Anda di halaman 1dari 35

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi

Fixed drug eruption (FDE) atau disebut juga exantema fikstum adalah satu-
satunya drug eruption yang selalu diprovokasi oleh obat atau bahan kimia. FDE
adalah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi akibat pemberian
atau pemakaian jenis obat-obatan tertentu yang biasanya dikarakteristik dengan
timbulnya lesi berulang pada tempat yang sama dan tiap pemakaian obat akan
menambah jumlah dari lokasi lesi. (Hamzah, 2011)

1.2 Epidemiologi

Obat makin lama makin banyak digunakan oleh masyarakat, sehingga reaksi
terhadap obat juga meningkat, yaitu reaksi simpang obat (RSO) atau dikenal dengan
reaksi obat alergi (ROA). Manifestasi klinis reaksi obat pada kulit disebut erupsi
obat alergik (EOA). Erupsi obat pada kulit mungkin telah menjadi yang paling
sering bermanifestasi dari sensitifitas pada obat, sebanyak 24% dari semua jenis
reaksi efek samping obat. (Hamzah, 2011)

Beberapa penelitian tentang morfologi dan agen pencetus pada pasien-


pasien dengan erupsi obat dirumah sakit atau bagian kulit dan kelamin pada tahun
2008 dilaporkan pada 135 kasus didapatkan perubahan morfologik akibat erupsi
obat yang paling sering adalah eksantematous (39%), urtikaria/angioedema (27%),
FDE (16%), eritema multiform (5,4%) dan reaksi kulit lainnya (18%). (Hamzah,
2011) FDE terjadi pada kedua jenis kelamin dan di semua kelompok umur; pada
anak-anak, FDE terjadi sekitar 14-22 % dari reaksi obat kulit (Khaled et al, 2012).

FDE telah dilaporkan terjadi di segala umur. Namun, ini lebih umum terjadi
pada orang dewasa, terutama di kisaran usia 40-80 tahun. Kedua jenis kelamin
rentan terhadap pengembangan FDE, meskipun ada kecenderungan perempuan
lebih banyak. (Ardern et al, 2016)

Menurut Siregar (2011), FDE akan berpengaruh jika ada sifat


hipersensitivitas di dalam susunan keluarga (keturunan).

1
1.3 Etiologi

Obat yang baru digunakan selama 6 minggu terakhir adalah agen penyebab
yang potensial untuk kebanyakan erupsi pada kulit. Menurut Ardern et al, (2016)
makanan dan obat-obatan herbal juga telah dilaporkan sebagai agen etiologi. Obat
yang dapat menyebabkan fixed drug eruption :

Gambar 1.1 Obat yang menyebabkan erupsi kulit

Lebih dari 100 obat telah terlibat dalam FDE, termasuk ibuprofen,
sulfonamida, dan tetrasiklin. Keterkaitan haplotipe dalam kasus FDE trimetoprim-
sulfametoksazol baru-baru ini didokumentasikan. Obat-obatan yang paling sering
menyebabkan FDE adalah kontrasepsi oral, barbiturat, fenolftalein, fenasetin,
salisilat, naproksen, nistatin, minosiklin, sulfonamide, tetrasiklin, metronidazol,
doriden, sulindac, tolmetin, maolate, bleomysin, busulfan, zidovudine,
klorpromasin, hidantoin, cyclofosfamid, klofasimin, antimalaria, prokarbasin,
doksorubisin. (Shear, 2012)

Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik


atau non imunologik. Yang dimaksud dengan erupsi obat adalah alergi terhadap

2
obat yang terjadi melalui mekanisme imunologik. Hal ini terjadi pada pemberian
obat kepada pasien yang sudah mempunyai hipersesitivitas terhadap obat tersebut,
disebabkan oleh berat molekulnya yang rendah, biasanya obat itu berperan pada
mulanya sebagai antigen yang tidak lengkap atau hapten. Obat atau metaboliknya
yang berupa hapten, harus berkombinasi terlebih dahulu dengan protein, misalnya
jaringan, serum atau protein dari membran sel untuk membentuk kompleks antigen
yaitu kompleks hapten protein. Kekecualiannya ialah obat-obat dengan berat
molekul yang tinggi yang dapat berfungsi langsung sebagai antigen yang lengkap.
(Fredberg et al, 2004)

Ada beberapa faktor yang berperan dalam menentukan sejauh mana


kapasitas dari sebuah obat dalam menimbulkan respon imun : (Fredberg et al, 2004)

1. Karakteristik molekular dan sensitisasi.


Sebuah molekul yang imunogenik biasanya mempunyai berat molekul lebih
dari 1000 dalton. Kebanyakan molekul obat tidak sebesar itu dan untuk
memberikan respon imun harus berikatan dengan makromolekul jaringan yang
berperan sebagai hapten. Hapten adalah sebuah substansi yang tidak
imunogenik tetapi menjadi imunogenik ketika berikatan dengan karier
makromolekul. Ikatan yang terjadi haruslah sangat kuat dan biasanya bersifat
kovalen.

Untuk sebuah ikatan obat dan makromolekul jaringan kompleks menjadi


imunogenik harus diproses oleh antigen dan sel yang bersangkutan (seperti sel
langerhans dari kulit). Bersama-sama dengan antigen histokompatibiliti ke
sebuah limfosit T sebagai hasil dari presentasi terjadi aktivasi dari populasi sel
T yang berbeda dan setiap populasi sel T dapat menimbulkan reaksi klinik yang
berbeda pada aktivasi TH1 tipe sel T menyebabkan produksi dari interferon γ
dan interleukin 2 yang akan diikuti dengan terjadinya reaksi obat morbiliform
pada kontak dermatitis atau mungkin nekrolisis epidermal toksis. Aktivasi tipe
sel TH2 menyebabkan terjadinya produksi interleukin -4, -5, atau -13, yang
akan menyebabkan terjadinya produksi dari antibodi IgE dan reaksi klinik
seperti urtikaria atau anafilaktik. Mekanisme yang menentukan tipe terakhir
dari aktivasi sel T belum diketahui.

3
2. Variasi metabolik individu.
Variasi metabolik individu merupakan jalur yang dilewati oleh obat dimana
dapat memberi reaksi intermediet atau diekskresi. Reaktivasi intermediet
berlaku sebagai hapten yang dapat melakukan ikatan kovalen pada
makromolekul sel yang dapat menyebabkan kematian sel atau merangsang
respon imun sekunder.

