Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

DRUGS ERUPSION

I. KONSEP DASAR MEDIK


A. PENGERTIAN
Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik
pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian
obat yang biasanya sistemik.
Erupsi obat alergik (EOA) merupakan reaksi hipersensitivitas yang
ditandai oleh satu atau lebih makula yang berbatas jelas, berbentuk bulat
atau oval dengan ukuran lesi bervariasidari beberapa milimeter sampai
beberapa sentimeter. Gambaran yang khas dari EOA adalah
kecenderungannya untuk berulang di tempat lesi yang sama bila terpapar
kembali dengan obat yang sama.
B. ETIOLOGI
Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut
waktu, tempat dan jenis penelitian yang dilaporkan. Tingginya angka
kejadian alergi obat tampak berhubungan erat dengan kekerapan
pemakaian obat tersebut. Diduga risiko terjadinya reaksi alergi sekitar 1
3% terhadap sebagian besar jenis obat. Pada umumnya laporan tentang
obat tersering penyebab alergi adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat
dan pirazolon. Obat lain yang sering pula dilaporkan adalah analgetik lain
(asam mefenamat), antikonvulsan (dilantin, mesantoin, tridion), sedatif
(terutama luminal) dan trankuilizer (fenotiazin, fenergan, klorpromazin,
meprobamat). Tetapi, alergi obat dengan gejala klinis berat paling sering
dihubungkan dengan penisilin dan sulfa.
C. FAKTOR RISIKO ALERGI OBAT
Adapun faktor faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat
antara lain :
1. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih
tinggi jika dibandingkan dengan pria.
2. Sistem Imunitas
Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami
penurunan sistem imun.
3. Usia
Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama anak
anak dan orang dewasa. Pada anak anak disebabkan perkembangan
sistem imunologi yang belum sempurna. Sebaliknya, pada orang
dewasa disebabkan karena lebih seringnya berkontak dengan bahan
antigenetik.
4. Dosis
Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan
memudahkan timbulnya sensitisasi. Tetapi, jika sudah melalui fase
induksi, dosis yang sangat kecil sekalipun sudah dapat menimbulkan
reaksi alergi.
5. Infeksi dan Keganasan
Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat
berat yang disertai dengan keganasan.
6. Atopik
Faktor risiko yang bersifat atopik ini masih dalam perdebatan.
D. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis erupsi obat dapat bermacam-macam, tergantung pada tipe
reaksi, Antara lain : morbiliformis, eritem multiforme, eksantem fikstum,
erupsi akneiformis, urtikaria, purpura, dermatitis eksfoliativa, nekrosis
epidermal toksik, Sindrom Steven-Johnson.
E. PATOFISIOLOGI
Mekanisme terjadinya erupsi alergi obat dapat terjadi secara
nonimunologik dan imunologik (alergik), tetapi sebagian besar merupakan
reaksi imunologik. Pada mekanisme imunologik, erupsi alergi obat terjadi
pada pemberian obat kepada pasien yang sudah tersensitasi dengan obat
tersebut. Obat dengan berat molekul yang rendah awalnya berperan
sebagai antigen yang tidak lengkap (hapten). Obat atau metabolitnya yang
berupa hapten ini harus berkonjugasi dahulu dengan protein, misalnya
jaringan, serum atau protein dari membran sel untuk membentuk antigen
yaitu kompleks hapten protein. Obat dengan berat molekul yang tinggi
dapat berfungsi langsung sebagai antigen lengkap. Sehingga
mengakibatkan terjadinya erupsi obat.
Mekanisme patofisiologi alergi drug eruption belum diketahui
secara pasti. Namun penelitian terakhir menyebutkan adanya peran sel
mediator yang mengawali munculnya lesi yang aktif. Proses ini meliputi
suatu antibodi-dependent dan reaksi sel mediator sitotoksik. Reaksi
hipersensitivitas tipe IV, defisiensi enzim, dan hipersensitivitas terhadap
zat, dapat menjadi bagian dari proses patofisiologi alergi drug eruption.
Obat-obat yang masuk dianggap sebagai hapten yang berikatan
dengan sel basal keratinosit atau dengan melanosit pada lapisan basal
epidermis, yang menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi. Melalui
pelepasan sitokin, seperti tumor necrosis factor-alpha, keratinosit
mengekspresikan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Pengaturan
ICAM-1 akan mendorong sel T (CD4 dan CD8) berpindah ke lokasi lesi.
Sel CD4 memproduksi IL-10, yang menekan sistem imun, yang
menyebabkan lesi yang terus aktif. Jika respon inflamasinya sudah hilang,
IL-15 yang diekspresikan keratinosit akan membantu mempertahankan sel
CD8, yang akan memberikan memori fenotipe. Sehingga ketika paparan
obat berulang, respon akan berkembang lebih cepat pada lokasi yang
sama.
