Anda di halaman 1dari 18

Fixed Drug Eruption

BAB I
PENDAHULUAN

Fixed drug eruption (FDE) adalah reaksi kulit yang merugikan terhadap obat
oral, ditandai dengan pembentukan soliter yang terjadi beberapa kali berupa patch
eritematosa atau plak. Jika pasien mengganti obat, fixed drug eruption terjadi
berulang kali di daerah kulit tertentu yang menetap dalam beberapa jam setelah
minum obat. Lesi dapat menjadi bulosa dan erosif.1 Lesi luas mungkin awalnya
menyerupai NET, tetapi perjalanan klinisnya jinak. Hiperpigmentasi yang terlokalisir
merupakan komplikasi yang umum, tapi rasa sakit, infeksi, dan hipopigmentasi, juga
dapat terjadi.2
Di Amerika Serikat, prevalensi penyebab obat yang menyebabkan Fixed drug
eruption telah dilaporkan berkisar dari 2-5% untuk pasien rawat inap dan 1% untuk
pasien rawat jalan. Fixed drug eruption dapat terjadi sebanyak 16-21% dari semua
erupsi obat kulit. Frekuensi yang sebenarnya mungkin lebih tinggi dari perkiraan saat
ini, karena ketersediaan berbagai obat-obatan dan suplemen gizi yang diketahui untuk
menjadi Fixed drug eruption.2 Prevalensi internasional adalah bervariasi tetapi
kemungkinan mirip dengan yang di Amerika Serikat. Kebanyakan penelitian
melaporkan Fixed drug eruption menjadi manifestasi kulit yang paling umum kedua
atau ketiga dari kejadian efek samping obat.3
Fixed drug eruption tidak tergantung pada ras. Sebuah kerentanan genetik
untuk berkembang menjadi Fixed drug eruption dengan peningkatan kejadian
mungkin berkaitan dengan HLA-B22. Sebuah studi besar dengan 450 pasien
mengungkapkan rasio laki-perempuan adalah 1:1 untuk Fixed drug eruption.3,4 Fixed
drug eruption telah dilaporkan pada pasien berumur 1,5 tahun sampai 87 tahun. Usia
rata-rata pada presentasi adalah 30,4 tahun pada laki-laki dan 31,3 tahun pada
wanita.3 Penyakit ini tidak memiliki predileksi ras manapun. Frekuensi Fixed drug
eruption sekitar 16-21% dari semua penyakit kulit yang disebabkan oleh erupsi obat.
Adapula penelitian yang menyebutkan bahwa dari 200 pasien dengan erupsi obat,

1
Fixed Drug Eruption

didapatkan 61 pasien (30%) mengalami Fixed drug eruption, dengan cotrimoxazol


menjadi penyebab terseringnya. Hingga saat ini belum pernah ada kematian yang
disebabkan oleh Fixed drug eruption.
Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik atau
nono-imunologik. Yang dimaksud dengan EOA ialah reaksi alergi terhadap obat yang
terjadi melalui mekanisme imunologik.5 Hal ini terjadi pada pemberian obat kepada
penderita yang sudah mempunyai hipersensivitas terhadap obat tersebut. Biasanya
obat itu berperan pada mulanya sebagai antigen yang tidak lengkap atau hapten
disebabkan oleh berat molekul yang rendah.5 Terjadinya reaksi hipersensitivitas
karena obat harus dimetabolisme terlebih dahulu menjadi produk yang secara kimia
sifatnya reaktif. Secara umum metabolisme obat dapat dianggap sebagai suatu bentuk
proses detoksifikasi yaitu obat dikonversi dari zat yang larut dalam lemak, non polar,
menjadi yang hidrofilik dan polar yang mudah diekskresi.5
Mekanisme patofisiologi Fixed drug eruption belum diketahui secara pasti.
Namun penelitian terakhir menyebutkan adanya peran sel mediator yang mengawali
munculnya lesi yang aktif. Proses ini meliputi suatu antibodi-dependent dan reaksi sel
mediator sitotoksik. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, defisiensi enzim, dan
hipersensitivitas terhadap zat, dapat menjadi bagian dari proses patofisiologi Fixed
drug eruption.3
Obat-obat yang masuk dianggap sebagai hapten yang berikatan dengan sel
basal keratinosit atau dengan melanosit pada lapisan basal epidermis, yang
menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi. Melalui pelepasan sitokin, seperti tumor
necrosis factor-alpha, keratinosit mengekspresikan intercellular adhesion molecule-1
(ICAM-1). Pengaturan ICAM-1 akan mendorong sel T (CD4 dan CD8) berpindah ke
lokasi lesi. Datangnya sel CD8 dan bertahan di lokasi lesi akan menyebabkan
kerusakan jaringan yang terus-menerus akibat produk inflamasi, seperti sitokin
interferon gamma dan TNF-. Sel yang diisolasi pada lesi aktif juga mengekspresikan
alpha E beta 7, suatu molekul permukaan, seperti CLA/alpha 4 beta 1/CD4a, yang
mengikat ICAM-1, yang membantu menarik sel CD8 ke lokasi lesi.3 Sel CD4