3. Kemampuan imunogenetik.
Respon imun dari antigen-antigen yang bervariasi biasanya dikontrol secara
genetik dan berbeda-beda pada tiap individu. Beberapa observasi klinik
mengatakan bahwa kontrol genetik mempunyai suatu peranan yang besar dalam
reaktivasi obat. Mereka percaya bahwa reaksi anafilaktik lebih sering terjadi
pada individu atopik dibanding dengan non-atopik. Wanita memiliki angka
kejadian 35% lebih tinggi daripada pria. Sebagai tambahan pasien dengan SLE
dapat meningkatkan prevalensi dari reaksi alergi obat, tetapi belum jelas apakah
hal ini berhubungan dengan abnormalitas imun atau frekuensi pemaparan obat-
obatan. Demonstrasi yang paling jelas tentang pentingnya sistem imun terhadap
resiko obat adalah pada kasus infeksi HIV. Reaksi obat pada pasien HIV 10 x
lebih tinggi daripada mereka yang tidak terinfeksi dan resiko ini meningkat
seiring dengan perjalanan penyakitnya. Demikian pula untuk pasien yang
melakukan transplantai sumsum tulang, dimana terjadi peningkatan resiko
reaksi obat.

4. Usia
Usia dapat menentukan kemampuan respon imun dari pemberian suatu obat,
dimana dikatakan alergi lebih sering ditemukan pada anak-anak dan pada
manula, mungkin karena ketidakmatangan atau involusi dari sistem imun.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya FDE : (Fredberg et al,


2004)

1. Paparan obat.
Pemberian obat dapat mengakibatkan terjadinya reaksi komplit antigen antibodi
dengan terbentuknya hapten. Yang penting juga adalah pola morfologik yang
spesifik yang dapat meningkat atau menurun pada pemberian obat yang

4
menyebabkan terjadinya reaksi kulit tersebut. Sebagai contoh FDE lebih sering
ditemukan pada pemberian barbiturat daripada penisilin, walaupun penisilin
memiliki kemungkinan menimbulkan reaksi kulit karena obat yang lebih tinggi.

2. Waktu kejadian.
Kebanyakan reaksi obat pada kulit terjadi dalam 1 - 2 minggu dari terapi
pertama. Beberapa tipe reaksi terutama sindrom hipersensitivitas dapat
memberikan onset yang tertunda bahkan sampai lebih dari 2 bulan setelah
pemberian obat. Untuk beberapa reaksi yang lebih serius, resiko yang
berhubungan dengan pemberian obat lebih dari 2 bulan tampak lebih rendah.

3. Uji eliminasi pemakaian obat.


Kebanyakan reaksi kulit karena obat akan berkurang dengan penghentian
pemakaian obat tersebut. Sebuah reaksi kulit tidak mungkin berhubungan
dengan obat jika reksi terus berlanjut setelah dilakukan penghentian pemakaian
obat tersebut.

4. Pemaparan obat ulangan.


Pemberian obat ulangan memberikan informasi pasti apakah obat tersebut
menyebabkan terjadinya reaksi kulit walaupun pemberian yang sering tidak
dimungkinkan karena tidak menjamin keselamatan dari pasien kecuali terjadi
perubahan pola status imunologik pasien.

1.4 Patogenesis

Semua reaksi alergi memliki gambaran umum yang serupa, meskipun


memiliki antigen yang berbeda. Tanda dari alergi adalah produksi IgE yang
tergantung pada aktivasi IL-4-producing helper T cell. Proses reaksi alergi meliputi:
(Abdul and Shiv, 2015)

 Pajanan terhadap antigen


 Aktifasi limfosit (TH2, IL4)
 Produksi IgE oleh sel B
 Ikatan antara Ig E dan FceRI pada sel mast
 Pajanan ulang terhadap allergen
 Aktivasi sel mast dan pelepasan sel sel mediator

5
Gambar 1.2 Respon imun terhadap alergen

Sel mast akan teraktifasi saat sel mast yang memiliki reseptor FceRI yang
berikatan dengan Ig E / IgG / koplemen berikatan dengan allergen. Saat sel mast
teraktifasi, terjadilah beberapa proses yaitu: (Abdul and Shiv, 2015)

 Degranulasi (sekresi isi granul dengan eksositosis) yang berisi histamine,


heparin, kondroitin sulfat, dan protease.
 Sintesis dan sekresi lipid mediator (cyclooxygenase pathway menghasilkan
asam arakidonat yang akan memproduksi prostaglandin D2, PGD2 ini akan

6
memberikan efek vasodilatasi dan bronkkonstriksi. Selain PGD2, juga
dihasilkan leukotrien)
 Sintesis dan sekresi sitokin (TNF, IL 4, IL5, IL6, IL 13)
Berikut adalah tabel efek mediator pada saat aktifasi sel mast:
Vasodilatasi
Histamin Kebocoran
vascular
Bronkokonstriksi
Lipid mediator (PGD2, Intestinal
Sel Mast
LTC4) hiperotility
Inflamasi
Sitokin (TNF) Inflamasi
Kerusakan
Enzim (triptase)
jaringan

Gambar 1.3 Proses aktivasi sel mast

7
Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologi yang dikemukakan
oleh Coombs & Gell; suatu reaksi alergi terhadap obat dapat mengikuti
salah satu dari ke empat jalur berikut ini;

1. Tipe I Reaksi Anafilaktik


Reaksi ini sering dijumpai. Pajanan pertama kali terhadap obat
tidak menimbulkan reaksi yang merugikan, tetapi pajanan
selanjutnya menimbulkan reaksi. Antibody yang terbentuk adalah
antibody IgE yang memiliki afinitas tinggi terhadap mastosit dan
basofil. Pada pemberian obat yang sama, antigen dapat
menimbulkan perubahan berupa degranulasi sell mas dan basofil dan
melepaskan mediator seperti histamine, sitokin, dan lipid mediator.
(Hamzah, 2011)

Contoh reaksi obat tipe I adalah urtikaria, angioedema,


maupun syok anafilaktik. Reaksi terjadi dalam 25 menit dan reaksi
berat berupa asfiksia akibat edem laring sering terjadi antara 15-60
menit. Contoh obat yang dapat menyebabkan erupsi obat tipe cepat
antara lain: (Karnen, 2009)

Obat yang sering digunakan yang menimbulkan reaksi alergi (IgE)


Melalui Hapten Melalui Antigen Lengkap
Penisilin Insulin
Sefalosporin Rekombinanan
Sulfonamid Enzim
Pelemas otot ACTH
Antituberculosis Vaksin
Antikonvulsan
kuinidin

