Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi

Herpes zoster (shingles) adalah sebuah manifestasi akibat reaktivasi virus


varisela zoster laten dari saraf pusat dorsal atau kranial. Penyakit ini disebabkan
oleh infeksi virus varisela- zoster yang menyerang kulit dan mukosa, serta
merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah infeksi primer. Virus varisela zoster
dapat menyebabkan dua infeksi klinis utama pada manusia, yaitu varisela atau
chickenpox dan herpes zoster. Varisela merupakan infeksi primer yang terjadi
pertama kali pada individu yang berkontak dengan virus varisela zoster. Virus
varisela zoster dapat mengalami reaktivasi, menyebabkan infeksi rekuren yang
dikenal dengan nama Herpes zoster atau Shingles. (Handoko, 2011)

1.2 Epidemiologi

Penyebaran herpes zoster sama seperti varisela. Penyakit ini, seperti yang
diterangkan dalam definisi, merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah
penderita mendapat varisela. Kadang – kadang varisela ini berlangsung subklinis.
Tetapi ada pendapat yang menyatakan kemungkinan transmisi virus secara aerogen
dari pasien yang sedang menderita varisela atau herpes zoster. (Handoko, 2011)

Virus varicella-zoster menyebabkan dua sindrom yang berbeda. Infeksi


primer muncul sebagai varicella (cacar atau), penyakit ini menular dan biasanya
terjadi pada anak-anak. Reaktivasi virus varicella-zoster laten di serabut ganglia
dorsalis menyebabkan erupsi kulit yang disebut "herpes zoster" (atau "shingles"),
insidensinya meningkat seiring bertambahnya usia, dimana lebih dari 2/3 kasus
terjadi pada usia lebih dari 50 tahun dan kurang dari 10% di bawah 20 tahun.
Penurunan virus-specific cell-mediated immune (CMI) responses terjadi alamiah
pada proses penuaan yang menyebabkan immunosuppressive illness atau perawatan
medis, yang meningkatkan terjadinya shingles. (Gnan & Whitley, 2002)

Menurut Siregar (2011), herpes zoster biasanya terjadi pada dewasa, tetapi
kadang juga terjadi pada anak-anak. Jika berdasarkan jenis kelaminnya, maka

1
kejadiannya sana antara laki-laki dan perempuan, serta musim tidak berpengaruh
terhadap kejadian herpes zoster. Lebih dari 90 persen orang dewasa di Amerika
Serikat memiliki bukti serologis terinfeksi virus varicella-zoster dan beresiko untuk
terjadinya herpes zoster. Kejadian tahunan herpes zoster adalah sekitar 1,5 sampai
3,0 kasus per 1000 orang. Sebuah kejadian 2,0 kasus per 1000 orang akan diartikan
terdapat lebih dari 500.000 kasus setiap tahun di Amerika Serikat. Bertambahnya
usia adalah faktor risiko utama untuk terjadinya herpes zoster, kejadian herpes
zoster pada orang tua dari usia 75 tahun melebihi 10 kasus per 1000 orang/ tahun.
Selama hidup risiko terkena herpes zoster diperkirakan 10 sampai 20 persen. (Gnan
& Whitley, 2002)
Herpes zoster terjadi secara sporadis selama bertahun-tahun tanpa ada
prevalensi menurut musim. Selain itu, kejadian herpes zoster berhubungan dengan
faktor yang mempengaruhi hubungan antara host dan virus. Salah satu faktor resiko
yang terkuat adalah usia yang lebih tua. (Stephen, 2012)
Faktor resiko lainnya yang terbesar adalah disfungsi imun seluler. Pasien
dengan immunosupresi memiliki 20-100 kali resiko yang lebih besar terkena
dibanding individu dengan immunocompetent. Herpes zoster juga sering terjadi
pada manifestasi awal infeksi HIV, dan individu dengan resiko tinggi yang
menderita herpes zoster harus dievaluasi dengan infeksi HIV. Kejadian berulang
dari herpes zoster adalah tidak umum pada orang yang memiliki imunitas yang baik,
kejadian yang terjadi ketiga kalinya banyak terjadi dengan individu
immunocompromised. (Stephen, 2012)
Herpes zoster terjadi dengan frekuensi yang lebih tinggi di antara orang-
orang yang memiliki hasil seropositif untuk human immunodeficiency virus (HIV)
dibanding dengan orang yang memiliki hasil seronegatif. Sebuah studi longitudinal
menunjukkan suatu kejadian 29,4 kasus herpes zoster per 1000 orang-tahun di
antara HIV-seropositif orang, seperti dibandingkan dengan 2,0 kasus per 1000
orang-tahun di antara HIV-seronegatif kontrol. Karena herpes zoster mungkin
terjadi pada orang yang terinfeksi HIV yang dinyatakan asimtomatik, pengujian
serologi mungkin tepat pada pasien tanpa faktor risiko jelas untuk herpes zoster
(Misalnya, orang sehat yang lebih muda dari usia 50 tahun). (Gnan & Whitley,
2002)

2
Virus bisa terisolasi di dalam vesikel-vesikel dalam kasus herpes zoster
tanpa komplikasi hingga sekitar 7 hari setelah munculnya gambaran rash dan akan
lebih lama pada pasien dengan immunocompromised. Pasien dengan zoster di kulit
tanpa komplikasi muncul untuk menyebarkan infeksinya dengan adanya kontak
langsung dengan lesi nya. Pasien yang terinfeksi herpes zoster, dengan tambahan,
menularkan lewat aerosol, sehingga airborne dan kontak dengan penderita terjadi
pada sejumlah pasien. (Stephen, 2012)
1.3 Etiologi

