Anda di halaman 1dari 38

REFERAT

ASMA PADA ANAK

Disusun oleh :
Tita Fathia
1102017233

Pembimbing :
Dr. dr. Elsye Souvriyanti, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


PERIODE 26 JULI – 22 AGUSTUS 2021
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
BAB I
PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit saluran respiratori kronik yang sering dijumpai baik pada
anak maupun dewasa. Prevalens asma pada anak sangat bervariasi di antara negara-negara di
dunia, berkisar antara 1-18%. Meskipun tidak menempati peringkat teratas sebagai penyebab
kesakitan atau kematian pada anak, asma merupakan masalah kesehatan yang penting. Jika
tidak ditangani dengan baik, asma dapat menurunkan kualitas hidup anak, membatasi aktivitas
sehari-hari, menganggu tidur, meningkatkan angka absensi sekolah, dan menyebabkan prestasi
akademik di sekolah menurun. Bagi keluarga dan sektor pelayanan Kesehatan, asma yang tidak
terkendali akan meningkatkan pengeluaran biaya.

Pemahaman patogenesis, imunopatologi, genetika, manifestasi klinis, diagnosis, dan


tatalaksana asma telah mengalami banyak kemajuan. Terjadinya asma dipengaruhi oleh faktor
genetik dan lingkungan. Akan tetapi, faktor mana yang lebih berperan tidak dapat dipastikan
karena kompleksitas hubungan kedua faktor tersebut. Asma terjadi karena inflamasi kronik,
hiper-responsif dan perubahan struktur akibat penebalan dinding bronkus (remodeling) saluran
respiratori yang berlangsung kronik bahkan sudah ada sebelum munculnya gejala awal asma.
Penyempitan dan obstruksi pada saluran respiratori terjadi akibat penebalan dinding bronkus,
kontraksi otot polos, edema mukosa, hipersekresi mukus.

Mekanisme yang mendasari terjadinya asma pada anak dan dewasa adalah sama.
Namun, ada beberapa permasalahan pada asma anak yang tidak dijumpai pada dewasa karena
bervariasinya perjalanan alamiah penyakit, kurangnya bukti ilmiah yang baik, kesulitan
menentukan diagnosis dan pemberian obat, serta bervariasinya respons terhadap terapi yang
sering tidak dapat diprediksi sebelumnya. Keadaan ini terutama untuk penentuan asma pada
anak usia balita (<5 tahun). Kompleksitas munculan klinis (fenotip) asma didasari oleh
berbagai keadaan yang terkait dengan patogenesis dan patofisiologinya (endotip).

PEDOMAN NASIONAL ASMA ANAK IDAI


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Global Initiative Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai suatu penyakit


heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi kronik saluran respiratori. Inflamasi kronik ini
ditandai dengan Riwayat gejala-gejala pada saluran respiratori seperti wheezing (mengi), sesak
napas, dan batuk yang bervariasi dalam waktu maupun intensitas, disertai dengan limitasi
aliran udara ekspiratori.

International Consensus on (ICON) Pediatric Asthma mendefinisikan asma sebagai


gangguan inflamasi kronik yang berhubungan dengan obstruksi saluran respiratori dan hiper-
responsif bronkus, yang secara klinis ditandai dengan adanya wheezing, batuk, dan sesak napas
yang berulang.

UKK Respirologi IDAI mendefinisikan, asma adalah penyakit saluran respiratori


dengan dasar inflamasi kronik yang mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran
respiratori dengan derajat bervariasi. Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk, wheezing,
sesak napas, dada tertekan yang timbul secara kronik dan atau berulang, reversibel, cenderung
memberat pada malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus.

2.2 Epidemiologi

Prevalensi

Penelitian mengenai prevalens asma di Indonesia sudah dilakukan sejak awal tahun
1990an di berbagai senter pendidikan. Hampir semua peneliti menggunakan kuesioner yang
dirancang masing masing sehingga hasilnya berbeda (Djajanto, Rosmayudi, Dahlan). Namun
setelah dilakukan penelitian ISAAC I, penelitian di Indonesia dan berbagai tempat di dunia
menggunakan kuesioner yang sama dari studi ISAAC. Penelitian dilakukan pada kelompok
usia 6-7 tahun dan 13-14 tahun menunjukkan hasil yang cukup bervariasi. Prevalens berkisar
antara 3% di Bandung (Kartasasmita CB) sampai 8% di Palembang (Tanjung) pada kelompok
usia 6-7 tahun. Sedangkan pada kelompok 13-14 tahun kisaran antara 2,6% di Bandung
(Rosalina I) dan tertinggi di Subang 24,4% (Sundaru). Tingginya prevalens asma di Subang
yang dibandingkan dengan prevalens pada kelompok sama di Jakarta (12,5%), hampir 2 kali
lipat; diduga disebabkan karena tingginya angka polusi udara di Subang akibat sulfur dari
Gunung Tangkuban Perahu (Sundaru). Di Bandung dilakukan penelitian ulangan dengan
kuesioner yang sama, pada kelompok 13-14 tahun, setelah 5 tahun terjadi peningkatan 2 kali
lipat menjadi 5,2% (Kartasasmita CB). Pada tahun 2012, hasil penelitian di daerah rural
kotamadya Bandung pada anak usia 7-14 tahun mendapatkan hasil prevalens asma sebesar
9,6% dari 332 subyek penelitian (Kartasamita dkk).

Mortalitas

Mortalitas penyakit asma meningkat dari tahun 1980 sampai 1995, dari 14,3 menjadi
20,6 per juta. Sedangkan antara tahun 2000 sampai 2004 menurun dari 16,1 menjadi 12,8 per
juta. Angka ini bukan hanya anak tetapi asma keseluruhan, kematian paling banyak pada orang
tua lebih dari sama dengan 65 tahun, dan dua per tiga diantaranya wanita.