2
Fixed Drug Eruption

memproduksi IL-10, yang menekan sistem imun, yang menyebabkan lesi yang terus
aktif. Jika respon inflamasinya sudah hilang, IL-15 yang diekspresikan keratinosit
akan membantu mempertahankan sel CD8, yang akan memberikan memori fenotipe.
Sehingga ketika paparan obat berulang, respon akan berkembang lebih cepat pada
lokasi yang sama.3
Penyebab terjadinya Fixed drug eruption meliputi antibiotik,
antiepileptik, OAINS, dan fenotiazin, meskipun zat lain dan makanan tertentu juga
dapat menjadi penyebab. Obat-obat AINS, seperti paracetamol, asam mefenamat,
naproxen, oxicam, dan derivat pirazolon memiliki predileksi di bibir. Sedangkan
sulfonamide dan trimethoprim (cotrimoxazole), penyebab tersering munculnya Fixed
drug eruption. Masuknya zat ke dalam tubuh dapat melalui berbagai cara, diantaranya
melalui oral, rectal, atau intravena.3
Ada beberapa obat yang paling sering menyebabkan Fixed drug eruption,
agen paling umum yang terlibat tercantum dalam gambar dibawah ini.

Tabel 1. Agen tersering penyebab Fixed drug eruptions.2

3
Fixed Drug Eruption

Terdapat 2 langkah untuk terjadinya reaksi obat yakni: (1) Reaksi fase I:
Reaksi oksidasi reduksi umumnya melibatkan enzim sitokin P450, prostaglandin
sintetase dan macam peroksidase jaringan, (2) Reaksi fase II: reaksi konjugasi
diperantarai oleh enzim misalnya hidrolase, glutation S-transferase (NAT). Untuk
dapat menimbulkan reaksi imunologik hapten harus bergabung dulu dengan protein
pembawa (carrier) yang ada dalam sirkulasi atau protein jaringan hospes. Carier
diperlukan oleh obat atau metabolitnya untuk merangsang sel limfosit T agar
merangsang sel limfosit B membentuk antibodi terhadap obat atau metabolitnya.5
Ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya fixed drug eruption,
yaitu:4
1. Paparan obat.
Pemberian obat dapat mengakibatkan terjadinya reaksi komplit antigen
antibodi dengan terbentuknya hapten. Yang penting juga adalah pola morfologik
yang spesifik yang dapat meningkat atau menurun pada pemberian obat yang
menyebabkan terjadinya reaksi kulit tersebut.
2. Waktu kejadian.
Kebanyakan reaksi obat pada kulit terjadi dalam 1 - 2 minggu dari terapi
pertama. Beberapa tipe reaksi terutama sindrom hipersensitivitas dapat
memberikan onset yang tertunda bahkan sampai lebih dari 2 bulan setelah
pemberian obat.
3. Uji eliminasi pemakaian obat.
Kebanyakan reaksi kulit karena obat akan berkurang dengan penghentian
pemakaian obat tersebut. Pemberian obat ulangan memberikan informasi pasti
apakah obat tersebut menyebabkan terjadinya reaksi kulit.
Beberapa faktor yang berperan dalam menentukan sejauh mana kapasitas dari
sebuah obat dalam menimbulkan respon imun:4
1. Karakteristik molekular dan sensitisasi.4
Sebuah molekul yang imunogenik biasanya mempunyai berat molekul lebih
dari 1000 dalton. Kebanyakan molekul obat tidak sebesar itu dan untuk