Gambar 1.1

Varicella zoster virus (VZV) adalah penyebab diantara varicella (cacar air)
dan zoster (shingles). Tiga genotipe dari α-herpesvirus telah diidentifikasi dan
terbukti memiliki variasi geografis. (Sterling, 2016)
1.4 Patogenesis
Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi virus varisela zoster yang laten di
dalam ganglion posterior atau ganglion intrakranial. Virus dibawa ke tepi ganglion
spinal atau ganglion trigeminal, kemudian menjadi laten. Varisela zoster
merupakan virus DNA rantai ganda, anggota famili virus Herpes yang tergolong
virus neuropatik atau neurodermatotropik. Reaktivasi virus varisela zoster dapat
dipicu oleh berbagai faktor seperti pembedahan, penyinaran, lanjut usia, dan

3
keadaan tubuh yang lemah meliputi malnutrisi, seseorang yang sedang dalam
pengobatan imunosupresan jangka panjang, atau menderita penyakit sistemik. Jika
virus ini menyerang ganglion anterior, maka menimbulkan gangguan motorik.
(William et al, 2016)

Gambar 1.2 Patogenesis infeksi Herpes zoster

Selama perjalanan dari varicella, VZV lewat melalui lesi di kulit dan
permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik dan diangkut secara sentripetal sampai
serabut saraf sensorik ke ganglia sensoris. Di ganglia, virus membentuk infeksi
laten yang bertahan untuk hidup. Herpes zoster terjadi paling sering pada dermatom
dimana ruam varicella terbanyak yang diinervasi oleh saraf oftalmikus dari ganglia
sensoris trigeminal dari T1 ke L2. (Stephen, 2012)

Walaupun virus laten di ganglia mempertahankan potensi untuk infektivitas


penuh, reaktivasi bisa sewaktu-waktu dan jarang, infeksi virus tidak tampak saat
fase laten. Mekanisme yang terlibat dalam reaktivasi VZV laten tidak jelas, namun
reaktivasi telah dikaitkan dengan immunosupresi, stres emosional, iradiasi dari
sumsum tulang belakang, keterlibatan tumor, serabut ganglion dorsalis, atau
struktur yang berdekatan, trauma lokal, manipulasi bedah tulang belakang , dan
sinusitis frontalis (sebagai endapan zoster oftalmica). Yang paling penting adalah
penurunan kekebalan seluler VZV spesifik yang terjadi dengan bertambahnya usia.
(Stephen, 2012)

VZV juga dapat mengaktifkan kembali tanpa menghasilkan penyakit yang


jelas. Jumlah kecil yang dilepaskan antigen virus selama reaktivasi tersebut,

4
diharapkan dapat merangsang dan mempertahankan system kekebalan tubuh VZV.
(Stephen, 2012)

Ketika kekebalan seluler VZV spesifik berada pada beberapa tingkat kritis,
reakticasi virus tidak terkandung lagi. Virus berkembang biak dan menyebar di
dalam ganglion, menyebabkan nekrosis neuronal dan peradangan parah, sebuah
proses yang sering disertai dengan neuralgia parah. Infeksi VZV kemudian
menyebar secara antidromikal menuruni saraf sensorik, menyebabkan neuritis
parah, dan dilepaskan dari saraf sensorik yang berakhir di kulit, di mana ia
menghasilkan karakteristik dari vesikel zoster. Penyebaran infeksi ganglionic
proksimal sepanjang akar saraf posterior ke meninges dan hasil serabut di
leptomeningitis lokal, pleocyosis cairan serebrospinal, dan myelitis segmental.
Infeksi motor neuron di kornu anterior dan radang akun akar saraf anterior untuk
palsi lokal yang mungkin menyertai erosi kulit, dan infeksi berkelanjutan dalam
sistem saraf pusat (SSP) dapat mengakibatkan komplikasi herpes zoster
(meningoenchepalitis, transverse myelitis). (Stephen, 2012)

Gambar 1.3 Varicella dan herpes zoster A. Selama infeksi (varicella dan cacar air)
primer varicella-zoster virus (VZV) virus menginfeksi ganglia sensoris. B. VZV
tetap dalam fase laten dalam ganglia untuk kehidupan C. Indiviual dengan fungsi
kekebalan tubuh berkurang, VZV aktif kembali dalam ganglia sensoris, turun
melalui saraf sensorik, dan direplikasi di kulit.

