Anda di halaman 1dari 14

Sari kepustakaan ACC Supervisor Pimpinan Sidang

dr. Frans Setiadi Sarumpaet


Divisi Pulmonologi dan Alergi Dr.Zuhrial Zubir, SpPD-KAI Dr.Zuhrial Zubir, SpPD-KAI

Sindroma DRESS (Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptom)


Frans Sarumpaet, Zuhrial Zubir, Alwinsyah Abidin, E.N.Keliat
Divisi Pulmonologi dan Alergi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
RSUP H. Adam Malik, Medan

PENDAHULUAN
Kemajuan dalam bidang farmasi dan meningkatnya penggunaan obat-obatan, menyebabkan
semakin banyaknya kejadian efek samping obat. Adverse Drug Reaction (ADR) merupakan suatu
kondisi terjadinya efek obat yang tidak diharapkan. Efek samping obat dapat berupa gangguan
fungsi organ atau perubahan pada kulit. Perubahan pada kulit dikenal sebagai erupsi obat atau drug
eruption. Bentuk erupsi obat yang paling sering didapatkan adalah gambaran eksanthema
(makulopapular-morbiliformis). Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptom (DRESS
Syndrome) atau sindroma DRESS yang sering juga dikenal sebagai Drug Hypersensitivity
Syndrome, atau Hypersensitivity Syndrome Reaction (HSR) adalah kumpulan gejala dan merupakan
reaksi idiosinkratik yang terjadi pada pemberian obat dalam dosis terapi, yang ditandai adanya
erupsi eritematous, demam, kelainan hematologi terutama adanya eosinofilia dan adanya

keterlibatan organ dalam seperti: limfadenopati, hepatitis, pneumonitis, miokarditis, nefritis. 1,2,3
Istilah sindroma DRESS lebih sering digunakan karena dinilai dapat lebih menggambarkan apa
yang terjadi pada penderita. Beberapa ahli kadang menyebut sindroma DRESS berdasarkan obat
penyebabnya seperti sindroma hipersensitivitas antikonvulsan (Anticonvulsant Hypersensitivity

Syndrome), sindroma hipersensitivitas allopurinol (Allopurinol Hypersensitivity Syndrome).1


Sindroma DRESS mempunyai potensi mengancam jiwa terutama apabila terlambat dalam
terapi. Angka mortalitas sebesar 10%, terutama disebabkan kerusakan hati dan komplikasi lainnya
seperti eritrodermi dan sepsis. Insidensi sindroma DRESS diperkirakan 1 per 1000 sampai 1 per
10000 paparan. Manifestasi klinis sindroma DRESS menyerupai manifestasi klinis pada erupsi obat

lainnya, sehingga sulit untuk mengenali secara dini.2,3

1
ETIOLOGI
Penyebab utama sindroma DRESS adalah obat seperti sulfonamid, trimetropim,

metronidazol, minosiklin, allopurinol, dapson dan abakavir dan juga karena reaksi silang obat, di

antaranya adalah obat antikonvulsan (fenitoin, karbamazepin, fenobarbital), dan obat anti-inflamasi

non steroid (piroksikam, teniksikam). Pasien yang mengalami hipersensitivitas pada salah satu dari

ke-3 obat ini, mempunyai kemungkinan sebesar 75% untuk bereaksi terhadap obat yang lainnya.4,9

Selain itu, diduga adanya keterlibatan ko-infeksi virus yakni reaktivasi dari HHV6 juga

mendasari sindroma ini.2,4,5,6 Faktor genetik diduga merupakan faktor predisposisi. Sindroma
DRESS dilaporkan pada kembar identik yang diterapi dengan karbamazepin. Mekanisme dasar dari

predisposisi genetik ini dilaporkan oleh Gennis dan kawan-kawan. 7,8,9 HLA-*5701, HLA-DR 27,
HLA-DQ3 berperan pada terjadinya sindroma DRESS yang disebabkan karena pemberian terapi

dengan abacavir, HLA-DR3 berperan pada pemberian karbamazepin.7

Tabel 1. Obat-obat yang sering dilaporkan menyebabkan Sindroma Hipersensitivitas Obat


Abakavir Dapson Nevirapin
Allopurinol Dilitiazem Oksikam NSAIAs
Atenolol Gold salts Fenobarbiton
Kaptopril Lamotrogin Fenitoin
Karbamazepin Meksiletin Sulfonamides
Klomopramin Minosiklin Trimethropim

