Anda di halaman 1dari 17

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2020


UNIVERSITAS HALU OLEO

EXANTHEMATOUS DRUG ERUPTION

PENYUSUN :
Nining Milasari, S.Ked
K1A1 15 031

PEMBIMBING :
dr. Siti Andayani, M.Kes,. Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
EXANTHEMATOUS DRUG ERUPTION

Nining Milasari, Siti Andayani

I. PENDAHULUAN

Reaksi obat yang merugikan/ Adverse drug reaction (ADR) Menurut

WHO adalah respons terhadap produk obat yang berbahaya dan tidak

diinginkan yang terjadi pada dosis yang biasanya digunakan pada manusia.

ADR kulit atau cutaneus adverse drug reaction (CADR) adalah salah satu

ADR yang paling umum, dengan tingkat kejadian keseluruhan 2% - 3% pada

pasien rawat inap. Dalam database ADR global WHO, Vigi Base, gangguan

kulit dan pelengkap menyumbang 18,3% dari lebih dari 13 juta laporan ADR

yang diterima dari lebih dari 100 negara. Badan pengawas nasional di

Singapura, Health Sciences Authority menerima sekitar 20.000 laporan ADR

setiap tahun, di mana 60% terkait dengan reaksi kulit.1

Reaksi kulit adalah reaksi simpang obat yang paling umum terjadi.

Drug-related rash yang dilaporkan hampir seluruh obat, biasanya terjadi 10

kasus per 1000 pengguna obat baru. Reaksi yang terjadi dapat berupa erupsi

ringan asimptomatik sampai yang mengancam nyawa. Exanthematous Drug

Eruption disebut juga morbilliform atau maculopapular. Exanthematous Drug

Eruption merupakan penyakit kulit yang diinduksi obat dengan karakteristik

makula eritem dan papul yang menyebar cepat dan konfluens serta biasanya

muncul pertama dari batang tubuh. Waktu timbul reaksi berbeda-beda,

sebagian besar kasus mulai muncul bintik beberapa hari setelah minum obat

penyebab, tetapi dapat juga timbul segera, atau timbul sesudah beberapa

1
minggu. Etiologi penyakit ini umumnya obat golongan penicillin,

chephalosorin, golongan antibiotik sulfonamid, atau anti konvulsan. Penicillin

dan derivatnya merupakan penyebab erupsi obat yang paling sering terjadi

dengan berbagai macam variasi klinis,termasuk tipe eksantematosa.2

II. DEFINISI

Exanthematous drug eruption, juga disebut erupsi obat morbiliformis

atau makulopapular, adalah jenis paling umum dari reaksi hipersensitivitas

terhadap obat yang ditandai oleh erupsi makula eritematosa atau papula kecil

yang terjadi secara difus atau simetris, kira-kira 1 minggu setelah dimulainya

pengobatan.3

III. EPIDEMIOLOGI

Adverse drug reaction (ADR) adalah penyebab umum dari konsultasi

dermatologis. Dalam sebuah penelitian besar di Prancis, sekitar 1 dari 200

pasien rawat inap pada layanan medis mengalami erupsi obat, dibandingkan

dengan 1 dari 10.000 pada layanan bedah. Di Amerika Serikat, penelitian

serupa telah menunjukkan tingkat reaksi 2-3 dari 100 pasien rawat inap medis.

Hanya sekitar 55% pasien yang dapat dievaluasi dengan hati-hati untuk

menghubungkan obat tertentu dengan sebagai penyebab erupsi. Eksantem

sederhana (75-95%) dan urtikaria (5-6%) merupakan sebagian besar erupsi

obat. Risiko pengembangan erupsi obat terkait dengan faktor-faktor berikut:

usia, jenis kelamin, dosis, dan sifat obat itu sendiri. Wanita 1,3-1,5 kali lebih