2. Tipe II Reaksi Sitotoksik


Reaksi tipe ini dapat disebabkan oleh obat, dan memerlukan
penggabungan antara IgG dan IgM di permukaan sel. Hal ini
menyebabkan efek sitolitik atau sitotoksik oleh sel efektor yang

8
diperantarai komplemen (Hamzah, 2011). Contoh reaksi obat tipe II
adalah destruksi membrane sel seperti sel darah merah, leukosit,
trombosit yang mengakibatkan lisis sel (Karnen, 2009). Contoh obat
yang dapat menyebabkan nya :

Obat yang sering menyebabkan reaksi sitostatik


Penisilin
Sefalosporin
Sreptomisin
Sulfonamide
Isoniasid

3. Tipe III Reaksi Kompleks Imun


Reaksi ini ditandai dengan pembentukan kompleks antigen,
antibody (IgM, IgG) dala sirkulasi darah dan mengaktifkan
komplemen. Komplemen yang diaktifkan melepaskan berbagai
enzim yang dapat merusak jaringan (Hamzah, 2011). Gejala klinis
dapat berupa vaskulitis, drug fever, urtikaria, nefritis, limfadenopati,
serum sickness, henoch schonlein purpura. Lesi dapat menyatu dan
membentuk plak (Karnen, 2009). Contoh obat yang dapat
menyebabkan reaksi kompleks imun (Hamzah, 2011):

Obat yang sering menyebabkan reaksi kompleks imun


Penisilin
Eritromisin
Sulfonamide
Salisilat
Isoniasid

4. Tipe IV Reaksi Alergi Selular Tipe Lambat


Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersentisisasi
mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini di sebut reaksi tipe

9
lambat karena baru timbul 12 - 48 jam setelah pajanan dengan
antigen. (Hamzah, 2011)

FDE termasuk dalam reaksi tipe III dengan adanya reaksi kompleks
antigen antibodi.

1.5 Gejala Klinis

FDE dikarakteristik dengan 1 atau beberapa lesi eritematous. Lesi ini seringkali
timbul pada sekitar mulut, bibir, atau di penis pada laki-laki dan menyebabkan
terjadinya luka seperti luka bakar walaupun inflamasi akut sembuh secara perlahan-
lahan tapi hiperpegmentasi lokal akan menetap dengan pemaparan obat yang
berulang, lesi akan muncul kembali pada tempat yang sama. (Siregar, 2011)

Lesi baru berbentuk bulat atau oval dan berbentuk plak dengan gambaran
eritematous dan bula pada kulit akan berubah berwarna ungu atau coklat. Lesi
biasanya berkembang dalam waktu 30 menit - 8 jam setelah pemberian obat,
kadang-kadang lesi pada awalnya soliter tapi pada pemberian obat yang berulang
lesi baru dapat muncul lagi dan lesi lama yang sudah ada dapat bertambah besar.
(Hamzah, 2011)

10
Gambar 1.4 A. Pada tetrasiklin, B. Pada fenoftalin

Beberapa gambaran karakteristik ke arah dugaan adanya FDE : (Partogi,


2009)

1. Reaksi hanya terjadi setelah pajanan ulang dengan obat. Pada penggunaan
pertama kali, waktu reaksi berkisar antara 8-9 hari.
2. Manifestasi erupsi obat tidak bergantung pada kegunaan farmakologik dan
kimiawi obat tersebut.
3. Jumlah obat yang sangat sedikit dapat memacu reaksi yang berat meskipun obat
tersebut telah dipakai dalam jangka waktu lama.
4. Obat yang sama dapat menyebabkan reaksi yang berbeda pada orang yang sama
pada waktu yang berlainan, sebaliknya berbagai obat dapat menyebabkan reaksi
atau manifestasi klinik yang sama.

11
Gambaran FDE berupa eritema dan vesikel berbentuk bulat atau lonjong dan
biasanya numular, pada kasus yang berat dapat timbul bula. Tempat predileksi
adalah di sekitar mulut, di daerah bibir dan daerah penis pada laki-laki sehingga
sering disangka penyakit kelamin karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup
luas disertai eritema dan rasa panas setempat. (Hamzah, 2011)
Obat yang sering menyebabkan FDE ialah sulfonamide, barbiturate,
trimethoprim dan analgesic. Ukuran lesi bervariasi dari beberapa milimeter hingga
sentimeter. Dengan pemberian obat inisial, lesi soliter dapat terbentuk. Pada
pemberian ulang obat penyebab, lesi terjadi tidak hanya pada lokasi biasanya, tapi
juga pada tempat lain. (Hamzah, 2011)

Gambar 1.5 Fixed drug erupsi pada genitalia akibat sulfonamide

1.6 Diagnosis

Diagnosis FDE berdasarkan (Hamzah, 2011):

1. Anamnesis :
Adanya hubungan antara timbulnya erupsi dengan penggunaan obat dan
diketahui mengenai :

- obat-obatan yang didapat


- kelainan timbul secara akut atau dapat juga beberapa hari sesudah masuknya
obat.

12
- Rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebril.
2. Kelainan Klinis :
Adanya kelainan klinis berupa lesi yang selalu timbul pada tempat yang sama
akibat pemaparan obat. Penghentian obat yang diikuti penurunan gejala klinis
merupakan petunjuk kemungkinan erupsi disebabkan oleh obat tersebut.

3. Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu memastikan diagnosa FDE
antara lain:

a. Pemeriksaan histopatologi (Karnen, 2009)


 Degenerasi vacuolar keratinosit basal
 Keratinisasi sel tunggal
 Nekrosis sel tunggal
 Infiltrasi perivaskular superficial dan dalam (limfohistiosit dan neutrofil)
 Ekstravasase eritrosit
 Adanya degenarasi hidrotik pada lapisan sel basal yang akan menuju
pada inkontinens pagmentari, dimana dikarakteristik dengan adanya
melanin dalam jumlah yang banyak diantara makrofag yang terdapat
pada lapisan atas kulit. Sebagai tambahan terdapat penyebaran dari
diskeratotik keratonicytes dengan sitoplasma yang eosinifilik dan inti
pignotik sering terlihat pada epidermis.
b. Test provokasi - tantangan oral atau topikal (patch test) dapat dilakukan
untuk menentukan etiologi ketika anamnesis pasien tidak begitu jelas atau
pada pasien yang mengkonsumsi banyak obat. (Shiohara, 2009)
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu memastikan diagnosa
FDE dengan pemeriksaan histopatologi.