Reaksi Hipersensitivitas terhadap obat dapat dibagi menjadi 4 kategori berdasarkan

klasifikasi Coombs dan Gell. Tipe I berhubungan dengan reaksi Ig E, seperti urtikaria, anafilaksis

dan asma. Tipe II berhubungan dengan immunoglobulin yang berhubungan dengan reaksi

sitotoksik, seperti diskrasia sel darah. Tipe III berhubungan dengan kompleks imun, seperti

vaskulitis. Dan tipe IV behubungan dengan sel T yang dikenal dengan reaksi Hipersensitivitas tipe

lambat. Klasifikasi ini membantu menghubungkan antara gejala klinis dengan mekanisme

imun.9,10

2
PATOGENESIS

Patogenesis terjadinya sindroma DRESS belum diketahui secara pasti, tetapi diduga faktor
farmakologi, imunologi dan genetik ikut berpengaruh. Penelitian imunohistologi terbaru
menunjukkan peran utama sel T pada reaksi kulit yang dicetuskan oleh obat. Penelitian tersebut
menunjukkan fungsi sel T yang berbeda dapat dikaitkan dengan gambaran klinis yang berbeda dari
alergi obat. Sel T mengenali antigen dalam bentuk peptida yang kecil yang disajikan oleh MHC I

atau II. Obat dapat bersifat imunogenik berdasarkan 3 mekanisme10,11 :


1. Obat bereaksi secara kimiawi dan mengikat seperti hapten pada ikatan sel yang lebih besar,
seperti penisilin, sefalosporin.
2. Obat yang lain tidak bereaksi secara kimiawi namun dimetabolisme menjadi senyawa reaktif
(konsep prohapten).
3. Interaksi farmakologi dengan reseptor imun atau pharmacological interaction of drugs with
immune receptors (p-i-concept).
Sel T yang spesifik untuk obat tertentu dapat menginduksi dan merangsang pelepasan
sitokin dan kemokin yang berbeda. Pada suatu keadaan respons sel T spesifik, baik Th 1 dan Th 2
dapat ditemukan, berdasarkan analisis secara in vitro ditemukan gambaran sel Th 2 lebih menonjol.
Pada lesi kulit terlihat adanya Interferon-g dan IL-5. Peningkatan IL-5 merupakan faktor yang
berperan pada pertumbuhan, diferensiasi dan aktivasi dari eosinofil. Pada reaksi ini biasanya

terdapat peningkatan dari eosinofil.10,11


Pandangan baru mengenai konsep biologi sel T dan heterogenitasnya membagi tipe IV

reaksi hipersensitivitas tipe lambat berdasarkan produksi sitokin yakni, Th 1 untuk tipe IVa, Th 2

untuk tipe IV b dan sel T sitotoksik untuk tipe IVc. Sel T mengakibatkan aktivasi

monosit/makrofag, dikenal dengan reaksi tipe IVa. Respons imun ini mungkin berhubungan dengan

reaksi Th 1, yang mengarah ke reaksi tipe lambat. Keadaan ini berbeda dengan peradangan yang

didominasi oleh eosinofil yang disebabkan oleh respons Th 2 di mana produksi IL-5 meningkat

(tipe IVb). Sel T sitotoksik (CD4 dan CD8) mempunyai peranan yang penting pada respons imun

dan eksantem yang diinduksi oleh obat (tipe IVc).9,10,11

3
Gambar 1. Reaksi tipe IV dapat berhubungan dengan fungsi imun yang dimediasi oleh sel T dan sel efektor.
Reaksinya dapat di subklasifikasikan menjadi IVa, IVb, IVc and IVd. Sering kali reaksi ini terjadi secara
bersamaan. Gambaran klinik terdapat dominan fungsi sel T dan sel efektor.10