mungkin mengalami erupsi obat, kecuali pada anak di bawah usia 3 tahun di

mana anak laki-laki lebih mungkin terkena dampak.4

2
Tidak semua obat menimbulkan reaksi dengan kecepatan yang sama.

Aminopenicillins menyebabkan erupsi obat di antara 1,2% dan 8% dari

paparan, dan kombinasi trimethoprim-sulfamethoxazole pada tingkat 2,8-

3,7%. Sekitar 20% dari kunjungan di ruang emergensi karena efek samping

akibat pengobatan disebabkan oleh antibiotik, sebagian besar penisilin dan

sefalosporin. Ini diperkirakan telah menyumbang lebih dari 28.000 kunjungan

setiap tahun di Amerika Serikat. Hingga 20 kunjungan di ruang emergensi

terjadi per 10.000 resep yang ditulis untuk antibiotik tertentu.4

Status kekebalan dan gen pasien sangat menentukan risiko

pengembangan obat tertentu menjadi erupsi. Sebagai contoh, pasien dengan

infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan infeksi Epstein-Barr (EBV)

meningkatkan tingkat reaksi eksantematosa terhadap antibiotik tertentu.

Sindrom hipersensitivitas dari berbagai obat telah dikaitkan dengan reaktivasi

infeksi virus laten, terutama human herpes virus (HHV)-6 dan 7, tetapi juga

EBV dan cytomegalovirus. Sindrom hipersensitivitas tertentu terkait erat

dengan perbedaan genetik dalam kemampuan pasien untuk memetabolisme

obat tertentu atau metabolit toksik dari obat tersebut.4

IV. ETIOLOGI

Ruam eksantematosa dapat disebabkan oleh obat-obatan tertentu.

Sehingga, perlu disebutkan secara spesifik tentang penggunaan obat-obatan

tersebut. Misalnya, penggunaan amoksisilin pada pasien dengan

mononukleosis infeksiosa meningkatkan risiko ruam eksantematosa dari ~ 3%

3
hingga ~ 60% dan sulfonamid yang digunakan pada orang HIV-positif

memiliki masalah yang serupa dengan ruam.5

Ruam eksantematosa sembuh secara spontan dengan penghentian obat,

biasanya 2-3 minggu kemudian. Penggunaan kembali obat (rechallenge)

biasanya memicu episode ruam lebih lanjut dan dapat terjadi lebih cepat dari

sebelumnya. Rechallenge biasanya dihindari, tetapi dapat terjadi dengan cara

yang tidak direncanakan (mis. Pengguna obat tidak mengetahui reaksi

sebelumnya), atau kurang mengetahui tentang obat yang menjadi penyebab

dan obat berpotensi penting secara terapi. 5

Tabel 1. Obat yang menyebabkan exanthematous drug eruption5

V. PATOGENESIS

Patogenesis Exanthemtaous Drug Eruption diyakini disebabkan oleh

reaksi hipersensitivitas tipe IV. Hipersensitivitas tipe IV diperantarai sel T.

Terdapat 2 patomekanisme pengenalan obat oleh sel T. Pertama, konsep

hapten/prohapten. Umumnya obat adalah prohapten, tidak bersifat reaktif bila

tidak berikatan dengan protein. Pada konsep ini obat dimetabolisme untuk

4
membentuk ikatan kovalen dan menjadi imunogenik sehingga dapat

menstimulasi respon imun. Konsep kedua adalah konsep pharmacological

interaction (p-i), sel-sel T teraktivasi langsung dengan berikatan pada sel T

reseptor. Antigen spesifik sel T ini berproliferasi, menginfiltrasi kulit dan

melepaskan sitokin-sitokin, kemokin-kemokin, dan mediator inflamasi lain

yang bertanggung jawab untuk tanda dan gejala dari erupsi obat alergik.2

VI. MANIFESTASI KLINIS

Jenis Exhantematous Drug Eruption yang paling umum adalah ruam

makulopapular /Maculopapular Rash (MPR) yang ditandai dengan makula

eritematosa yang berevolusi dalam bentuk papula berdiameter 1-5 mm dan

dapat bergabung dalam bentuk plak. MPR melibatkan wajah, leher, atau

batang tubuh bagian atas dan menyebar secara bilateral dan simetris ke arah

tungkai. MPR dapat disertai dengan pruritus dan demam ringan (suhu<38,5

°C). MPR dapat sembuh sendiri, sembuh dalam 7-14 hari setelah

menghentikan obat. Dengan adanya resolusi, lesi dapat menjadi kecoklatan

dan deskuamasi dapat terjadi.6

Gambar 1. Maculopapular rash pada pasien EBV(+)

