Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas berkah dan karunia-Nya
sehingga dapat menyelesaikan referat yang berjudul Erupsi Obat Alergi sebagai salah satu
syarat untuk mengikuti ujian di kepaniteraan klinik SMF Ilmu Kulit & Kelamin di RSUD
Karawang.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis untuk menyelesaikan referat ini, terutama dr. Nurhasanah, Sp.KK yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing penulis. Terima kasih penulis ucapkan kepada
keluarga yang selalu memberikan motivasi hingga saat ini, serta kepada teman-teman yang
sedang menjalani kepaniteraan klinik bersama di RSUD Karawang.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih terdapat kekurangan, oleh sebab itu saran
serta kritik diharapkan dapat membangun penulisan guna perbaikan di kemudian hari untuk
kepentingan bersama. Semoga referat ini dapat berguna serta bermanfaat bagi kita semua, baik
sekarang maupun di hari yang akan datang.

Jakarta, Mei 2015

Nabila Viera Yovita

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I

PENDAHULUAN

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi

2.2

Epidemiologi

2.3

Faktor Resiko

2.4

Patogenesis

2.5

Gambaran Klinis

2.6

Pemeriksaan penunjang

14

2.7

Diagnosis

14

2.8

Penatalaksanaan

15

2.9

Prognosis

16

KESIMPULAN

17

BAB III

BAB I
PENDAHULUAN
Erupsi obat alergi dapat meniru berbagai macam penyakit kulit. Morfologinya meliputi
morbiliformis, urtikaria, papuloskamuosa, pustular, dan bulosa. Obat-obatan juga dapat
menyebabkan pruritus dan disesthesia tanpa erupsi obat alergi yang nyata. Reaksi yang
disebabkan oleh obat sebaiknya dipertimbangkan pada pasien yang sedang mengonsumsi obatobatan dan pada pasien yang mengalami erupsi kutaneus simetris secara tiba-tiba.
Prognosis pada beberapa bentuk kelainan erupsi menjadi buruk karena bergantung
pada luas kulit yang terkena, seperti pada sindtom Steven-Johnson, dan sindrom Lyell.

2.1 DEFINISI

Reaksi silang obat adalah reaksi berbahaya atau tidak diinginkan yang diakibatkan dari
penggunaan produk pengobatan dan dari reaksi tersebut dapat diprediksikan bahaya penggunaan
produk itu di masa yang akan datang sehingga dilakukan tindakan penggantian maupun
penarikan produk (Edward & Aronson 2000).
Menurut American Society of Health-System Pharmacists (ASHP) pada tahun 1995, reaksi silang
obat adalah respon obat yang tidak diinginkan sehingga memerlukan penghentian obat,
penggantian obat, perawatan rumah sakit, pengobatan tambahan, dan menyebabkan prognosis
negatif seperti cacat permanen sampai kematian.
Salah satu bentuk reaksi silang obat pada kulit adalah erupsi obat alergi. Erupsi obat alergi atau
allergic drug eruption itu sendiri adalah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang
terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik. Obat ialah zat yang dipakai untuk
menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan (Hamzah, 2007).

2.2 EPIDEMIOLOGI

Menurut hasil penelitian Chatterjee et al. (2006), insiden erupsi obat alergi mencapai
2,66% dari total 27.726 pasien dermatologi selama setahun. Erupsi obat alergi terjadi pada 2-3%
pasien yang dirawat di rumah sakit, tetapi hanya 2% yang berakibat fatal. Insidens erupsi obat
alergi pada negara berkembang berkisar antara 1% 3%. Di India, kasus erupsi obat alergi
mencapai 2-5%. Erupsi obat alergi terjadi 2-3% dari seluruh reaksi silang obat. Hampir 45% dari
seluruh pasien dengan erupsi di kulit merupakan kasus erupsi obat alergi. Insidens erupsi obat
alergi lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria (Nayak & Acharjya, 2008). Lebih dari 50%
kasus Sindrom Steven Johnsons dan hampir 90% penderita toxic epidermal necrolysis terkait
dengan penggunaan obat (Adithan, 2006).
Internasional
Erupsi obat terjadi pada 2-3% pasien yang dirawat
4

