TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
3
predisposisi bagi orang dewasa untuk terjadi penyakit SSSS, walaupun orang sehat
pun berisiko (Christopher et al, 2016).
2.3 Etiologi
2.4 Patofisiologi
4
staphylococcus aureus memungkinkan proliferasi dan penyebarannya di bawah
barier tersebut. Sekali kulit dapat mengenali toksin eksfoliatif tersebut,
staphylococcus aureus dapat menyebar sehingga menimbulkan celah di bawah
stratum korneum. (Christopher et al, 2016)
Toksin staphylococcus terdiri atas toksin eksfoliatif A dan B (ETA dan
ETB) yang menyebabkan melepuhnya kulit pada kasus SSSS. ETA terdiri atas 242
dengan berat molekul 26.950 kDa, bersifat stabil terhadap panas dan gennya terletak
pada kromosom sementara ETB terdiri atas 246 asam amino dengan berat molekul
27.274 kDa, bersifat labil terhadap pemanasan dan gennya berlokasi pada plasmid.
(Kadam et al, 2009) Toksin ini dihasilkan pada fase pertumbuhan bakteri dan
diekskresikan dari kolonisasi staphylococcus sebelum diabsorpsi melalui sirkulasi
sistemik. Toksin mencapai stratum granulosum epidermis melalui difusi pada
kapiler dermal. Studi histologis menunjukkan bahwa ikatan ETs pada keratinosit
kultur isolasi kulit menyebabkan terbentuknya vesikel yang mengisi ruang antarsel,
diikuti cairan interseluler yang mengisi ruang antara stratum granulosum dan
spinosum. Pemeriksaan laboratorium mendukung bahwa ETB lebih pirogenik
dibandingkan ETA, sementara studi klinis menunjukkan meskipun ETA dan ETB
dapat menyebabkan SSSS lokal, tetapi ETB lebih sering diisolasi dari anak yang
menderita SSSS generalisata dan juga dapat menyebabkan eksfoliasi generalisata
pada orang dewasa yang sehat. (Hubiche et al, 2012)
Desmosom merupakan target toksin eksfoliatif pada SSSS. Desmosom
adalah intercelluler adhesive junction yang secara struktural berhubungan dengan
filamen intermediet intraseluler. Desmosom ini diekspresikan oleh sel epitel dan
beberapa sel lainnya yang banyak terdapat pada jaringan yang mengalami stress
mekanik, seperti kulit, mukosa gastrointestinal, jantung, dan kandung kemih.
Desmoglein (Dsg) merupakan komponen transmembran mayor pada desmosom
yang berperan tidak hanya pada adhesi antar sel epitel tetapi juga pada morfogenesis
sel epitel.9 Terdapat 3 isoform desmoglein yaitu Dsg1, Dsg2, dan Dsg3. Dsg 2
terdapat pada semua jaringan yang memiliki desmosom termasuk epitel dan
miokard, sedangkan Dsg1 dan Dsg3 terbatas pada epitel skuamos bertingkat.
(Kadam et al, 2009)
5
ETA dan ETB menyebabkan bula dan pengelupasan kulit dengan cara
menghambat desmosom pada lapisan sel granular epidermal sehingga terjadi
pemisahan intradesmosomal (Hubiche et al, 2012). Lebih dari satu dekade diduga
bahwa toksin tersebut terikat secara langsung pada cadherin desmosomal, yaitu
desmosglein1 (Dsg1).Meskipun pemisahan sel epidermal ditunjukkan oleh toksin
eksfoliatif (ETs), gejala klinis SSSS tidak dapat diterangkan oleh aksi toksin
tersebut. Ets juga bisa bertindak sebagai lipase sekaligus mengaktifkan protease lain
yang pada gilirannya menyebabkan pengaruh patogenik. (Kadam et al, 2009)
Toksin epidermolitik difiltrasi di glomerulus dan direabsorbsi pada tubulus
proksimal dimana kemudian dikatabolisme oleh sel-sel tubulus proksimal.
