PENYUSUN :
Nining Milasari, S.Ked
K1A1 15 031
PEMBIMBING :
dr. Siti Andayani, M.Kes,. Sp.KK
I. PENDAHULUAN
WHO adalah respons terhadap produk obat yang berbahaya dan tidak
diinginkan yang terjadi pada dosis yang biasanya digunakan pada manusia.
ADR kulit atau cutaneus adverse drug reaction (CADR) adalah salah satu
pasien rawat inap. Dalam database ADR global WHO, Vigi Base, gangguan
kulit dan pelengkap menyumbang 18,3% dari lebih dari 13 juta laporan ADR
yang diterima dari lebih dari 100 negara. Badan pengawas nasional di
Reaksi kulit adalah reaksi simpang obat yang paling umum terjadi.
kasus per 1000 pengguna obat baru. Reaksi yang terjadi dapat berupa erupsi
makula eritem dan papul yang menyebar cepat dan konfluens serta biasanya
sebagian besar kasus mulai muncul bintik beberapa hari setelah minum obat
penyebab, tetapi dapat juga timbul segera, atau timbul sesudah beberapa
1
minggu. Etiologi penyakit ini umumnya obat golongan penicillin,
dan derivatnya merupakan penyebab erupsi obat yang paling sering terjadi
II. DEFINISI
terhadap obat yang ditandai oleh erupsi makula eritematosa atau papula kecil
yang terjadi secara difus atau simetris, kira-kira 1 minggu setelah dimulainya
pengobatan.3
III. EPIDEMIOLOGI
pasien rawat inap pada layanan medis mengalami erupsi obat, dibandingkan
serupa telah menunjukkan tingkat reaksi 2-3 dari 100 pasien rawat inap medis.
Hanya sekitar 55% pasien yang dapat dievaluasi dengan hati-hati untuk
usia, jenis kelamin, dosis, dan sifat obat itu sendiri. Wanita 1,3-1,5 kali lebih
mungkin mengalami erupsi obat, kecuali pada anak di bawah usia 3 tahun di
2
Tidak semua obat menimbulkan reaksi dengan kecepatan yang sama.
3,7%. Sekitar 20% dari kunjungan di ruang emergensi karena efek samping
infeksi virus laten, terutama human herpes virus (HHV)-6 dan 7, tetapi juga
IV. ETIOLOGI
3
hingga ~ 60% dan sulfonamid yang digunakan pada orang HIV-positif
biasanya memicu episode ruam lebih lanjut dan dapat terjadi lebih cepat dari
V. PATOGENESIS
tidak berikatan dengan protein. Pada konsep ini obat dimetabolisme untuk
4
membentuk ikatan kovalen dan menjadi imunogenik sehingga dapat
yang bertanggung jawab untuk tanda dan gejala dari erupsi obat alergik.2
dapat bergabung dalam bentuk plak. MPR melibatkan wajah, leher, atau
batang tubuh bagian atas dan menyebar secara bilateral dan simetris ke arah
tungkai. MPR dapat disertai dengan pruritus dan demam ringan (suhu<38,5
°C). MPR dapat sembuh sendiri, sembuh dalam 7-14 hari setelah
5
Gambar 2. Exanthematous drug eruption setelah penggunaan antibiotik4
VII. DIAGNOSIS
Onset terjadinya reaksi Reaksi alergi obat memiliki onset waktu yang khas, sebagian (seperti
terpapar dosis pertama kali, dan yang lain dengan onset tertunda.
Sebagian besar alergi obat terjadi dalam dua minggu pertama setelah
erythematosus).
Apa gejala kulit yang Pengetahuan tentang jenis erupsi kulit dalam menentukan jenis
6
lain yang digunakan antibiotik, disalahkan untuk reaksi yang malah disebabkan oleh obat
masa lalu? dapat terjadi pada paparan pertama setelah beberapa minggu
penggunaan.
Adakah faktor risiko Faktor risiko obat spesifik termasuk rute pemberian (rute pemberian
spesifik atau obat parenteral dan topikal dikaitkan dengan tingkat kepekaan yang lebih
spesifik dari pasien tinggi daripada pemberian oral), durasi dosis yang lama terkait dengan
yang menyebabkan peningkatan risiko, paparan berulang terhadap obat dan virus
suatu reaksi? bersamaan (seperti Epstein Barr virus, yang menyebabkan ruam 100%
pernah terjadi etiologi lain (seperti urtikaria kronis), alih-alih alergi obat. Selain itu,
sebelumnya? jika reaksi telah terjadi di masa lalu dengan obat tertentu atau, hal ini
reaksinya? beberapa obat (Penisilin; dalam waktu 10 tahun setelah reaksi alergi,
dan ekstremitas atas dan kemudian meluas ke kaudal. Dapat terlihat lesi
bentuk yang parah, mukosa (oral, konjungtiva, nasa, atau anogenital) dan
7
purpura makula kadang-kadang dapat terlihat pada tungkai. Lesi sebagian
B. Pemeriksaan Penunjang
masing-masing.
