Anda di halaman 1dari 14

Judul asli : Exanthematous Drug Eruptions

Penulis : Robert S. Stern, M.D.

Diambil dari : http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMcp1104080

Penerjemah : Yudha Permana

Erupsi Obat Eksanthematosa

Artikel jurnal diawali dengan sketsa kasus yang menyoroti masalah klinis umum. Bukti
yang mendukung berbagai strategi kemudian disajikan, diikuti oleh ulasan pedoman
formal. Artikel ini diakhiri dengan rekomendasi klinis dari penulis.

Seorang wanita 50 tahun dengan depresi bipolar memperlihatkan ruam pruritus yang luas
selama1 hari. Wanita tersebut afebris dan dinyatakan baik. Dia memiliki riwayat eksim
dimasa kanak-kanaknya dan alergi terhadap antibiotik sulfonamid. Obatnya meliputi
tiroksin harian, naproxen secara intermiten, dan lamotrigin, yang mulai dia konsumsi 3
minggu sebelumnya. Bagaimana seharusnya kasus ini harus dievaluasi dan diobati?

MASALAH KLINIS
Di Amerika Serikat, lebih dari 300 juta resep obat diberikan pada pasien dan
jutaan pembelian over-the-counter obat setiap bulannya. Dalam banyak kasus
pasien memakai obat ini untuk pertama kalinya. Reaksi kulit adalah salah satu
efek samping yang paling umum dari pemakaian obat, diantaranya termasuk
penisilin, sefalosporin, agen antimikroba sulfonamide, dan allopurinol (dengan
kejadian hingga 50 kasus per 1000 pengguna baru), dan terutama obat anti kejang
amin aromatik, termasuk karbamazepin, penitoin, dan lamotrigin (dengan
kejadian hingga 100 kasus per 1000 pengguna baru). Ruam terkait-obat
dilaporkan pada hampir semua resep obat, biasanya dengan tingkat kejadian lebih
dari 10 kasus per 1000 pengguna baru. Reaksi-reaksi ini mulai dari erupsi ringan
asimtomatik sampai pada kondisi yang mengancam jiwa. Reaksi kutaneus
mungkin sulit dibedakan dari ruam umum yang tidak berhubungan dengan
penggunaan obat, khususnya eksanthema virus.

1
Erupsi obat eksanthematosa (juga disebut erupsi obat morbilliformis atau
erupsi makulopapular) adalah drug-induced eruptions yang paling sering terjadi.
Jenis erupsi obat yang jarang dan yang lebih serius meliputi Stevens Johnson
Syndrome (SJS), Toxic Epidermal Necrolysis (TEN), acute generalized
exanthematous pustulosis (AGEP), dan drug reaction with eosinophilia and
systemic symptoms (DRESS) adalah idiosinkratik, diperantarai sel T, reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV). Secara klasik, sel penyaji antigen
menyajikan hapten, dibentuk dari obat atau metabolitnya yang terikat dengan
protein atau peptida, naive T cells. Antigen-spesifik sel T berproliferasi,
menginfiltrasi kulit, dan melepas sitokin, kemokin, dan mediator inflamatori
lainnya yang berperan terhadap munculnya tanda-tanda dan gejala ruam yang
berhubungan dengan obat. Teori alternatif yang dikenal dengan konsep p-i
(interaksi farmakologik obat dengan reseptor imun), obat molekul kecil atau
metabolitnya, yang merupakan antigen tidak lengkap, mengaktifkan sel-sel T
secara langsung dengan mengikat reseptor sel T. Terlepas dari mekanisme yang
memunculkan respon sel T terhadap suatu obat, tidak diketahui mengapa hanya
sebagian kecil pasien pemakai obat yang memunculkan reaksi klinis seperti itu,
sedangkan yang lain memiliki reaktivitas imunologi tanpa terjadi ruam.
Perubahan dalam status imun pasien, di samping faktor genetik yang
berhubungan dengan respon imun, mempengaruhi risiko reaksi obat. Pasien
dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV), transplantasi sumsum tulang, atau
infeksi tertentu yang mana memakai obat-obatan tertentu yang mempunyai resiko
tinggi. Sebagai contoh, banyak pasien dengan infeksi mononukleosis yang sedang
dirawat dengan aminopenisillin mempunyai erupsi eksanthema, dibandingkan
dengan sekitar 5% dari pasien tanpa kelainan ini yang juga menggunakan obat ini.
HLA alel tertentu memberikan risiko lebih tinggi dari reaksi hipersensitivitas yang
dimediasi sel T. Paling sering dijelaskan pada kasus reaksi kutaneus yang parah,
asosiasi ini umumnya spesifik untuk tipe reaksi, obat penyebab, dan kelompok
etnis. Di Eropa, penggunaan karbamazepin, HLA-A * 3101 dilaporkan
mempunyai kaitan dengan peningkatan risiko eksanthema makulopapular.