Keluhan disekitar lesi yang disertai rasa terbakar, demam, malaise,
dan gejala abdomen. Adapula gejala lainnya yaitu nyeri, rasa tidak
nyaman, dan kadang gatal. Gejala sistemik dapat berupa demam, malaise,
mual, diare, anorexia, dan disuria. Lesi paling sering ditemukan di
ekstremitas atas, ekstremitas bawah, genital, serta perianal. Namun dapat
juga ditemukan pada daerah peroral dan periorbita.
Lesi soliter, makula eritema, plak yang disertai edema, dan bula yang
kadang dapat ditemui. Pada awalnya berupa lesi soliter, namun dengan
paparan obat yang berulang memunculkan lesi pada lokasi yang sama, dan
dapat pula pada lokasi lainnya, dengan ukuran lebih besar atau sama. Lesi
bulat/oval, diameter 1 cm atau lebih, plakat eritema, hiperpigmentasi, dan
dapat disertai edema. Lesi muncul dalam waktu 30 menit sampai 8 jam
setelah penggunaan obat, dan mulai memudar dalam 1-2 minggu, namun
meninggalkan bekas berwarna coklat, biru tua, atau hitam. (Ami Misbah)
F. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang
terkena atau menurut mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi
imunologis Gell dan Coombs (tipe I sampai dengan IV).
1. Tipe I (Hipersensivitas Tipe Cepat)
Manifestasi yang terjadi merupakan efek mediator kimia akibat reaksi
antigen dengan IgE yang telah terbentuk menyebabkan kontraksi otot
polos. Meningkatnya permeabilitas kapiler serta hipersekresi kelenjar
mukus.
a) Kejang bronkus gejalanya berupa sesak, kadang kadang kejang
bronkus disertai kejang laring. Bila disertai edema laring keadaan
karena pasien tidak dapat atau sangat sulit bernapas.
b) Urtikaria,
c) Angiodema,
d) Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilatik dapat terjadi beberapa
menit setelah suntikan seperti penisilin.
Manifestasi klinis renjatan anafilatik dapat terjadi dalam waktu 30
menit setelah pemberian obat, karena hal tersebut mengenai beberapa
organ dan secara potensial membahayakan. Reaksi ini sering disebut
sebgai anafilaksis. Penyebab yang tersering adalah penisilin.
Pada tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu :
a. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan
IgE;
b. Fase aktivasi yaitu fase yang terjadi karena paparan ulang antigen
spesifik. Akibat aktivasi ini sel mast basofil mengeluarkan
kandungan yang berbentuk granual yang dapat menimbulkan reaksi;
c. Fase efektor yaitu fase terjadinya respon imun yang kompleks
akibat pelepasan mediator.
2. Tipe II
Reaksi hipersensivitas tipe II atau reaksi sitotaksik terjadi karena
terbentuknya IgM atau IgG oleh pajanan antigen. Antibodi tersebut
dapat mengaktifkan sel sel yang memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan
antibodi antigen juga dapat mengaktifkan komplemen melalui reseptor
komplemen.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe II umumnya berupa kelainan darah
seperti anemia hemolitik, trombositopena, eosinofilia dan
granulasitopenia. Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksi
alergi tipe ini.
3. Tipe III
Reaksi ini disebut reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila
kompleks ini mengendap pada jaringan. Antibodi yang berperan di sini
ialah IgM dan IgG. Kompleks ini akan mengaktifkan pertahanan tubuh
yaitu dengan penglepasan komplemen.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa :
a. Demam;
b. Limfadenopati;
c. Kelainan sendia, artralgia dan efusi sendi;
d. Urtikaria, angiodema, eritema, makulopapula, eritema multiforme.
Gejala tersebut sering disertai pruritis;
e. Lainnnya seperti kejang perut, mual, neuritis optik,
glomerulonefritis, sindrom lupus eritematosus sistemk serta
vaskulitis.
Gejala tadi timbul 5 20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila
sebelumnya pernah mendapat obat tersebut gejalanya dalam waktu
1 5 hari.
4. Tipe IV
Reaksi tipe IV disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga
dikenal sebagai Cell Mediated Imunity (reaksi imun seluler). Pada
reaksi ini tidak ada peranan antibodi. Reaksi terjadi karena respon sel
T yang telah disensitasi oleh antigen tertentu.
Berbagai jenis Delayed Type Hypersensitivity (DTH) antara lain :
a. Cutaneous Basophil Hypersensitivity;
b. Hipersensivitas kontak (kontak dermatits);
c. Reaksi tuberkulin;
d. Reaksi granuloma.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut
seperti demam, sesak, batuk, infiltrat paru dan efusi pleura. Obat yang
tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofurantion, nefritis
intersyisial, ensefalomielitis dan hepatitis. Namun, dermatitis
merupakan manifestasi yang paling sering. Kadang kadang gejala
baru timbul bertahun tahun setelah sensitasi. Contohnya, pemakaian