5
1.4.1 Patogenesa Nyeri pada Herpes Zoster dan Postherpetic Neuralgia

Nyeri adalah gejala utama dari herpes zoster. Didahului dengan gejala
ini dan umumnya disertai ruam, dan gejala ini sering berlanjut walau ruam
sudah sembuh, dengan komplikasi yang dikenal sebagai postherpetic
neuralgia (PHN). Sejumlah mekanisme yang berbeda tetapi tumpang tindih
tampaknya terlibat dalam patogenesis nyeri pada herpes zoster dan PHN.
(Stephen, 2012)

Cedera pada saraf perifer dapat memicu sinyal rasa nyeri pada saraf
di ganglion aferen. Peradangan di kulit memicu sinyal nosiseptif yang lebih
terasa nyeri di kulit. Pengeluaran yang berlebihan dari asam amino dan
neuropeptida yang disebabkan oleh rentetan berkelanjutan dari impuls
afferent selama fase akut dan prodormal pada herpes zoster kemungkinan
dapat menyebabkan cedera eksitotoksik dan hilangnya hambatan
interneuron di sumsum tulang belakang. Kerusakan neuron di sumsum
tulang belakang, ganglion dan saraf perifer, adalah penting dalam
patogenesis PHN. Kerusakan saraf aferen primer dapat menjadi aktif secara
spontan dan peka terhadap rangsangan perifer dan simpatis. Aktivasi
nosiseptor yang berlebihan dan impuls ektopik mungkin menurunkan
sesitivitas SSP atau penambahan dan perpanjangan rangsangan pada pusat.
Pada klinis, ini dinamakan allodynia (nyeri dan / atau sensasi yang tidak
menyenangkan yang ditimbulkan oleh rangsangan yang biasanya tidak
menyakitkan (sentuhan ringan) dengan rangsang sensori sedikit atau tidak
ada sama sekali. (Stephen, 2012)

Gambar 1.4 Patogenesis nyeri herpes zoster


6
1.5 Gejala Klinis

Lesi Herpes zoster dapat mengenai seluruh kulit tubuh maupun membran
mukosa. Herpes zoster biasanya diawali dengan gejala prodromal selama 2-4 hari.
Gejala dapat bersifat sistemik, seperti demam, pusing, malaise, atau lokal, seperti
nyeri otot-tulang, gatal, maupun pegal. Setelah gejala tersebut, timbul eritema yang
berubah menjadi vesikel berkelompok dengan dasar kulit yang edema dan
eritematosa. Vesikel berisi cairan jernih, kemudian menjadi keruh, selanjutnya
dapat menjadi pustul dan krusta. Jika mengandung darah disebut dengan herpes
zoster hemoragik. Jika lesi disertai dengan ulkus dan sikatriks, berarti telah terjadi
infeksi sekunder. (Handoko, 2011)

Masa tunas virus herpes zoster sekitar 7-12 hari, masa aktif berupa lesi baru
yang tetap timbul, berlangsung seminggu, dan masa resolusi berlangsung 1-2
minggu. Selain gejala kulit, kelenjar getah bening regional dapat membesar.
Penyakit ini bersifat unilateral dan dermatomal sesuai persarafan. Pada susunan
saraf tepi jarang timbul kelainan motorik, tetapi pada susunan saraf pusat kelainan
ini lebih sering karena struktur ganglion kranialis memungkinkan hal tersebut.
Kelainan pada muka sering disebabkan oleh karena gangguan pada nervus
trigeminus (dengan ganglion gaseri) atau nervus fasialis dan otikus (dari ganglion
genikulatum). (Handoko, 2011)

Saraf yang sering terkena adalah nervus trigeminus, fasial, otikus, C3, T3,
T5, L1, dan L2. Jika terkena saraf tepi, jarang timbul kelainan motorik, sedangkan
pada saraf pusat sering timbul gangguan motorik. Gejala khas lainnya adalah
hiperestesi pada daerah yang terkena. (Stephen, 2012)

Gambar 1.5 Gambaran klinis Herpes zoster


7
Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf
spinalis. Masing-masing saraf mengonduksi rangsangan dari kulit yang
dipersarafinya ke otak. Dermatom pada dada dan perut seperti tumpukan cakram
dipersarafi oleh saraf spinal yang berbeda, sedangkan sepanjang lengan dan kaki,
dermatom berjalan secara longitudinal sepanjang anggota badan. Dermatom sangat
bermanfaat dalam bidang neurologi untuk menemukan tempat kerusakan saraf-
saraf spinalis. Virus yang menginfeksi saraf tulang belakang seperti Herpes zoster
dapat dilihat sumbernya dengan muncul sebagai lesi pada dermatom tertentu.
(Baehr & Frotscher, 2005)

Gambar 1.6 Dermatom

Gejala klinis terbagi menjadi tiga stadium antara lain (Barakbah et al, 2007) :

a. Stadium prodromal :

Biasanya berupa rasa sakit dan parestesi pada dermatom yang terkena disertai
dengan panas, malaise dan nyeri kepala.

b. Stadium erupsi :

Mula-mula timbul papul atau plakat berbentuk urtika yang setelah 1-2 hari akan
timbul gerombolan vesikel diatas kulit yang eritematus, sedangkan kulit diantara
gerombolan tetap normal, usia lesi pada satu gerombolan lain adalah sama

8
sedangkan usia lesi dengan gerombolan lain adalah tidak sama. Lokasi lesi sesuai
dermatom, unilateral dan biasanya tidak melewati garis tengah dari tubuh.

c. Stadium krustasi :

Vesikel menjadi purulen, mengalami krustasi dan lepas dalam waktu 1-2 minggu.
Sering terjadi neuralgi pasca herpetica terutama pada orang tua yang dapat
berlangsung berbulan-bulan parestesi yang bersifat sementara.

