Artikel jurnal diawali dengan sketsa kasus yang menyoroti masalah klinis umum. Bukti
yang mendukung berbagai strategi kemudian disajikan, diikuti oleh ulasan pedoman
formal. Artikel ini diakhiri dengan rekomendasi klinis dari penulis.
Seorang wanita 50 tahun dengan depresi bipolar memperlihatkan ruam pruritus yang luas
selama1 hari. Wanita tersebut afebris dan dinyatakan baik. Dia memiliki riwayat eksim
dimasa kanak-kanaknya dan alergi terhadap antibiotik sulfonamid. Obatnya meliputi
tiroksin harian, naproxen secara intermiten, dan lamotrigin, yang mulai dia konsumsi 3
minggu sebelumnya. Bagaimana seharusnya kasus ini harus dievaluasi dan diobati?
MASALAH KLINIS
Di Amerika Serikat, lebih dari 300 juta resep obat diberikan pada pasien dan
jutaan pembelian over-the-counter obat setiap bulannya. Dalam banyak kasus
pasien memakai obat ini untuk pertama kalinya. Reaksi kulit adalah salah satu
efek samping yang paling umum dari pemakaian obat, diantaranya termasuk
penisilin, sefalosporin, agen antimikroba sulfonamide, dan allopurinol (dengan
kejadian hingga 50 kasus per 1000 pengguna baru), dan terutama obat anti kejang
amin aromatik, termasuk karbamazepin, penitoin, dan lamotrigin (dengan
kejadian hingga 100 kasus per 1000 pengguna baru). Ruam terkait-obat
dilaporkan pada hampir semua resep obat, biasanya dengan tingkat kejadian lebih
dari 10 kasus per 1000 pengguna baru. Reaksi-reaksi ini mulai dari erupsi ringan
asimtomatik sampai pada kondisi yang mengancam jiwa. Reaksi kutaneus
mungkin sulit dibedakan dari ruam umum yang tidak berhubungan dengan
penggunaan obat, khususnya eksanthema virus.
1
Erupsi obat eksanthematosa (juga disebut erupsi obat morbilliformis atau
erupsi makulopapular) adalah drug-induced eruptions yang paling sering terjadi.
Jenis erupsi obat yang jarang dan yang lebih serius meliputi Stevens Johnson
Syndrome (SJS), Toxic Epidermal Necrolysis (TEN), acute generalized
exanthematous pustulosis (AGEP), dan drug reaction with eosinophilia and
systemic symptoms (DRESS) adalah idiosinkratik, diperantarai sel T, reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV). Secara klasik, sel penyaji antigen
menyajikan hapten, dibentuk dari obat atau metabolitnya yang terikat dengan
protein atau peptida, naive T cells. Antigen-spesifik sel T berproliferasi,
menginfiltrasi kulit, dan melepas sitokin, kemokin, dan mediator inflamatori
lainnya yang berperan terhadap munculnya tanda-tanda dan gejala ruam yang
berhubungan dengan obat. Teori alternatif yang dikenal dengan konsep p-i
(interaksi farmakologik obat dengan reseptor imun), obat molekul kecil atau
metabolitnya, yang merupakan antigen tidak lengkap, mengaktifkan sel-sel T
secara langsung dengan mengikat reseptor sel T. Terlepas dari mekanisme yang
memunculkan respon sel T terhadap suatu obat, tidak diketahui mengapa hanya
sebagian kecil pasien pemakai obat yang memunculkan reaksi klinis seperti itu,
sedangkan yang lain memiliki reaktivitas imunologi tanpa terjadi ruam.
Perubahan dalam status imun pasien, di samping faktor genetik yang
berhubungan dengan respon imun, mempengaruhi risiko reaksi obat. Pasien
dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV), transplantasi sumsum tulang, atau
infeksi tertentu yang mana memakai obat-obatan tertentu yang mempunyai resiko
tinggi. Sebagai contoh, banyak pasien dengan infeksi mononukleosis yang sedang
dirawat dengan aminopenisillin mempunyai erupsi eksanthema, dibandingkan
dengan sekitar 5% dari pasien tanpa kelainan ini yang juga menggunakan obat ini.
