Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

Disusun oleh:
Sakheel Ahmad E Jureje (2013730097)

Pembimbing :
dr. H. Muh Masrin, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK STASE INTERNA


RSUD SAYANG CIANJUR
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah
kepada kita, terutama kepada penulis sehingga laporan kasus ini dapat terselesaikan. Dalam
laporan kasus ini penulis mengangkat judul”Obstruksi Jaundice” yang sekaligus
merupakan tugas kepaniteraan dibagian Ilmu Penyakit Dalam untuk proses belajar di
RSUD Sayang Cianjur.

Dalam penyusunan laporan ini penulis menyadari bahwa masih banyak


kekurangan dan juga banyak menemui berbagai macam hambatan dan kesulitan karena
masih terbatasnya ilmu pengetahuan yang penulis miliki, namun berkat adanya bimbingan,
bantuan serta pengarahan dari berbagai pihak maka, penulis dapat menyelesaikan laporan
ini tepat pada waktunya. Oleh karena itu dengan terselesaikannya penyusunan laporan
kasus ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya
kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan kasus ini

terutama kepada yang terhormat dr.H. Muh Masrin, Sp. PD, selaku tutor pembimbing yang

telah memberikan bimbingan, bantuan, serta pengarahan.

Semakin penulis mempelajari kasus dan literatur mengenai masalah ini,


semakin penulis sadar bahwa banyak sekali yang belum penulis ketahui. oleh karena itu,
penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak guna menyempurnakan laporan
ini.

Cianjur, September 2018


BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS
Nama : Ny. N
Umur : 56 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Babakan jampang , Mekarwangi
Agama : Islam
Masuk RS : 29 Agustus 2018

1.2 ANAMNESA

KELUHAN UTAMA : Lemas

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :


Ny.N. 56 Th seorang ibu rumah tangga datang ke IGD RSUD Cianjur dengan
keluhan lemas sebelum masuk rumah sakit(SMRS), pasien sempat pingsan dirumah 6
jam SMRS. pasien mengatakan keluhan disertai sesak ± 1 minggu SMRS, demam (+),
mual (+) , muntah(+) , nyeri perut kanan atas (+), nafsu makan menurun. Keluarga
pasien mengatakan Seluruh tubuh kuning sejak ± 1 bulan yang lalu, BAB seperti
dempul (+), BAK sedikit .
Pasien mengatakan 1 bulan yang lalu pasien di rawat dengan keluhan yang
sama.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Riwayat Ca caput pankreas (+)
Riwayat HT (- )
Riwayat DM (- )
Riwayat Asma (-)

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Hipertensi (-), DM (-), Jantung (-), Asma (-).
RIWAYAT PSIKOSOSIAL
Merokok (-), Alkohol (-), Kopi (-).

RIWAYAT PENGOBATAN :
Pasien hanya mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan oleh dokter

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


 Keadaan umum : Lemah
 Kesadaran : Composmentis

TD : 100/70 mmHg
Nadi : 82 x/ menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,7 C

Status Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Pupil Isokor, Reflek cahaya (+/+), Konjungtiva anemis (+/+), Sklera ikterik
(+/+)
Hidung : Normonasi, napas cuping hidung (-), sekret (-), darah (-)
Telinga : Normotia, sekret (-)
Mulut : Sianosis (-), mukosa bibir kering, faring hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-/-), JVP tidak meningkat.