Patogenesis sindrom DRESS dihipotesiskan terdiri dari interaksi kompleks sebagai berikut:
1. Defisiensi genetik enzim detoksifikasi yang menyebabkan akumulasi metabolit obat.
Metabolisme secara kovalen mengikat makromolekul sel yang menyebabkan kematian sel atau
menyebabkan fenomena imunologis sekunder. Aktivasi eosinofil serta aktivasi kaskade inflamasi
dapat diinduksi oleh pelepasan interleukin-5 dari sel T spesifik obat.
2. Asosiasi genetik antara antigen leukosit manusia (HLA) dan hipersensitivitas obat dapat terjadi.
Hal ini meliputi HLA-B*1502, yang terkait dengan sindroma Stevens-Johnson (SJS) diinduksi
karbamazepin (CBZ) dan nekrolisis epidermal toksik (TEN); 8 HLA-B*1508, terkait dengan
allopurinol yang menginduksi SJS/TEN9; dan banyak lainnya.10-13 Juga diamati bahwa asosiasi
HLA-B * 1502 dan CBZ yang menginduksi SJS/TEN dapat menjadi ciri khas sekelompokc etnis
seperti yang diamati pada populasi Cina.14,15 Reaksi hipersensitivitas obat yang diinduksi CBZ
kemungkinan spesifik fenotipe.9
3. Interaksi virus-obat yang terkait dengan reaktivasi virus juga mungkin ada. Fenomena ini
sebelumnya telah diamati untuk virus herpes (terutama virus Epstein-Barr [EBV]). 16 Manifestasi
klinis tampaknya merupakan hasil perluasan spesifik virus dan sel T nonspesifik. Faktanya, sel T
spesifik obat telah diisolasi dari darah dan kulit pasien yang sindrom DRESS diinduksi oleh
lamotrigin dan CBZ.17-19 Shiohara et al20 meninjau bukti terbaru mengenai hubungan antara
infeksi virus dan ruam obat sebagai Begitu juga mekanisme bagaimana infeksi virus dapat
menyebabkan ruam obat. Mereka mengamati bahwa reaktivasi berurutan dari beberapa virus
herpes (HHV-6, HHV-7, EBV, dan cytomegalovirus) dapat dideteksi bersamaan dengan gejala
reaksi hipersensitivitas obat.20 Pola reaktivasi virus herpes diketahui sebagai mirip dengan yang
diamati pada penyakit graft-versus-host (GVHD),21,22 sehingga menunjukkan bahwa DRESS
mungkin menyerupai GVHD dalam arti bahwa sel T antivirus dapat bereaksi silang dengan obat-

4
obatan dan tidak hanya timbul dari ekspansi oligoklonal sel-sel spesifik obat. Penelitian Kano et
al16 juga mempelajari apakah kondisi imunosupresif yang memungkinkan reaktivasi HHV-6
dapat terdeteksi secara khusus dalam sindroma hipersensitivitas antikonvulsan (AHS). Untuk
menguji gagasan ini, mereka melakukan tes serologis untuk titer antibodi untuk berbagai virus
dan menemukan bahwa tingkat serum imunoglobulin G (IgG) dan jumlah sel B yang beredar
pada pasien dengan AHS secara signifikan menurun saat onset dibandingkan dengan kelompok
kontrol (P <0,001 dan P = 0,007, masing-masing). Perubahan kembali ke tingkat normal terjadi
saat pemulihan pasien. Selain itu, mereka mengamati bahwa pengaktifan ulang HHV-6 yang
diukur dengan peningkatan titer IgG HHV-6 lebih dari empat kali lipat secara eksklusif
terdeteksi pada pasien dengan AHS yang mengalami penurunan kadar IgG dan jumlah sel B.
Temuan ini menunjukkan hubungan antara tingkat keparahan sindrom AHS dan sindroma
DRESS.
GEJALA KLINIS
Sindroma DRESS seringkali terjadi pada paparan pertama kali dengan obat.8,9 Pada

sindroma DRESS dikenal trias yaitu: 1) demam, 2) erupsi kulit, 3) keterlibatan organ

internal/kelainan sistemik.4,12 Demam dan malaise biasanya merupakan tanda yang pertama kali
muncul. Demam dapat terjadi 2–3 hari sebelum atau bersamaan dengan erupsi kulit. Demam

berkisar antara 38–39° C.9,10 Erupsi kulit muncul antara 1–8 minggu setelah terpapar dengan obat

penyebab atau 2 bulan pertama.2,4,5 Erupsi kulit bervariasi, dapat menyerupai makulopapular pada
hampir 95% kasus, vesikobulosa, papulopustular, eritroderma atau dermatitis eksfoliatif dan

biasanya selalu disertai gejala gatal.2,9,12,13


Keterlibatan mukosa jarang ditemukan, tetapi seandainya ada biasanya hanya berupa

stomatitis atau faringitis yang ringan. 9 Gejala yang lain adalah adanya limfadenopati (> 2 cm),

biasanya di daerah servikal, tetapi dapat juga menyeluruh. 9,12 Kelainan sistemik/keterlibatan organ
internal pada sindroma DRESS dapat asimtomatik atau dapat timbul reaksi setelah 1–2 minggu.
Kelainan sistemik yang sering ditemukan adalah gangguan pada hati, berupa hepatitis, nekrosis hati

dan gagal hati.2,4,8,9 Ginjal merupakan organ kedua yang sering terkena setelah hati dengan
kelainan berupa nefritis interstisial. Keterlibatan viseral (hepatitis, pneumonitis, miokarditis,
perikarditis, nefritis, dan kolitis) adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada sindrom
ini.4,25 Banyak kasus berkaitan dengan leukositosis dan eosinofilia (90%) dan/atau mononukleosis
(40%).