1.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari FDE sangatlah beragam, namun yang paling sering
dijumpai dan lesi yang mirip adalah:
a. Erupsi Makulopapular atau Morbiliformis
Erupsi makulopapular atau morbiliformis atau disebut juga erupsi
eksantematosa merupakan EOA yang paling sering dijumpai dan dapat diinduksi

13
oleh hampir semua obat. Erupsi ini timbul generalisata dan simetris, dan dapat
terdiri atas eritema, makula yang berkonfluens, dan/atau papul yang tersebar di
wajah, telapak tangan dan kaki. Membran mukosa tidak terkena. Lesi biasanya
mucul dalam 1 – 2 minggu setelah inisial terapi, tapi kadang-kadang dapat muncul
setelah obat dihentikan. Lesi selalu diikuti dengan gejala pruritus, dapat pula diikuti
demam, edema fasial / kelopak mata, malaise, dan nyeri sendi yang biasanya hilang
dalam beberapa hari sampai minggu setelah obat dihentikan. Erupsi dapat hilang
tanpa penghentian obat, namun hal ini sangat jarang terjadi. Sebaliknya, ruam dapat
berkembang progresif menjadi eritroderma atau dermatitis eksfoliativa dengan
melanjutkan terapi. (Hamzah, 2011)

Gambar 1.6 Erupsi Eksantematosa

Tipe khusus erupsi ini adalah pustulosa eksantematosa generalisata akut


(PEGA) yang ditandai dengan erupsi bulosa yang muncul mendadak diikuti malaise
dan demam tinggi. Lesi kulit berupa vesikopapula, pustul, dan bula yang terjadi
harnpir diseluruh tubuh. Mernbran mukosa jarang terlibat. Gambaran klinis
menyerupai psoriasis pustular. (Hamzah, 2011)
Mekanisme terjadinya erupsi makulopapular yang diinduksi obat belum
diketahui dengan jelas, nampaknya melibatkan lebih dari satu mekanisme, yaitu
mekanisme reaksi tipe III dan tipe IV. Reaksi ini terjadi setelah beberapa hari
pemberian obat dan tidak terjadi setelah pemberian dosis pertama, hal ini
menunjukkan perlunya periode sensitisasi sebelum reaksi terjadi. (Jean, 2004)

14
Erupsi makulopapular sering dikaitkan dengan penggunaan ampisillin,
NSAID, sulfonamid, antikonvulsan, allopurinol, tetrasiklin, eritromisis,
fenobarbital, dan bahkan retinoid. Penyebab utama adalah antibiotika β laktam, dan
arti epilepsi. Harus diingat bahwa tidak semua eksantem morbiliformis atau
makulopapular diinduksi oleh obat. Infeksi tertentu khususnya virus dapat
menginduksi eksatem yang sukar dibedakan dengan yang diinduksi oleh obat.
Kasus PEGA kebanyakan dihubungkan dengan penggunaan antibiotika terutama
kelompok penisilin. (Jean, 2004)
1.8 Penatalaksanaan

 Pengobatan kausal
Dilaksanakan dengan menghindari obat tersangka (apabila obat tersangka telah
dapat dipastikan). Dianjurkan pula untuk menghindari obat yang mempunyai
struktur kimia mirip dengan obat tersangka (satu golongan). (Hamzah, 2011)

 Antihistamin
Antihistamin terbagi menjadi antihistamin H1 dan antihistamin H2. Antihistamin
H1 dapat dibagi menjadi dua, agen generasi pertama (misalnya,
diphenhydramine, klorfeniramin, hydroxyzine) dan yang lebih baru, agen
generasi kedua (misalnya, cetirizine, loratadin, fexofenadine, dan lain-lain).
Pada umumnya, efek antihistamin telah terlihat dalam waktu 15-30 menit setelah
pemakaian oral, dan mencapai puncaknya pada 1-2 jam, sedangkan lama
kerjanya bervariasi dari 3-6 jam. Antihistamin dapat diberikan selama 7-10 hari.
(Zuberbier, 2009)
Antihistamin H1 – Agen generasi pertama

Golongan antihistamin H1 ini menyebabkan kontraksi otot polos,


vasokonstriksi, penurunan permeabilitas kapiler, penekanan pruritus. Agen ini
adalah lipofilik dan mudah melewati sawar darah otak, menyebabkan mengantuk
dan efek samping antikolinergik. Sedasi signifikan dan penurunan kinerja
(keterampilan misalnya, motorik, dan keterampilan mengemudi) terjadi pada
lebih dari 20 persen pasien. (Purohit et al, 2004)

15
Efek samping antikolinergik termasuk mulut kering, diplopia, penglihatan
kabur, retensi urin, atau kekeringan vagina. Pasien harus diperingatkan secara
khusus tentang efek samping ini.
Beberapa obat golongan antihistamin H1 generasi pertama contohnya adalah
sebagai berikut:
 Diphenhydramine
Dosis pada orang dewasa adalah 25 sampai 50 mg diberikan lambat
intravena (IV) atau intramuskular administrasi (IM) injeksi setiap empat
sampai enam jam, sesuai kebutuhan. Anak-anak dapat menerima 0,5-1,25
mg / kg (sampai 50 mg per dosis) IV / IM setiap enam jam sesuai kebutuhan.
 Hydroxyzine
Dosis pada orang dewasa adalah 25 sampai 50 mg administrasi IM dalam
pada orang dewasa setiap empat sampai enam jam, sesuai kebutuhan. Anak-
anak dapat menerima 0,5-1 mg / kg (sampai 50 mg per dosis) IM setiap
enam jam sesuai kebutuhan.
Antihistamin H1 – Agen generasi kedua
Antihistamin H1 generasi kedua lebih direkomendasikan sebagai terapi lini
pertama oleh pedoman yang diterbitkan dari alergi dan dermatologi. Obat ini
bebas dari efek antikolinergik (tidak seperti agen generasi pertama) dan memiliki
frekuensi pemberian yang lebih jarang dibandingkan dengan agen-generasi
pertama. (Purohit et al, 2004)
Antihistamin H1 generasi kedua hanya tersedia dalam bentuk formulasi oral
dan meliputi:
 Cetirizine
Cetirizine menunjukkan onset kerja yang cepat dengan menstabilkan sel
mas. Dosis standar 10 mg sekali sehari sesuai untuk orang dewasa dan anak-
anak berusia enam tahun atau lebih (dan dapat ditingkatkan sampai dua kali
10 mg sehari pada orang dewasa jika diperlukan). Dosis biasa untuk anak
usia 2-5 tahun adalah 5 mg sekali sehari. Anak kecil berusia enam bulan
sampai dua tahun dapat diberikan 2,5 mg sekali sehari (dapat ditingkatkan
menjadi 2,5 mg dua kali sehari pada anak satu tahun dan lebih tua jika
diperlukan).