IDAI

2.3 Faktor Risiko


1. Jenis kelamin
Menurut laporan dari beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalansi asma pada anak
laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali lipat anak perempuan.
2. Usia
Umunya kebanyakan kasus asma persisten, gejala seperti asma pertama kali timbul
pada usia muda, yaitu beberapa tahun pertama kehidupan.
3. Riwayat Atopi
Adanya atopi berhubungan dengan meningkatnya risiko asma persisten dan beratnya
asma. Menurut laporan dari inggris, pada anak usia 16 tahun dengan riwayat asma atau
mengi, akan mengalai hay fever, rhinitis alergi atau eksema.
4. Lingkungan
Adanya alergren dilingkungan hidup anak akan meningkatkan risiko penyakit asma.
Alergen yang sering mencetuskan penyakit asma antara lain adalah serpihan kulit
binatan peliharaan, tungau debu rumah, jamur dan kecoa
5. Ras
Menurut laporan dari amerika serikat, didapatkan bahwa prevalans asma dan kejadian
serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit putih
6. Asap Rokok
Prevalansi asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada anak yang
tidak terpajan asap rokok. Risiko terhadap asap rokok sudah dimulai sejak janin dala
kangdungan, umumnya berlangsung terus setelah anak dilahirkan dan menyebabkan
meningkatnya resiko.
7. Outdoor air pollution
Beberapa partikel halus di udara seperti debu jalan raya, nitrat oksida, karbon
monoksida atau SO2 diduga berperan pada penyakit asma, meningkakan gejala asma,
tetapi belum dapat bukti diesepakati
8. Infeksi respiratorik
Beberapa penelitian mendapatkan adanya hubungan terbalik antara atopi (termasuk
asma) dengan infeksi respiratorik. Penelitian di jerman mendapatkan adanya penurunan
prevalens asma sebanyak 50% pada anak usia 7 tahun yang saat bayi mengalami
rhinitis. (BUKU AJAR RESPI)

2.4 Patogenesis dan Patofisiologi

Patogenesis
Antigen ditangkap (up take) oleh sel dendritik, selanjutnya dipecah menjadi peptide
yang lebih kecil dan membentuk komples dengan molekul MHC-klas II menjadi Peptide-MHC
klas 11 complex. Complex ini melalui T cell receptor memberi signal kepada naïve T-
lymphocyte (Th-0), selanjutnya akan disekresikan IL-12 yang akan menstimulasi Th-1 untuk
selanjutnya mensekresi IFN-y, lymphotoxin, IL-2 dan disisi laing IL-12 menginhibisi Th-2
respone.
Sedangkan stimulasi pada Th-2 lymphocyte akan menghasilkan berbagai sitokin seperti
IL-4, IL-5, IL-13, IL-9, GM CSF. Sitokin tersebut mempengaruhi sel-sel imunokompeten
seperti limfosit B, eosinophil, basophil. Mediator inflamasi yang dihasilkan mengakibatkan
terjadinya perubahan anatomis sehingga timbul maifestasi asma.
Gambar 1. Patogenesis asma (Diambil dari Global Initiative for Asthma. Global Strategy for
Asthma management and prevention. National Institute of Health. National Heart, Lung, and
Blood Institute;2002)

Sel-sel Inflamasi yang Berperan pada Asma :

Sel mast, sel mast yang teraktifasi melepaskan mediator bronkokonstriksi (histamin,
leukotrien, sisteinil, prostaglandin D2). Sel tersebut! Diaktivasi oleh alergen! melalui reseptor!
IgE yang berafinitas tinggi, juga oleh stimulus osmotik (misalnya bronkokontriksi yang
diinduksi oleh olahraga). Meningkatnya jumlah sel mast pada otot polos saluran respiratori
dapat dihubungkan dengan hiperreaktivitas saluran respiratori.

Eosinofil, jumlahnya meningkat pada saluran respiratori, melepaskan protein dasar yang dapat
merusak sel epitel saluran respiratori. Juga berperan dalam pelepasan growth factor dan airway
remodeling.

Limfosit T,jumlahnya!meningkat!pada!saluran!respiratori,!memproduksi! sitokin! spesifik,!


di! antaranya! ILH4,! ILH5,! ILH9,! dan! ILH13! yang! membantu!
proses!inflamasi!eosinofilik!dan!produksi!IgE!oleh!limfosit!B.!Peningkatan!
pada!aktifitas!sel!Th2!mungkin!sebagian!karena!penurunan!sel!T!regulator!
yang!normalnya!menghambat!sel!Th2.!Juga!terjadi!peningkatan!sel!inKT,!
yang!melepaskan!Th1!dalam!jumlah!banyak!dan!sitokin!Th2.!

Sel( dendritik,( menangkap! alergen! dari! permukaan! saluran! respiratori!


lalu!bermigrasi!ke!kelenjar!getah!bening!regional.!Di!kelenjar!getah!bening,! mereka!
berinteraksi! dengan! sel! T! regulator! dan! akhirnya! menstimulus! produksi!sel!Th2!
dari!sel!T!naif.!

Makrofag,( jumlahnya! meningkat! pada! saluran! napas,! dapat! diaktivasi! oleh! alergen!
melalui! reseptor! IgE! yang! berafinitas! rendah! untuk!
memproduksi!mediator!inflamasi!dan!sitokin!yang!memperkuat!respons! inflamasi.!

Neutrofil,( jumlahnya! meningkat! pada! saluran! respiratori! dan! dahak!


pasien!dengan!asma!berat!dan!pasien!asma!yang!merokok,!namun!peranan!
patofisiologi!dari!sel!ini!masih!belum!jelas!dan!peningkatannya!dapat!pula!
disebabkan!oleh!terapi!steroid.!

Patofisiologi

• Obstruksi saluran respiratori

Inflamasi saluran respiratori yang ditemukan pada pasien asma diyakini


merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi. Obstruksi saluran respiratori
menyebabkan keterbatasan aliran udara yang dapat kembali baik secara spontan
maupun setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang terjadi dihubungkan dengan
gejala khas pada asma, yaitu batuk, sesak, wheezing, dan hiperreaktivitas saluran
respiratori terhadap berbagai rangsangan. Batuk sangat mungkin disebabkan oleh
stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratori oleh mediator inflamasi. Terutama pada
anak, batuk berulang dapat menjadi satu-satunya gejala asma yang ditemukan
Penyempitan saluran respiratori pada asma dipengaruhi oleh banyak faktor.
Penyempitan saluran respiratori pada asma dipengaruhi banyak faktorPenyebab
utama penyempitan saluran respiratori adalah kontraksi otot polos bronkus yang
diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi. Yang termasuk agonis adalah
histamin, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel mast, neuropeptida dari
saraf aferen setempat, dan asetilkolin dari saraf eferen postganglionik. Kontraksi otot
polos saluran respiratori diperkuat oleh penebalan dinding saluran respiratori akibat
edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan remodelling, hiperplasia dan hipertrofi
kronik otot polos, vaskular, dan sel-sel sekretori, serta deposisi matriks pada dinding
saluran respiratori. Selain itu, hambatan saluran respiratori juga bertambah akibat
produksi sekret yang banyak, kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar
submukosa, protein plasma yang keluar melalui mikrovaskular bronkus, dan debris
selular.