5
Tabel 2. Manifestasi klinis pada Sindroma Hipersensitivitas Obat (data berdasarkan pasien
yang diterapi dengan antikonvulsan).
Temuan Klinis Prevalensi (%)
Demam 100
Rash 87
Hepatitis 51
Eosinofilia 30
Nefritis 11
Pneumonitis 9

(a) (b)
Gambar 2. (a) Sindroma DRESS: dikenal juga sebagai reaksi hipersensitivitas obat. DRESS dengan inflamasi
bersamaan dengan reaksi alergi pada obat (pada kasus ini Tegretol®).
(b) Plak eritematosa dengan papul pada lengan bawah (A). Desquamation of telapak kaki. Dengan pengamatan
tampak peteki (B).

Tabel 3. Obat dan Hubungannya dengan Manifestasi Klinis Sindroma DRESS


Obat Manifestasi Klinis
Lamotrigin Demam dan Nekrosis epidermal
Allopurinol Disfungsi dan eosinofilia tanpa demam beberapa bulan setelah pemakaian obat
Minosiklin Adenopati perifer, eosinofilia, kelainan jantung, pneumopati eosinofilia
Abicavir Gejala pneumonia dan gastritis virus akut segera setelah pemakaian obat

Peyrière et al22 meneliti variabilitas gambaran klinis manifestasi kulit dan sistemik dari
sindrom DRESS pada tahun 2006. Tujuan mereka adalah untuk lebih menentukan hubungan ciri

6
klinis dengan obat pencetus.22 Dalam penelitian retrospektif mereka, 216 kasus efek samping
kutaneous yang diinduksi obat dengan gejala sistemik diselidiki antara tahun 1985 dan 2000.
Mereka membandingkan catatan ini dengan laporan dari literatur tentang obat penginduksi
sindroma DRESS. Pasien yang mengalami erupsi kulit febril disertai eosinofilia dan/atau gejala
sistemik selama pengobatan dengan antikonvulsan, minocycline, allopurinol, abacavir, atau
nevirapine. Satu-satunya gambaran yang ditemukan secara konsisten adalah periode laten 2 sampai
6 minggu untuk karbamazepin. Temuan kutaneous ditemukan pada sebagian besar kasus (70-
100%). Namun, dijumpai berbagai macam temuan kutaneous terutama reaksi inflamasi
maculopapular difus (paling umum), eritroderma, SJS/TEN, eritema multiforme (EM), dan erupsi
pruritus. Eosinofilia adalah kelainan hematologis yang paling sering terjadi (> 50% kasus).
Kelainan hematologi lainnya yang diamati adalah trombositopenia, anemia, neutropenia, dan
adanya aktivasi limfosit (limfosit atipikal). LAP dijumpai dalam mayoritas (80%) kasus yang
melibatkan minocycline, sementara itu merupakan temuan langka dalam kasus di mana obat lain
digunakan. Keterlibatan hati dalam bentuk nekrosis hepatoselular adalah kelainan viseral yang
paling umum; Namun, sakit perut, mual, dan diare dijumpai dengan pemberian abacavir. Disfungsi
ginjal (kebanyakan proteinuria) paling sering diamati dengan allopurinol. Minocycline (pneumopati
eosinofilik, 33% kasus) dan abacavir (takipnea, batuk, dan faringitis) merupakan obat yang
berkaitan dengan keterlibatan paru-paru. Diperkirakan bahwa gejala yang berbeda yang terkait
dengan masing-masing obat dalam beberapa hal berkaitan dengan tingkat kekhususan kimia
terhadap masing-masing obat itu sendiri atau pada metabolit reaktifnya. Tampak jelas bahwa data
dari penelitian Peyrière et al dan literaturnya serupa. 22 Meskipun tidak ada hubungan yang jelas,
beberapa kecenderungan umum dicatat, yang tercantum dalam Tabel 3.