4
Fixed Drug Eruption

memberikan respon imun harus berikatan dengan makromolekul jaringan yang


berperan sebagai hapten. Bersama-sama dengan antigen histokompatibiliti ke
sebuah limfosit T terjadi aktivasi dan setiap populasi sel T dapat menimbulkan
reaksi klinik yang berbeda pada aktivasi TH1 tipe sel T menyebabkan produksi
dari interferon dan interleukin 2 yang akan diikuti dengan terjadinya reaksi obat
morbiliform pada kontak dermatitis atau mungkin nekrolisis epidermal toksis.
Aktivasi tipe sel TH2 menyebabkan terjadinya produksi interleukin -4, -5, atau -
13, yang akan menyebabkan terjadinya produksi dari antibodi IgE dan reaksi
klinik seperti urtikaria atau anafilaktik. 4
2. Variasi metabolik individu.4
Variasi metabolik individu merupakan jalur yang dilewati oleh obat dimana
dapat memberi reaksi intermediet atau diekskresi. 4
3. Kemampuan imunogenetik.
Respon imun dari antigen-antigen yang bervariasi biasanya dikontrol secara
genetik dan berbeda-beda pada tiap individu. Dipercaya bahwa reaksi anafilaktik
lebih sering terjadi pada individu atopik dibanding dengan non-atopik. Wanita
memiliki angka kejadian 35% lebih tinggi daripada pria. 4
4. Usia
Usia dapat menentukan kemampuan respon imun dari pemberian suatu obat,
dimana dikatakan alergi lebih sering ditemukan pada anak-anak dan pada manula,
mungkin karena ketidakmatangan atau involusi dari sistem imun.4
Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologik yang dikemukan oleh Coomb
dan Gell. Satu reaksi alergik dapat mengikuti salah satu dari ke 4 jalur ini, yaitu:5
1. Tipe I (reaksi hipersensitivitas tipe cepat, reaksi anafilaktik)
Reaksi ini penting dan sering dijumpai. Pajanan pertama kali terhadap obat
tidak menimbulkan reaksi yang merugikan, tetapi pajanan selanjutnya dapat
menimbulkan reaksi. Antibodi yang terbentuk ialah IgE yang mempunyai afinitas
tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pada pemberian obat yang sama, antigen
dapat menimbulkan perubahan pada degranulasi sel mast dan basofil dengan

5
Fixed Drug Eruption

dilepaskannya bermacam-macam mediator antara lain histamin, serotonin,


branikinin, heparin dan SRSA. Mediator-mediator ini menyebabkan bermacam-
macam efek antara lain utrikaria, dan yang lebih berat ialah angioderma. Yang
paling berbahya ialah syok anafilaktik. Penisilin merupakan contoh penyebab
utama erupsi obat hipersensivitas tipe cepat yang IgE dependent.
2. Tipe II (reaksi sitotoksik)
Reaksi tipe ini disebabkan oleh obat (antigen) yang memerlukan
penggabungan antara IgG dan IgM di permukaan sel. Hal ini menyebabkan efek
sitotoksik atau sitolitik oleh sel efektor yang diperantarai komplemen. Gabungan
obat antibodi-komplemen terfiksasi pada sel sasaran. Sebagai sel sasaran ialah
berbagai macam sel biasanya eritrosit, leukosit, trombosit yang menyebabkan
lisis sel, sehingga reaksi tipe II tersebut disebut juga rekasi sitotoksik.
3. Tipe III (reaksi kompleks imun)
Reaksi ini ditandai oleh pembentukan antigen, antibodi (IgG dan IgM)
dalam sirkulasi darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Komplemen
yang diaktifkan kemudian melepaskan berbagai mediator di antaranya enzim-
enzim yang dapat merusak jaringan. Kompleks imun akan beredar dalam
sirkulasi dan kemudian dideposit pada sel sasaran.
4. Tipe IV (reaksi alergik seluler tipe lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit, APC (Antigen Presenting Cell) dan sel
Langerhans yang mempresentasikan antigen kepada sel limfosit T. Limfosit T
yang tersensitisasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut dengan
reaksi tipe lambat yaitu terjadi 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen
menyebabkan menyebabkan pelepasan serangkaian limfokin. Contoh reaksi tipe
ini ialah dermatitis kontak alergik.