HLA alel tertentu memberikan risiko lebih tinggi dari reaksi hipersensitivitas yang
dimediasi sel T. Paling sering dijelaskan pada kasus reaksi kutaneus yang parah,
asosiasi ini umumnya spesifik untuk tipe reaksi, obat penyebab, dan kelompok
etnis. Di Eropa, penggunaan karbamazepin, HLA-A * 3101 dilaporkan
mempunyai kaitan dengan peningkatan risiko eksanthema makulopapular.
2
Kunci Poin-Poin Klinis
Erupsi Obat Eksanthematosa
Erupsi Obat Eksanthematosa, juga disebut ruam obat morbiliformis atau makulopapular,
terjadi pada 1 sampai 5% pada penggunaan pertama kali sebagian besar obat.
Reaksi kulit pruritus secara khas tampak pada 4 sampai 21 hari setelah penggunaan obat
penyebab dan karakteristik muncul distribusinya simetris, makula merah muda sampai
merah dan papul-papul yang menyebar secara cepat dan dapat menyatu/bergabung.
Pasien dengan infeksi human immunodeficiency virus atau transplantasi sumsum tulang
didapatkan peningkatan resiko.
Mengidentifikasi obat penyebab dan menghentikan pemakaiannya adalah langkah
penting di dalam pengelolaan; pengobatan simtomatik dengan agen antipruritus dan
glukokortikoid topikal dapat bermanfaat.
Tanda dan gejala seharusnya diwaspadai klinisi pada kemungkinan reaksi kutaneus
yang parah termasuk keterlibatan membran mukosa, suhu tubuh diatas 38,5 C, lepuh,
edema wajah dan eritema, dan limfadenopati.
Kebanyakan ruam karena obat adalah self-limited dan hanya gejala ringan.
Sebagian besar kejadian kulit dikaitkan dengan obat baik erupsi eksanthematosa
(makulopapular atau morbilliformis) (> 80%) atau urtikaria (5 sampai 10%),
namun persentase ini bervariasi di antara obat dan di antara kelompok pasien. Di
antara pasien yang tidak immunocomprimised, reaksi kulit yang parah jarang
terjadi (dengan kejadian <1 kasus per 1000 pemakai baru), bahkan dengan obat
resiko tinggi.
Erupsi eksanthema tampak penyebaran yang luas, didistribusikan secara
simetris terdiri dari makula dan papula merah muda sampai merah yang bisa
bergabung menjadi bentuk plak (Gambar 1A, 1B, dan 1C). Meskipun membran
mukosa biasanya tidak terkena, kemerahan tanpa lepuh mungkin terjadi pada
daerah ini. Pruritus sering terjadi, tapi sangat bervariasi dalam keparahan, dan
demam ringan (suhu <38,5 ° C) adalah umum.
Urtikaria (Gambar 1D), fotosensitifitas, dan fixed drug eruptions dicatat
untuk sebagian besar erupsi terkait-obat yang tersisa pada pasien rawat jalan.
Urtikaria memberikan andil bentuk patofisiologi dengan anafilaksis dan
angioedema, yang keduanya dapat mengancam jiwa. Dengan obat yang penting,
urtikaria adalah reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe I) yang diperantarai sel T.
Urtikaria karena obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) atau angiotensin
converting-enzyme inhibitor biasanya mencerminkan efek farmakologis dari obat-
obat ini bukan reaksi imunologi.
3
Gambar 1. Gambaran Klinis Reaksi Obat yang Umum dan Measles
Panel A dan B menunjukkan eksanthema erupsi obat dengan makula dan papula dengan
bermacam ukuran dan bergabung menjadi plak. Erupsi pada panel A relatif ringan, dengan
makula dan papula merah muda yang simetris, sedangkan erupsi pada panel B lebih
intens/hebat, dengan lesi yang lebih dalam dan lebih indurasi. Panel C menunjukkan
eksanthema erupsi obat yang melibatkan paha, dengan makula dan papula merah yang
menyatu membentuk plak, yang biasanya keterlibatan proksimal lebih besar Panel D
menunjukkan urtikaria dengan karakteristiknya kepucatan sentral dan pinggir kemerahan. Lesi
individu terakhir kurang dari 24 jam Panel E menunjukkan reaksi fototoksik terhadap
doksisiklin. Sunburn-like reaction terbatas pada area terpapar sinar pada daerah yang
terlindungi pita pada pendayung Panel F menunjukkan Fixed Drug Reaction dengan
hiperpigmentasi dari reaksi sebelumnya dan eritema ditempat yang sama karena reexposure
obat penyebab. Panel G menunjukkan Measles dengan makula dan papula merah muda yang
menyatu membentuk plak pada pasien yang mendapat hanya dosis tunggal vaksin.
