Epidemiologi &
01. Devinisi & Etiologi 02. Patofisiologi
Reaksi silang obat adalah reaksi berbahaya atau tidak diinginkan yang diakibatkan
dari penggunaan produk pengobatan dan dari reaksi tersebut dapat diprediksikan
bahaya penggunaan produk itu di masa yang akan datang sehingga dilakukan
tindakan penggantian maupun penarikan produk.
Reaksi silang obat adalah respon obat yang tidak diinginkan sehingga
memerlukan penghentian obat, penggantian obat, perawatan rumah sakit,
pengobatan tambahan, dan menyebabkan prognosis buruk seperti cacat permanen
sampai kematian.
ETIOLOGI
Efek samping obat dapat berupa gangguan fungsi organ atau perubahan pada kulit yang dikenal sebagai erupsi
obat atau drug eruption. Bentuk erupsi obat yang paling sering didapatkan yaitu gambaran eksanthema
(makulopapular-morbiliformis).
Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptom (DRESS Syndrome) atau sindroma DRESS adalah
kumpulan gejala dan merupakan reaksi idiosinkratik yang terjadi pada pemberian obat dalam dosis terapi, yang
ditandai adanya erupsi eritematous, demam, kelainan hematologi terutama adanya eosinofilia dan adanya
keterlibatan organ dalam seperti: limfadenopati, hepatitis, pneumonitis, miokarditis, nefritis.
Istilah sindroma DRESS lebih sering digunakan karena dinilai dapat lebih menggambarkan apa yang terjadi pada
penderita. Beberapa ahli kadang menyebut sindroma DRESS berdasarkan obat penyebabnya seperti sindroma
hipersensitivitas antikonvulsan (Anticonvulsant Hypersensitivity Syndrome), sindroma hipersensitivitas allopurinol
(Allopurinol Hypersensitivity Syndrome).
Erupsi obat alergi atau sering disebut erupsi obat merupakan reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan
yang terjadi sebagai akibat pemberian obat secara sistemik. Erupsi obat banyak dilaporkan dalam kehidupan
sehari-hari karena reaksi pada kulit gampang terlihat oleh mata meskipun gejalanya ringan, sedangkan reaksi
pada organ lain seringkali tidak disadari. Erupsi eksantematosa (disebut juga morbiliformis atau
makulopapular) merupakan manifestasi klinis tersering dari erupsi obat, dengan insiden > 10 kasus / 1000
penduduk.
Erupsi makulopapular serta beberapa penyakit lain yang lebih berat antara lain sindrom hipersensitivitas obat,
acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP), sindrom steven johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal
toksik (NET) merupakan reaksi yang diperantarai oleh sel T dan termasuk ke dalam reaksi hipersensitivitas tipe
lambat. Hanya beberapa golongan obat yang 1% hingga 3% dari seluruh pemakainya akan mengalami erupsi
obat alergi atau erupsi obat. Belum diketahui jelas mengapa hanya pada sebagian orang menimbulkan
manifestasi klinis.
Penurunan sistem imun seseorang serta peranan faktor genetik, mempengaruhi risiko terjadinya erupsi
obat.Penyebab erupsi obat terbanyak antara lain penisilin dan derivatnya (ampisilin, amoksisilin, kloksasilin),
sulfonamida (kotrimoksasol), golongan analgetik-antipiretik (asam salisilat, metamezol, metampirin dan
parasetamol).
02.
Epidemiologi
&
Patofisiologi
EPIDEMIOLOGI
Data epidemiologi Dermatologic drug reaction akibat obat di Indonesia umumnya, dan
di Propinsi Jawa Timur, khususnya masih sangat terbatas.
Pada suatu penelitian didapatkan angka kejadian Dermatologic drug reaction akibat
obat sebesar 2,15% dari seluruh pasien di bagian kulit. Angka kejadian Dermatologic
drug reaction akibat obat dibagian rawat inap menunjukkan adanya variasi dengan
kisaran 1-3% hingga 10-15%.
