Anda di halaman 1dari 16

JOURNAL READING

Review of Toxic Epidermal Necrolysis

Oleh:
Soraya Dwi Khairunnisa
1102012285

Pembimbing:
dr. Vitalis Pribadi, MKes, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK 1 R. SAID SUKANTO
UNIVERSITAS YARSI
JAKARTA
2017
Review of Toxic Epidermal Necrolysis

Abstrak: Toksik epidermal nekrolisis (TEN) adalah kasus yang jarang namun
merupakan reaksi mukokutaneus terhadap obat-obatan atau metabolitnya yang
dapat mengancam jiwa. Hal ini ditandai dengan apoptosis keratinosit luas dan
pengelupasan kulit, erosi selaput lendir, lepuh yang terasa nyeri, dan gangguan
sistemik yang berat. Patofisiologi TEN tidak sepenuhnya dipahami. Secara
histori, telah dianggap sebagai reaksi imun akibat obat yang dicetuskan oleh
limfosit sitotoksik melalui jalur human leukocyte antigen (HLA). Beberapa
mediator telah diidentifikasi berperan terhadap kematian sel yang terlihat pada
TEN, termasuk; granulysin, larutan fas ligan, perforin / granzim, tumor necrosis
factor- (TNF), dan TNF-related apoptosis-inducing ligand (TRAIL). Saat ini,
granulysin dianggap sebagai mediator yang paling penting dari proliferasi sel T.
Terdapat ketidakpastian dalam penatalaksanaan TEN. Kurangnya pedoman
(guidelines) manajemen definitif TEN diperkirakan berperan terhadap
kelangkaan kasus TEN serta tingginya angka kematian, yang membuatnya sulit
untuk dilakukan uji coba terkontrol secara acak pada terapi yang diberikan.
Perkembangan telah terjadi dalam pharmacogenomics, dengan identifikasi alel-
alel HLA. Namun dilakukan pada sebagian besar etnis tertentu. Asosiasi ini telah
diterjemahkan ke dalam rekomendasi skrining untuk Han Cina.

1. Pendahuluan

Toksik epidermal nekrolisis (TEN) ditandai dengan penyebaran yang luas,


epidermis yang nekrosis dan tebal, kemungkinan besar disebabkan oleh obat-
obatan atau metabolitnya. Epidermis yang terkelupas menyebabkan lapisan
dermis terpapar dan mengalami inflamasi dan pasien rentan terhadap infeksi,
kehilangan termoregulasi, dan ketidakseimbangan elektrolit. Akibatnya, terdapat
angka kematian yang tinggi dari 30% dan morbiditas jangka panjang pada TEN
[1]. Lyell pertama kali melaporkan empat kasus onset akut dari erupsi lepuhan,

1
dan berhubungan dengan gejala sistemik [2]. Patologi TEN juga pertama kali
dijelaskan pada saat ini sebagai racun yang secara khusus menargetkan
epidermis dengan nekrosis yang menyebar. Salah satu kasus ini kemudian
didefinisikan ulang sebagai sindrom lepuhan yang disebabkan oleh Staphylo
coccus. Berdasarkan deskripsi awal dari lesi, awalnya tercetus bahwa TEN dan
eritema multiforme berada pada spektrum yang sama sebagai penyakit
hipersensitivitas obat tunggal. Saat ini, sejauh mana kedua penyakit lebih mudah
dipahami, dan eritema multiforme diterima sebagai penyakit yang terpisah
dengan perbedaan dalam tingkat keparahan, fitur demografis, dan berhubungan
dengan infeksi (Mycoplasma pneumonia dan virus herpes simpleks) [3].
Penelitian ini juga menunjukkan perbandingan histologi dan Immunochemistry
bahwa patogenesis kedua penyakit ini jelas berbeda [4]
TEN berada pada spektrum klinis yang sama dengan Sindrom Steven
Johnson (SJS), sebagai jenis yang lebih berat. SJS pertama kali ditemukan oleh
Steven dan Johson pada 1922, yang melaporkan 2 kasus anak dengan erupsi
dengan penyebaran yang luas dan menyeluruh, demam yang persisten, inflamasi
mukosa mulut, dan infeksi konjungtiva. Klasifikasi SJS dan TEN berdasarkan
luasnya permukaan tubuh yang terkena epidermolisis.