setelah konsumsi amoxicilin7

5
Gambar 2. Exanthematous drug eruption setelah penggunaan antibiotik4

VII. DIAGNOSIS

A. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Pendekatan untuk diagnosis dimulai dengan anamnesis mengenai

riwayat medis pasien, yang dapat mengidentifikasi etiologi reaksi,

mengidentifikasi alergi obat sebagai kemungkinan penyebab gejala dan

memberikan perincian yang menunjukkan kemungkinan jenis reaksi alergi

yang diinduksi oleh obat. Tabel 3 berikut memberikan daftar komponen

yang berguna dari anamnesis riwayat medis.8

Onset terjadinya reaksi Reaksi alergi obat memiliki onset waktu yang khas, sebagian (seperti

reaksi yang dimediasi IgE) terjadi dalam beberapa jam setelah

terpapar dosis pertama kali, dan yang lain dengan onset tertunda.

Sebagian besar alergi obat terjadi dalam dua minggu pertama setelah

minum obat; namun, ada beberapa pengecualian (seperti lupus

erythematosus).
Apa gejala kulit yang Pengetahuan tentang jenis erupsi kulit dalam menentukan jenis

terjadi? pengujian dan prognosis (misalnya, urtikaria menunjukkan reaksi

yang dimediasi oleh IgE, sedangkan ruam makulopapular

menunjukkan reaksi tipe IV).


Apakah ada jenis obat Ada kemungkinan bahwa obat yang baru diresepkan, seperti

6
lain yang digunakan antibiotik, disalahkan untuk reaksi yang malah disebabkan oleh obat

bersamaan? lain (seperti obat antiinflamasi nonsteroid).


Apakah obat-obatan Sebagian besar reaksi alergi yang diinduksi oleh obat yang

telah digunakan di memerlukan periode sensitisasi sebelum reaksi, meskipun beberapa

masa lalu? dapat terjadi pada paparan pertama setelah beberapa minggu

penggunaan.
Adakah faktor risiko Faktor risiko obat spesifik termasuk rute pemberian (rute pemberian

spesifik atau obat parenteral dan topikal dikaitkan dengan tingkat kepekaan yang lebih

spesifik dari pasien tinggi daripada pemberian oral), durasi dosis yang lama terkait dengan

yang menyebabkan peningkatan risiko, paparan berulang terhadap obat dan virus

suatu reaksi? bersamaan (seperti Epstein Barr virus, yang menyebabkan ruam 100%

saat amoksisilin digunakan secara bersamaan). Faktor risiko spesifik

pasien termasuk jenis kelamin (perempuan), usia yang lebih tua,

beberapa polimorfisme genetik (seperti HLA-B5701, yang

meningkatkan risiko abacavir hipersensitivitas) dan kondisi yang

mendasarinya (lupus erythematosus sistemik, HIV) yang

meningkatkan risiko reaksi alergi.


Apakah reaksi ini Beberapa reaksi kulit, seperti urtikaria, mungkin disebabkan oleh

pernah terjadi etiologi lain (seperti urtikaria kronis), alih-alih alergi obat. Selain itu,

sebelumnya? jika reaksi telah terjadi di masa lalu dengan obat tertentu atau, hal ini

dapat meningkatkan kemungkinan alergi obat.


Berapa lama Ada tingkatan tinggi dari reaksi alergi yang diinduksi oleh obat untuk

reaksinya? beberapa obat (Penisilin; dalam waktu 10 tahun setelah reaksi alergi,

sebagian besar pasien akan toleran terhadap pencillin).


