Anda di halaman 1dari 16

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA
1.1 DEFINISI
Fixed drug eruption (FDE) adalah reaksi alergi pada kulit atau daerah
mukokutan yang terjadi akibat pemberian atau pemakaian jenis obat-obatan
tertentu yang biasanya dikarakteristik dengan timbulnya lesi berulang pada tempat
yang sama dan tiap pemakaian obat akan menambah jumlah dari lokasi lesi.
1.2 EPIDEMIOLOGI
Beberapa penelitian tentang morfologi dan agen pencetus pada pasienpasien dengan erupsi obat dirumah sakit atau bagian kulit dan kelamin pada tahun
1986-1990 dilaporkan pada 135 kasus didapatkan perubahan morfologik akibat
erupsi obat yang paling sering adalah eksantematous (39%), urtikaria/angioedema
(27%), FDE

(16%), eritema multiform (5,4%) dan reaksi kulit lainnya (18%).

Sejak tahun 1956 proporsi dari reaksi erupsi obat berupa urtikaria menurun dan
terjadi peningkatan angka kejadian FDE.
1.3 ETIOPATOGENESIS
Banyak obat yang dilaporkan dapat menyebabkan FDE. Yang paling
sering dilaporkan adalah phenolpthalein, barbiturate, sulfonamide, tetrasiklin,
antipiretik pyrazolone dan obat anti inflamasi non steroid.
Daftar obat-obat penyebab FDE
Obat antibakteri

Obat anti inflamasi non steroid

Sulfonamid (co-trimoxazole)

Aspirin

Tetrasiklin

Oxyphenbutazone

Penisilin

Phenazone

Ampisilin

Metimazole

Amoksisilin

Paracetamol

Eritomisin

Ibuprofen

Trimethoprim

Phenolpthalein

Nistatin

Codein

Griseofulvin

Hydralazin

Dapson

Oleoresin

Arsen

Symphatomimetic

Garam Merkuri

Symaphatolitic

P amino salicylic acid

Parasymphatolitic

Thiacetazone

Hyoscine butylbromide

Quinine

Magnesium hydroxide

Metronidazole

Magnesium trisilicate

Clioquinol

Anthralin

Barbiturat dan tranquilizer lainnya

Chlorthiazone

Derivat Barbiturat

Chlorphenesin carbamate

Opiat

Berbagai penambah rasa/flavour makanan

Chloral hidrat
Benzodiazepine
Chlordiazepoxide
Anticonvulsan

Dextromethoephan

Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik atau
non imunologik. Yang dimaksud dengan erupsi obat adalah alergi terhadap obat
yang terjadi melalui mekanisme imunologik. Hal ini terjadi pada pemberian obat
kepada

pasien

yang

sudah

mempunyai

hipersesitivitas

terhadap

obat

tersebut.disebabkan oleh berat molekulnya yang rendah, biasanya obat itu


berperan pada mulanya sebagai antigen yang tidak lengkap atau hapten. Obat atau
metaboliknya yang berupa hapten, harus berkombinasi terlebih dahulu dengan
protein, misalnya jaringan, serum atau protein dari membran sel untuk
membentuk kompleks antigen yaitu kompleks hapten protein. Kekecualiannya
ialah obat-obat dengan berat molekul yang tinggi yang dapat berfungsi langsung
sebagai antigen yang lengkap.
Ada beberapa faktor yang berperan dalam menentukan sejauh mana kapasitas dari
sebuah obat dalam menimbulkan respon imun :
1.

Karakteristik molekular dan sensitisasi.


Sebuah molekul yang imunogenik biasanya mempunyai berat molekul lebih
dari 1000 dalton. Kebanyakan molekul obat tidak sebesar itu dan untuk
memberikan respon imun harus berikatan dengan makromolekul jaringan
yang berperan sebagai hapten. Hapten adalah sebuah substansi yang tidak
imunogenik tetapi menjadi imunogenik ketika berikatan dengan karier
makromolekul. Ikatan yang terjadi haruslah sangat kuat dan biasanya bersifat
kovalen.
Untuk sebuah ikatan obat dan makromolekul jaringan kompleks menjadi
imunogenik harus diproses oleh antigen dan sel yang bersangkutan (seperti sel
langerhans dari kulit). Bersama-sama dengan antigen histokompatibiliti ke
sebuah limfosit T sebagai hasil dari presentasi terjadi aktivasi dari populasi sel
T yang berbeda dan setiap populasi sel T dapat menimbulkan reaksi klinik
yang berbeda pada aktivasi TH1 tipe sel T menyebabkan produksi dari
interferon dan interleukin 2 yang akan diikuti dengan terjadinya reaksi obat
morbiliform pada kontak dermatitis atau mungkin nekrolisis epidermal toksis.

