Anda di halaman 1dari 14

REFERAT FIXED DRUG ERUPTION

Pembimbing: dr. Endang Soekmawati, SpKK

Disusun oleh : Bernard Leonardo Gurning 11 2011 111

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN KULIT & KELAMIN PERIODE 02 SEPTEMBER 2013 05 OKTOBER 2013 FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA RS MARDI RAHAYU - KUDUS

Kata Pengantar Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah dan karunia-Nya, sehingga dapat menyelesaikan referat dengan judul Fixed Drug Eruption. Referat ini dibuat untuk memenuhi kewajiban kepaniteraan klinik ilmu kedokteran kulit & kelamin di rumah sakit Mardi Rahayu, Kudus periode 02 September 2013 sampai 05 Oktober 2013. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr.Endang.S,SpKK atas kesempatan yang diberikan untuk membuat referat ini. Saya menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saya memohon maaf apabila terdapat kata-kata yang salah dan kurang berkenan. Saya mengharapkan kritik dan saran agar saya dapat belajar dari kesalahan dan meningkatkan ketelitian, keterampilan saya dalam membuat referat. Saya berharap referat ini dapat berguna bagi pembaca.

Kudus, September 2013

Bernard Leonardo Gurning

BAB I PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG Obat adalah bahan kimia yang digunakan untuk pemeriksaan,pencegahan dan pengobatan suatu penyakit atau gejala. Selain manfaatnya obat dapat menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan yang disebut reaksi simpang obat. Reaksi simpang obat dapat mengenai banyak organ antara lain paru,ginjal,hati, dan sumsum tulang tetapi reaksi kulit merupakan manifestasi yang tersering. Reaksi tersebut dapat berupa reaksi yang dapat diduga (predictable) dan yang tidak dapat diduga (unpredictable). Reaksi Simpang obat yang dapat diduga (predictable) terjadi pada semua individu, biasanya berhubungan dengan dosis dan merupakan efek farmakologik obat yang telah diketahui. Reaksi ini meliputi 80% dari seluruh efek simmpang obat termasuk diantaranya efek samping dan overdoses (kelebihan dosis). Reaksi simpang yang tidak dapat diduga (unpredictable) hanya terjadi pada orang yang rentan, tidak bergantung pada dosis dan tidak berhubungan dengan efek farmakologis obat, termasuk diantaranya reaksi alergi obat.Reaksi alergi obat apda kulit disebut erupsi alergi obat. Fixed drug eruption (FDE) merupakan salah satu bentuk erupsi kulit karena obat yang unik. FDE ditandai oleh macula hiperpigmentasi dan kadang-kadang bula diatasnya, yang dapat muncul kembali di tempat yang sama bila minum obat yang sama.FDE adalah erupsi alergi obat yang selalu dicetuskan oleh obat atau bahan kimia. Tidak ada factor etiologi lain yang dapat mengelitisasi.2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. DEFINISI Fixed Drug Eruption (FDE) adalah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi akibat pemberian atau pemakaian jenis obat-obatan tertentu yang biasanya dikarakteristik dengan timbulnya lesi berulang pada tempat yang sama dan tiap pemakaian obat akan menambah jumlah dari lokasi lesi.1,2 II. SINONIM Eksantema fikstum, fixed exanthema.1

Gambar 1. Fixed Drug Eruption

III.

EPIDEMIOLOGI Sekitar 10% fixed drug eruption terjadi pada anak dan dewasa, usia paling mudah

pernah dilaporkan adalah 8 bulan dan usia tertua adalah 87 tahun. Kajian dari NOEGROHOWATI mendapatkan fixed drug eruption (63%), sebagai manifestasi klinis dari erupsi alergi obat terbanyak dari 58 kasus bayi dan anak. Jumlah kasus terus bertambah seiring meningkatnya usia, hal tersebut mungkin disebabkan pajanan obat yang terus bertambah. Fixed drug eruption dapat mengenai pria dan wanita.

IV.