Mortalitas/ Morbiditas
Sebagian besar erupsi obat alergi adalah ringan, self-limited, dan biasanya sembuh setelah agen
penyebab dihentikan penggunaannya. Erupsi derajat berat dan secara potensial mengancam
nyawa terjadi pada 1 dalam 1000 pasien yang sedang dirawat. Mortalitas untuk eritema
multiforme lebih tinggi. Sindrom Steven-Johnson memiliki mortalitas <5% dimana rate untuk
TEN mencapai 20-30%, sebagian besar pasien meninggal akibat sepsis.
Gender
Reaksi kutaneus terhadap obat lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria.
Umur
Lansia memiliki prevalensi lebih tinggi terhadap reaksi obat

2.3 FAKTOR RESIKO


Faktor-faktor resiko yang menimbulkan erupsi obat adalah (Patterson, 2009):
1. Jenis kelamin dan usia
Banyak orang menyatakan bahwa anak-anak lebih jarang tersensitisasi akibat obat jika
dibandingkan dengan orang dewasa. Akan tetapi beberapa jenis kasus erupsi obat alergi yang
memiliki prognosis buruk lebih sering mengenai anak-anak. Pada anak anak, ruam merah yang
timbul akibat virus sering mengaburkan gambaran klinis erupsi alergi obat akibat antimikroba
yang diberikan. Wanita lebih sering menderita erupsi obat alergi dibandingkan pria.
2. Faktor genetik
Erupsi obat alergik berhubungan dengan faktor genetik dan lingkungan misalnya pada kasus
nekrolisis epidermal toksik akibat sulfonamida. Hal ini berhubungan dengan gen human
leukocyte antigen. Diantara para remaja yang memiliki orang tua dengan riwayat alergi
antibiotika, 25, 6% remaja tersebut juga memiliki alergi obat yang sama.

3. Pajanan obat sebelumnya


Hal yang terpenting dari erupsi alergi obat adalah pajanan obat yang sebelumnya menimbulkan
alergi ataupun obat obatan lain yang memiliki struktur kimia yang sama.Akan tetapi, alergi
obat tidak bersifat persisten. Setelah pajanan, imunnoglobulin e dapat bertahan dari 55 hingga
2000 hari.
4. Riwayat penyakit yang dimiliki
Pasien dengan riwayat penyakit asma cenderung mudah menderita dermatitis atopi. Beberapa
jenis obat seperti antibiotika beta laktam dan sulfonamida memiliki potensial untuk
mensensitisasi tubuh.
5. Cara masuk obat
Obat yang diaplikasikan secara kutaneus cenderung lebih menyebabkan erupsi alergi obat.
Antibiotika beta laktam dan sulfonamida jarang digunakan secara topikal karena alasan ini.
Dosis dan durasi pemberian obat juga berperan dalam timbunya erupsi alergi obat.

2.4 PATOGENESIS
Ada dua macam mekanisme yang dikenal, pertama adalah mekanisme imunologis dan
kedua adalah mekanisme non imunologis. Umumnya erupsi obat alergi timbul karena reaksi
hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui
mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over dosis, interaksi antar
obat dan perubahan dalam metabolisme (Riedl & Casillas, 2003).
Menurut Lee & Thomson (2006), terdapat empat mekanisme imunologis. Reaksi pertama yaitu
reaksi tipe I (reaksi anafilaksis), yang paling banyak ditemukan. Pada tipe ini, imunoglobulin
yang berperan ialah imunoglobulin E yang mempunyai afinitas tinggi terhadap mastosit dan
basofil. Pajanan pertama dari obat tidak menimbulkan reaksi, tetapi bila dilakukan pemberian
kembali obat yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan
merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin, dan
heparin. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-macam efek misalnya

urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah timbulnya shock.Dapat menyebabkan
urtikaria, angioedema, dan anafilaksis
Mekanisme kedua adalah reaksi tipe II (reaksi autotoksis) dimana terdapat ikatan antara
imunoglobulin G dan imunoglobulin M dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi sistem
komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.
Reaksi sitotoksik menyebabkan hemolysis dan purpura (see the image below).