4
Fixed Drug Eruptions tampak kecil (biasanya berdiameter <8 cm), merah,
plak bulat yang dapat menyengat, biasanya meninggalkan pigmentasi jangka
panjang, terutama pada orang dengan pigmen kulit berlebih, dan biasanya kambuh
di lokasi yang sama (bibir, genital, dan kulit akral) pada reexposure obat penyebab
(Gambar 1F). Obat yang umum menjadi penyebab termasuk penisilin, NSAID,
dan asetaminophen
5
menyebabkan ruam eksanthema. Karena waktu dibutuhkan untuk menimbulkan
keadaan hipersensitivitas pada pasien yang tidak tersensitisasi sebelumnya
terhadap obat tertentu, ruam yang muncul dalam waktu 3 hari setelah penggunaan
obat diindikasi lebih cenderung disebabkan oleh infeksi daripada obat.
Tabel 1. Infeksi terpilih dan kondisi lain yang memperlihatkan eksanthema dan
karakteristik pembeda dibandingkan Erupsi Obat Eksanthematosa
Diagnosis Gambaran dan ciri pembeda
Measles (rubeola) Ruam morbiliformis (yang berarti "measles-like"), istilah yang sering
digunakan untuk menggambarkan eksanthema erupsi obat, dan biasanya gatal.
Tidak seperti erupsi obat umumnya, ruam pada measles biasanya dimulai pada
kepala dan leher dan menyebar dengan cepat. Biasanya muncul beberapa hari
setelah onset demam, coryza, batuk, dan konjungtivitis. Bintik-bintik putih
pada mukosa bukal (bercak Koplik’s) membantu menegakkan diagnosis. Ruam
khas atau atipikal dapat terjadi pada orang dewasa yang sebelumnya
divaksinasi, terutama mereka yang lebih tua, killed vaccine atau vaksinasi tidak
lengkap.
Rubella Gejala biasanya lebih ringan dibandingkan measles, dengan ruam yang serupa
dan biasanya membaik setelah 3 atau 4 hari. Ruam sering disertai demam,
adenopati,dan artralgia.
Roseola infantum Anak-anak muda dengan suhu tinggi selama 3 sampai 5 hari; yang biasanya
(Eksanthema subitum) sembuh di saat onset munculnya ruam, merah muda, dan short-lived eruption.
Human herpesvirus 6 adalah penyebab tersering. Pada orang dewasa terdapat
adenopati servikal, dengan variabel ruam dan demam yang dapat berlangsung
selama berbulan-bulan. Ruam biasanya dimulai di daerah trunkus dan
menyebar ke wajah dan ekstremitas.
Eritema infektiosum Pada anak-anak muda, demam (karakteristik “slapped cheeks”) dalam 2 sampai
(fifth disease) 4 hari sebelum ruam generalisata, dimulai di ekstremitas proksimal dan
menyebar di kedua sisi sentral dan perifer. Pada orang dewasa, artralgia dapat
bertahan selama beberapa minggu, dan demam tampak menonjol. Ruam sering
mempunyai pola livedo. Keterlibatan wajah kurang menonjol pada orang
dewasa dibandingkan anak-anak. Penyakit ini disebabkan parvovirus B19.
Infeksi mononukleosis Pada remaja dan dewasa, ruam biasanya dihubungkan dengan pemakaian
aminopenisilin, dengan onset dalam 3 hari setelah pemakaian (onset yang lebih
cepat dibandingkan biasanya erupsi obat). Pasien mungkin memiliki ruam
dengan pemakaian kembali aminopenicillin setelah sembuh.