ETIOLOGI Obat-obatan yang paling sering menyebabkan FDE adalah sulfonamide, barbiturat,

trimetoprim, dan analgesic. Selain di atas, kontrasepsi oral, fenolftalein, fenasetin, salisilat, naproksen, nistatin, minosiklin, sulfonamide, tetrasiklin, metronidazol, doriden, sulindac, tolmetin, maolate, bleomysin, busulfan, zidovudine, klorpromasin, hidantoin, cyclofosfamid, klofasimin, antimalaria, prokarbasin, doksorubisin.1 V. PATOFISIOLOGI 1 Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik atau non imunologik. Yang dimaksud dengan erupsi obat adalah alergi terhadap obat yang terjadi melalui mekanisme imunologik. Hal ini terjadi pada pemberian obat kepada pasien yang sudah mempunyai hipersesitivitas terhadap obat tersebut.disebabkan oleh berat molekulnya yang rendah, biasanya obat itu berperan pada mulanya sebagai antigen yang tidak lengkap atau hapten. Obat atau metaboliknya yang berupa hapten, harus berkombinasi terlebih dahulu dengan protein, misalnya jaringan, serum atau protein dari membran sel untuk membentuk kompleks antigen yaitu kompleks hapten protein. Kekecualiannya ialah obat-obat dengan berat molekul yang tinggi yang dapat berfungsi langsung sebagai antigen yang lengkap. Ada beberapa faktor yang berperan dalam menentukan sejauh mana kapasitas dari sebuah obat dalam menimbulkan respon imun : 1. Karakteristik molekular dan sensitisasi. Sebuah molekul yang imunogenik biasanya mempunyai berat molekul lebih dari 1000 dalton. Kebanyakan molekul obat tidak sebesar itu dan untuk memberikan respon imun harus berikatan dengan makromolekul jaringan yang berperan sebagai hapten. Hapten adalah sebuah substansi yang tidak imunogenik tetapi menjadi imunogenik ketika berikatan dengan karier makromolekul. Ikatan yang terjadi haruslah sangat kuat dan biasanya bersifat kovalen. Untuk sebuah ikatan obat dan makromolekul jaringan kompleks menjadi imunogenik harus diproses oleh antigen dan sel yang bersangkutan (seperti sel langerhans dari kulit). Bersama-sama dengan antigen histokompatibiliti ke sebuah limfosit T sebagai hasil dari presentasi terjadi aktivasi dari populasi sel T yang berbeda dan setiap populasi sel T dapat menimbulkan reaksi klinik yang berbeda pada aktivasi TH1 tipe sel T menyebabkan produksi dari interferon dan interleukin 2 yang akan diikuti dengan terjadinya reaksi obat morbiliform pada kontak dermatitis atau mungkin nekrolisis epidermal toksis. Aktivasi tipe sel TH2 menyebabkan terjadinya produksi interleukin -4, -5, atau -13, yang

akan menyebabkan terjadinya produksi dari antibodi IgE dan reaksi klinik seperti urtikaria atau anafilaktik. Mekanisme yang menentukan tipe terakhir dari aktivasi sel T belum diketahui. 2. Variasi metabolik individu. Variasi metabolik individu merupakan jalur yang dilewati oleh obat dimana dapat memberi reaksi intermediet atau diekskresi. Reaktivasi intermediet berlaku sebagai hapten yang dapat melakukan ikatan kovalen pada makromolekul sel yang dapat menyebabkan kematian sel atau merangsang respon imun sekunder. 3. Kemampuan imunogenetik. Respon imun dari antigen-antigen yang bervariasi biasanya dikontrol secara genetik dan berbeda-beda pada tiap individu. Beberapa observasi klinik mengatakan bahwa kontrol genetik mempunyai suatu peranan yang besar dalam reaktivasi obat. Mereka percaya bahwa reaksi anafilaktik lebih sering terjadi pada individu atopik dibanding dengan nonatopik. Wanita memiliki angka kejadian 35% lebih tinggi daripada pria. Sebagai tambahan pasien dengan SLE dapat meningkatkan prevalensi dari reaksi alergi obat, tetapi belum jelas apakah hal ini berhubungan dengan abnormalitas imun atau frekuensi pemaparan obat-obatan. Demonstrasi yang paling jelas tentang pentingnya sistem imun terhadap resiko obat adalah pada kasus infeksi HIV. Reaksi obat pada pasien HIV 10 x lebih tinggi daripada mereka yang tidak terinfeksi dan resiko ini meningkat seiring dengan perjalanan penyakitnya. Demikian pula untuk pasien yang melakukan transplantai sumsum tulang, dimana terjadi peningkatan resiko reaksi obat. 4. Usia Usia dapat menentukan kemampuan respon imun dari pemberian suatu obat, dimana dikatakan alergi lebih sering ditemukan pada anak-anak dan pada manula, mungkin karena ketidakmatangan atau involusi dari sistem imun.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya FDE : 1. Paparan obat. Pemberian obat dapat mengakibatkan terjadinya reaksi komplit antigen antibodi dengan terbentuknya hapten. Yang penting juga adalah pola morfologik yang spesifik yang dapat meningkat atau menurun pada pemberian obat yang menyebabkan terjadinya reaksi kulit tersebut. Sebagai contoh FDE lebih sering ditemukan pada pemberian barbiturat daripada penisilin, walaupun penisilin memiliki kemungkinan menimbulkan reaksi kulit karena obat yang lebih tinggi.