16
 Levocetirizine
Levocetirizine adalah enantiomer aktif cetirizine yang menghasilkan efek
setara dengan cetirizine sekitar satu setengah dosis. Untuk orang dewasa dan
anak-anak 12 tahun dan lebih tua, dosis standar adalah 5 mg sekali sehari di
malam hari (atau sampai dengan dua kali 5 mg sehari pada orang dewasa
jika diperlukan) atau 2,5 mg sekali sehari di malam hari untuk anak usia 6
sampai 11 tahun. Levocetirizine tidak mungkin efektif sebagai alternatif
bagi pasien yang memiliki toleransi terhadap efek cetirizine.
 Loratadin
Loratadin adalah antihistamin kerja panjang, selektif H1 antihistamin yang
berbeda dari cetirizine yang memiliki dosis standar 10 mg sekali sehari
untuk usia enam tahun dan lebih (atau sampai dua kali 10 mg sehari pada
orang dewasa jika diperlukan). Untuk anak usia 2-5 tahun, dosis biasa
adalah 5 mg sekali sehari..
 Desloratadin
Desloratadin adalah metabolit aktif utama dari loratadin dan menghasilkan
efek setara dengan loratadine sekitar satu setengah dosis. Untuk orang
dewasa dan anak-anak 12 tahun dan lebih besar, dosis standar adalah 5 mg
sekali sehari (atau sampai dengan dua kali 5 mg sehari pada orang dewasa
jika diperlukan). Untuk anak-anak usia 6 sampai 11 tahun, dosisnya adalah
2,5 mg sekali sehari, dan untuk mereka yang berusia 1 sampai 5 tahun, dosis
1.25 mg sekali sehari. Dosis yang lebih rendah dari 1 mg sekali sehari
disetujui di Amerika Serikat untuk anak-anak kecil berusia 6 bulan sampai
1 tahun.
 Fexofenadine
Dosis yang disarankan adalah 180 mg sehari untuk usia 12 tahun dan lebih
(atau sampai dua kali sehari pada orang dewasa jika diperlukan) atau 30 mg
dua kali sehari untuk anak usia 2 sampai 11 tahun. Dosis yang lebih rendah
dari 15 mg dua kali sehari disetujui di Amerika Serikat untuk anak-anak
kecil berusia enam bulan sampai dua tahun.

Untuk wanita hamil dan ibu menyusui dapat diobati awalnya dengan
loratadine (10 mg sekali sehari) atau cetirizine (10 mg sekali sehari). Ada data

17
manusia meyakinkan untuk masing-masing obat ini aman pada sejumlah besar
pasien hamil. Pilihan lain adalah agen klorfeniramin generasi pertama, 4 mg per
oral setiap empat sampai enam jam. (Kallen, 2002)

 Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Dosis standar
untuk fixed drug eruption pada orang dewasa ialah 3 x 10 mg prednisone sehari.
(Hamzah, 2011)

Glukokortikoid tidak menghambat degranulasi sel mast tapi bertindak dengan


menekan berbagai kontribusi mekanisme inflamasi. Glukokortikoid dapat diberikn
untuk pasien yang gejala awal yang parah dan untuk orang-orang dengan
angioedema menonjol dan juga dapat ditambahkan untuk urtikaria yang persisten.

Jenis dan dosis obat yang disarankan adalah sebagai berikut:


 Pada orang dewasa - Prednison 30 sampai 60 mg setiap hari, selama lima
sampai tujuh hari
 Pada anak-anak - Prednisolon 0,5-1 mg / kg / hari (maksimum 60 mg sehari),
selama lima sampai tujuh hari

 Pengobatan topikal
Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau
basah. Pada FDE, jika kelainan membasah dapat diberi kompres air steril seperti
NaCl 0,9% dan jika kering dapat diberi krim kortikosteroid, misalnya krim
hidrokortison 1% atau 2 ½ %. (Hamzah, 2011)

1.9 Prognosis
Pada dasarnya FDE akan menyembuh bila penyebabnya dapat diketahui dan
segera disingkirkan. Akan tetapi beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan
kelainan-kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom Steven Johnson, prognosis
dapat menjadi buruk bergantung pada luas kulit yang terkena. (Hamzah, 2011)

18
BAB 2

LAPORAN KASUS
2.1 Identitas pasien
Nama : Tn. I
Umur : 41 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Rowo, Nganjuk
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta (Bengkel)
Tanggal Pemeriksaan : 27 Oktober 2017
No. RM : 110995
BB : 60 kg
TB : 164 cm
2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan Utama
Lecet dan melepuh di seluruh tubuh
2.2.2 Perjalanan Penyakit
Pasien datang ke poli kulit dan kelamin RSUD Jombang tanggal 27 Oktober
2017 dengan keluhan lecet dan melepuh di seluruh tubuh, yaitu di tangan,
punggung, pundak, puting susu, bibir, lubang anus, dan kemaluan. Awal
muncul 3 hari yang lalu setelah minum obat golongan sulfonamid (tidak
tahu namanya) untuk mengobati keluhan nyeri perut, kemudian 1 jam
setelah minum obat tiba-tiba kulit melepuh. Setelah itu pasien ke dokter
umum yang memberikan obat tadi dan diberitahukan jika punya alergi obat,
kemudian sudah disuntik 3 kali (tidak tahu nama obatnya). Terasa panas (+),
perih (+), gatal (-).