Penelitian yang dilakukan oleh EastInnis dkk. (2009) menunjukkan bahwa angka
kematian pada kasus Dermatologic drug reaction akibat obat kurang lebih sebesar
3,9%, dengan penyebab kematian tersering adalah sepsis, gangguan elektrolit, dan
pneumonia
NEXT...
A. Hiperpigmentasi yang diinduksi obat B. Reaksi fotosensitifitas yang diinduksi obat mungkin
mungkin terkait dengan peningkatan fototoksik (nonimunologisReaksi) atau fotoalergi (reaksi
melanin (misalnya,hidantoin), deposisi imunologis). Pengobatan yang berhubungan dengan
langsung (misalnya, perak, merkuri, fototoksisitas termasuk amiodarone, tetracyclines,
tetrasiklin, dan antimalaria),atau sulfonamides, psoralens, dan coalter. Penyebab umum
mekanisme lain (misalnya reaksi fotoalergi termasuk sulfonamida,
fluorourasil). sulfonilurea,tiazid, obat antiinflamasi nonsteroid
(NSAID), klorokuin, dankarbamazepin.
C. Dermatitis kontak adalah D. Dermatitis popok (ruam E. Dermatitis atopik adalah suatu
peradangan kulit yang popok) adalah dermatitis kondisi peradangan dengan
disebabkan oleh iritan atau inflamasi akut pada genetik, lingkungan,
alergi. terkadang beberapa bokong, alat kelamin, dan danmekanisme imunologi.
hari kemudian. Dermatitis daerah perineum. Ini adalah Neuropeptida, iritasi, atau
kontak iritan (ICD) dapat jenis dermatitis kontak garukan yang disebabkan
disebabkan oleh zat akibat langsungkotoran dan pruritus dapat menyebabkan
organik yang biasanya kontak kelembaban dengan pelepasan sitokin
menghasilkan reaksi kulit dalam lingkungan proinflamasi dari
dalam beberapa jam oklusif. keratinosit.
paparan.
03.
Manifestasi Klinik
&
Diagnostik
Manifestasi Klinik
Sebagian besar manifestasi Dermatologic drug reaction akibat obat merupakan
kelainan kulit yang ringan dengan gejala lokal maupun sistemik. Perbedaan pola
penggunaan obat dan karakteristik etnik suatu populasi mempengaruhi gambaran
klinis erupsi kulit akibat obat.
● Reaksi kulit makulopapular
• Stevens – Johnson syndrome (SJS)
● Sindrom hipersensitivitas obat dan toksik epidermal necrolysis
● Urtikaria dan angioedema (TEN)
● Reaksi seperti penyakit serum
• Reaksi obat jerawat
● Erupsi obat tetap
• Pustulosis eksantematosa umum akut
(AGEP)
4. Perbedaan diagnosa
NEXT....
Penilaian lesi meliputi identifikasi makula, papula, nodul, lecet, plak,dan likenifikasi.
Beberapa kondisi kulit menyebabkan lebih dari satu jenis lesi.
Periksa lesi untuk mengetahui warna, tekstur, ukuran, dan suhu. Area yang
mengalir,eritematosa, dan hangat saat disentuh dapat terinfeksi.
Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari jenis lesi dan
distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya. Data mengenai semua
jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data kronologis mengenai cara
pemberian obat serta jangka waktu antara pemakaian obat dengan onset timbulnya
erupsi harus ikut dikumpulkan. Tetapi ada kalanya hal ini sulit untuk dievaluasi terutama
pada penderita yang mengkonsumsi obat yang mempunyai waktu paruh yang lama atau
mengalami erupsi obat alergi yang bersifat persisten
04.