obat tropikal (sulfa, penisilin atau antihistamin). Bila pasien telah
sensitif, gejala dapat muncul 18 24 jam setelah obat dioleskan.
G. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Wawancara mengenai riwayat penyakit (anamnesis) merupakan cara
yang paling penting untuk diagnosis alergi obat karena cara cara
pemeriksaan yang ada sekarang masih rumit dan hasilnya juga belum
memuaskan. Kesulitan yang sering timbul yaitu apakah gejala yang
dicurigai timbul sebagai manfestasi alergi obat. Masalah tersebut lebih
sulit lagi bila pada saat yang sama pasien mendapat lebih dari satu
macam obat.
Hal hal yang perlu diperhatikan pada anamnesis pasien alergi obat
adalah :
a. Riwayat pemakaian obat masa lalu dan catat bila ada reaksi;
b. Manifestasi klinis alergi obat sering dihubungkan dengan jenis obat
tertentu;
c. Pemakaian obat topikal (salep) antibiotik jangka lama merupakan
salah satu jalan terjadinya sensitasi obat yang harus diperhatikan;
d. Diagnosis alergi obat sangat mungkin bila gejala menghilang
setelah obat dihentikan dan timbul kembali bila pasien diberikan
obat yang sama;
e. Catat semua obat yang dipakai pasien termasuk vitamin, tonikum
dan obat yang sebelumnya sering dipakai, tetapi tidak menimbulkan
gejala alergi obat;
f. Catat lama pemakaian serta riwayat obat obat sebelumnya. Alergi
obat sering timbul bila obat diberikan secara berselang seling,
berulang ulang serta dosis tinggi secara parental;
g. Lama waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian obat sampai
timbulnya gejala. Pada reaksi anafilaksis gejala timbul segera, tetapi
kadang kadang gejala alergi obat baru timbul 7 10 hari setelah
pemakian pertama.
2. Uji Kulit
Uji kulit yang ada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam obat
(penisilin, insulin, sediaan serum), sedangkan untuk obat obatan
yang lain masih diragukan nilainya. Hal ini dikarenakan :
a. Beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus lepasnya histamin
(kodein, tiamin) sehingga uji positif yang terjadi adalah semu;
b. Konsentrasi obat terlalu tinggi juga menimbulkan hasil positif semu.
Sebagian besar obat mempunyai berat molekul kecil sehingga hanya
merupakan hapten. Oleh sebab itu, sukar untuk menentukan
antigennya;
c. Kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil metabolismenya
dan bukan oleh obat aslinya, sehingga bila kita melakukan uji kulit
dengan obat aslinya hasilnya kurang dapat dipertanggung jawabkan
kecuali penisilin yang diketahui hasil metabolismenya serta obat
obat yang mempunyai berat molekul besar (insulin, ACTH, serum
serta vaksin yang mengandung protein telur).
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan
penyebab erupsi obat alergi adalah :
a. Pemeriksaan in vivo
Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat
imunogenik yaitu determinan antigen dari obat atau metabolitnya.
Bahan uji kulit harus bersifat non iritatif untuk menghindari positif
palsu. Uji ini manfaatnya sangat terbatas karena baru sedikit sekali
determinan antigen obat yang sudah diketahui dan tersedia untuk uji
kulit. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makro
molekul seperti insulin, antisera, ekstrak organ, sedangkan untuk
mikromolekul sejauh ini hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap
penisilin saja.
Uji ini antara lain :
1) Uji Tempel (patch test)
Uji tempel sering dipakai untuk membuktikan dermatitis kontak.
Suatu seri sediaan uji tempel yang mengandung berbagai obat
ditempelkan pada kulit (biasanya daerah punggung) untuk dinilai 48
72 jam kemudian. Uji tempel dikatakan positif bila terjadi erupsi
pruritus, eritema dan vesikular yang serupa dengan reaksi. Klinis
alergi sebelumnya, tetapi dengan intensitas dan skala lebih ringan.
2) Uji Tusuk (prick/scratch test)
Uji tusuk dapat digunakan untuk mengkonfirmasi adanya reaksi tipe
I, dengan adanya deteksi kompleks antigen IgE spesifik. Uji kulit
dapat dilakukan dengan memakai bahan yang bersifat imunogenik
yaitu determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan untuk
uji kulit harus bersifat non iritatif untuk menghindarkan positif
palsu. Uji kulit sebetulnya merupakan cara yang efektif untuk
diagnosis penyakit atopik, tetapi manfaatnya terbatas untuk alergi
obat karena pada saat ini baru sedikit sekali determinan antigen obat
yang sudah diketahui. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi
alergi terhadap makromolekul (insulin, antisera, ekstrak organ),
sedangkan untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat
mengidentifikasi alergi terhadap penisilin saja. Hasil negatif hanya
berarti pada uji kulit penisilin.
3) Uji Provokasi (exposure test)
Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat, tetapi
merupakan prosedur diagnostik terbatas karena mengandung resiko
yang berbahaya yaitu terjadinya anafilaksis sehingga hanya
dianjurkan dilakukan ditempat yang memiliki fasilitas dan tenaga
yang memadai. Karena itu maka uji provokasi merupakan kontra
indikasi untuk alergi obat yang berat misalnya anafilaksis, sindroma
Steven Johnson, dermatitis eksfoliatif, kelainan hematologi, eritema
vesiko bulosa. Uji provokasi dilakukan setelah eliminasi yang
lamanya tergantung dari masa paruh setiap obat.
b. Pemeriksaan in vitro
Uji in vitro untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian.
Pemeriksaan yang dilakukan antara lain IgG dan IgM spesifik, uji
aglutinasi dan lisis sel darah merah, RAST, uji pelepasan histamin, uji
sensitisasi jaringan (basofil atau lerkosit serta esai sitokin dan reseptor
sel), sedangkan pemeriksaan rutin seperti IgE total dan spesifik, uji
Coombs, uji komplemen dan lain lain bukanlah untuk konfirmasi
alergi obat. Tujuan dari uji ini untuk membantu membedakan apakah
reaksi kulit yang terjadi pada individu tersebut disebabkan karena obat
atau bukan.
I. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Umum
a. Melindungi kulit, pemberian obat yang diduga menjadi penyebab
erupsi kulit harus dihentikan segera;
b. Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan
untuk mendeteksi kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah
atau relaps setelah berada pada fase pemulihan;
c. Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2 3
hari, khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada
kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C
500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik;
d. Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan
tubuhnya. Berikan cairan via infus bila perlu. Pengaturan
keseimbangan cairan elektrolit dan nutrisi penting karena pasien
sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok
serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus,
misalnya berupa glukosa 5% dan larutan Darrow.
2. Penatalaksanaan Khusus
a. Sistemik
1) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat
sistemik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah
prednison. Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis
medikamentosa, purpura, eritema nodosum, eksantema fikstum
dan PEGA karena erupsi obat alergi. Dosis standar untuk orang
dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari. Pengobatan
eryhema multiforme major, SSJ dan NET pertama kali adalah
menghentikan obat yang diduga penyebab dan pemberian terapi
yang bersifat suportif seperti perawatan luka dan NET
perawatan gizi penderita. Penggunaan glukortikoid untuk
pengobatan SSJ dan masih kontroversial. Pertama kali dilakukan
pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG) terbukti dapat
menurunkan progresifitas penyakit ini dalam jangka waktu 48
jam. Untuk selanjutnya IVIG diberikan sebanyak 0.2 0.75 g/kg
selama 4 hari pertama.
2) Antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika
terdapat rasa gatal, kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika
dibandingkan dengan kortikosteroid.
b. Topikal
Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah
kering atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan
bedak salisilat 2% ditambah dengan obat antipruritus seperti
mentol - 1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam keadaan
basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam salisilat
1%.
Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan
pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan
membasah dapat diberikan krim kortikosteroid, misalnya
hidrokortison 1% 2 %. Pada eritroderma dengan kelainan
berupa eritema yang menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat
diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian sebagian.
Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase.
Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle atau krim
sulfadiazin perak.
II. KONSEP KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
a) Identitas
b) Kaji nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan nomor register.
c) Riwayat Kesehatan
o Keluhan Utama
Kaji apa alasan klien membutuhkan pelayanan kesehatan
o Riwayat Kesehatan Sekarang
Kaji bagaimana kondisi klien saat dilakukan pengkajian. Klien
dengan Steven Johnson biasanya mengeluhkan dema, malaise, kulit
merah dan gatal, nyeri kepala, batuk, pilek, dan sakit tenggorokan.
o Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji riwayat alergi makanan klien, riwayat konsumsi obat-obatan