Aktivasi tipe sel TH2 menyebabkan terjadinya produksi interleukin -4, -5,
atau -13, yang akan menyebabkan terjadinya produksi dari antibodi IgE dan
reaksi klinik seperti urtikaria atau anafilaktik. Mekanisme yang menentukan
tipe terakhir dari aktivasi sel T belum diketahui.
2.

Variasi metabolik individu.


Variasi metabolik individu merupakan jalur yang dilewati oleh obat dimana
dapat memberi reaksi intermediet atau diekskresi. Reaktivasi intermediet
berlaku sebagai hapten yang dapat melakukan ikatan kovalen pada
makromolekul sel yang dapat menyebabkan kematian sel atau merangsang
respon imun sekunder.

3.

Kemampuan imunogenetik.
Respon imun dari antigen-antigen yang bervariasi biasanya dikontrol secara
genetik dan berbeda-beda pada tiap individu. Beberapa observasi klinik
mengatakan bahwa kontrol genetik mempunyai suatu peranan yang besar
dalam reaktivasi obat. Mereka percaya bahwa reaksi anafilaktik lebih sering
terjadi pada individu atopik dibanding dengan non-atopik. Wanita memiliki
angka kejadian 35% lebih tinggi daripada pria. Sebagai tambahan pasien
dengan SLE dapat meningkatkan prevalensi dari reaksi alergi obat, tetapi
belum jelas apakah hal ini berhubungan dengan abnormalitas imun atau
frekuensi pemaparan obat-obatan. Demonstrasi yang paling jelas tentang
pentingnya sistem imun terhadap resiko obat adalah pada kasus infeksi HIV.
Reaksi obat pada pasien HIV 10 x lebih tinggi daripada mereka yang tidak
terinfeksi dan resiko ini meningkat seiring dengan perjalanan penyakitnya.
Demikian pula untuk pasien yang melakukan transplantai sumsum tulang,
dimana terjadi peningkatan resiko reaksi obat.

4.

Usia
Usia dapat menentukan kemampuan respon imun dari pemberian suatu obat,
dimana dikatakan alergi lebih sering ditemukan pada anak-anak dan pada
manula, mungkin karena ketidakmatangan atau involusi dari sistem imun.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya FDE :

1.

Paparan obat.
Pemberian obat dapat mengakibatkan terjadinya reaksi komplit antigen
antibodi dengan terbentuknya hapten. Yang penting juga adalah pola
morfologik yang spesifik yang dapat meningkat atau menurun pada pemberian
obat yang menyebabkan terjadinya reaksi kulit tersebut. Sebagai contoh FDE
lebih sering ditemukan pada pemberian barbiturat daripada penisilin,
walaupun penisilin memiliki kemungkinan menimbulkan reaksi kulit karena
obat yang lebih tinggi.

2.

Waktu kejadian.
Kebanyakan reaksi obat pada kulit terjadi dalam 1 - 2 minggu dari terapi
pertama. Beberapa tipe reaksi terutama sindrom hipersensitivitas dapat
memberikan onset yang tertunda bahkan sampai lebih dari 2 bulan setelah
pemberian obat. Untuk beberapa reaksi yang lebih serius, resiko yang
berhubungan dengan pemberian obat lebih dari 2 bulan tampak lebih rendah.

3.

Uji eliminasi pemakaian obat.


Kebanyakan reaksi kulit karena obat akan berkurang dengan penghentian
pemakaian obat tersebut. Sebuah reaksi kulit tidak mungkin berhubungan
dengan obat jika reksi terus berlanjut setelah dilakukan penghentian
pemakaian obat tersebut.

4.

Pemaparan obat ulangan.


Pemberian obat ulangan memberikan informasi pasti apakah obat tersebut
menyebabkan terjadinya reaksi kulit walaupun pemberian yang sering tidak
dimungkinkan karena tidak menjamin keselamatan dari pasien kecuali terjadi
perubahan pola status imunologik pasien.
Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologi yang dikemukakan oleh

Coombs & Gell; suatu reaksi alergi terhadap obat dapat mengikuti salah satu dari
ke empat jalur berikut ini;