1. SJS melibatkan kurang dari 10% dari total luas permukaan tubuh.

2. SJS / TEN melibatkan antara 10% dan 30% luas permukaan tubuh.

3. TEN melibatkan lebih dari 30% luas permukaan tubuh.

TEN memiliki gambaran histologi yang khas berupa nekrosis keratinosit


yang menebal. Dua biopsi kulit harus diambil dari kulit berdekatan dengan blister
untuk histopatologi rutin. Lesi awal menunjukkan keratinosit apoptosis tersebar
pada lapisan basal epidermis, pada nekrosis epidermal yang tebal dan
subepidermal bula dapat dilihat. Biopsi kedua dari periblister kulit harus dikirim
untuk imunofluoresensi langsung untuk membedakan dengan penyakit kulit
imunologi lainnya [7]. Misalnya, linear IgA pada dermatosis bulosa bisa
menghasilkan erupsi bulosa yang mungkin muncul secara klinis mirip dengan

2
tahap awal TEN. Immunofluoresensi akan menunjukkan deposisi linear IgA di
membran basal.

2. Epidemiologi

Diperkirakan kejadian dari TEN dan tumpang tindih dari SJS / TEN
(berdasarkan studi epidemiologi di Eropa) berkisar antara 0,93 per juta dan 1,89
per juta per tahun [8.9]. Berdasarkan studi besar di Eropa, SJS lebih sering terjadi
daripada TEN, dan kedua SJS dan TEN lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan pada pria [10]. Insiden SJS / TEN juga jauh lebih tinggi pada
populasi HIV-positif, dan telah diperkirakan 1-2 per 1000 individu dalam populasi
[11]. Hal ini bisa disebabkan oleh peningkatan konsumsi obat yang digunakan
pada pasien ini, immunodefisiensi itu sendiri, dan / atau infeksi terkait yang
dialami pada pasien ini.

3. Etiologi

Obat-obatan dilaporkan sebagai penyebab utama TEN, dengan risiko reaksi


hipersensitivitas terutama pada beberapa minggu pertama konsumsi obat [12].
Studi kontrol kasus multi-nasional yang besar yang dilakukan di Eropa
mengidentifikasi hubungan yang kuat antara SJS / TEN dan beberapa obat,
termasuk obat anti-infeksi sulphonamides, allopurinol, carbamazepine,
phenobarbital, nevirapine, lamotrigin, fenitoin, dan oksikam-non steroid anti-
inflamasi (NSAID) [13]. TEN juga telah dilaporkan terjadi setelah vaksinasi
MMR dan infeksi Mycoplasma pneumonia -terutama pada anak-anak.

4. Patofisiologi
4.1. Mekanisme Kematian Sel
Meluasnya kematian sel keratinosit pada TEN dikaitkan dengan apoptosis
atau kematian sel yang terprogram sebagai reaksi berlawanan dari nekrosis.
Pemeriksaan mikroskop elektron biopsi lesi kulit pasien TEN menunjukkan pola

3
tangga sebagai karakteristik pembelahan DNA yang merupakan ciri khas biokimia
apoptosis [16].
Pemahaman patogenesis TEN berasal dari studi yang meneliti cairan blister
pasien TEN, di mana terdapat limfosit CD8 T yang banyak dan sel natural killer
(NK) [17.18]. Dengan demikian, TEN tampaknya menjadi reaksi sitotoksik
mediated sel terhadap keratinosit yang mengarah ke keratinosit apoptosis. Hal ini
kemudian dikonfirmasi dalam studi yang mengekstrak sel CD8 T dari pasien
dengan TEN dan menunjukkan kemampuan sitotoksiknya terhadap lisis
keratinosit dalam kompleks histokompatibilitas utama (MHC-1) [19]. Obat dapat
merangsang sistem kekebalan tubuh dengan mengikat langsung MHC-I dan
reseptor sel-T, yang menghasilkan perluasan klonal populasi spesifik sel T
sitotoksik. Sel T sitotoksik ini terus menyebabkan kematian keratinosit, baik
secara langsung maupun tidak langsung melalui rekrutmen sel yang melepaskan
mediator- mediator kematian sel yang dapat larut.

4.2. Mediator Apoptosis Keratinosit

Sel T sitotoksik dan sel NK mungkin bukan mekanisme efektor tunggal


kematian keratinosit, dan tindakan mereka dapat diperkuat oleh produksi beberapa
mediator kematian sel, jalur anti-apoptosis yang berubah. Berbagai protein
sitotoksik dan sitokin telah terlibat sebagai mediator apoptosis pada TEN,
termasuk granulysin, interaksi ligan Fas-Fas, faktor nekrosis tumor- (TNF-),
TNF-related apoptosis-inducing ligand (TRAIL), dan perforin-granzyme B [ 21].