Kecepatan filtrasi glomerulus (GFR) bayi kurang dari 50% GFR orang dewasa
normal, dan hal ini terbanyak ditemukan pada dua tahun pertama kehidupan. Hal
ini menjelaskan mengapa bayi-bayi, pasien dengan gagal ginjal kronik, dan pasien
yang menjalani hemodialisa merupakan faktor predisposisi terjadinya SSSS
(Hubiche et al, 2012). Berikut patofisiologi SSSS secara umum:
6
2.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis SSSS meliputi gejala prodormal lokal berupa infeksi
staphylococcus aureus pada kulit, laring, hidung, mulut, umbilikus dan traktus
gastrointestinal. SSSS timbul berupa ruam kemerahan yang diikuti pengelupasan
epidermis menyeluruh. Sebelum timbul ruam, sering terjadi kelemahan umum dan
demam. Bayi biasanya gelisah, yaitu merasa tidak nyaman bila dipeluk ataupun
ditidurkan. (Fera & Herry, 2015)
Staphylococcal scalded skin syndrome biasanya dimulai dengan demam,
malaise, gelisah, dan nyeri. Selanjutnya diikuti ruam kemerahan meluas pada kulit
yang biasa terjadi pada daerah lipatan, seperti leher, axilla, selangkangan dan muka.
Dalam waktu 24-48 jam terbentuk benjolan-benjolan berisi cairan (bulla), benjolan-
benjolan ini mudah pecah, dan meninggalkan kesan yang tampak seperti terbakar.
Dua sampai tiga hari lapisan atas kulit akan mengeriput dan terjadi pengelupasan
lembaran kulit, meninggalkan luka terbuka yang lembab, merah dan nyeri. Luka
terbuka selanjutnya akan mengering dan terjadi deskuamasi, kondisi ini biasanya
dapat sembuh dalam 714 hari. Gejala lainnya dapat berupa nyeri dan ruam
kemerahan di area sekitar tempat infeksi, kelemahan dan dehidrasi. (Hubiche et al,
2012)
8
2.6 Diagnosis
Mayoritas kasus SSSS dapat didiagnosis secara klinik, namun demikian
pemeriksaan penunjang penting juga dilakukan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
temuan klinis, kultur mikroorganisme, identifikasi ET, dan hasil biopsi
(histopatologi). (Fera & Herry, 2015)
Pada temuan klinis umumnya penyakit ini diawali dengan demam, karena
infeksi saluran nafas atas, kelainan kulit yang timbul diawali oleh eritema yang
timbul mendadak pada lipat paha, muka, leher, dan ketiak yang kemudian meluas
ke seluruh tubuh tapi tidak melibatkan membran mukosa dengan Nikolskys sign
positif (pembentukan kulit yang melepuh atau pengelupasan kulit yang normal) dan
nyeri tekan. Dalam waktu 24-48 jam akan timbul bula-bula besar berdinding
kendur, yang selanjutnya akan terjadi pengeriputan spontan disertai pengelupasan
lembaran-lembaran kulit sehingga tampak daerah erosif yang mirip dengan
kombustio dalam beberapa hari akan mengering dan terjadi deskuamasi. (Hubiche
et al, 2012) Penyembuhan akan terjadi pada 7-14 hari tanpa disertai sikatriks
(Travers & Mousdicas, 2012).
9
Gambar 7. Nicolskys sign
10
Gambar 8. Pemisahan pada epidermis dan limfosit yang
mengelilingi pembuluh darah superficial
2.7 Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk SSSS adalah TEN (toxic epidermal necrolysis).
