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien memiliki riwayat jatuh

terpeleset dan kepalanya terbentur. Sejak saat itu, pasien sering kejang, sehari 3-5x

dengan durasi 1-5 menit. Kejang terjadi terutama bila pasien merasa stress. Pasien
kejang dengan mata melotot, tangan dan kaki kaku serta berteriak. Setelah episode

kejang, pasien tidak ingat tentang kejadian sebelumnya.

Riwayat keluhan serupa, tekanan darah tinggi, kencing manis, asma, dan

alergi makanan pada pasien disangkal. Pasien juga belum pernah masuk rumah

sakit atau menjalani operasi sebelum keluhan sekarang muncul.

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Pada keluarga, riwayat keluhan serupa disangkal. Riwayat keluarga darah

tinggi, kencing manis, dan asma disangkal.

e. Riwayat Kehamilan dan Persalinan

Riwayat antenatal :

Ibu rutin memeriksakan kehamilannya di puskesmas tiap 3 bulan. Ibu menyangkal

pernah menderita sakit saat hamil. Ibu mengakui rutin mengkonsumsi vitamin yang

diberikan dokter.

Riwayat Natal:

Spontan/tidak spontan : spontan

Nilai APGAR : ibu tidak tahu, tapi ibu menyatakan bahwa bayi

langsung menangis disaat lahir, tidak ada kebiruan

pada tubuh bayi dan gerak bayi aktif.

Berat badan lahir : 3000 gram

Panjang badan lahir : 49 cm

Lingkar kepala : ibu tidak tahu

Penolong : Bidan

Tempat : Praktek Bidan Mandiri


f. Riwayat neonatal

Bayi tidak pernah kuning setelah lahir. Gerak bayi aktif.

g. Riwayat Perkembangan

Tiarap pada umur 4 bulan

Merangkak pada umur 9 bulan

Duduk pada umur 10 bulan

Berdiri 1 tahun

Berjalan 1 tahun 3 bulan

Saat ini anak aktif, bisa bicara, interaksi sosial baik.

h. Riwayat Imunisasi

Ibu menyatakan anak rutin menjalani imunisasi BCG, Polio, DPT-HB-Hib

dengan riwayat imunisasi terakhir yaitu imunisasi campak pada umur 9 bulan.

i. Pohon Keluarga

j. Makanan

0-6 bulan : ibu tidak memberikan ASI eksklusif, anak hanya diberi ASI selama

1 bulan, lalu dilanjutkan dengan susu formula karena ASI tidak keluar lagi.
6-12 bulan : Susu formula SGM : Anak juga minum banyak

1 tahun – sekarang : makan bubur saring sebanyak 3-4 kali perhari, lalu

berangsur-angsur makan bubur lembek, nasi lembek dan nasi biasa. sekarang,

anak makan 3x sehari dengan porsi 1 centong nasi dan lauk pauk seperti porsi

dewasa. Anak agak susah makan sayur tetapi mau makan buah.

k. Riwayat sosial lingkungan

Pasien tinggal bersama orang tua. Pasien tidur sekamar dengan orang

tuanya. Rumah pasien dengan ventilasi dan pencahayaan yang baik, 2 kamar

tidur dan 1 kamar mandi. Rumah pasien jauh dari pabrik dan tempat pembuangan

sampah. Sumber air PDAM digunakan keperluan mandi, mencuci, minum dan

memasak.

3. PEMERIKSAAN FISIK

a. Tanggal : 13 Desember 2017

b. Umur: 10 tahun 7 bulan

c. Berat badan: 35 kg

Tinggi badan: 122 cm

Lingkar Lengan Atas : 23 cm

Lingkar Kepala: 55 cm

c. Tanda vital

Kesadaran : Composmentis GCS : E4V5M6

TD : 100/60 mmHg

Denyut nadi : 88x/menit, reguler, kuat angkat

Suhu : 36,5°C
Respirasi : 22 kali/menit

SpO2 : 98% tanpa O2

d. Kulit : warna sawo matang, turgor kulit kembali cepat (< 3 detik),

tidak ada sianosis, kelembaban baik.

e. Kepala/leher

Kepala : Bentuk kepala mesosefal, alopesia (-), UUB menutup,

UUK menutup, tidak ada benjolan.

Rambut : Warna hitam, lurus, tebal, distribusi normal

Wajah : Makula hiperpigmentosa pada seluruh wajah terutama

kedua pipi pasien, ekskoriasi (-), erosi (-). Bulla (+) a/r

submandibula, Nikolsky’s sign (-)

Mata : Edema palpebra (-/-), Konjungtiva tidak anemis,

perdarahan subkonjungtiva (+/+), produksi air mata

normal, sekret (+/+) warna kekuningan, kering.

Telinga : Serumen minimal, tidak ada nyeri.

Hidung : Hidung berbentuk normal, simetris, tidak terdapat

epistaksis, konka tidak edem dan hiperemi, sekret berlebih

tidak ada, pernafasan cuping hidung tidak ada.