Erupsi makulopapular eritematosa awalnya muncul pada batang

dan ekstremitas atas dan kemudian meluas ke kaudal. Dapat terlihat lesi

kulit simetris dan mungkin menjadi konfluens dan parah di daerah

dependen, seperti punggung. Keterlibatan wajah bisa dilihat. Dalam

bentuk yang parah, mukosa (oral, konjungtiva, nasa, atau anogenital) dan

pelengkap kulit (rambut dan kuku) mungkin terlibat. Petechiae dan

7
purpura makula kadang-kadang dapat terlihat pada tungkai. Lesi sebagian

besar bersifat pruritus dan dapat disertai demam ringan (<38,5oC).3

B. Pemeriksaan Penunjang

Berbagai tes telah dianjurkan untuk menentukan obat penyebab dalam

kasus exanthematus drug eruption tetapi semua tes memiliki keterbatasan

masing-masing.

1. Skin test

Tes kulit dilakukan pada reaksi hipersensitivitas yang

melibatkan gejala yang konsisten dengan alergi untuk menentukan

kepekaan terhadap suatu obat. Sampai sekarang, belum ada standar

yang seragam untuk pengujian kulit dengan obat-obatan. Dalam kasus

di mana tes provokasi tidak dimungkinkan untuk dilakukan, skin test

dapat memegang peran yang sangat penting dalam diagnosis. Namun,

reaksi tes kulit yang menunjukkan hasil bermanfaat hanya terjadi pada

beberapa pasien. Zat uji dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan

reaksi bahkan pada orang sehat. Dalam kasus yang sangat jarang, skin

test dapat menyebabkan reaksi sistemik yang kadang-kadang

mengancam jiwa.9

Sensitisasi de novo sebagai hasil dari skin test mungkin dapat

terjadi, dimana risiko ini tergantung pada bahan yang diuji,

konsentrasinya, dan metode pengujian yang digunakan. Oleh karena

itu, tes intradermal dan tes tempel hanya boleh dilakukan dengan obat

yang diduga memicu reaksi atau alternatif yang relevan. Indikasi untuk

8
pengujian kulit dengan bahan yang tidak terstandar harus ditetapkan

sesuai dengan kriteria yang sangat ketat. Dapat dipertimbangkan pula

reaksi tes kulit dapat terjadi pada titik waktu yang lain, terkadang juga

setelah lebih dari 1 minggu. Pasien perlu diberitahu bahwa, dalam

kasus seperti itu, pasien harus menhubungi segera dokter yang

merawat.9

2. Tes provokasi

Tes provokasi dilakukan ketika obat yang memicu

hipersensitivitas tidak dapat diidentifikasi berdasarkan anamnesis, skin

test, dan investigasi in vitro. Hal ini sering terjadi, terutama pada kasus

reaksi terhadap zat dalam kelompok obat yang penting atau yang tidak

dapat dihindari penggunaannya (misalnya, analgesik, antibiotik,

anestesi lokal), tes provokasi juga berfungsi untuk mengidentifikasi

obat yang dapat ditoleransi. Tes provokasi obat diindikasikan untuk :9

a. Tidak termasuk hipersensitivitas ketika riwayat tidak jelas

b. Mengkonfirmasi diagnosis ketika riwayat memungkinkan

terjadinya reaksi tetapi mencakup hasil negatif, tidak meyakinkan,

atau tidak tersedia dari tes diagnostik lain

c. Tidak termasuk reaktivitas silang terkait Obat-obatan

Menentukan prosedur pengujian provokasi obat harus selalu

tetap menjadi keputusan medis kasus per kasus yang

mempertimbangkan banyak faktor individu (misal Jenis obat,

perkiraan kemungkinan reaksi, tingkat keparahan reaksi, ekspektasi /

9
kecemasan pasien). Prinsip dasar pengujian provokasi adalah untuk

memberikan zat dalam bentuk di mana mereka menyebabkan reaksi

hipersensitivitas di masa lalu. Pemberian oral dapat dicoba dengan

beberapa zat, meskipun cara pemberian yang berbeda pada awalnya

digunakan (misalnya lewat Dubur). Dalam beberapa bentuk reaksi, uji

lokal di lokasi reaksi dalam arti "uji provokasi lokal" dimungkinkan.9

VII. PENATALAKSANAAN

A. Non Farmakologi

Menghindari atau menghentikan obat yang dapat membuat alergi.10

perawatan luka, hidrasi dan dukungan nutrisi.11

B. Farmakologi

1. Topikal : pemberian terapi topical tidak spesifik, bergantung pada

kondisi dan luas lesi kulit sesaui dengan prinsip dermatoterapi.