dahulu, riwayat penyakit yang sebelumnya dialami klien.
o Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji apakah di dalam keluarga klien, ada yang mengalami penyakit
yang sama.
o Riwayat Psikososial
Kaji bagaimana hubungan klien dengan keluarganya dan interaksi
sosial.
d) Pengkajian fisik
1) Kaji riwayat adanya alergi obat
2) Inspeksi kulit dengan cermat untuk mengetahui adanya lesi, dan
penyebarannya
3) Inspeksi rongga mulut untuk mengetahui adanya lesi
4) Inspeksi keadaan genetalia untuk mengetahui adanya les
5) Kaji kemampuan menelan dan meminum cairan
6) Kaji kemampuan klien untuk bernafas
7) Kaji kemampuan visual klien, gangguan penglihatan, adanya
peradangan,
8) Monitor tanda vital terutama suhu untuk mengetahui karakter demam
9) Catat volume urine, berat jenis, dan warnanya
10) Kaji tingkat kecemasan, kemampuan koping
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan reaksi
inflamasi lokal.
b) Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh intake tidak
ad kuat respons sekunder dari keruakan krusta pada mukosa mulut.
c) Nyeri berhubngan dengan kerusakan jaringan lunak, erosi jaringan
lunak.
d) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas, adanya
port de entree pada lesi.
e) Devisit prawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik secara
umum.
f) Gangguan gabaran diri (citra diri) berhubungan dengan perubahan
struktur kulit, perubahan peran keluarga.
g) Kecemasan berhubungan dengan kondisi penyakit, penurunan
kesembuhan.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
a) Gangguan integritas kulit b.d lesi dan reaksi inflamasi
Tujuan : Dalam 5 x 24 jam itegritas kulit membaik secara optimal.
Kriteria hasil : pertumbuhan jaringan membaik dan lesi psoarisis
berkurang.
Intervansi Rasional
Kaji kerusakan jaringan Menjadi data dasar untuk memberikan informasi intervensi
kulit yang terjadi pada perawatan yang akan digunakan.
klien
Lakukan tindakan Perawatan lokal kulit merupakan penatalaksanaan
peningkatan integritas keperawatan yang penting. Jika diperlukan berikan kompres
jaringan hangat, tetapi harus dilaksanakan dngan hati-hati sekali pada
daerah yang erosif atau terkelupas. Lesi oral yang nyeri akan
membuat higiene oral dipelihara.
Lakukan oral higiene Tindakan oral higiene perlu dilakukan untuk menjaga agar
mulut selalu bersih. Obat kumur larutan anastesi atau agen
gentian violet dapat digunakan dengan sering untuk
membersikan mulut dari debris, mengurangi rasa nyari pada
daerah ulserasi dan mengendalikan bau mulut yang amis.
Rongga mulut harus diinspeksi beberapa kali sehari dan tiap
perubahan harus dicacat serta dilaprokan. Vaselin (atau salep
yang resepkan dokter) dioleskan pada bibir.
Tingkatkan asupan Diet TKTPdiperlukan untuk meningkatkan asupan dari
nutrisi kebutuhan pertumbuhan jaringan.
Evaluasi kerusakan Apabila masih belum mencapai dari kriteria evaluasi 5 x24
jaringan dan jam, maka perlu dikaji ulang faktor-faktor penghambat
perkembangan pertumbuhan danperbaikkan dari lesi.
pertumbuhan jaringan
Lakukan itervensi untuk Perawatan ditempat khusus untuk mencegah infeksi. Monitor
mencegah komplikasi dan evaluasi adanya tanda dan gejala komplikasi.pemantauan
yang ketat terhadap tenda-tanda vital dan pencatatan setiap
perubahan yang serius pada fungsi repiratorius, renal, atau
gastrointestinal dapat menditeksi dengan cepat dimulainya
suatu infeksi. Tindakan asepsis yang mutlak harus selalu
dipertahankan selama pelaksanaan perawatan kulit yang rutin.
Memcuci tangan dan menggunakan sarung tangan steril
ketikan dilaksankan prosedur tersebut diperlukan setiap
saat.ketika keadaannya meliputi bagian tubuh yang luas,
pasien harus dirawat dalam sebuah kamar pribadi untuk
mecegah kemugkinan infeksi silang dari pasien-pasien lain.
Pada penunjung harus mengenakan pakaian pelindung dan
mencuci tangan mereka sebelum meyentuh pasien. Orang-
orang yang menderita penyakit menular tidak boleh
mengunjingi pasien sampai mereka sudah tidak lagi berbahaya
bagi kesehatan pasien tersebut.
Kolaborasi untuk Kolaborasi pemberian kostikosteroid misalnya metil
pemberian prednisolon 80-120 mg peroral (1,5-2 mg/Kg BB/hari) atau
kostikosteroid pemberian deksametaon injeksi (0,15-0,2 mg/Kg BB/hari)
Kolaborasi untuk Pemberian antibiotik untuk infeksi dengan catatan menhindari
pemberian antibiotik pemberian sulfonamide dan antibiotik yang sering juga
sebagai penyebab SJS misalnya penisilin, cephalosporin.
Sebaiknya antibiotik yang diberikan berdasarkan kultur kulit,
mukosa, dan sptum. Dapat dipakai injeksi gentamisin 2-3 x 80
mg iv (1-1,5 mg/Kg BB/kali (setiap pemberian) )

b) Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh intake tidak


ad kuat respons sekunder dari kerusakan krusta pada mukosa mulut.
Tujuan:dalam waktu 5x24 jam setelah diberikan asupan nutrisi pasien
terpenuhi.
Kriteria evaluasi :
Pasien dapat mempertahankan status asupan nutrisi yang adekuat.
Pernyataan motifasi kuat untuk memenuhi keutuhan nutrisinya.
Penurunan berat badan selama 5x24 jam tidak melebihi dari 0,5 kg.
Intervensi Rasional
Kaji status nutrisi pasien, Memvalidasi dan menetapkan derajat masalah untuk
turgor kulit, berat badan menetapkan pilihan intervensi yang tepat. Berat badan
dan derajat penurunan pasien di timbang setiap hari (jika perlu gunakan
berat badan, integritas timbangan tempat tidur). Lasi oral dapat mengakibatkan
mukosa oral, kemampuan disfagia sehingga memerlukan pemberian makanan melalui
menelan, serta riwayat sonde atau terapi nutrisi parenteraltotal. Formula enteral
mual/muntah atau suplemen enteral yang di programkan diberikan
melalui sonde sampai pemberian peroral dapat di toleransi.
Penghitungan jumlah kalori perhari dan pencatatan semua
intake, serta output yang akurat sangat penting.
Evaluasi adanya alergi Beberapa pasien mungkin mengalami alergi terhadap
makanan dan beberapa komponen makanan tertentu dan beberapa
kontraindikasi makanan penyakit lain, seperti diabetes melitus, hipertensi, gout, dan
lainnya yang memberikan menifestasi terhadap persiapan
komposisi makanan yang akan diberikan.
Fasilitasi pasien Memperhitungkan keinginan individu dapat memperbaiki
memperoleh diet biasa asupan nutrisi.
yang disukai pasien
(sesuai indikasi)
Lakukan dan ajarkan Menurunkan rasa tak enak karena sisa makanan atau bau
perawatan mulut sebelum obat yang dapat merangsang pusat muntah.
dan sesudah makan, serta
sebelum dan sesudah
intervensi/pemeriksaaan
peroral
Fasilitasi pasien Asupan minuman mengandung kafein dihindari karena
memperoleh diet sesuai kafein adalah setimulan sistem saraf pusat yang
indikasi dan ajurkan meningkatkan aktivitas lambung dan sekresi pepsin.
menghindari asupan dari
agen iritan
Berikan makan dengan Pasien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makanan
perlahan pada lingkungan tanpa adanya distraksi/gangguan dari luar.
yang tenang
Ajurkan pasien dan Meningkatkan kemandirian dalam pemenuhan asupan
keluarga untuk nutrisi sesuai dengan tingkat toleransi individu.
berpartisipasi dalam
pemenuhan nutrisi
Kolaborasi dengan ahli Merencanakan diet dengan kandungan nutrisi yang adekuat
gizi untuk menetapkan untuk memenuhi peningkatan kebutuhan energi dan kalori
komposisi dan jenis diet sehubungan dengan status hipermetabolik pasien.
yang tepat