19
2.2.3 Riwayat Pengobatan
Pasien sudah pergi ke dokter umum yang memberikan obat antibiotik dan
diberitahukan jika punya alergi obat, kemudian sudah disuntik 3 kali (tidak
tahu nama obatnya). Luka tidak diberikan apapun.
2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah seperti ini sebelumnya, saat minum antibiotik kotrimoksazol.
Dan didiagnosis alergi obat kotrimoksazol. Riwayat alergi makanan (-),
HT(-), dan DM(-).
2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang sakit seperti ini, riwayat alergi (-), HT(-),
dan DM(-).
2.2.6 Riwayat Sosial
Pasien bekerja sebagai sebagai pegaawai bengkel, merokok(+) sudah
berhenti 1 bulan yang lalu.
2.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Baik
GCS : 456
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 86 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Temperatur : 37º C

Status generalisata
Kepala : Anemia -/-, ikterus -/-
Thorax : Cor: S1 S2 reguler, murmur (-)
Pulmo : Vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : Distensi (-), bising usus normal, hepar dan lien
tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat, pitting edema (-/-)

20
2.4 Status Dermatologi
Efloresensi Foto
Makula eritematosa berbatas tidak
tegas et regio labiofacialis disertai
skuama putih tipis

21
Makula eritematosa berbatas tidak
tegas bentuk bulat et regio axilla
D, areola mammae D, antebrachii
D, manus D disertai erosi et regio
axilla D

22
23
Makula eritematosa berbatas tidak
tegas bentuk bulat et regio
thoracalis posterior

24
Makula eritematosa berbatas tidak
tegas bentuk bulat et regio fossa
poplitea S

25
Makula eritematosa berbatas tidak
tegas bentuk bulat et regio
genitalia eksterna dan rektum,
disertai erosi et regio glans penis
dan corpus penis

2.5 Resume
- Tn. I, 41 tahun
- Pasien datang ke poli kulit dan kelamin RSUD Jombang tanggal 27
Oktober 2017 dengan keluhan lecet dan melepuh di seluruh tubuh, yaitu di
tangan, punggung, pundak, puting susu, bibir, lubang anus, dan kemaluan.
Awal muncul 3 hari yang lalu setelah minum obat golongan sulfonamid
(tidak tahu namanya) untuk mengobati keluhan nyeri perut, kemudian 1 jam
setelah minum obat tiba-tiba kulit melepuh. Setelah itu pasien ke dokter
umum yang memberikan obat tadi dan diberitahukan jika punya alergi obat,
kemudian sudah disuntik 3 kali (tidak tahu nama obatnya). Terasa panas (+),
perih (+), gatal (-).
- Pasien pernah seperti ini sebelumnya, saat minum antibiotik
kotrimoksazol. Dan didiagnosis alergi obat kotrimoksazol.
2.6 Diagnosis
Fixed Drug Eruption

26
2.7 Diagnosis Banding
- Erupsi Eksantematosa
2.8 Planning Diagnosis
- Patch test Tidak dilakukan
2.10 Penatalaksanaan
- Behenti minum obat antibitik sebelumnya
- Methilprednisolone tablet 2 x 4 mg
- Cetirizine tablet 2 x 10 mg/hari
- Momethasone furoat cream 2%, oleskan pagi dan malam
- Kompres dengan PZ (NaCl 0,9 %) + kassa steril pada lecet
- Edukasi :
1. Menjelaskan penyakit yang diderita pasien adalah akibat reaksi alergi
yang berasal dari dalam tubuh tehadap obat antibiotik tertentu.
2. Menjelaskan bahwa pasien harus mengingat nama obat yang dapat
menyebabkan alergi dan harus berhati-hati jika sewaktu-waktu ada obat lain
atau makanan yang kemungkinan menyebabkan reaksi alergi.
3. Menjelaskan kepada penderita agar menghindari faktor pencetus.
4. Menjelaskan bahwa pasien akan diberikan pengobatan berupa obat
minum dan oba yang dioleskan di ruam yang kering, sedangkan untuk yang
basah dapat dikompres dengan kassa yang telah dibasahi cairan PZ.
2.11 Prognosis
Prognosis akan baik bila etiologi segera diketahui dan dihindari, serta
penatalaksanaan yang tepat, prognosis kemungkinan akan baik.

27
BAB 3

PEMBAHASAN

Pasien Tn. I, laki-laki, 41 tahun datang ke poli kulit dan kelamin RSUD
Jombang tanggal 27 Oktober 2017 dengan keluhan lecet dan melepuh di seluruh
tubuh, yaitu di tangan, punggung, pundak, puting susu, bibir, lubang anus, dan
kemaluan. Awal muncul 3 hari yang lalu setelah minum obat golongan sulfonamid
(tidak tahu namanya) untuk mengobati keluhan nyeri perut, kemudian 1 jam setelah
minum obat tiba-tiba kulit melepuh. Setelah itu pasien ke dokter umum yang
memberikan obat tadi dan diberitahukan jika punya alergi obat antibiotik golongan
sulfonamid, kemudian sudah disuntik 3 kali (tidak tahu nama obatnya). Terasa
panas (+), perih (+), gatal (-). Hal ini sesuai teori insidensinya menurut Ardern, et
al (2016) bahwa FDE telah dilaporkan terjadi di segala umur. Namun, ini lebih
umum terjadi pada orang dewasa, terutama di kisaran usia 40-80 tahun. Kedua jenis
kelamin rentan terhadap kasus FDE, meskipun ada kecenderungan perempuan lebih
banyak. (Ardern et al, 2016) Bila berdasarkan jenis kelamin, maka kurang sesauia
dengan teori, karena pasien berjenis kelamin laki-laki, namun dalam hal ini tetap
tidak mempengaruhi arahan klinis pasien. FDE terjadi pada kedua jenis kelamin
dan di semua kelompok umur, hal ini juga sesuai dengan epidemiologi pada jurnal
lainnya (Khaled et al, 2012).
Pasien mengeluhkan lecet dan melepuh di seluruh tubuh, yaitu di tangan,
punggung, pundak, puting susu, bibir, lubang anus, dan kemaluan. Terasa panas
(+), perih (+), gatal (-). Hal ini sejalan dengan teori bahwa FDE timbul dengan 1
atau beberapa lesi eritematous. Lesi ini seringkali timbul pada sekitar mulut, bibir,
atau di penis pada laki-laki dan menyebabkan terjadinya luka seperti luka bakar
walaupun inflamasi akut sembuh secara perlahan-lahan tapi hiperpegmentasi lokal
akan menetap dengan pemaparan obat yang berulang, lesi akan muncul kembali
pada tempat yang sama (Siregar, 2011). Sejalan juga dengan teori yang menyatakan
tempat predileksi adalah di sekitar mulut, di daerah bibir dan daerah penis pada
laki-laki sehingga sering disangka penyakit kelamin karena berupa erosi yang
kadang-kadang cukup luas disertai eritema dan rasa panas setempat (Hamzah,
2011).