Misalnya, pada erosi akibat epidermolisis pada SSJ/ dapat diberikan

bahan keratoplasti asam salisilat 1-2%. 12

2. Sistemik : Pengobatan dilakukan secara simptomatik dengan pemberian

antihistamin dan kortikosteroid. antihistamin oral dan, dalam kasus yang

parah, kortikosteroid sistemik.3 Pemberian kortikosteroid hingga saat ini

masih menjadi kontroversi. Pada kasus ringan kortikasteroid diberikan

0,5mg/kgBB/hari. Sedangkan pada kasus berat diberikan 1-4

mg/KgBB/hari.  Jika terjadi anafilaksis, pengobatan pilihan adalah

epinefrin yang dapat disuntikkan.12 Sumber lain menyebutkan beberapa

10
klinisi memulai terapi dengan pemberian prednisone dengan dosis 1-2

mg/kg/hari pada kasus yang berat.11

VIII. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding berupa exanthem yang disebabkan karena infeksi

virus, bakteri atau riketsia.11

A. Maculopapular Viral Exanthem

Merupakan keadaan adanya erupsi eritema makula dan papul yang

menyeluruh disertai dengan infeksi sistemik, demam dan limphadenopati.

Biasanya mengenaik anak-anak baik laki-laki maupun perempuan.

Biasanya disebabkan oleh Measles (Paramyxoviridae), rubella

(Togoviridae), Erythme Infectiosum (Parvovirida), Roseollavirus.

Penyebab yang jarang adalah nonpolio entorovirus, rhinovirus, adenovirus,

parainfluenza virus, respiratory syncytial virus, dan influenza virus.3

Gambar 3. Viral maculopapular exanthem pada wajah seoarang anak.3

B. Sifilis Sekunder

11
Sifilis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh

Treponema pallidum, sangat kronik dan bersifat sistemik. Sifilis sekunder

muncul 2-6 bulan setelah infeksi primer. Gejala klinik berupa Demam,

sakit tenggorokan, penurunan berat adan, malaise, anoreksia, sakit kepala,

meningismus. Mukokutan lesi tidak menunjukkan gejala. Lesi Kulit

berupa Makula dan papula tersebar secara simetris pada tubuh dan

ektremitas; merah muda kecoklatan-merah. Exanthem pertama selalu

macular. Erupsi selanjutnya mungkin papulosquamous, pustular,

acneiform. Lesi Vesiculobullous hanya terjadi pada neonatal sifilis bawaan

(telapak tangan dan telapak kaki). Bentuk lesi dapat berbentuk annular

atau polycyclic, terutama pada wajah pada individu berkulit gelap.11

Gambar 4. Lesi Papulosquamous Sifilis Sekunder11

C. Riketsia

12
Riketsia adalah infeksi zoonosis yang disebabkan oleh bakteri

intraseluler obligat dari genus Rickettsia dan Orientia, family

Rickettsiaceae. Rickettsioses tidak memiliki tanda-tanda patognomonik,

meskipun ada tanda-tanda dan gejala yang sangat sugestif, seperti adanya,

ruam, limfadenopati, dan aneschar (tachenoire). Riketsia yang disebabkan

oleh R. rickettsii distribusi ruam yang timbul secara sentripetal, dan 3-5%

terjadi pada 3 hari pertama dan meningkat 60-70%antara hari ke 7 dan 10.