Mulut : Bentuk normal, krusta hemoragik (+), tidak ada

labiopalatoskizis, gusi tidak mudah berdarah.

Lidah : Sulit dievaluasi

Faring : Sulit dievaluasi

Tonsil : Sulit dievaluasi


f. Leher : makula hiperpigmentosa (+) Bulla (+), Pembesaran

kelenjar getah bening tidak ada, pulsasi vena jugular tidak

terlihat, tidak ada massa.

g. Toraks :

1. Dinding dada/ paru

Inspeksi : bentuk simetris, tidak ada retraksi, iktus tidak terlihat.

Makula hiperpigmentosa (+) bulla (-)

Palpasi : Fremitus vokal simetris dextra dan sinistra

Perkusi : sonor di semua lapang paru

Auskultasi : bronkovesikuler di semua lapang paru, ronki (-/-), wheezing

(-/-)

2. Jantung :

Batas kanan : ICS 2-4 linea parasternal dextra

Batas kiri : ICS 5 linea axillaris anterior

Batas atas : ICS 2 linea parasternal dextra sinistra

i. Abdomen :

Inspeksi : Distensi (-) makula hiperpigmentosa (+) bulla (-)

Perkusi : Timpani di semua regio

Palpasi : Fluid wave (-), asites (-), nyeri tekan (-) di semua regio,

lien dan hepar tidak membesar.

Auskultasi : Bising usus Normal

j Ekstremitas

Inspeksi : makula hiperpigmentosa (+) bulla (-)


Range of motion: gerak bebas, parese (-), akral hangat, edema tungkai

bawah (+/+)

k. Genitalia : Jenis kelamin perempuan. Edem labia mayora (-/-)

l. Neurologi :

Refleks pupil : (+/+)

Meningeal sign : (-)

Refleks Fisiologis : dalam batas normal, tidak mengalami peningkatan

Refleks Patologis : Hoffmann/Tromnar (-/-) (-/-)

Babinski (-/-)

M. Sphincter Anii : Positif, tidak ada fissure

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil pemeriksaan laboratorium 12 Desember 2017


Nilai
Pemeriksaan Hasil Satuan
Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 11,5 14.0 – 24,00 g/dL
Lekosit 2,6 4,000 – rb/μL
10,500
Eritrosit 4,44 x 106 4.80 – 7.10 Juta/μL
Hematokrit 33,3% 44 – 64 Vol%
Trombosit 117 150 – 356 ribu/μL
RDW-CV 14,7 11.5 – 14.7 %
MCV.MCH.MCHC
MCV 75,1 80.0 – 97.0 Fl
MCH 25,9 27.0 – 32.0 Pg
MCHC 34,5 32.0 – 38.0 %
HITUNG JENIS
Gran% 69,2 50,0-70,0 %
Limfosit % 24,1 25,0-40,0 %
MID% 6,7 4,0-11 %
Gran# 1,8 2,50-7,00 ribu/ul
Limfosit# 0,6 1,25-4,0 ribu/ul
MID# 0,2 ribu/ul
Nilai
Pemeriksaan Hasil Satuan
Rujukan
KIMIA DARAH
GDS 151 <200 mg/dL
Ureum 28 10 -50 mg/dL
Creatinin 0.7 0.7-1.4 mg/dL
ELEKTROLIT
Natrium 133 135-146 mmol/l
Kalium 4,2 3,4-5,4 mmol/l
Klorida 99 95-100 mmol/l

5. RESUME

Nama : An. MAL

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat & tanggal Lahir : Banjarbaru, 29 Mei 2007

Umur : 10 tahun 7 bulan

Keluhan Utama : Lepuh pada seluruh tubuh

Uraian :

Muncul bulla pada wajah dan leher pasien sejak 5 hari sebelum masuk rumah

sakit. Awalnya berupa makula eritematosa yang disertai papula. Lesi lalu berubah

menjadi bulla yang bila pecah menjadi erosi. Makula eritematosa berubah menjadi

makula hiperpigmentosa. Keluhan bermula pada kedua pipi pasien, lalu meluas ke

seluruh wajah, leher, thorax, abdomen, dan ekstremitas inferior dan superior. Pasien

memiliki riwayat mengonsumsi karbamazepin 2x sehari 15 hari sebelum masuk

rumah sakit karena riwayat sering kejang.

Riwayat alergi pada pasien disangkal. Riwayat keluhan serupa dan alergi

pada keluarga disangkal.