Penyakit Ruam terjadi dalam 2 sampai 4 minggu setelah transplantasi. Bisa gatal. Jika
graft-versus-host akut ruam generalisata, akan sulit dibedakan dengan eksanthema erupsi obat.
Human Onset ruam akut dalam 1 sampai 6 minggu setelah infeksi dan biasanya disertai
immunodeficiency demam, malaise, mialgia, artralgia, dan limfadenopati. Ruam eksanthema
virus simetris yang melibatkan wajah, telapak tangan dan kaki. Ulkus tipe aphtous di
serokonversi akut oral dan genital dapat muncul.
6
Kebanyakan eksanthema diinduksi obat berkembang cepat, simetris dan
meluas, mencapai batas maksimal 2 hari setelah eliminasi obat, dan memudar
dalam seminggu setelah eliminasi. Beberapa erupsi obat memudar saat pasien
masih memakai obat penyebab. Karakter lesi sering bervariasi menurut daerah
tubuh (misalnya, plak merah konfluen di trunkus, makula dan papula merah muda
yang diskret di ekstremitas). Ruam ini cenderung lebih merah dan mungkin
menjadi purpura di bagian tersebut. Kecuali pada pasien mudah berdarah, dapat
menyebabkan kepucatan ruam di daerah nondependen. Erupsi kulit yang berbeda
dari ujud eksanthema erupsi obat, umum terjadi pada pasien yang diobati inhibitor
tirosin kinase (erupsi papulopustular) dan pasien hepatitis C diobati dengan
telaprevir, interferon alfa, dan ribavirin (erupsi eksematosa).
Erupsi obat eksanthematosa pertama kali dan reaksi kulit parah yang
diperantarai sel T khasnya muncul 4 sampai 21 hari setelah dimulai pengobatan
dengan obat yang dianggap bertanggung jawab, tetapi dapat pula berkembang
kemudian hari sesuai DRESS (Tabel 2). Oleh karena itu, penilaian waktu relatif
dari penggunaan obat untuk timbulnya ruam dan gejala lainnya adalah langkah
kunci. Resolusi setelah penghentian obat (dikenal sebagai "dechallenge") juga
membantu mengidentifikasi agen penyebab.
Karena kemungkinan ruam yang diinduksi obat bervariasi sesuai jenis
obat, populasi pengobatan, dan indikasi penggunaan, faktor-faktor itu
harus dipertimbangkan guna menilai kemungkinan ruam pasien disebabkan obat
tertentu. Selain faktor genetik dan penyakit yang dibahas di atas, beberapa
kelompok pasien berada pada risiko yang meningkat pesat untuk alasan yang
tidak diketahui. Sebagai contoh, tingkat ruam obat di kalangan wanita muda yang
diobati antibiotik gemifloxacin (> 20%) sekitar 10 kali lebih tinggi dari pasien lain
yang dirawat untuk indikasi sama. Algoritma organ-spesific daripada algoritma
yang menilai kausalitas obat terlepas dari organ yang terkena dapat meningkatkan
keandalan penilaian penyebab erupsi obat. Tabel S2 dalam Lampiran Tambahan
menyediakan algoritma, diadaptasi dari salah satu validasi untuk SJS-TEN (reaksi
obat lain yang diperantarai sel T), yang dapat membantu mengidentifikasi obat
7
penyebab dalam kasus eksanthema erupsi obat, meskipun belum divalidasi untuk
reaksi eksanthema.
8
9
Serum sickness-like reactions memiliki berbagai manifestasi kulit,
termasuk erupsi eksanthematosa dan urtikaria, disamping demam, limfadenopati,
artralgia, dan inflamasi organ lain. Protein asing, termasuk agen biologis,
minosiklin, dan sefalosporin, dikaitkan dengan reaksi ini.
10
Penatalaksanaan
Kapanpun memungkinkan, identifikasi dan penghentian cepat dari obat
yang dicurigai merupakan landasan manajemen untuk erupsi yang diinduksi obat.