1.6 Diagnosis

Diagnosis herpes zoster didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, terjadi neuralgia
beberapa hari sebelum atau bersamaan dengan timbulnya kelainan kulit. Dapat
didahului oleh gejala prodromal seperti demam, nyeri kepala, dan malaise. Kelainan
kulit berupa eritema kemudian berkembang menjadi papul dan vesikel, yang secara
cepat membesar dan menyatu sehingga membentuk bula. Isi vesikel awalnya jernih,
kemudian menjadi keruh dan dapat bercampur darah. Jika terjadi absorpsi, vesikel
dan bula menjadi krusta. (Gnan & Whitley, 2002)

Secara laboratoris, pemeriksaan sediaan Tzanck smear membantu


menegakkan diagnosis dengan menemukan sel datia berinti banyak. Demikian pula
pemeriksaan cairan vesikel atau material biopsi dengan mikroskop elektron, serta
tes serologik. Pada pemeriksaan histopatologi, ditemukan sebukan sel limfosit yang
mencolok, nekrosis sel dan serabut saraf, proliferasi endotel pembuluh darah kecil,
hemoragi fokal, dan inflamasi lapisan ganglion. Partikel virus dapat dilihat dengan
mikroskop elektron dan antigen virus herpes zoster dapat dilihat secara
imunofluoresensi. (Gnan & Whitley, 2002)

9
Gambar 1.7 Pemeriksaan Tzanck, dengan pewarnaan Wright terlihat sel giant
multinuclear, sedangkan pada imunofloresensi direk pendaran warna hijau
mengindikasikan terdapatnya antigen virus Varisela-zoster.
1.7 Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari herper zoster adalah:
a. Herpes Simpleks (cold sore, herpes febrilis, herpes labialis, herpes
gladiatorium, scrum pox, herpes genitalis)
Definisi : Penyakit akut yang ditandai dengan timbulnya vesikula yang
berkelompok diatas dasar eritema, berulang, mengenai permukaan
mukokutaneus.
Etiologi : Disebabkan oleh virus herpes simplex.
Gejala klinis : Lesi primer didahului gejala prodromal berupa rasa panas
(terbakar) dan gatal. Setelah timbul lesi dapat terjadi demam, malaise dan
nyeri otot.
Predileksi : mukosa
Status dermatologi : berupa vesikel yang mudah pecah, erosi, ulcus dangkal
bergerombol di atas dasar eritema dan disertai rasa nyeri. Predileksi pada
wanita antara lain labium mayor, labium minor, klitoris, vagina, serviks dan
anus. Pada laki-laki antara lain di batang penis, glans penis dan anus.
Ekstragenital yaitu hidung, bibir, lidah, palatum dan faring.

b. Varisella (cacar air, chicken pox)


Definisi : vesikula yang tersebar, terutama menyerang anak-anak, bersifat
mudah menular (aerogen)
Etiologi : virus Varisela zoster.
Predileksi : Paling banyak di badan, kemudian muka, kepala dan
ekstremitas.

10
Gejala Klinis : Pada stadium prodomal didahului demam yang tidak terlalu
tinggi, malaise, dan nyeri kepala, kemudian disususl timbulnya papula
eritematosa yang cepat berubah menjadi vesikel, yang umur dari lesi
tersebut tidak sama. Vesikel ini bentukannya yang khas adalah tear drops.
Vesikel akan berubah menjadi pustul dan kemudian menjadi krusta. Pada
anamnesa ada kontak dengan penderita varisela atau herpes zoster. Khas
pada infeksi virus pada vesikula ada bentukan umbilikasi (delle) yaitu
vesikula yang ditengah nya cekung kedalam. Distribusinya bersifat
sentripetal.

1.8 Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan herpes zoster adalah mempercepat proses


penyembuhan, mengurangi keparahan dan durasi nyeri akut dan kronis, serta
mengurangi risiko komplikasi. (William et al, 2016)

Antivirus oral direkomendasikan untuk semua pasien di atas usia 50 tahun


dengan keluhan nyeri. Analgesik oral akan lebih maksimal menggunakan golongan
acetaminophen, NSAID, dan analgesik opiat jika dibutuhkan. (William et al, 2016)

Obat antivirus yang dapat diberikan adalah asiklovir atau modifikasinya


seperti valasiklovir, famsiklovir, pensiklovir. Obat antivirus terbukti efektif bila
diberikan pada tiga hari pertama sejak munculnya lesi, efektivitas pemberian di atas
3 hari sejauh ini belum diketahui. Dosis asiklovir adalah 5x800 mg/hari dan
umumnya diberikan selama 7—10 hari. Sediaan asiklovir pada umumnya adalah
tablet 200 mg dan tablet 400 mg. Pilihan antivirus lainnya adalah valasiklovir
3x1000 mg/hari, famsiklovir atau pensiklovir 3x250 mg/hari, ketiganya memiliki

11
paruh waktu lebih panjang dari asiklovir. Obat diberikan terus bila lesi masih tetap
timbul dan dihentikan 2 hari setelah lesi baru tidak timbul lagi. Kemudian untuk
infeksi sekunder, dapat diberikan antibiotik. (Handoko, 2011)

Untuk pengobatan topikal, pada lesi vesikuler dapat diberikan bedak


kalamin atau phenol-zinc untuk pencegahan pecahnya vesikel. Bila vesikel sudah
pecah dapat diberikan antibiotik topikal untuk mencegah infeksi sekunder. Bila lesi
bersifat erosif dan basah, dapat dilakukan kompres terbuka. (Handoko, 2011)

