Disusun oleh :
Tita Fathia
1102017233
Pembimbing :
Dr. dr. Elsye Souvriyanti, Sp.A
Asma merupakan penyakit saluran respiratori kronik yang sering dijumpai baik pada
anak maupun dewasa. Prevalens asma pada anak sangat bervariasi di antara negara-negara di
dunia, berkisar antara 1-18%. Meskipun tidak menempati peringkat teratas sebagai penyebab
kesakitan atau kematian pada anak, asma merupakan masalah kesehatan yang penting. Jika
tidak ditangani dengan baik, asma dapat menurunkan kualitas hidup anak, membatasi aktivitas
sehari-hari, menganggu tidur, meningkatkan angka absensi sekolah, dan menyebabkan prestasi
akademik di sekolah menurun. Bagi keluarga dan sektor pelayanan Kesehatan, asma yang tidak
terkendali akan meningkatkan pengeluaran biaya.
Mekanisme yang mendasari terjadinya asma pada anak dan dewasa adalah sama.
Namun, ada beberapa permasalahan pada asma anak yang tidak dijumpai pada dewasa karena
bervariasinya perjalanan alamiah penyakit, kurangnya bukti ilmiah yang baik, kesulitan
menentukan diagnosis dan pemberian obat, serta bervariasinya respons terhadap terapi yang
sering tidak dapat diprediksi sebelumnya. Keadaan ini terutama untuk penentuan asma pada
anak usia balita (<5 tahun). Kompleksitas munculan klinis (fenotip) asma didasari oleh
berbagai keadaan yang terkait dengan patogenesis dan patofisiologinya (endotip).
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
Prevalensi
Penelitian mengenai prevalens asma di Indonesia sudah dilakukan sejak awal tahun
1990an di berbagai senter pendidikan. Hampir semua peneliti menggunakan kuesioner yang
dirancang masing masing sehingga hasilnya berbeda (Djajanto, Rosmayudi, Dahlan). Namun
setelah dilakukan penelitian ISAAC I, penelitian di Indonesia dan berbagai tempat di dunia
menggunakan kuesioner yang sama dari studi ISAAC. Penelitian dilakukan pada kelompok
usia 6-7 tahun dan 13-14 tahun menunjukkan hasil yang cukup bervariasi. Prevalens berkisar
antara 3% di Bandung (Kartasasmita CB) sampai 8% di Palembang (Tanjung) pada kelompok
usia 6-7 tahun. Sedangkan pada kelompok 13-14 tahun kisaran antara 2,6% di Bandung
(Rosalina I) dan tertinggi di Subang 24,4% (Sundaru). Tingginya prevalens asma di Subang
yang dibandingkan dengan prevalens pada kelompok sama di Jakarta (12,5%), hampir 2 kali
lipat; diduga disebabkan karena tingginya angka polusi udara di Subang akibat sulfur dari
Gunung Tangkuban Perahu (Sundaru). Di Bandung dilakukan penelitian ulangan dengan
kuesioner yang sama, pada kelompok 13-14 tahun, setelah 5 tahun terjadi peningkatan 2 kali
lipat menjadi 5,2% (Kartasasmita CB). Pada tahun 2012, hasil penelitian di daerah rural
kotamadya Bandung pada anak usia 7-14 tahun mendapatkan hasil prevalens asma sebesar
9,6% dari 332 subyek penelitian (Kartasamita dkk).
Mortalitas
Mortalitas penyakit asma meningkat dari tahun 1980 sampai 1995, dari 14,3 menjadi
20,6 per juta. Sedangkan antara tahun 2000 sampai 2004 menurun dari 16,1 menjadi 12,8 per
juta. Angka ini bukan hanya anak tetapi asma keseluruhan, kematian paling banyak pada orang
tua lebih dari sama dengan 65 tahun, dan dua per tiga diantaranya wanita.
IDAI
Patogenesis
Antigen ditangkap (up take) oleh sel dendritik, selanjutnya dipecah menjadi peptide
yang lebih kecil dan membentuk komples dengan molekul MHC-klas II menjadi Peptide-MHC
klas 11 complex. Complex ini melalui T cell receptor memberi signal kepada naïve T-
lymphocyte (Th-0), selanjutnya akan disekresikan IL-12 yang akan menstimulasi Th-1 untuk
selanjutnya mensekresi IFN-y, lymphotoxin, IL-2 dan disisi laing IL-12 menginhibisi Th-2
respone.