DIAGNOSIS
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk membedakan sindroma DRESS dengan reaksi
alergi obat lainnya dan juga untuk mengidentifikasi keterlibatan organ dalam yang bersifat
asimtomatik. Pada pemeriksaan laboratorium darah, ditemukan kelainan hematologi berupa

eosinofilia (90%), limfosit atipik dan terkadang leukositosis. 2,4,12 Eosinofilia biasanya lebih dari
1,5×109/L. Pada pemeriksaan fungsi hati. Aspartate Transaminase (AST) ditemukan nilai AST  2×

normal.2,4,8,9 Pada pemeriksaan fungsi ginjal, urinalisis dan serum kreatinin ditemukan adanya sel
darah merah dan sel darah putih pada urin.
Pemeriksaan biopsi kulit biasanya didapatkan gambaran yang tidak spesifik. Pada
pemeriksaan terlihat adanya infiltrat limfosit non-spesifik pada papilla dermis yang mungkin
mengandung eosinofil dan pada umumnya terlihat lebih tebal dibandingkan dengan reaksi alergi
7
obat lainnya.3 Pada pemeriksaan mikroskopik dari biopsi kulit, pada seorang penderita sindroma
Hipersensitivitas dapson, terlihat adanya infiltrasi sel inflamasi terutama sel mononuklear, terutama
di perivaskular, interstisial dan area periadneksal dari dermis. Sel inflamasi ini banyak mengandung
limfosit dan eosinofil. Pada epidermis terlihat adanya akantosis fokal dan iregular, spongiosis
sedang, parakeratosis fokal dan perubahan vakuolar fokal pada lapisan basal. Pada lapisan dermis
terlihat adanya kongesti kapiler dan ekstravasasi eritrosit. Biopsi pada ginjal dilakukan untuk
melihat adanya nefritis intertisial.

(a) (b)
Gambar 3. (a) Infiltrasi sel inflamasi teritama pada perivaskular periadneksal di daerah dermis. (Hematoxylin
and Eosin; 40×). (b) Parakeratosis, intracorneal neutrophilic pustule, spongiosis, dan infiltrat perivaskular
(Pewarnaan Hematoxylin and eosin; pembesaran x200)

Alat diagnostik tertentu telah mencoba memprediksi kemungkinan DRESS pada pasien
tertentu. Tes tantangan dengan obat yang dicurigai dianggap sebagai baku emas pemeriksaan erupsi
obat; tetapi, tidak dapat digunakan untuk mengkonfirmasi obat penyebab DRESS karena
kemungkinan konsekuensi yang mengancam jiwa. Sayangnya, uji transformasi/ aktivasi limfosit
tidak distandarisasi untuk sebagian besar obat, namun sulit dilakukan, memiliki sensitivitas dan
spesifisitas rendah, dan ternyata negatif selama fase akut sindrom DRESS.31
Dalam upaya untuk mengidentifikasi tes diagnostik yang lebih efektif, Santiago et al 32
mengevaluasi keamanan dan kegunaan pengujian tempel pada DRESS, sehingga mencoba untuk
mengidentifikasi mekanisme hipersensitivitas tertunda yang bergantung pada obat. Reaksi uji patch
positif diamati pada 18 dari 56 pasien (32,1%) (17 dengan antiepilepsi dan 1 dengan tenoxicam).
Pada kelompok antiepilepsi, CBZ sendiri bertanggung jawab atas 13 dari 17 reaksi positif (76,5%).
Uji tempel dengan allopurinol dan metabolitnya negatif pada semua kasus yang dikaitkan dengan
obat ini. Disimpulkan bahwa pengujian tempel adalah metode yang aman dan berguna dalam
mengkonfirmasikan obat peledak di DRESS yang disebabkan oleh obat antiepilepsi, namun tidak
ada nilai DRESS yang disebabkan oleh allopurinol.

8
Sensitivitas/spesifisitas tinggi dari beberapa penanda genetik memberikan dasar yang masuk
akal untuk pengembangan tes di masa depan untuk mengidentifikasi individu yang berisiko
mengalami hipersensitivitas obat. Genotip untuk penanda HLA dapat digunakan sebagai alat
skrining sebelum meresepkan obat tersebut dan oleh karena itu dapat mencegah terjadinya DRESS
pada populasi tertentu.
Diagnosis sindroma DRESS terutama bersifat klinis dan harus mempertimbangkan periode
laten, keragaman gejala, dan pengecualian kondisi non-obat yang disebabkan lainnya. Beberapa
kriteria diagnostik telah dikembangkan dan digunakan untuk membakukan diagnosis dan
pengelolaan DRESS, walaupun dengan keberhasilan yang terbatas. Kelompok RegiSCAR
menyarankan kriteria untuk pasien rawat inap dengan ruam obat untuk mendiagnosa sindrom
DRESS (Tabel 3) .24 Kelompok Jepang menyarankan satu set kriteria diagnostik lainnya, yang
mencakup aktivasi HHV-6 (Tabel 4) .30