Penatalaksanaan menurut Murtiastutik (2005), meliputi:


a. Penatalaksanaan umum
- Analgetika : Metampiron sehari 4 x 1 tablet
- Bila ada infeksi sekunder : Erytromycin 250-500 mg sehari 3 x 1 tablet
atau Dicloxacillin 125-250 mg sehari 3 x 1 tablet

- Lokal :
- Bila basah : kompres larutan garam faali
- Bila erosi : salep sodium fusidate
- Bila kering : bedak salycil 2%
b. Penatalaksanaan Khusus
1. Acyclovir
 Dosis: dewasa : 800 mg sehari 5 kali selama 7-10 hari
Anak : 20 mg/kgBB sampai 800 mg sehari 4 kali
Acyclovir tidak dapat menghilangkan neuralgi pasca herpetik
2. Neuralgia pasca herpetik
a. Aspirin : 500 mg sehari 3 kali.
b. Anti depresan trisiklik : Amitriptylin 50- 100 mg/hari
- Hari pertama : 1 tablet (25mg)
- Hari kedua : sehari 2 kali satu tablet
- Hari ketiga : sehari 3 kali satu tablet
c. Carbamazepine: 200mg sehari 1-2 kali ( untuk trigeminal neuralgia).
3. Herpes zoster ophtalmicus perlu konsul ke spesialis mata atau dapat
diberikan:
- acyclovir salep mata 5 kali setiap 4 jam

12
- dan juga ofloxacin atau ciprofloxacin obat tetes mata
o hari 1 dan 2 : 1 tetes/2-4 jam,
o hari 3-7 :1 tetes 4 kali/hari.
Sebagai edukasi, pasien diingatkan untuk bed rest yang merupakan anjuran
untuk mencegah terjadinya neuralgia. Selain itu, pasien usia paruh baya dan dewasa
diharuskan untuk melakukan aktivitasnya hanya di rumah dalam beberapa hari.
Serta menjaga kebersihan lesi agar tidak terjadi infeksi sekunder. Aplikasi lokal
seperti kompres botol berisi air hangat sangat dianjurkan, untukmengurangi rasa
nyeri. Edukasi larangan menggaruk karena garukan dapat menyebabkan lesi lebih
sulit sembuh atau terbentuk jaringan parut, serta berisiko terjadi infeksi sekunder.
Untuk menjaga lesi dari kontak dengan pakaian, dapat digunakan pakaian yang
steril, non-oklusif, dan tidak lengket. (William et al, 2016)

1.9 Komplikasi

a. Neuralgia paska herpetic (PHN)


Adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas penyembuhan lebih dari
sebulan setelah penyakitnay sembuh. Neuralgia ini dapat berlangsung selama
berbulan-bulan sampai beberapa tahun. Nyeri bisa dirasakan terus-menerus
atau hilang timbulndan bisa semakin memburuk pada malam hari atau jika
terkena panas maupun dingin. Keadaan ini cenderung timbul pada umur diatas
40 tahun, persentasenya 10 - 15 % dengan gradasi nyeri yang bervariasi.
Semakin tua umur penderita maka semakin tinggi persentasenya. (Handoko,
2011)
b. Infeksi sekunder.
Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa komplikasi.
Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi HIV, keganasan, atau
berusia lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel sering manjadi ulkus dengan
jaringan nekrotik. (Handoko, 2011)
c. Kelainan pada mata.
Disebabkan oleh infeksi virus varicella zoster pada cabang pertama pada
nervus trigeminus (N. Ophtalmicus) sehingga menimbulkan kelainan pada
mata. Selain itu, virus dapat menyerang cabang kedua (N.Maxilaris) dan
cabang ketiga (N.Mandibularis) yang menyebabkan kelainan kulit pada daerah

13
persarafannya. Kelainan yang muncul dapat berupa: ptosis paralitik, keratitis,
skleritis, uveitis, korioratinitis dan neuritis optic. (Handoko, 2011)
d. Ramsay Hunt Sindrom
Paralisa wajah akut yang disertai dengan vesikel-vesikel virus herpes zoster
pada kulit telinga, liang telinga ataupun keduanya, diakibatkan oleh gangguan
nervus fasialis dan nervus optikus, sehingga memberikan gejala paralisa otot
muka (bell’s palsy), kelainan kulit yang sesuai dengan tingkat ;persarafan,
tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus dan nausea juga terdapat
gangguan pengecapan. Herpes zoster ini terjadi bila mengenai ganglion
genikulatum. (Handoko, 2011)
e. Paralisis motorik
Paralisis motorik dapat terjadi pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat
perjalanan virus secara kontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf
yang berdekatan. Paralisis ini biasanya muncul dalam 2 minggu sejak
munculnya lesi. Berbagai paralisis dapat terjadi seperti: di wajah, diafragma,
batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria dan anus. Umumnya akan sembuh
spontan. (Handoko, 2011)
1.10 Prognosis

Umumnya baik, pada herpes zoster oftalmikus prognosis bergantung pada


tindakan perawatan secara dini. (Handoko, 2011)