2.

Waktu kejadian. Kebanyakan reaksi obat pada kulit terjadi dalam 1 - 2 minggu dari terapi pertama. Beberapa tipe reaksi terutama sindrom hipersensitivitas dapat memberikan onset yang tertunda bahkan sampai lebih dari 2 bulan setelah pemberian obat. Untuk beberapa reaksi yang lebih serius, resiko yang berhubungan dengan pemberian obat lebih dari 2 bulan tampak lebih rendah.

3.

Uji eliminasi pemakaian obat. Kebanyakan reaksi kulit karena obat akan berkurang dengan penghentian pemakaian obat tersebut. Sebuah reaksi kulit tidak mungkin berhubungan dengan obat jika reksi terus berlanjut setelah dilakukan penghentian pemakaian obat tersebut.

4.

Pemaparan obat ulangan. Pemberian obat ulangan memberikan informasi pasti apakah obat tersebut menyebabkan terjadinya reaksi kulit walaupun pemberian yang sering tidak dimungkinkan karena tidak menjamin keselamatan dari pasien kecuali terjadi perubahan pola status imunologik pasien. Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologi yang dikemukakan oleh Coombs &

Gell; suatu reaksi alergi terhadap obat dapat mengikuti salah satu dari ke empat jalur berikut ini; 1. Tipe I Reaksi Anafilaktik Reaksi obat yang diperantarai IgE biasanya terjadi karena penisilin atau golongannya. Reaksi dapat terjadi dalam beberapa menit setelah pemakaian obat. Gejala biasanya bervariasi seperti pruritus, urtikaria, spasme bronkus, dan edema laring bahkan dapat menyebabkan terjadinya syok anafilaktik dengan hipotensi dan kematian. Sel mast dan basofil yang tersentisisasi akan melepaskan mediator-mediator kimia (histamin) atau lemak (leukotriens/prostaglandin) yang akan menimbulkan gejala klinik yang berbedabeda tergantung dari interaksi organ target (kulit, sistim respirasi, GIT atau sistim kardiovaskuler) dengan mediator kimia tersebut. Penelitian terbaru mengatakan reaksi obat perantaraan IgE lebih diakibatkan peran basofil daripada sel mast. Pelepasannya dipicu ketika terjadi konjugasi protein obat polifalen yang terbentuk secara in vivo dan behubungan dengan molekul IgE yang mensensitisasi sel-sel.

2. Tipe II Reaksi Sitotoksik Reaksi tipe ini dapat disebabkan oleh obat, dan memerlukan penggabungan antara IgE dan IgM dengan antigen yang melekat pada sel. Jika sistem komplemen teraktivasi akan dipacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.1 3. Tipe III Reaksi Kompleks Imun Antibodi mengadakan reaksi dengan antigen membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh dan mengakibatkan reaksi radang. Dengan adanya aktivasi sistim komplemen terjadi pelepasan anafilaktosin yang merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Dengan adanya aktivasi komplemen akan terjadi kerusakan jaringan.1 4. Tipe IV Reaksi Alergi Selular Tipe Lambat Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersentisisasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini di sebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12 - 48 jam setelah pajanan dengan antigen.1 FDE termasuk dalam reaksi tipe III dengan adanya reaksi kompleks antigen antibodi. VI. GEJALA KLINIS Kelainan ini umumnya berupa eritema dan vesikel berbentuk bulat atau lonjong dan biasanya numular. Kemudian meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama baru hilang, bahkan sering menetap. Dari namanya dapat diambil kesimpulan bahwa kelainan akan timbul berkali-kali pada tempat yang sama. Tempat predileksinya di sekitar mulut, di daerah bibir dan daerah penis pada laki-laki sehingga sering disangka penyakit kelamin karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas disertai eritema dan rasa panas setempat. FDE dikarakteristik dengan 1 atau beberapa lesi eritematous. Lesi ini seringkali timbul pada wajah dan daerah genital dan menyebabkan terjadinya luka seperti luka bakar walaupun inflamasi akut sembuh secara perlahan-lahan tapi hiperpegmentasi lokal akan menetap dengan pemaparan obat yang berulang, lesi akan muncul kembali pada tempat yang sama. Lesi baru berbentuk bulat atau oval dan berbentuk plak dengan gambaran eritematous dan bula pada kulit akan berubah berwarna ungu atau coklat. Lesi biasanya berkembang dalam waktu 30 menit - 8 jam setelah pemberian obat, kadang-kadang lesi pada awalnya soliter tapi pada pemberian obat yang berulang lesi baru dapat muncul lagi dan lesi lama yang sudah ada dapat bertambah besar.