1. Tipe I Reaksi Anafilaktik


Reaksi obat yang diperantarai IgE biasanya terjadi karena penisilin atau
golongannya. Reaksi dapat terjadi dalam beberapa menit setelah pemakaian
obat. Gejala biasanya bervariasi seperti pruritus, urtikaria, spasme bronkus,
dan edema laring bahkan dapat menyebabkan terjadinya syok anafilaktik
dengan hipotensi dan kematian. Sel mast dan basofil yang tersentisisasi akan
melepaskan

mediator-mediator

kimia

(histamin)

atau

lemak

(leukotriens/prostaglandin) yang akan menimbulkan gejala klinik yang


berbeda-beda tergantung dari interaksi organ target (kulit, sistim respirasi, GIT
atau sistim kardiovaskuler) dengan mediator kimia tersebut. Penelitian terbaru
mengatakan reaksi obat perantaraan IgE lebih diakibatkan peran basofil
daripada sel mast. Pelepasannya dipicu ketika terjadi konjugasi protein obat
polifalen yang terbentuk secara in vivo dan behubungan dengan molekul IgE
yang mensensitisasi sel-sel.
2. Tipe II Reaksi Sitotoksik
Reaksi tipe ini dapat disebabkan oleh obat, dan memerlukan penggabungan
antara IgE dan IgM dengan antigen yang melekat pada sel. Jika sistem

komplemen teraktivasi akan dipacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan


lisis.
3. Tipe III Reaksi Kompleks Imun
Antibodi mengadakan reaksi dengan antigen membentuk kompleks antigen
antibodi yang kemudian mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan
tubuh dan mengakibatkan reaksi radang. Dengan adanya aktivasi sistim
komplemen terjadi pelepasan anafilaktosin yang merangsang pelepasan
berbagai mediator oleh mastosit. Dengan adanya aktivasi komplemen akan
terjadi kerusakan jaringan.
4. Tipe IV Reaksi Alergi Selular Tipe Lambat
Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersentisisasi mengadakan
reaksi dengan antigen. Reaksi ini di sebut reaksi tipe lambat karena baru
timbul 12 - 48 jam setelah pajanan dengan antigen.
FDE termasuk dalam reaksi tipe III dengan adanya reaksi kompleks antigen
antibodi.
1.4 GAMBARAN KLINIK
FDE dikarakteristik dengan 1 atau beberapa lesi eritematous. Lesi ini
seringkali timbul pada wajah dan daerah genital dan menyebabkan terjadinya luka
seperti luka bakar walaupun inflamasi akut sembuh secara perlahan-lahan tapi
hiperpegmentasi lokal akan menetap dengan pemaparan obat yang berulang, lesi
akan muncul kembali pada tempat yang sama.
Lesi baru berbentuk bulat atau oval dan berbentuk plak dengan gambaran
eritematous dan bula pada kulit akan berubah berwarna ungu atau coklat. Lesi
biasanya berkembang dalam waktu 30 menit - 8 jam setelah pemberian obat,
kadang-kadang lesi pada awalnya soliter tapi pada pemberian obat yang berulang
lesi baru dapat muncul lagi dan lesi lama yang sudah ada dapat bertambah besar.
Lesi lebih sering muncul pada anggota gerak daripada badan. tangan, kaki,
genitalia (glans penis) dan daerah perianal adalah tempat favorit munculnya lesi.
Lesi juga dapat muncul di sekeliling mulut dan mata. Daerah genital dapat terjadi
berhubungan dengan lesi pada kulit atau terjadi sendiri. Apabila terjadi
penyembuhan timbul pengelupasan yang diikuti dengan perubahan warna yang

menetap pada daerah lesi dimana warna berubah menjadi kecoklatan. Hal ini
dapat menghilang seiring waktu tapi sering menetap diantara pemaparan obat.
Pigmentasi terjadi lebih lama pada orang dengan kulit coklat. Pigmentasi dari
FDE menghilang apabila penderita tidak diberikan obat penyebab. FDE non
pigmentasi dilaporkan pada pemberian pseudoefedrin dan piroksikan bisa terdapat
gejala-gejala lokal atau umum yang menemani perjalanan penyakit fixed drug
eruption yang berupa gejala ringan atau tidak ada.
Beberapa gambaran karakteristik ke arah dugaan adanya FDE :
1.

Reaksi hanya terjadi setelah pajanan ulang dengan obat. Pada penggunaan
pertama kali, waktu reaksi berkisar antara 8-9 hari.

2.

Manifestasi erupsi obat tidak bergantung pada kegunaan farmakologik dan


kimiawi obat tersebut.

3.

Jumlah obat yang sangat sedikit dapat memacu reaksi yang berat
meskipun obat tersebut telah dipakai dalam jangka waktu lama.

4.

Obat yang sama dapat menyebabkan reaksi yang berbeda pada orang yang
sama pada waktu yang berlainan, sebaliknya berbagai obat dapat
menyebabkan reaksi atau manifestasi klinik yang sama.