Pemeriksaan Fisik :
Denyut jantung : 88 kali/menit, reguler, kuat angkat

Tekanan darah : 100/60 mmHg

Suhu : 36,5 °C

Respirasi : 22 kali/menit

Berat Badan : 35 kg

Tinggi Badan : 122 cm

Kulit : makula hiperpigmentosa (+)

Kepala :makula hiperpigmentosa (+), bulla (+) a/r

submandibular, Nikolsky’s sign (-)

Rambut : Normal

Mata : Subkonjungtival hemorrhage (+/+), sekret (+/+) warna

kekuningan, kering

Hidung : Normal

Telinga : Normal

Mulut : krusta hemoragik (+)

Leher : makula hiperpigmentosa (+) bulla (+)

Toraks : makula hiperpigmentosa (+)

Abdomen : makula hiperpigmentosa (+)

Ekstremitas : makula hiperpigmentosa (+) Edema Tungkai (-/-)

Susunan saraf : Normal

Genitalia : Normal

Anus : Normal
6. DIAGNOSIS

Steven Johnson Syndrome ec medikamentosa DD/ Toxic Epidermal Necrolysis

7. PENATALAKSANAAN 13 DESEMBER 2017

1. IVFD D5 1/2 NS 1800cc/24 jam

2. Injeksi Dexamethasone 3x5 mg IV

3. Injeksi Diphenhydramine 2x25 mg IV

8. USUL DAN SARAN

i. Observasi tanda-tanda vital

ii. Rawat bersama kulit dan kelamin

iii. Konsul mata

iv. Konsul neurologi

9. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad malam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad malam

Quo ad cosmeticum : malam


BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, diagnosis SJS ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan

fisik, didapatkan keluhan lepuh pada seluruh tubuh, yang diawali dengan demam

setelah 10 hari mengonsumsi karbamazepin. Dua hari setelah demam, muncul

makula eritematosa pada kedua pipi pasien yang lalu meluas ke wajah, dada, perut

dan tangan serta kaki pasien. Eritem tersebut perlahan berubah warna menjadi

kehitaman dan membentuk bulla. Bulla yang pecah meninggalkan erosi kemerahan

yang nyeri.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan makula hiperpigmentosa pada seluruh

tubuh dan bulla pada leher pasien. Puncak bulla berwarna kehitaman. Pada

punggung pasien ditemukan erosi yang nyeri bila dipalpasi. Nikolsky’s sign pasien

negatif.

Hal ini sesuai dengan teori SJS, dimana keluhan awal yang muncul tidak

spesifik dan menyerupai flu (flu-like syndrome).4 Dua hari berikutnya, muncul

makula eritematosa yang perlahan-lahan berubah hiperpigmentosa. Hal ini

mengindikasikan nekrosis epidermal yang menyebabkan warna berubah, disertai

bulla pada kedua pipi dan leher. Bulla yang pecah meninggalkan erosi yang nyeri

karena rangsangan langsung menyentuh ujung saraf pada lapisan dermis.

Ditemukan pula krusta hemoragik pada bibir yang menandakan kerusakan telah

terjadi pada membran mukosa.5 Sekret pada mata menandakan terjadinya


konjungtivitis yang ditandai dengan fotofobia, nyeri, inflamasi, lakrimasi dan

sekret.5

Etiologi pada pasien dicurigai karena mengonsumsi obat karbamazepin. Hal

ini sesuai dengan teori, dimana karbamazepin merupakan salah satu obat

antikonvulsan yang beresiko tinggi menyebabkan SJS. Selain itu, secara

patofisiologis, populasi Asia juga memiliki kecenderungan mengidap SJS ec

karbamazepin karena memiliki antigen leukosit HLA-B*5801.4,5

Pasien diterapi dengan injeksi dexamethasone 3x5mg IV. Hal ini sesuai

dengan teori, terapi SJS adalah kortikosteroid dengan dosis 0,1-0,25 mg/kgBB IV

atau per oral yang diberikan per 6 jam.10 Berat badan pasien 35 kg, sehingga dosis

untuk pasien adalah 3,5-8,75mg per kali. Antihistamin yang diberikan adalah

difenhidramin hiperklorida IV dengan dosis 1-2 mg/kgBB dengan maksimal dosis

50 mg/hari yang diberikan dalam 6-8 jam.10 Pada pasien diberikan difenhidramin

dengan dosis 2x25 mg IV.

Pasien dikonsultasikan ke bagian mata dan rawat Bersama kulit dan kelamin

untuk perawatan lebih lanjut. Setelah dirawat 4 hari di bangsal anak, pasien

dialihrawat ke bagian kulit dan kelamin karena tidak ditemukan komplikasi

sistemik yang perlu ditangani bagian anak.


BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan laporan kasus pasien An. MAL dengan diagnosis SJS ec

medikamentosa. Pasien merupakan rujukan dari RS Boejasin Pelaihari ke RSUD

Ulin Banjarmasin.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,

didapatkan lepuh pada seluruh tubuh yang terjadi setelah pasien mengonsumsi

karbamazepin. Pada pemeriksaan fisik ditemukan makula hiperpigmentosa dan

bulla dengan uji Nikolsky’s sign negatif. Selama dirawat, pasien diterapi dengan

steroid intravena dan antihistamin intravena.

Anda mungkin juga menyukai