Hal ini sangat penting untuk obat dengan waktu paruh yang singkat (<24 jam)
ketika ruam eksanthema sebagai tanda awal SJS-TEN muncul, penarikan cepat
obat dengan waktu paruh pendek (tapi tidak panjang) dihubungkan dengan
penurunan mortalitas. Pasien dengan tanda dan gejala yang menunjukkan ruam
yang merupakan manifestasi awal dari reaksi parah harus diawasi secara ketat dan
dirawat di rumah sakit sampai reaksi yang parah dapat dikesampingkan. Jika obat
ternyata sangat penting dan reaksi yang muncul tidak parah, desensitisasi setelah
pemulihan dapat dilakukan, tetapi proses ini jarang dan rumit.
Antihistamin sedatif seperti diphenhydramine dan hidroksizin dapat
mengatasi gejala pruritus. Glukokortikoid topikal poten (yang tidak boleh
digunakan pada wajah atau daerah intertriginosa) dapat mengurangi tanda-tanda
dan gejala ruam, namun data randomized trials tentang keberhasilan dan
pengaturan pengobatan ini kurang. Data dari tinjauan retrospektif dan penelitian
open-label, masing-masing, menunjukkan bahwa pengobatan awal SJS-TEN
dengan glukokortikoid sistemik atau siklosporin dihubungkan dengan penurunan
mortalitas. Peran immunoglobulin intravena dalam pengobatan SJS-TEN masih
kontroversial. Manfaat glukokortikoid sistemik relatif terhadap risikonya dalam
pengobatan reaksi obat eksanthema tidak jelas.
11
Paparan bahan kimia terkait juga menjadi perhatian pada pasien dengan
eksanthema obat sebelumnya. Namun, dalam banyak kasus, obat terkait
ditoleransi. Di antara pasien yang memiliki riwayat ruam eksanthematosa (tidak
diperantarai IgE) berkaitan dengan antibiotik penisilin, risiko reaksi terhadap
antibiotik betalaktam mungkin kurang dari 10%, dan reaktivitas-silang antara
cefalosporin dengan rantai samping yang berbeda jarang terjadi. Agen
antimikroba sulfonamid merupakan penyebab tersering erupsi obat. Struktur
sulfonamid nonantimikrobial, termasuk diuretik, beberapa NSAIDs, dan agen
antidiabetes, cukup berbeda dari struktur antibiotik sulfonamida yang tidak
mungkin terjadi reaktivitas-silang dengan antibiotik sulfonamid. Reaktivitas-
silang sering terjadi di antara agen antiepilepsi amin aromatik. Terlepas dari agen
yang menyebabkan reaksi obat dini, orang-orang dengan riwayat hipersensitivitas
obat memiliki kemungkinan dua kali memiliki reaksi hipersensitif terhadap obat-
obatan lainnya daripada mereka yang tidak memiliki riwayat.
AREA KETIDAKPASTIAN
Informasi yang terbatas menyatakan bahwa HLA haplotipe dan faktor
genetik lainnya mungkin berguna dalam memprediksi risiko reaksi obat
eksanthema untuk obat-obat tertentu, tetapi banyak data diperlukan untuk
meningkatkan identifikasi terhadap orang-orang yang berisiko tinggi untuk reaksi
tersebut. Selain itu, pemahaman yang lebih baik diperlukan mengenai faktor yang
menerangkan mengenai perbedaan luas dan keparahan reaksi obat eksanthema
antara pasien yang menggunakan obat yang sama. Pada akhirnya, kegunaan
glukokortikoid sistemik dan pengobatan lain untuk reaksi obat eksanthema masih
belum jelas.
PEDOMAN
Pedoman untuk identifikasi dan pengelolaan reaksi obat kutaneus telah
diterbitkan oleh American Academy of Dermatology (yang terakhir pada tahun
1996). American Academy of Allergy, Asma, dan Immunology, dan the British
Society for Allergy and Clinical Immunology. Pedoman Inggris memberikan
12
penekanan lebih besar pada tes kulit untuk menentukan obat penyebab daripada
melakukan rekomendasi yang disajikan ini, yang dinyatakan sesuai dengan
pedoman ini.
13
14