Gambaran klinis keduanya hampir sama, hanya pada SSSS tidak ada keterlibatan
mukosa (intraepidermal), sedangkan TEN menyebabkan nekrosis pada seluruh
lapisan epidermal (pada batas membran dasar). Insidens SSSS jarang terjadi pada
orang dewasa dan sebaliknya TEN sangat kecil kemungkinannya terjadi pada
neonatus. Staphylococcal scalded skin syndrome memiliki tingkat keparahan yang
lebih rendah dan tidak melibatkan erosi membrane mukosa (mulut, konjungtiva,
trachea, esofagus, anus, vagina) jika dibandingkan dengan TEN. Pemeriksaan
lainnya untuk membedakan kedua kelainan tersebut adalah tes Tzanck dan
pemeriksaan histopatologis. Tes Tzanck menunjukkan ada tidaknya sel yang
mengalami akantolisis pada SSSS, sedangkan pada NET tidak ditemukan. Secara
histopatologis pada SSSS ditemukan akantolisis subgranular superfisial sementara
pada NET terjadi nekrolisis epidermal full-thickness dan pemisahan dermal-
epidermal junction. Pada SSSS, hasil pemeriksaan preparat Tzanck dari area lepuh
yang dipecahkan akan didapatkan sejumlah sel epitel dengan inti sel besar dan sel-
sel akantolitik tetapi tidak ditemukan sel-sel inflamasi sedangkan TEN hanya
memiliki sel epitel yang sedikit dan tidak memiliki sel akantolitik tetapi banyak
terdapat sel-sel inflamasi. (Hubiche et al, 2012)
11
Diagnosis banding dari staphylococcal scalded skin syndrome berikutnya
adalah impetigo bulosa, yang merupakan penyakit kulit melepuh yang disebabkan
ET, akan tetapi pada impetigo bulosa, ET hanya terdapat pada area infeksi (lokal)
sehingga kultur bakteri dapat diperoleh dari isi kulit yang melepuh (bula). Pada
SSSS, ET tersebar secara hematogen dan akan berpotensi menyebabkan kerusakan
epidermal pada bagian tempat terjauh. (Hubiche et al, 2012)
Berikutnya diagnosis banding yang hampir memiliki kesamaan dari
efloresensi nya adalah Stevens Johnson Syndrome (SJS). Namun, perlu dibedakan
dengan anamnesis yang detail, apakah pasien atau ibu yang sedang menyusui
mengkonsumsi obat-obat tertentu dalam jangka waktu kurang lebih1- 2 bulan. Serta
SJS ini sendiri predileksinya adalah mengenai membram mukosa tubuh, sehingga
hal ini dapat dibedakan dengan SSSS. (Fera & Herry, 2015)
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari SSSS memiliki dua tujuan, yaitu penatalaksanaan
suportif dan penatalaksanaan untuk mengatasi infeksi primernya. Fokus utama dari
tatalaksana SSSS harus mendiagnosa secara dini keadaan ini, menstabilkan kondisi
pasien dan mengeradikasi bakteri stafilokokus. (Fera & Herry, 2015)
Penatalaksanaan kulit suportif dengan mempertahankan keseimbangan
cairan, dan inkubator bertujuan untuk mempertahankan kelembaban dan suhu
tubuh. Pasien perlu mendapatkan rehidrasi cairan, perawatan luka topikal mirip
dengan perawatan untuk luka bakar termal, dan antibiotik parenteral untuk
mengobati staphylococcus aureus. Pilihan terapi topikal antibiotik nya adalah asam
fusidat, mupirosin, basitrasin, atau perak sulfadiazin. Pemilihan antibiotik harus
mempertimbangkan tingginya angka infeksi akibat community acquired
staphylococcus aureus (CA - MRSA). Terapi SSSS yang dikombinasikan dengan
tatalaksana kulit suportif ini sangat membantu mempercepat penyembuhan. Selain
itu, penggunaan dressing non-adheren, yaitu petrolatum-impregnated gauze,
terbukti efektif untuk mempercepat re-epitelisasi lesi lepuh yang luas. (Hubiche et