2
Kunci Poin-Poin Klinis
Erupsi Obat Eksanthematosa

 Erupsi Obat Eksanthematosa, juga disebut ruam obat morbiliformis atau makulopapular,
terjadi pada 1 sampai 5% pada penggunaan pertama kali sebagian besar obat.
 Reaksi kulit pruritus secara khas tampak pada 4 sampai 21 hari setelah penggunaan obat
penyebab dan karakteristik muncul distribusinya simetris, makula merah muda sampai
merah dan papul-papul yang menyebar secara cepat dan dapat menyatu/bergabung.
 Pasien dengan infeksi human immunodeficiency virus atau transplantasi sumsum tulang
didapatkan peningkatan resiko.
 Mengidentifikasi obat penyebab dan menghentikan pemakaiannya adalah langkah
penting di dalam pengelolaan; pengobatan simtomatik dengan agen antipruritus dan
glukokortikoid topikal dapat bermanfaat.
 Tanda dan gejala seharusnya diwaspadai klinisi pada kemungkinan reaksi kutaneus
yang parah termasuk keterlibatan membran mukosa, suhu tubuh diatas 38,5 C, lepuh,
edema wajah dan eritema, dan limfadenopati.

Kebanyakan ruam karena obat adalah self-limited dan hanya gejala ringan.
Sebagian besar kejadian kulit dikaitkan dengan obat baik erupsi eksanthematosa
(makulopapular atau morbilliformis) (> 80%) atau urtikaria (5 sampai 10%),
namun persentase ini bervariasi di antara obat dan di antara kelompok pasien. Di
antara pasien yang tidak immunocomprimised, reaksi kulit yang parah jarang
terjadi (dengan kejadian <1 kasus per 1000 pemakai baru), bahkan dengan obat
resiko tinggi.
Erupsi eksanthema tampak penyebaran yang luas, didistribusikan secara
simetris terdiri dari makula dan papula merah muda sampai merah yang bisa
bergabung menjadi bentuk plak (Gambar 1A, 1B, dan 1C). Meskipun membran
mukosa biasanya tidak terkena, kemerahan tanpa lepuh mungkin terjadi pada
daerah ini. Pruritus sering terjadi, tapi sangat bervariasi dalam keparahan, dan
demam ringan (suhu <38,5 ° C) adalah umum.
Urtikaria (Gambar 1D), fotosensitifitas, dan fixed drug eruptions dicatat
untuk sebagian besar erupsi terkait-obat yang tersisa pada pasien rawat jalan.
Urtikaria memberikan andil bentuk patofisiologi dengan anafilaksis dan
angioedema, yang keduanya dapat mengancam jiwa. Dengan obat yang penting,
urtikaria adalah reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe I) yang diperantarai sel T.
Urtikaria karena obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) atau angiotensin
converting-enzyme inhibitor biasanya mencerminkan efek farmakologis dari obat-
obat ini bukan reaksi imunologi.

3
Gambar 1. Gambaran Klinis Reaksi Obat yang Umum dan Measles
Panel A dan B menunjukkan eksanthema erupsi obat dengan makula dan papula dengan
bermacam ukuran dan bergabung menjadi plak. Erupsi pada panel A relatif ringan, dengan
makula dan papula merah muda yang simetris, sedangkan erupsi pada panel B lebih
intens/hebat, dengan lesi yang lebih dalam dan lebih indurasi. Panel C menunjukkan
eksanthema erupsi obat yang melibatkan paha, dengan makula dan papula merah yang
menyatu membentuk plak, yang biasanya keterlibatan proksimal lebih besar Panel D
menunjukkan urtikaria dengan karakteristiknya kepucatan sentral dan pinggir kemerahan. Lesi
individu terakhir kurang dari 24 jam Panel E menunjukkan reaksi fototoksik terhadap
doksisiklin. Sunburn-like reaction terbatas pada area terpapar sinar pada daerah yang
terlindungi pita pada pendayung Panel F menunjukkan Fixed Drug Reaction dengan
hiperpigmentasi dari reaksi sebelumnya dan eritema ditempat yang sama karena reexposure
obat penyebab. Panel G menunjukkan Measles dengan makula dan papula merah muda yang
menyatu membentuk plak pada pasien yang mendapat hanya dosis tunggal vaksin.