14
BAB 2

LAPORAN KASUS
2.1 Identitas pasien
Nama : Tn. US
Umur : 53 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Dsn. Plosorejo, Johowinong, Mojoagung, Jombang
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Konstruksi (Mandor)
Tanggal Pemeriksaan : 23 Oktober 2017
No. RM : 368744
BB : 60 kg
TB : 164 cm
2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan Utama
Panas menjalar di wajah kiri
2.2.2 Perjalanan Penyakit
Pasien datang ke poli kulit dan kelamin RSUD Jombang tanggal 23 Oktober
2017 dengan keluhan panas menjalar di wajah kiri sejak 3 hari yang lalu,
awalnya yang dirasakan adalah nyeri kepala sebelah, kemudian minum obat
flu 2 tablet, karena nyeri belum berkurang minum obat sakit kepala 2 tablet,
kemudian muncul ruam kemerahan di wajah kiri, ada rasa panas yang
menjalar, dan nyeri seperti terbakar, dan muncul juga luka seperti melenting
di pipi kiri, kemudian menyebar ke separuh wajah kiri. Demam sebelumnya
(-), gatal (-).
2.2.3 Riwayat Pengobatan
Pasien sudah minum obat flu (bodrex flu) 2 tablet dan obat nyeri kepala
(poldanmig) 2 tablet, tetapi keluhan tidak berkurang. Luka tidak diberikan
salep, ataupun di kompres air daun sirih.

15
2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya, saat kecil sudah pernah
terkena cacar air. Riwayat alergi (-), HT(-), dan DM(-).
2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang sakit seperti ini, riwayat alergi (-), HT(-),
dan DM(-).
2.2.6 Riwayat Sosial
Pasien bekerja sebagai mandor kuli bangunan, merokok(+) sejak usia 30
tahun sampai sekarang.
2.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Baik
GCS : 456
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Respirasi : 24 x/menit
Temperatur : 37º C

Status generalisata
Kepala : Anemia -/-, ikterus -/-
Thorax : Cor: S1 S2 reguler, murmur (-)
Pulmo : Vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : Distensi (-), bising usus normal, hepar dan lien
tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat, pitting edema (-/-)

2.4 Status Dermatologi


Efloresensi Foto

16
Group vesikel (vesikel
bergerombol) dengan dasar
eritematosa berbatas tidak tegas
disertai crusta dan erosi, dengan
gambaran kulit normal
diantaranya et regio facialis
sinistra unilateral, sesuai
dermatom, tidak melewati bagian
tengah wajah.

17
2.5 Resume
- Tn. US, 53 tahun
- Pasien datang ke poli kulit dan kelamin RSUD Jombang tanggal 23
Oktober 2017 dengan keluhan panas menjalar di wajah kiri sejak 3 hari yang
lalu, awalnya yang dirasakan adalah nyeri kepala sebelah, kemudian minum
obat flu 2 tablet, karena nyeri belum berkurang minum obat sakit kepala 2
tablet, kemudian muncul ruam kemerahan di wajah kiri, ada rasa panas yang
menjalar, dan nyeri seperti terbakar, dan muncul juga luka seperti melenting
di pipi kiri, kemudian menyebar ke separuh wajah kiri. Demam sebelumnya
(-), gatal (-).
- Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya, saat kecil sudah pernah
terkena cacar air.
2.6 Diagnosis
Herpes zoster facialis sinistra (stadium erupsi)
2.7 Diagnosis Banding
- Herpes simpleks
- Varisella

18
2.8 Planning Diagnosis
- Pemeriksaan Tzank Smear  Tidak dilakukan
2.10 Penatalaksanaan
- Acyclovir tablet 5 x 800 mg selama 7 hari
- Asam mefenamat 3 x 500 mg/hari
- Fulladic cream 2%, oleskan pagi dan malam
- Edukasi :
1. Menjaga kesehatan dengan bed rest sementara waktu di rumah dan makan
makanan dengan nutrisi yang baik untuk mempertahankan sistem kekebalan
tubuh.
2. Menjaga kebersihan tubuh dengan tidak memegang luka ataupun
menggaruk, serta untuk sementara waktu tidak boleh terkena air.
3. Menjelaskan kepada penderita untuk meminum obat sesuai dosis yang
dianjurkan untuk efektifitas pengobatan
4. Memberi penjelasan kepada penderita bahwa nyeri pada daerah ini masih
bisa tetap bertahan
5. Menjelaskan komplikasi yang sering terjadi berupa neuralgia post
herpetic
2.11 Prognosis
Dengan penatalaksanaan yang tepat, prognosis kemungkinan akan baik.

19
BAB 3

PEMBAHASAN

Pasien Tn. US, usia 53 tahun datang ke poli kulit dan kelamin RSUD
Jombang tanggal 23 Oktober 2017 dengan keluhan panas menjalar di wajah kiri
sejak 3 hari yang lalu, awalnya yang dirasakan adalah nyeri kepala sebelah,
kemudian minum obat flu 2 tablet, karena nyeri belum berkurang minum obat sakit
kepala 2 tablet, kemudian muncul ruam kemerahan di wajah kiri, ada rasa panas
yang menjalar, dan nyeri seperti terbakar, dan muncul juga luka seperti melenting
di pipi kiri, kemudian menyebar ke separuh wajah kiri. Demam sebelumnya (-),
gatal (-). Hal ini sesuai teori insidensinya meningkat seiring bertambahnya usia,
dimana lebih dari 2/3 kasus terjadi pada usia lebih dari 50 tahun dan kurang dari
10% di bawah 20 tahun (Gnan & Whitley, 2002). Herpes zoster biasanya terjadi
pada dewasa, tetapi kadang juga terjadi pada anak-anak. Jika berdasarkan jenis
kelaminnya, maka kejadiannya sana antara laki-laki dan perempuan, serta musim
tidak berpengaruh terhadap kejadian herpes zoster (Siregar, 2011). Pada teori yang
lain, salah satu faktor resiko yang terkuat adalah usia yang lebih tua (Stephen,
2012).