al, 2012)
Pengobatan yang tepat dengan antibiotik anti - staphylococcal parenteral
juga sangat penting. Staphylococcal memiliki penicillinases dan tahan terhadap
penisilin. Antibiotik empiris yang digunakan adalah jenis penisilin sintetik tahan-
12
penisilinase (misalnya, nafcillin atau oxacilin atau cloxacilin). Namun, jika
organisme pada hasil kultur menunjukkan hasil sensitif terhadap penisilin G, maka
obat tersebut digunakan terapi utama. Sefalosporin generasi pertama dapat
digunakan sebagai alternatif. Pada pasien alergi penisilin, makrolida atau
aminoglikosida bisa digunakan. Pada pasien yang terbukti CA-MRSA yang gagal
dengan terapi empiris serta dalam keadaan toksik maka pilihan antibiotik adalah
vankomisin. Klindamisin juga dapat digunakan untuk menghambat bakteri
memproduksi eksotoksin. Berikut ini dosis yang digunakan dalam eradikasi
staphylococcus aureus pada penyakit SSSS (King, 2017):
Nafcillin 100 mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis atau 50 mg/kg/hari
dibagi
dalam 4 dosis peroral, 7-10 hari
Kloksasilin 100-200 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 dosis selama 7-10
hari
Penicillin G procaine (300K U/hari IM untuk BB<30 kg, 600K
sampai 1
million U/hari IM untuk BB>30 kg)
Amoxicillin-clavulanate 45 mg/kg/hari/peroral dibagi dalam 2
dosis, 7-10 hari
Cefazolin 100 mg/kg/hari IV dibagi dalam 4 dosis
Rehidrasi cairan dimulai dengan larutan Ringer laktat pada 20 mL / kg bolus
awal, bolus dapat diulang sesuai keadaan klinis, diikuti dengan terapi pemeliharaan
untuk mencegah keadaan dehidrasi akibat kelainan kulit yang ada. (King, 2017)
Perawatan luka topikal dilakukan dengan penggunaan baju yang
meminimalkan gesekan juga dapat membantu mengurangi terjadinya pengelupasan
kulit akibat gesekan. Pembersihan luka dengan menggunakan KMnO4 1/10.000
atau larutan asam borat 3% juga dapat menghilangkan adanyanya bakteri secara
topikal. Kompres daerah lesi untuk membersihkan dari jaringan-jaringan epidermis
yang telah nekrosis. Salep antibiotik muporicin diberikan beberapa kali dalam
sehari pada area lesi termasuk pada sumber infeksi sebagai tambahan terapi
antibiotik sistemik. Steroid tidak diberikan karena dapat memperburuk fungsi
13
kekebalan tubuh. Agen anti - inflamasi nonsteroid dan agen lain yang berpotensi
mengurangi fungsi ginjal juga harus dihindari. (King, 2017)
2.9 Komplikasi
Komplikasi paling berat yang dapat terjadi pada pasien SSSS adalah
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Komplikasi lain yang sering terjadi
berupa dehidrasi, infeksi sekunder (pneumonia), dan sepsis. Kasus SSSS pada anak
jarang menyebabkan sepsis sehingga angka kematiannya lebih rendah (1-5%).
Angka kematian pada dewasa lebih besar (mencapai 50-60%) karena diikuti
beberapa faktor penyebab kematian lainnya dan peningkatan kejadian sepsis.
(Hubiche et al, 2012)
2.10 Prognosis
Prognosis SSSS pada neonatus dan anak-anak umumnya baik apabila tidak
terjadi komplikasi berat. Angka kematian sangat rendah pada bayi dan anak-anak
yaitu sekitar 3%. Prognosis juga bergantung pada penanganan yang cepat dan tepat,
semakin cepat dan tepat semakin baik prognosisnya. (Fera & Herry, 2015)
Prognosis pada orang dewasa tidak baik, tercatat angka kematian pada orang
dewasa bisa mencapai 60% (William et al, 2016).
14