28
Pada anamnesis pasien awal muncul 3 hari yang lalu setelah minum obat
golongan sulfonamid (tidak tahu namanya) untuk mengobati keluhan nyeri perut,
kemudian 1 jam setelah minum obat tiba-tiba kulit melepuh. Setelah itu pasien ke
dokter umum yang memberikan obat tadi dan diberitahukan jika punya alergi obat
antibiotik golongan sulfonamid, kemudian sudah disuntik 3 kali (tidak tahu nama
obatnya). Pada riwayat penyakit dahulu bahwa pasien pernah seperti ini
sebelumnya, saat minum antibiotik kotrimoksazol dan didiagnosis alergi obat
kotrimoksazol. Sesuai dengan teori bahwa obat yang sering menyebabkan FDE
ialah sulfonamide, barbiturate, trimethoprim dan analgesic (Hamzah, 2011). Selain
itu menurut Shear (2012) lebih dari 100 obat telah terlibat dalam FDE, termasuk
ibuprofen, sulfonamida, dan tetrasiklin. Keterkaitan haplotipe dalam kasus FDE
trimetoprim-sulfametoksazol baru-baru ini didokumentasikan. Obat-obatan yang
paling sering menyebabkan FDE adalah kontrasepsi oral, barbiturat, fenolftalein,
fenasetin, salisilat, naproksen, nistatin, minosiklin, sulfonamide, tetrasiklin,
metronidazol, doriden, sulindac, tolmetin, maolate, bleomysin, busulfan,
zidovudine, klorpromasin, hidantoin, cyclofosfamid, klofasimin, antimalaria,
prokarbasin, doksorubisin.

Status dermatologi menunjukkan beberapa efroresensi, yaitu makula


eritematosa berbatas tidak tegas et regio labiofacialis disertai skuama putih tipis,
makula eritematosa berbatas tidak tegas bentuk bulat et regio axilla D, areola
mammae D, antebrachii D, manus D, et regio thoracalis posterior, et regio fossa
poplitea S, bulat et regio genitalia eksterna dan rektum, disertai erosi et regio axilla
dan et regio glans penis dan corpus penis. Sejalan dengan teori yang dikemukakan
oleh Hamzah (2011) dalam Buku Ilmu Kulit dan Kelamin FK UI yang menyatakan
bahwa lesi baru pada FDE berbentuk bulat atau oval dan berbentuk plak dengan
gambaran eritematous dan bula pada kulit akan berubah berwarna ungu atau coklat.
Lesi biasanya berkembang dalam waktu 30 menit - 8 jam setelah pemberian obat,
kadang-kadang lesi pada awalnya soliter tapi pada pemberian obat yang berulang
lesi baru dapat muncul lagi dan lesi lama yang sudah ada dapat bertambah besar.

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat diambil diagnosis berupa Fixed
Drug Eruption (FDE), dimana riwayat dari konsumsi obat yang menimbulkan
reaksi berupa lesi eritematous dan erupsi, disertai rasa panas seperti terbakar. Bila

29
dilihat pada penelitian tentang kejadian FDE, maka kejadian erupsi obat jenis FDE
menempati pada posisi tiga terbanyak. Beberapa penelitian tentang morfologi dan
agen pencetus pada pasien-pasien dengan erupsi obat dirumah sakit atau bagian
kulit dan kelamin pada tahun dilaporkan pada 135 kasus didapatkan perubahan
morfologik akibat erupsi obat yang paling sering adalah eksantematous (39%),
urtikaria/angioedema (27%), FDE (16%), eritema multiform (5,4%) dan reaksi kulit
lainnya (18%) (Hamzah, 2011).

Pada kasus diatas pasien mendapat penatalaksanaan berupa menghentikan


konsumsi obat antibitik sebelumnya, dan terapi medikamentosa berupa
kortikosteroid oral, yaitu methilprednisolone tablet 2 x 4 mg/ hari, antihistamin oral
cetirizine tablet 2 x 10 mg/hari, serta steroid topikal momethasone furoat cream 2%,
oleskan pagi dan malam, yang sebelumnya jika pada erosi luka dikompres dengan
kassa steril yang telah dibasahi oleh cairan PZ (Nacl 0,9 %) 200 ml.

Pemberian antihistamin generasi kedua sudah tepat, karena sesuai dengan


teori bahwan antihistamin H1 generasi kedua lebih direkomendasikan sebagai terapi
lini pertama oleh pedoman yang diterbitkan dari alergi dan dermatologi. Obat ini
bebas dari efek antikolinergik (tidak seperti agen generasi pertama) dan memiliki
frekuensi pemberian yang lebih jarang dibandingkan dengan agen-generasi
pertama. Cetirizine menunjukkan onset kerja yang cepat dengan menstabilkan sel
mas. Dosis standar 10 mg sekali sehari sesuai untuk orang dewasa dan anak-anak
berusia enam tahun atau lebih (dan dapat ditingkatkan sampai dua kali 10 mg sehari
pada orang dewasa jika diperlukan). Dosis biasa untuk anak usia 2-5 tahun adalah
5 mg sekali sehari. Anak kecil berusia enam bulan sampai dua tahun dapat diberikan
2,5 mg sekali sehari (dapat ditingkatkan menjadi 2,5 mg dua kali sehari pada anak
satu tahun dan lebih tua jika diperlukan). (Purohit et al, 2004)

Pemberian kortikosteroid juga sudah tepat karena sangat penting pada alergi
obat sistemik. Dosis standar untuk fixed drug eruption pada orang dewasa ialah 3 x
10 mg prednisone sehari. Glukokortikoid tidak menghambat degranulasi sel mast
tapi bertindak dengan menekan berbagai kontribusi mekanisme inflamasi.
Glukokortikoid dapat diberikn untuk pasien yang gejala awal yang parah dan untuk

30
orang-orang dengan angioedema menonjol dan juga dapat ditambahkan untuk
urtikaria yang persisten (Hamzah, 2011).

Pengobatan topikal berupa kostikosteroid topikal dan kompres PZ juga


sudah seuai dengan teori. Pada teori dikemukakan bahwan pengobatan topikal
bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau basah. Pada FDE, jika
kelainan membasah dapat diberi kompres cairan steril dan jika kering dapat diberi
krim kortikosteroid, misalnya krim hidrokortison 1% atau 2 ½ % (Hamzah, 2011).