Tabel 3. Kriteria Diagnosis RegiSCAR untuk Sindroma DRESS


Rawat inap
Gejala klinis diduga terkait obat
Ruam akut
Demam >38°C*
Pembesaran KGB di 2 tempat*
Keterlibatan minimal 1 organ viseral*
Abnormalitas pemeriksaan darah*
Limfosit di atas nilai normal

Tabel 4. Kriteria Diagnosis Jepang untuk Sindroma DRESS


Ruam makulopapular 3 minggu setelah memulai pengobatan
Gejala klinis bertahan 2 minggu serelah penghentian obat
Demam >38°C*
Ganggguan hati (Alanine aminotransferase > 100U/L)
Abnormalitas leukosit
Leukositosis (>11x109/L)
Limfosit atipik (>5%)
Eosinofilia (1,5 x 109/L)
Limfadenopati
Reaktivasi HHV-6

9
Beberapa penyakit yang merupakan diagnosis banding sindroma DRESS antara lain:
Stevens Johnson Syndrome (SJS)/Toxic Epidermal Necrolycis (TEN), sindroma hipereosinofilia dan
penyakit Kawasaki.

TATALAKSANA
Sindroma DRESS harus segera dikenali dan obat penyebabnya ditarik. Telah dilaporkan
bahwa sebelumnya penarikan obat, semakin baik prognosisnya. 33 Pengobatan sangat mendukung
dan simtomatik; kortikosteroid sering digunakan, namun bukti mengenai keefektifannya kurang. 34
Penekan imunosupresan lainnya, seperti siklosporin, mungkin juga diperlukan.35,36
Penatalaksanaan utama pada sindroma DRESS adalah segera mengenali dan menghentikan

obat penyebab.2,14,15,16 Fitzpatrick dan kawan-kawan menyarankan pemberian prednison dengan


dosis 0,5–1 mg/kgBB. Dosis ini dipertahankan sampai tidak ada perburukan yang lebih lanjut dari
penyakit ini. Setelah itu dosis dapat diturunkan perlahan-lahan dengan dosis penurunan rata-rata

20% per hari.8,17 Beberapa ahli yang menyarankan untuk menggunakan dosis prednisolon 1–2
mg/kgBB/hari bila manifestasi klinis memburuk.9 Keluhan simptomatik dapat dikurangi dengan

pemberian terapi simptomatik seperti antihistamin dan topikal kortikosteroid. 2,16,17 Follow-up

dilakukan 3 minggu setelah munculnya reaksi awal dan selanjutnya setelah 3 bulan. 9 Oleh karena
sindroma DRESS ini berhubungan dengan faktor genetik, maka beberapa ahli menyarankan untuk
melakukan konseling keluarga. Selain itu juga perlu dilakukan lymphocyte toxicity assays untuk
mengetahui agen penyebab dan agen yang memberikan reaksi silang. Pada lymphocyte toxicity
assays dilakukan inkubasi pada limfosit dengan atau tanpa mikrosom murin hepatik. Viabilitas
limfosit tergantung pada aktivitas dari mitochondrial succinate dehydrogenase (SDH), yang

dipastikan dengan spectrophotometrically.9,14

PROGNOSIS
Sindrom DRESS memiliki potensi tinggi mengancam jiwa dan mortalitas diperkirakan
sekitar 10 persen pada banyak penelitian. 24,26 Obat antiepilepsi, seperti fenitoin dan fenobarbital
dianggap sebagai penyebab utama sindrom DRESS dengan kejadian 1 per 5.000 hingga 10.000
paparan.27

PEMBAHASAN
Sindroma DRESS berpotensial mengancam jiwa dengan mortalitas diperkirakan mencapai

10%.2,12 Penyebab kematian tersering karena komplikasi pada hati, TEN dan beberapa komplikasi