Lesi macula eritem dimulai dari pergelangan tangan dan kaki, tidak gatal

selanjutnya terdapat keterlibatan daerah ekstensor ekstremitas,

palmoplantar, dan badan. Dapat ditemukan maculopapular, petechi atau

lesi purpura. Riketsia yang tersebar secara sentrifugal disebakan oleh

Infeksi R.typhi and R.prowazekii. ruam berawal dari badan dan menyebar

ke ektremitas tanpa melibatkan palmoplantar. Karakteristik lesi berupa

maculopapular atau lesi peteki.13

Gambar 5 . Lesi Erithema pada ektremitas atas dan


bawah.14

VIII. PROGNOSIS

13
Alergi obat tidak hanya memengaruhi kualitas hidup pasien, tetapi juga

dapat menyebabkan keterlambatan pengobatan, penggunaan obat alternatif

yang kurang optimal, penyelidikan yang tidak perlu, peningkatan morbiditas

dan bahkan kematian. Selain itu, identifikasi alergi obat sangat sulit mengingat

berbagai gejala dan presentasi klinis yang terkait dengan kondisi

tersebut. Oleh karena itu, jika diduga ada gangguan alergi yang diinduksi obat,

konsultasi dengan ahli alergi yang berpengalaman dalam identifikasi,

diagnosis dan pengelolaan alergi obat dianjurkan.10

DAFTAR PUSTAKA

14
1. Wong XS., Tham MY., Goh CL., Cheong HH., Chan SY. 2019. Spontaneous
cutaneous adverse drug reaction reports - An analysis of a 10- year dataset in
Singapore. Pharmacol Res Perspect.
2. Rahmanisa S., Suarsya HZ. 2017. Lapran Kasus: Exanthematous Drug
Eruption pada Pria Usia 45 Tahun. J Agromed Unila 4(1) : 33-36.
3. Doshi, B.R dan Manjunathswamy BS. 2017. Maculopapular drug eruption
versus maculopapular viral exanthema. Indian journal of Drugs In
Dermatology 3(1) : 45-47.
4. James WD., Berger TG., Elston DM. 2011. Andrews’ Disease of The Skin :
Clinical Dermatology Eleventh Edition. Saunders Elsevier.
5. Rawlin M. 2011. Exanthems and Drug Reactions. Australian Family
Physician 40(7) : 486-489.
6. Crisafulli G., Franceschini F., Caimmi S., Bottau P., Liotti L., Saretta F.,
Bernardini R., dkk. 2019. Mild Cutaneous Reactions to Drugs. Acta Biomed
90(3) : 36-43.
7. Hoetzenecker W., Nägeli M., Mehra ET., Jensen AN., Saulite I., Schmid-
Grendelmeier P., Guenova E., dkk. 2015. Adverse Cutaneous Drug Eruptions:
Current Understanding. Springer.
8. Abrams EM dan Khan DA. 2018. Diagnosing and Managing Drug Allergy.
CMAJ 190(17): 1-7.
9. Brockow K., Przybilla B., Aberer W., Bircher AJ., Brehler R., Dickel H,
Fuchs T., dkk. 2015. Guideline For the Diagnosis of Drug Hypersensitivity
Reactions. Allergo J Int 24: 94–105.
10. Warrington R., Fanny S. dan Tifany W. 2018. Drug Allergy. Allergy Asthma
Clin Immuno.
11. Kang, S., Masayuki A., Anna L.B., Alexander H.E., David J. M., Amy J.M.,
Jeffrey S.O. 2019. Fitzpatrick’s Dermatology nineth Edition. Austria.
Mcgraw-hill education.
12. Budianti, W.K. 2017. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketujuh. FK UI.
Jakarta.

15
13. Martinez, A.A.F., Lara G.A., Marylin H., Jose A.O. 2014. Syndromic
Classification Of Rickettsioses: An Approach For Clinical Practice.
International Journal of Infectious Disease Volume 28. Columbia. Elsevier.
14. Weerakoon, K., Seenayake A.M.K., Jayanthe R., Sanjaya A., Roshotha W.
2014. Cutaneous Manifestations Of Spotted Fever Rickettsial Infections in
The Central Province of Sri Lanka: Descriptive Study. PLOS Neglected
Tropical Diseases 8(9).

16

Anda mungkin juga menyukai