Thorax : Normochest
Pulmo
Inspeksi :Pergerakan dinding dada simetris, retraksi sela iga (-)
Palpasi : Vocal fremitus sama pada kedua lapang paru
Perkusi : sonor +/+
Auskultasi :Vesikuler, wheezing (-/-), rhonki (-/-), rales (-/-)
Cor:
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Redup
Auskultasi : BJ I dan II reguler. gallop (-), murmur (-)

Abdomen:
Inspeksi : Datar, Ascites (-), distensi (-), massa (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Soepel, nyeri tekan epigastrium( + ), hepatosplenomegali (+).
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen

Ekstremitas Atas Bawah


Sianosis : -/- -/-
Akral : hangat hangat
Edema : -/- -/-

1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tanggal Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
29 Agustus Hematologi Lengkap
2018 Hb 10.6 12-16 g/dl
Hematokrit 29.9 37-47 %
Eritrosit 4.10 4.2-5.4 106/uL
Leukosit 20.2 4800-10.800 /uL
Trombosit 200 150.000-450.000 /uL
MCV 73.0 80-94 fL
MCH 25.9 27-31 pg
MCHC 35.4 33-37 fL
RDW-SD 69.6 37-54 fL
PDW 15.4 9 - 14 fL
MPV 7.8 8-12 fL
Differential
LYM % 2.4 26-36 %
MON % 2.2 4-8 %
NEU % 94.6 40-70 %
EOS % 0.5 1-3 %
BAS % 0.1 0-0.2 %
Absolut
LYM % 0.49 1.00-1.43 103/uL
MON % 0.45 0,16-1.0 103/uL
NEU % 19.14 1.8-7.6 103/uL
EOS % 0.10 0.02-0.50 103/uL
BAS % 0.02 0.00-0.10 103/uL
Kimia Klinik
Glukosa Rapid Sewaktu 41 74-106 mg/dL
Fungsi Hati
Bilirubin Total 20.37 < 1.1 mg%

Direk/ Indirek Bilirubin


Bilirubin direk 18.72 0 – 0.3 mg%
Bilirubin indirek 1.65 0.2 – 0.8 mg%
SGOT 81 < 31 U/l
SGPT 25 < 32 U/l

Elektrolit
Natrium (Na) 137.1 135- 148 mEq/L
Kalsium (K) 1.89 3.50 – 5.30 mEq/L
Calcium ion 1.01 1.15 – 1.29 mmol/L

1.6 ASSESSMENT
1. Obstruksi Jaundice ec Ca caput pankreas
2. Hipokalemia ec intake sulit

1.7 TERAPI
 D10% 500 + aminofusin 500
 Curcuma 3 x 5
 Cefotaxim 3 x 1
 Omz 2 x 40
 ODR 2 x 8
ANALISA MASALAH

OBSTRUKSI JAUNDICE

Definisi Jaundice
Ikterus (jaundice) didefinisikan sebagai menguningnya warna kulit dan sklera akibat
akumulasi pigmen bilirubin dalam darah dan jaringan. Jaundice (berasal dari bahasa Perancis
‘jaune’ artinya kuning) atau ikterus (bahasa Latin untuk jaundice) adalah pewarnaan kuning
pada kulit, sklera, dan membran mukosa oleh deposit bilirubin (pigmen empedu kuning-
oranye) pada jaringan tersebut.1

Jaundice merupakan manifestasi yang sering pada gangguan traktus biliaris, dan evaluasi
serta manajemen pasien jaundice merupakan permasalahan yang sering dihadapi oleh ahli
bedah. Serum bilirubin normal berkisar antara 0,5 – 1,3 mg/dL; ketika levelnya meluas menjadi
2,0 mg/dL, pewarnaan jaringan bilirubin menjadi terlihat secara klinis sebagai jaundice.
Sebagai tambahan, adanya bilirubin terkonjugasi pada urin merupakan satu dari perubahan
awal yang terlihat pada tubuh pasien.2

Klasifikasi Jaundice
Klasifikasi umum jaundice: pre-hepatik, hepatik dan post-hepatik. Jaundice obstruktif
selalu ditunjuk sebagai post-hepatik sejak defeknya terletak pada jalur metabolisme bilirubin
melewati hepatosit. Bentuk lain jaundice ditunjuk sebagai jaundice non-obstruktif. Bentuk ini
akibat defek hepatosit (jaundice hepatik) atau sebuah kondisi pre-hepatik.2