Ulserasi oral pada pasien yang menjalani terapi sitotoksik


Mekanisme ketiga adalah reaksi tipe III (reaksi kompleks imun) dimana antibodi yang
berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen antibodi. Kompleks antigen
antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh mengakibatkan reaksi
radang. Aktivasi sistem komplemen merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit.
Sebagai akibatnya, akan terjadi kerusakan jaringan.
Tipe III adalah reaksi imun kompleks, yang menyebabkan vasculitis, serum sickness dan
urtikaria

Mekanisme keempat adalah reaksi tipe IV (reaksi alergi seluler tipe lambat). Reaksi ini
melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini
disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen (Lee
& Thomson, 2006). Type IV menyebabkan dermatitis kontak, reaksi eksantematosa, dan reaksi
fotoalergi

Mekanisme non imunologis


Diklasifikasikan sesuai fitur berikut: akumulasi, efek samping, pelepasan direk mediator
sel mast, reaksi idiosinkratik, intoleransi, fenomena Jarisch-Herxheimer, overdosis, atau
dermatitis fototoksik (gejala reaksi Jarisch-Herxheimer menghilang dengan terapi yang
dilanjutkan sampai infeksi telah tereradikasi sepenuhnya). Contoh akumulasi adalah argyria
(diskolorasi biru-keabu abuan kulit dan kuku) yang diobservasi dengan nasal spray silver nitrat.
Efek samping merupakan efek normal namun tidak diinginkan pada suatu obat. Contohnya agen
kemoterapeutik antimetabolite, seperti siklofosfamid, yang berkaitan dengan rontoknya rambut
Pelepasan langsung mediator sel mast adalah fenomena dependen dosis yang tidak melibatkan
antibody. Contohnya, aspirin dan NSAID lainnya menyebabkan shift pada produksi leukotriene
yang memicu pelepasan histamine dan mediator sel mast lainnya. Kontras radiografis, alcohol,
sitokin, opiate, simetidin, kuinin, hidralazin, atropine, vankomisin,, dan tubokurarin juga dapat
menyebabkan pelepasan mediator sel mast.
Reaksi idiosinkratik tidak terprediksi dan tidak dijelaskan dengan property farmakologi
suatu obat. Contohnya seorang individu dengan mononucleosis yang infeksius mendapat ruam
ketika diberikan ampisilin.
Ketidakseimbangan flora endogen terjadi ketika agen antimikrobial menekan
pertumbuhan 1 spesies mikroba sehingga spesies lain tumbuh secara cepat. Contohnya
kandidiasis seringkali terjadi dengan terapi antibiotic.
Intoleransi terjadi pada pasien dengan metabolism yang berubah misalnya individu
dengan asetilator lambat enzim N-asetiltransferase lebih cenderung mendapat lupus yang
terinduksi oleh obat dalam respon prokainamid.
8

Fenomena Jarisch-Herxheimer phenomenon merupakan reaksi akibat endotoxin bakteri


dan antigen mikroba yang disebabkan oleh destruksi mikroorganisme. Reaksinya
dikarakteristikkan dengan demam, limfadenopati, arthralgia, macula transien atau erupsi urtika,
serta eksaserbasi lesi kutaneus yang preeksisten. Reaksi bukanlah indikasi untuk menghentikan
terapi karena gejala resolve dengan terapi yang dilanjutkan. Reaksi ini terlihat dengan terapi
penisilin untuk sifilis, griseofulvin, atau ketokonazol untuk infeksi dermatofit, dan
dietilkarbamazin untuk onkosersiasis.
Overdosis merupakan suatu respon berlebih terhadap suatu jumlah obat yang meningkat.
Contohnya, meningkatnya dosis antikoagulan yang dapat menyebabkan purpura.
Dermatitis fototoksik merupakan respon sunburn yang berlebih yang disebabkan oleh
pembentukan fotoproduk toksik seperti radikal bebas atau spesies oksigen reaktif.
2.5 GAMBARAN KLINIS
Erupsi alergi obat yang timbul akan mempunyai kemiripan dengan gangguan kulit lain
pada umumnya, yaitu (Hamzah, 2007):
1. Erupsi makulapapular atau morbiliformis
Erupsi makulapapular atau morbiliformis disebut juga erupsi eksantematosa dapat
diinduksi oleh hampir semua obat. Seringkali terdapat erupsi generalisata dan simetris yang
terdiri atas eritema dan selalu ada gejala pruritus. Kadang-kadang ada demam, malaise, dan nyeri
sendi. Lesi biasanya timbul dalam 1-2 minggu setelah dimulainya terapi. Erupsi jenis ini sering
disebabkan oleh ampisilin, obat anti inflamasi non steroid, sulfonamid, dan tetrasiklin.