Sedangkan stimulasi pada Th-2 lymphocyte akan menghasilkan berbagai sitokin seperti
IL-4, IL-5, IL-13, IL-9, GM CSF. Sitokin tersebut mempengaruhi sel-sel imunokompeten
seperti limfosit B, eosinophil, basophil. Mediator inflamasi yang dihasilkan mengakibatkan
terjadinya perubahan anatomis sehingga timbul maifestasi asma.
Gambar 1. Patogenesis asma (Diambil dari Global Initiative for Asthma. Global Strategy for
Asthma management and prevention. National Institute of Health. National Heart, Lung, and
Blood Institute;2002)
Sel mast, sel mast yang teraktifasi melepaskan mediator bronkokonstriksi (histamin,
leukotrien, sisteinil, prostaglandin D2). Sel tersebut! Diaktivasi oleh alergen! melalui reseptor!
IgE yang berafinitas tinggi, juga oleh stimulus osmotik (misalnya bronkokontriksi yang
diinduksi oleh olahraga). Meningkatnya jumlah sel mast pada otot polos saluran respiratori
dapat dihubungkan dengan hiperreaktivitas saluran respiratori.
Eosinofil, jumlahnya meningkat pada saluran respiratori, melepaskan protein dasar yang dapat
merusak sel epitel saluran respiratori. Juga berperan dalam pelepasan growth factor dan airway
remodeling.
Makrofag,( jumlahnya! meningkat! pada! saluran! napas,! dapat! diaktivasi! oleh! alergen!
melalui! reseptor! IgE! yang! berafinitas! rendah! untuk!
memproduksi!mediator!inflamasi!dan!sitokin!yang!memperkuat!respons! inflamasi.!
Patofisiologi
Pada anak, sebagaimana pada orang dewasa, perubahan patologis pada bronkus
(airway remodelling) terjadi pada saluran respiratori. Inflamasi dicetuskan oleh
berbagai faktor, termasuk alergen, virus, olahraga, dll. Faktor tersebut juga
menimbulkan respons hiperreaktivitas pada saluran respiratori pasien asma. Inflamasi
dan hiperreaktivitas menyebabkan obstruksi saluran respiratori. Meskipun perubahan
patofisiologis yang berkaitan dengan asma pada umumnya reversibel, penyembuhan
sebagian/parsial dapat terjadi.
Gambar 2. Patofisiologi asma bronkial. Seperti pada asma dewasa, asma anak ditandai dengan
adanya inflamasi saluran respiratori kornik dan remodeling. Hiperresponsivitas saluran
respiratori diperberat oleh kerusakan epitel saluran respiratori yang disebabkan oleh inflamasi.
Gambar 3. Remodeling (saluran respiratori pada asma.(Diambil dari ICON 2012)
2.5 Klasifikasi
Asma merupakan penyakita yang sangat heterogen dengan variasi yang sangat luas. Atas
dasar itu, ada berbagai cara mengelompokkan asma.
Berdasarkan umur
Berdasarkan fenotip
Fenotip asma adalah pengelompokan asma berdasarkan penampakan yang serupa dalam aspek
klinis, patofisologis, atau demografis.
• Asma intermiten
Asma merupakan penyakit kronik yang dapat mengalami episode gejala akut yang memberat
dengan progresif yang disebut sebagai serangan asma.
Dalam pedoman ini klasifikasi derajat serangan digunakan sebagai dasar penentuan tata
laksana.
Tujuan utama tata laksana asma adalah terkendalinya penyakit. Asma terkendali adalah asma
yang tidak bergejala, dengan atau tanpa obat pengendali dan kualitas hidup pasien baik.
• Tanpa gejala
• Ada gejala
• Serangan ringan-sedang
• Serangan berat
• Ancaman gagal napas
Keluhan wheezing dan atau betuk berulang merupakan manifestasi klinis yang diterima
luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori asma berupa kombinasi dari batuk,
wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan, dan produksi sputum. Chronic recurrent cough
(batuk kronik berulang, BKB) dapat menjadi petunjuk awal untuk mendiagnosis asma. Gejala
dengan karakteristik yang khas diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma. Karakteristik
yang mengarah ke asma adalah :
• Gejala timbul secara episodik atau berulang.
• Timbul bila ada faktor pencetus :
o Iritan : asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu
dingin, udara kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa,
pengawet makanan, pewarna makanan.
o Alergen : debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
o Infeksi respiratori akut karena virus, salesma, common cold,
rinofaringitis.
o Aktivitas fisis : berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.
• Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.
• Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24
jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nocturnal).
• Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan pemberian obat
pereda asma.
Ø Pemeriksaan Fisik
Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisik pasien biasanya tidak
ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak, dapat terdengar
wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau yang terdengar dengan
stestoskop. Selain itu, perlu dicari gejala lain pada pasien seperti dermatitis atopi atau
rhinitis alergi, dan dapat pula dijumpai tanda alergi seperti allergic shiners atau
geographoctounge.
Ø Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran napas akibat
obstruksi, hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori, atau adanya atopi pada
pasien.
• Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan untuk menilai
variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat dilakukan pemeriksaan dengan
peakflowmeter.
• Uji cakit kulit (skin prick test) , eosinophil total darah, pemeriksaan IgE spesifik.
• Uji inflamasi saluran respiratori : FeNO (fractional exhaled nitric oxide),
eosinophil sputum.
• Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan salin hipertonik.
Jika terindikasi dan fasilitas tersedia, lakukan pemeriksaan untuk mencari kemungkinan
diagnosis banding, misalnya uji tuberculin, foto sinus paranasalis, foto toraks, uji refluks
gastroesofagus, uji keringat, uji gerakan silia, uji defisiensi imun, CT-scan toraks, endoskopi
respiratori (rinoskopi, laringoskopi, bronkoskopi).
Diagnosis Banding
Gejala asma tidak patogonomik, dalam arti dapat disebabkan oleh berbagai penyakit lain
sehingga perlu dipertimbangkan kemungkinan diagnosis banding.
Obstruksimekanis
• Laringomalasia, trakeomalasia
• Hipertrofi timus
• Pembesaran KGB
• Aspirasi benda asing
• Vascularring, laryngeal web
• Disfungsi pita suara
• Malformasi kongenital saluran respiratori
Patologibronkus
• Displasia bronkopulmonal
• Bronkiektasis
• Diskinesia silia primer
• Fibrosis kistik
2.8 Tatalaksana
Ø Tatalaksana Asma pada anak >5 tahun
• Tatalaksana Jangka panjang
bronkus yang dipicu olah raga dan mampu memproteksi lebih lama
dibandingkan agonis ß2 inhalasi kerja pendek. Formoterol memiliki awitan
kerja yang cepat sehingga walaupun formoterol merupakan agonis ß2 kerja
panjang, namun dapat berfungsi sebagai obat pereda.
3. Antileukotrien
Kombinasi steroid inhalasi dan teofilin lepas lambat akan memperbaiki kendali
asma dan dapat menurunkan dosis steroid inhalasi pada anak dengan asma
persisten. Preparat teofilin lepas lambat lebih dianjurkan untuk pengendalian
asma karena kemampuan absorbsi dan bioavaibilitas yang lebih baik. Eliminasi
teofilin lepas lambat bervariasi antar individu sehingga pada penggunaan jangka
lama kadar teofilin dalam plasma perlu dimonitor. Efek samping teofilin lepas
lambat bisa berupa mual, muntah, anoreksia, sakit kepala, palpitasi, takikardi,
aritmia, nyeri perut, dan diare. Efek samping teofilin lepas lambat terutama
timbul pada pemberian dosis tinggi, di atas 10 mg/kgBB/hari.
5. Antiimunoglobulin E
Tabel 6.
Gambar 5. Jenjang dalam tatalaksana asma jangka panjang pada anak usia >5tahun
Keterangan:
1. Acuan awal penetapan jenjang tata laksana jangka panjang menggunakan
klasifikasi kekerapan.
2. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 6-8 minggu
dan asma belum terkendali, maka tata laksana naik jenjang ke atasnya (step
up).
3. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 8-12 minggu
dan asma terkendali penuh, maka tata laksana turun jenjang ke bawahnya
(step down).
4. Perubahan jenjang tata laksana harus memperhatikan aspek-aspek
penghindaran, penyakit penyerta, dan keteraturan penggunaan obat
5. Pada Jenjang 4, jika belum terkendali, tata laksana ditambahkan
omalizumab.
Selain berdasarkan kekerapan serangan dan obat digunakan sehari-hari, klasifikasi asma
juga dapat dinilai berdasarkan derajat keparahan serangan, yang terbagi menjadi serangan
ringan sedang, serangan berat, dan serangan asma dengan ancaman henti napas.