Obstruksi Jaundice
Obstruksi jaundice dapat terjadi akibat adanya hambatan saluran empedu. Sumbatan
saluran empedu dapat terjadi karena kelainan pada dinding saluran misalnya adanya tumor atau
penyempitan karena trauma (iatrogenik). Batu empedu dan cacing askaris sering dijumpai
sebagai penyebab sumbatan di dalam lumen saluran. Pankreatitis, tumor kaput pankreas, tumor
kandung empedu atau anak sebar tumor ganas di daerah ligamentum hepatoduodenale dapat
menekan saluran empedu dari luar menimbulkan gangguan aliran empedu.5
Beberapa keadaan yang jarang dijumpai sebagai penyebab sumbatan antara lain kista
koledokus, abses amuba pada lokasi tertentu, divertikel duodenum dan striktur sfingter papila
vater.6

Penyebab terjadinya jaundice obstruktif adalah adanya obstruktif post hepatik yang
antara lain disebabkan oleh 6 :

1. Obstruksi dalam lumen saluran empedu


* Batu
* Parasit (ascaris)

2. Kelainan di dinding saluran empedu


* Atresia bawaan
* Striktur traumatic
* Tumor saluran empedu

3. Penekanan saluran empedu dari luar


* Tumor caput pancreas
* Tumor ampula Vateri
* Pankreatitis
* Metastasis di dalam ligamentum hepaoduodenale
Sirosis
Abs
hepatis
Carsinoma es
hepa
r
Strik
tur
Ca
Batu
Capu
t
Asca
ris
Penyebab dari jaundice obstruktif dibedakan menjadi 3 macam seperti yang tampak
pada gambar di atas, yaitu :
1. Sering
* Batu CBD
* Ca caput pancreas
* Malignant porta hepatic lymph nodes

2. Infrequent
* Ca ampuler
* Pankreatitis
* Liver secondaries

3. Jarang
* Benign striktur – iatrogenic, trauma
* Kolangitis berulang
* Sindroma Mirizzi
* Sclerosing cholangitis
* Atresia bilier
* Choloedochal cyste
Manifestasi Klinik1,2,6
Tanda dan gejala yang timbul antara lain:
* Ikterus
Hal ini disebabkan penumpukkan bilirubin terkonjugasi yang ada dalam darah yang
merupakan pigmen warna empedu.

* Nyeri perut kanan atas


Nyeri yang dirasakan tergantung dari penyebab dan beratnya obstruktif.
Dapat ditemui nyeri tekan pada perut kanan atas maupun kolik bilier.

* Warna urin gelap (Bilirubin terkonjugasi)


Urin yang berwarna gelap karena adanya bilirubin dalam urin.

* Feces seperti dempul (pucat/akholis)


Hal ini disebabkan karena adanya sumbatan aliran empedu ke usus yang mengakibatkan
bilirubin di usus berkurang atau bahkan tidak ada sehingga tidak terbentuk urobilinogen
yang membuat feces berwarna pucat.

* Pruritus yang menetap


Adanya pruritus menunjukkan terakumulasinya garam empedu di subkutan yang
menyebabkan rasa gatal.

* Anoreksia, nausea dan penurunan berat badan


Gejala ini menunjukkan adanya gangguan pada traktus gastrointestinal.

* Demam dan rigors

* Pembesaran hepar dan kandung empedu (Courvoisier sign)

Patofisiologi Obstruksi Jaundice


Empedu merupakan sekresi multi-fungsi dengan susunan fungsi, termasuk pencernaan
dan penyerapan lipid di usus, eliminasi toksin lingkungan, karsinogen, obat-obatan, dan
metabolitnya, dan menyediakan jalur primer ekskresi beragam komponen endogen dan produk
metabolit, seperti kolesterol, bilirubin, dan berbagai hormon.2
Pada obstruksi jaundice, efek patofisiologisnya mencerminkan ketiadaan komponen
empedu (yang paling penting bilirubin, garam empedu, dan lipid) di usus halus, dan
cadangannya, yang menyebabkan tumpahan pada sirkulasi sistemik. Feses biasanya menjadi
pucat karena kurangnya bilirubin yang mencapai usus halus. Ketiadaan garam empedu dapat
menyebabkan malabsorpsi, mengakibatkan steatorrhea dan defisiensi vitamin larut lemak (A,
D, K); defisiensi vitamin K bisa mengurangi level protrombin. Pada kolestasis berkepanjangan,
seiring malabsorpsi vitamin D dan Ca bisa menyebabkan osteoporosis atau osteomalasia.2