Erupsi fotosensitifitas yang menyertai penggunaan obat sistemik hampir


selalu merupakan konsekuensi dari ultraviolet atau visible-light aktivasi obat,
mengakibatkan cedera fototoksik sel-sel kulit dan sunburn-like reaction yang
dapat melepuh di daerah yang terpapar (Gambar 1E). Obat yang umumnya terkait
dengan fototoksisitas adalah tetrasiklin (khususnya doksisiklin), diuretik thiazid,
kuinolon, vorikonazol, vemurafenib, amiodaron, dan psoralen.

4
Fixed Drug Eruptions tampak kecil (biasanya berdiameter <8 cm), merah,
plak bulat yang dapat menyengat, biasanya meninggalkan pigmentasi jangka
panjang, terutama pada orang dengan pigmen kulit berlebih, dan biasanya kambuh
di lokasi yang sama (bibir, genital, dan kulit akral) pada reexposure obat penyebab
(Gambar 1F). Obat yang umum menjadi penyebab termasuk penisilin, NSAID,
dan asetaminophen

STRATEGI DAN BUKTI


Evaluasi dan Diagnosis
Dalam mengevaluasi pasien dengan ruam baru, dokter harus berusaha
menentukan apakah ruam berhubungan dengan obat, apakah ruam akan menjadi
parah, obat apa yang mungkin paling bertanggung jawab, obat yang mana yang
seharusnya dihentikan, bagaimana erupsi harus dikelola, dan apa pasien harus
diberitahu tentang penggunaan obat di masa yang akan datang. Gambaran ruam
(distribusi, morfologi dan apakah membran mukosa terlibat), onset relatif
terhadap penggunaan obat-obatan, dan penilaian pasien tentang adanya demam
dan gejala serta tanda terkait lainnya (yang menunjukkan keterlibatan organ lain)
dan riwayat dahulu reaksi terhadap obat, serta karakteristik lain dari pasien dan
setiap gangguan yang muncul bersamaan, harus menjadi petunjuk pengambilan
keputusan.
Setiap erupsi, eksanthema simetris yang baru mungkin berhubungan
dengan obat-obatan. Eksanthema virus seringkali sulit dibedakan dengan
eksanthema yang diinduksi obat (Gambar 1G). Penyakit virus sering kali ditandai
dengan onset yang cepat meluas, erupsi simetris makula dan papula merah muda
sampai merah yang bisa bergabung, disertai demam, malaise, sakit tenggorokan,
dan konjungtivitis, namun, keadaan ini juga dapat terlihat karena erupsi obat .
Eksanthema virus lebih sering terjadi pada anak-anak daripada orang dewasa dan
biasanya self-limited dan gejalanya ringan. Tabel 1 menggambarkan ciri khas dari
beberapa eksanthema virus yang umum yang membantu membedakan mereka
dari erupsi obat. Pasien dengan demam, sakit tenggorokan, atau malaise karena
infeksi dan menggunakan obat (terutama antibiotik dan NSAID) juga dapat

5
menyebabkan ruam eksanthema. Karena waktu dibutuhkan untuk menimbulkan
keadaan hipersensitivitas pada pasien yang tidak tersensitisasi sebelumnya
terhadap obat tertentu, ruam yang muncul dalam waktu 3 hari setelah penggunaan
obat diindikasi lebih cenderung disebabkan oleh infeksi daripada obat.

Tabel 1. Infeksi terpilih dan kondisi lain yang memperlihatkan eksanthema dan
karakteristik pembeda dibandingkan Erupsi Obat Eksanthematosa
Diagnosis Gambaran dan ciri pembeda
Measles (rubeola) Ruam morbiliformis (yang berarti "measles-like"), istilah yang sering
digunakan untuk menggambarkan eksanthema erupsi obat, dan biasanya gatal.
Tidak seperti erupsi obat umumnya, ruam pada measles biasanya dimulai pada
kepala dan leher dan menyebar dengan cepat. Biasanya muncul beberapa hari
setelah onset demam, coryza, batuk, dan konjungtivitis. Bintik-bintik putih
pada mukosa bukal (bercak Koplik’s) membantu menegakkan diagnosis. Ruam
khas atau atipikal dapat terjadi pada orang dewasa yang sebelumnya
divaksinasi, terutama mereka yang lebih tua, killed vaccine atau vaksinasi tidak
lengkap.