Tabel 7. Derajat keparahan serangan asma
Kotak 1. Pasien
risiko tinggi
Tahapan tata laksana serangan asma
1. Tatalaksana Serangan Asma di Rumah
Jika tidak ada keadaan seperti pada kotak 1, berikan inhalasi agonis b2 kerja pendek,
via nebulizer atau dengan MDI + spacer, sebagai berikut :
Tindak lanjut
a. Jika respon baik, pasien dipulangkan
- Saat pulang, pasien dibekali dengan obat agonis b2 (hirupan atau oral) yang
diberikan setiap 4-6 jam selama 3-5 hari, dipakaiseperlunya hingga tidak ada
gejala. Juga diberikan steroid sistemik (oral) berupa prednisolon atau prednison
dengan dosis 1-2 mg/ kgBB/hari selama 3-5 hari, tanpa tappering off.
Pemberian steroid ini harus dilakukan dengan cermat untuk mencegah
pengulangan lebih dari 1 kali per bulan dan pada saat penulisan resep
tambahkan keterangan ‘do not iter’.
- Selain itu, jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat
pengendali dilanjutkan. Informasi lebih lengkap lihat di tata laksana jangka
panjang.
- Pasien kemudian dianjurkan untuk kontrol ke klinik rawat jalan dalam waktu 3-
5 hari untuk direevaluasi tata laksananya.
- Jika obat diberikan dalam bentuk inhaler, sebelum pasien dipulangkan, pastikan
teknik pemakaian inhaler sudah tepat.
b. Jika respon buruk, pasien dirujuk (jika di fasyankes primer ke UGD RS)
atau dirawat inap (jika di UGD RS)
Pasien diputuskan rujuk atau rawat inap jika tidak respon sampai nebulisasi ke-
3 atau memburuk setelah nebulisasi.
- Di fasyankes primer: saat menunggu proses rujukan, maka tetap dilakukan
pemberian oksigen, nebulisasi agonis b2, dan pemasangan jalur parenteral.
- Di UGD RS: jika diagnosis menjadi asma serangan berat, maka dipersiapkan
untuk rawat inap (lihat keterangan berikutnya). Jika ancaman henti napas, harus
segera dibawa ke ICU.
- Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman henti napas, atau hilangnya
kesadaran.
- Tidak ada perbaikan dengan tata laksana baku di ruang rawat inap.
- Ancaman henti napas: hipoksemia tetap terjadi meskipun sudah diberi oksigen (kadar
PaO2 <60 mmHg dan/atau PaCO >45 mmHg,meskipun tentu saja gagal napas dapat
terjadi pada kadar PaCO2 yang lebih tinggi atau lebih rendah
Pada serangan asma, agonis b2 kerja pendek diberikan secara inhalasi diberikan
lewat DPI, MDI dengan/tanpa spacer, atau nebuliser dengan dosis sesuai
beratnya serangan dan respons pasien. Agonis b2 kerja pendek harus diberikan
dengan dosis terendah dan frekuensi terkecil, yaitu hanya bila diperlukan.
Tremor dan takikardia sering dialami pasien yang menggunakan agonis b2 kerja
pendek pertama kali, namun biasanya kemudian efek tersebut cepat ditoleransi.
2. Ipratropium bromida
3. Steroid sistemik
4. Aminofilin intravena
Aminofilin intravena diberikan pada anak dengan asma serangan berat atau
dengan ancaman henti napas yang tidak berespons terhadap dosis maksimal
nhalasi agonis b2 dan steroid sistemik. Penambahan aminofilin pada terapi
iawal (inhalasi agonis b2 dan steroid) meningkatkan fungsi paru dalam 6 jam
pertama, tetapi tidak mengurangi gejala, jumlah nebulisasi dan lamarawat inap.
Perlu diingat bahwa rentang keamanan aminofilin sempit dan efek samping
yang sering adalah mual, muntah, takikardi dan agitasi. Toksisitas yang berat
dapat menyebabkan aritmia, hipotensi, dan kejang. Kematian biasanya
berhubungan dengan kadar amonifilin serum yang tinggi yang berat dapat
menyebabkan aritmia, hipotensi, dan kejang. Kematian biasanya berhubungan
dengan kadar amonifilin serum yang tinggi. biasanya berhubungan dengan
kadar amonifilin serum yang tinggi. Oleh karena itu, pemberian aminofilin
intravena harus sangat berhati-hati dan dipantau secara ketat Dosis yang
direkomendasikan yaitu dengan dosis inisial bolus pelan 6-8 mg/kgBB
diberikan dalam 20 menit dilanjutkan dengan pemberian rumatan secara drip 1
mg/kgBB/jam. Loading 1 mg/kgBB akan meningkatkan kadar aminofilin serum
2 ug/ml. Untuk efek terapi yang maksimal, target kadar amonifilin serum adalah
10-20 ug/ml. Oleh karena itu kadar aminofilin serum seharusnya diukur 1-2 jam
setelah loading dose diberikan.