Pada anak, sebagaimana pada orang dewasa, perubahan patologis pada bronkus
(airway remodelling) terjadi pada saluran respiratori. Inflamasi dicetuskan oleh
berbagai faktor, termasuk alergen, virus, olahraga, dll. Faktor tersebut juga
menimbulkan respons hiperreaktivitas pada saluran respiratori pasien asma. Inflamasi
dan hiperreaktivitas menyebabkan obstruksi saluran respiratori. Meskipun perubahan
patofisiologis yang berkaitan dengan asma pada umumnya reversibel, penyembuhan
sebagian/parsial dapat terjadi.

• Hipperaktivatas saluran respiratori

Penyempitan saluran respiratori secara berlebihan merupakan patofisiologi


yang secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang bertanggung
jawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum diketahui.
Akan tetapi, kemungkinan berhubungan dengan
perubahan otot polos saluran respiratori (hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara
sekunder, yang menyebabkan perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding
saluran respiratori terutama daerah peribronkial dapat memperberat penyempitan
saluran respiratori selama kontraksi otot polos.

Hiperreaktivitas bronkus secara klinis sering diperiksa dengan memberikan


stimulus aerosol histamin atau metakolin yang dosisnya dinaikkan secara progresif,
kemudian dilakukan pengukuran perubahan
fungsi paru (PFR atau FEV1). Provokasi/stimulus lain seperti latihan fisis,
hiperventilasi, udara kering, aerosol garam hipertonik, dan adenosin tidak memunyai
efek langsung terhadap otot polos (tidak seperti histamin dan metakolin) tetapi dapat
merangsang pelepasan mediator dari sel mast,
ujung serabut saraf, atau sel-sel lain pada saluran respiratori. Dikatakan hiperreaktif
bila dengan cara pemberian histamin didapatkan penurunan FEV1 20% pada
konsentrasi histamin kurang dari 8 mg%.

Gambar 2. Patofisiologi asma bronkial. Seperti pada asma dewasa, asma anak ditandai dengan
adanya inflamasi saluran respiratori kornik dan remodeling. Hiperresponsivitas saluran
respiratori diperberat oleh kerusakan epitel saluran respiratori yang disebabkan oleh inflamasi.
Gambar 3. Remodeling (saluran respiratori pada asma.(Diambil dari ICON 2012)

2.5 Klasifikasi
Asma merupakan penyakita yang sangat heterogen dengan variasi yang sangat luas. Atas
dasar itu, ada berbagai cara mengelompokkan asma.

Berdasarkan umur

• Asma bayi-baduta (bawah dua tahun)

• Asma balita (bawah lima tahun)

• Asma usia sekolah (5-11 tahun)

• Asma remaja (12-17 tahun)

Berdasarkan fenotip

Fenotip asma adalah pengelompokan asma berdasarkan penampakan yang serupa dalam aspek
klinis, patofisologis, atau demografis.

• Asma tercetus infeksi virus

• Asma tercetus aktivitas (exercise induced asthma)

• Asma tercetus alergen

• Asma terkait obesitas

• Asma dengan banyak pencetus (multiple triggered asthma)

Berdasarkan kekerapan timbulnya gejala

• Asma intermiten

• Asma persisten ringan

• Asma persisten sedang

• Asma persisten berat


Berdasarkan derajat beratnya serangan

Asma merupakan penyakit kronik yang dapat mengalami episode gejala akut yang memberat
dengan progresif yang disebut sebagai serangan asma.

• Asma serangan ringan-sedang

• Asma serangan berat

• Serangan asma dengan ancaman henti napas

Dalam pedoman ini klasifikasi derajat serangan digunakan sebagai dasar penentuan tata
laksana.

Berdasarkan derajat kendali

Tujuan utama tata laksana asma adalah terkendalinya penyakit. Asma terkendali adalah asma
yang tidak bergejala, dengan atau tanpa obat pengendali dan kualitas hidup pasien baik.

• Asma terkendali penuh (well controlled)

• Tanpa obat pengendali: pada asma intermiten

• Dengan obat pengendali: pada asma persisten (ringan/ sedang/ berat)

• Asma terkendali sebagian (partly controlled)

• Asma tidak terkendali (uncontrolled)

Berdasarkan keadaan saat ini:

• Tanpa gejala

• Ada gejala

• Serangan ringan-sedang

• Serangan berat
• Ancaman gagal napas

2.6 Manifestasi Klinis


• Batuk berulang atau persisten non produktif yang makin berat dimalam hari
disertai mengi dan atau sesak. Batuk dapat dipicu oleh olahraga, tertawa,
menangis atau paparan asap tembakau/ rokok, tanpa disertai infeksi saluran
pernafasan
• Wheezing/mengi berulang gejala mengi dapat muncul selama tidur atau dipicu
oleh infeksi virus, aktivitas fisik, menagis, tertawa, atau paparan rokok dan
polusi udara.
• Aktivitas harian terbatas. Penilaian dilakukan melalui jumlah munculnya
gejala malam hari dan terbangun akibat keluhan tersebut, serta frekuensi
munculnya gejala selama melaksanakan aktivitas harian
• Sesak dirasakan saat demam, aktivitas fisik tertawa atau menangis.
• Penurunan aktivitas, seperti tidak dapat berlari, bermain atau tertawa dengan
intensitas yang sama seperti anak lainnya, lebih mudah lelah ketika berjalan dan
ingin selalu digendong.
• Riwayat dalam keluarga seperti asma, dermatitis atopi atau rhinitis alergi dan
temuan dari pemeriksaan fisik yang dapat merujuk kepada asma pada keluarga
inti.

2.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis
Penegakan diagnosis asma pada anak mengikuti alur klasik diagnosis medis yaitu melalui
anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis memegang peranan
sangat penting mengingat diagnosis asma pada anak sebagian besar ditegakkan secara
klinis.
Ø Anamnesis

Keluhan wheezing dan atau betuk berulang merupakan manifestasi klinis yang diterima
luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori asma berupa kombinasi dari batuk,
wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan, dan produksi sputum. Chronic recurrent cough
(batuk kronik berulang, BKB) dapat menjadi petunjuk awal untuk mendiagnosis asma. Gejala
dengan karakteristik yang khas diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma. Karakteristik
yang mengarah ke asma adalah :
• Gejala timbul secara episodik atau berulang.
• Timbul bila ada faktor pencetus :
o Iritan : asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu
dingin, udara kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa,
pengawet makanan, pewarna makanan.
o Alergen : debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
o Infeksi respiratori akut karena virus, salesma, common cold,
rinofaringitis.
o Aktivitas fisis : berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.
• Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.
• Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24
jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nocturnal).
• Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan pemberian obat
pereda asma.