1.5 DIAGNOSIS
Diagnosis FDE berdasarkan :
1. Anamnesis :
Adanya hubungan antara timbulnya erupsi dengan penggunaan obat dan
diketahui mengenai :
-

obat-obatan yang didapat

kelainan timbul secara akut atau dapat juga beberapa hari sesudah
masuknya obat.

Rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebril.

2. Kelainan Klinis :
Adanya kelainan klinis berupa lesi yang selalu timbul pada tempat yang
sama akibat pemaparan obat. Penghentian obat yang diikuti penurunan

gejala klinis merupakan petunjuk kemungkinan erupsi disebabkan oleh


obat tersebut.
3. Pemeriksaan Khusus :
Saat ini belum diketahui cara yang cukup sensitif dan dapat dipercaya
untuk mendeteksi obat penyebab FDE.
1.6 DIAGNOSA BANDING
1. TEN ( Toxic Epidermal Necrolisis)
Gejala SSJ hampir mirip sekali dengan TEN ( Toxic Epidermal
Necrolisis) namun pada TEN gejalanya lebih berat dtadai dengan
kesadaran meurun (soporous-comatosa), terjadi epidermolisis dan
dijumpai tanda Niklosksy sign positif.
Pada TEN jumlah lesi target yang berupa :
a. Infiltrat sel mononuklear disekitar pembuluh darah dermis
superfisial
b. Udem dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papiler
c. Degenerasi hidropik lamina basalis sampai terbentuk vesikel
supepidermal disertai bula, dan lepasnya epidermis >30% dari luas
permukaan Badan (LPB) sedangkan pada SSJ <10% dari LPB.
2. Eritema Multiforme
Adalah reaksi mendadak dikulit dan selaput lendir dengan
efloresensi yang khas berupa gambaran iris. Penyebab yang pasti belum
jelas, diduga karena alergi obat, infeksi virus, udara dingin atau
rangsangan fisik. Gambaran ruamnya berupa makula eritematosa yang
bundar dengan vesikel pada bagian tengahnya sehingga menyerupai
cincin yang disebut bentuk iris (target cell). Tipe bulosa : tampakplak
urtika dan diberbagai tempat ditemukan bula-bula besar, lebar, tak
berbatas tegas, dikelilingi oleh eritema.

3. Sindrom stevens-johnson (SSJ)


merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium, dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat.
Kelainan kulit berupa eritema, vesikula/bula, dapat disertai purpura.

1.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu memastikan diagnosa
FDE dengan pemeriksaan pacth test dan histopatologi. Pacth test berguna untuk
mengidentifikasi obat penyebab yang dicurigai serta untuk mengetahui ada
tidaknya sensitivitas terhadap pengobatan.
Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan adanya degenarasi hidrotik
pada lapisan sel basal yang akan menuju pada inkontinens pagmentari, dimana
dikarakteristik dengan adanya melanin dalam jumlah yang banyak diantara
makrofag yang terdapat pada lapisan atas kulit (Tarnowsky). Sebagai tambahan
terdapat penyebaran dari diskeratotik keratonicytes dengan sitoplasma yang
eosinifilik dan inti pignotik sering terlihat pada epidermis (Furuya, dkk). Pada
pemeriksaan dengan mengunakan mikroskop elektron diskeratotik keratonicytes
terisi dengan tonofilamen tipis yang homogen dan menunjukkan sedikit dari sisasisa organel sel dan inti.
1.8 PENATALAKSANAAN
Pengobatan FDE belum memuaskan, antara lain karena kesukaran dalam
memastikan penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri atau metabolitnya.
Pengobatan dibagi dalam :
1.

pengobatan kausal
Dilaksanakan dengan menghindari obat tersangka (apabila obat tersangka
telah dapat dipastikan). Dianjurkan pula untuk menghindari obat yang
mempunyai struktur kimia mirip dengan obat tersangka (satu golongan).

2.

pengobatan sistemik
a.

kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Dosis
standar untuk fixed drug eruption pada orang dewasa ialah 3 x 10 mg
prednisone sehari.

b.

antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa
gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang bila dibandingkan dengan
kortikosteroid

10

3.

pengobatan topikal
Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering
atau basah. Pada FDE, jika kelainan membasah dapat diberi kompres dan jika
kering dapat diberi krim kortikosteroid, misalnya krim hidrokortison 1% atau
2 %.
Identifikasi dari obat penyebab FDE dilakukan apabila hanya 1 obat yang

digunakan biasanya kita mencurigai beberapa obat sebagai petunjuk yang kita
gunakan adalah mengetahui kronologis pemberian obat-obatan tersebut. Hanya
obat-obatan yang baru digunakan (8-21 hari) yang dimasukkan dalam daftar yang
dicurigai.
Identifikasi yang jelas dari obat penyebab dan catatan tertulis tentang obatobat penyebab yang diberikan pada pasien oleh dokter merupakan langkah
pencegahan yang sangat penting. Pemberian obat spesifik (kortikosteroid, obatobatan imunosupresif/terapi anti sitokin, immunoglobulin) seharusnya tidak
diberikan sesuai standar pemberian obat sebelum terdapat bukti efisiensi
penggunaannya terhadap pasien, kadang-kadang penggunaan obat-obatan tersebut
dapat berbahaya bagi pasien.