Rubella Gejala biasanya lebih ringan dibandingkan measles, dengan ruam yang serupa
dan biasanya membaik setelah 3 atau 4 hari. Ruam sering disertai demam,
adenopati,dan artralgia.

Roseola infantum Anak-anak muda dengan suhu tinggi selama 3 sampai 5 hari; yang biasanya
(Eksanthema subitum) sembuh di saat onset munculnya ruam, merah muda, dan short-lived eruption.
Human herpesvirus 6 adalah penyebab tersering. Pada orang dewasa terdapat
adenopati servikal, dengan variabel ruam dan demam yang dapat berlangsung
selama berbulan-bulan. Ruam biasanya dimulai di daerah trunkus dan
menyebar ke wajah dan ekstremitas.

Eritema infektiosum Pada anak-anak muda, demam (karakteristik “slapped cheeks”) dalam 2 sampai
(fifth disease) 4 hari sebelum ruam generalisata, dimulai di ekstremitas proksimal dan
menyebar di kedua sisi sentral dan perifer. Pada orang dewasa, artralgia dapat
bertahan selama beberapa minggu, dan demam tampak menonjol. Ruam sering
mempunyai pola livedo. Keterlibatan wajah kurang menonjol pada orang
dewasa dibandingkan anak-anak. Penyakit ini disebabkan parvovirus B19.

Infeksi mononukleosis Pada remaja dan dewasa, ruam biasanya dihubungkan dengan pemakaian
aminopenisilin, dengan onset dalam 3 hari setelah pemakaian (onset yang lebih
cepat dibandingkan biasanya erupsi obat). Pasien mungkin memiliki ruam
dengan pemakaian kembali aminopenicillin setelah sembuh.

Penyakit Ruam terjadi dalam 2 sampai 4 minggu setelah transplantasi. Bisa gatal. Jika
graft-versus-host akut ruam generalisata, akan sulit dibedakan dengan eksanthema erupsi obat.

Human Onset ruam akut dalam 1 sampai 6 minggu setelah infeksi dan biasanya disertai
immunodeficiency demam, malaise, mialgia, artralgia, dan limfadenopati. Ruam eksanthema
virus simetris yang melibatkan wajah, telapak tangan dan kaki. Ulkus tipe aphtous di
serokonversi akut oral dan genital dapat muncul.

Agen penyebab termasuk echovirus, virus coxsackie, togavirus, dan lain-lain


Exanthema virus lain
Alat diagnostik lain terdiri dari kultur virus, biopsi kulit, deteksi virus dengan uji
polymerase-chain-reaction, dan tes serologi antibodi (khususnya Ig M pada infeksi akut)