Ø Pemeriksaan Fisik
Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisik pasien biasanya tidak
ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak, dapat terdengar
wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau yang terdengar dengan
stestoskop. Selain itu, perlu dicari gejala lain pada pasien seperti dermatitis atopi atau
rhinitis alergi, dan dapat pula dijumpai tanda alergi seperti allergic shiners atau
geographoctounge.

Ø Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran napas akibat
obstruksi, hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori, atau adanya atopi pada
pasien.
• Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan untuk menilai
variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat dilakukan pemeriksaan dengan
peakflowmeter.
• Uji cakit kulit (skin prick test) , eosinophil total darah, pemeriksaan IgE spesifik.
• Uji inflamasi saluran respiratori : FeNO (fractional exhaled nitric oxide),
eosinophil sputum.
• Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan salin hipertonik.

Jika terindikasi dan fasilitas tersedia, lakukan pemeriksaan untuk mencari kemungkinan
diagnosis banding, misalnya uji tuberculin, foto sinus paranasalis, foto toraks, uji refluks
gastroesofagus, uji keringat, uji gerakan silia, uji defisiensi imun, CT-scan toraks, endoskopi
respiratori (rinoskopi, laringoskopi, bronkoskopi).

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Asma

Tabel 2. Kriteria Penentuan Derajat Asma


Klasifikasi kekerapan dibuat pada kunjungan-kunjungan awal dan dibuat berdasarkan
anamnesis :
Tahapan Penegakan Diagnosis Asma
Ø Diagnosis kerja : Asma
Dibuat sesuai alur diagnosis asma anak, kemudian diberi tatalaksana umum yaitu
penghindaran pencetus, pereda, dan tatalaksana penyakit penyulit.
Ø Diagnosis klasifikasi kekerapan
Dibuat dalam waktu 6 minggu, dapat kurang dari 6 minggu bila informasi klinis sudah
kuat.
Ø Diagnosis derajat kendali
Dibuat setelah 6 minggu menjalani tatalaksana jangka panjang awal sesuai klasifikasi
kekerapan.
Gambar 4. Alur Diagnosis Asma pada Anak
Tabel 3. Skema kemungkinan asma pada anak balita (modifikasi GINA 2016)

Diagnosis Banding
Gejala asma tidak patogonomik, dalam arti dapat disebabkan oleh berbagai penyakit lain
sehingga perlu dipertimbangkan kemungkinan diagnosis banding.

Inflamasi : infeksi, alergi


• Rinitis, rhinosinusitis
• Chronic upper airway cough syndrome
• Infeksi respiratori berulang
• Bronkiolitis
• Aspirasi berulang
• Defisiensi imun
• Tuberkulosis

Obstruksimekanis
• Laringomalasia, trakeomalasia
• Hipertrofi timus
• Pembesaran KGB
• Aspirasi benda asing
• Vascularring, laryngeal web
• Disfungsi pita suara
• Malformasi kongenital saluran respiratori

Patologibronkus
• Displasia bronkopulmonal
• Bronkiektasis
• Diskinesia silia primer
• Fibrosis kistik

Kelainan sistem organ lain


• Penyakit refluks gastro-esofagus (GERD)
• Penyakit jantung bawaan
• Gangguan neuromuskular
• Batuk psikogen

2.8 Tatalaksana
Ø Tatalaksana Asma pada anak >5 tahun
• Tatalaksana Jangka panjang

Tujuan yang ingin dicapai adalah:


1. Aktivitas pasien berjalan normal, termasuk bermain dan berolahraga.
2. Gejala tidak timbul pada siang maupun malam hari.
3. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
4. Efek samping obat dapat dicegah untuk tidak atau sesedikit mungkin terjadi,
terutama yang memengaruhi tumbuh kembang anak.
• Cara Pemberian Obat

Tabel 4. Jeni salat inhalasi sesuai usia


• Obat Pengendali Asma
1. Steroid Inhalasi

Steroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan merupakan


obat pengendali asma yang paling efektif. Pemberian steroid inhalasi setara
dosis budesonid 100-200 µg per hari dapat menurunkan angka kekambuhan
asma dan memperbaiki fungsi paru pada pasien asma. Steroid inhalasi sebagai
obat pengendali asma tidak memengaruhi tinggi badan dan densitas tulang,
namun demikian anak asma yang mendapatkan steroid inhalasi jangka panjang
(terutama dosis tinggi) perlu dipantau pertumbuhan (persentil tinggi badan dan
berat badan) setiap tahun. Kandidiasis oral dan suara parau sebagai efek
samping dapat dicegah dengan cara berkumur setiap selesai pemberian steroid
inhalasi lalu membuang air bekas berkumur tersebut. Steroid inhalasi umumnya
diberikan dua kali dalam sehari, kecuali ciclesonide yang diberikan sekali
sehari. Ciclesonide merupakan preparat steroid inhalasi yang relatif baru, efek
sistemik minimal dan deposisi obat di orofaring lebih sedikit dibanding
preparat steroid inhalasi yang lain; namun obat ini belum tersedia di Indonesia.
Efikasi dan keamanannya dibanding preparat yang lain masih memerlukan
penelitian lebih lanjut.

Tabel 5. Dosis berbagai preparate steroid inhalasi pada anak asma


2. Agonis b2 kerja panjang (long acting b2-agonist, LABA)

Sebagai pengendali asma, agonis b2 kerja panjang tidak digunakan sebagai


obat tunggal melainkan selalu bersama steroid inhalasi. Kombinasi agonis b2
kerja panjang dengan steroid inhalasi terbukti memperbaiki fungsi paru dan
menurunkan angka kekambuhan asma. Preparat kombinasi steroid-agonis b2
kerja panjang pada anak asma yang berusia di atas 5 tahun, diberikan bila steroid
inhalasi dosis rendah tidak menghasilkan perbaikan. Pemberian kombinasi
steroid-agonis b2 kerja panjang dalam satu kemasan memberikan hasil
pengobatan yang lebih baik dibandingkan steroid inhalasi dan agonis b2 kerja
panjang

Dalam sediaan terpisah. Penelitian penggunaan kombinasi steroidagonis b2


kerja panjang pada anak balita masih terbatasKombinasi steroid-agonis ß2 kerja
panjang inhalasi juga dapat digunakan untuk mencegah spasme

bronkus yang dipicu olah raga dan mampu memproteksi lebih lama
dibandingkan agonis ß2 inhalasi kerja pendek. Formoterol memiliki awitan
kerja yang cepat sehingga walaupun formoterol merupakan agonis ß2 kerja
panjang, namun dapat berfungsi sebagai obat pereda.