1.9 PROGNOSIS
Pada dasarnya FDE akan menyembuh bila penyebabnya dapat diketahui
dan segera disingkirkan. Akan tetapi beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan
kelainan-kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom Steven Johnson, prognosis
dapat menjadi buruk bergantung pada luas kulit yang terkena.

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama
: Ny. S
Umur
: 30 Tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Alamat
: Bukittinggi
11

Suku
Agama
Status

: Minang
: Islam
: Menikah

2.2 Anamnesa
Seorang pasien wanita berusia 30 tahun datang ke poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi pada tanggal 5 Maret
2016
Keluhan Utama
Bercak merah gatal disertai ketombe di kepala sejak 1 minggu yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang
- Bercak merah gatal disertai ketombe di kepala sejak 1 minggu yang
-

lalu.
Awalnya bercak merah muncul di dahi sebelah kiri, kemudian
menyebar ke dahi kanan dan puncak kepala. Gatal disertai sisik

kering ( ketombe ).
Pasien sering telat tidur, suka makan gorengan pedas. Pasien

mengerjakan pekerjaan rumah sendiri dari pagi hingga malam hari.


Pasien tidak mempunyai riwayat atopi.
Belum pernah diobati sebelumnya.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Pasien belum pernah mengalami sakit ini sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada keluarga pasien yang menderita penyakit seperti ini.
Riwayat Alergi:
- Riwayat alergi obat disangkal
2.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata:
- Keadaan Umum
- Kesadaran
- Status Gizi
- Pemeriksaan Thorax
- Pemeriksaan Abdomen

: Tampak sakit sedang


: Composmentis cooperative
: Baik
: Diharapakan dalam batas normal
: Diharapakan dalam batas normal

Status Dermatologikus:
- Lokasi
: pada scrotum
- Distribusi
: terlokalisir
- Bentuk/susunan : tidak khas
- Ukuran
: Numular

12

Batas
Efloresensi

: Tegas
: erosi

Status Venereologikus
:
- Orificium uretrha externum
- Preputium
- Penis
- Scrotum
-

erosi
Testis

Kelainan Selaput
Kelainan Kuku
Kelainan Rambut
Kelainan Kelenjar Limfe
2.4 Pemeriksaan Anjuran
- Pacth test

: tidak ditemukan kelainan


: tidak ditemukan kelainan
: tidak ditemukan kelainan
: ditemukan lesi yang mengalami
: tidak ditemukan kelainan

: Tidak terdapat kelainan


: Tidak terdapat kelainan
: Tidak terdapat kelainan
: Tidak terdapat kelainan

2.5 Diagnosa
- Fixed Drug Eruption
2.6 Diagnosa Banding
2.7 Penatalaksanaan
Umum :
Hentikan pemakaian semua jenis obat-obat yang sebelumnya
dikonsumsi pasien.
Khusus :
- Sistemik :
Koertikosteroid : prednison 5 mg 3x1 tab
- Topikal : asam salisilat 1%

13

Prognosis
Quo ad vitam
Quo ad sanationam
Quo ad kosmetikum
Quo ad functionam

: Bonam
: Bonam
: Bonam
: Bonam

14

RESEP
RSUD ACHMAD MOCHTAR
Ruangan Poliklinik : Kulit dan Kelamin
Dokter : dr. M
Sip No. 123/sip/2015
Bukittinggi, 5 maret 2016
R/ prednison tab 5 mg No. XXI
S3dd tab 1
R/ asam salisilat 1% cream tube No. I
Sue Appilc loc dol S3dd
Pro : Tn. A
Umur : 30 Tahun

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Keumala, windy budianty. Erupsi Obat alergik. In : Ilmu penyakit Kulit


dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 7 th edition.
Jakarta.2015. hal190-195.
2. Siregar, R.S. Erupsi Obat alergik. In : Saripati Penyakit Kulit. 3th edition.
EGC. Jakarta. 2014. Hal 141-142.
3. Syarif, amir. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: balai penerbit

16

Anda mungkin juga menyukai