Retensi bilirubin menyebabkan hiperbilirubinemia campuran. Beberapa bilirubin


terkonjugasi mencapai urin dan menggelapkan warnanya. Level tinggi sirkulasi garam empedu
berhubungan dengan, namun tidak menyebabkan, pruritus. Kolesterol dan retensi fosfolipid
menyebabkan hiperlipidemia karena malabsorpsi lemak (meskipun meningkatnya sintesis hati
dan menurunnya esterifikasi kolesterol juga punya andil); level trigliserida sebagian besar tidak
terpengaruh.3

Penyakit hati kolestatik ditandai dengan akumulasi substansi hepatotoksik, disfungsi


mitokondria dan gangguan pertahanan antioksidan hati. Penyimpanan asam empedu hidrofobik
mengindikasikan penyebab utama hepatotoksisitas dengan perubahan sejumlah fungsi sel
penting, seperti produksi energi mitokondria. Gangguan metabolisme mitokondria dan
akumulasi asam empedu hidrofobik berhubungan dengan meningkatnya produksi oksigen jenis
radikal bebas dan berkembangnya kerusakan oksidatif.1

Diagnosa Obstruksi Jaundice


Langkah pertama pendekatan diagnosis pasien dengan ikterus ialah melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik yang teliti serta pemeriksaan faal hati.
1. Anamnesis
Anamnesis ditujukan pada riwayat timbulnya ikterus, warna urin dan feses, rasa gatal,
keluhan saluran cerna, nyeri perut, nafsu makan berkurang, pekerjaan, adanya kontak
dengan pasien ikterus lain, alkoholisme, riwayat transfusi, obat-obatan, suntikan atau
tindakan pembedahan.2

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi perabaan hati, kandung empedu, limpa, mencari tanda-tanda
stigmata sirosis hepatis, seperti spider naevi, eritema palmaris, bekas garukan di kulit
karena pruritus, tanda-tanda asites. Anemi dan limpa yang membesar dapat dijumpai
pada pasien dengan anemia hemolitik. Kandung empedu yang membesar menunjukkan
adanya sumbatan pada saluran empedu bagian distal yang lebih sering disebabkan oleh
tumor (dikenal hukum Courvoisier).5
Hukum Courvoisier : “Kandung empedu yang teraba pada ikterus tidak mungkin
disebabkan oleh batu kandung empedu”.
Hal ini biasanya menunjukkan adanya striktur neoplastik tumor (tumor pankreas,
ampula, duodenum, CBD), striktur pankreatitis kronis, atau limfadenopati portal.7
Pemeriksaan faal hati dapat menentukan apakah ikterus yang timbul disebabkan oleh
gangguan pada sel-sel hati atau disebabkan adanya hambatan pada saluran empedu.1