c) Nyeri berhubngan dengan kerusakan jaringan lunak, erosi jaringan


lunak
Tujuan : Dalam waktu 1 x 24jam nyari berkurang/hilang atau
teradaptasi
Kriteria evaluasi : Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau
dapat diadaptsi. Skala nyari 0-1 (0-4) dapat mengidentifikasi aktivitas
yang menigkatkan atau menurunkan nyeri. Pasien tidak gelisah.
Intervensi Rasional
Keji nyeri dengan Menjadi para meter dasar untuk mengetahui sejauh mana
pendekatan PQRST interfensi yang diperlukan dan sebagai evaluasi keberhasilan
dari interfensi manajemen nyari keperawatan.
Jelaskan dan bantu Pendekatan dengan mengunakan relaksasi dan non
pasien dengan tindakan farmakologi lainnya telah menunjukan keefektifan dalam
pereda nyeri non mengurangi nyeri.
farmakologi dan
monivasif
Lakukan manajemen Posisi fisiologis akan menigkatkan asupan O2 kejaringan yang
nyri keperawatan mengalami peradangan. Pengaturan posisi idealnya adalah
Atur posisi fisiologis pada arah berlawanan dengan letak dari lesi. Bagian tuuh yang
mengalami inflamsi lokal dilakukan imobilisasi untuk
menurunkan respons peradangan dan meningkatkan
kesembuhan.
Istirahatkan klien Istirahan diperlukan selama fase akut. Kondisi ini akan
meningkatkan suplai darah pada jaringan yang mengalami
peradangan.
Bila perlu Kompres yang basah dan sejuk atau terapi rendaman
premedikasi sebelum merupakan tindakan protektif yang dapat mengrangi rasa
melakukan perawatan nyeri. Pesien dengan lesi yang luas dan nyeri harus
luka mendapatkan premedikasi dahulu dengan prepart analgesik
sebelum perawatan kulit mulai dilakukan.
Manajemen Lingkungan tenag akan menurunkan stimulus nyeri eksternal
lingkungan : dan pembatasan pengunjung akan membantu meningkatkan
lingkungan tenang dan kondisi O2 ruangan yang akan berkurang apabila banyak
batasi pengunjung pengunjung yang berada di ruangan.
Ajarkan teknik Meningkatkan asupan O2 sehingga akan menurunkan nyeri
relaksasi pernapasan sekunder dari peradangan
dalam
Ajarkan teknik Distraksi (penglihatan perhatian) dapat menurunkan stimulus
distraksi pada saat nyeri internal dengan mekanisme peningkatan produksi endorfin
dan enkefalin yang dapat memblok reseptor nyeri untuk tidak
dikirimkan ke korteks selebri sehingga menurunkan presepsi
nyeri.
Lakukan menajemen Menajemen sentuhan pada saat nyeri berupa sentuhan
sentuhan dukungan psikologis dapat membantu menurunkan nyeri.
Masase ringan dapat meningkatkan aliran darah dan dengan
otomatis membantu suplai darah dan oksigen ke aliran nyeri
dan menurunkan sensasi nyeri.
Kolaborasi dengan Analgetik memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan
dokter, pemberian berkurang.
analgetik

d) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas, adanya


port de entree pada lesi.
Tujuan : setalah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan tidak
terjadi infeksi
Kriteria hasil :
o Tidak ada tanda tanda infeksi ( rubor , kalor , dolor , fungsio
laesa)
o Tidak timbul luka baru

intervensi rasional
monitor TTV Deteksi dini terhadap perkembangan kondisi pasien dan
adanya tanda-tanda infeksi.
kaji tanda tanda Mengidentifikasi kondisi luka yang terbebas dari infeksi
infeksi
motivasi pasien untuk Asupan karbohidrat & protein yang tinggi dapat
meningkatkan nutrisi mempercepat penyembuhan dan memperbaiki jaringan
TKTP yang rusak
jaga kebersihan luka Daerah luka yang kotor mempermudah penyebaran infeksi
kolaborasi pemberian Dugaan adanya infeksi/terjadinya lesi yang parah dan
antibiotik Menurunkan resiko penyebaran bakteri.