3. Antileukotrien

Antileukotrien terdiri dari antagonis reseptor cysteinyl-leukotrien 1 (CysLT1)


seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast, serta inhibitor 5-lipoksigenase
seperti zileuton. Antileukotrien yang aman untuk anak adalah montelukast.
Studi klinik menunjukkan antileukotrien pada pasien asma memiliki efek
bronkodilatasi yang kecil dan bervariasi, mengurangi gejala termasuk batuk,
memperbaiki fungsi paru, mengurangi inflamasi jalan napas dan mengurangi
eksaserbasi.Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara umum
tidak lebih unggul dibanding steroid inhalasi. Jika digunakan sebagai obat
pengendali tunggal, efeknya lebih rendah dibandingkan dengan steroid inhalasi.
Kombinasi steroid inhalasi dan antileukotrien dapat menurunkan angka
serangan asma dan menurunkan kebutuhan dosis steroid inhalasi.
Antileukotrien dapat mencegah terjadinya serangan asma akibat berolahraga
(exercise induced asthma, EIA) dan obstructive sleep apnea (OSA).
Antileukotrien juga dapat mencegah serangan asma akibat infeksi virus pada
anak balita. Pemberian kombinasi steroid inhalasi dan antileukotrien pada asma
persisten kurang efektif dibandingkan dengan steroid inhalasi dosis sedang.
Pemberian antileukotrien tunggal dapat diberikan sebagai alternatif pemberian
steroid inhalasi, misalnya pada anak yang tidak dapat menggunakan alat
inhalasi atau ada kontraindikasi pemakaian steroid.

4. Teofilin Lepas Lambat

Kombinasi steroid inhalasi dan teofilin lepas lambat akan memperbaiki kendali
asma dan dapat menurunkan dosis steroid inhalasi pada anak dengan asma
persisten. Preparat teofilin lepas lambat lebih dianjurkan untuk pengendalian
asma karena kemampuan absorbsi dan bioavaibilitas yang lebih baik. Eliminasi
teofilin lepas lambat bervariasi antar individu sehingga pada penggunaan jangka
lama kadar teofilin dalam plasma perlu dimonitor. Efek samping teofilin lepas
lambat bisa berupa mual, muntah, anoreksia, sakit kepala, palpitasi, takikardi,
aritmia, nyeri perut, dan diare. Efek samping teofilin lepas lambat terutama
timbul pada pemberian dosis tinggi, di atas 10 mg/kgBB/hari.
5. Antiimunoglobulin E

Anti-IgE (omalizumab) adalah antibodi monoklonal yang mampu mengurangi


kadar IgE bebas dalam serum. Pada orang dewasa dan anak di atas usia 5 tahun,
omalizumab dapat diberikan pada pasien asma yang telah mendapat steroid
inhalasi dosis tinggi dan agonis b2 kerja panjang namun masih sering
mengalami eksaserbasi dan terbukti asma karena alergi. Omalizumab diberikan
secara injeksi subkutan setiap dua sampai empat minggu. Reaksi anafilaksis
dapat terjadi dini ketika pemberian dosis pertama, tapi juga dapat terjadi setelah
pemberian selama satu tahun. Karena adanya risiko anafilaksis, pemberian
omalizumab harus di bawah pengawasan dokter spesialis. Omalizumab terbukti
memperbaiki gejala asma pada asma persisten sedang dan berat yang
disebabkan oleh karena alergi. Pemberian omalizumab akan menurunkan
kebutuhan steroid inhalasi danmenurunkan angka serangan asma. Pemberian
anti-IgE membutuhkanbeberapa kali dosis penyuntikan dan relatif mahal. Efek
samping yang pernah dilaporkan antara lain urtikaria, kemerahan, gatal. Belum
dilakukan penelitian jangka panjang (di atas satu tahun) untuk efikasi anti-IgE.
• Tatalaksana asma berdasarkan derajat kendali asma

Tabel 6.

• Jenjang Tatalaksana Jangka Panjang

Gambar 5. Jenjang dalam tatalaksana asma jangka panjang pada anak usia >5tahun

Keterangan:
1. Acuan awal penetapan jenjang tata laksana jangka panjang menggunakan
klasifikasi kekerapan.
2. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 6-8 minggu
dan asma belum terkendali, maka tata laksana naik jenjang ke atasnya (step
up).
3. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 8-12 minggu
dan asma terkendali penuh, maka tata laksana turun jenjang ke bawahnya
(step down).
4. Perubahan jenjang tata laksana harus memperhatikan aspek-aspek
penghindaran, penyakit penyerta, dan keteraturan penggunaan obat
5. Pada Jenjang 4, jika belum terkendali, tata laksana ditambahkan
omalizumab.

• Tatalaksana Serangan Asma

Selain berdasarkan kekerapan serangan dan obat digunakan sehari-hari, klasifikasi asma
juga dapat dinilai berdasarkan derajat keparahan serangan, yang terbagi menjadi serangan
ringan sedang, serangan berat, dan serangan asma dengan ancaman henti napas.
Tabel 7. Derajat keparahan serangan asma

Kotak 1. Pasien
risiko tinggi
Tahapan tata laksana serangan asma
1. Tatalaksana Serangan Asma di Rumah
Jika tidak ada keadaan seperti pada kotak 1, berikan inhalasi agonis b2 kerja pendek,
via nebulizer atau dengan MDI + spacer, sebagai berikut :

A. Jika diberikan via nebulizer


- Berikan agonis b2 kerja pendek, lihat responsnya. Bila gejala (sesak napas
danwheezing) menghilang, cukup diberikan satu kali.
- Jika gejala belum membaik dalam 30 menit, ulangi pemberian sekali lagi
- Jika dengan 2 kali pemberian agonis b2 kerja pendek via nebuliser belum
membaik, segera bawa ke fasyankes/UGD