Lesi lebih sering muncul pada anggota gerak daripada badan. tangan, kaki, genitalia (glands penis) dan daerah perianal adalah tempat favorit munculnya lesi. Lesi juga dapat muncul di sekeliling mulut dan mata. Daerah genital dapat terjadi berhubungan dengan lesi pada kulit atau terjadi sendiri. Apabila terjadi penyembuhan timbul pengelupasan yang diikuti dengan perubahan warna yang menetap pada daerah lesi dimana warna berubah menjadi kecoklatan. Hal ini dapat menghilang seiring waktu tapi sering menetap diantara pemaparan obat. Pigmentasi terjadi lebih lama pada orang dengan kulit coklat. Pigmentasi dari FDE menghilang apabila penderita tidak diberikan obat penyebab. FDE non pigmentasi dilaporkan pada pemberian pseudoefedrin dan piroksikan bisa terdapat gejala-gejala lokal atau umum yang menemani perjalanan penyakit fixed drug eruption yang berupa gejala ringan atau tidak ada. Beberapa gambaran karakteristik ke arah dugaan adanya FDE : 1. 2. 3. 4. Reaksi hanya terjadi setelah pajanan ulang dengan obat. Pada penggunaan pertama kali, waktu reaksi berkisar antara 8-9 hari. Manifestasi erupsi obat tidak bergantung pada kegunaan farmakologik dan kimiawi obat tersebut. Jumlah obat yang sangat sedikit dapat memacu reaksi yang berat meskipun obat tersebut telah dipakai dalam jangka waktu lama. Obat yang sama dapat menyebabkan reaksi yang berbeda pada orang yang sama pada waktu yang berlainan, sebaliknya berbagai obat dapat menyebabkan reaksi atau manifestasi klinik yang sama.

VII.

PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI Pada lesi akut ditemukan spongiosis, vesikel intraepidermal, sebukan sel

radanglimfosit dan makrofag di sekitar pembuluh darah. Lesi kronis ditemukan akantosis teratur,hipergranulosis dan hiperkeratosis, mungkin juga spongiosis ringan. Dermis bagian atasfibrosis, sebukan limfosit dan makrofag di sekitar pembuluh darah.1 VIII. DIAGNOSIS 1. Anamnesis : Adanya hubungan antara timbulnya erupsi dengan penggunaan obat dan diketahui mengenai : obat-obatan yang didapat kelainan timbul secara akut atau dapat juga beberapa hari sesudah masuknya obat. Rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebril. Pada awalnya lesi biasanya bersifat soliter, tapi jika penderita meminum obat yang sama, maka lesi yang lama akan timbul kembali disertai dengan lesi yang baru. Namun jumlah lesi biasanya sedikit. Timbulnya kembali lesi di tempat yang sama menjelaskan arti kata fixed pada nama penyakit tersebut 2. Kelainan Klinis : Adanya kelainan klinis berupa lesi yang selalu timbul pada tempat yang sama akibat pemaparan obat. Penghentian obat yang diikuti penurunan gejala klinis merupakan petunjuk kemungkinan erupsi disebabkan oleh obat tersebut. 3. Pemeriksaan Khusus : Saat ini belum diketahui cara yang cukup sensitif dan dapat dipercaya untuk mendeteksi obat penyebab FDE. Diagnosis Banding 1. Dermatitis Kontak Alergi 2. Eritema Multiforme

IX.