2. Urtikaria dan
Urtikaria
kulit berupa urtikaria,

angioedema
menunjukkan kelainan
kadang-kadang disertai

angioedema. Pada angioedema yang berbahaya ialah terjadinya asfiksia bila menyerang glotis.
Keluhannya umumnya gatal dan panas pada tempat lesi. Biasanya timbul mendadak dan hilang
perlahan-lahan dalam 24 jam. Urtikaria dapat disertai demam, dan gejala-gejala umum, misalnya
malese, nyeri kepala dan vertigo. Angioedema biasanya terjadi di daerah bibir, kelopak mata,
genitalia eksterna, tangan dan kaki. Kasus-kasus angioedema pada lidah dan laring harus
mendapat pertolongan segera. Penyebab tersering ialah penisilin, asam asetilsalisilat, dan obat
anti inflamasi non steroid.

3. Fixed drug eruption


10

Fixed drug eruption disebabkan khusus obat atau bahan kimia (Docrat,2005). Fixed drug
eruption merupakan salah satu erupsi kulit yang sering dijumpai. Kelainan ini umumnya berupa
eritema dan vesikel berbentuk bulat atau lonjong dan biasanya numular. Kemudian
meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama, baru hilang, bahkan sering menetap. Dari
namanya dapat diambil kesimpulan bahwa kelainan akan timbul berkali-kali pada tempat yang
sama. Tempat predileksinya di sekitar mulut, di daerah bibir dan daerah penis pada laki-laki
sehingga sering disangka penyakit kelamin karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas
disertai eritema dan rasa panas setempat. Obat penyebab yang sering ialah sulfonamid,

barbiturat, trimetropin dan analgesik.

4. Eritroderma (dermatitits eksfoliativa)


Eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang biasanya disertai skuama.
Eritroderma dapat disebabkan oleh bermacam-macam penyakit lain di samping alergi karena
obat, misalnya psoriasis, penyakit sistemik temasuk keganasan pada sistem limforetikular
(penyakit Hodgkin, leukemia). Pada eritroderma karena alergi obat terlihat eritema tanpa
11

skuama; skuama baru timbul pada stadium penyembuhan. Obat-obat yang biasa
menyebabkannya ialah sulfonamid, penisilin, dan fenilbutazon.

5. Purpura
Purpura adalah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan yang tidak hilang bila
ditekan. Erupsi purpura dapat terjadi sebagai ekspresi tunggal alergi obat. Biasanya simetris serta
muncul di sekitar kaki, termasuk pergelangan kaki atau tungkai bawah. Erupsi berupa bercak
sirkumskrip berwarna merah kecoklatan dan disertai rasa gatal.
6. Vaskulitis
Vaskulitis ialah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat berupa palpable purpura
yang mengenai kapiler. Biasanya distribusinya simetris pada ekstremitas bawah dan daerah
sakrum. Vaskulitis biasanya disertai demam, mialgia, dan anoreksia. Obat penyebab ialah
penisilin, sulfonamid, obat anti inflamasi non steroid, antidepresan dan antiaritmia. Jika
vaskulitis terjadi pada pembuluh darah sedang berbentuk eritema nodosum. Kelainan kulit
berupa eritema dan nodus yang nyeri dengan eritema di atasnya disertai gejala umum berupa
demam dan malese. Tempat predileksinya di daerah ekstensor tungkai bawah. Eritema nodosum
dapat pula disebabkan oleh beberapa penyakit lain misalnya tuberkulosis, infeksi streptokokus
dan lepra. Obat yang dianggap sering menyebabkan eritema nodosum ialah sulfonamid dan
kontrasepsi oral.
12

7. Reaksi fotoalergik
Gambaran klinis reaksi fotoalergi sama dengan dermatitis kontak alergik, lokalisasinya
pada tempat yang terpajan sinar matahari. Kemudian kelainan dapat meluas ke daerah tidak
terpajan matahari. Obat yang dapat menyebabkan fotoalergi ialah fenotiazin, sulfonamida, obat
anti inflamasi non

steroid, dan

griseofulvin.