6
Fixed Drug Eruption

BAB II
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

A. DIAGNOSIS
1. Anamnesis Dan Gejala Klinis1,5
Riwayat penggunaan obat, pasien selalu memberikan riwayat mempunyai lesi
yang sama dan juga terjadi pada lokasi atau daerah yang sama. Fixed drug eruption
juga dapat dihubungkan dengan gejala-gejala seperti: nyeri kepala pada pasien yang
mengkonsumsi barbiturate yang mengandung analgesic, pasien konstipasi yang
mengkonsumsi phenolphthalein yang mengandung laksatif, pasien flu yang sudah
meminum banyak jenis obat,
Manifestasi klinis di kulit biasanya asimptomatik. Dapat terjadi pruritus, nyeri,
atau rasa seperti terbakar. Waktu ke onset terjadinya lesi dapat terjadi 30 menit
sampai 8 jam setelah terjadinya ingesi dari obat pada individu yang seinsitif. Durasi
lesinya dapat persisten jika obatnya diteruskan. Dapat sembuh dalam hitungan hari
atau minggu setelah.
Karakteristik lesi awal dari Fixed drug eruption yaitu makula berbatas tegas,
bentuknya bulat atau oval yang terjadi beberapa jam setelah ingesti makanan.
Awalnya eritema, kemudian berubah menjadi merah kehitaman. Lesi pada umumnya
soliter dan dapat menyebar dan menjadi besar/lebar. Lesi dapat multiple namun
jarang. Lesi dapat menjadi edematous kemudian membentuk plak yang dapat berubah
menjadi bula dan kemudian dapat terjadi erosi. Lesi yang erosi umumnya terjadi di
pada genital atau mukosa oral dan sangat nyeri. Jika sembuh lesinya dapat menjadi
coklat gelap dengan hiperpigmentasi posinflamasi yang keunguan. Predileksi Fixed
drug eruption biasanya pada perioral, periorbital, dapat terjadi juga di konjungtiva
dan orofaring.

7
Fixed Drug Eruption

Gambar 2.1. Tempat predileksi yang umum terjadi pada FDE 2

Gambar 2.2. Fixed drug eruption karena tetrasiklin dua plak berbatas tegas disertai edem1

8
Fixed Drug Eruption

Gambar 2.3. Fixed drug eruption karena tetrasiklin, tampak plak berbatas tegas pada lutut dengan lesi
satelit4

Gambar 2.4. Fixed drug eruption karena doksisiklin dengan multiple lesi1

9
Fixed Drug Eruption

2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan ini tidak membantu dalam diagnosis Fixed drug eruption (FDE),
meskipun eosinophilia sering ditemukan pada drug eruption.
Patch Test
Dilakukan patch test dengan meletakan obat yang dicurigai menyebabkan
alergi pada daerah yang sebelumnya terkena. Pada umumnya terjadi respon
inflamasi hanya pada 30% kasus. Patch test sangat berguna jika obat yang
dicurigai menyebabkna reaksi adalah NSAID, namun kurang bermanfaat atau
kurang sensitive terhadap reaksi yang disebabkan oleh antibiotic dan
allopurinol.9