Diagnosa klinis untuk pemeriksaan jaundice obstruktif antara lain : 2


a. Peningkatan level bilirubin direk (terkonjugasi) (> 0,4 mg/ml), Normal = 0,1-0,3
mg/ml.
b. Peningkatan level bilirubin indirek (tak terkonjugasi) (> 0,8 mg/ml), Normal = 0,2-
0,8 mg/ml.
c. Tidak adanya bilirubin dalam urin atau peningkatan bilirubin urin (konsentrasi tinggi
dalam darah).
d. Peningkatan urobilinogen (> 4 mg/24 jam) tergantung pada kemampuan hati untuk
mengabsorbsi urobilinogen dari sistem portal, Normal = 0-4 mg/hari.
e. Menurunnya urobilinogen fekal (< 40 mg/24 jam), Normal = 40-280 mg/hari, karena
tidak mencapai usus.
f. Peningkatan alkalin fosfat dan level kolesterol karena tidak dapat diekskresi ke
kandung empedu secara normal.
g. Pada kasus penyakit hati yang sudah parah, penurunan level kolesterol
mengindikasikan ketidakmampuan hati untuk mensintesisnya.
h. Peningkatan garam empedu yang menyebabkan deposisi di kulit, sehingga
menimbulkan pruritus.
i. Pemanjangan waktu PTT (Prothrombin Time) (> 40 detik) dikarenakan penurunan
absorbsi vitamin K.
Ikterus
Cek Urobilin &
Urobilin – Urobilin +
Bilirubin Urobilin ++
Bilirubin urin+ +Bilirubin urin + Bilirubin urin -
Bilirubin Direct Bilirubin
> Direct Bilirubin
+ Direct N
Obstruksi: Parenkim
- Intra hepatic - Hepatitis Hemolitik
- Extra hepatic - Cirrhosis
USG:Bile duct dilatation CT scan Tumor
PTC Batu
Intra hepatal : hepatitis
Extra hepatal ERCP

Gambar Flow chart pasien dengan


ikterus
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Tes laboratorium harus dilakukan pada semua pasien jaundice termasuk serum bilirubin
direk dan indirek, alkali fosfatase, transaminase, amilase, dan hitung sel darah lengkap.
Hiperbilirubinemia (indirek) tak terkonjugasi terjadi ketika ada peningkatan produksi bilirubin
atau menurunnya ambilan dan konjugasi hepatosit. Kegagalan pada ekskresi bilirubin
(kolestasis intrahepatik) atau obstruksi bilier ekstrahepatik menyebabkan hiperbilirubinemia
(direk) terkonjugasi mendominasi. Elevasi tertinggi pada bilirubin serum biasanya ditemukan
pada pasien dengan obstruksi maligna, pada mereka yang levelnya meluas sampai 15 mg/dL
yang diamati. Batu kandung empedu umumnya biasanya berhubungan dengan peningkatan
lebih menengah pada bilirubin serum (4 – 8 mg/dL). Alkali fosfatase merupakan penanda yang
lebih sensitif pada obstruksi bilier dan mungkin meningkat terlebih dahulu pada pasien dengan
obstruksi bilier parsial.1

Bilirubin direk meningkat lebih tinggi dari bilirubin indirek lebih mungkin disebabkan
oleh sumbatan saluran empedu dibanding bila bilirubin indirek yang jelas meningkat. Pada
keadaan normal bilirubin tidak dijumpai di dalam urin. Bilirubin indirek tidak dapat
diekskresikan melalui ginjal sedangkan bilirubin yang telah dikonjugasikan dapat keluar
melalui urin. Karena itu adanya bilirubin lebih mungkin disebabkan akibat hambatan aliran
empedu daripada kerusakan sel-sel hati. Pemeriksaan feses yang menunjukkan adanya
perubahan warna feses menjadi akolis menunjukkan terhambatnya aliran empedu masuk ke
dalam lumen usus (pigmen tidak dapat mencapai usus).8

2. Hematologi
Meningkatnya level serum bilirubin dengan kelebihan fraksi bilirubin terkonjugasi.
Serum gamma glutamyl transpeptidase (GGT) juga meningkat pada kolestasis. Umumnya,
pada pasien dengan penyakit batu kandung empedu hiperbilirubinemia lebih rendah
dibandingkan pasien dengan obstruksi maligna ekstra-hepatik. Serum bilirubin biasanya < 20
mg/dL. Alkali fosfatase meningkat 10 kali jumlah normal. Transaminase juga mendadak
meningkat 10 kali nilai normal dan menurun dengan cepat begitu penyebab obstruksi
dihilangkan. Meningkatnya leukosit terjadi pada kolangitis. Pada karsinoma pankreas dan
kanker obstruksi lainnya, bilirubin serum meningkat menjadi 35-40 mg/dL, alkali fosfatase
meningkat 10 kali nilai normal, namun transamin tetap normal.1