4.2.1. Granulysin

Sebuah studi penting oleh Chung et al. mengidentifikasi granulysin sebagai


mediator kematian sel utama yang terlibat dalam TEN [22]. Granulysin adalah
protein sitolitik diproduksi dan disekresikan oleh limfosit T sitotoksik (CTLs) dan
sel NK. Penelitian ini melibatkan profil ekspresi gen sel dari lima pasien TEN dan
granulysin diidentifikasi sebagai molekul sitotoksik yang paling jelas. Isi blister

4
pasien ini menunjukkan sitotoksisitas ketika diinkubasi dengan keratinosit, dan
peredam dari efek ini tercatat dengan menipisnya granulysin; yaitu, tingkat
granulysin dari cairan blister pasien berkorelasi dengan keparahan penyakit.
Selain itu, suntikan granulysin dari blister pasien TEN ke kulit tikus menyebabkan
kematian sel.

4.2.2. Kematian Reseptor (DR) -Fas Ligan / TNF

Jalur fas-fas ligand adalah jalur lain yang diusulkan untuk nekrosis dan
menyebarnya sitotoksik limfosit T perantara apoptosis pada TEN. Viard et al.
menunjukkan bukti bahwa apoptosis besar-besaran di TEN dimediasi melalui
aktivasi death receptor (DR), Fas [23]. Fas mengalami perubahan konformasi
dalam domain kematian sitoplasmiknya yang menyebabkan penambahan sebuah
protein adaptor yang disebut Fas-terkait protein domain kematian (FADD). Hal
ini menyebabkan kaskade kaspase dimana protease membongkar sel secara
internal dan teratur. Viard dkk. menunjukkan bahwa biopsi kulit pasien TEN
memiliki lokalisasi keratinosit yang padat pada FasL, dan serum pasien ini
memiliki peningkatan kadar FASL terlarut (sFASL).
Sebuah studi berikutnya oleh Abe et al. [24] Tidak dapat menduplikasi
temuan Viard. Sementara mereka mengkonfirmasi tingkat konsisten peningkatan
sFasL dalam serum, biopsi kulit pasien tidak menunjukkan FasL pada permukaan
keratinosit. Mereka menyimpulkan peningkatan sFasL itu bukan dari keratinosit,
tetapi dari sel-sel mononuklear darah perifer. Oleh karena itu, sementara FasL
mungkin bukan mediator utama, telah ditetapkan bahwa sFasL meningkat secara
signifikan pada TEN, dan mungkin memainkan peran sebagai penanda penyakit
untuk tujuan diagnostik pada presentasi awal [25].
DRs lain seperti TNF-R1, DR4 dan 5, dan ligan TNF dan TRAIL juga
mungkin memainkan peran dalam patogenesis TEN. Namun, pemberian terapi
antagonis TNF untuk TEN tetap diwaspadai karena dikenal sifat anti-apoptosis
pada TNF[26].

5
4.3. Inisiasi Apoptosis

Mekanisme dimana CTLs diaktifkan menyebabkan kematian keratinosit


menyebar dan pelepasan mediator tersebut masih diperdebatkan. Dua teori
aktivasi CTL termasuk model klasik pro-hapten, dimana obat dimetabolisme
sebelum presentasi oleh leukosit antigen manusia (HLA) ke reseptor sel T, dan
konsep interaksi farmakologis (p-i), dimana obat tidak perlu dimetabolisme dan
dapat mengikat langsung molekul MHC dan reseptor sel-T tanpa dimetabolisme
[27]. Teori terbaru pada mekanisme aktivasi CTL adalah altered self-repertoire
[20]. Dalam model ini, diusulkan bahwa Ikatan obat non-kovalen dengan
kompleks MHC, yang mengakibatkan perubahan celah dan self-peptida. Self-
peptida baru kemudian melanjutkan untuk mengaktifkan CTL.