Pasien mengeluhkan panas menjalar di wajah kiri sejak 3 hari yang lalu,
awalnya yang dirasakan adalah nyeri kepala sebelah dan tidak demam sebelumnya,
kemudian muncul ruam kemerahan di wajah kiri, ada rasa panas yang menjalar, dan
nyeri seperti terbakar, dan muncul juga luka seperti melenting di pipi kiri, kemudian
menyebar ke separuh wajah kiri. Hal ini sesuai dengan teori bahwa herpes zoster
biasanya diawali dengan gejala prodromal selama 2-4 hari yang bersifat sistemik,
seperti demam, pusing, malaise, atau lokal, seperti nyeri otot-tulang, gatal, maupun
pegal. Setelah gejala tersebut, timbul eritema yang berubah menjadi vesikel
berkelompok dengan dasar kulit yang edema dan eritematosa. Saraf yang sering
terkena salah satunya adalah nervus fasial dan gejala khas adalah hiperestesi pada
daerah yang terkena. (Stephen, 2012) Serta lokasi lesi sesuai dermatom, unilateral
dan biasanya tidak melewati garis tengah dari tubuh (Barakbah et al, 2007).

Pada anamnesis tentang riwayat penyakit dahulu, maka didapatkan pasien


memang tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya, tetapi saat kecil sudah pernah

20
terkena cacar air. Hal ini sesuai dengan teori bahwa epidemiologi herpes zoster di
Amerika serikat, lebih dari 90 persen orang dewasa memiliki bukti serologis
terinfeksi virus varicella-zoster dan beresiko untuk terjadinya herpes zoster. (Gnan
& Whitley, 2002)

Pada status dermatologis didapatkan gambaran group vesikel (vesikel


bergerombol) dengan dasar eritematosa berbatas tidak tegas disertai crusta dan
erosi, dengan gambaran kulit normal diantaranya et regio facialis sinistra unilateral,
sesuai dermatom, tidak melewati bagian tengah wajah. Hal ini sesuai dengan teori
bahwa akan timbul eritema yang berubah menjadi vesikel berkelompok dengan
dasar kulit yang edema dan eritematosa. Vesikel berisi cairan jernih, kemudian
menjadi keruh, selanjutnya dapat menjadi pustul dan krusta. (Stephen, 2012)
Kelainan pada muka sering disebabkan oleh karena gangguan pada nervus
trigeminus (dengan ganglion gaseri) atau nervus fasialis dan otikus (dari ganglion
genikulatum) (Handoko, 2011).

Teori mengemukakan bahwa penyakit ini bersifat unilateral dan dermatomal


sesuai persarafan (Handoko, 2011). Hal ini sesuai dengan keluhan pasien bahwa
penyakit yang diderita hanya muncul pada satu area wajah saja, sesuai dermatom
dan tidak melewati bagian tengah wajah. Persarafan yang terkena adalah nervus
facialis, yang sesuai dengan teori bahwa saraf yang sering terkena adalah nervus
trigeminus, fasial, otikus, C3, T3, T5, L1, dan L2 (Stephen, 2012).

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat diambil diagnosis berupa


herpes zoster facialis sinistra (stadium erupsi). Pemilihan stadium erupsi ini
didasarkan pada kejadian yang masih 3 hari, dan status dermatologis yang
didapatkan adalah gerombolan vesikel diatas kulit yang eritematus, sedangkan kulit
diantara gerombolan tetap normal, usia lesi pada satu gerombolan lain adalah sama
sedangkan usia lesi dengan gerombolan lain adalah tidak sama. (Barakbah et al,
2007).
Pada kasus diatas pasien mendapat terapi berupa acyclovir tablet 5x800mg
selama 7 hari, obat harus dihabiskan dan diminum secara teratur, asam mefenamat
3 x 500 mg/hari, minum bila dirasakan nyeri, dan terapi topika yaitu, fulladic cream
2% dioleskan pagi dan malam hari. Pemberian antivirus oral sudah tepat, hal ini