Penanda tumor seperti CA 19-9, CEA dan CA-125 biasanya meningkat pada karsinoma
pankreas, kolangiokarsinoma, dan karsinoma peri-ampula, namun penanda tersebut tidak
spesifik dan mungkin saja meningkat pada penyakit jinak percabangan hepatobilier lainnya.3

1. Pencitraan1
Tujuan dibuat pencitraan adalah:
a. memastikan adanya obstruksi ekstrahepatik (yaitu membuktikan apakah jaundice
akibat post-hepatik dibandingkan hepatik),
b. untuk menentukan level obstruksi,
c. untuk mengidentifikasi penyebab spesifik obstruksi,
d. memberikan informasi pelengkap sehubungan dengan diagnosa yang mendasarinya
(misal, informasi staging pada kasus malignansi).
I. USG
Pemeriksaan pencitraan pada masa kini dengan sonografi sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis dan dianjurkan merupakan pemeriksaan penunjang pencitraan yang
pertama dilakukan sebelum pemeriksaan pencitraan lainnya. Dengan sonografi dapat
ditentukan kelainan parenkim hati, duktus yang melebar, adanya batu atau massa tumor.
Ketepatan diagnosis pemeriksaan sonografi pada sistem hepatobilier untuk deteksi batu
empedu, pembesaran kandung empedu, pelebaran saluran empedu dan massa tumor tinggi
sekali. Tidak ditemukannya tanda-tanda pelebaran saluran empedu dapat diperkirakan
penyebab ikterus bukan oleh sumbatan saluran empedu, sedangkan pelebaran saluran empedu
memperkuat diagnosis ikterus obstruktif.1

Pada pemeriksaan USG akan memperlihatkan ukuran duktus biliaris, mendefinisikan


level obstruksi, mengidentifikasi penyebab dan memberikan informasi lain sehubungan dengan
penyakit (mis, metastase hepatik, kandung empedu, perubahan parenkimal hepatik).
Identifikasi obstruksi duktus dengan akurasi 95%, memperlihatkan batu kandung empedu dan
duktus biliaris yang berdilatasi, namun tidak dapat diandalkan untuk batu kecil atau striktur.
Juga dapat memperlihatkan tumor, kista atau abses di pankreas, hepar dan struktur yang
mengelilinginya.1

II. Pemeriksaan Radiologi1,5


a. Pemeriksaan foto polos abdomen kurang memberi manfaat karena sebagian besar batu
empedu radiolusen. Kolesistografi tidak dapat digunakan pada pasien ikterus karena zat
kontras tidak diekskresikan oleh sel hati yang sakit.

b. CT-scan : memberi viasualisasi yang baik untuk hepar, kandung empedu, pankreas,
ginjal dan retroperitoneum; membandingkan antara obstruksi intra- dan ekstrahepatik
dengan akurasi 95%. CT dengan kontras digunakan untuk menilai malignansi bilier.

c. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancre atography) dan PTC (Percutaneus


Transhepatic Cholangiography) : menyediakan visualisasi langsung level obstruksi.
Namun prosedur ini invasif dan bisa menyebabkan komplikasi seperti kolangitis,
kebocoran bilier, pankreatitis dan perdarahan.
d. EUS (endoscopic ultrasound) : memiliki beragam aplikasi, seperti staging malignansi
gastrointestinal, evaluasi tumor submukosa dan berkembang menjadi modalitas penting
dalam evaluasi sistem pankreatikobilier. EUS juga berguna untuk mendeteksi dan staging
tumor ampula, deteksi mikrolitiasis, koledokolitiasis dan evaluasi striktur duktus biliaris
benigna atau maligna. EUS juga bisa digunakan untuk aspirasi kista dan biopsi lesi padat.
e. MRCP (Magnetic Resonance Cholangio-Pancreatography): merupakan teknik visualisasi
terbaru, non-invasif pada bilier dan sistem duktus pankreas. Hal ini terutama berguna
pada pasien dengan kontraindikasi untuk dilakukan ERCP. Visualisasi yang baik dari
anatomi bilier memungkinkan tanpa sifat invasif dari ERCP. Tidak seperti ERCP, MRCP
adalah murni diagnostik.