Selain penatalaksanaan non medikamentosa dan medikamentosa, pasien


juga diberikan edukasi yaitu dijelaskan tentang penyakit ini akibat reaksi alergi
yang berasal dari dalam tubuh tehadap obat antibiotik tertentu, sehingga pasien dan
keluarga harus mengingat nama obat yang dapat menyebabkan alergi dan harus
berhati-hati jika sewaktu-waktu ada obat lain atau makanan yang kemungkinan
menyebabkan reaksi alergi, menghindari faktor pencetus lainnya, dan dijelaskan
bahwa pasien akan diberikan pengobatan berupa obat minum dan obat yang
dioleskan di ruam yang kering, sedangkan untuk yang basah dapat dikompres
dengan kassa yang telah dibasahi cairan PZ.
Pada dasarnya FDE akan menyembuh bila penyebabnya dapat diketahui dan
segera disingkirkan (Hamzah, 2011). Maka prognosis akan baik bila etiologi segera
diketahui dan dihindari.

31
BAB 4

KESIMPULAN

Dilaporkan bahwa terdapat pasien dengan diagnosis Fixed Drug Eruption


(FDE) pada Tn. I usia 41 tahun. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis yang
didapatkan keluhan pasien berupa lecet dan melepuh di seluruh tubuh, yaitu di
tangan, punggung, pundak, puting susu, bibir, lubang anus, dan kemaluan. Awal
muncul 3 hari yang lalu setelah minum obat golongan sulfonamid (tidak tahu
namanya) untuk mengobati keluhan nyeri perut, kemudian 1 jam setelah minum
obat tiba-tiba kulit melepuh. Setelah itu pasien ke dokter umum yang memberikan
obat tadi dan diberitahukan jika punya alergi obat antibiotik golongan sulfonamid,
kemudian sudah disuntik 3 kali (tidak tahu nama obatnya). Terasa panas (+), perih
(+), gatal (-).

Pemeriksaan fisik pada status dermatologis didapatkan makula eritematosa


berbatas tidak tegas et regio labiofacialis disertai skuama putih tipis, serta makula
eritematosa berbatas tidak tegas bentuk bulat et regio axilla D, areola mammae D,
antebrachii D, manus D, et regio thoracalis posterior, et regio fossa poplitea S, bulat
et regio genitalia eksterna dan rektum, disertai erosi et regio axilla dan et regio
glans penis dan corpus penis.

Pada kasus diatas pasien mendapat terapi berupa menghentikan konsumsi


obat antibitik sebelumnya, dan terapi medikamentosa berupa kortikosteroid oral,
yaitu methilprednisolone tablet 2 x 4 mg/ hari, antihistamin oral cetirizine tablet 2
x 10 mg/hari, serta steroid topikal momethasone furoat cream 2%, oleskan pagi dan
malam, yang sebelumnya jika pada erosi luka dikompres dengan kassa steril yang
telah dibasahi oleh cairan PZ (Nacl 0,9 %) 200 ml.

penatalaksanaan non medikamentosa dan medikamentosa, pasien juga


diberikan edukasi yaitu dijelaskan tentang penyakit ini akibat reaksi alergi yang
berasal dari dalam tubuh tehadap obat antibiotik tertentu, sehingga pasien dan
keluarga harus mengingat nama obat yang dapat menyebabkan alergi dan harus
berhati-hati jika sewaktu-waktu ada obat lain atau makanan yang kemungkinan
menyebabkan reaksi alergi, menghindari faktor pencetus lainnya, dan dijelaskan

32
bahwa pasien akan diberikan pengobatan berupa obat minum dan obat yang
dioleskan di ruam yang kering, sedangkan untuk yang basah dapat dikompres
dengan kassa yang telah dibasahi cairan PZ.
Pada dasarnya FDE akan menyembuh bila penyebabnya dapat diketahui dan
segera disingkirkan. Maka prognosis akan baik bila etiologi segera diketahui dan
dihindari.

33
DAFTAR PUSTAKA

Abdul K Abbas, Shiv Pillai, 2015, Celular and Molecular Immunology, Elsevier.
Ardern, Michael R., Jones, Haur Yueh Lee et al, 2016, Benign Cutaneous Adverse
Reactions to Drugs, In: Christopher E. M. Griffiths, Jonathan Barker, Tanya
Bleiker, Robert Chalmers, Daniel Creamer, Rook’s Textbook of Dermatology,
Ninth Edition, London: Wiley Blackwel, pp. 118.2-118.14.
Freedberg Irwin, Eisen Arthur, Wolff Klaus et al. Dermatology in General
Medicine, 6th edition Vol. 1. McGrow Hill Companies, Inc. United States of
America, 2004 :1633-41
Hamzah M., 2011, Erupsi Obat Alergi. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors,
Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi keenam, Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, pp. 154-158.

Jean, Revuz, 2004, Serious Drug Reactions, In : Abstracts IX International


Congress of Dermatology, Beijing China, p. 5.

Källén B., 2002, Use of antihistamine drugs in early pregnancy and delivery
outcome, J Matern Fetal Neonatal Med.

Karnen, Ganna, 2009, Alergi dasar, Jakarta: Interna publishing.

Khaled A, Kharfi M, Ben Hamida M, et al. ,2012, Cutaneous adverse drug reactions
in children, A series of 90 cases. Tunis Med, pp. 90-145.

Shear, Sandra Knowles, John Sullivan, Lori Shapiro et al, 2012, cutaneous
Reactions to Drug, In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffel DJ, Wolff K, penyunting, Fitzpatrick's dermatology in general
medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill, pp. 1488-1495.

Shiohara T., 2009, Fixed Drug Eruption: Pathogenesis and Diagnostic Tests, Curr
Opin Allergy Clin Immunol; pp 309-316.

Siregar, R.S., 2011, Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Edisi ketiga, Jakarta:
EGC, pp. 137-140.

34
Partogi D., 2009, Fixed Drug Eruption, Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3411/1/08E00858.pdf,
diakses tanggal 29 November 2017

Purohit A, Melac M, Pauli G, Frossard N., 2004, Comparative activity of cetirizine


and desloratadine on histamine-induced wheal-and-flare responses during 24
hours, Ann Allergy Asthma Immunol.

William D. James, Timothy G. Berger, Dirk M. Elston, 2016, Andrews’ Diseases


of The Skin: Clinical Dermatology, Twelfth Edition, Elsivier Inc., pp. 110-
119.

Zuberbier T, Asero R, Bindslev-Jensen C, et al. , 2009, EAACI/GA


(2)LEN/EDF/WAO guideline: management of urticaria, Allergy.

35

Anda mungkin juga menyukai