10
lainnya seperti eritroderma dan sepsis.2,9 Manifestasi klinis pada sindroma DRESS, selain erupsi
pada kulit juga ditemukan adanya kelainan sistemik dan kelainan laboratorium terutama
peningkatan kadar eosinofil dalam darah. Sindroma DRESS harus dibedakan dengan SJS/TEN,
sindroma hipereosinofilia dan penyakit kawasaki. Pada SJS/TEN, tidak ditemukan adanya
peningkatan kadar eosinofil, limfosit atipik dan keterlibatan organ sistemik. Pada sindroma
hipereosinofilia, mempunyai manifestasi klinis yang mirip dengan sindroma DRESS. Hal yang
membedakan adalah pada sindroma hipereosinofilia erupsi kulit biasanya berupa urtikaria dan tidak
ditemukan adanya limfosit atipik. Pada penyakit Kawasaki tidak ditemukan adanya peningkatan
kadar eosinofil dan limfosit atipik seperti pada sindroma DRESS. Manifestasi klinis sindroma
DRESS mempunyai kemiripan dengan manifestasi klinis pada penyakit alergi obat lainnya.
Pemeriksaan laboratorium terutama dilakukan untuk melihat adanya keterlibatan organ dalam dan
hipereosinofilia. Mengenali dan memahami serta menghentikan obat penyebab secara dini ikut

memengaruhi prognosis.13

11
DAFTAR PUSTAKA
1. Coope R, Burrows R. Treatment of epilepsy with sodium diphenyl hydantoine. Lancet.
1940;1:490–492.
2. Saltzstein SL, Ackerman LV. Lymphadenopathy induced by anticonvulsant drugs and
mimicking clinically pathologically malignant lymphomas. Cancer. 1959;12:164–182.
3. Vittorio CC, Muglia JJ. Anticonvulsant hypersensitivity syndrome. Arch Intern Med.
1995;155:2285–2290.
4. Bocquet H, Bagot M, Roujeau JC. Drug-induced pseudolymphoma and drug hypersensitivity
syndrome (Drug Rash with Eosinophilia and Systemic Symptoms: DRESS). Semin Cutan Med
Surg. 1996;15:250–257.
5. Callot V, Roujeau JC, Bagot M, et al. Drug-induced pseudolymphoma and hypersensitivity
syndrome. Two different clinical entities. Arch Dermatol. 1996;132: 1315–1321. 23.
6. Sontheimer RD, Houpt KR. DIDMOHS: a proposed consensus nomenclature for the drug-
induced delayed multiorgan hypersensitivity syndrome. Arch Dermatol. 1998;134: 874–876.
7. Choquet-Kastylevsky G, Intrator L, Chenal C, et al. Increased 24. levels of interleukin 5 are
associated with the generation of eosinophilia in drug-induced hypersensitivity syndrome. Br J
Dermatol. 1998;139:1026–1032.
8. Chung WH, Hung SI, Hong HS, et al. Medical genetics: a 25. marker for Stevens-Johnson
syndrome. Nature. 2004;428:486.
9. Hung SI, Chung WH, Liou LB, et al. HLA-B*5801 allele as a
genetic marker for severe cutaneous adverse reactions caused 26. by allopurinol. Proc Natl
Acad Sci U S A. 2005;102: 4134–4139.
10. Lieberman JA, Yunis J, Egea E, et al. HLA-B38, DR4, DQw3
and clozapine-induced agranulocytosis in Jewish patients with 27. schizophrenia. Arch Gen
Psychiatry. 1990;47:945–948.