Penatalaksanaan Obstruksi Jaundice


Pengobatan ikterus sangat bergantung penyakit dasar penyebabnya. Beberapa gejala
yang cukup mengganggu misalnya gatal (pruritus) pada keadaan kolestasis intrahepatik,
pengobatan penyakit dasarnya sudah mencukupi. Pruritus pada keadaan irreversibel (seperti
sirosis bilier primer) biasanya responsif terhadap kolestiramin 4-16 g/hari PO dalam dosis
terbagi dua yang akan mengikat garam empedu di usus. Kecuali jika terjadi kerusakan hati
yang berat, hipoprotrombinemia biasanya membaik setelah pemberian fitonadion (vitamin K1)
5-10 mg/hari SK untuk 2-3 hari.1

Pemberian suplemen kalsium dan vitamin D dalam keadaan kolestasis yang ireversibel,
namun pencegahan penyakit tulang metabolik mengecewakan. Suplemen vitamin A dapat
mencegah kekurangan vitamin yang larut lemak ini dan steatorrhea yang berat dapat dikurangi
dengan pemberian sebagian lemak dalam diet dengan medium chain trigliceride.1

Selama ini titik berat jaundice obstruktif ditujukan kepada eradikasi bakteri dengan
pemberian antibiotika empedu pengganti, pemberian laktulosa dan terapi pembedahan.
Penatalaksanaan terapi ini sangat efektif bila dilakukan pada fase dini dari ikterus obstruktif,
akan tetapi hasilnya terbukti menjadi kurang efektif bila dilakukan pada penderita yang sudah
berlangsung lama, karena adanya pengingkatan risiko gangguan fungsi ginjal.6

Terapi pembedahan untuk mengembalikan fungsi aliran empedu dari hepar ke


duodenum adalah melakukan drenase interna yang dilakukan secara langsung dengan
menyambungkan kembali saluran empedu ke usus halus. Bila hal ini tidak memungkinkan
karena keadaan penderita terlalu lemah untuk dilakukan pembedahan besar, maka dalam
keadaan darurat dapat dilakukan drainase eksterna dengan melakukan pemasangan pipa saluran
melalui kulit ditembuskan ke hepar sampai ke saluran empedu (Percutaneous Transhepatal
Drainage). Apabila keadaan penderita sudah stabil kembali, maka ppenderita harus segera
dilakukan pembedahan interna (DI)

Komplikasi

Salah satu penyulit dari drainase interna pada ikterus obstruktif adalah gagal ginjal akut
(GGA). GGA pada penderita ikterus obstruktif lanjut pasca drenase interna sampai saat ini
masih merupakan komplikasi klinis yang mempunyai risiko kematian tinggi. Pada penderita
ikterus obstruktif lanjut yang mengalami tindakan pembedahan sering mengalami komplikasi
pasca operatif. Komplikasi ini berhubunga dengan endoktoksemia sistemik terjadi melalui 2
mekanisme yang pertama, tidak adanya empedu pada traktus gastrointestinal yang bersifat
“detergen like” sehingga terjadi transolakasi endotoksin melalui mukosa usus. Dengan tidak
adanya empedu dan cinjugated bilirubin di traktus gastrointestinal akan menganggu funngsi
barier usus sehingga terjadi over growth bakteri, terutama bakteri gram negatif, yang dapat
menyebabkan translokasi bakteri maupun endotoksinnya kedalam sirkulasi. Mekanisme kedua,
ikterus obstruktif menyebabkan menurunnya fungsi kupffer sebagai “clearance of endotoxin”
sehingga endotoksin semakin meningkat di dalam sirkulasi.6