21
seuai dengan teori dari William, el al (2016), bahwa antivirus oral
direkomendasikan untuk semua pasien di atas usia 50 tahun dengan keluhan nyeri.
Pemilihan antivirusnya juga tepat sesuai teori bahwa obat antivirus yang dapat
diberikan adalah asiklovir atau modifikasinya seperti valasiklovir, famsiklovir,
pensiklovir. Obat antivirus terbukti efektif bila diberikan pada tiga hari pertama
sejak munculnya lesi, efektivitas pemberian di atas 3 hari sejauh ini belum
diketahui. Dosis asiklovir adalah 5x800 mg/hari dan umumnya diberikan selama 7-
10 hari. (Handoko, 2011) Menurut Murtiastutik (2005) dalam buku Pedoman
Diagnosis Terapi RSUD Soetomo, juga menyebutkan pilihan terapi antivirus yang
diberikan adalah asiklovir adalah 5x800 mg/hari selama 7-10 hari.
Kemudian untuk analgesik oral yang digunakan sesuai dengan teori bahwa
analgesik oral akan lebih maksimal menggunakan golongan acetaminophen,
NSAID, dan analgesik opiat jika dibutuhkan (William et al, 2016). Asam
mefenamat termasuk dalam golongan NSAID.
Pemilihan obat topikal juga telah sesuai dengan teori dalam buku Pedoman
Diagnosis Terapi RSUD Soetomo, pada luka yang terdapat erosi diberikan sodium
fudidat 2% (Murtiastutik, 2005).
Selain terapi medikamentosa, pasien diberikan edukasi agar menjaga
kesehatan dengan bed rest sementara waktu di rumah dan makan makanan dengan
nutrisi yang baik untuk mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Kemudian,
pasien diarapkan dapat menjaga kebersihan tubuh dengan tidak memegang luka
ataupun menggaruk, serta untuk sementara waktu tidak boleh terkena air. Lalu,
menjelaskan kepada penderita untuk meminum obat sesuai dosis yang dianjurkan
untuk efektifitas pengobatan. Serta memberikan penjelasan kepada penderita bahwa
nyeri pada daerah ini masih bisa tetap bertahan dan komplikasi yang sering terjadi
berupa Post Herpetic Neuralgia.

Dengan penatalaksanaan yang tepat, prognosis kemungkinan akan baik,


karena belum ada penyulit yang terjadi.

22
BAB 4

KESIMPULAN

Dilaporkan bahwa terdapat pasien dengan diagnosis herpes zoster facialis


sinistra (stadium erupsi) pada Tn. US, usia 53 tahun. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis yang didapatkan keluhan pasien berupa panas menjalar di
wajah kiri sejak 3 hari yang lalu, awalnya yang dirasakan adalah nyeri kepala
sebelah, kemudian minum obat flu 2 tablet, karena nyeri belum berkurang minum
obat sakit kepala 2 tablet, kemudian muncul ruam kemerahan di wajah kiri, ada rasa
panas yang menjalar, dan nyeri seperti terbakar, dan muncul juga luka seperti
melenting di pipi kiri, kemudian menyebar ke separuh wajah kiri. Demam
sebelumnya (-), gatal (-).

Pemeriksaan fisik pada regio facialis sinistra didapatkan gambaran group


vesikel (vesikel bergerombol) dengan dasar eritematosa berbatas tidak tegas disertai
crusta dan erosi, dengan gambaran kulit normal diantaranya et regio facialis sinistra
unilateral, sesuai dermatom, tidak melewati bagian tengah wajah.

Pada kasus diatas pasien mendapat terapi berupa acyclovir tablet 5x800mg
selama 7 hari, obat harus dihabiskan dan diminum secara teratur, asam mefenamat
3 x 500 mg/hari, minum bila dirasakan nyeri, dan terapi topika yaitu, fulladic cream
2% dioleskan pagi dan malam hari.

Selain terapi medikamentosa, pasien diberikan edukasi agar menjaga


kesehatan dengan bed rest sementara waktu di rumah dan makan makanan dengan
nutrisi yang baik untuk mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Kemudian,
pasien diarapkan dapat menjaga kebersihan tubuh dengan tidak memegang luka
ataupun menggaruk, serta untuk sementara waktu tidak boleh terkena air. Lalu,
menjelaskan kepada penderita untuk meminum obat sesuai dosis yang dianjurkan
untuk efektifitas pengobatan. Serta memberikan penjelasan kepada penderita bahwa
nyeri pada daerah ini masih bisa tetap bertahan dan komplikasi yang sering terjadi
berupa Post Herpetic Neuralgia.

Dengan penatalaksanaan yang tepat, prognosis kemungkinan akan baik,


karena belum ada penyulit yang terjadi.

23
DAFTAR PUSTAKA

Baehr M & Frotscher M., 2005, Duus’ topical diagnosis in neurology, 4th ed, New
York: Thieme.
Barakbah, Pohan, Sukanto, et al, 2007, Atlas Penyakit Kulit & Kelamin cetakan
kedua Bagian SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Surabaya: Airlangga
University Press, pp. 14-19
Gnan JW, &Whitley RJ., 2002, Herpes Zoster. Natural English. Journal Med.
347(5), pp.340-346.

Handoko R., 2011, Penyakit virus. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors,
Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi keenam, Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, pp. 110-116.

Murtiastutik, Dwi, 2005, Pedoman Diagnostik Dan Terapi RSU Dr. Soetomo edisi
III, Surabaya, pp. 56-58.

Siregar, R.S., 2011, Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Edisi ketiga, Jakarta:
EGC, pp. 84-86.

Stephen S., 2012, Varicella and Herpes Zoster, In: Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K, penyunting, Fitzpatrick's
dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill, pp.
2296-2309.

Sterling, Jane C., 2016, Viral Infection, In: Christopher E. M. Griffiths, Jonathan
Barker, Tanya Bleiker, Robert Chalmers, Daniel Creamer, Rook’s Textbook
of Dermatology, Ninth Edition, London: Wiley Blackwel, pp. 25.27-25.31.

William D. James, Timothy G. Berger, Dirk M. Elston, 2016, Andrews’ Diseases


of The Skin: Clinical Dermatology, Twelfth Edition, Elsivier Inc., pp. 428-
433.

24

Anda mungkin juga menyukai