5. Genetika

Peningkatan studi genom selama dua dekade terakhir telah mengidentifikasi


jenis antigen leukosit manusia spesifik (HLA) yang mempengaruhi populasi
spesifik terhadap SJS / TEN. Salah satu fenotipe sebelumnya yang diidentifikasi
secara langsung adalah HLA - BB15: 02 dengan jumlah yang meningkat pada
populasi Han China saat diberikan karbarmazepin. Penelitian genome juga
menemukan hubungan antara alel HLA-A 31:01 dan karbamazepin di Eropa dan
populasi Jepang [28,29]. Wever, studi multinasional berikutnya tidak dapat
memvalidasi pembauran ini dan hanya melaporkan asosiasi yang lemah untuk
SJS/ TEN carbamazepine[30].
Selain karbamazepin, allopurinoll-induced SJS / TEN telah dikaitkan
dengan alel HLA-B 58:01 di populasi Asia dan Eropa [31,32]. Daerah rentan
baru di luar subtipe HLA juga baru-baru ini dilaporkan, termasuk IKZFI sebagai
gen kerentanan untuk SJS / TEN pada pasien Jepang, Korea, dan India [33].
Kegunaan pengujian farmakogenomik juga sekarang diterjemahkan ke
dalam rekomendasi skrining untuk populasi Han Chinese. Ini mengikuti uji coba
genom yang berhasil di seluruh Taiwan untuk populasi orang Han di China.

6
Dalam penelitian ini, pasien diskrining untuk alel HLA-B 15:02 sebelum
memulai pengobatan karbamazepin, dan ditemukan bahwa menahan
karbamazepin dari subjek positif HLA-B 15: 02 mengurangi kejadian SJS-TEN
[34 ]. Berdasarkan laporan yang menguntungkan ini, Food and Drug
Administration AS merekomendasikan skrining HLA-B 15:02 pada pasien Han
China sebelum pemberian karbamazepin.

6. Manifestasi Klinik

Tanda dan gejala awal TEN adalah malaise, demam, dan infeksi saluran
pernafasan. Lesi paling awal adalah target atipikal atau makula purpura pada
wajah dan badan bagian atas dan anggota badan; peningkatan ukuran ini dan
menyatu saat penyakit menyebar dengan cepat ke dalam vesikula atau cairan
blister (gambar 1 dan 2). Detachable skin ditunjukkan, dan tekanan lembut
menyebabkan terlepasnya epidermis dari dermis (dikenal sebagai tanda
Nikolskypositif).
Keterlibatan mukosa terjadi baik secara internal maupun eksternal pada
TEN [35]. Sumbatan jalan nafas dari gangguan permukaan mukosa merupakan
ciri penting yang harus diperhatikan, dan gejala dyspnea dan hipoksia dapat
menyebabkan turunnya fungsi paru-paru yang tidak perlu dilihat pada radiograf
dada (Gambar 3) [36].

7
Gambar 1. TEN, foto klinis dari pasien dengan pengelupasan luas pada lapisan
epidermis

Gambar 2. Pasien dengan penglupasan epidermis pada tangan dan torso yang
menyerupai kertas cerutu basah

8
Gambar 3. Blister dan erosi yang meluas > 30% permukaan tubuh dengan
mempengaruhi jalan nafas sehingga memerlukan intubasi

Perhatian juga harus dilakukan untuk melindungi mukosa okular dan


urogenital dengan penggunaan kateter yang cermat dan penanganan yang hati-hati
karena pelepasan permukaan kulit yang dapat terjadi. Komplikasi okular yang dapat
terjadi berupa konjungtivitis, ulserasi kornea, uveitis anterior sehingga pemeriksaan
oftalmologi sejak awal sangat menguntungkan. Pengobatan multidisiplin serta
perawatan intensif sangat dibutuhkan selama masa akut.
Fungsi barier kulit pada TEN sangat terganggu sehingga pada akhirnya
infeksi dan sepsis akan menyebabkan kegagalan multi organ yang merupakan
penyebab kematian tersering pada pasien [37] sehingga pasien membutuhkan
perawatan dengan multidisiplin serta intensif.

9
Tabel 1. Manajemen Komplikasi Ekstrakutaneus Pada TEN
Sistem Komplikasi Kebutuhan Manajemen Komplikasi
Jangka perawatan Jangka
Pendek spesialis panjang
Okular Kerusakan Iya Pelumas topikal Ulserasi dan
okular yang (hyaluronate), parut pada
terpapar, kortikosteroid kornea dan
infeksi tetes konjungtiva,
(deksametason dry eye,
yang tidak entropion,
diawetkan gangguan
0,1%), visus,
antibiotik kebutaan
topikal
profilaksis
(moksifloksasin)
Oral Infeksi, nyeri Iya Oint Parafin Jaringan parut
putih, Saline akan
kumur hangat, menyebabkan
kortikosteroid sukar
kumur, menelan,
antiseptik gerak mulut
yang terbatas
Urogenital Infeksi, Iya Oint Parafin Dispareuni,
nyeri, erosi putih untuk kulit parut,
urogenital, perubahan
kortikosteroid pigmen
topikal,
Respirasi Hipoksia, ICU atau Bronkoskopi Bronkiolitis
infeksi, erosi HCU fiberoptik, obliterans