Gambar 2.5. Patch Test pada FDE yang diinduksi allupurinol9


Biopsy
Pada biopsy, terdapat degenerasi hidrofik dari sel basal epidermis. Pada
histopatologynya ditemukan penampakan dermatitis dengan pereubahan
vacuolar dan Civatte bodies. Diskeratosis and individual necrotic
keratinocytes pada epidermis dapat merupakan penampakan yang mencolok.10

10
Fixed Drug Eruption

Gambar 2.6. Penampakan dermatitis akut pada fixed drug eruption dengan perubahan vakuola yang
mencolok dan nekrosis keratin pada epidermis10

3. Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan adalah:1,7,8
1. Sindrom stevens-johnson (S.S.J)
Merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat; kelainan pada
kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura. Umunya terjadi pada
dewasa. Gejala klinis yaitu umumnya dapat berupa penurunan kesadaran yang
disertai gejala prodromal seperti demam tinggi, malese, nyeri kepala, batuk, pilek,
dan nyeri tenggorok. Pada SSJ terdapat trias kelainan berupa kelainan kulit
(eritema, vesikel, dan bula yang kemudian pecah sehingga terjadi erosi yang luas).
Bentuk berat kelainannya generalisata, kelainan selaput lendir di orifisium
(mukosa mulut, lubang alat genital, lubang hidung, dan anus berupa vesikel dan
bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta
kehitaman), dan kelainan mata (paling seing konjungtivitis kataralis, konjungtivitis
purulent, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan iridiosiklitis.
Steven-Johnson Syndrome

11
Fixed Drug Eruption

Gambar 2.7. Sindrom Stevens-Johnson7


2. Nekrolisis epidermal toksik
Merupakan penyakit berat, dengan gejala kulit terpenting adalah
epidermiolosis generalisata, dapat disertai kelainan pada selaput lendir di orifisium
dan mata. Penyakit ini umumnya terjadi pada orang dewasa sama dengan
penyebabnya sama dengan S.S.J yang juga alegi obat. Gejala klinis dari NET
adalah pasien nampak sakit berat dengan demam tinggi, kesadaran menurun,
dengan kelainan kulit berupa eritema generalisata kemudian timbul banyak vesikel
dan bula, dapat pula disertai purpura. Lesi pada kulit dapat disertai lesi pada bibir
dan selaput lendir mulut berupa erosi, ekskoriasi, dan perdarahan sehingga
terbentuk krusta berwarna merah hitam pada bibir. Kelainan itu dapat terjadi juga
pada orifisium genitalia eksterna dan dapat juga disertai kelainan pada mata seperti
pada S.S.J. Pada NET yang terpenting adalah terjadinya epidermiolisis yaitu
epidermis terlepas dari dasarnya yang kemudian menyeluruh. Adanya
epidermiolisis menyebabkan tanda nikolsky positif pada kulit yang eritematosa
yaitu jika kulit ditekan dan digeser, maka kulit akan terkelupas. Epidermiolisi
mudah terjadi pada tempat yang sering terkena tekanan, yaitu pada punggung dan
bokong karena pasien biasanya pasien berbaring.

12
Fixed Drug Eruption

Gambar 2.8. Deskuamasi pada pasien N.E.T7


3. Selulitis
Merupakan kelainan kulit berupa infiltrate yang difus di subkutan dengan
tanda-tanda radang yang akut. Penyebabnya streptococcus B hemolyticus, dengan
gejala utama eritem berwana merah cerah dan berbatas tegas serta disertai gejala
konstitusi seperti demam, malese. Lapisan kulit yang diserang adalah epidermis
dan dermis. Predileksinya adalah daerah tungkai bawah.