1. Skin test
reaksi tes kulit yang menunjukkan hasil bermanfaat hanya terjadi pada
reaksi bahkan pada orang sehat. Dalam kasus yang sangat jarang, skin
mengancam jiwa.9
itu, tes intradermal dan tes tempel hanya boleh dilakukan dengan obat
yang diduga memicu reaksi atau alternatif yang relevan. Indikasi untuk
8
pengujian kulit dengan bahan yang tidak terstandar harus ditetapkan
reaksi tes kulit dapat terjadi pada titik waktu yang lain, terkadang juga
merawat.9
2. Tes provokasi
test, dan investigasi in vitro. Hal ini sering terjadi, terutama pada kasus
reaksi terhadap zat dalam kelompok obat yang penting atau yang tidak
9
kecemasan pasien). Prinsip dasar pengujian provokasi adalah untuk
VII. PENATALAKSANAAN
A. Non Farmakologi
B. Farmakologi
10
klinisi memulai terapi dengan pemberian prednisone dengan dosis 1-2
B. Sifilis Sekunder
11
Sifilis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
muncul 2-6 bulan setelah infeksi primer. Gejala klinik berupa Demam,
berupa Makula dan papula tersebar secara simetris pada tubuh dan
(telapak tangan dan telapak kaki). Bentuk lesi dapat berbentuk annular
C. Riketsia
12
Riketsia adalah infeksi zoonosis yang disebabkan oleh bakteri
meskipun ada tanda-tanda dan gejala yang sangat sugestif, seperti adanya,
oleh R. rickettsii distribusi ruam yang timbul secara sentripetal, dan 3-5%
terjadi pada 3 hari pertama dan meningkat 60-70%antara hari ke 7 dan 10.
Lesi macula eritem dimulai dari pergelangan tangan dan kaki, tidak gatal
Infeksi R.typhi and R.prowazekii. ruam berawal dari badan dan menyebar
VIII. PROGNOSIS
13
Alergi obat tidak hanya memengaruhi kualitas hidup pasien, tetapi juga
dan bahkan kematian. Selain itu, identifikasi alergi obat sangat sulit mengingat
tersebut. Oleh karena itu, jika diduga ada gangguan alergi yang diinduksi obat,
DAFTAR PUSTAKA
14
1. Wong XS., Tham MY., Goh CL., Cheong HH., Chan SY. 2019. Spontaneous
cutaneous adverse drug reaction reports - An analysis of a 10- year dataset in
Singapore. Pharmacol Res Perspect.
2. Rahmanisa S., Suarsya HZ. 2017. Lapran Kasus: Exanthematous Drug
Eruption pada Pria Usia 45 Tahun. J Agromed Unila 4(1) : 33-36.
3. Doshi, B.R dan Manjunathswamy BS. 2017. Maculopapular drug eruption
versus maculopapular viral exanthema. Indian journal of Drugs In
Dermatology 3(1) : 45-47.
4. James WD., Berger TG., Elston DM. 2011. Andrews’ Disease of The Skin :
Clinical Dermatology Eleventh Edition. Saunders Elsevier.
5. Rawlin M. 2011. Exanthems and Drug Reactions. Australian Family
Physician 40(7) : 486-489.
6. Crisafulli G., Franceschini F., Caimmi S., Bottau P., Liotti L., Saretta F.,
Bernardini R., dkk. 2019. Mild Cutaneous Reactions to Drugs. Acta Biomed
90(3) : 36-43.
7. Hoetzenecker W., Nägeli M., Mehra ET., Jensen AN., Saulite I., Schmid-
Grendelmeier P., Guenova E., dkk. 2015. Adverse Cutaneous Drug Eruptions:
Current Understanding. Springer.
8. Abrams EM dan Khan DA. 2018. Diagnosing and Managing Drug Allergy.
CMAJ 190(17): 1-7.
9. Brockow K., Przybilla B., Aberer W., Bircher AJ., Brehler R., Dickel H,
Fuchs T., dkk. 2015. Guideline For the Diagnosis of Drug Hypersensitivity
Reactions. Allergo J Int 24: 94–105.
10. Warrington R., Fanny S. dan Tifany W. 2018. Drug Allergy. Allergy Asthma
Clin Immuno.
11. Kang, S., Masayuki A., Anna L.B., Alexander H.E., David J. M., Amy J.M.,
Jeffrey S.O. 2019. Fitzpatrick’s Dermatology nineth Edition. Austria.
Mcgraw-hill education.
12. Budianti, W.K. 2017. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketujuh. FK UI.
Jakarta.
15
13. Martinez, A.A.F., Lara G.A., Marylin H., Jose A.O. 2014. Syndromic
Classification Of Rickettsioses: An Approach For Clinical Practice.
International Journal of Infectious Disease Volume 28. Columbia. Elsevier.
14. Weerakoon, K., Seenayake A.M.K., Jayanthe R., Sanjaya A., Roshotha W.
2014. Cutaneous Manifestations Of Spotted Fever Rickettsial Infections in
The Central Province of Sri Lanka: Descriptive Study. PLOS Neglected
Tropical Diseases 8(9).
16