6
Kebanyakan eksanthema diinduksi obat berkembang cepat, simetris dan
meluas, mencapai batas maksimal 2 hari setelah eliminasi obat, dan memudar
dalam seminggu setelah eliminasi. Beberapa erupsi obat memudar saat pasien
masih memakai obat penyebab. Karakter lesi sering bervariasi menurut daerah
tubuh (misalnya, plak merah konfluen di trunkus, makula dan papula merah muda
yang diskret di ekstremitas). Ruam ini cenderung lebih merah dan mungkin
menjadi purpura di bagian tersebut. Kecuali pada pasien mudah berdarah, dapat
menyebabkan kepucatan ruam di daerah nondependen. Erupsi kulit yang berbeda
dari ujud eksanthema erupsi obat, umum terjadi pada pasien yang diobati inhibitor
tirosin kinase (erupsi papulopustular) dan pasien hepatitis C diobati dengan
telaprevir, interferon alfa, dan ribavirin (erupsi eksematosa).
Erupsi obat eksanthematosa pertama kali dan reaksi kulit parah yang
diperantarai sel T khasnya muncul 4 sampai 21 hari setelah dimulai pengobatan
dengan obat yang dianggap bertanggung jawab, tetapi dapat pula berkembang
kemudian hari sesuai DRESS (Tabel 2). Oleh karena itu, penilaian waktu relatif
dari penggunaan obat untuk timbulnya ruam dan gejala lainnya adalah langkah
kunci. Resolusi setelah penghentian obat (dikenal sebagai "dechallenge") juga
membantu mengidentifikasi agen penyebab.
Karena kemungkinan ruam yang diinduksi obat bervariasi sesuai jenis
obat, populasi pengobatan, dan indikasi penggunaan, faktor-faktor itu
harus dipertimbangkan guna menilai kemungkinan ruam pasien disebabkan obat
tertentu. Selain faktor genetik dan penyakit yang dibahas di atas, beberapa
kelompok pasien berada pada risiko yang meningkat pesat untuk alasan yang
tidak diketahui. Sebagai contoh, tingkat ruam obat di kalangan wanita muda yang
diobati antibiotik gemifloxacin (> 20%) sekitar 10 kali lebih tinggi dari pasien lain
yang dirawat untuk indikasi sama. Algoritma organ-spesific daripada algoritma
yang menilai kausalitas obat terlepas dari organ yang terkena dapat meningkatkan
keandalan penilaian penyebab erupsi obat. Tabel S2 dalam Lampiran Tambahan
menyediakan algoritma, diadaptasi dari salah satu validasi untuk SJS-TEN (reaksi
obat lain yang diperantarai sel T), yang dapat membantu mengidentifikasi obat

7
penyebab dalam kasus eksanthema erupsi obat, meskipun belum divalidasi untuk
reaksi eksanthema.

Menilai kemungkinan suatu reaksi parah


Hal ini penting untuk menentukan apakah suatu ruam eksanthema yang
diinduksi obat menjadi tanda awal dari reaksi kulit yang parah. Menentukan
apakah akan dikembangkan diagnosa DRESS pada pasien dengan erupsi luas dan
demam adalah suatu tantangan. Tabel 2 merangkum tanda-tanda dan gejala yang
berhubungan dengan penggunaan obat untuk tiga reaksi kulit parah yang bersama-
sama menyumbang lebih dari 90% dari reaksi kulit : DRESS (Gambar 2A), SJS-
TEN (Gambar 2B), dan AGEP (Gambar 2C).

Gambar 2. Gambaran klinis reaksi obat kutaneus yang parah


Panel A menunjukkan indurasi, makula dan papula merah dalam sampai violaseus yang bergabung
membentuk plak pada pasien dengan ruam obat disertai eosinofilia dan gejala sistemik (DRESS). Panel
B menunjukkan papul dan plak edematosa merah cerah, luas, dengan lepuh dini pada pasien Stevens
Johnson Syndrome. Beberapa lesi tampak purpura. Panel C menunjukkan eksanthema pustulosis
generalisata akut dengan pustul kecil, dimana banyak terkonsentrasi sebagai plak eritema di perifer are
fleksural (misalnya aksila).Dan plak papul yang menyebar, beberapa dengan pustul. Panel D
menunjukkan lesi eritema pada pasien fase awal vaskulitis kutaneus. Lesi tidak secara komplet
memudar dan menjadi purpura dalam beberapa hari. Panel E menunjukkan lesi target sejati, khas untuk
eritema multiforme dan biasanya tidak disebabkan obat. Lesi memiliki tiga zona : eritema atau papul
sentral dusky, cincin tengah edematosa, dan cincin luar eritematosa. Lesi target sejati tidak biasanya
tampak pada Stevens Johnson Syndrome dan Toxic Epidermal Necrosis yang disebabkan obat.

Vaskulitis leukositoklastik kutaneous ditandai dengan papul eritematosa


dan purpura terutama pada ekstremitas bawah (Gambar 2D). Meskipun
kebanyakan kasus berhubungan dengan infeksi atau gangguan autoimun, sekitar
20% disebabkan oleh obat. Lebih dari 100 obat telah terlibat, khususnya
profiltiourasil.

8
9
Serum sickness-like reactions memiliki berbagai manifestasi kulit,
termasuk erupsi eksanthematosa dan urtikaria, disamping demam, limfadenopati,
artralgia, dan inflamasi organ lain. Protein asing, termasuk agen biologis,
minosiklin, dan sefalosporin, dikaitkan dengan reaksi ini.