6. Adrenalin
Apabila tidak tersedia obat-obatan lain, dapat digunakan adrenalin. Epinefrin
(adrenalin) intramuskular diberikan sebagai terapi tambahan pada asma yang
berhubungan dengan anafilaksis dan angioedema dengan dosis 10 ug/kgBB
(0,01 ml/kgBB adrenalin 1:1.000), dengan dosis maksimal 500 ug (0.5 ml).
Obat ini tidak diindikasikan untuk serangan asma lainnya. Namun demikian, di
fasyankes yang tidak tersedia alat inhalasi, dapat diberikan injeksi adrenalin
untuk serangan asma.
7. Steroid inhalasi
Steroid nebulisasi dengan dosis tinggi (1600-2400 ug atau 2-5 ampul
budesonid) dapat digunakan untuk serangan asma, namun perlu diperhatikan
untuk memberi dalam dosis tinggi karena steroid nebulisasi dosis rendah tidak
bermanfaat untuk mengatasi serangan asma. Harap diperhatikan pula bahwa
penggunaan steroid inhalasi dosis tinggi ini terbatas pada pasienpasien yang
memiliki kontraindikasi terhadap steroid sistemik, misalnya pasien dengan
gastritis akut.
Ø Tatalaksana Asma pada Balita
Secara umum, evaluasi gejala pada asma anak balita sama dengan asma pada
usia di atas 5 tahun. Komponen kunci adalah edukasi, pelatihan pemakaian alat
inhalasi yang benar dan keteraturannya, strategi nonfarmakologi termasuk
kontrol lingkungan yang baik, monitoring berkala, dan evaluasi klinis. Seperti
pada asma anak >5 tahun, obat asma diberikan secara bertahap sesuai dugaan
awal yang akan menentukan di jenjang mana terapi dimulai.
Pencegahan dan tindakan dini harus menjadi tujuan utama dokter, khususnya spesialis anak,
dalam menangani anak asma. Pengendalian lingkungan, pemberian ASI eksklusif minimal 4
bulan, penghindaran makanan berpotensi alergenik, pengurangan pajanan terhadap tungau
debu rumah dan rontokan bulu binatang, telah terbukti mengurangi timbulnya alerg makanan
dan khususnya dermatitis atopic pada bai.
Tindakan pencegahan asma pada balita merupakan suatu proses berkelanjutan edukasi dokter
terhadap orang tua dan keluarga pasien. Asma dapat dicegah dengan menghindari paparan asap
rokok pada anak selama proses kehamilan atau setelah lahir. Persalinan per vaginam terbukti
dapat mengurangi angka asma pada balita. ASI eksklusif wajib diberikan untuk mencegah
asma dan alergi pada balita, karena ASI dapat meningkatkan kekebalan tubuh anak.
Penggunaan antibiotik spektrum luas selama tahun pertama anak harus dihindari.
2.10 Komplikasi
2.11 Prognosis
Serangan asma yang tidak ditanggulangi dengan baik dapat mengakibatkan kematian.
Pada serangan berat diberikan oksigen, inhalasi bronkodilator (β- agonis + antikolinergik),
kortikosteroid sistemik, aminofilin (bolus dan rumatan), serta tata laksana suportif. Beberapa
negara telah membuat suatu guideline (pedoman) tata laksana asma pada anak namun
penggunaannya masih belum baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahajoe, N., Kartasasmita B,C., Supriyanto, B., dkk. (2016). Pedoman Nasional Asma
Anak . Edisi-2, Jakarta: UKK Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. pp. 1-69.
2. Rahajoe, N.,Supriyanto, B., Setyanto B.D. (2008). Buku Ajar Respirologi. Edisi-1,
Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. pp.1-688.
3. Sinatra, C, T. (2019). Diagnosis dan Manajemen Jangka Panjang Asma pada Balita.
CDK Journal (46). http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/view/430
(diakses pada 16 Mei 2021)
4. Sudung Pardede. 2013. Tatalaksana Berbagai Keadaan Gawat Darurat pada Anak.
FKUI.