B. Jika diberikan via MDI + spacer


- Berikan agonis b2 kerja pendek serial via spacer dengan dosis: 2-4 semprot.
Berikan semprotan pertama obat ke dalam spacer diikuti 6-8 tarikan napas
melalui sambungan untuk perlekatan ke wajah, antar muka (interface) berupa
masker atau mouthpiece. Lanjutkan semprotan kedua, dengan sebelumnya
mengocok MDI, baru menyemprot ulang. Pemberian semprotan hingga 4 kali
berturut turut (1 siklus), setara dengan 1 kali nebulisasi. Tunggu 30 menit, bila
belum ada respons berikan semprot berikutnya dengancara yang sama.
- Jika membaik dengan dosis ≤4 semprot, inhalasi dihentikan. Jika gejala belum
membaik dalam 30 menit, berikan semprot berikutnya dengan siklus yang sama.
- Jika gejala tidak membaik dengan dosis 2 kali 2-4 semprotan, segera bawa ke
fasyankes/UGD.
2. Tatalaksana di Fasyankes/UGD
Gambar 6.
• Tata laksana asma serangan ringan-sedang
Pada pasien yang memenuhi kriteria gejala klinis untuk asma serangan ringan-
sedang, sebagai tindakan awal pasien diberikan agonis b2 kerja lewat nebulisasi
atau MDI dengan spacer, yang dapat diulang hingga 2 kali dalam 1 jam, dengan
pertimbangan untuk menambahkan ipratropium
bromida pada nebulisasi ketiga. Pasien diobservasi, jika tetap baik pasien dapat
dipulangkan. Apabila pasien tidak membaik dengan 3 kali pemberian inhalasi
agonis b2, dapat dipertimbangkan pemasangan jalur parenteral.

Tindak lanjut
a. Jika respon baik, pasien dipulangkan
- Saat pulang, pasien dibekali dengan obat agonis b2 (hirupan atau oral) yang
diberikan setiap 4-6 jam selama 3-5 hari, dipakaiseperlunya hingga tidak ada
gejala. Juga diberikan steroid sistemik (oral) berupa prednisolon atau prednison
dengan dosis 1-2 mg/ kgBB/hari selama 3-5 hari, tanpa tappering off.
Pemberian steroid ini harus dilakukan dengan cermat untuk mencegah
pengulangan lebih dari 1 kali per bulan dan pada saat penulisan resep
tambahkan keterangan ‘do not iter’.
- Selain itu, jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat
pengendali dilanjutkan. Informasi lebih lengkap lihat di tata laksana jangka
panjang.
- Pasien kemudian dianjurkan untuk kontrol ke klinik rawat jalan dalam waktu 3-
5 hari untuk direevaluasi tata laksananya.
- Jika obat diberikan dalam bentuk inhaler, sebelum pasien dipulangkan, pastikan
teknik pemakaian inhaler sudah tepat.
b. Jika respon buruk, pasien dirujuk (jika di fasyankes primer ke UGD RS)
atau dirawat inap (jika di UGD RS)
Pasien diputuskan rujuk atau rawat inap jika tidak respon sampai nebulisasi ke-
3 atau memburuk setelah nebulisasi.
- Di fasyankes primer: saat menunggu proses rujukan, maka tetap dilakukan
pemberian oksigen, nebulisasi agonis b2, dan pemasangan jalur parenteral.
- Di UGD RS: jika diagnosis menjadi asma serangan berat, maka dipersiapkan
untuk rawat inap (lihat keterangan berikutnya). Jika ancaman henti napas, harus
segera dibawa ke ICU.

• Tata laksana asma serangan berat


Pasien dengan gejala dan tanda klinis yang memenuhi kriteria asma serangan
berat harus dirawat di ruang rawat inap. Nebulisasi yang diberikan pertama kali
adalah agonis b2 dengan penambahan ipratropium bromida. Oksigen 2-4 liter
per menit diberikan sejak awal termasuk pada saat nebulisasi. Pasang jalur
parenteral pada pasien dan lakukan pemeriksaan
Rontgen toraks. Steroid sebaiknya diberikan secara parenteral. Jika ada
kontraindikasi terhadap pemberian steroid IV, dapat diberikan steroid inhalasi
dosis tinggi.
- Di fasyankes primer: Jika terdapat ancaman henti napas, yaitu gejala
distres respirasi berat, dengan penurunan kesadaran (tampak mengantuk atau
gelisah), dan suara napas tak terdengar, segera siapkan untuk perawatan PICU
(Pediatric Intensive Care Unit). Sambil menunggu persiapan tersebut, beri
inhalasi agonis 2 kerja pendek via nebuliser, oksigen dan siapkan intubasi jika
perlu
- Di UGD RS: Apabila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman
henti napas, pasien harus langsung dirawat di ruang rawat intensif. Pemeriksaan
Rontgen toraks dilakukan untuk mendeteksi adanya komplikasi pneumotoraks
dan/atau pneumomediastinum.
• Tata laksana di ruang rawat RS
Tata laksana di Ruang Rawat Sehari (RRS)
Oksigen yang telah diberikan saat pasien masih di UGD tetap diberikan.
Setelah pasien menjalani dua kali nebulisasi dalam 1 jam dengan respons parsial
di UGD, di RRS diteruskan dengan nebulisasi agonis b2 dan ipratropium
bromida setiap 2 jam. Kemudian, berikan steroid sistemik oral berupa
prednisolon atau prednison. Pemberian steroid ini dilanjutkan hingga 3-5 hari.
Jika dalam 12 jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan dibekali obat
seperti pasien serangan ringan-sedang yang dipulangkan darifasyankes
primer/UGD.

Tata laksana di ruang rawat inap


Berikut tata laksana yang diberikan setelah pasien masuk ke ruang rawat inap:
- Pemberian oksigen diteruskan.
- Jika ada dehidrasi dan asidosis maka berikan cairan intravena dan
koreksi asidosisnya.
- Steroid intravena diberikan secara bolus, setiap 6-8 jam.
- Nebulisasi agonis b2 kerja pendek kombinasi dengan ipratropium
bromia dan oksigen dilanjutkan setiap 1-2 jam. Jika dalam 4-6 kali
pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat
diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
- Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis:
§ Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, aminofilin
dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB, yang dilarutkan dalam dekstrosa atau
garam fisiologis sebanyak 20 ml, dan diberikan selama 30 menit, dengan
infusion pump atau mikroburet.
§ Bila, respons belum optimal dilanjutkan dengan pemberian aminofilin
dosis rumatan sebanyak 0,5-1 mg/kgBB/jam.

§ Jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 8 jam), dosis


diberikan separuhnya, baik dosis awal (3-4 mg/kgBB) maupun rumatan (0,25-
0,5 mg/kgBB/jam).
§ Bila memungkinkan, sebaiknya kadar aminofilin diukur dan
dipertahankan 10-20 mcg/ml.
§ Pantau gejala-gejala intoksikasi aminofilin, efek samping yang sering
adalah mual, muntah, takikardi dan agitasi. Toksisitas yang berat dapat
menyebabkan aritmia, hipotensi, dan kejang.
- Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam
hingga mencapai 24 jam, dan steroid harus diganti dengan pemberian per
oral, serta bila diperlukan aminofilin diganti dengan pemberian teofilin per
oral.
- Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan
dibekali obat agonis b2 (hirupan atau oral) yang diberikan setiap 4-6 jam.
selama 3-5 hari, dipakai seperlunya hingga tidak ada gejala. Selain itu,
steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 3-
5 hari untuk reevaluasi tata laksana.

• Kriteria rawat di ruang rawat intensif


Pasien yang sejak awal masuk ke UGD sudah memperlihatkan tanda-tanda
ancaman henti napas langsung dirawat di ruang rawat intensif (intensive care
unit, ICU). Kriteria pasien yang memerlukan ICU adalah:
- Tidak ada respons sama sekali terhadap tata laksana awal di UGD dan atau perburukan
asma yang cepat.

- Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman henti napas, atau hilangnya
kesadaran.

- Tidak ada perbaikan dengan tata laksana baku di ruang rawat inap.
- Ancaman henti napas: hipoksemia tetap terjadi meskipun sudah diberi oksigen (kadar
PaO2 <60 mmHg dan/atau PaCO >45 mmHg,meskipun tentu saja gagal napas dapat
terjadi pada kadar PaCO2 yang lebih tinggi atau lebih rendah

• Obat-obatan untuk serangan asma

1. Agonis ß2 kerja pendek

Gejala asma serangan ringan-sedang memberikan respons yang cepat terhadap


inhalasi agonis b2 kerja pendek tunggal sehingga obat ini menjadi pilihan utama
bagi asma serangan ringan-sedang yang terjadi di rumah maupun di fasyankes.
Obat ini juga diberikan sebagai premedikasi untuk terhadap inhalasi agonis b2
kerja pendek tunggal sehingga obat ini menjadi b2 kerja pendek adalah
salbutamol, terbutalin, dan prokaterol.

Pada serangan asma, agonis b2 kerja pendek diberikan secara inhalasi diberikan
lewat DPI, MDI dengan/tanpa spacer, atau nebuliser dengan dosis sesuai
beratnya serangan dan respons pasien. Agonis b2 kerja pendek harus diberikan
dengan dosis terendah dan frekuensi terkecil, yaitu hanya bila diperlukan.
Tremor dan takikardia sering dialami pasien yang menggunakan agonis b2 kerja
pendek pertama kali, namun biasanya kemudian efek tersebut cepat ditoleransi.

2. Ipratropium bromida

Ipratropium bromida terbukti memberikan efek dilatasi bronkus lewat


penurunan tonus parasimpatis dalam inervasi otonom di saluran napas.
Pemberian kombinasi agonis b2 kerja pendek dan ipratropium
bromida(antikolinergik) pada inhalasi ke-3 saat serangan asma menurunkan
risikorawat inap dan memperbaiki PEF dan FEV1 dibandingkan dengan
agonis 2 saja. Sebaiknya, kombinasi agonis b2 kerja pendek dan ipratropium
bromida diberikan hanya di bawah pengawasan dokter (fasyankes/UGD RS).

3. Steroid sistemik

Pemberian steroid sistemik dapat mempercepat perbaikan serangan dan


mencegah kekambuhan, dan direkomendasikan untuk diberikan pada semua
jenis serangan. Jika memungkinkan, steroid oral diberikan dalam 1 jam
pertama. Pemberian steroid sistemik peroral sama efektifnya dengan pemberian
secara intravena. Keuntungan pemberian peroral adalah lebih murah dan tidak
invasif. Pemberian secara oral memerlukan waktu sekitar 4 jam untuk
memberikan perbaikan klinis. Pemberian secara intravena direkomendasikan
bila pasien tidak dapat menelan obat (misalnya terlalu sesak, muntah atau pasien
memerlukan intubasi). Steroid sistemik berupa prednisolon atau prednison
diberikan peroral dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum
sampai 40 mg/hari, maksimal 1 kali dalam 1 bulan. Lama pemberian 3-5 hari
tanpa tappering off.

4. Aminofilin intravena

Aminofilin intravena diberikan pada anak dengan asma serangan berat atau
dengan ancaman henti napas yang tidak berespons terhadap dosis maksimal
nhalasi agonis b2 dan steroid sistemik. Penambahan aminofilin pada terapi
iawal (inhalasi agonis b2 dan steroid) meningkatkan fungsi paru dalam 6 jam
pertama, tetapi tidak mengurangi gejala, jumlah nebulisasi dan lamarawat inap.
Perlu diingat bahwa rentang keamanan aminofilin sempit dan efek samping
yang sering adalah mual, muntah, takikardi dan agitasi. Toksisitas yang berat
dapat menyebabkan aritmia, hipotensi, dan kejang. Kematian biasanya
berhubungan dengan kadar amonifilin serum yang tinggi yang berat dapat
menyebabkan aritmia, hipotensi, dan kejang. Kematian biasanya berhubungan
dengan kadar amonifilin serum yang tinggi. biasanya berhubungan dengan
kadar amonifilin serum yang tinggi. Oleh karena itu, pemberian aminofilin
intravena harus sangat berhati-hati dan dipantau secara ketat Dosis yang
direkomendasikan yaitu dengan dosis inisial bolus pelan 6-8 mg/kgBB
diberikan dalam 20 menit dilanjutkan dengan pemberian rumatan secara drip 1
mg/kgBB/jam. Loading 1 mg/kgBB akan meningkatkan kadar aminofilin serum
2 ug/ml. Untuk efek terapi yang maksimal, target kadar amonifilin serum adalah
10-20 ug/ml. Oleh karena itu kadar aminofilin serum seharusnya diukur 1-2 jam
setelah loading dose diberikan.