Gambar 2.9. Selulitis karena Community-acquired methicillin-resistant Staphylococcus aureus

13
Fixed Drug Eruption

B. PENATALAKSANAAN
Pengobatan fixed drug eruption belum memuaskan, antara lain karena
kesukaran dalam memastikan penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri atau
metabolitnya. Pengobatan dibagi dalam:
1. Pengobatan Kausal
Dilaksanakan dengan menghindari obat tersangka (apabila obat tersangka
telah dapat dipastikan). Dianjurkan pula untuk menghindari obat yang
mempunyai struktur kimia mirip dengan obat tersangka (satu golongan).
2. Pengobatan Sistemik
a. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik.
Dosis standar untuk Fixed drug eruption pada orang dewasa ialah 3 x 10 mg
prednisone sehari. Untuk lesi mukosa luas, umum dan sangat menyakitkan,
oral prednisone 1 mg / kg berat badan diturunkan selama pemberian dari 2
minggu.
b. Antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat
rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang bila dibandingkan dengan
kortikosteroid
3. Pengobatan Topikal
Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering
atau basah. Pada fixed drug eruption, jika kelainan membasah dapat diberi
kompres dan jika kering dapat diberi krim kortikosteroid, misalnya krim
hidrokortison 1% atau 2 %.1,5 Pengobatan topikal bergantung pada keadaan
kelainan kulit apakah kering atau basah.
a. Jika lesi basah dapat diberi kompres secara terbuka. Tujuannya adalah untuk
mengeringkan eksudat, membersihkan debris dan krusta serta memberikan
efek menyejukkan. Pengompresan dilakukan cukup 2-3 kali sehari, biarkan
basah (tetapi tidak sampai menetes) selama 15-30 menit. Eksudat akan ikut

14
Fixed Drug Eruption

mongering bersama penguapan. Biasanya pengompresan cukup dilakukan 2


sampai 3 hari pertama saja. Cairan kompres yang dapat dipilih antara lain
larutan NaCl 0,9 atau dengan larutan antiseptik ringan misalnya larutan
Permanganas Kalikus 1:10.000 atau asam salisilat 1:1000.
b. Jika lesi kering dapat diberi krim kortikosteroid misalnya krim hidrokortison 1
% atau 2,5%. Lesi hiperpigmentasi tidak perlu diobati karena akan
menghilang dalam jangka waktu lama. Beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam memberikan kortikosteroid topikal pada bayi dan anak:
Pilihlah potensi kortikosteroid sesuai dengan daerah atau lokasi yang
akan diobati, misalnya daerah lipatan (aksila, popok) atau muka
sebaiknya menggunakan potensi rendah sedangkan pada badan atau
ekstremitas dapat diberikan potensi sedang.
Pilihlah potensi terendah yang dapat menghilangkan kelainan kulit dalam
waktu sesingkat mungkin. Sedapat mungkin hindari penggunaan
kortikosteroid yang sangat poten, terutama untuk anak berusia kurang dari
12 tahun.
Gunakan vehikulum yang tepat sesuai kondisi kelainan kulit, misalnya
salap untuk lesi kering dan tebal serta krim untuk radang ringan atau
lipatan
Aplikasi 2 kali sehari selama 7- 14 hari biasanya cukup.
Hati-hati dengan penggunaan kortikosteroid potensi sedang sebanyak >
15g/minggu.
Penggunaan di daerah yang oklusif harus hati-hati, misalnya daerah popok
atau aksila.
Identifikasi dari obat penyebab fixed drug eruption dilakukan apabila hanya 1
obat yang digunakan biasanya kita mencurigai beberapa obat sebagai petunjuk yang
kita gunakan adalah mengetahui kronologis pemberian obat-obatan tersebut. Hanya
obat-obatan yang baru digunakan (8-21 hari) yang dimasukkan dalam daftar yang

15
Fixed Drug Eruption

dicurigai. Identifikasi yang jelas dari obat penyebab dan catatan tertulis tentang obat-
obat penyebab yang diberikan pada pasien oleh dokter merupakan langkah
pencegahan yang sangat penting. Pemberian obat spesifik (kortikosteroid, obat-
obatan imunosupresif/ terapi anti sitokin, immunoglobulin) seharusnya tidak
diberikan sesuai standar pemberian obat sebelum terdapat bukti efisiensi
penggunaannya terhadap pasien, kadang-kadang penggunaan obat-obatan tersebut
dapat berbahaya bagi pasien.7