8. Pustulosis eksantematosa generalisata akut


Penyakit pustulosis eksantematosa generalisata akut jarang terdapat, diduga dapat
disebabkan oleh alergi obat, infeksi akut oleh enterovirus, hipersensitivitas terhadap merkuri dan
dermatitis kontak. Kelainan kulitnya berupa pustul-pustul miliar nonfolikular yang timbul pada
kulit yang eritematosa dapat disertai purpura dan lesi menyerupai lesi target. Kelainan kulit
13

timbul pada waktu demam tinggi, dan pustul pustul tersebut cepat menghilang sebelum 7 hari
yang kemudian diikuti deskuamasi selama beberapa hari.
Disamping kelainan-kelainan tersebut dapat terjadi kelainan berupa eritema multiforme,
sindrom Stevens-Johnson, dan nekrolisis epidermal toksik.
Pada pemeriksaan histopatologik didapati pustul intraepidermal atau subkorneal yang dapat
disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrat polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinofil atau
nekrosis fokal sel-sel keratinosit. Terdapat 2 perbedaan utama antara pustulosis eksantematosa
generalisata akut dan psoriasis pustulosa, yaitu pustulosis eksantematosa generalisata akut
terjadinya akut dan terdapat riwayat alergi obat. Pada pustulosis eksantematosa generalisata akut
pustul-pustul pada kulit yang eritematosa dan demam lebih cepat menghilang, selain itu
gambaran histopatologik juga berbeda.

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan diagnostik untuk kasus erupsi obat alergi adalah dengan mengkonfirmasi
marker biokemikal atau marker imunologi yang menyatakan aktivasi jalur imunopatologi reaksi
obat. Pemilihan pemeriksaan penunjang didasarkan atas mekanisme imunologis yang mendasari
erupsi obat. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi
obat alergi adalah (Nayak & Acharjya, 2008):
1. Biopsi kulit
Pemeriksaan histopatologi dan imunofloresensi direk dapat membantu menegakkan
diagnosis erupsi obat alergi. Hal ini dapat dilihat dari adanya eosinofil dan edema jaringan. Akan
tetapi pemeriksaan ini tidak dapat menentukan obat penyebab erupsi.
2. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengevaluasi dan menegakkan diagnosis
serta melihat kemungkinan etiologi penyebab erupsi. Pemeriksaan ini mencakup perhitungan
14

darah lengkap (atypical lymphocytosis, neutrophilia, eosinophilia, dan lain-lain) serta fungsi
kerja hati dan ginjal. Peningkatan jumlah eosinofil dapat menunjukkan erupsi obat alergi dimana
bila perhitungan eosinofil lebih dari 1000 sel/mm3 menunjukkan erupsi obat alergi yang serius.
Level obat dapat terdeteksi apabila terdapat overdosis dari obat tersebut.
3. Pemeriksaan uji tempel dan uji provokasi
Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapat dipercaya. Uji
provokasi (exposure test) dengan melakukan pemaparan kembali obat yang dicurigai adalah yang
paling membantu untuk saat ini, tetapi risiko dari timbulnya reaksi yang lebih berat membuat
cara ini harus dilakukan dengan cara hati-hati dan harus sesuai dengan etika maupun alasan
mediko legalnya.
2.7 DIAGNOSIS
Dasar diagnosis erupsi obat alergi adalah anamnesis yang teliti mengenai obat-obatan yang
dipakai, kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa hari sesudah masuknya obat, dan
rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebris. Selain itu dilihat juga kelainan
kulit yang ditemukan baik distribusi yang menyeluruh dan simetris serta bentuk kelainan yang timbul
(Hamzah, 2007).
Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari jenis lesi dan distribusinya
serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya. Data mengenai semua jenis obat yang pernah
dimakan pasien, dosisnya, data kronologis mengenai cara pemberian obat serta jangka waktu antara
pemakaian obat dengan onset timbulnya erupsi harus ikut dikumpulkan. Tetapi ada kalanya hal ini
sulit untuk dievaluasi terutama pada penderita yang mengkonsumsi obat yang mempunyai waktu
paruh yang lama atau mengalami erupsi obat alergi yang bersifat persisten (Nayak & Acharjta, 2008).