Perubahan hemodinamika ginjal yang terjadi pada pasien denga ikterus obstruktif
bersifat reversible. Oleh karena itu harus segera dilakukan intervensi optimal untuk mencegah
semakin memburuknya fungsi ginjal. Pencegahan terjadinya gagal ginjal akut pada
pembedahan ikterus obstruktif dengan melakukan ekspansi volume cairan dari intaseluler menuju
ekstraseluler dan menurunkan terjadinya endotoksinemia.6

Komplikasi yang terjadi pada ikterus obstruktif adalah sepsis primer, perdarahan
gastrointestinal, koagulopati, gangguan penyembuhan luka bedah dan gagal ginjal akut
(GGA).6
Follow Up

Tanggal S O A P
29 – 08 - Nyeri perut (+), Kes : CM 1. Obstruksi jaundice  RL + Kcl 25meq/ 8 jam
2018 sesak berkurang TD : 110/70 ec ca caput  D10% 500 + aminofusin
N : 70x/m pankreas 500
S : 36,90C 2. Hipokalemia ec  Albumin 25% 100 cc
RR : 18 x/m intake sulit  Vascon 0,15 mcg/kgBB/m
Mata : ca +/+, si +/+  Cefotaxim 2 x 1 gr
Thoraks : Cor : S1 dan  Vit K 3 x 1
2 murni reguler.  OMZ 1 x 40
Pulmo : VBS kanan =  ODR 2 x 8
kiri, wh -/-, rh+/+  Kanamisin 4 x 500
Abd : BU+, NTE (+)  Lactulac 3 x 10 cc
Eks : Akral hangat,  Pct 3 x 500
edema tangan dan
tungkai -/-
Tanggal S O A P
30 – 08 - Lemas (+), Mual Kes : CM 1. Obstruksi jaundice  RL + Kcl 25meq/ 8 jam
2018 TD : 110/70 ec ca caput  D10% 500 + aminofusin
N : 70x/m pankreas 500
S : 36,90C 2. Hipokalemia ec  Albumin 1 x 1
RR : 18 x/m intake sulit  Cefotaxim 3 x 1 gr
Mata : ca +/+, si +/+  Vit K 3 x 1
Thoraks : Cor : S1 dan  OMZ 1 x 40
2 murni reguler.  ODR 2 x 8
Pulmo : VBS kanan =  Kanamisin 4 x 500
kiri, wh -/-, rh+/+  Lactulac 3 x 10 cc
Abd : BU+, NTE (+)  Pct 3 x 500
Eks : Akral hangat,  Curcuma 3 x 1
edema tangan dan
tungkai -/-
DAFTAR PUSTAKA

1. Lesmana L.: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2000. 380-384.

2. I J Beckingham. 2001. ABC Of Diseases Of Liver, Pancreas, And Biliary System


Gallstone Disease. Dalam: British Medical Journal Vol 13, Januari 2001: 322 (7278): 91–
94. Available from : http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=1119388

3. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2005. 570-579.

4. Price, Sylvia Anderston. Patofisiologi Konsep Klinis Preose-Proses Penyakit. Jilid 1.


Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1994. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-
prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery). Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2000. 459-464.

5. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery). Edisi


6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. 459-464.

6. Kasper Dennis, Harrison Tinsley Randolph. 2005. Harrison Principle’s of Internal


Medicine 16th. New York: Mc Graw Hills Publishing. 1880-1890

7. Sujono Hadi. 1983. Nyeri Epigastrik Penyebab dan Pengelolaannya. Dalam: Cermin Dunia
Kedokteran No. 4, 1983: 29. Available From:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/03_NyeriEpigastrik.pdf/03_NyeriEpigastrik.html

Anda mungkin juga menyukai