Evaluasi lebih lanjut


Dalam kebanyakan kasus reaksi obat eksanthema, evaluasi klinis yang
terstruktur dapat mengidentifikasi obat penyebab yang paling mungkin, yang
dapat ditarik dan dihindari di masa yang akan datang. Kadang-kadang, keyakinan
yang tinggi diperlukan untuk membuktikan obat penyebab. Sedangkan deteksi in
vitro antibodi IgE spesifik dapat membantu dalam mengidentifikasi kasus
urtikaria, angioedema, dan anafilaksis akibat antibiotik betalaktam dan beberapa
obat lainnya, tes ini tidak relevan dengan erupsi obat yang diperantarai sel T,
termasuk DRESS dan SJS-TEN.
Berbagai tes telah dianjurkan untuk menentukan obat penyebab dalam
kasus erupsi eksanthema, tetapi semua tes memiliki keterbatasan. Tes tempel telah
lama digunakan untuk mendokumentasikan penyebab dermatitis kontak alergi,
reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai sel T. Namun, reagen standar
untuk tes tempel kurang, dan kepekaan bawah 10% telah dilaporkan. Uji
Transformasi limfosit dicoba untuk mengukur aktivasi sel T in vitro di dalam
merespon suatu obat atau metabolitnya, tetapi tes ini rumit dan nonstandar untuk
pengambilan keputusan klinis. Tes provokasi obat didasarkan pada pemakaian
kembali terkontrol obat yang diduga untuk menentukan kausalitas. Tes tersebut
jarang digunakan dalam praktek klinis karena tidak terstandar dengan baik, dapat
menghasilkan hasil negatif palsu atau positif palsu, dan membawa risiko memicu
reaksi obat baru dan mungkin lebih serius.
Biopsi kulit dapat membantu mengidentifikasi SJS-TEN atau AGEP di
fase awal, tetapi ciri histopatologi yang spesifik kurang dapat membedakan erupsi
eksanthema dibandingkan DRESS dan eksanthema virus yang dini. Reaksi
fototoksik memiliki ciri khas yang tampak pada biopsi.

10
Penatalaksanaan
Kapanpun memungkinkan, identifikasi dan penghentian cepat dari obat
yang dicurigai merupakan landasan manajemen untuk erupsi yang diinduksi obat.
Hal ini sangat penting untuk obat dengan waktu paruh yang singkat (<24 jam)
ketika ruam eksanthema sebagai tanda awal SJS-TEN muncul, penarikan cepat
obat dengan waktu paruh pendek (tapi tidak panjang) dihubungkan dengan
penurunan mortalitas. Pasien dengan tanda dan gejala yang menunjukkan ruam
yang merupakan manifestasi awal dari reaksi parah harus diawasi secara ketat dan
dirawat di rumah sakit sampai reaksi yang parah dapat dikesampingkan. Jika obat
ternyata sangat penting dan reaksi yang muncul tidak parah, desensitisasi setelah
pemulihan dapat dilakukan, tetapi proses ini jarang dan rumit.
Antihistamin sedatif seperti diphenhydramine dan hidroksizin dapat
mengatasi gejala pruritus. Glukokortikoid topikal poten (yang tidak boleh
digunakan pada wajah atau daerah intertriginosa) dapat mengurangi tanda-tanda
dan gejala ruam, namun data randomized trials tentang keberhasilan dan
pengaturan pengobatan ini kurang. Data dari tinjauan retrospektif dan penelitian
open-label, masing-masing, menunjukkan bahwa pengobatan awal SJS-TEN
dengan glukokortikoid sistemik atau siklosporin dihubungkan dengan penurunan
mortalitas. Peran immunoglobulin intravena dalam pengobatan SJS-TEN masih
kontroversial. Manfaat glukokortikoid sistemik relatif terhadap risikonya dalam
pengobatan reaksi obat eksanthema tidak jelas.

Perawatan Selanjutnya pada pasien dengan riwayat reaksi obat eksanthema


Meskipun pada banyak pasien, pemakaian obat berulang yang dianggap
menyebabkan terjadinya ruam terkait obat sebelumnya tidak menghasilkan erupsi
baru, sebaiknya harus dihindari, karena erupsi pada paparan ulang terhadap obat
tersebut bisa lebih parah dibandingkan erupsi sebelumnya. Kecuali infeksi
mononukleosis, jika ruam meningkat dalam hubungannya dengan penggunaan
aminopenisillin pada pasien dengan gangguan ini, risiko yang terkait dengan
pemakaian kembali hanya sedikit lebih tinggi dibanding saat pertama kali
menggunakan obat.