PENGOBATAN Pengobatan FDE belum memuaskan, antara lain karena kesukaran dalam memastikan

penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri atau metabolitnya. Pengobatan dibagi dalam : 1. pengobatan kausal Dilaksanakan dengan menghindari obat tersangka (apabila obat tersangka telah dapat dipastikan). Dianjurkan pula untuk menghindari obat yang mempunyai struktur kimia mirip dengan obat tersangka (satu golongan). 2. a. pengobatan sistemik kortikosteroid Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Dosis standar untuk fixed drug eruption pada orang dewasa ialah 3 x 10 mg prednisone sehari. b. antihistamin Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang bila dibandingkan dengan kortikosteroid 3. pengobatan topikal Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau basah. Pada FDE, jika kelainan membasah dapat diberi kompres misalnya kompres larutan asam salisilat 1% dan jika kering dapat diberi krim kortikosteroid, misalnya krim hidrokortison 1% atau 2 %. Identifikasi dari obat penyebab FDE dilakukan apabila hanya 1 obat yang digunakan biasanya kita mencurigai beberapa obat sebagai petunjuk yang kita gunakan adalah mengetahui kronologis pemberian obat-obatan tersebut. Hanya obat-obatan yang baru digunakan (8-21 hari) yang dimasukkan dalam daftar yang dicurigai. Identifikasi yang jelas dari obat penyebab dan catatan tertulis tentang obat-obat penyebab yang diberikan pada pasien oleh dokter merupakan langkah pencegahan yang sangat penting. Pemberian obat spesifik (kortikosteroid, obat-obatan imunosupresif/terapi anti sitokin, immunoglobulin) seharusnya tidak diberikan sesuai standar pemberian obat sebelum terdapat bukti efisiensi penggunaannya terhadap pasien, kadang-kadang penggunaan obat-obatan tersebut dapat berbahaya bagi pasienSedapat-dapatnya mencari penyebab atau faktor yang memprovokasi. Bila kulit kering, diberi pelembab atau emolien (aqueouscream, gliserine dan cetomacrogol cream, wool fat lotions). Secara topikal lesi dapat diobati dengan obat anti

inflamasi untuk menghilangkan peradangan pada kulit dan mengurangi iritasi kulit, misalnya preparat ter, glukokortikoid, takrolimus, atau pimekrolimus. Antibiotik oral maupun topical untuk mencegah infeksi sekunder. Digunakan dicloxacillin dosis oral 125-500 mg 4 kali per hari selama 7-10 hari. Bila lesi masih eksudatif, sebaiknya dikompres dahulu misalnya dengan larutan permanganas kalikus 1:10.000. Kalau ditemukan infeksi bakterial, diberikan antibiotik secara sistemik. Kortikosteroid sistemik hanya diberikan pada kasus yang berat dan refrakter, dalam jangka pendek. Pruritus dapat diobati dengan antihistamin golongan H1, misalnya hidroksisilin HCl. Kadang-kadang dermatitis numular dapat sembuh total, hanya timbul lagi jika pengobatan tidak diteruskan. X. PROGNOSIS Pada dasarnya FDE akan menyembuh bila penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan-kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom Steven Johnson, prognosis dapat menjadi buruk bergantung pada luas kulit yang terkena.

BAB III PENUTUP KESIMPULAN Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel,skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Bentuk dermatitis ini sering mengenairemaja, dewasa muda dan umur yang lebih tua serta jarang pada anak-anak dengan riwayat dermatitis atopi. Penyebabnya tidak diketahui. Bentuk-bentuk infeksi lainnya pada dermatitis, seperti adanya kolonisasi Staphylococcus aureus, yang mana dapat memperberat kondisi penyakitnya walau tidak tampak pada gejala klinis. Pada satu studi menunjukan dermatitis numularis meningkat pada pasien dengan usia yang lebih tua, terutama yang sangat sensitif dengan aloealergi. Umumnya prognosis dari penyakit ini adalah baik dan dapat sembuh dengan pengobatan topikal.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Hamzah, Mochtar. 2008. Fixed Drug Eruption (FDE) , Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke 5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. Hal 156

2. 3. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Dermatitis dalam Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi ke-5 cetakan kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2007; h 148-50. 4. Siregar RS. Dermatitis Numularis dalam buku Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit edisi 2. Jakarta : EGC. 2005; h 120-21. 5. Brown RG, Bourke J, Cunliffe T. Ahli bahasa : Pendit BU, editor : Nirmala WK. Eksim dalam buku Dermatologi Dasar untuk Praktik Klinik. Jakarta : EGC. 2011; h 165-76. 6. Anonim. Nummuler Dermatitis. Diunduh dari http://www.medicalnewstoday.com/articles/182794.php. 3 November 2012. 7. Anonim. Nummuler Dermatitis. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/1123605-overview. 3 November 2012. 8. Anonim. Dermatitis Numuler. Diunduh dari http://medicastore.com/penyakit/78/Dermatitis_Numuler. 3 November 2012. 9. Anonim. Nummular Dermatitis. Diunduh dari http://en.wikipedia.org/wiki/Nummular_dermatitis. 3 November 2012

Anda mungkin juga menyukai