5. Magnesium sulfat (MgSO4)


Pertimbangkan pemberian injeksi MgSO pada pasien dengan asma serangan
berat yang tidak membaik atau dengan hipoksemia yang menetap setelah satu
jam pemberian terapi awal dengan dosis maksimal (agonis b2kerja pendek dan
steroid sistemik). Obat ini tidak rutin dipakai untuk serangan asma, tapi boleh
sebagai alternatif, apabila pengobatan standar tidak ada perbaikan. Pada
penelitian multisenter didapatkan hasil bahwa pemberian magnesium sulfat
(MgSO) intravena 50 mg/kgBB (inisial) dalam 20 menit yang dilanjutkan
dengan 30 mg/kgBB/jam memunyai efektifitas yang sama dengan pemberian
agonis b2. Pemberian MgSO4 ini dapat meningkatkan FEV1 dan mengurangi
angka perawatan di RS.MgSO4 yang tersedia dalam sediaan 20% (1 g/5 ml),
40% (10 g/25 ml), atau 50% (10 g/20 ml) dapat diberikan dengan bolus tunggal,
bolus berulang, drip kontinu, dan inhalasi.

6. Adrenalin
Apabila tidak tersedia obat-obatan lain, dapat digunakan adrenalin. Epinefrin
(adrenalin) intramuskular diberikan sebagai terapi tambahan pada asma yang
berhubungan dengan anafilaksis dan angioedema dengan dosis 10 ug/kgBB
(0,01 ml/kgBB adrenalin 1:1.000), dengan dosis maksimal 500 ug (0.5 ml).
Obat ini tidak diindikasikan untuk serangan asma lainnya. Namun demikian, di
fasyankes yang tidak tersedia alat inhalasi, dapat diberikan injeksi adrenalin
untuk serangan asma.

7. Steroid inhalasi
Steroid nebulisasi dengan dosis tinggi (1600-2400 ug atau 2-5 ampul
budesonid) dapat digunakan untuk serangan asma, namun perlu diperhatikan
untuk memberi dalam dosis tinggi karena steroid nebulisasi dosis rendah tidak
bermanfaat untuk mengatasi serangan asma. Harap diperhatikan pula bahwa
penggunaan steroid inhalasi dosis tinggi ini terbatas pada pasienpasien yang
memiliki kontraindikasi terhadap steroid sistemik, misalnya pasien dengan
gastritis akut.
Ø Tatalaksana Asma pada Balita

• Tatalaksana panjang pada balita

Secara umum, evaluasi gejala pada asma anak balita sama dengan asma pada
usia di atas 5 tahun. Komponen kunci adalah edukasi, pelatihan pemakaian alat
inhalasi yang benar dan keteraturannya, strategi nonfarmakologi termasuk
kontrol lingkungan yang baik, monitoring berkala, dan evaluasi klinis. Seperti
pada asma anak >5 tahun, obat asma diberikan secara bertahap sesuai dugaan
awal yang akan menentukan di jenjang mana terapi dimulai.

• Sediaan steroid inhalasi dan dosisnya untuk balita

• Penentuan tingkat kendali asma


Menentukan tingkat kendali gejala asma pada anak balita tidak mudah. Dokter
bergantung pada laporan anggota keluarga atau pengasuh, sehingga anamnesis
harus dilakukan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti.
• Menilai respons dan penyesuaian terapi
- Kunjungan rutin tiap 3-6 bulan, untuk evaluasi kendali asma, faktor
risiko dan efek samping.
- Tinggi anak harus diukur minimal tiap 3 bulan, atau lebih sering.
- Jika terapi dihentikan, jadwalkan kunjungan kontrol 3-6 minggu
setelahnya untuk memeriksa apakah gejala muncul lagi.
- Orang tua/pengasuh harus diberikan rencana aksi asma (RAA) dengan
gejala spesifik yang rinci tentang perburukan asma, pengobatan yang
harus diberikan di awal, dan kapan dan bagaimana mengontak petugas
kesehatan.

• Tatalaksana Serangan Asma pada Balita


2.9 Pencegahan

Pencegahan dan tindakan dini harus menjadi tujuan utama dokter, khususnya spesialis anak,
dalam menangani anak asma. Pengendalian lingkungan, pemberian ASI eksklusif minimal 4
bulan, penghindaran makanan berpotensi alergenik, pengurangan pajanan terhadap tungau
debu rumah dan rontokan bulu binatang, telah terbukti mengurangi timbulnya alerg makanan
dan khususnya dermatitis atopic pada bai.

Tindakan pencegahan asma pada balita merupakan suatu proses berkelanjutan edukasi dokter
terhadap orang tua dan keluarga pasien. Asma dapat dicegah dengan menghindari paparan asap
rokok pada anak selama proses kehamilan atau setelah lahir. Persalinan per vaginam terbukti
dapat mengurangi angka asma pada balita. ASI eksklusif wajib diberikan untuk mencegah
asma dan alergi pada balita, karena ASI dapat meningkatkan kekebalan tubuh anak.
Penggunaan antibiotik spektrum luas selama tahun pertama anak harus dihindari.
2.10 Komplikasi

Komplikasi asma serangat berat adalah pneumotoraks, pneumomediastinum,


atelektasis dan gangguan asam basa seperti asidosis laktat. Pneumotoraks dan
pneumomediastinum terjadi karena pecahnya alveolus yang dapat terjadi karena barotrauma
sedangkan atelektasis terjadi karena adanya sumbatan saluran respiratorik akibat hipersekresi
dan edema serta bronkokonstriksi. Asidosis laktat dapat terjadi karena meningkatnya proses
glikogenolisis dengan hasil akhir asam laktat karena proses anaerob akibat hipoksemia. Pada
keadaan aerob, piruvat sebagai produk dari glikogenolisis diubah menjadi H2O dan CO2

sedangkan pada keadaan anaerob (hipoksia) piruvat diubah menjadi laktat.

2.11 Prognosis

Serangan asma yang tidak ditanggulangi dengan baik dapat mengakibatkan kematian.
Pada serangan berat diberikan oksigen, inhalasi bronkodilator (β- agonis + antikolinergik),
kortikosteroid sistemik, aminofilin (bolus dan rumatan), serta tata laksana suportif. Beberapa
negara telah membuat suatu guideline (pedoman) tata laksana asma pada anak namun
penggunaannya masih belum baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rahajoe, N., Kartasasmita B,C., Supriyanto, B., dkk. (2016). Pedoman Nasional Asma
Anak . Edisi-2, Jakarta: UKK Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. pp. 1-69.
2. Rahajoe, N.,Supriyanto, B., Setyanto B.D. (2008). Buku Ajar Respirologi. Edisi-1,
Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. pp.1-688.
3. Sinatra, C, T. (2019). Diagnosis dan Manajemen Jangka Panjang Asma pada Balita.
CDK Journal (46). http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/view/430
(diakses pada 16 Mei 2021)
4. Sudung Pardede. 2013. Tatalaksana Berbagai Keadaan Gawat Darurat pada Anak.
FKUI.

Anda mungkin juga menyukai