e) Devisit prawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik secara


umum.
Tujuan : setelah dilakukan askep selama 2 x 24 jam diharapkan
klien dan keluarga mampu merawat diri sendiri
Criteria hasil: klien mampu merawat diri sendiri
intervensi rasional
Ganti pakaian yang Untuk melindungi klien dari kuman dan meningkatkan rasa
kotor dengan yang bersih. nyaman
Berikan HE pada klien Agar klien dan keluarga dapat termotivasi untuk menjaga
dan keluarganya tentang personal hygiene.
pentingnya kebersihan
diri.
Berikan pujian pada Agar klien merasa tersanjung dan lebih kooperatif dalam
klien tentang kebersihan
kebersihannya.
Bimbing keluarga klien Agar keterampilan dapat diterapkan
memandikan / menyeka
pasien
Bersihkan dan atur Klien merasa nyaman dengan tenun yang bersih serta
posisi serta tempat tidur mencegah terjadinya infeksi.
klien.

f) Gangguan gambaran diri (citra diri) berhubungan dengan perubahan


struktur kulit, perubahan peran keluarga.
Intervensi Rasional
Dorong pasien untuk membantu pasien untuk menyadari perasaannya yang tidak
mengekspresikan perasaan biasa
khususnya mengenai
pikiran, perasaan,
pandangan dirinya.
Catat prilaku menarik diri. Dugaan masalah pada penilaian yang dapat memerlukan
Peningkatan evaluasi tindak lanjut dan terapi yang lebih ketat.
ketergantungan,
manipulasi atau tidak
terlibat pada perawatan.
Pertahankan pendekatan Bantu pasien/orang terdekat untuk menerima perubahan
positif selama aktivitas tubuh dan merasakan baik tentang diri sendiri.
perawatan.
PENYIMPANGAN KDM Allergi Drugs Erupsion

Sebum Allergen : Pityrosporum Ovale

Iritan Primer Sel langerhans & Makrofag

Mengiritasi Kerusakan Sel T


Kulit Integritas
Kulit
Sensifitas sel T oleh saluran limfe
Peradangan Kulit (lesi)
Reaksi hipersensifitas IV Terpajan ulang

Resiko Nyeri Gangguan


Infeksi Citra Tubuh sel efektor
mengeluarkan
limfokin

gejala klinis :
Gatal, panas,
kemerahan

Gangguan Pola tidur


DAFTAR PUSTAKA

Sudoyo, Aru W dkk. 2009. Ilmu Penyakit Dalam Volume 2 Edisi 5. Jakarta : EGC.

Wilkinson, Judith. 2006. Buku Saku Diagnosis keperawatan dengan Intervensi


NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC.

Anhira forever. 2012. Makalah erupsi alergi obat. Oneline dari


http://wikimed.blogbeken.com/erupsi-alergi-obat. Di akses pada tanggal 29 juni
2015

Kesehatan Vegan (pola makan berbasis nabati). 2010. Online dari


http://kesehatanvegan.com/2010/07/14/erupsi-alergi-obat. di akses pada tanggal
29 Juni 2015

Ifan. 2010. Drug eruption. Oneline dari


http://ifan050285.wordpress.com/2010/03/08/drug-eruption/. Di akses tanggal 29
Juni 2015

Kautsar Prastudia Eko Binuko. 2011. Oneline dari


http://www.scrib.com/doc/5571797/ERUPSI-OBAT-ALERGIK. di akses tanggal
29 Juni 2015
LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN DRUGS ERUPSION

DI RUANG BAJI ADA I RSUD LABUANG BAJI

MAKASSAR

OLEH
SARI LA UNGGU, S.Kep

14 071 011 014

CI LAHAN CI INSTITUSI
PROGRAM PROFESI NESR
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR
MAKASSAR
2015

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PADA NY B DENGAN DIAGNOSA DRUGS ERUPSION

DI RUANG BAJI ADA I RSUD LABUANG BAJI

MAKASSAR

OLEH
SARI LA UNGGU, S.Kep

14 071 011 014

CI LAHAN CI INSTITUSI
PROGRAM PROFESI NESR
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR
MAKASSAR
2015

Anda mungkin juga menyukai