2.8 PENATALAKSANAAN
Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan erupsi obat alergi adalah dengan
menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh. Penghentian obat yang dicurigai
menjadi penyebab harus dihentikan secepat mungkin (Nayak & Acharjya, 2008).Pemberian
kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan
adalah prednison. Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema
nodosum, dan eksantema fikstum dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10
mg sehari (Hamzah, 2007).
15

Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan jika terdapat rasa gatal. Kecuali pada
urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan kortikosteroid (Hamzah, 2007). Pengobatan
topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit apakah kering atau basah. Jika dalam keadaan kering
dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol -1% untuk
mengurangi rasa gatal. Jika dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam
salisilat 1%.
Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada
eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberikan krim kortikosteroid, misalnya
hidrokortison 1% sampai 2 %. Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh
dan mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian-sebagian
(Hamzah, 2007).

2.9 PROGNOSIS
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan sembuh bila obat penyebabnya dapat
diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan
kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom Steven Johnson, prognosis sangat tergantung pada
luas kulit yang terkena. (Hamzah, 2007). Sindrom Steven Johnsons memiliki angka mortalitas
dibawah 5 % sedangkan toxic epidermal necrolysis mencapai 20-30% dan kebanyakan pasien
meninggal akibat sepsis (Nayak & Acharjya 2008). Waktu yang dibutuhkan untuk ebnar-benar
bebas dari lesi kulit tersebut membutuhkan waktu 1-2 minggu lagi. Poin penting adalah:

Pasien dengan erupsi eksantema sebaiknya diberitahu bahwa aka nada

deskuamasi ringan saat ruam akan menghilang


Pasien dengan sindrom hipersensitivitas memiliki resiko untuk hipotiroid

biasanya dalam waktu 4-12 minggu setelah reaksi


Prognosis untuk pasien dengan TEN adalah dubia, dapat terbentuk sikatriks,
kebutaan, dan kematian.
16

Beritahu pasien untuk mneghindari obat yang menyebabkan alergi, label rekam medis dengan
jelas. Beritahu pasien untuk membawa kartu yang menyatakan identifikasi mengenai alergi obat
maupun makanan terutama jika reaksinya berat. Beritahu pasien mengenai obat yang memiliki
reaksi silang dan obat yang harus dihindari. Contohnya, reaksi alergi penisilin memiliki reaksi
silang dengan sefalosporin, sindrom hipersensitivitas fenitoin dengan fenobarbital dan
karbamazepin, serta sulfonamide memiliki reaksi silang dengan obat mengandung sulfa.

BAB III
KESIMPULAN

Menurut penelitian Saha et al (2012), jenis-jenis obat yang paling sering menyebakan
erupsi obat alergi adalah sulfonamid yaitu sekitar 17%, lalu diikuti flurokuinolon sekitar 11,3%,
analgesik sekitar 11,3%, anti epilepsi sekitar 11,3%, allopurinol sekitar 7,5%, dan azitromicin
sekitar 5,70%.
Menurut penelitian Young, Jong & Joo (2011), jenis-jenis obat yang paling sering
menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu sekitar 34,10%, lalu diikuti
golongan anti konvulsan sekitar 32,88%, dan golongan anti inflamasi non steroid sekitar 21,51%.
Menurut penelitian Nandha, Gupta & Hashmi (2011), jenis-jenis obat yang paling sering
menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu sekitar 48,30%, lalu diikuti
golongan anti inflamasi non steroid sekitar 21,90%. Menurut penelitian Shah, Desai & Dikshit
(2011), jenis-jenis obat yang paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan
antimikroba yaitu kotrimoksazole sekitar 15% dan flurokuinolon sekitar 15%.
17

Menurut penelitian Hotchandani, Bhatt & Shah (2010), jenis-jenis obat yang paling
sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu sekitar 61,4%, lalu
diikuti golongan anti inflamasi non steroid sekitar 22,9%, dan obat anti epilepsi sekitar 10%.
Menurut penelitian Ghosh, Acharya & Rao (2006), jenis-jenis obat yang paling sering
menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu sekitar 30%, lalu diikuti
golongan anti epilepsi sekitar 25%, obat anti tuberkulosis sekitar 11%, dan obat anti piretik
sekitar 9%.
Menurut penelitian Pudukadan & Thappa (2004), jenis-jenis obat yang paling sering
menyebakan erupsi obat alergi adalah kotrimoksazole yaitu sekitar 22,2%, lalu diikuti dapson
sekitar 17,7% dan menurut penelitian Sharma, Sethuraman & Kumar (2001), jenis-jenis obat
yang paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu sekitar
42,6% lalu diikuti golongan anti inflamasi non steroid sekitar 18%.

18

Anda mungkin juga menyukai