12
11. Vlahov V, Bacracheva N, Tontcheva D, et al. Genetic factors and
risk of agranulocytosis from metamizol. Pharmacogenetics. 1996;6:67–72. 28.
12. Diez RA. HLA-B27 and agranulocytosis by levamisole. Immunol Today. 1990;11:270.
13. Rodriguez-Perez M, Gonzalez-Dominguez J, Mataran L, et al. 29. Association of HLA-DR5
with mucocutaneous lesions in patients with rheumatoid arthritis receiving gold sodium
thiomalate. J Rheumatol. 1994;21:41–43. 30.
14. Hung SI, Chung WH, Jee SH, et al. Genetic susceptibility to carbamazepine-induced cutaneous
adverse drug reactions. Pharmacogenet Genomics. 2006;16:297–306.
15. Lonjou C, Thomas L, Borot N, et al. A marker for Stevens- 31. Johnson syndrome: ethnicity
matters. Pharmacogenomics J. 2006;6:265–268.
16. Kano Y, Shiohara T. Sequential reactivation of herpesvirus in drug-induced hypersensitivity
syndrome. Acta Derm 32. Venereol. 2004;84:484–485.
17. Knowles SR, Uetrecht J, Shear NH. Idiosyncratic drug reactions: the reactive metabolite
syndromes. Lancet. 33. 2000;356:1587–1591.
18. Naisbitt DJ, Farrell J, Wong G, et al. Characterization of drug- specific T cells in lamotrigine
hypersensitivity. J Allergy Clin Immunol. 2003;111:1393–1403. 34.
19. Naisbitt DJ, Britschgi M, Wong G, et al. Hypersensitivity reactions to carbamazepine:
characterization of the specificity, 35. phenotype, and cytokine profile of drug-specific T cell
clones.
Mol Pharmacol. 2003;63:732–741.
20. Shiohara T, Kano Y. A complex interaction between drug allergy and viral infection. Clin Rev
Allergy Immunol. 36. 2007;33:124–133.
21. Zaia JA. Viral infections associated with bone marrow transplantation. Hematol Oncol Clin
North Am. 1990;4: 37. 603–623.
22. Peyriere H, Dereure O, Breton H, et al. Variability in the clinical pattern of cutaneous side-
effects of drugs with systemic symptoms: does a DRESS syndrome really exist? Br J
Dermatol. 2006;155:422–428.
23. Rzany B, Correia O, Kelly JP, et al. Risk of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal
necrolysis during first weeks of antiepileptic therapy: a case-control study. Study Group of the
International Case Control Study on Severe Cutaneous Adverse Reactions. Lancet.
1999;353:2190–2194.
24. Eshki M, Allanore L, Musette P, et al. Twelve-year analysis of severe cases of drug reaction
with eosinophilia and systemic symptoms: a cause of unpredictable multiorgan failure. Arch
Dermatol. 2009;145:67–72.

13
25. Eland IA, Dofferhoff AS, Vink R, et al. Colitis may be part of the antiepileptic drug
hypersensitivity syndrome. Epilepsia. 1999;40:1780–1783.
26. Chiou CC, Yang LC, Hung SI, et al. Clinicopathological features and prognosis of drug rash
with eosinophilia and systemic symptoms: a study of 30 cases in Taiwan. J Eur Acad Dermatol
Venereol. 2008;22:1044–1049.
27. Tennis P, Stern RS. Risk of serious cutaneous disorders after initiation of use of phenytoin,
carbamazepine, or sodium valproate: a record linkage study. Neurology. 1997;49: 542–546.
28. Chen YC, Chiu HC, Chu CY. Drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms: a
retrospective study of 60 cases. Arch Dermatol. 2010;146:1373–1379.
29. Um SJ, Lee SK, Kim YH, et al. Clinical features of drug-induced hypersensitivity syndrome in
38 patients. J Investig Allergol Clin Immunol. 2010;20:556–562.
30. Shiohara T, Iijima M, Ikezawa Z, Hashimoto K. The diagnosis of a DRESS syndrome has been
sufficiently established on the basis of typical clinical features and viral reactivations. Br J
Dermatol. 2007;156:1083–1084.
31. Kano Y, Hirahara K, Mitsuyama Y, et al. Utility of the lymphocyte transformation test in the
diagnosis of drug sensitivity: dependence on its timing and the type of drug eruption. Allergy.
2007;62:1439–1444.
32. Santiago F, Goncalo M, Vieira R, et al. Epicutaneous patch testing in drug hypersensitivity
syndrome (DRESS). Contact Dermatitis. 2010;62:47–53.
33. Garcia-Doval I, LeCleach L, Bocquet H, et al. Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson
syndrome: does early withdrawal of causative drugs decrease the risk of death? Arch Dermatol.
2000;136:323–327.
34. Roujeau JC, Stern RS. Severe adverse cutaneous reactions to drugs. N Engl J Med.
1994;331:1272–1285.
35. Zuliani E, Zwahlen H, Gilliet F, Marone C. Vancomycin- induced hypersensitivity reaction
with acute renal failure: resolution following cyclosporine treatment. Clin Nephrol.
2005;64:155–158.
36. Harman KE, Morris SD, Higgins EM. Persistent anticonvulsant hypersensitivity syndrome
responding to ciclosporin. Clin Exp Dermatol. 2003;28:364–365.
37. Shaughnessy KK, Bouchard SM, Mohr MR, et al. Minocycline- induced drug reaction with
eosinophilia and systemic symptoms (DRESS) syndrome with persistent myocarditis. J Am
Acad Dermatol. 2010;62:315–318.

14

Anda mungkin juga menyukai