10
bronkial, Monitoring yang
sumbatan ICU/ HCU menyebabkan
jalan nafas obstruksi jalan
nafas yang
berat

7. Klasifikasi
Prognosis TEN dapat dengan cepat dinilai sejak awal melalui skor severity-of-
illness score for toxic epidermal necrolysis (SCORTEN) yang divalidasi dengan
asesmen pada 7 pemeriksaan klinis dan laboratorium. Angka kematian meningkat
setiap peningkatan skor; 3,2 % pada skor 0-1, >90% dengan skor 5 atau lebih.

Tabel 2. Skor SCORTEN


Faktor Resiko Skor 0 Skor 1
Usia <40 >40
Takikardi <120x/menit >120x/menit
Keganasan Tidak Ada Ada
Area permukaan tubuh <10% >10%
yang terkena
Serum Urea <10 mmol/L >10 mmol/L
Serum glukosa <14 mmol/L >14 mmol/L
Serum bikarbonat <20 mmol/L >20 mmol/L

8. Manajemen Penatalaksanaan

Prinsip penting dalam manajemen penatalaksanaan TEN adalah diagnosis


yang cepat dan identifikasi lalu penghentian obat penyebabnya. Manajemen awal
dan perawatan suportif pada unit luka bakar atau ICU sangat penting untuk
menangani komplikasi seperti anemia, leukopenia, kegagalan ginjal dan hati serta
sepsis. Pemberian analgesik butuh pertimbangan karena kerapuhan dari kulit,
analgesik per oral pada pasien dengan komplikasi oral tidak boleh diberikan.

11
Kesenjangan dalam pengetahuan tentang mekanisme TEN dan kurangnya
uji coba terkontrol secara acak intervensi farmakologis berarti bahwa pengobatan
sistemik TEN masih kontroversial, dan penggunaan terapi ajuvan adalah masalah
penilaian klinis. Guideline Eropa terbaru tidak menganggap salah satu data yang
saat ini tersedia dengan kualitas yang cukup atau konsistensi untuk membuat
rekomendasi untuk penggunaan perawatan aktif [7]. Menurut riwayatnya sistematik
terapi pada TEN meliputi kortikosteroid, intravena imunoglobulin, dan siklosporin.
Akhir- akhir ini, anti TNF inhibitor diusulkan sebagai terapi dengan keberhasilan
yang terbatas, dan ditemukan efek yang merugikan pada thaliomid. Berikut ini
adalah ringkasan dari perawatan sistemik saat ini yang digunakan, meskipun
kurangnya data pada keberhasilan mereka.
8.1. Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid secara historis telah digunakan dalam pengelolaan TEN pada
dosis tinggi, meskipun risiko infeksi dan kurangnya studi kualitas untuk
membenarkan penggunaannya. Dua seri kasus kecil telah melaporkan penurunan
tingkat kematian diantisipasi dengan kortikosteroid dosis tinggi deksametason
(100 mg IV selama 3 hari) [38] Dan methylprednisone (1000 mg IV selama 3
hari) [39]. Dengan tidak adanya data yang berkualitas, penggunaan kortikosteroid
belum direkomendasikan dalam guidelines di Inggris baru- baru ini [7].

8.2. Imunoglobulin Intravena (IvIg)


IVIg diusulkan sebagai agen terapi yang potensial untuk TEN berdasarkan
kemampuannya yang secara signifikan memblokir apoptosis keratinosit dengan
menghambat reseptor Fas (mediator untuk kematian keratinosit) [23]. . Namun,
beberapa studi tentang IVIg telah bertentangan, beberapa studi menunjukkan tidak
ada manfaat dalam mencegah kematian pada TEN. Sebuah meta-analisis yang
komprehensif pada penggunaan dosis tinggi IVIG dilaporkan tidak terbukti
manfaatnya dalam menurunkan angka kematian pada orang dewasa, dan IVIg
penggunaan dosis tinggi tidak berkorelasi dengan angka kematian [40].
Kurangnya manfaat dalam mencegah kematian bagi pasien yang diobati
dengan IVIg kemudian dikonfirmasi dalam dua penelitian. Studi pertama oleh Firoz