BAB III
KESIMPULAN

Fixed drug eruption (FDE) adalah reaksi kulit yang merugikan terhadap obat
oral, ditandai dengan pembentukan soliter yang terjadi beberapa kali berupa patch
eritematosa atau plak. Jika pasien mengganti obat, fixed drug eruption terjadi
berulang kali di daerah kulit tertentu yang menetap dalam beberapa jam setelah
minum obat. Fixed drug eruption telah dilaporkan pada pasien berumur 1,5 tahun
sampai 87 tahun. Usia rata-rata pada presentasi adalah 30,4 tahun pada laki-laki dan
31,3 tahun pada wanita. Penyakit ini tidak memiliki predileksi ras manapun.
Frekuensi Fixed drug eruption sekitar 16-21% dari semua penyakit kulit yang
disebabkan oleh erupsi obat. Riwayat penggunaan obat, pasien selalu memberikan
riwayat mempunyai lesi yang sama dan juga terjadi pada lokasi atau daerah yang
sama. Fixed drug eruption juga dapat dihubungkan dengan gejala-gejala seperti :
nyeri kepala pada pasien yang mengkonsumsi barbiturate yang mengandung

16
Fixed Drug Eruption

analgesic, pasien konstipasi yang mengkonsumsi phenolphthalein yang mengandung


laksatif, pasien flu yang sudah meminum banyak jenis obat, Manifestasi klinis di kulit
biasanya asimptomatik. Dapat terjadi pruritus, nyeri, atau rasa seperti terbakar. Waktu
ke onset terjadinya lesi dapat terjadi 30 menit sampai 8 jam setelah terjadinya ingesi
dari obat pada individu yang seinsitif. Durasi lesinya dapat persisten jika obatnya
diteruskan. Dapat sembuh dalam hitungan hari atau minggu setelah.

17
Fixed Drug Eruption

DAFTAR PUSTAKA

1. Johnson RA, Wolff K. Fixed drug eruption in: Fitzpatricks Color atlas and
synopsis of clinical dermatology. Sixth edition. New York: McGraw-Hill.
P;2009. p.566-568
2. Trozak DJ, Tennenhouse DJ, Russell JJ. Fixed drug eruption in: Current Clinical
Practice: Dermatology Skills for Primary Care: An Illustrated Guide. Totowa,
New Jersey: Humana Press.2006. p.147-151
3. Coulson IH. Drug reaction In: Rooks textbook of dermatology. 8th ed. United
kingdom. Willey-blackwell; 2010. p. 75.28-75.30.
4. Gawkrodger D. Drug eruption in: Dermatology An Illustrated Colour Text, 3th
edition. Churchil Livingstone; 2002.p. 82-82.
5. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ.
Cutaneous reaction to drugs in: Fitzpatricks: Dermatology in General
Medicine, 8th edition Vol. 1 & 2. New York : McGraw-Hill. P;2008. p.449-457
6. Hamzah M. Erupsi obat alergik. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi keenam. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, 2011. Halaman 154-158
7. Raycroft, et al. Dermatoses-Fixed drug eruption in: A Colour Handbook of
Dermatology, 2nd edition. Manson Publishing; 2010. p.166-171.
8. Sterry W, Paus R. Fixed drug eruption in: Thieme Clinical Companions
Dermatology. Sttutgard New York: Thieme; 2006.p.183-184
9. Andrade P et al. Patch testing in fixed drug eruption a 20-year review.
Department of Dermatology and Venereology, Coimbra University Hospital;
2011. Contact Dermatitis 65, 195201.
10. Han LC, Chen YC, Cho YT, Chang CY, Chu CY. Fixed drug eruption: a
retrospective study in a single referral center in Northern Taiwan. Taiwanese
Dermatological Association. Elsevier Publication; 2012. 30: 11-15.

18

Anda mungkin juga menyukai