PENATALAKSANAAN
TERAPI
Penatalaksanaan
dermatologic drug reaction
Tujuan Terapi
21.8%
34.5%
Tujuan Pengobatan: meredakan gejala yang mengganggu, menghilangkan
faktor pencetus, mencegah kekambuhan, menghindari efek pengobatan
32.7%
10.9%yang merugikan dan meningkatkan kualitas hidup
PENATALAKSANAAN TERAPI
Penatalaksanaan perawatan kulit secara hati-hati diperlukan, sehingga pasien lebih baik dirawat di
ruang perawatan intensif atau burn unit, dengan fokus pada penggantian cairan yang hilang, nutrisi,
anti nyeri dan penatalaksanaan untuk keterlibatan mukosa. Karena penyakit yang susah diprediksi,
pasien harus di follow up dan di monitoring untuk tanda-tanda komplikasi seiring resolusi fase akut,
juga diberikan edukasi untuk menghindari obat penyebab
Terdapat tatalaksana SCAR yang berbeda di beberapa institusi. Karena tingginya morbiditas dan
mortalitas pada SCAR, perawatan awal di unit perawatan intensif dapat dipertimbangkan. Burn unit
umumnya digunakan karena dianggap lebih berpengalaman untuk menangani keterlibatan kulit.
Tatalaksana yang tepat pada kulit yang terkena dapat meminimalkan disregulasi suhu, insensible fluid
loss dan instabilitas hemodinamik. Palmieri dkk menunjukkan perbedaan terapi TEN pada fasilitas burn
unit dan non burn unit. Burn unit biasanya memilih nutrisi enteral, dengan penggunaan antibiotik
profilaksis yang lebih minimal dan kortikosteroid sistemik. Beberapa studi menunjukkan bahwa
penanganan dini di burn unit memiliki hasil yang lebih baik pada pasien TEN
NEXT…
Identifikasi dan penghentian segera obat penyebab merupakan langkah paling penting dalam tatalaksana
SCAR. Penghentian dini dari agen penyebab dapat menurunkan angka mortalitas pada SJS dan TEN.
Meskipun dapat diduga satu agen penyebab yang paling sering dari SCAR, semua obat-obatan dalam rentang
waktu 8 minggu harus dipertimbangkan, termasuk obat yang dijual bebas. Kini terdapat assesment untuk
memprediksi obat penyebab untuk semua erupsi obat, terutama untuk SJS/TEN dan dapat membantu untuk
identifikasi obat penyebab.
Prinsip tatalaksana tambahan termasuk resusitasi cairan intravena, untuk nutrisi yang adekuat, mengurangi
nyeri dan profilaksis terhadap komplikasi tromboemboli dan pembentukan ulkus. Untuk mencegah sekuel
jangka panjang, seperti striktur mukosa, diperlukan pemeriksaan awal urologi dan ginekologi, dan mungkin
penggunaan urine katether dan/ dilator vagina.
Jika memungkinkan, intake makanan secara oral lebih baik daripada nutrisi parenteral dan dapat mencegah
adhesi esofagus. Antibiotik profilaksis tidak disaranka
NEXT...
Terapi pada erupsi obat yang paling penting adalah menghentikan obat yang dicurigai sebagai penyebab
erupsi. Steroid pada erupsi obat dapat diberikan bila mengancam jiwa, tetapi pemberiannya masih
kontroversial. Pemberian antihistamin, steroid topikal, atau keduanya dapat mengurangi gejala. Menurut
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya, steroid
yang digunakan adalah injeksi deksametason dengan dosis 0,15-0,2 mg/kgBB/hari atau metil prednisolon
80- 120 mg per oral (1,5-2 mg/kgBB/hari). Penurunan dosis steroid berdasarkan perbaikan keadaan klinis
pasien, namun pada pemberian injeksi steroid membutuhkan waktu perawatan yang lebih panjang.
Antibiotik tidak diberikan pada semua pasien, karena meskipun pada pemeriksaan klinis didapatkan
demam dan erosi tetapi hasil pemeriksaan laboratorium tidak didapatkan lekositosis, antibiotik tidak umum
diberikan
NEXT...