11
Paparan bahan kimia terkait juga menjadi perhatian pada pasien dengan
eksanthema obat sebelumnya. Namun, dalam banyak kasus, obat terkait
ditoleransi. Di antara pasien yang memiliki riwayat ruam eksanthematosa (tidak
diperantarai IgE) berkaitan dengan antibiotik penisilin, risiko reaksi terhadap
antibiotik betalaktam mungkin kurang dari 10%, dan reaktivitas-silang antara
cefalosporin dengan rantai samping yang berbeda jarang terjadi. Agen
antimikroba sulfonamid merupakan penyebab tersering erupsi obat. Struktur
sulfonamid nonantimikrobial, termasuk diuretik, beberapa NSAIDs, dan agen
antidiabetes, cukup berbeda dari struktur antibiotik sulfonamida yang tidak
mungkin terjadi reaktivitas-silang dengan antibiotik sulfonamid. Reaktivitas-
silang sering terjadi di antara agen antiepilepsi amin aromatik. Terlepas dari agen
yang menyebabkan reaksi obat dini, orang-orang dengan riwayat hipersensitivitas
obat memiliki kemungkinan dua kali memiliki reaksi hipersensitif terhadap obat-
obatan lainnya daripada mereka yang tidak memiliki riwayat.

AREA KETIDAKPASTIAN
Informasi yang terbatas menyatakan bahwa HLA haplotipe dan faktor
genetik lainnya mungkin berguna dalam memprediksi risiko reaksi obat
eksanthema untuk obat-obat tertentu, tetapi banyak data diperlukan untuk
meningkatkan identifikasi terhadap orang-orang yang berisiko tinggi untuk reaksi
tersebut. Selain itu, pemahaman yang lebih baik diperlukan mengenai faktor yang
menerangkan mengenai perbedaan luas dan keparahan reaksi obat eksanthema
antara pasien yang menggunakan obat yang sama. Pada akhirnya, kegunaan
glukokortikoid sistemik dan pengobatan lain untuk reaksi obat eksanthema masih
belum jelas.

PEDOMAN
Pedoman untuk identifikasi dan pengelolaan reaksi obat kutaneus telah
diterbitkan oleh American Academy of Dermatology (yang terakhir pada tahun
1996). American Academy of Allergy, Asma, dan Immunology, dan the British
Society for Allergy and Clinical Immunology. Pedoman Inggris memberikan

12
penekanan lebih besar pada tes kulit untuk menentukan obat penyebab daripada
melakukan rekomendasi yang disajikan ini, yang dinyatakan sesuai dengan
pedoman ini.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Pasien yang dijelaskan dalam sketsa, hampir pasti memiliki erupsi obat
eksanthematosa karena lamotrigin. Untungnya, pasien tidak memiliki tanda-tanda
atau gejala sugestif reaksi kulit yang parah, tapi pasien harus diberitahu bahwa
jika demam, gejala mukosa, lepuh, atau malaise berkembang, ia harus mencari
perhatian medis segera. Pasien juga harus disarankan untuk berhenti
mengkonsumsi lamotrigin dan meminta psikiater untuk meresepkan agen
alternatif yang bukan termasuk amin aromatik. Karena lamotrigin memiliki waktu
paruh yang panjang, pasien harus diberitahu bahwa erupsi dapat memudar dalam
seminggu atau lebih. Saya akan merekomendasikan mengaplikasikan emolien dan
antihistamin sedatif pada waktu tidur. Jika ruam sangat gatal, saya akan
merekomendasikan pengobatan glukokortikoid topikal poten untuk seminggu,
walaupun data randomized trials masih kurang, pengalaman klinis menyatakan
bahwa pengobatan ini mengurangi inflamasi kulit sekunder dan pruritus.
Glukokortikoid oral tidak diindikasikan, dan tidak ada tes lanjutan yang
diperlukan. Pasien harus diberitahu untuk menghindari obat ini dan jenis amin
aromatik lainnya, termasuk fenitoin dan karbamazepin.

Telah dibacakan tanggal 19 Maret 2013


Moderator

dr. YF. Rahmat Sugianto, SpKK

13
14

Anda mungkin juga menyukai