12
[41] tidak menemukan peningkatan ketahanan dalam kohort 23 pasien yang
menerima IVIg dibandingkan dengan perawatan suportif saja. Studi kedua oleh Lee
pada tahun 2013 mencakup analisis retrospektif terhadap 64 pasien dengan SJS /
TEN tumpang tindih yang diobati dengan IVIg, dan tidak menunjukkan mortalitas
yang membaik dari hasil prediksi berdasarkan SCORTEN. Oleh karena itu,
meskipun IVIg sebelumnya telah menjadi agen terapeutik yang diterima pada TEN
, khasiatnya menjadi lebih dipertanyakan.
Meskipun demikian, guideline Eropa saat telah menyarankan mengenai
penggunaan IVIg dalam dermatologi bahwa obat ini harus digunakan sejak awal
dalam proses penyakit tanpa adanya alternatif terapi berbasis bukti alternatif,
mengingat potensi manfaat dari IVIg dosis tinggi lebih besar daripada risiko
pengobatan dan penyakit alami.

8.3. Siklosporin
Penelitian jauh dari IVIg berlanjut di tahun 2014, saat peninjauan ulang
secara retrospektif pengobatan TEN dengan IVIg versus siklosporin menemukan
siklosporin memiliki manfaat yang lebih baik dalam menurunkan resiko kematian
[44]. Siklosporin telah digunakan karena manfaat teoritisnya pada TEN dengan
fungsinya menghambat limfosit dan potensi efek anti-apoptosisnya [26].
Berdasarkan hasil yang menguntungkan dari percobaan tersebut, dosis siklosporin
yang umum diterima adalah 3 mg / kg selama 7 hari diikuti dengan tapering off
[45].

8.4. Antagonis TNF- (Infliximab, Entanercept, Thalidomide)


Baru-baru ini, telah dipelajari peran inhibitor TNF mencegah apoptosis di
TEN [16]. Dua kasus telah dilaporkan yang menunjukkan resolusi cepat dari lesi
kulit di TEN setelah terapi anti-TNF sistemik dengan infliximab (5 mg / kg
sebagai terapi tunggal) [46]. Entanercept adalah inhibitor TNF lain yang memiliki
hasil yang menjanjikan dalam serangkaian 10 pasien dengan SJS / TEN yang
diberi 50 mg dosis subkutan dengan cepat re-epithelialisation dan tidak ada
kematian tunggal meskipun angka kematian SCORTEN-prediksi 50% [47].

13
Kasus-kasus ini mendukung teori bahwa TNF yang diproduksi oleh keratinosit
(serta monosit-makrofag) secara signifikan terlibat dalam kerusakan jaringan [48].
Thalidomide adalah inhibitor poten lain TNF yang meyakinkan namun
ditemukan merugikan pasien untuk pengobatan TEN dengan uji coba terkontrol
secara acak dilakukan untuk penyakit ini [49]. Ada sebuah temuan yang
meyakinkan bahwa thalidomide memiliki efek yang merugikan pada TEN,
dengan kematian yang jauh lebih besar pada kelompok dengan pemberian
thaliomide versus kontrol.

8.5. Granulocyte Colony Stimulating Factor (G-CSF)


G-CSF dilaporkan memiliki hasil klinis yang menguntungkan dalam dua
kasus TEN yang parah yang terjadi pada 80% luas permukaan tubuh (BSA) dan
neutropenia konkuren [50] .Dalam kedua kasus tersebut, pasien pulih secara total.
Hipotesis hasil yang menguntungkan disebabkan oleh dorongan dalam
bioregenerasi atau mempercepat re-epithelialisasi dari faktor stimulasi koloni
granulocyte (G-CSF).

9. Kesimpulan

TEN adalah reaksi mediated immune terhadap obat yang mengancam


nyawa dengan angka kesakitan serta kematian yang tinggi. Mekanisme yang tepat
dari penyakit ini tetap tidak diketahui, namun granulysin diterima sebagai mediator
utama kematian keratinosit. Telah ada pengembangan substansial dalam
pencegahan SJS / TEN melalui peningkatan pengetahuan terhadap faktor
predisposisi genetik SJS / TEN. Diagnosis yang cepat dan identifikasi obat yang
menjadi penyebab adalah poin penting dalam pengobatan. Intervensi farmakologis
tetap kontroversial dengan tidak adanya kualitas ataupun penelitian secara acak.
Baku emas dalam manajemen TEN adalah diagnosis yang cepat, menghentikan
pemberian obat penyebab saerta pengobatan suportif secara terfokus.

14
15

Anda mungkin juga menyukai